Translate

Selasa, 19 Oktober 2021

Coluiqium Biblicum

 

Silabus

Sekolah Tinggi Teologi Bethany

Mata Kuliah    : Coluiqium Biblicum

Bobot              : 3 sks

Program          : Doktoral

Dosen              : Dr.E.B, D.Th.

Waktu             : 13-17 Maret 2017

 

Deskripsi

Mata kuliah ini membahas secara komprehensif  mengenai: hahekat teologi biblika, proses dan hal-hal yang mempengaruhi terbentuknya rumusan teologi (bagaimanakah seseorang melakukan integrasi antara teologi dengan biblika), skopa kajian: dasar-dasar biblika dan isu Gospel, dasar-dasar pendekatan Teologi Biblika dalam perspektif  rancang bangun integrasi sebuah teologi biblika,  metodologi biblika  dan merancang bangun teologi biblika.

 

Standar Kompetensi

Mahasiswa menguasai berbagai dimensi teori tentang hahaket, proses, metodologi dan merancang bangun teologi biblika dengan menggunakan metodologi yang benar.

 

Kompetensi Dasar

Mampu menjelaskan hahaket teologi biblika.

Mampu menjelaskan proses dan hal-hal yang mempengaruhi terbentuknya rumusan teologi.

Mampu  menjelaskan skopa kajian: dasar-dasar biblika dan isu Gospel.

Mampu melakukan dasar-dasar pendekatan Teologi Biblika dalam perspektif  rancang bangun integrasi sebuah teologi biblika.

Mampu melakukan metodologi biblika.

Mampu merumuskan rancang bangun teologi biblika.

 

Indikator Hasil Belajar

Mampu menjelakan hahaket teologi biblika.

Mampu menjelaskan proses dan hal-hal yang mempengaruhi terbentuknya rumusan teologi.

Mampu menjelaskan metodologi biblika.

Mampu  menjelaskan dasar-dasar biblika dan isu Gospel.

Mampu melakukan dasar-dasar pendekatan Teologi Biblika dalam perspektif  rancang bangun integrasi sebuah teologi biblika.

Mampu melakukan metodologi biblika.

Mampu merumuskan rancang bangun teologi biblika.

 

 

Pokok-pokok Bahasan

Silabus dan Pengantar

Hakekat Teologi Biblika

Dasar-dasar Pendekatan Teologi Biblika dalam perspektif  Rancang Bangun antara Teologi dan Biblika

Skopa Kajian Dasar-dasar Biblika

Metodologi Biblika: Hermeneutika, Eksegese dan Ekspositori

Merancang Bangun  Teologi Biblika

 

 

Bahan Acuan Utama

B.F. Drewes & Julianus Mojau, Apa itu Teologi?  Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.

Charles C. Ryrie, Biblical Theological of the New Testament Chicago: Moody Press, 1999.

Christoph Barth & Marie-Claire Barth-Frommel, Teologi Perjanjian Lama 1-3. 2 Jilid. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.

David Alan Black &  David S. Dockery. (eds), Interpreting The New Testament. Nashville: Broadman & Holman Publishers, 2001.

David L. Baker, Satu Alkitab Dua Perjanjian. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.

Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1-3. 3 jilid. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.

Eta Linnemaan, Historical Criticism of the Bible: Methodology or Ideology? Grand Rapids: Baker Book House, 1993.

George Eldon Ladd, A Theology of The New Testament. Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing, 1993.

Gerald Bray, Biblical Interpretation: Past  & Present. Downers Grove: InterVarsity Press, 1996.

Gerhard F. Hasel, Teologi Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas, 1995.

Gordon D. Fee,  New Testament Exegesis: A Handbook for Students and Pastors. Lousville: Westminster/ John Knox Press, 1993.

Harianto GP, Eksegese Perjanjian Lama. Surabaya: Sekolah Tinggi teologi Bethany, 2014.

Harold Lolowang, Menyibak Kontroversi Dugaan Ketidakaslian Alkitab. Yogyakarta: Andi, 2009.

Horst Dietrich Preuss, Old Testament Theology, Volume 1-2. Stuttgart: W. Kohlhammer, 1992.

Jakob Van Bruggen, Siapa yang Membuat Alkitab? Surabaya: Momentun-Litindo, 2002.

James Barr, Alkitab di Dunia Modern. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.

James Barr. Fundamental. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.

John Owen. Biblical Theology. Grand Rapids: Soli Deo Gloria Publications, 2009.

Kevin J. Vanhoozer. Apakah Makna dalam Teks ini? Surabaya: Momentum, 2013.

Norman Geissler & Ron Brooks, Ketika Alkitab Dipertanyakan. Yogyakarta: Andi, 2004.

Norman L. Geisler, Inerrancy. Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1980

Peter Cotterell & Max Turner.   Linguistics & Biblical Interpretation.  United State of America: InterVarsity Press, 1989.

Robert B. Chisholm, Jr., From Exegesis to Exposition: A Practical Guide to Using Biblical Hebrew.Grand Rapids: Baker Books, 1998.

Robert Davidson. Al;kitab Berbicara. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.

Sakae Kubo & Walter Specht, So Many Version? Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1975. 

Sonny Zaluchu,  Biblical Theology. Semarang: Sinai Publishers, 2011.

Walter C. Kaise, JR., Toward an Exegetical Theology: Biblical Exegesis for Preaching and Teaching. Grand Rapids: Baker Book House, 1994.  

Walter C. Kaiser, Jr. Teologi Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas, 2000.

Yonky Karman. Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.

 

 

Metode

Dalam mewujudkan tujuan khusus atau hasil belajar di atas, kegiatan belajar mengajar ditempuh dengan pendekatan berikut:

Kuliah (penjelasan dari pendidik), diskusi dan tanya jawab

Diskusi kelas dan kelompok yang dipresentasikan.

Presentasi Tugas anak didik.

Tugas-tugas pendalaman.

 

Evaluasi dan Kriteria Penilaian

 

Setiap laptop sudah ada program Bibleword (boleh Bibleword  versi 7, 8 atau 9).

Interaksi kelas             = 20%.

Tugas awal      = 40%. Tugas Awal Book Review. Catatan: (1) Setiap mahasiswa silakan memilih 2 buku yang sudah terdaftar dalam Bahan Acuan Umum. (2) Book Review.  Judul:  Evaluasi Buku  “…….”, dengan susunan isi sebagai berikut:  (1) Bab I  Pendahuluan-- ringkasan, (2) Bab II Evaluasi Keseluruhan Buku, (3) Evaluasi Bagian-bagian Tertentu Buku, dan (4) Bab 4 Penutup. (3) Tugas-tugas akan dipresentasikan pada awal kuliah.

Paper penajaman        =  40%. Paper merumuskan rancang bangun teologi biblika (lihat contoh yang sudah disediakan). Catatan: (1) Panjang paper 10-15  halaman dengan  spasi 1,5 (satu setengah). (2) Semua kutipan wajib ditulis di footnote dan semakin banyak bahan sumber maka bahan paper semakin berbobot. 

 

 

Jadwal Kegiatan Belajar

 

Senin, 13 Maret 2017

16.00 – 18.00   :  Session1 Silabus dan Pengantar 

18.00 – 19.00  :  Rehat

19.00 – 21.00   :  Session 2  Hakekat Teologi Biblika

 

Selasa, 14 Maret 2017

16.00 – 18.00 :  Session 3 Dasar-dasar Pendekatan Teologi Biblika dalam perspektif  Rancang

                         Bangun antara Teologi dan Biblika.

18.00 – 19.00 :  Rehat

19.00 – 21.00 :  Session 4 Skopa Kajian Biblika: Alkitab dan Isu-isu Gospel (Power Point)

 

Rabu, 15 Maret 2017

16.00 – 18.00 :   Session 5 Dasar-dasar Biblika: Alkitab dan Isu-isu Gospel (Power Point)

18.00 – 19.00 :   Rehat

19.00 – 21.00 :   Session 6  Metodologi Biblika 1

 

Kamis, 16 Maret 2017

15.00 – 18.00 :   Session 7 Metodologi Biblika  2 (menggunakan Bibleword)

18.00 – 19.00 :   Rehat          

19.00 – 21.00 :   Session 8  Metodologi Biblika 3

 

Jumat, 17 Maret 2017

16.00 – 18.00 :   Session 9 Metodologi Biblika  4

18.00 – 19.00 :   Rehat          

19.00 – 21.00 :   Session 10  Rancang Bangun Teologi Biblika

 


 

 

 

1. Hakekat Teologi Biblika

 

Teologi adalah wacana (ilmiah) mengenai Allah atau illah-illah.  Teologi Kristen adalah keyakinan bahwa Allah bertindak atau berfirman, secara khusus dalam Yesus Kristus yang menggenapi perjanjian dengan umat Israel. Ilmu teologi adalah bidang studi ilmiah yang melatari gereja yang diutus ke dalam dunia dalam usahanya untuk memahami dan menghayati karya Allah, sesuai dengan Firman Allah yang hidup; hasil ini berarti bahwa ilmu teologi secara kritis meninjau praktis dan misi gereja dalam terang kebenaran Firman Allah.[1]

Biblika terbentuk dari istilah Yunani, biblia, yang artinya “kitab-kitab” atau “Alkitab”.  Jadi sebagai sumber teologi, Alkitab dikaji dengan  teliti supaya maknanya menjadi makin jelas.  Seluruh kemajemukan  dalam Alkitab diperhatikan dan arah utama keseluruhan  mencari amanat Alkitab.  Keadaan ini disebut “Teologi Biblika”.[2] Untuk itu, membutuhkan menggunakan metode telogi biblika adalah penafsiran.

 

Bacaan:

B.F. Drewes & Julianus Mojau, Apa itu Teologi?  Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010: 92-108.

 

Evaluasi  Buku B.F. Drewes & Julianus Mojau

“Apa Itu Teologi?”

 

Pendahuluan

Buku ini bertujuan menjelaskan isi dan metode teologi. Secara khusus akan dibahas tempat dan pembagian formal ilmu teologi di Indonesia. Ilmu teologi merupakan ilmu majemuk, satu kesatuan utuh dari bidang-bidang Biblika, Umum, Historika, Sistematika dan Pratika.

Teologi senantiasa muncul dalam situasi kondisi atau konteks tertentu sebab Firman Allah menanggapai kehidupan kita kini dan disini. Ilmu Teologi berhubungan langsung dengan spiritualitas yang hidup, memberi kekuatan, pengarahan dan kadang-kadang melalui kebingungan. Ilmu Teologi melayani damai sejahtera di bumi demi kemuliaan Allah.

 

Tempat dan Pembagian Formal Ilmu Teologi di Indonesia

Sampai tahun 1999, pendidikan di Indonesia berada dibawah Mendikbud, baru kemudian Mendiknas. Keppres 34, 1972 dan Inpres 15, 1974 mengharuskan STT menjadi Sekolah Tinggi Filsafat/Agama. Terjadi kontroversi terutama STT berlatar belakang Protestan. 1992 Menteri Agama mengeluarkan Kurikulum Standard Minimal Teologi versi Departemen Agama. Mendikbud mengeluarkan SK. 035/U/1993 dengan 2 konsekuensi adalah: (1) Ilmu Teologi tidak terdaftar dalam ensiklopedi ilmu pengetahuan di Indonesia. (2) Gelar S.Th tidak diakui di Indonesia.

Dalam keadaan semakin sulit ini ditempuh 2 macam jalan keluar yaitu: (1) beberapa sekolah STT melebur diri menjadi “Fakultas” dalam suatu universitas misalnya : STT Duta Wacana, Yogyakarta menjadi Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana; STT GPM, Ambon menjadi Fakultas Teologi UKIM; STT Tomohon menjadi Fakultas Teologi UKIT. (2) STT yang mengambil 2 program pendidikan yang berbeda : S1 Telogi berada di bawah Depdikbud dan S1 PAK berada di bawah Departemen Agama (Bimas Kristen Protestan). Contohnya: INTIM, Makassar.

 

Tiga alasan yang memicu kontroversial dalam formalitas pendidikian ilmu Teologi di Indonesia: (1) Sikap yang kurang mendukung dari gereja-gereja yang berpendapat bahwa pendidikan teologi tidak perlu “ilmiah”. Gereja hanya memerlukan orang-orang yang mau melayani dengan pengetahuan alkitab cukup. Penguasaan ajaran gereja dan keterampilan berkhotbah. (2) Pandangan pemerintah Indonesia yang menganggap sama ilmu Teologi dan ilmu Agama. (3) Kriteria ke”ilmiah”an ilmu Teologi berdasarkan epistemologi dan empirisme tidak dipenuhi yaitu: syarat obyektifitas atau bebas nilai dan keyakinan. Sehingga berdasarkan kriteria ini pendidikan Teologia tidak dapat disebut sebagai pendidikan yang ilmiah.

Setelah melalui perjuangan cukup lama akhirnya pendidikan Teologi diakui sebagai pendidikan keilmuan di Indonesia dalam keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No.: 0359/U/1996. Sejajar kedudukannya dengan ilmu-ilmu lain.

Kurikulum Nasional (Kurnas) Program Studi Teologi adalah:  (1) Mata Kuliah Umum (MKU) dengan 10 SKS. (2) Mata Kuliah Dasar Keahlian (MKDK) dengan 30 SKS. (3) Mata Kuliah Keahlian (MKK) dengan 47 SKS.

Ada 3 konsekuensi yang mengikuti : 1) Ilmu Teologi sebagai pendidikan ilmiah ditantang harus terus-menerus mengembangkan diri (metode dan isinya) sebagai sebuah ilmu pengetahuan.  Setiap orang yang belajar ilmu teologi dituntut kemampuan akademis tertentu untuk dapat menyelesaikan pendidikannya, tidak cukup hanya dengan “mengandalkan” kesalehan hidup. 2) Pendidikan teologi sebagai pendidikan keilmuan harus menjadi pendidikan yang terbuka bagi siapa saja. Dengan demikian, belajar ilmu teologi tidak selalu berhubungan dengan sikap untuk menganut ajaran atau aliran teologis tertentu.3) Setiap lembaga pendidikan teologi di Indonesia pada prinsipnya dapat memperoleh pengakuan formal atas ijazah yang dikeluarkannya.

PERSETIA menganggap Kurnas kurang bisa mencerminkan arah macam pendidikan teologi yang hendak dicapai; sehingga pada tahun 1997 dalam Study Institute di Salatiga menetapkan pembagian kurikulum versi PERSETIA sebagai berikut: (1) Rumpun 1/Rumpun Umum ; tuntutan formal pemerintah. (2) Rumpun 2/Rump;un Teologi : dasaar bangunan dan kompetensi teologis. (3) Rumpun 3/Rumpun Konteks ; keterampilan metodologis, praktik eksperimen berteologi yang berkontekstual.

 

Apa itu Ilmu Teologi?

Teologi : Theos = Allah atau ilah ; logos = perkataan/firman/wacana. Teologi = wacana ilmiah mengenai Allah atau ilah-ilah (Umum, telah dipakai orang Yunani jauh sebelum gereja Kristen).

Ilmu Teologi (Kristen) = Bidang studi ilmiah yang secara kritis melayani dan meninjau praktik dan misi gereja dalam terang kebenaran Firman Allah.

Dalam gereja Kristen teologi mula-mula hanya membahas ajaran mengenai Allah, baru kemudian menjadi lebih luas yaitu membahas keseluruhan ajaran dan praktik Kristen.

Obyek ilmu Teologi ialah hubungan dialogis antara firman Allah dan konteks manusia, dijelaskan sebagai berikut : 1) Teologi implisit/teologi primer/olah rasa: refleksi (tidak konsisten) orang percaya secara umum atas karya Allah yang diterima dalam iman. 2) Teologi Eksplisit/ Telogi sekunder/olah nalar: Ilmu Teologi yang logis, konsisten, kritis. Diperlukan untuk memahami dan menganalisis teologi implisit

 

Ilmu Teologi dan Ilmu Religi

Agama/religi adalah sikap serius dan sosial dari individu/komunitas kepada satu/lebih kekuasaan tertinggi sehubungan dengan kepentingan dan nasib mereka.

Ilmu agama/ilmu deskriptif: study tentang agama-agama secara umum dan netral.

Ilmu Teologi (Kristen): bersifat normative, mempelajari tolak ukur hidup kristiani yang benar berdasar keyakinan Allah berkarya dalam Yesus Kristus.

Manfaat dari Ilmu Religi adalah menolong kita untuk membangun perspektif dan tindakan bersama dengan penganut-penganut agama lain menghadapi isu-isu kemanusiaan misalnya kerusakan lingkungan, hak asasi manusia, keadilan social dan kemiskinan.

 

Ilmu Teologi dan Spiritualitas

Spiritus = Roh, jiwa, sikap batin. Spiritualitas Kristen = sikap batin yang berjuang untuk menghidupi Firman Allah. Spiritual-Formation (Kristen) = unsur penting dalam ilmu Teologi: adalah sikap batin yang berjuang untuk menghayati iman sesuai dengan Firman Allah yang hidup, dikerjakan melalui pergaulan teratur dengan Alkitab, pergumulan penuh kasih dengan dunia, doa yang jujur kepada Allah.

           

Sejarah Ilmu Teologi

PL dan PB merupakan dasar ilmu teologi namun bukan termasuk sejarah ilmu teologi karena teologi baru dimulai sekitar tahun 100 M.

 

Tahun 100-600: Gereja Kuno

            Tulisan-tulisan teologis-pastoral tertua yang dikarang oleh Bapa-Bapa Rasuli dalam bahasa Yunani antara lain : didakhe (ajaran) dan surat-surat Clemens (Uskup di Roma) Tahun 313 Konstatinus, kaisar Romawi menjadi Kristen sehingga tahun 391 agama Kristen menjadi agama resmi kekaisaran Romawi. Tahun 395 kekaisaran Romawi terbagi menjadi bagian Barat dan Timur; mempengaruhi gereja yang juga terbagi ke dalam “Kekristenan Barat” berpusat di Roma dan “Kekristenan Timur” berpusat di Konstantinopel/Byzantium.

Tahun 410 Romawi dijarah orang-orang Goth. Tahun 476 kekaisaran berakhir.

Bapa-Bapa Gereja Timur dalam 2 pusat budaya Helenisme: Mazhab Aleksandria (Mesir) dengan metoda tafsir alegoris, tokohnya Clemens dan Origenes; Mazhab Antiokhia dengan historis alkitab, tokohnya Yohanes Chrysostomus.

Gereja Barat, berbahasa latin dengan tokohnya Tertulianus dan Agustinus. Terdapat masalah-masalah teologis: antara lain kanon PB, keesaan Allah, diselesaikan di konsili Nicea tahun 325; Yesus Kristus yang sungguh-sungguh manusia dan sungguh-sungguh Allah ditetapkan pada konsili di Calcedon tahun 451. Pengakuan Iman Rasuli ditetapkan.

Kaum perempuan dalam kepemimpinan gereja makin dipersoalkan, tetapi beberapa perempuan Kristen sempat menonjol misalnya Eudokia (istri kaisar Romawi abad ke 5) menulis karya dalam bidang sejarah gereja.

 

Tahun 600-1500: Abad Pertengahan

Perkembangan agama Islam yang cepat sekitar tahun 611 (Nabi Muhammad menerima wahyu pertama). Tahun 1054 gereja Barat dan gereja Timur berpisah oleh perbedaan doktrin. Lahirnya Fakultas Teologi di Universitas Eropa (tahun 1200), teolog Thomas Aquinas dengan bukunya : Summa Theologiae. Sementara Ilmu Teologi dan Universitas-Universitas di dominasi laki-laki terdapat 2 tokoh perempuan yaitu : Hildegrad dari Bringen, seorang pendiri biara dan pengkhotbah dan Katarina dari Siena, perempuan yang memperjuankan kesatuan gereja dan membawa banyak orang kepada Kristus, mendapat gelar “Pujangga Gereja” dari Gereja Katolik pada 1970. Terjadi beberapa perang salib yang memperebutkan wilayah-wilayah bagi para peziarah masuk Yerusalem serta penaklukan gereja Timur kepada kekuasaan Paus; upaya ini gagal. Tahun 1453 Konstatinopel direbut Kesultanan Ottoman, seorang Turki beragama Islam.

 

Tahun 1500-1700: Reformasi Gereja

Terjadi banyak perubahan di bidang politis dan ilmu pengetahuan : Coppernicus (bumi mengelilingi matahari); Columbus mendarat di benua Amerika.Kesatuan Gereja Katolik mengalami kegagalan muncul reformasi gereja: sola gratia, sola fide, sola scruptura oleh Martin Luther. Tokoh yang lain adalah Yohanes Calvin yang menyusun sistematika tentang iman Kristen menurut pengertian reformasi yaitu: Institutio. Teolog perempuan (walaupun langka): Jane Lead dari Inggris menyatakan pertemuan langsungnya dengan hikmat ilahi dan menerbitkan karangan teologis dan Theresa Avila (1515-1582) Teolog perempuan dari Spanyol. Fransciscus Xaverius (1508-1552) yang PI sampai ke Ambon, Ternate, Halmahera. Kontra-reformasi dari Gereja Katolik didukung oleh ordo baru yaitu : Ordo Yesuit (1540) yang sangat serius mempertahankan ajaran Katolik. Tahun 1650 terjadi peperangan antara wilayah Katolik dan Protestan diikuti dengan gereja-gereja Lutheran dan Calvinis yang makin menekankan perbedaan mereka terutama doktrin predestinasi rangkap dari Calvinis ditolak oleh para teolog Lutheran.

Penekanan pada logika manusia telah memunculkan gerakan Pietisme yang menekankan kesalehan nyata dalam hidup orang Kristen. Tokohnya : John dan Charles Wesley (1703-1791) yang menjadi cikal bakal gereja Methodist.

 

Tahun 1700-1960 : Zaman Modern

Pencerahan (1700-1800); perubahan kebudayaan politik dan kehidupan gereja. Akal menjadi dewa yang baru, ilmu Teologi dipengaruhi oleh paradigma ini sehingga muncul metode historis kristis terhadap kebenaran Firman Tuhan. Teolog Jerman, Friedrich D.E. Schleiermacher 1768-1834 mempertahankan peranan perasaan dalam iman dan teologi Kristen. Akar iman bukan dalam akal melainkan dalam kesadaran religius.

 

Pekabaran Injil (1800-1900)

Realitas penjajahan membawa juga gerakan zending atau PI ke benua lain (jajahan). Fokus : Pertobatan pribadi dan pietisme. Lahir gerakan kaum perempuan, The Woman’s Bible oleh Elizabeth Cady Stanton di Amerika, Dr. Anna Cooper perempuan kulit hitam yang memperjuangkan injil untuk kulit hitam.

Karya Karl Barth 1886 – 1968, 13 jilid Dogmatika Gereja melawan fasisme dan sosialisme nasional Hitler.

Paul Tillich 1886-1965, Teolog Amerika : Systematic Theology yang menekankan metode korelasi antara manusia dan penyingkapan ilahi.

 

Tahun 1960-saat ini : Ilmu Teologi di Dunia ke-3

Dunia ke-3 = Negara-negara berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Akhir periode penjajahan politik Indonesia : 1945. Terjadi peristiwa-peristiwa penting : Konsili Vatikan II 1962-1965 : sikap keterbukaan Gereja Katolik Roma terhadap eksistensi agama-agama lain. Lahirnya Teologi Feminis (tahun 1960 an) (pembebasan kaum perempuan) kebangkitan di Amerika Utara. Teolog Feminis dari Indonesia : Sientje Merentek-Abram dan Marianne Kattopo (bukunya : Berikanlah Aku Air Hidup itu) Teologi Hitam James H. Cone dengan bukunya : A Black Theology of Liberation di Amerika Latin, menyatakan bahwa Allah menggabungkan dirinya dengan orang hitam. Sebab itu Yesus dapat disebut Black Messiah.

Teologi Konstekstual berkembang di periode ini.

Pertemuan kekristenan dengan penganut agama2 lain secara umum menimbulkan pandangan teologis sebagai berikut:

Pandangan eksklusif: memandang orang bukan Kristen sebagai manusia yang masih diluar karya penyelamatan Allah.

Pandangan inklusif: mengakui bahwa penganut agama2 lain menerima tempat didalam karya penyelamatan. Pandangan akan “Kristus yang kosmis”

Pandangan pluralis: Yesus Kristus adalah salah satu diantara perantara karya penyelamatan Allah. Diluar Kristus ada perantara lain yang juga membawa karya penyelamatan Allah.

 

Pergumulan Orang Miskin

Muncul di Asia dimana Teologi berusaha meleburkan diri dengan perjuangan orang miskin:

Teologi Minjung di Korsel 1979 (Minjung, bhs korea = rakyat yang tertekan dan menderita). Teolog perempuan Chung Hyun Kyung berani menuangkan makna Kristus Yesus sebagai hamba dan Tuhan dengan memakai unsur konteks Asia dan Yesus ebagai “Ibu” yang peka dan berbelas kasihan. Yesus juga sebagai “Pekerja pabrik” dan “makanan bagi rakyat lapar”.

Teologi Dialit di India 1980 an. (Dialit = terpecah, tertindas) mewakili lapisan masyarakat paling rendah di India.

Di Indonesia : Teologi Kesimbangan yang memperjuangkan keseimbangan antara orang kaya dan miskin berdasarkan 2 Korintus 8 : 13 – 15, dicetuskan oleh S.A.E. Nababan dalam konferensi Protestan dan Katolik “Membangun Manusia Pembangun”, 1970.

Berkembang Teologi Naratif atau Teologi Cerita, penguraian teologinya memakai metode menceritakan. Teolognya a.l.: Choan-Seng Song dari Taiwan, Kosuke Koyama dari Jepang.

Lahirnya gerakan kekristenan di Asia a.l. East Asian Christian Conference 1959 yang menjadi Christian Conference of Asia pada 1973; Perhimpunan Pendidikan Teologi di Asia Tenggara – ATESEA ; Perhimpunan Seni Kristiani Asia 1978.

Kalangan Oikumenis dalam kelompok World Council of Churches; Kelompok Karismatis, Pentakostal, Injili, semuanya berkembang dengan segala Variannya.

 

Kesimpulan

Ilmu Teologi Barat tidak lagi dianggap sebagai teologi yang universal

Pusat pergumulan teologis tidak lagi berupa pergumulan tradisi-tradisi Kristen namun hal memberitakan Kabar Baik

Pergumulan Teologis bersangkut dengan keseluruhan hidup kita. Kabar Baik bermakna individual dan sosial kemasyarakatan yang konkrit

Berteologi kontekstual berarti oikumene dan universalitas Gereja Kristus, Gereja yang Kudus dan am.

 

Perkembangan Pendidikan dan Ilmu Teologi di Indonesia

Periode 1 abad ke 19 : Titik permulaan pendidikan teologi di Indonesia walaupun belum di dalam bingkai pendidikan formal. Tahun 1821 Joseph Kam dan Roskott menyelenggarakan pendidikan untuk Guru Injil di Ambon; mendorong terbentuknya STOVIL di Ambon dan Tomohon sebagai wadah pendidikan Teologi yang formal. Sekolah Guru di Sumatera Utara, Dan usaha-usaha pendidikan teologi nonformal terjadi di Jawa Tengah, Poso, Batak, dll.

Periode 2 abad ke 20 : Tahun 1902, STOVIL dibuka di Kupang. Pendidikan teologi di Yogyakarta, 1906, Bale Wijata di Malang tahun 1927, STT di Jakarta Tahun 1934, Sekolah Pendeta Makassar di Soe, Timor tahun 1948.

Tahun 1960 an bangkitlah STT di hampir Sinode Gereja di Indonesia; 27 Oktober 1963 lahir PERSETIA.

ATA dengan SAAT di Malang, I3 di Batu. 1981 PASTI berdiri.

Bangkit semangat oikumenes serta kesadaran kebangsaan di kalangan gereja-gereja di Indonesia; Usaha penerbitan buku nyanyian “Mazmur dan nyanyian Rohani” oleh I.S. Kijne; LAI berdiri tahun 1954. 1984 YAMUGER menerbitkan Kidung Jemaat.

Muncul kesadaran kritis terhadap pendidikan teologi; perhatian serius terhadap teologi feminis dan peranan perempuan (1995 terbentuk PERWATI); HAM dan masalah lingkungan hidup dipandang sebagai masalah teologis; kesadaran bahwa ilmu teologi berbeda dengan ajaran resmi gereja.

Periode 3 abad ke 21 – sekarang : isu-isu teologis a.l : kemiskinan, ekonomi global, ideologi, demokratisasi, kebangkitan agama-agama non Kristen. Hubungan dialogis antar agama diprediksikan menjadi pergumulan teologis yang dominan dalam pendidikan teologi di Indonesia. Metode pendekatan kontekstual masih akan mendominasi orientasi bertelogi di Indonesia.

 

Pembidangan Ilmu Teologi

Bidang Biblika. Materi pokok: Alkitab, sumber ilmu teologi. Metode ilmu sastra. Bidang Umum. Materi pokok: konteks konkrit jaman sekarang. Metode sangat beraneka ragam, tergantung konteksnya. Bidang Historika. Sejarah, ilmu sejarah. Bidang sistematika : makna Firman Allah yang kontekstual. Metoda :kontekstual. Bidang Praktika: mediasi empiris Firman Allah dan  manusia modern, dengan metoda pendekatan.

Pembidangan Protestan Calvinis : Bidang Bibliologis, Bidang Eklesiologis, Bidang Dogmatis, Bidang Diakonologis. “Konteks” tidak mendapat tempat khusus dalam berteologi.

Pembidangan Katolik Roma : Teologi Dasar/Fundamental, Tafsir Kitab Suci, Teologi Dogma: Kristologi, Eklesiologi, Sakramen-Sakramen, Teologi Praksis.

Hubungan antar Bidang : Kontekstualisasi yaitu proses penggabungan amanat Alkitab dengan situasi kondisi kita (=indigenisasi,inkulturasi). Pernyataan Theological Education Fund/TEF: kontekstualisasi lebih dari pembribumian, ada yang autentik dan palsu, bersifat dinamis, memiliki prioritas-prioritas, dan bukan isolasi bangsa dan budaya, tetapi membantu solidaritas semua orang dalam ketaatannya kepada Tuhan.

 

Alkitab dan Konteks

Hubungan dialektis antara Alkitab yang adalah bidang Biblika dan Konteks yang adalah bidang Umum/seluruh dunia luar; ada 2 aspek:

Alkitab memberi perspektif Kerajaan Allah terhadap konteks. Ini yang menjadi fokus pergumulan.

Konteks ikut menentukan pemahaman manusia terhadap Alkitab.

Alkitab, Konteks dan Historika : Gerakan dialogis Alkitab dan Konteks  terjadi terus menerus sepanjang jaman, dengan perkembangan yang tidak selalu positif dan linier. Pergumulan masa lalu harus menjadi pelajaran kita pada masa kini.

Alkitab, Konteks, Historika, Sistematika dan Praktika : Proses timbal balik kegiatan Teologis lewat masalah Praktika atau Sistematika  dapat dimulai dari konteks ke Alkitab atau sebaliknya. Melalui Sistematika dan Praktika terjadi konfrontasi ataupun konfirmasi antara Alkitab dan konteks. Kewibawaan Firman Allah harus tetap dipertahankan dalam semua eksistensi kehidupan .

Teologi Kontekstual bukan merupakan pokok satu –dua mata kuliah tapi harus menentukan dan mengarahkan segala bidang studi ilmu teologi. Peranan Hermeneutik (Metode penerapan teks dari jaman dahulu bagi situasi kini) sangat penting. Tujuan akhir pendidikan ilmu teologi adalah “mengarahkan kaki kita kepada jalan damai sejahtera” (Luk. 1 : 79).

                                               

Evaluasi Keseluruhan Buku

Buku ini menjelaskan pengertian mendasar dan sesungguhnya dari istilah “teologi” dimana secara umum atau “awam” istilah ini telah menimbulkan kemajemukan interpretasi dan pemaknaan yang membingungkan kalangan umum bahkan para warga dan aktivis gereja.

Buku ini juga menelusuri sejarah perkembangan teologi dan konteks pendidikan teologi di Indonesia yang akhirnya harus selalu dimengerti sebagai sebuah proses kontekstualisasi yang berkesinambungan dari waktu ke waktu.

Sistematik penulisan yang jelas, bahasa yang mudah, edukatif dapat memelihara antusias pembaca sampai bab terakhir. Buku ini mengubah pengertian tentang ilmu teologi yang semula bagaikan pemandangan panorama laut dalam sebuah akuarium yang keruh menjadi pemandangan panorama laut asli yang sangat jernih melalui penyelaman.

Buku ini menyadarkan akan “ancaman yang serius” jika orang percaya tidak mengarahkan pikiran teologisnya dengan benar dan menganggap berteologi itu bukan bagiannya.

 

Evaluasi Bagian-bagian Tertentu Buku

Tujuan penulis yang bersemangat menyajikan dengan utuh kejelasan tentang ilmu teologia (hal. 1, Tujuan buku ini) diharapkan berhasil maksimal bagi setiap pembelajar yang membacanya. Bahwa tujuan akhir adalah menaruh ilmu teologi sebagai sarana terbitnya dan “bertumbuhnya spiritualitas yang hidup” (hal. 2) dan harus membawa pembelajar kepada ortopraksis, bukan sedekar ortodoksis (hal. 163). 

Mengenai MK Rumpun Umum (hal. 11) memang merupakan pemenuhan akan tuntutan formal dari pemerintah RI. Jauh lebih daripada tuntutan formal saja, ada signifikansi yang besar bagi orang Kristen mengenai pengetahuan sejarah dan budaya dan kesadaran nasional NKRI; yang di dalam faktanya telah terabaikan bagi para generasi muda “Kristen” saat ini. Karena sesungguhnya teologi senantiasa muncul terkait di dalam konteks tertentu (Bangsa dan Negara Indonesia).

 

Penutup

Para Pembelajar Teologi di Indonesia sangat dianjurkan memahami buku ini. Para Pengajar Teologi akan mendapatkan manfaat yang besar yaitu kejelasan dan referensi yang sangat penting untuk segala Mata Kuliah yang diampu. Melalui buku ini, gereja diharapkan tergugah terhadap pembentukan spiritual yang kontekstual.

 

 

Sonny Zaluchu,  Biblical Theology. Semarang: Sinai Publishers, 2011.

 

EVALUASI BUKU  Sonny Zaluchu Biblical Theology

 

Pendahuluan

            Buku ini ditulis sebagai usaha untuk meramu metodologi di dalam keilmuan teologi biblika secara sistematis dalam semangat kesetiaan kepada Alkitab sebagai firman Allah yang utuh, berwibawa dan tak dapat salah.

 

Evaluasi  Isi Buku secara Keseluruhan

Teologi biblika melihat Alkitab sebagai sebuah kesatuan yang tidak terpisahkan di dalam keragaman para penulis dan kitab-kitabnya. Setiap bagian Alkitab memiliki arti dan hubungan dengan bagian lainnya. Semua tema di dalam Alkitab dijelaskan di dalam perspektif Alkitab.

Sudut pandang terpenting mengenai teologi biblika adalah pendekatan terhadap Alkitab sebagai wahyu Allah dan sifat innerancy-nya. Alkitab berisi pewahyuan Allah kepada manusia sebagai wujud penyataanNya yang tak dapat salah. Teologi Alkitab menerima PL dan PB sebagai pewahyuan Allah yang progresif dan merupakan wahyu itu sendiri. Disebut progresif  karena Allah tidak menyatakan diriNya sekaligus dan seketika, tetapi berlangsung di dalam sejarah manusia dalam rentang waktu yang sangat lama. Dalam sudut pandang ini, teologi biblika mencoba membeberkan bagaimana Allah mengambil inisiatif untuk mengungkapkan siapa Dia dan apakah yang menjadi rencanaNya di dalam ruang dan waktu. Teologi biblika bertugas untuk mengungkap siapakah Allah yang telah mewahyukan diriNya itu sehingga manusia memiliki pengetahuan dan pengenalan yang benar akan Allah dan melalui firman itu manusia mengalami transformasi.

 

Evaluasi Bagian-bagian Isi Buku

Buku ini disusun dalam tujuh bagian. Dua bab pertama meletakkan dasar teologi biblika. Definisi, kedudukan teologi biblika di dalam hubungannya dengan disiplin ilmu teologi lainnya, sudut pandang keilmuan dan metodologi teologi biblika diuraikan pada bab pertama. Sedangkan sejarah lahirnya teologi biblika sebagai sebuah disiplin ilmu dan karya serta teolog yang terlibat di dalamnya dijelaskan secara komprehensif di dalam bab dua. Dari dua bab tersebut diperoleh gambaran mengenai apakah yang menjadi tujuan dan bagaimana cara kerja disiplin ini di dalam membangun teologi yang alkitabiah.

Bab berikutnya diberikan uraian deskriptif yang lebih terfokus mengenai pendekatan di dalam membangun teologi dari PL (bab tiga) dan PB (bab lima). Dua tema penting di dalam teologi PL yakni rencana penebusan  Allah (redemptive) dan perjanjianNya dengan manusia (covenant) dibahas secara khusus di bab empat. Dari pembahasan ketiga bab ini diperoleh gambaran mengenai bagaimana teologi biblika menemukan hal-hal penting di dalam tema tersebut.

Dua bab terakhir adalah soal Alkitab. Teologi biblika bekerja dengan memandang Alkitab sebagai sumber utama dan satu-satunya. Dalam kerangka disiplin ilmu ini, Alkitab dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkesinambungan dari PL hingga PB. Berbagai prinsip penting tentang kesatuan Alkitab dijelaskan dalam bab enam. Sedangkan bab terakhir berisi mengenai sikap dan pandangan teologi biblika di dalam menghadapi berbagai bentuk kritik Alkitab yang terbukti sangat mempengaruhi cara pandang para teolog di dalam membangun teologinya.

Penutup

 

            Sesuai dengan judulnya, buku ini sangat biblika. Di dalamnya tersusun secara sistematis sehingga pembaca dapat memahami esensi dari teologi biblika. Hal menarik lainnya adalah usaha penulis untuk melihat kesatuan Alkitab dan keterpaduan tema tentang Perjanjian Allah dengan umat-Nya.

Sangat setuju dengan pendapat penulis bahwa dalam sudut pandang teologi biblika, apapun perangkat dan pendekatan yang dipakai dalam mempelajari Alkitab, eksegesis dan hermenetiknya diarahkan untuk menemukan apa yang ingin disampaikan oleh Alkitab kepada pembacanya tanpa mengganggu gugat kewibawaannya sebagai sumber penyataan Allah dan penyataan itu sendiri. Sejauh kritik tidak merusak kredibilitas Alkitab, maka teologi biblika terbuka untuk menerimanya.

 

 

 

 

 

 

John Owen, Biblical Theology: The History of Theology from Adam to Christ. Grand Rapids: Soli Deo Gloria Publications, 2000.

John Owen (1616-1683) was an early Puritan advocate of Congregationalism and Reformed theology. Educated at Queen's College, Oxford, he served under the Puritan government of Oliver Cromwell as personal chaplain to Cromwell and later as vice-chancellor of Oxford. A contemporary of John Bunyan, Owen's extensive body of work includes some twenty-eight books on theological and devotional themes. His later years were spent in pastoral ministry where he served as the leading spokesman for the Protestant Nonconformists.

To review this book in detail would require much more space than is allotted here. Biblical Theology covers such a broad topic in such great detail, that pretty much any review this size will fail to do Owen justice. So let us cover the very basics:

Biblical Theology is not necessarily a systematic theology as the title might suggest. Instead, it is the history of theology, rather than simply the expounding of theology. In a sense, Owen seems to be targeting a much wider audience than simply Christian believers, and there is really no direct, systematic presentation of biblical doctrine, per se. Instead, this work deals with how God has revealed Himself throughout human history, and how humans have or have not responded/interpreted this revelation. Thus, this history of theology, as Owen demonstrates, is how humans, both regenerate and unregenerate, have formed views of God (and ourselves), and have dealt with His various ways of revealing Himself down through history.

So in this examination of theology, Owen surveys a very wide field of philosophy, examining what kind of ‘theology’ man has come up with in various ages. As a reader, we see here how unbelievably well-read Owen was in philosophy, not to mention his astounding grasp of history. Owen quotes the writings of the philosophers, both Christian and non-Christian, protestant and Catholic, and even Jewish and Muslim, dozens and dozens of times. For example, Plato is cited over 2 dozen times, as is Cicero, Aristotle, Augustine, etc.

So beginning with Adam, when for thousands of years there was no instituted ‘church’, just families orally passing down the theology of God, Owen examines each age of the church in relation to theology formed, and does so in the order below:

The Natural Theology of the First Man

The Fall and loss of Natural Theology

The Insufficiency of Natural Theology for Salvation

Natural Theology Under Total Depravity (61 pages)

The Renewal of Theology After the Fall

At this point, Owen demonstrates the first ‘reformation’ of the church, which ends up happening after each stage of God’s revelation. That is, the theology which God revealed to man after the fall, being to individuals and families only, and orally, not written, was insufficient in sustaining the Church, and thus reformation (cleaning out) and further revelation took place. This theme of revelation-apostasy-reformation-further revelation continues down through human history, as Owen brilliantly demonstrates. To give one good example, the flood was a ‘reformation’ of sorts due to man’s rebellion to how God had revealed Himself beforehand, and after the flood God purifies His church (indeed, the entire world) through Noah’s family, and He gives them further revelation/theology post-flood to help curb the wickedness. This pattern is demonstrated by Owen to take place in various ages from Adam to its final culmination (and full reformation) in Christ and Christian theology.

One other note, Owen takes several ‘digressions’ as he calls them, as particular topics come up that might influence a reader’s opinion one way or another. Owen simply stops right in the middle of his argument and deals with these digressions in fairly extensive length. These include a digression on Universal Grace, on Bellarmine’s Roman Notes of The Church, The Origin of Writing (very fascinating), The Antiquity of Hebrew, The Hebrew Vowel-Points, The Septuagint Greek Version, The Origin of the Targums, Jewish Rites and Christianity, and Philosophical Corruptions of Theology.

To conclude with a few personal notes here:  The book is close to 1000 pages with the introductions and appendix. It is a very tough read because of how detailed and long-winded Owen can be at times. This book is not meant for the weak or the wondering mind. Only the serious student will get through it, with others giving up within 200 pages or so. It is not especially entertaining or practical reading at times, and thus I would not recommend it to anyone but who is disciplined in. 

 


 

 

 

2. Proses Berteologi

 

Proses teologi:  Memahami nilai-nilai biblika (membaca ayat), diintegrasi dengan pengetahuan, maka lahirkan sebuah teologi.

 

Faktor-faktor yang Mempengaruhi  Berteologi

Faktor-faktor yang mempengaruhi sebuah teologi: Sejauhmana seseorang memahami biblika: semakin menguasai biblika maka semakin berteologi berdasarkan biblika dan semakin sedikit mengusai biblika, maka berteologi berdasarkan pengalaman.

 

 

Christoph Barth & Marie-Claire Barth-Frommel, Teologi Perjanjian Lama 1-3. 2 Jilid. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.

 

 

EVALUASI BUKU

Christoph Barth & Marie-Claire Barth-Fommel

TEOLOGI PERJANJIAN LAMA I 

 

Pendahuluan

            Buku Teologi Perjanjian Lama ini sudah digunakan selama 30 tahun di sekolah tinggi teologi dan seminar agung sebagai buku pegangan. Isi bagian pertama membangkitkan semangat sejumlah besar mahasiswa untuk memahami Alkitab. Christoph Bart (1917-1986) mencintai Perjanjian Lama sejak masa studinya. Ia memahaminya sebagai suatu kor yang memuji Allah dengan suara berbagai saksi,dan sebagai petunjuk untuk hidup menurut kehendak Allah. Ia tidak puas dengan metode yang mengikuti jalan katekisasi.Ia mengembangkan usul Gerhard Von Rad agar pengakuan iman orang Israel, sebagaimana terdengar dalam ibadah dan tampat dalam susunan kitab-kitab Perjanjian Lama, menjadi pola “pemahaman” dengan saksama.

            Ia mengembangkan bahan buku ini sejak pertama kali mengajar di Banjarmasin (1948-1952), lalu di STT Jakarta (1953-1965), sebagai dosen tamu sampai 1983, dan guru besar di Jerman.Buku ini menjadi karya pokok Christoph Bart dan ditulis dalam bahasa Indonesia bagi mahasiswa teologi dan peminat lainnya. Untuk menuliskannya, ia menerima tugas mengajar di Jerman yang memiliki perpustakaan yang lebih lengkap.Ketika sakit parah, ia menugaskan istrinya menulis bagian terakhir berdasarkan catatannya.

            Buku ini ditujukan kepada suatu jemaat yang luas; kepada semua orang yang “ingin tahu” mengenai isi, arti dan pengaruh kitab-kitab perjanjian Lama.Tidak terbatas kepada para “pelayan firman Allah” atau kepada para calon pendeta dalam pengertian yang sempit saja. Di samping memberi informasi itu, buku ini mempunyai suatu maksud yang mungkindianggap berbahaya.Tidak hanya memuat cerita-cerita dari masa lampau, tetapi – terlindung di dalam cerita-cerita itu – suatu berita yang dinamis, yang sanggup mengayakan keyakinan-keyakinan dan kepercayan-kepercayaan yang dianggap suci.Tadinya berita itu ditujukan kepada bangsa Israel, tetapi sekarang kitapun boleh mendengarnya. Supaya dapat menjadi suatu berkat bagi masyarakat di sekitarnya.Tantangan inilah yang dimaksudkan oleh buku ini untuk umat Kristen di Indonesia.Pembaca baiklah memusatkan perhatiannya pada pokok-pokok minatnya masing-masing, kemudian juga pada pasal-pasal lainnya.

 

Apakah Teologi Perjanjian Lama itu?

 

Apakah Guna Teologi Biblika?

            Firman Allah memberikan hidup kepada kita sebagai gereja Tuhan.Namun, kita sadar bahwa Firman itu baru “kena” bila terjadi pertemuan antara Tuhan dan kita dengan perantaraan Roh kudus.Untuk memahami Firman yang menghidupkan itu secara mendalam, kita perlu mengenal berita Alkitab.Itulah sebabnya gereja bertanggung jawab meneliti Alkitab secara terus-menerus dan mencari makna beritanya dalam situasi dan kondisi di mana ia hidup.Hasil penelitian ini dibutuhkan baik oleh mereka yang bertugas dalam gereja secara professional maupun oleh mereka yang melayani sebagai relawan dan aktivis, dan oleh setiap orang yang ingin mendalami iman Kristen, agar kesaksian mereka tepat.

 

Apakah yang Dimaksudkan dengan Teologi Biblika?

            Alkitab sebenarnya, melainkan suatu perpustakaan dengn 39 kitab dalam Perjanjian Lama dan 27 kitab dalam Perjanjian Baru. Bahan-bahan itu ditulis dalam tiga bahasa (Ibrani, Aram dan Yunani).Kita membacanya dalam terjemahan yang senantiasa perlu disempurnakan sesuaai dengan naskah asli dan perkembangan bahasa kita.Antara bahan tertua dalam Alkitab dan bahan termuda terentang waktu 12 abad. Artinya, bahan-bahan itu berkembang dalam budaya-budaya kuno yang berbeda dengan budaya kita,

            Pada masa awal Kekristenan, para rasul dan penginjil mengenal Yesus sebagai Anak Allah dan Mesias, sebagai Tuhan dan Juruselamat, sebagai Gembala dan pemberi hidup atas dasar Alkitab orang Yahudi yang kita namakan perjanjian Lama.Di dalamnya mereka belajar mengenal Kerajaan Allah, panggilan umat Israel untuk menjadi berkat bagi semua kaum di muka bumi, dan undangan agar orang dari segala bangsa menerima karunia dan kehendak Allah yang Esa. Para Penginjil dan Rasul yakin bahwa di dalam Yesus tujuan janji-janji Allah digenapi (bnd. Luk.22:44-47; Yoh. 5:39-40; Kis. 2:14-36; 3:12-26; 7:1-53; Ibr. 11). Kitab Suci orang Yahudi menjadi alat utama Tuhan tatkala Ia membangun umat baru yang terdiri dari warga segala bangsa. Kini kita pun menelitinya untuk mengetahui siapakah Yesus dan apakah kehendak Allah demi dunia yang adil dan manusiawi.

            Dalam arti inilah teeologi Perjanjian Lama terarah pada Firman Allah yang menjadi darah-daging manusia dalam Yesus kristus. Dia berwibawa akan kesaksian yang mempersiapkan kedatangan-Nya dan memperlihatkan makna penderitaan sebagai Orang benar dan makna kebangkitan-Nya. Kitab Suci umat Kristen memiliki dua bagian: Perjanjian lama menuju kepada Yesus Kristus dan Perjanjian Baru yang menyaksikan kedatangan-nya. Yesus Kristus sendiri berdiri di tengah-tengah keduanya dan menyertai umat-Nya.

 

Kesaksian Perjanjian Lama

            Sekalipun Alkitab satu, sejak dua abad lalu umat Kristen biasa meneliti kedua bagian secarra sendiri-sendiri untuk memahami sumbangan khas masing-masing, tanpa bermaksud melepas satu dari yang lain.

            Suara saksi-saksi Perjanjian Lama berasal dari zaman yang berbeda=beda, demikian pula tekanan dan spiritualitasnya, namun semuanya terarah kepada Tuhan yang Esa. Meneliti Perjanjian Lama berarti terjun ke dalam dunia yang majemuk dan memungkinkan dialog antara saksi-saksi yang berlainan, namun semuanya memberitakan karya dan Firman Allah dari sudut pandang masing-masing.

            Kiasan Yvon Gebara, biarawati Amerika Latin itu, agaknya dapat menolong kita. Ia menggambarkan “kebenaran: itu bukan sebagai pohon yang besar dengan akar tunggal. Sebaliknya, “kebenaran” lebih dilihat sebagai ekosistem, yang di dalamnya berbagai tumbuhan, hewan, dan mikro-organisme saling menunjang demi kehidupan bersama di tengah lingkungan besar itu. Demikianlah juga teologi biblika, yang hendak memperhatikan  semua kesaksian yang terdapat di dalam kitab Suci dan memperhadapkannya pada situasi untuk menolong umat Kristen dan masyarakat bertumbuh menurut kehendak Allah. Tanpa tantangan manusia tidak dapat menjadi bijaksana dan masyarakat tidak menjadi matang. Tentu ada batasnya, yakni apa yang bertentangan dengan kehendak Allah harus ditolak. Batas itu ditentukan Allah dan digumuli bersama di bawah bimbingan Roh-Nya.

 

Teologi Perjanjian Lama dan Cabang Teologi Lainnya

            Teologi biblika bersandar pada ilmu tafsir yang meneliti ayat demi ayat, perikop demi perikop dan unit yang lebih luas seperti kitab atau karya suatu mazhab dari sudut bahasa, bentuk, isi dan konteks.Ia meneliti naskah yang terdapat dalam kanon yang wibawanya diakui gereja. Teologi biblika juga berhubungan dengan ilmu teologi sistematika (dogmatika dan etika), yang memperingatkannya akan persoalan yang dipikirkan umat Kristen berabad-abad lamanya daan yang sedang aktual. Teologi Biblika juga berhubungan dengan teologi pratika yang menyampaikan hasilnya kepada jemaat melalui pembinaan, pemberitaan dan pengajaran, serta dalam usaha diakonia sosial dan politis.Seperti semua ilmu, teologi biblika mempunyai suatu fungsi kritis yang dijalankan dalam dialog dengan gereja, tradisinya, dan persoalan yang dihadapinya.

 

Sejarah Ilmu Teologi Perjanjian Lama

 

Ilmu Teologi Perjanjian Lama pada Masa Lampau

            Ilmu Teologi Kristen pada umumnya telah mempunyai sejarah yang sama lamanya dengan sejarah umat Kristen itu sendiri. Usaha penafsiran Kitab Suci, usaha pemikiran dan penguraian tentang isi pemberitaan Kristen. Dan usaha pengenaan pemberitaan itu pada suasana di tiap-tiap waktu dan tempat – ketiga jurusan utama dari ilmu teologi inilah yang selalu dianggap sebagai keperluan dan syarat mutlak bagi kehidupan dalam abad-abad yang menyusul kemudian ( 200-600 M). Harus dicatat adanya upaya-upaya  yang sungguh-sungguh di bidang penasiran kitab Suci Perjanjian Lama. Ada dua aliran penafsiran yang menonjol pada masa itu: pada satu pihak ada mazhab Antiokhia dengan cara penafsiran yang lebih bersifat “historis” dan teliti, di pihak lain ada mazhab Aleksandria dengan cara penafsiran yang bersifat “alegoris” (mengutamakan arti kiasan). Ternyata, arah penafsiran yang terakhir inilah yang lebih banyak meninggalkan pengaruhnya terhadap para penafsir Kitab Suci pada abad pertengahan.

            Suatu kemajuan besar terjadi melalui gerakan Reformasi pada abad ke-16 ketika kedaulatan Kitab Suci atas gereja mulai ditemukan kembali. Abad itu menjadi saksi dari perkembangan yang besar di dalam bidang penelitian Kitab suci sehingga Perjanjian Lama pun mulai bersuara dengan lebih bebas. Kitab Kejadian, Yesaya, dan Mazmur secara khusus memainkan peran penting di dalam pembaruan gereja pada masa itu.

 

Zaman Renaisans, Rasionalisme, dan Romantik

            Pada zaman Renaisans (abad ke-15 dan abad ke-16) dunia Barat mengangkat lagi warisan budaya Yunani-Romawi (dengan minat akan naskah kuno dalam bahasa asli, yang juga menjadi factor pendorong penerjemahan Alkitab dari bahasa asli ke dalam bahasa rakyat). Manusialah – bukan lagi Allah – yang menjadi inti dan ukuran segala sesuatu. Seabad kemudian dengan Rasionalisme, akal budi dipahami sebagai kuasa yang dapat memahami dan mengatur dunia.Ilmu dan teologi mulai berkembang.Dalam zaman Romantik, orang menghargi kembali perasaan dan mata mereka terbuka terhadap perbedaan budaya dan agama.

            Akibat perubahan budaya ini adalah bahwa Alkitab dipandang sebagai karya budaya kuno yang harus diteliti lepas dari ajaran gereja, tanpa memperhitungkan tindakan dan wibawa Allah.Sejumlah ahli mengikuti jalan itu, misalnya P.G.C. van Coelln (1836). Mencari suatu sintetis dan menemukannya dalam “kerajaan Allah” sebagai lambing agama yang mengatasi agama suku yang  partIkular dan – dengan perantaraan nabi besar – tiba pada suatu etika yang bernada universal.

            G.F.Oehler mengangkat suatu pemikiran yang bertolak dari  Penciptaan. Menurutnya, dari penciptaan itu Allah mengembangkan secara organis sejarah keselamatan. Melalui ikrar dan janji-Nya kepada Abraham (agama suku-suku Israel), ikrar-Nya dalam taurat kepada Musa (agama etis yang mencari keadilan), hingga penggenapan janji-Nya dalam Yesus Kristus (agama kasih yang universal), Allah mengarah pada penciptaan langit dan bumi baru.Dengan demikian, Oehler menekankan keutuhan Alkitab.

            Menurut W.M.L. de Wette, manusia terbuka ada kenyataan rohani. Melalui lambing dan mite, manusia mulai mengembangkan agama.Dalam perpaduan antara keyakinan dan perasaan, manusia berkembang menuju kerajaan di mana Allah memerintah.Kita melihat bahwa paham filsafat dan agama menentukan bagaimana Alkitab dimengerti, sebagaimana dahulu ajaran gereja menjadi faktor penentu, karena pada periode itu warga jemaat tidak berminat atas teologi yang kurang relevan dalam kehidupan nyata.

 

Perkembangan pada Abad ke-20

            Pada abad ke-20, setelah Perang Dunia I, teori evolusi dan kepercayaan akan kemajuan runtuh dan dicarilah suatu teologi biblika yang menyaksikan karya dan Firman Allah yang hidup. Jalan dibuka dari dua segi, Albrecht Alt dan Martin Noth, dua pakar sejarah Alkitab yang memperlihatkan bahwa keterikatan kepada Tuhan yang hidup merupakan inti riwayat kedua belas suku Israel. Lalu, Karl Barth bertolak dari Allah yang berbeda dari segala bayangan filsafat dan agama, yang hanya dapat dikenal melalui kesaksian Alkitab.Th.C.Vriezen (1954, bahasa Belanda) melihat intinya dalam persekutuan antara Allah dan umat-Nya. Edmond Jacob mengutamakan Allah, karya, dan kemenangan-Nya yang terakhir (1955, bahasa Perancis). Namun usaha yang paling menarik dikerjakan oleh Gerhard von Rad (1960).

 

Evaluasi Isi Buku

            Allah yang mengikat erjanjian dengan umat-Nya adalah juga Pencipta.Ia menciptakan karena Ia hendak bersekutu dengan manusia dan memilih Abraham dan keturunannya untuk menjadi berkat bagi segenap kaum di muka bumi. Dapat disimpulkan bahwa pokok penciptaan diangkat dari sudut pandang umat yang telah berhubungan mesra dengan illah dalam perjanjian yang Ia ikrarkan. Berdasarkan sudut inilah pokok penciptaan dilihat sebagai penjelasan dan pelengkap dari pokok inti, yaitu penciptaan umat Israel itu sendiri.Penciptaan hendaknya dipahami dengan bersandar pada tindakan Allah terhadap umat pilihan-Nya.

            Di antara segala makhluk, manusia diberikan tempat terkemuka karena Allah hendak besekutu dengan dia dalam suatu perjanjian sebagai berikut:

 

Manusia dijadikan sebagai tubuh berjiwa dan jiwa bertubuh yang terarah oleh keputusan hatinya.

Manusia dijadikan menurut gambar Allah da diberikan kuasa untuk memelihara dunia.

Manusia dijadikan sebagai laki-laki dan perempuan. Mitra yang berbeda dan setingkat-sederajat.

Manusia mencurigai Allah dan membahayakan hubungan dengan Tuhan dan sesama.

Tuhan memberkati segala makhluknya dan memanggil manusia agar ia hidup dalam hubungan yang benar dan adil.

Manusia senantiasa merupakan rahasia bagi dirinya sendiri karena tantangan yang dialami dalam dirinya.

 

Untuk dipikirkan lebih lanjut:

Umat Kristen dan umat Islam mengakui Allah sebagai Pencipta dan Pemilik dunia dengan segala isinya. DGD menekankan bahwa pemeliharaan dunia ciptaan Allah tidak dapat dipisahkan dari perdamaian dan keailan.Bagaimanakah suatu etika lingkungan hidup dapat dikembangkan sedemikian rupa sehingga etika tersebut bermakna dalam kebudayaan Indonesia dan didukung oleh gereja-gereja dan umat Islam?

Apakah pembedaan antara dosa aktif (kesobongan) dan dosa pasif (kepasrahan) berakibat pada pelayanan pastoral?

 

Alkitab dan Alquran mengenal tradisi yang serupa dan membawakannya dengan caranya masing-masing.Teks-teks Alquran di dalam buku ini diangkat demi mendukung dialog yang saling menghormati, baik dalam hal kesamaan maupun perbedaan, dan juga demi mencari sikap dan etika yang tepat untuk masyarakat Indonesia yang majemuk.Teks Alquran ini dikutip dari terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia.  S. 2:117: Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Ia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu,  maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan padanya: “jadilah”. Lalu jadilah ia.

Allah memilih orang-orang tertentu. Kita memakai sebutan ini dengan sengaja. Justru sebutan inilah yang menggambarkan pekerjaan Allah sebaik-baiknya sebagai tindakan tegas, berdaulat, dan ajaib, sebagai tindakan yang menimbulkan rasa heran dan berbagai-bagai pertanyaan mengenai aalasan, kewibawaan, dan maksud Allah yang berdiri di belakangnya.

Allah memilih para bapa leluhur Israel, itulah segi perbuatan-Nya yang telah kita bicarakan. Perbuatan-Nya itu memiliki beberapa segi lain, antaranya penyataan diri .bukan seolah-olah perbuatan Allah terbagi-bagi atas beberapa tindakan yang dilakukan berturut-turut sehingga sewajarnya tindakan-tindakan itu kita uraikan dalam urutan tertentu, bagaikan adegan-adegan dalam suatu drama.

            Suatu peristiwa, yakni sesuatu yang pernah terjadi, sebagai pokok kepercayaan umat Israel.  Sekali lagi dipentaskan kepada kita suatu peristiwa sebagai perbuatan ajaib Allah.Kemenangan di medan perang. Pihak orang Mesir dengan angkatan perangnya yang dahsyat menderita kekalahan yang tak disangka-sangka sehingga pihak orang Israel yang tidak bersenjata itu luput dari pengejaran dan sempat meloloskan diri perbudakan.

            Allah memberikan Hukum-Hukum-Nya di dalam lebih setengah Kitab Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan yang bersifat undang-undang, peraturan-peraturan, dan sebagainya.Bahan tersebut hanya dipahami berdasarkan tindakan Allah demi umat yang diberikan undang-undang itu. Sepuluh Firman, dibuka dengan perkataan: ”Akulah Tuhan, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari Mesir, tempat perbudakan itu” (Kel. 20:2). Dia yang membebaskan umat itu berhak mengatur kehidupannya sedemikian rupa sehingga warganya dapat menikmati kemerdekaan dan ikut bertanggung jawab atas pemeliharaan-Nya. Istilah yang sering dipakai untuk undang-undang dalam Perjanjian Lama adalah kata Arab atau Indonesia “Taurat”, dari kata Ibrani, Tora.

           

Evaluasi Bagian-bagian Isi Buku

 

Bab I: Allah Menciptakan Langit dan Bumi

            Semua bangsa kuno mengakui bahwa Allah tertinggi menciptakan langit dan bumi, sebagaimana terlihat dalam cerita mula-jadi masing-masing. Namun, setelah Israel mengalami penyertaan Tuhan mulai dari Mesir hingga Bait Suci di Yerusalem didirikan, barulah ia meluaskan pandangannya ke seliuruh bumi dan mengakui bahwa Tuhan – bukan ilah pujaan bangsa-bangsa lain – yang menciptakan langit dan bumi. Namun dari sudut lain, pokok penciptaan patut ditempatkan pada permulaan kitab Suci sebagai dasar bersama seluruh umat manusia. Pokok ini memainkan peran penting ketika orang Israel memandang dirinya sendiri dari luar danberupaya memahami tempatnya di tengah-tengah dunia.

Tuhan menciptakan Langit dan Bumi dengan sempurna. Tuhan dipuji karena Ia menciptakan langit dan bumi secara baik sekali. Kata kerja “menciptakan” atau “menjadikan” pada umumnya dipakai untuk Allah dan manusia.Bumi pun dijadikan. Dalam bahasa Ibrani hanya terdapat satu kata, yaitu erets, untuk tiga kata berikut ini: bumi, tanah dan negeri. Tuhan juga dipuji karena Ia menghadapi kekacauan dan kuasa-kuasa perusak dan menang atas mereka. Allah bertindak menurut rencana yang ditetapkan-Nya sendiri.Langkah demi langkah Allah menciptakan ruang bagi tumbuh-tumbuhan agar dapat berkembang dan makhluk hidup bertambah-tambah sampai dijadikan-Nya makhluk yang dapat mengambil bagian bersama Dia sendiri dalam Sabat, hari peristirahatan, yang sarat dengan hubungan timbal balik.

Tuhan menciptakan dengan Perantaraan Firman, Roh, dan Hikmat. Menurut kesaksian utama Perjanjian Lama, Allah menciptakan dengan perantaraan Firman yang berwibawa penuh dan senantiasa menghasilkan tindakan: “Berfirmanlah ….. maka jadi” (Kej.1:3); “Jadilah demikian” (Kej.1:7, 9, 11, 15, 24).

Allah  menciptakan manusia dari debu tanah (sebagai Adam dan adamah, kata Ibrani untuk tanah  Kej.2:7;  Pkh. 3:20; Mzm. 89:48), pada hari keenam, sama dengan binatang, sehingga ia bertubuh. Tubuh dan daging yang berselimutkan kulit (Ayb. 10:11; Yeh.37:8), inilah manusia sebagai tubuh. Ke dalam tubuh manusia itu, Allah menghembuskan “nafas hidup” dan manusia itu menjadi “jiwa yang hidup”. Hanya melalui Roh yang menghidupkan itu makhluk dikaruniakan hidup. Inti kehidupan itu disebut nyawa, jiwa, napas.

Allah Menjadikan Manusia Menurut Gambar-Nya. Allah menjadikan manusia menurut gambarnya untuk memungkinkan hubungan timbal balik antara Dia dan mereka.Martabat manusia terletak pada gambar Allah yang menunjukkan kesedian dan undangan membuka diri terhadap Allah.

Allah menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan. Menurut Kejadian 1:26-28 Allah mengambil keputusan untuk menjadikan manusia (bentuk tunggal), lalu membuat mereka (bentuk jamak). Laki-laki disebut  dengan kata sifat maskulin dan perempuan dengan kata sifat feminim. Allah senantiasa memberkati manusia.Allah prihatin kepada manusia yang berdosa.Manusia Diajak Berkarya dan diundang dalam Persekutuan dengan Tuhan.

            Titik Hubungan Antara Alkitab dan Alquran.Teks-teks Alquran berikut ini diangkat demi mendukung dialog yang saling menghormati, baik dalam hal kesamaan maupun perbedaan, dan juga demi mencari sikap dan etika yang tepat untuk masyarakat Indonesia yang majemuk.Allah menciptakan langit dan bumi, Allah menciptakan manusia, Allah memelihara umat-Nya, Manusia berdosa, Kain dan Habel, Nuh dan Air Bah serta Menara Babel.

 

Bab II : Allah Memilih Para Leluhur Israel

            Tempat pokok ini dalam kesaksian kitab-kitab Perjanjian Lama. Pokok ini termasuk “kredo” umat Israel sebagai pendahuluan atas pokok-pokok “Keluaran dari Mesir” dan “pemberian tanah Kanaan”. Sebagai penghubung antara pokok “penciptaan dunia” dengan segala pokok yang berikut, dan – khususnya menurut pandangan para imam – sebagai peletakan dasar dari perbuatan Allah di Gunung Sinai. 

Allah memilih Abraham, Ishak dan Yakub.Allah memilih orang-orang-Nya atas perkenan-Nya sendiri dan bukan karena jasa atau bakat orang tersebut. Allah memanggil orang-orang-Nya dan menyuruh mereka meninggalkan segala jaminan dan menuju tempat di mana Ia akan menemui mereka. Allah memberkati orang yang dipilih-Nya. Dengan memilih orang-orang tertentu Allah tidak menolak orang lain.

Atas perkenan-Nya sendiri Allah memilih orang-orang. Allah tidak wajib mempertanggungjawabkan kebijaksanaan-Nya.Pada hakikatnya Allah memilih orang dalam pengasihan-Nya yang bebas yang tidak didasarkan pada sikap dan bakat orang itu, tetapi hanya pada kehendak Allah sendiri. Allah memilih orang-orang-Nya, menjalin hubungan khas dan mulai suatu babak sejarah dengan mereka.

Allah memanggil orang-orang yang meninggalkan semua jaminan.Allah memilih para leluhur dan mengambil segala jaminan yang lazim dari mereka, serta menimbulkan di dalam hati mereka kerelaan untuk menerima firman-Nya. Allah memberkati orang-orang yang dipilih-Nya dan Ia menjadikan mereka hamba-hamba-Nya. Ketika Abraham dipanggil, Ia dijanjikan berkat untuk diri sendiri: Ia akan menjadi bapa suatu bangsa yang besar dan namanya akan termasyur. Semua orang yang berhubungan sejahtera dengan dia pun diberkati.

Lot, Ismael, dan Esau serta Keturunannya Tidak Terpilih.Cerita-cerita para bapa leluhur itu memberi cukup perhatian dan tempat kepada tokoh-tokoh manusia yang tidak terpilih itu.Mereka diberi tugas dan peranannya masing-masing. Kalau Allah tidak mmemilih mereka, belum tentu hal itu berarti bahwa Allah “menolak”, “membuang” atau malah “mengutuki” mereka. Umat Israel mengetahui tentang suatu rencana Allah mengenai umat manusia seluruhnya,, di mana “orang-orang luar” pun mendapat tempatnya.

Allah Menyatakan Diri.Allah menyatakan diri kepada para bapa leluhur. Sambil “memanggil” dan “menggerakkan” mereka, Ia sendiri tidak tinggal tersembunyi. Tindakan-Nya tertuju kepada manusia yang dipilih-Nya dan perhatian kita pun diarahkan kepada orang-orang pilihan-Nya itu. Namun, di dalam tindakan-Nya ini Iasekaligus menyatakan diri sehingga perhatian kita pun terarah kepada .dia yang bertindak. Allah “memperlihatkan” atau “memperdengarkan” diri-Nya, atau dengan cara lain menyatakan kehadiran-Nya.

 

Bab III: Allah Membawa Israel Keluar dari Mesir

Kitab Keluaran menerima namanya dengan mengingat kelima belas pasal pertama (Kel.1:1-15:21). Kesaksian Perjanjian Lama mengenai penciptaan dunia berpusat pada Kejadian 1-2, kesaksiannya mengenai pemilihan para bapa leluhur berpusat pada kumpulan Kejadian 12-50. Demikian juga dengan pokok tentang Keluaran dari Mesir itu; hamper semua bahan cerita tentang pokok itu terkumpul dalam Keluaran 1-15).

Allah membebaskan umat-Nya supaya mereka Merdeka sebagai Hamba Tuhan, berarti “menjadi merdeka” dengan sesungguhnya. Orang-orang Israel telah dibebaskan, sebab merekalah “umat Tuhan”.

 

Bab IV: Allah Membimbing Umat-Nya di Padang Gurun

Pokok ini termasuk “kredo” umat Israel sebagai penghubung antara pokok “Keluaran dari Mesir dan Pemberian tanah Kanaan, dan untuk mengingatkan Israel pada wujudnya sendiri sebagai umat di dalam perjalanan.

Allah memilih Suatu Bangsa Yang Degil.Sejumlah saksi yakin bahwa gurun adalah tempat kelahiran Israel sebagai Umat Tuhan.Kasih saying Tuhan pernah dijawab umat-Nya dengan kasih pula.Namun, kebanyakan saksi memberitahukan bahwa umat Allah itu memberontak di gurun, kurang percaya, dan berkali-kali mencobai Allah.

Umat Allah Menggerutu dan Memberontak di Gurun. Rupa-rupanya, sungut-sungut ini menjadi suatu sifat dari zaman padang gurun. Yosua 9:18 adalah kekecualian satu-satunya di mana istilah ini dipakai tidak berkenaan dengan zaman padang gurun. Sungut-sungut ini menyatakaaan suatu sikap “tidak puas” “tidak sabar” atau “tidak tahu”.

Allah Menanggung umat-Nya Di Padang Gurun. Allah memilih umat-Nya dan hal itu berarti Ia membebaskannya. Ini menjadi kesimpulan kita ketika merenungkan perbuatan Allah di Mesir. Kini kita tidak berada di Mesir lagi, tetapi di padang gurun! Allah memilih umat-Nya. Itu berarti Ia memeliharanya: “Dikelilingi-Nya dia dan diawasi-Nya, dijaga-Nyaa sebagai biji mata-Nya” (Ul.32:10), dituntun-Nya dia dengan hati-hati (Kel.15:13), didukung-Nya dia “di atas sayap rajawali” (Kel.19:4) sepanjang waktu. Judul di atas ini memakai kata yang terakhir sebagai rumusan untuk segalakata yang lain.

 

Bab V: Penyataan Di Gunung Sinai

Peristiwa-peristiwa di atas puncak dan di dekat kaki gunung yang termasyur itu begitu besar pengaruhnya atas kelahiran dan kehidupan  umat Israel, menurut kesaksian mereka sendiri di dalam kitab-kitab Perjanjian Lama, sehingga sudah selayaknya jika kita mengkhususkan satu bab tersendiri mengenai hal itu. Rupa-rupanya pokok Gunung Sinai ini ada juga segi yang memperlihatkannya sebagai peristiwa yakni sebagai perbuatan Allah adalah:  Pertama, Allah mengikat perjanjian-Nya dengan Israel. Kedua, Allah memberikan undang-undang dengan perantaraan Musa, Ketiga,Allah membina umat-Nya, yakni dengan memberikan “Kesepuluh Firman” untuk menguduskan, membebaskan, dan mempersatukannya.Umat rela menerima Firman itu dan Tuhan selalu mempertahankan Perjanjian-Nya. Kumpulan Hukum itu Disebut Taurat.

 

Penutup

Allah menciptakan segala sesuatu, memberikan hidup kepada para makhluk-Nya, dan sekalipun hati manusia cenderung pada kejahatan, Ia memberkati mereka. Manusia itu hendaknya bertanggung jawab atas perbuatannya terhadap sesama dan makhluk lainnya serta bersyukur kepada Allah yang membuka kesempatan berkembang.

Bangsa-bangsa lain (dan sejumlah besar suku bangsa Indonesia) mencari asalnya dalam mite mula-jadi. Akan tetapi, umat Israel berakar dalam sejarah dan memahami hidupnya sebagai jalan di hadapan Tuhan. 

Allah memilih sekelompok pekerja rodi sebagai umat-Nya. Dengan ini Ia memihak orang-orang tertindas. Inilah dalil dasar teologi pembebasan.

Di Sinai Allah menyatakan diri-Nya kepada umat-Nya dan menentukan bentuk hubungan antara Dia dan orang-orang pilihan-Nya.Kesaksian yang satu mengutamakan perjanjian yang Allah karuniakan lengkap dengan undang-undang yang mengatur persekutuan orang merdeka yang saling menghormati. Sedangkan kesaksian yang lain berkaitan dengan ibadah – dengan para imam, kurban, tempat dan waktu yang kudus – yang Tuhan tentukan untuk umat-Nya. Kedua suara ini menekankan kesetiaan Tuhan kepada umat-Nya dan menuntut agar umat-Nya pun setia kepad Allah.Hanya dalam hubungan timbal balik tersebut terbuka ruang hidup bermakna untuk manusia.

 

 

 

EVALUASI BUKU

Christoph Barth & Marie-Claire Barth-Fommel

TEOLOGI PERJANJIAN LAMA 2 

           

 

Pendahuluan

Buku ini  berusaha menjawab pertanyaan: Apa yang melatar belakangi  pemberian tanah Kanaan? Adakah konsep  pemerintahan  yang ideal  atas  dasar  kegagalan dan kesuksesan pemerintahan  raja-raja  di Israel? Bagaimana  memahami  Yerusalem   sebagai kota Allah?

Bagaimana nabi-nabi  memberikan kontribusi  bagi informasi  masyarakat secara  sosial maupun spiritual?

Pokok teologis  yg dianggakat dalam  buku ini   ingin memahami suara Allah  di masa silam  bagi umat Kristen masa kini. Penulis buku ini ,  mengangkat segi segi  penting  seputar teologi PL  dengan pertimbangan isu-isu  yang berkembang   abad ini.  Dgn harapan besar:

Umat Kristen memiliki petunjuk  untuk persoalan yang relevan , misalnya  hak tanah , pemerintah yang adil.  Maka diaturlah dalam hukum taurat dengan ( sistim theoktasi )

Untuk mencapai tujuan tersebuat maka disusun sebagai berikut

Menjelaskan bagaimana Allah memberikan Tanah Kanaan kepada Israel  dimana Allah akan mendidik mereka untuktakut akan Tuhan, mereka harus berjalan dengan iman,   berhadapan dengan musuh,   dan terus berjuang.

Tiba di Kanaan kemudian Allah mengangkat raja raja bagi Israel,  dituntut   masuarakat yg sejahtra, adil dan makmur,   dan menjanjikan Mesias   sebagai Raja yang maha Adil.

Berikutnya Allah   menetapkan Sion/ Yerusalem    sebagai kota Allah  tempat yang tepat untuk Israel melaksanakan ibadahnya , sebagai tempat pilihan Allah bagi  Raja Daud bertahta

Selanjutnya  menguraikan bagaimana Allah mengutus nabi-nabi , Allah memakai para nabi sebagai  wakil Allah menegur dan menjaga Israel  agar takit akan Tuhan.  Melalui nabi nabi Allah benubuatkan banyak hal untuk masa depan Israel dan dunia.   Terutama akan datangnya pelepas yang terakhir  yaitu utusan yang menyerahkan nyawa bagi tebusan banyak orang.

           

Penutup

Buku ini   cukup baik menjelaskan  teologia PL  dengan tema tema penting Allah memberikan tanah Kanaan kepda Israel,   Allah juga mengangkat hakim, dan raja-raja Israel,  Allah memilih Sion sebagai kota penting dimana Allah memerintah melaui Daud, selanjutnya bagaimana Allah mengutus para nabi sebagai juru bicara Allah kepada umat Israel.

 

 

 

Gerhard F. Hasel, Teologi Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas, 1995.

 

Evaluasi Buku Gerhard F. Hasel

“TEOLOGI  PERJANJIAN LAMA”

 

Permulaan dan Perkembangan Teologi Perjanjian Lama

Teologi Perjanjian Lama tidak terlepas dari Teologi Alkitab, karena Teologi Perjanjian Lama merupakan bagian dari Teologia Alkitab, maka teologia Perjanjian Lama tidak dapat diselidiki terlepas dari teologia Alkitab.1 Istilah teologia Alkitab dipakai dalam dua arti 1) istilah ini dapat berarti sebuah teologi yang ajaran-ajarannya bersumber pada Alkitab dan dasarnya adalah Alkitab, 2) teologi yang dikandung oleh Alkitab itu sendiri. Dalam arti kedua, istilah teologi Alkitab merupakan suatu disiplin teologis tertentu yang asal mula dan perkembangannya berbeda-beda menurut latar belakang dan sejarah masing-masing.  Seratus tahun setelah reformasi baru muncul istilah teologia Alkitab oleh Wolfgang Jacob Christian berjudul Teutshe Biblische Theologie (Kempten, 1629) karangan Christman ini sudah tidak ada lagi. Baru benar-benar ada istilah teologia Alkitab Henricus A.Diest dalam bukunya “Theologia Biblica” (Daventri, 1643).

            Bauer dalam bukunya Theologie des Alten Testaments memulai memisahkan antara teologia Alkitabiah menjadi teologia Perjanjian Lama dengan teologi Perjanjian Baru. Dalam bukunya tersebut, Bauer memiliki tiga struktur isi, yaitu: teologi, Antropologi dan Kristologi.  Dari zaman Pencerahan sampai zaman teologia dialektika disiplin teologi Alkitabiah memisahkan diri sebagai tambahan dari dogmatik, teologia Alkitab menjadi saingan dengan teologia dogmatik.2   Kaiser menerbitkan karya teologia Alkitab dengan pendekatan rasionalis dan menolak pendekatan supranaturalisme. Seorang murid Gabler menandai gerakan pertama menjauhi rasionalis dan mengadakan pendekatan pemaduan teologia Alkitab dengan suatu sistem filosofis. Sintesisnya yang lebih tinggi antara iman dengan perasaan membawa masuk perkembangan awal pertumbuhan agama dari Hebraisme menjadi Kristianisme lewat Yudaisme.3 

            Sumbangan Oehler dalam membahas teologia Perjanjian Lama mengenai teori dan metode pemahaman dari sudut teologi Alkitabiah tentang teologia Perjanjian Lama.  Oehler bereaksi terhadap gaya pengikut Marcion yang diperkenalkan oleh F. Schleirmacher dengan sikap mereka yang memandang rendah Perjanjian lama dan terhadap penyeragaman total terhadap Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.  Oehler sendiri tidak melepaskan pendapat bahwa ada kesatuan di antara Perjanjian Lama dengan Perjanjian  Baru. Oehler berpendapat bahwa ada kesatuan di dalam perbedaan.  Oehler menerima adanya pemisahan antara teologi Perjanjian Lama dengan teologi Perjanjian Baru, namun teologi Perjanjian Lama hanya dapat berfungsi secara benar di dalam kontek kanonik yang lebih luas.  Teologi Perjanjian lama merupakan suatu ilmu sejarah berdasar pada eksegesis dari sudut sejarah, tata bahasa yang tugasnya adalah mereproduksi isi dari tulisan-tulisan dalam Alkitab menurut kaidah-kaidah dengan bahasa dengan mempertimbangkan keadaan sejarah pada saat tulisan-tulisan tersebut pertama kali ditulis dan juga kondisi-kondisi pribadi dari para penulis Alkitab. Teologia Perjanjian Lama karya Oehler dianggap sebagai Penyajian Keselamatan. Bagian penting dari reaksi golongan konservatif muncul dalam “mazhab sejarah keselamatan”.  Mazhab sejarah keselamatan abad ke 19 didasarkan pada (1) Sejarah umat Allah  sebagai diungkapkan dalam Firman, (2) Pemahaman tentang pengilhaman Alkitab, (3) hasil (pendahuluan) dari sejarah antara manusia dengan Allah di dalam Tuhan Yesus Kristus. Van Hofman menemukan di dalam Alkitab suatu catatan tentang sejarah penyelamatan langsung yang didalamnya Tuhan sejarah adalah Allah Trinitas yang dimaksud dan tujuanNya adalah menebus umat manusia. Karena Yesus Kristus adalah tujuan semula dunia ini yang menjadi sasaran sejarah keselamatan dan yang memberikan arti kepada sejarah keselamatan, maka Perjanjian Lama berisi proklamasi sejarah keselamatan.  Inilah yang harus diuraikan oleh teologi Perjanjian Lama.

Mulai tahun 1878 menandai dimulainya kemenangan oleh pendekatan dari sudut  “sejarah agama-agama” (Religionsgeschicte). Suatu ciri khas yang menonjol  dari sejarah agama-agama adalah metode perkembangan evolusi yang berdasarkan sejarah pertumbuhan. Mazhab yang baru ini cocok  dengan suasana intelektual dari masa itu yang sudah diajarkan oleh Hegel dan Darwin untuk menganggap prinsip-prinsip evolusi sebagai kunci ajaib untuk membuka semua rahasia sejarah.4  Pendekatan dari sudut agama-agama yang penuh diliputi kejadian sejarah telah membawa kehancuran final atas kesatuan Perjanjian Lama yang direndahkan tingkatannya menjadi sebuah koleksi bahan-bahan dari  beberapa periode yang berdiri sendiri dan hanya terdiri atas berbagai refleksi umat Israel tentang jumlah-jumlah agama-agama kafir yang berbeda-beda. Pendekatan ini memiliki dampak yang sangat menghancurkan terhadap teologia Perjanjian Lama dan terhadap pemahaman tentang Perjanjian Lama dalam semua aspeknya yang lain. Diperlukan suatu tindakan yang betul-betul berani untuk mendobrak tindakan pemakaian teori sejarah dalam studi-studi Perjanjian Lama dan untuk menemukan kembali dan menghidupkan kembali teologi Perjanjian Lama.

            Kebangunan kembali Teologi Perjanjian Lama.  Faktor yang menyebabkan kebangunan kembali Teologi Perjanjian lama, yaitu  munculnya renainsans teologi Perjanjian Lama antara lain :1)  hilangnya pamor naturalisme evolusioner, 2) reaksi terhadap keyakinan bahwa kebenaran historis dapat dicapai lewat objektivitas ilmiah murni atau bahwa objektivitas semacam itu memang dapat dicapai, 3) kecenderungan untuk kembali kepada ide penyataan di dalam teologi dialektik.

            Pada tahun 1922 muncul tanda jelas pertama tentang kebangunan teologi Perjanjian Lama, dengan terbitnya buku karya E.Konig berjudul “Theologie des Alten Testaments”.Konig memiliki pandangan yang sangat tinggi terhadap kebenaran amanat Perjanjian lama dari aliran Wellhausen dan mencanangkan suatu pemakaian yang tepat akan metode penafsiran berdasarkan sejarah tata bahasa. Konig mengkombinasikan sejarah perkembangan agama Israel dengan sejarah faktor-faktor teologis tertentu dari iman Perjanjian Lama.  Pada tahun 1926 O.Eissfeld memasuki arena pembahasan itu dengan menyatakan bahwa teologi Perjanjian Lama adalah suatu bidang disiplin yang non historis, ditentukan oleh posisi iman sang teolog., sehingga sifatnya subjektif, padahal studi tentang agama Israel itu bersifat historis dan objektif. 

Zaman emas dari teologia Perjanjian lama dimulai tahun 1930-an dan terus berlangsung sampai sekarang. Karya – karya teologi Perjanjian lama yang penting datang dari E.Sellin (1933) dan L. Koehler (1936) yang keduanya memakai susunan : Allah-Manusia-Keselamatan.

 

Sekitar Masalah Metodologi

Tugas deskriptif dalam tradisi ilmiah gabler-Wrede – Stendahl. Ahli teologi Alkitab dikatakan harus memusatkan perhatiannya pada soal menguraikan ”arti asli dari ayat”   dan bukan “makna ayat itu masa kini” demikian stendahl. Kemajuan teologi Alkitab sangat bergantung pada tepatnya pembedaan ini digunakan, yang harus dipahami sebagai “kapak” yang memisahkan dengan pasti pendekatan deskriptif terhadap Alkitab dengan pendekatan normatif yang sering kali ditugaskan kepada seorang ahli teologi sistematika, yang bertugas menerjemahkan makna ayat itu masa kini.  Tugas yang disebut terakhir, yaitu “makna ayat itu masa kini”, tidak boleh dianggap sebagai bagian yang tepat dari metode deskriptif historis yang sempurna..

Perbedaan antara arti “asli dari ayat “ dengan “makna ayat itu masa kini” merupakan inti masalah yang paling fundamentalis dalam teologi Perjanjian Lama, karena mencari “arti asli dari ayat” bukanlah sekedar menemukan arti asli dari ayat Alkitab itu dalam konteks kanonik alkitabiahnya; itu merupakan suatu komunikasi rekontruksi historis.  Sedang yang dimaksudkan dengan rekontruksi historis menurut seorang sarjana modern ialah penyajian dunia pemikiran tentang Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru sebagaimana direkontruksikan berdasarkan lingkungan sosial kulturnya.Rekontruksi historis atau “arti asli dari ayat”,  memahami Alkitab sebagaimana dibatasi oleh waktu dan lingkungan ketika Alkitab pertama kali ditulis. Waktu dan tempat Alkitab ditulis, lingkungan sosio-culturalnya, tatanan sosialnya, dan lingkungan kebudayaannya di antara agama-agama dan bangsa-bangsa lain merupakan satu-satunya kunci yang sebenarnya untuk mengetahui pengertian aslinya. Dalam hal ini Alkitab ditafsirkan dengan cara yang sama seperti setia dokumen kuno lainnya. Sebagaimana  halnya “arti asli dari ayat: merupakan rekontruksi historis yang dilaksanakan dengan prinsip-prinsip metode penelitian sejarah, demikian pula “makna ayat itu masa kini” merupakan penafsiran teologis.

Penafsiran teologis adalah penerjemahan ayat yang telah direkontruksikan secara historis ke dalam situasi dunia modern. Biasanya ini berarti bahwa kunci menuju penafsiran teologis ialah pandangan hidup sang penafsir itu sendiri. Bagaimanapun pandangan hidup sang penafsir dan jenis filsafat apapun yang dipakai dalam penafsiran teologis atau untuk mengetahui “makna ayat itu masa kini”, pendekatan yang teologis dan bersifat menafsirkan terhadap “makna ayat itu masa kini” adalah teologi sekarang itu dan dianggap sebagai bersifat normatif bagi iman dan hidup. Jadi bahwa perbedaan zaman modern antara “arti asli ayat” dengan “makna ayat itu masa kini” seperti penafsiran teologis yang bersifat normatif merupakan persoalan baik dalam perbedaannya maupun dalam tugasnya. Sebagai contoh D.H Kelsey telaah dengan ringkas, mengatakan bahwa ada beberapa cara yang dapat saling menghubungkan “arti asli ayat itu” dengan  “makna ayat itu masa kini” dengan hasil yang beraneka raga sebagai berikut:

 

Pertama, dapat ditetapkan bahwa pendekatan deskriptif yang berusaha menentukan “arti asli ayat” dengan memakai metode penelitian apapun juga dianggap identik dengan “makna ayat itu masa kini”.

Kedua, dapat ditetapkan bahwa”arti asli ayat” mengandung pokok-pokok pikiran, gagasan-gagasan, dan lain-lain yang perlu dicari dan diterjemahkan secara sistematik dan dijelaskan dan bahwa inilah”makna ayat itu masa kini”, meskipun penjelasan-penjelasan tersebut mungkin tidak pernah berpikir oleh para penulis ahli dan mungkin ditolak oleh mereka.

Ketiga, dapat ditetapkan bahwa “arti asli ayat” merupakan suatu cara bicara zaman kuno yang bergantung pada waktu dan budayanya sendiri dan yang perlu dijelaskan ulang dengan memakai bahasa masa kini tentang gejala yang sama, dan bahwa penjelasan ulang ini adalah “makna ayat itu masa kini”. Prosudere ini menunjukkan bahwa sang teolog memiliki pengetahuan tentang gejala tersebut terlepas dari masukan Alkitab dan “arti asli ayat” sehingga ia dapat memeriksa ungkapan kuno tersebut dan mendapat dasar bagi uraiannya sendiri.

Keempat, dapat ditetapkan bahwa “arti asli ayat” mengacu pada cara orang Kristen dahulu menggunakan ayat-ayat Alkitab dan bahwa “makna ayat itu masa kini” hanyalah cara ayat-ayat tersebut digunakan oleh orang Kristen modern.  Dalam hal ini ada hubungan genetis.  Kesley mencatat bahwa , “tidak ada dari ketetapan ini yang dapat disahkan tersebut, karena justru yang menjadi masalah ialah hubungan antara studi eksegetis dengan teologi sekarang ini.”  Kritikan-kritikan terhadap perbedaan antara “arti asli ayat”  denga “makna ayat itu masa kini”, yaitu perbedaan antara rekontruksi historis atau apa yang bersifat historis, deskriptif, dan objektif  dengan penafsiran teologis atau apa yang bersifat teologis dan normatif, dilancarkan oleh berbagai kalangan.  Selanjutnya bahwa  B.S Childs telah mengajukan keberatan terhadap pendekatan historis dan deskriptif karena sifatnya membatasi.  Tugas historis dan deskriptif tidak dapat dilihat sebagai suatu tahap netral yang kemudian menuju penafsiran teologis yang asli.  Ayat itu, kata Child, memberikan “kesaksian yang lebih luas daripada apa yang terkandung di dalamnya tentang maksud ilahi Allah.  Harus ada “pergerakan dari tingkat kesaksian tersebut menuju kenyataan” .

Stendahl mengakui bahwa tugas deskriptif itu “ mampu menguraikan ayat-ayat Alkitab secara lebih luas dari pada apa yang terkandung di dalam ayat-ayat itu…dalam maksud dan fungsi ayat-ayat itu sepanjang zaman…. Namun Stendahl menolak bahwa penjealsan tentang kenyataan ini merupakan bagian dari tugas seorang ahli teologi Alkitabiah. Akan tetapi, Childs bersikeras bahwa “arti asli ayat itu” sebagian besar ditentukan oleh hubungannya dengan orang yang kepadanya ayat itu ditujukan. Childs memperlihatkan bahwa “bila dilihat dari kontek kanon maka masalah arti asli dari ayat dan makna ayat itu  masa kini keduanya tidak dapat dipisahkan dan merupakan bagian dari tugas penafsiran Alkitab sebagai Firman Allah.

A. Dulles mempunyai maksud yang sama ketika ia berbicara soal “kegelisahan tentang pemisahaan radikal….antara arti asli ayat Alkitab dengan makna ayat Alkitab itu masa kini”.  Kalau Stendahl memberikan nilai normatif yaitu penafsiran teologis, maka Dulles mempertahankan pendapat bahwa nilai normatif harus diberikan juga kepada arti asli dari ayat Alkitab, dan kita dapat menambahkan arti asli ayat itu dalam konteks kanoniknya sendiri waktu berbicara dengan bahasa yang dipakai Childs.

 

Metodologi dalam PL

Metodologi dalam Perjanjian Lama. Ada beberapa metode yang bisa dipakai untuk menyelidiki teologia Perjanjian Lama, yaitu: 

 

Metode Didaktik-Dogmatik. Metode tradisional dalam mengorganisasikan teologi Perjanjian lama ialah pendekatan yang dipinjam dari teologi dogmatik (teologi sistematika) dan bagiannya (untuk pokok-pokok bahasannya) tentang Allah-Manusia-Keselamatan atau Teologi-Anthropologi-Soteriologi.

Metode Progresif dan Genetis, oleh C.K. Lehman mendefinisikan metode ini sebagai metode teologi Alkitabiah. Metode teologi Alkitabiah sebagai metode yang ditetapkan pada umumnya oleh prinsip perkembangan historis. Metode ini dipahami sebagai pembeberan penyataan Allah sebagaimana disajikan oleh Allah. Perkembangan historis dari penyataan Allah yang berkembang dibuktikan dalam periode-periode atau era-era penyataan ilahi yanag ditetapkan secara benar-benar sesuai dengan garis-garis pemisah yang dibuat oleh penyataan itu sendiri. Secara lebih khusus hal ini berarti bahwa penyataan ilahi berpusat pada beberapa perjanjian yang dibuat oleh Allah dengan Nuh, Abraham, Musa dan melalui Kristus, yang semuanya menunjukkan “keberadaan organik” dari Alkitab serta “anatomi” Kitab Suci. Dengan demikian nampak pengaruh dari beberapa sarjana dan mulai mengadakan pendekatan untuk membangun dari “singkapan progresif “. Lehman membagi karyanya menjadi tiga bagian besar, yang mengikuti pembagian kanon Ibrani. Bagian I membahas penyataan Allah dalam penciptaan dan kejatuhan manusia ke dalam dosa, dari kejatuhan dalam dosa sampai Abraham, dan sepanjang masa bapak-bapak leluhur,. Bahan ini diikuti oleh penyataan dan ibadah pada zaman Musa, suatu bagian khusus tentang dosa dan keselamatan dalam pentateukh.  Bagian II membahas penyataan Allah sepanjang masa nabi-nabi,  dengan beberapa subseksi yang membahas pemunculan, tempat, sifat dari gerakan kenabian, teologi nabi-nabi, penyataan Allah melalui nabi-nabi dari periode Asiria, teologi Yesaya 40-66, teologi nabi-nabi zaman Kasdim (neo Babilonian), zaman pembuangan, dan zaman Persia. Bagian III membicarakan teologi hagiograf  dalam urutan Mazmur, Amsal, Pengkhotbah. Kidung Agung, dan Ayub.  Pandangan ini menyediakan banyak pandangan yang bernilai dan penting, namun struktur kanonik yang terdiri atas tiga bagian ini nampak sangat bertentangan dan tidak dapat didamaikan dengan metode genetis dari “perkembangan  historis”, karena kanon Ibrani tidak memberikan bukti adanya suatu perkembangan historis yang konsisten.  Teologi Perjanjian Lama sajian Lehman menunjukkan suatu campuran struktur kanonik yang terdiri dari  atas  tiga bagian tadi dengan suatu pendekatan khusus dan secara kitab per kitab tanpa adanya suatu perkembangan historis yang konsisten.  Beberapa kitab tetap  tanpa penanggalan, sama sekali di luar “Perkembangan Historis” dan secara genetis tidak ada kaitannya dengan penyataan yang berkembang.  Selanjutnya  bahwa Clements membagi monografnya menjadi delapan bab. Bab 1 dan 2 merupakan sebuah survey yang berisi berbagai masalah  metodologi serta masalah –masalah lain yang terkait. Bab 3-6 membahas apa yang oleh Clements dianggap sebagai tema-tema pokok dalam Perjanjian Lama. Tema “Allah Israel” dibicarakan dalam aspek – aspek  seperti keberadaan Allah, nama-nama Allah, kehadiran Allah dan keunikan Allah, suatu  arus perkembangan yang bersifat genetis-historis mendapatkan sorotan yang hati-hati. Clements menolak untuk memakai pendekatan yang berorientasi pada suatu pusat terhadap teologi Perjanjian Lama dengan suatu prinsip pengatur. Bagi Clements kesatuan Perjanjian Lama bukanlah berupa suatu tema tertentu, suatu pusat, suatu prinsip pengatur, atau suatu rumusan, melainkan sifat dan keberadaan Allah sendirilah yang merupakan landasan kesatuan dalam Perjanjian Lama.   Clements tidak hanya menekankan pentingnya kanon namun dengan kuat menunjukkan bahwa kanon Kitab Suci Ibrani sendiri yaitu Perjanjian Lama, merupakan norma yang benar bagi teologi Perjanjian Lama. Dengan demikian terdapat suatu kaitan yang nyata antara maksud “kanon” dengan maksud “teologi”, karena status tulisan-tulisan ini sebagai kanon kitab-kitab kudus itulah yang menjadi tanda bahwa tulisan-tulisan tersebut mengandung Firman Allah yang tetap diyakini sebagai memiliki kuasa. Menurut pendapat BS.Childs bahwa konsepsi kanon inilah yang menimbulkan beberapa pertanyaan tentang otoritas Perjanjian Lama dan kemampuannya untuk memberi kita suatu teologi yang dapat tetap bermakna dalam abad kedua puluh.Oleh karena itu Clements menolak untuk menganggap teologi Perjanjian Lama sebagai suatu kegiatan yang deskriptif semata. Hal ini memberi alasan untuk menolak pendekatan yang justru memang menyesuaikan dengan sejarah ini didasarkan pada pendapat bahwa Perjanjian Lama memberi kita penyataan dari Allah yang kekal itu. Teologi Perjanjian Lama tidak boleh dianggap sebagai kegiatan yang historis dan deskriptif (pendapat Gabler-Wrede-Stendahl), tetapi sebaliknya daripada membicarakannya sebagai suatu cabang dari penelitian sejarah Perjanjian Lama, teologi Perjanjian Lama hendaknya dianggap secara tepat sebagai suatu cabang teologi.5  

 

Metode yang menggunakan contoh yang Representatif yang mewakili Keseluruhan.  Tokoh teologi Perjanjian Lama, Eichrodt pada tahun 1930-an mengembangkan pendekatan yang menggunakan contoh yang representatif. Eichrodt  mampu melakukan penggunaan contoh yang representatif terhadap seluruh dunia pemikiran Perjanjian Lama dengan membuat perjanjian itu sebagai pusat Perjanjian Lama.  Teologi Eichrodt benar-benar bersifat historis dan deskriptif. Ia mempertahankan anggapannya bahwa teolog Perjanjian Lama harus dituntun oleh prinsip seleksi dan prinsip kecocokan. Tugas sistematika ini penggunaan metode dengan menggunakan contoh yang representatif terhadap seluruh proses historis dengan membentangkan secara terang-terangan struktur inti dari agama. Tujuan Eichrodt ialah memahami alam kepercayaan Perjanjian Lama dalam kesatuan strukturalnya dan menjelaskan maknanya yang paling dalam.6    Kaiser menunjukkan bahwa satu-satunya pusat sejati atau Mitte dari sebuah teologi Perjanjian Lama ialah”tema Perjanjian”. Kaiser menunjukkan juga bahwa hal itu dikenal dalam Perjanjian Lama dengan konstelasi kata-kata seperti janji, sumpah, berkat dan perhentian serta keturunan”.   Kaiser memahami pusat atau rencana inti yang kepadanya setiap penulis Alkitab menyumbang secara sadar ini sebagai tema “janji berkat ilahi”. Bagi Kaiser tema “janji berkat” merupakan pusat yang agak luas dari Alkitab.

 

Metode Topikal. Metode  topikal dibedakan dengan metode didaktik –dogmatik lewat penolakannya untuk membiarkan kategori-kategori dari luar dilapisi sebagai suatu jaringan melalui mana bahan-bahan dan tema-tema Perjanjian Lama dibaca, dirangkum, dan disistematisasi. Pendekatan yang dipakai yaitu pendekatan pembahasan kitab per kitab dalam urutan sejarah dan berdasarkan dari sudut penelitian sastera. Teologi Perjanjian Lama Fohrer menghindari :” metode penggunaan contoh yang representatif, metode genesis, dan metode dogmatik dengan struktur Teologi-Anthropologi-Soteriologi”. Di lain pihak Fohrer merintis jalan dalam teologi Perjanjian Lama dengan menganut suatu pendekatan topikal yang deskriptif maksudnya sesuai dengan dengan   pengertian yang dikandungnya untuk masa kini. Fohrer berusaha menjembatani kesenjangan antara “rekontruksi dengan interpretasi” atau antara “arti asli ayat” dengan “makna ayat untuk masa kini”.7  Suatu penelitian atas metode Fohrer menunjukkan bahwa dalam inti bukunya menjelaskan “Kesatuan dalam keanekaragaman” yang menguraikan “kekuasaan Allah dan hubungan antara Allah dengan Manusia”.

 

Metode Diakronis.Metode diakronis untuk teologi Perjanjian Lama tergantung pada riset sejarah tradisi yang dikembangkan sekita tahun 1930-an. G.von Rad membangkitkan pemikiran serta riset baru, van Rad menceritakan ulang “kerigma atau pengakuan Perjanjian Lama yang terungkap lewat metode sejarah tradisi diakronis.  Pendekatan diakronis menembus sampai ke beberapa lapisan, berturut-turut dari ayat Perjanjian Lama tertentu dengan tujuan mengungkapkan “kegiatan teologi Israel yang mungkin merupakan salah satu kegiatan yang tergolong paling penting dan menarik, yaitu usaha-usaha yang senantiasa baru  untuk membuat tindakan-tindakan penyelamatan ilahi relevan bagi setiap masa dan waktu pencapaian dan pengakuan yang senantiasa baru tentang tidakan-tindakan Alah yang akhirnya membuat berbagai pengakuan iman lama menjadi tradisi –tradisi yang begitu banyak. Von Rad  merupakan sarjana pertama dan satu-satunya yang pernah menerbitkan sebuah teologi Perjanjian Lama yang sepenuhnya diakoronis tentang tradisi-tradisi sejarah Israel.

 

Metode Pembentukan Tradisi. Metode diakronis von Rad yang terus menerus didiskusikan dan didorong telah mendatangkan sebuah hasil lainnya dalam perkembangan atau kelanjutan suatu aspek tertentu dari metode sejarah tradisi yang diakronis. Segera setelah teologi von Rad yang bergantung pada metode sejarah tradisi muncullah metode “pembentukan tradisi” gagasan sarana Perjanjian Baru bernama Hartmut Gese. Tesis programatik Gese ialah bahwa Perjanjian Baru merupakan kesimpulan dari pembentukan tradisi yang dimulai dalam Perjanjian Lama, sehingga Perjanjian Baru menggenapi Perjanjian Lama. Hal ini berarti bahwa teologi Alkitab dibangun atas landasan kesatuan proses pembentukan tradisi atau kesatuan antara kedua perjanjian karena sudah ada akibat sejarah tradisi. Menurut Gese hanya sejarah tradisi dapat menghasilkan teologi Alkitabiah,..Sejarah tradisi dapat menjadi metode teologi Alkitabiah karena sejarah tradisi menjangkau melampaui fakta-fakta sejarah dan gejala-gejala keagamaan dan menggambarkan proses pembentukan tradisi yang hidup.8 

 

Metode Dialektis-Tematik.  Metode diakronis dan metode pembentukan tradisi bergantung pada metode sejarah tradisi. Brueggman memulai pendekatan baru dari kedua metode, dengan pendekatan-pendekatan terhadap teologi Perjanjian Lama yang memakai hubungan tematik dan dialektik.  Bruegman menunjuk tiga tokoh dialektika, yaitu dialektika yang berpengaruh yaitu dialektika “Etika/Estetika (Terrien), dialektika “pembebasan/berkat” (Westerman), dan dialektika “teologis/kosmis (Hanson). Dialektika Terrin didasarkan bahwa “realitas kehadiran Allah merupakan pusat iman Alkitabiah., bukan saja kehadiran karena berkat, juga kehadiran karena hubungan persekutuan.

 

Metode Teologi Alkitabiah Baru.  Brevard Childs mengusulkan suatu teologia Alkitabiah baru. yang akan mengatasi dikotomi antara “arti asli dari ayat” dengan “makna ayat itu untuk masa kini. Teologia Alkitabiah Baru gagasan Child menyatakan menganggap serius kanon Alkitabiah sebagai konteksnya. Childs memiliki tesis bahwa kanon gereja Kristen merupakan kontek yang paling tepat untuk membuat Teologia Alkitabiah. Secara jelas bahwa pendekatan Childs terhadap teologi Alkitabiah serta definisnya sngat berlawanan dengan metode diakronis dari von Rad dan metode “pembentukan tradisi” dari H. Gese.

 

Teologi Perjanjian Lama yang kanonik Multipleks.  Sebagai kesimpulan terdapat sejumlah gagasan penting yang menuju kepada suatu teologi Perjanjian Lama kanonik yang menyertai suatu pendekatan multipleks sebagai berikut (1) Isi teologia Perjanjian Lama ditunjukkan sebelumnya karena kegiatan ini merupakan teologi dari Perjanjian Lama yang kanonik. (2) Teologi Perjanjian Lama bertugas menyediakan penjelasan –penjelasan dan penafsiran-penafsiran ringkas dari bentuk final tulisan-tulisan Perjanjian Lama yang tersendiri atau rangkaian tulisan yang membiarkan bermacam-macam tema, motif, dan konsepsinya muncul dan menunjukkan keterkaitan tulisan-tulisan tersebut satu sama lain. (3) Struktur teologi perjanjian Lama mengikuti berbagai prosedure pendekatan multipleks. (4) Urutan teologi Perjanjian Lama mencerminkan penekanan bercabang dua dari teologi kitab per kitab atau rangkaian tulisan dan tema-tema, motif-motif, dan konsepsi-konsepsi yang dihasilkan waktu hal-hal tersebut muncul. (5) Penyajian tema-tema longitudional dari Perjanjian Lama sebagaimana tema-tema itu muncul dari berbagai teologi tersendiri tentang kitab-kitab atau rangkaian tulisan menyusul sesudah itu berdasarkan suatu pembahasan dari banyak segi. (6)  Tujuan akhir dari pendekatan kanonik terhadap teologi Perjanjian lama ialah menerobos aneka teologi tentang kitab-kitab secara tersendiri atau kelompok tulisan serta bermacam-macam tema longitudional sampai pada kesatuan dinamis yang mengikat semua teologi dan tema itu menjadi satu. (9)  Teolog Kristen mengerti bahwa teologi Perjanjian Lama merupakan bagian dari satu keseluruhan yang meluas.

 

Masalah Sejarah, SejarahTradisi dan Sejarah Keselamatan

Von Rad menampilkan pokok persoalan sejarah dalam bentuknya yang paling tajam lewat perbedaan paling berlawanan yang ia tunjukkan diantara kedua versi sejarah Israel, yaitu sejarah yang berdasarkan penelitian modern dan sejarah yang dibangun oleh iman Israel. Penelitian sejarah modern, menurut van Rad yaitu mencari hasil maksimum yang berdasarkan penelitian yang bersifat pasti, sedangkan gambaran kerigmatik (tentang sejarah Israel sebagaimana dibangun oleh imannya) cenderung menuju suatu hasil maksimum yang bersifat teologis. Frederich Baumgartel menolak pemisahan sejarah kedalam dua versi sejarah berdasarkan penelitian modern maupun sejarah yang dibangun oleh iman Kristen.

Sebuah usaha besar untuk mengatasi persoalan tentang dua gambaran yaitu gambaran Sejarah Israel dan gambaran Sejarah Keselamatan menurut Pannenberg harus memulainya dari sudut pandang mengenai makna sejarah itu sendiri, sejarah merupakan cakrawala paling luas untuk teologia Kristen. Landasan Pannenberg bagi keseluruhan program teologinya rupanya terletak pada pemahamannya tentang sejarah sebagai “realitas mutlak”. Sejarah merangkum realitas masa lalu dan masa kini manusia.  Dengan demikian merujuk pada perkembangan konsepsi sejarah sebagai realitas mutlak ini mulai dari Israel kuno hingga masa kini. Pannenberg menentang perbedaan yang lazim dibuat manusia antara fakta-fakta sejarah dengan makna, penilaian dan penafsiran dari fakta-fakta sejarah tersebut. Pannenberg menekankan bahwa penyataan sebagai sejarah, tujuan dari tindakan Yahweh di dalam sejarah ialah agar Allah dikenal melalui penyataanNya. Hubungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru terdapat dalam satu sejarah, yaitu sejarah universial yang berakal di dalam Allah yang bekerja dimana saja untuk tetap menepati janjiNya.  Di dalam sejarah universal nasib umat manusia, sejak penciptaannya nampaknya terus berkembang menurut rencana Allah.

Dengan demikian von Rad membiarkan hubungan antara sejarah keselamatan dengan sejarah modern tetap terbuka, maka Pannenberg dengan pandangan kesatuannya tentang sejarah universal memasukkan sejarah keselamatan ke dalam kategori sejarah universalnya yang luas. Rolf Rendtorff (anggota lingkungan kerja Pannenberg) mengusulkan untuk mengaitkan sejarah keselamatan dengan gambaran sejarah Israel yang berdasarkan penelitian sejarah. Rendtorff akan memadukan apa yang dewasa ini dipisahkan menjadi: Sejaraah Israel, Sejarah Tradisi, dan Teologia Perjanjian Lama”. Rendtorff menjelaskan bahwa sejarah Israel berlangsung di dalam peristiwa-peristiwa dari luar yang biasanya merupakan pokok penelitian sejarah tentang sejarah dan di dalam peristiwa-peristiwa terselubung yang banyak dan berlapis-lapis yang telah kita kumpulkan dengan istilah tradisi. Oleh karena itu, metode penelitian sejarah harus diubah dan diperluas supaya mampu membuktikan pada saat yang sama penyataan Allah di dalam sejarah, sekalipun demikian belum memuaskan. Karena dengan skema manapun ilmu pengetahuan tidak dapat mencapai pengertian yang dapat diterima sepenuhnya tentang realitas sejarah karena adanya berbagai keterbatasan dan kekurangan yang serius dalam bidang metodologis, historis, dan teologis. Tindakan Allah menyertai Israel di dalam sejarah termasuk cara-cara yang sangat kompleks dan beraneka ragam yang dengannya Israel mengembangkan dan mewariskan pengakuannya. Jadi kita harus bekerja dengan suatu metode yang memperhatikan keseluruhan sejarah itu dengan mengakui kesatuan asli dari fakta-fakta dan maknanya serta suatu konsepsi tentang realitas mutlak yang memadai.

 

Pusat Perjanjian Lama dan Teologi Perjanjian Lama

Bagi Eichrodt “konsepsi pusat” untuk memperoleh kesatuan iman alkitabiah ialah “perjanjian”. Konsepsi perjanjian dijelaskan diberi kedudukan pusat dalam pemikiran religius Perjanjian Lama sehingga dengan bergerak dari konsepsi ini, kesatuan struktural dari amanat Perjanjian Lama dapat dijadikan lebih mudah dilihat. Eichrodt tidak menganggap konsepsi pusat ini sebagai suatu konsepsi doktrinal, yang dengan bantuannya dapat dihasilkan sekumpulan dogma, tetapi sebagai gambaran khas dari suatu proses yang hidup yang telah dimulai pada satu saat tertentu dan di tempat tertentu untuk menunjukkan suatu kenyataan ilahi yang unik di dalam keseluruhan sejarah agama.

E. Sellin memilih kekudusan Allah sebagai ide pokok untuk menuntunnya dalam paparan teologi Perjanjian lama. Kekudusan Allah inilah yang menunjukkan sifat paling mendalam dan mendasar dari Allah Perjanjian Lama., Seperti halnya Eichrodt dan Sellin, Ludwig Kohler juga nenpunyai konsepsi pusat kesenangannya sendiri, yaitu Allah sebagai Tuhan. Bagi Kohler penegasan yang pokok dan menentukan dari teologia Perjanjian Lama haruslah bahwa Allah itu Tuhan.

 

Hubungan antara Kedua Perjanjian

            Teologia  Perjanjian Lama adalah bagian teologi Alkitabiah. Ada hubungan timbal balik antara Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru. sekalipun demikian, kenyataan ini menimbulkan persoalan-persoalan tentang kesinambungan dan keadaan tidak bersambung, tentang apakah orang secara unik membaca dari Perjanjian Lama ke Perjanjian Baru, atau dari Perjanjian Baru ke Perjanjian Lama, secara timbal balik memanglah demikian. Dasar dari seluruh masalah ini bukan hanya suatu kenyataan tentang  masalah teologis mengenai timbal balik antara kedua perjanjian, tetapi juga suatu penyelidikan terhadap sifat dari kesatuan. Rudolt Bultman mencari kaitan antara kedua perjanjian itu dalam kurun sejarah faktual Israel.  Bultman menetapkan hubungan ini sedemikian rupa sehingga sejarah Perjanjian Lama merupakan sejarah kegagalan.  Bagi orang Kristen “sejarah Israel bukanlah sejarah penyataan, jadi Perjanjian Lama merupakan prakiraan tentang perjanjian Baru.

             Sifat rumit dari hubungan timbal balik antara kedua Perjanjian memerlukan suatu pendekatan multipleks. Tidak ada kategori, konsepsi atau skema tunggal yang dapat diharapkan sanggup mengurangi keanekaragaman hubungan timbal balik tersebut. Diantara pola-pola hubungan historis dan teologis antara kedua perjanjian adalah sebagai berikut:

 

Sebuah ciri umum dari kedua perjanjian ialah sejarah yang berkesinambungan dari umat Allah dan gambaran tentang perbuatan-perbuatan Allah bagi umat manusia.

Penekanan baru telah diberikan pada hubungan antara kedua perjanjian berdasarkan kutipan-kutipan Alkitab.

Diantara hubungan-hubungan timbal balik diantara kedua perjanjian nampak pemakian istilah – istilah teologis.  (Hampir setiap istilah teologis yang pokok dalam Perjanjian Baru diambil dari kata Ibrani yang telah lama digunakan dan dikembangkan dalam Perjanjian Lama.

 Hubungan timbal balik antara kedua perjanjian juga nyata dalam kesatuan hakiki darin tema-tema utama.

Suatu pemakaian tipologi yang berhati-hati dan teliti sangat diperlukan bagi suatu metodologi  yang memadai yang berusaha menyelesaikan konteks sejarah Perjanjian Lama dan hubungannya dengan Perjanjian Baru.

Kategori janji/nubuat dan penggenapan menjelaskan suatu aspek lain dari hubungan timbal balik antara kedua perjanjian.

Yang terakhir tetapi bukan berarti tidak penting ialah konsepsi sejarah keselamatan yang mengaitkan kedua perjanjian menjadi satu.

Bila dipahami secara benar, berbagai hubungan timbal balik antara kedua perjanjian ini dapat dianggap sebagai menjelaskan kesatuan antara kedua perjanjian tanpa memaksakan suatu keseragaman atas bermacam-macam kesaksian alkitabiah., Ada kesatuan dalam perbedaan.

 

Saran-saran Pokok untuk Membuat Teologi Perjanjian Lama

            Suatu cara yang produktif untuk meneruskan dari keadaan dewasa ini nampaknya perlu bersandar pada saran-saran pokok, yaitu:

Teologia Alkitabiah harus dipahami sebagai sebuah disiplin yang bersifat historis-teologis. Maksudnya bahwa ahli teologi Alkitabiah yang terlibat dalam pembuatan baik teologi perjnjian lama maupun teologia Perjanjian Baru harus mengakui bahwa tugasnya adalah untuk menemukan dan menguraikan apa makna asli dari ayat dan juga apa arti ayat tersebut untuk masa kini.

Bila teologi Alkitabiah dipahami sebagai sebuah disiplin yang bersifat histori-Kristis, maka dengan sendirinya yang tepat harus bersifat historis dan theologis.,, maka dengan sendirinya metodenya yang tepat harus bersifat historis dan teologis sejak awal.

Ahli teologi Alkitab yang terlibat dalam telogia Perjanjian Lama menunjukkan pokok persoalannya lebih dahulu karena usahanya itu merupakan teologia Perjanjian Lama.

Penyajian teologi-teologi dari kitab – kitab atau kelompok tulisan dalam Perjanjian Lama akan lebih suka tidak mengikuti urutan kitab-kitab tersebut dalam urutan kanoniknya , karena urutan baik kanon Ibrani atau dalam LXX (Septuaginta).

Sebuah teologi Perjanjian Lama tidak sekedar berusaha untuk mengetahui teologia dari berbagai kitab, atau kelompok kitab; teologi Perjanjian Lama juga berusaha untuk mengumpulkan  dan menyajikan tema-tema utama dalam Perjanjiian Lama.

Waktu Perjanjian Lama ditanya untuk memperoleh teologinya, pertama-tama dijawab dengan memberikan berbagai teologi, yaitu teologi dari kitab-kitab terpisah dan kelompok tulisan dan kemudian dengan  memberikan teologi-teologi dari berbagai tema longitudional.

Ahli teologi Alkitabiah memahami teologi Perjanjian Lama sebagai lebih luas daripada teologi kitab Suci Ibrani. Nama teologi Perjanjian Lama menunjukkan kontek yang lebih luas dari Allkitab yang didalamnya Perjanjian Baru merupakan salah satu bagian.  Sebuah teologi Perjanjian Lama yang integral harus menunjukkan hubungannya yang mendasar dengan Perjanjian Baru atau dengan teologi Perjanjian Baru.

 

 

Walter C. Kaiser, Jr., Teologi Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas, 2000.

 

EVALUASI BUKU WALTER C. KAISER, JR.

“TEOLOGI PERJANJIAN LAMA”

 

Pendahuluan

            Bermula dari keprihatinan penulis tentang adanya Krisis besar dalam Teologi Alkitab, yakni ketidak mampuan disiplin ilmu tersebut mengemukakan dan menerapkan kembali Otoritas Alkitab maka penulis memberikan kontribusi tentang soal-soal Definisi dan Metodologi Teologi Perjanjian lama.Inti Pokok, yaitu kesatuan Alkitab secara rohani dapat memberikan pengertian yang tepat tentang Teologi Alkitab yang secara Induktif disediakan dan dipertegas oleh Alkitab sendiri.

 

 

Evaluasi Isi Buku

            Menurut penulis, sejak tahun 1933 Teologi Alkitabiah telah mendapat tempat yang terhormat di dalam pelajaran Teologi. Bentuk Eksistensial dari disiplin ilmu tersebut telah dikenal sebagai Gerakan Teologi Alkitabiah. Tulisan Langdom B. Gilkey: “Kosmologi, Ontologi dan kesulitan bahasa Alkitabih” serta pidato pengukuhan James Barr yang berjudul “Kebangkitan melalui Sejarah di dalam Perjanjian Lama dan Pemikiran Modern” menghantam Inti Gerakan Teologi Alkitabiah dengan menyingkapkan pendiriannya yang bercabang tentang kemodernan dan Alkitab. Akibatnya berbagai mujizat dan Firman Tuhan dalam Alkitab diberitakan sedemikian rupa (meniadakan perlunya disertakan) supaya tidak mengganggu berbagai hal yang dicapai oleh modernisasi.

            Awal dari kembalinya teologi itu dapat dilihat ketika von Rad menjawab pertanyaan tentang “obyek” dariTeologi Perjanjian Lama secara jujur: obyeknya adalah apa yang diakui Israael mengenai Yahweh. Pengakuan tersebut bukan merupakan pernyataan iman; pengakuan itu adalah tindakan yang dengannya bangsa tersebut menyatakan kesadaran mereka tentang hubungan mereka dengan Allah. Dengan demikian, tidaklah mungkin untuk menulis suatu teologi tentang Perjanjian lama: yang ada ialah teologi-teologi tentang Perjanjian Lama. Lebih jauh lagi, fakta sejarah yang sebenarnya haruslah dipisahkan dari sejarah yang ditafsirkan yang merupakan ungkapan iman  bangsa Israel seperti yang terlihat di dalam pengakuan iman yang ada di dalam Kitab Ulangan 25:5-10. Di dalam penafsiran sejarah yang berubah dan dibetulkan ini, menurut von Rad, teologi Alkitabiah dapat menemukan obyeknya.

            Beberapa orang, misalnya Horace Hummel dengan terang-terangan menyatakan bahwa “Teologi Alkitabiah sudah mati, dan IOVC (The Interpreter’s One – Volume Commentary on the Bible, Abingdon, 1971) merupakan saksinya. J. Christian Beker, Brevard S. Childs, B.W. Anderson dan Hans-Yachin Kraus, hanya menyebutnya sebuah krisis.Sekarang jelaslah bahwa masa setelah von Rad dipenuhi dengan banyak sekali analisis diri, dan beberapa masalah metodologi yang nyata tetap tak teratasi.

            Ada suatu kontribusi Injili dari teolog Menonit yaitu Clester K. Lehman pada tahun 1971 berjudul Biblical Theologi, jilid I, Perjanjian Lama. Pada tahun berikutnya Walther Zimmerli, teolog yang menjanjikan dari Jerman, memasukkan bukunya yang berjudul “Grundriss der altestamentlichen Theologi”.Sementara itu George Fohrer, menyusul bukunya “History of Israelite Relegion”  (edisi Jerman, 1969) dan studinya dalam Old Testament Thelogi and History pada tahun 1973, dan John L. McKenzie, seorang Katolik dari Amerika, menambahkan tulisannyaA Theology of the Old Testament pada tahun 1974. Selain beberapa monografi besar tersebut harus juga ditambahkan banyak artikel dalam majalah yang muncul secara berkesinambungan.

            Teologi Alkitabiah akan selalu merupakan jenis yang membahayakan sebelum metodologi yang kakutentang penelitian sumber imajiner, sejarah tradisi, dan tipe-tipe tertentu dari penelitian bentuk ditahan perkembangannya. Proses semacam itu tidak dapat begitu saja disamakan dengan suatu konsep statis tentang perkembangan catatan Alkitab. Sebaliknya penulis menandaskan bahwa jika catatan Alkitab dibiarkan berbicara tentang maksudnya sendiri terlebih dulu, maka jelas yang ditunjukkan adalah kemajuan, pertumbuhan, perkembangan, pergerakan, penyataan arti secara sporadic dan tidak teratur serta seleksi peristiwa-peristiwa di dalam aliran arus sejarah. Penulis setuju dengan Pere de Vaux bahwa sejarah ini bukan sekedar berguna untuk ilmu berkhotbah: sejarah ini haruslah nyata, atau ia tidak layak untuk dipercaya secara pribadi dan kemungkinan besar mengalami keruntuhan internal karena bobot penemuannya sendiri. Kalau meminjam sebuah pepatah kuno, dengan permintaan maaf, mungkin ada generasi yang telah dikelabui di suatu waktu, tetapi bukan semua sisa orang itu yang dikelabui sepanjang waktu.

            Allah tetaplah Tuhan yang berdaulat bahkan dalam bidang ini sekalipun. Karena itu, mendadaknya pemunculan gambaran Penciptaan, Jatuhnya pasangan manusia yang pertama, jangkauan universal dari janji kepada Abraham, keimaman semua orang Israel, atau ramalan yesaya tentang langit baru dan bumi baru, tidak perlu mengejutkan kita dan tidak perlu dinilai sebagai hal yang tidaak mungkin.

            Sifat teologi Perjanjian Lama seperti yang dipahami di sini bukanlah semata-mata suatu teologi yang sesuai dengan keseluruhan Alkitab, tetapi itulah teologi yang digambarkan dan dimuat di dalam Alkitab (subyektif genitive) dan secara berhubungan dari zaman ke zaman sebagai keseluruhan konteks anteseden sebelumnya, menjadi dasar bagi teologi yang menyusul pada setiap zaman.Strukturnya disusun secara historis dan isinya diperiksa dari segi eksegeses.Pusat dan konseptualisasinya yang menyatu bisa ditmukan dalam berbagai gambaran, penjelasan dan hubungan teksnya.

            Sampai dengan decade tujuh puluhan, prinsip yang dipegang dan paling dihormati di antara sebagian besar teolog alkitabiah adalah bahwa sejarah merupakan perantara utama bagi penyataan Ilahi di dalam Perjanjian Lama.Apa yang dapat diketahui mengenai Allah, haruslah diketahui lebih dulu melalui sejarah. Padahal tekslah yang selayaknya memiliki hak, entah teks itu dinyatakan sebagai diilhamkan atau tidak, untuk lebih dulu didengar berdasarkan hubungan antara teks itu sendiri dan dalam keutuhan kanonik serta kontekstualteks-teks itu sendiri. Lalu apabila dipakai suatu sarana pengukur kebenaran ( sebagaimana memang harus) terhadap konteks secara total (yang juga harus) maka sarana-sarana tersebut tidak boleh yang secara picik mewakili kepentingan jemaat dari suatu generasi yang mempunyai alasan yang khasuntuk menyetujui atau menentang suatu pandangan khusus mengenai kehidupan. Sebaliknya, semua kriteria dalam mengadkan pendekataan pada masalah harus menggunakan cara yang sama dengan system yurisprudensi Amerika yaitu: suatu teks tidak salah sebelum terbukti bersalah berdasarkan data-data yang diketahui. Data-dsta tersebut harus berasal dari narasumber yang ketelitian mereka tentang pokok-pokok yang dimaksud itu dapat ditunjukkan atau yang hidup sezaman dengan teks yang sedang diselidiki dan yang terkenal selalu dapat menghasilkan data yang dapat dipercaya.

            Dengan pendekatan ini, sejarah bisa kembali dijadikan sumber keterangan dalam keseluruhan konteksnya tentang waktu dan konteks penafsirannya.Sejarah dapat kembali menjadi perantara untuk memperoleh pengertian bersama dengan kesatuan konteksnya. Bilamana di antara segala keanekaragaman dalam teks itu terdapat suatu inti dari berondongan kegiatan ini, maka di dalam teks harus ditunjukkan bahwa inti tersebut adalah “titik awal” kanon sendiri dan di dalam teks harus ditegaskan kembali di dalam kesaksian bersama dari kanon bahwa inti itu merupakan kepeduliannya sendiri yang senantiasa hadir, pengharapan utama dan patokaan tetap tentang apa yang penting dalam teologi atau yang merupakan keharusan dalam teologi.

            Inti yang diperoleh dari teks itu, yang pada dasarnya disebut “janji” dalam Perjanjian Baru (epangelia), dikenal  di dalam perjanjian Lama dengan sekumpulan istilah. Ungkapan pertamanya ialah “berkat”. Itu merupakan karunia pertama Allah kepada ikan-ikan, ungags (Kej.1:22), dan kemudian kepada umat manusia (ay.28). Bagi manusia, berkat bukan hanya meliputi karunia Ilahi untuk berkembang biak dan “berkuasa”. Kata yang sama juga menandai kesiapan di mana semua bangsa di bumi dapat makmur secara rohani melalui pengantara yakni Abraham dan keturunannya; ini juga merupakan bagian dari “berkat” tersebut. Jelasnya pangkat tinggi harus diberikan kepada istilah ini sebagai kata pertama yang menunjukkan rencana Allah.

            Tidak diragukan lagi bahwa tokoh yang sangat penting adalah Abraham dan Daaud. Perjanjian masing-masing mereka semula dicatat di dalam Kejadian 12:1-3 dan II Samuel 7:11-16 (bdg. I Taw.17:10-14). Janji dan berkat Abraham segera menarik perhatian para pendengar mula-mula, sebagaimana juga menarik perhatian para pembaca berikutnya, karena keagungan isinya dan pengulangan ketentuannya di dalam Kejadian12-50.Demikian juga janji Daud menjadi harapan yang menggembirakan dalam sebagian besar tulisan para nabi dan penulis Tawarikh.

 

Evaluasi Bagian-bagian Isi Buku

 

Bagian I: Definisi dan Metode

            Tujuan penulis buku ini ialah untuk membedakan dengan tegas metode teologi Alkitabiah dengan metode teologi sistematika atau dengan sejarah agama. Ada sebuah pusat atau rencana hakiki yang kepadanya setiap penulis dengan sadar memberikan kontribusi. Suatu prinsip penseleksian sudah jelas dan ditentukan oleh Tuhan melalui penyingkapan yang belum sempurna berupa tema janji berkat Ilahi kepada semua manusia ketika kanon itu dimulai dalam Kejadian 1-11 dan dilanjutkan dalam Kejadian 12-50. Sebaliknya daripada menyeleksi data teologi yang cocok dengan khayalan kita atau yang memenuhi suatu kebutuhan mutakhir,  teks tersebut tentu sudah menetapkan prioritas dan pilihannya sendiri. Pokok-pokok yang rumit ini dapat dikenal, bukan berdasarkan kelompok-kelompok teologi atau gereja, melainkan berdasarkan kreteria seperti: (1) Penempatan yang kritis dari pernyataan-pernyataan yang bisa ditafsirkan  di dalam rangkaian teks;  (2) Frekuensi pengulangan ide-ide; (3) pengulangan frasa atau istilah yang mulai mengambil status teknis; (4) Diteruskannya tema-tema yang sudah dihentikan oleh seorang pendahulu sering kali dengan bidang pembahasan yang lebih luas; (5) Penggunaan kategori-kategori tuntutan yang digunakan sebelumnya yang dengan mudah memberikan gambaran tentang suatu tahap baru di dalam program sejarah dan  (6) Standar organisasi yang dengannya orang-orang, tempat-tempat, dan ide-ide ditandai untuk memperoleh pengesahan, perbandingan, pencakupan, dan pengertian masa sekarang serta masa yang akan datang.

            Jadi penulis menegaskan , menurut metodologi yang diajukannya, teologi alkitabiah mengambil struktur pendebatannya dari perjalanan sejarah teks dan mengambil seleksi teologi serta kesimpulan-kesimpulannya dari hal-hal yang ditemukan di dalam pusat kanonik. Dengan demikian teologi ini sebagian cocok dengan penekanan secara berurutan dan historis dari tipe diakronis teologi Perjanjian Lama dan penekanan normative dari tipe structural.

 

Bagian II: Materi untuk Teologi Perjanjian Lama

            Tanda dari Kejadian 1-11 dapat ditemukan dalam “berkat Eden, Nuh dan Abraham. Dengan pernyataan janji Allah untuk memberkati  seluruh makhluk ciptaan dalam permulaan narasi tentang masa sebelum para bapak leluhur (Kej. 1:22; 28), pada pokok-pokok yang strategis sepanjang jalan narasi (Kej. 5:2; 9:1), dan pada kesimpulannya (Kej. 12:1-3), maka tema, kesatuan, dan batas-batas teologi dari Kejadian 1-11 sudah pasti.

Firman tentang Penciptaan : Secara keseluruhan metode penciptaan sama jelasnya dengan sumbernya: Allah yang menciptakan, dan Ia melakukannya dengan Firman-Nya. Namun penciptaan dengan Firman menekankan lebih dari sekedar metodenya. Penciptaan dengan Firman juga menekankan bahwa penciptaan itu sesuai dengan pengetahuan lebih dulu Allah tentang dunia, karena Ia berfirman tentang apa yang sebelumnya telah Ia pikirkan dan rencanakan.

Firman Tentang Berkat : Firman Penciptaan diikuti dengan Firman tentang berkat. Dengan demikian semua makhluk di laut dan di udara dilimpahi dengan kemampuan untuk berkembang biak dan diberi suatu misi Ilahi.

Allah memberkati semuanya itu, firman-Nya : Berkembangbiaklah dan bertambah banyaklah serta penuhilah air dalam laut; dan hendaklah burung-burung di bumi bertambah banyak. Kejadian 1:22. Firman keselamatan Allah, menjadikan umat Israel umat-Nya, dimana Allah akan tinggal diantara mereka.Kemenangan janji Allah, umat-Nya masa sesudah Pembuangan. Bangsa itu akan merupakan umat Allah, suatu Jemaah (edah), kesatuan Israel  ketika mereka hidup, mengasihi dan menyembah Tuhan dengan “segenap hati/tulus”.

 

Bagian III: Hubungannya dengan Trilogi Perjanjian Baru

            Willis J. Beecher dalam kuliah yang ia sampaikan  di Princeton pada awal abad ini dengan topik bahwa Perjanjian Lama memuat sejumlah besar amalan mengenai Mesias yang akan datang dan bahwa, hal tersebut digenapi dalam Yesus Kristus, mungkin pada hakikatnya berasal dari Kitab Suci, tetapi secara struktur nyaris tidak demikian. Alkitab menyajikan sangat sedikit ramalan kecuali dalam bentuk janji-janji atau ancaman-ancaman. Alkitab berbeda dengan teologi-teologi yang sistematis dalam hal (penolakannya untuk melepaskan) ramalan dari janji atau ancaman ….. (dan) dalam menekankan satu janji ketimbang banyak ramalan. Inilah catatan yang umum dalam kedua kitab perjanjian itu – banyak perincian yang menjelaskan satu janji, janji itu berfungsi sebagai suatu doktrin utama dalam agama.

 

Penutup

            Buku Teologi Perjanjian Lama ini merupakan sebuah kontribusi dari seorang teolog yang semakin banyak membaca teologi zaman ini, semakin gelisah karena tidak mengemukakan dan menerapkan kembali otoritas Alkitab. Teologi Perjanjian Lama berfungsisebagai alat pembantu bagi teologi eksegesis dan bukan melakukan peranan lamanya sebagai penyedia data bagi teologi sistematika. Penafsir memerlukan suatu cara untuk dengan mudah memperoleh teologi yang berkaitan dengan teks yang sedang diselidikinya. Proses berteologi yang baik adalah memahami nilai-nilai Biblika (membaca ayat) atau eksegesa, metode dan penafsiran.

 

 

 

Horst Dietrich Preuss, Old Testament Theology, Volume 1-2. Stuttgart: W. Kohlhammer, 1992.

Top of Form

 

EVALUASI BUKU  HORST DIETRICH PREUSS

“Theology of the Old Testament – Volume 1”

 

Pendahuluan

Tidak banyak buku yang beredar yang “berani” untuk membahas mengenai teologi dari Perjanjian Lama. Tidak sejak tahun 1950an, sejak Gerhard van Rad, ada buku yang komprehensif untuk membahas mengenai teologi dari Perjanjian Lama. Memang untuk menggali pemikiran-pemikiran teologis dari Perjanjian Lama dibutuhkan suatu keberanian tersendiri. Horst Dietrich Preuss telah berusaha untuk menjawab tantangan tersebut.

Dalam bukunya ini, Preuss telah berusaha untuk menyusun kembali Teologia yang termuat dalam Perjanjian Lama, sebuah “upgrade” dari van Rad, dengan mempertimbangkan penemuan-penemuan dan penelitian-penelitian baru yang telah bermunculan sejak tahun 1950an. Seiring dengan buku dari van Rad, Preuss seperti teolog-teolog German lainnya, menggunakan bukti-bukti arkeologis untuk menceritakan kembali dan meberikan gambaran yang lebih lengkap mengenai dunia Perjanjian Lama. Tentunya jika ada penemuan-penemuan baru, pemikiran-pemikiran tersebut harus dikaji ulang.

Untuk lebih memahami buku ini, perlu dipahami struktur dan arti dari beberapa bagian yang dikemukakan oleh Preuss ini. Memang studi tentang Teologi Perjanjian Lama itu sulit untuk dilakukan. Akan tetapi, usaha harus tetap dilakukan untuk menyajikan sebuah skopa luas dari dunia kehidupan iman dan saksi dari Perjanjian Lama. Kesulitan dalam kajian ini teletak pada keterbatasan kita, yang hidup sekian ribu tahun kemudian, untuk memahami dunia yang berlaku pada jaman Perjanjian Lama itu. Mengenai hal tersebut dapat dikatakan bahwa kita sangat asing atas kebiasaan, kebudayaan khusus, dan dunia Perjanjian Lama pada umumnya.

Yang dilakukan oleh Preuss, menurut dia, mengenai Teologi Perjanjian Lama, adalah untuk memberikan massukan dan pendapat dari dirinya sendiri dan orang lain tentang pengertian dari “permasalahan teologis yang terkandung dalam keragaman akan kesaksian Perjanjian Lama dalam konteksnya.” Sama dengan hal itu, Teologi Perjanjian Lama dapat dipahami sebagai penelitian mengenai teologi yang terkadung dalam Perjanjian Lama, bukan teologi yang menggunakan Perjanjian Lama sebagai subjek kajiannya.

Sebagian besar teolog lainnya, telah menuliskan struktur dan isi dari buku Perjanjian Lama yang serupa dengan buku sejarah. Dengan demikian teologia yang dihasilkan juga bukan suatu teologia yang sistematis, karena bangsa Israel sekalipun, tidak mendapatkan teologi yang sistematis dari Allah. Preuss berusaha sebisa mungkin untuk tidak melakukan hal tersebut. Ia telah berusaha untuk tidak hanya menceritakan kembali sejarah itu dengan berbagai pandangan dan masukkan untuk memberikan gambaran yang lebih luas mengenai dunia Perjanjian Lama itu, tetapi juga memberikan pemikiran yang lebih meluas.

Untuk lebih memahami teologi dari Perjanjian Lama yang telah dituliskan oleh Preuss, perlu dipahami metodologi yang digunakan oleh dia. Yang pertama, Preuss telah berusaha untuk tidak mengemukakan sejarah dari agama Israel, akan tetapi sebuah teologi yang lebih tersistematis dan terstruktur. Usaha ini memang harus dilakukan untuk melihat gambaran yang luas, karena tidak terbatas dari kejadian-kejadian kronologis. Yang kedua, Preuss ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar metode hermeneutic dan eksigesa dari teks-teks yang ada dengan teologi yang dikembangkannya ini.

Yang ketiga, sebuah deskripsi sistematik telah ditetapkan, karena memang Perjanjian Lama dalam analisa akhirnya, memiliki suatu pusat. Yang keempat, karakter dari teologi yang dibangun harus bersifat dari dalam menuju keluar. Artinya adalah teologi yang ada harus mengemukakan pandangannya tentang Allah secara keseluruhan dengan cara menggali Perjanjian Lama itu sendiri. Yang kelima, formulasi sistematis harus dikemukakan secara jelas. Masukkan sejarah tidak boleh dibuang begitu saja, tetapi terintegrasi dalam sajian teologi yang sistematis dari Perjanjian Lama.

Akibat yang dihasilkan dari lima batasan metodologi teologi Perjanjian Lama yang dilakukan oleh Preuss ini, hampir tidak mungkin Perjanjian Lama disajikan secara kronologis dalam suatu kesatuan utuh. Dengan mengemukakan ide utama, harus dikemukakan akibat-akibat dari berbagai kejadian dalam pengemukaan ide utama tersebut. Akibatnya, akan ada teks yang letaknya dekat dengan ide utama, akan ada juga yang jauh – secara kronologis kejadian.

Dalam mencari ide utama, atau ide sentral, Preuss mengemukakan, perlunya pemahaman mengenai sifat-sifat umum dari iman terhadap YHWH, dan komponen-komponen yang membentuk dan menentukan struktur dasar tersebut. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat ditanyakan seperti: Bagaimana cara Perjanjian Lama membiacarakan tentang Allah?; Bagaimana Perjanjian Lama menceritakan tentang bagaimana Allah berbicara, dan bagaimana cara untuk berbicara kepada Allah?; dan pertanyaan lainnya.

Menurut Preuss, pusat dari Perjanjian Lama adalah pemilihan Allah dan akibat yang dihasilkan dari pemilihan tersebut. Pemilihan ini bukanlah kegiatan yang berhenti hanya dengan dipilihnya bangsa Israel. Dan bukan juga bukan di luar waktu, akan tetapi dalam sejarah dan sangat terbuka bagi perkembangannya. Kejadian utama dari pemilihan ini adalah pemilihan bangsa Israel dalam hubungannya dengan keluaran dari Mesir. Allah telah menetapkan sebuah wilayah, raja-raja, imam-imam, nabi-nabi, dan kota Yerusalem. Akibat dari pemilihan tersebut dan bagi mereka yang terpilih, pada dasarnya adalah untuk bersaksi mengenai Allah ini, dan juga hidup sesuai dengan tuntutan dari Allah.

Buku volume I ini berfokus terhadap usaha untuk menerangkan Allah yang memilih. Dalam hal ini Preuss mengemukakan arti dari pemilihan melalui studi kata, kerangka semantiknya, dan juga dengan pandangan dari kegiatan-kegiatan Allah dalam pemilihanNya itu. Ketetapan yang perlua dilakukan oleh bangsa Israel menitik beratkan formulasi yang dikemukakan Preuss melalui diskusi dari perjanjian yang dilakukan di Sinai dan hukum-hukum umum lainnya. Buku volume 1 ini berpusatkan mengenai nama-nama Allah, gelar, tindakan-tindakan, kekuasaan dari setiap kegiatan-Nya (roh Allah, malaikat-malaikatNya, kemuliaan-Nya dan kemuliaan nama-Nya, keadilan-Nya, berkat-Nya, kebijaksanaan dan Kata-kata-Nya), dan “sifat-sifat” Allah.  Preuss juga memperhatikan masalah pewahyuan.

Preuss memberikan porsi besar pada bagian awal dari pengungkapan ide sentral yang disarankannya. Preuss memulai dengan segala macam pengertian mengenai arti kata pemilihan itu sendiri yang terkandung di dalam Perjanjian Lama. Pengungkapan kata dan konsep pemilihan yang dilakukan dari dalam Perjanjian Lama, menimbulkan pengertian yang sangat kuat karena sebagian besar dari konsep ini ia ambil dalam konteks Perjanjian Lama. Pembaca akan dibawa kepada pengertian yang lengkap dari pengungkapan arti dari pemilihan itu sendiri.

Setelah pemahaman yang cukup luas dari konsep pemilihan Allah terhadap bangsa Israel, Preuss mengemukakan idenya bahwa akibat-akibat yang ditimbulkannya dari pemilihan ini membentuk bangsa Israel menjadi “bangsa teladan” dalam menjalankan bagian dari perjanjiannya. Mulai dari hukum-hukum utama, sampai dengan pelaksanaan teknis dari berbagai aspek kehidupan, semua itu harus dilakukan oleh bangsa Israel akibat dari pemilihan yang dilakukan oleh Allah terhadapnya.

Pada bagian kedua di dalam buku ini, Preuss kemudian menjabarkan secara panjang lebar tentang Allah, Sang pemilih. Segala sisi Allah diusahakan untuk dikemukakannya. Hal ini membawa pembaca kepada pengertian yang semakin mendalam akan hubungan bangsa Israel dengan Allah. Allah yang telah memilih dan membuat perjanjian kepada bangsa ini telah menyatakan diriNya agar bangsa Israel benar-benar mengenal siapa itu Allah yang telah memilih mereka. Pengertian akan Allah ini dari bangsa Israel membawa kepada tingkatan ketaatan yang lebih mendalam.

Dalam mengemukakan konsep tersebut, Preuss mendeskripsikan Allah. Dimulai dari nama-nama Allah, peruntukan istilah-istilah Allah, kekuatan dari Allah, dan aspek-aspek lainnya. Dari gambaran Allah ini yang digali dari dalam Perjanjian Lama, kita dapat melihat pandangan atau worldview bangsa Israel mengenai Allah. Pandangan ini penting dalam memahami berbagai alasan mengapa bangsa Israel melakukan apa yang mereka lakukan. Berbeda dengan kita sekarang ini yang telah “diwarisi” konsep Allah dalam kehidupan kita. Bangsa Israel memiliki konsep yang unik, baik pada jaman itu dalam hubunganya dengen bangsa lain, maupun dalam hubungannya dengan dunia masa kini.

Untuk dapat lebih memahami isi dari buku karya Preuss ini, dapat dilihat struktur isi dari buku ini sebagai berikut:

 

Bagian Satu:  Meletakan Dasar

Bab 2. Sebuah Tinjauan Pernyataan Dari Perjanjian Lama Mengenai Pemilihan mencakup adalah: Tindakan Allah Untuk Memilih, Kata Kerja “Memilih”, Pemilihan Pribadi, Pemilihan Umat, The Semantic Field, Penekanan Historis, Pemiihan Dan Sejarah, Teologi Dari Pemilihan dan Pertanyaan-Pertanyaan Lainnya.

Bab 3. Pemilihan Dan Keharusan Dari Umat mencakup adalah;  (1) Peristiwa Keluaran Sebagai Awal Dari Pemilihan Utama Yang Tampak, Israel Sebagai Masyarakat Terpilih, Israel Sebagai Bangsa Dan Masyarakat Beriman (Am (“Umat”) Dan Goy (“Umat”), “Israel”, Qahal, (“Perkumpulan”) Dan ‘Eda (“Jemaat”), Perbedaan-Perbedaan Di Dalam Israel, “Amphictyony”? dan Menuju Pengertian-Diri Dari Israel. (2) Masyarakat Dan Individu. (3) Tradisi Sinai Dan  Perjanjian Sinai (Tradisi Sinai, Perjanjian Sinai, Rumusan Perjanjian, Keluaran 32-34 dan Bangsa Yang Berkeluh Kesah Di Padang Gurun). (4) Kewajiban Dan Hukum: Dasar Teologis Dari Hukum Allah. (5) Musa: Tempatnya Dan Permasalahan Dari Penemuan Dan Pewahyuan Akan Sebuah Agama. (6) Kehendak Allah Membutuhkan Tanggung Jawab (10 Hukum, Tuntutan Allah Untuk Eksklusivitas (Hukum Pertama), Larangan Bagi Ilah Lain (Hukum Kedua) dan Pembentukan Konsep Monoteisme). (7) Wilayah Bagi Israel. (8) Allah Sebagai Prajurit Perang Dan Peperangan Allah (Yhwh Sebagai Prajurit, Peperangan Yhwh, Keadaan Untuk Belajar, “Larangan” dan Peperangan Dan Damai).

 

Bagian Dua:  Allah Sebagai Subjek Dari Tindakan Sejarah Dari Pemilihan

 

Bab 4. Allah Yang Memilih: Nama Dan Gelar Nya. Tindakannya Dan Kekuasaannya. Pernyataan Tentang “Sifat”-Nya mencakup adalah: (1) Nama-Nama Allah (Yahweh, Yahweh Sebaoth). (2) Peruntukan Istilah-Istilah Allah (Elohim, El, Eloah dan  Perwujudan Allah Melalui Nama-Namanya). (3) Allah Sebagai Raja (Kekuasaan Allah Dalam Kegiatannya, Roh Allah, Pengungkapan Allah, Malaikat Allah, Kemuliaan Allah, “Nama” Allah, Keadilan Allah, Berkat Allah, Hubungan Antara Kelakuan Dan Konsekuensi, Kebijaksanaan Allah dan Fiman Allah. (2) Allah Menyatakan Dirinya (Istilah-Istilah, “Pernyataan” Dalam Lingkungan Kebudayaan Israel, Perkenalan Diri Dan Pengetahuan Tentang Allah, Stuktur Dasar Dari Bahasa Perjanjian Lama Mengenai Pernyataan, Tindakan Allah Dalam Sejarah dan “Waktu” Menurut Saksi Dari Perjanjian Lama). (3) Allah Sebagai Pencipta (Mengenai Worldview, Bahasa Hymnic-Sepiential Mengenai Penciptaan, Kaum Yahweh, Sumber Keimaman, Deutero-Isaiah, Postexilic Psalms dan  Penciptaan, Sejarah Dan Keselamatan). (4) Pernyataan Perjanjian Lama Tentang “Sifat” Allah (Allah Sebagi Allah Kekal Tanpa Asal Muasal, Yang Kudus Dan Yang Kudus Bagi Israel, Kecemburuan Allah, Keluaran 34:6f, Allah Sebagai Allah Yang Hidup, Anthropomorphime Dan Anthropopathisme dan Sturktur Fundamental Bagi Saksi Allah Di Perjanjian Lama).

Bab 5. Dunia Allah Dan Dunia Yang Jauh Dari Allah mencakup adalah: Tempat Tinggal Allah,Tabut, Tenda (Pertemuan), Wilayah Allah: Cherubim, Seraphim Dan Malaikat, Iblis, Setan dan  Kerajaan Orang Mati.

 

Evaluasi secara Keseluruhan

Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa memang Preuss telah berhasil dalam pengungkapan teologia yang digalinya dari Perjanjian Lama. Preuss telah berhasil mengungkapkan ide-ide utama yang terdapat dalam Perjanjian Lama. Mengang pemikirannya ini akan membawa konsekuensi dimana akan ada ahli-ahli lain yang memiliki pandangan yang berbeda. Akan tetapi konsepsi Preuss dari teologia Perjanjian Lama ini akan berdampak lebih positif kepada pengertian tentang ajaran-ajaran Allah kepada kita, umatNya, di dalam Perjanjian Lama.

Teologi yang dikemukakan oleh Preuss ini, dapat menolong orang-orang percaya untuk memikirkan kembali tentang konsep mereka akan Allah yang kita sembah. Pengemukaan teologi ini akan menolong orang-orang percaya untuk memahami secara luas dan mendalam siapa itu Allah dan apa saja aspek-aspek Allah dan implikasinya dalam kehidupan orang percaya secara umum. Orang-orang Kristen yang terbawa arus pemikiran modern juga dapat menemukan pijakan yang kuat dalam iman mereka, yang dapat terbantukan oleh sistematika dan struktur teologia yang diberikan oleh Preuss ini. Bahaya penurunan derajat kemurnian Injil dengan pengaruh humanism alam wujud kompromi sosiologis dan antropologi, dapat dicegah dengan pengungkapan pengertian iman kita, secara sistematis, sebagai pegangan kehidupan iman kita.

 

Penutup

 

 

 

 

John Owen, Biblical Theology: The History of Theology from Adam to Christ. Grand Rapids: Soli Deo Gloria Publications, 20009.

 

Yonky Karman. Bunga Teologi Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.

 

 

 


 

 

 

 

Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1-3. 3 jilid. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.

 

EVALUASI BUKU DONALD GUTHRIE

”TEOLOGI PERJANJIAN BARU”

 

 

Pendahuluan

            Buku Teologi Perjanjian Baru ini merupakan sebuah kontribusi dari seorang teolog Eropa yang terbilang langka. Mengapa? Buku ini diwarnai dengan semangat teologi injili, sesuatu yang tampak kontras dengan semangat liberalisme dikalangan Kekristenan dan teolog Eropa, baik liberalisme pasca rasionalisme maupun neo-ortodoksi pasca PD.

            Dalam konteks Indonesia, buku Teologi Perjanjian Baru karangan Donald Guthrie ini juga unik, karena sebagai buku teologi ‘injili’, ia diterbitkan oleh PT BPK, yang menurut penilaian saya secara pribadi telah menjadi salah satu lembaga pencetak dan penerbit buku-buku teologi liberal.

            Sesuai dengan klaim Alkitab yang diyakini Guthrie, buku Teologi Perjanjian Baru karangannya ini masih tetap relevan dan masih tetap diperlukan oleh orang-orang Kristen dan para teolog, khususnya di Indonesia, yang ingin berkomitmen pada otoritas kebenaran Alkitab sebagai penyataan khusus Allah.

 

Evaluasi secara Keseluruhan

            Evaluasi ini lebih bersifat metodis, artinya membicarakan pergumulan Guthrie sebagaimana tampak dalam bukunya, sehingga bukunya tersebut layak disebut sebagai sebuah buku Teologi biblika sebafai berikut:

 

Klaim Kitab Suci Sebagai ’Batu Ukur’ sifat Normatif Teologi Biblika

Evaluasi saya atas hal ini didasarkan pada berbagai perdebatan masa kini tentang sifat disiplin Teologi Biblika. Salah satu perdebatan itu adalah tentang apakah Teologi Biblika itu semata-mata disiplin yang semata-mata bersifat Deskriptif, atau disiplin yang memang bersifat Normatif?

Gutrhie yakin bahwa dalam Teologi biblika, kita tidak hanya sekedar mempelajari sekumpulan hal yang dipercayai oleh orang-orang kuno. Dalam mengakes Alkitab, kita bukan hanya sekedar ingin mengetahui apa arti teks bagi orang-orang pada zaman teks itu ditulis. Alkitab mengklaim dirinya sebagai memiliki wibawa ilahi, yanjg sifatnya general, universal dan lintas zaman. Saya setuju dengan keyakinan Guthrie ini.

 

Ketegangan antara Pendekatan Teologi Sistematis (Tematik) dan

Pendekatan Teologi Biblika (Analitis)

Jika Guthrie serius dalam pembahasan Teologi Biblikanya, seharunya ia menggunakan pendekatan per kitab (analitis), bukan per tema (sintetis). Artinya, ia akan membahas setiap tema sejauh tema itu menonjol, atau muncul dan dibahas dalam sebuah kitab yang sedang dianalisisnya. Dengan demikian banyaknya tema yang menonjol atau yang muncul pada setiap kitab tidaklah sama. Tema yang menonjol di sebuah kitab belum tentu disinggung dalam kitab yang lain. Tetapi pendekatan analitis ini memang tidak populer untuk kebanyakan orang dewasa ini, meletihkan dan terasa tidak kontemporer.

Guthrie tampak ingin mengakomodasi semangat biblika dan semangat kontemporer. Soluasi yang ia lakukan adalah ia menggabungkan kedua pendekatan: Menggunakan pendekatan tematis sebagai pokok-pokok besar, tetapi kemudian membahas setiap kitab dalam Perjanjian Baru sejauh kitab tersebut menyinggung tema yang sedang ia bahas sebagai sub-sub pokoknya. Ia membuat ringkasan atas setiap analisis perkitabnya, diakhiri dengan ringkasan atas setiap tema pokok secara keseluruhan. Belakangan, pendekatannya ini tampak kurang konsisten ia terapkan pada bahasannya tentang kitab-kitab yang lebih kecil. Ia cenderung menyatukan kitab-kitab Yakobus, 1 dan 2 Petrus, 1, 2, 3 Yohanes, Yudas dalam satu rubrik analitis. Ia tidak meng-analitis masing-masing kitab itu satu persatu. Lebih tepat dikatakan bahawa ia men-sintesis-kan mereka.

Perhatikan bagaimana dua tema yang dikemukakan Guthrie: Kehidupan Kristen dan Etika Kristen tampak saling tumpang tindih. Guthrie membahas kedua tema tersebut karena kedua tema tersebut rupanya dituntut oleh Kitab Suci, sementara Guthrie di sini sedang menulis buku Teologi Biblika. Tetapi Kedua tema tersebut adalah tema yang asing dalam Teologi Sistematis.

Walau bagaimanapun, baik pendekatan tematis maupun pendekatan analitis, masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Guthrie tampaknya menyadari hal ini.

 

Introduksi yang seharusnya Ditempatkan di awal Buku

Guthrie telah benar dalam hal menempatkan penjelasan metode penulisannya, yaitu pendekatan yang ia gunakan di bagian depan buku ini. Tetapi ’pendekatan’ adalah masalah subyektif. Ada hal-hal yang lebih obyektif yang perlu dipahami oleh para pembaca buku ini, yaitu masalah sejarah dan natur Kitab Suci, serta sejarah dan natur disiplin Teologi Biblika, khususnya Teologi Perjanjian Baru. Tetapi justru hal-hal yang disebut terakhir ini ia letakkan di belakang bukunya, sebagai lampiran.

Guthrie menulis bukunya dengan sejumlah presuposisi tertentu. Berdasarkan isi bukunya, kita tahu bahwa presuposisi yang dimilikinya adalah injili. Seharusnya presuposisi-presuposisi inilah yang terlebih dahulu di komunikasikan kepada para pembacanya, pada bagian awal buku. Presuposisi obyektif, dalam artian presuposisi yang dinyatakan dan dituntut oleh Kitab Suci dari setiap orang percaya seharusnya diletakkan di depan/bagian awal bukunya.

Bisa jadi Guthrie ingin mengakomodasi kebiasaan banyak orang dewasa ini yang langsung kepada persoalan ’bagaimana’ dari persoalan ’mengapa’. Memang benar, orang lebih cenderung ingin langsung kepada isinya, dan tidak peduli dengan presuposisi.

Dalam hubungannya dengan kurikulum pendidikan teologi di sekolah-sekolah/seminar-seminari kita, misalnya. Ada mata kuliah Pengantar Teologi Sistematika, misalnya, tetapi tidak ada mata kuliah Pengantar Teologi Biblika. Padahal Teologi Biblika bersifat normatif terhadap Teologi Sistematika. Bertelologi dalam kerangka berpikir Teologi Sistematika (dogma) tampaknya lebih familiar bagi kebanyakan orang Kristen, bahkan bagi kebanyakan teolog Kristen dewasa ini. Ada berbagai faktor yang menyebabkan hal ini.

Menurut saya, persoalan ini sangat krusial, mengingat masih mudanya disiplin Teologi Biblika. Saya setuju dengan Walter Kaiser Jr., bahwa jika ada yang diajarkan dalam sejarah (selama 30 tahun), maka itu adalah penekanan bahwa sangat diperlukan solusi atas masalah-masalah yang belum dipecahkan: definisi, metode, obyek.

Terlepas dari masalah-masalah di atas, apa yang diperesuposisikan Guthrie di bagian awal bukunya sangat penting untuk kita perhatikan.

 

Evaluasi Atas Bagian-bagian Isi Buku

            Tidak cukup waktu untuk mengevaluasi seluruh isi buku Teologi Perjanjian Baru karangan Donald Guthrie ini. Beberapa hal saja yang akan saya singgung. Selanjutnya saya hanya akan mendaftarkan beberapa topik yang dapat didiskusikan lebih lanjut di kelas.

 

Hubungan PL-PB

Saya setuju dengan Guthrie, bahwa sangat perlu bagi setiap teolog untuk menjelaskan pemahamannya tentang hubungan antara ajaran-ajaran PL dan PB). Hal ini lebih penting daripada pengetahuannya tentang hubungan antara Teologi PB dengan penelitian latar belakang lainnya. Jika hal ini benar, maka teolog PB diharuskan untuk berupaya menjelaskan masalah kesinambungan dan perbedaan antara PL dan PB. Sayangnya, Guthrie sedikit sekali membahas persoalan ini lebih lenjut. Ia hanya sedikit berbicara tentang Perjanjian Lama sebagai latar belakang. Sebaliknya ia jauh lebih banyak membahas tentang Tulisan-tulisan Yahudi Palestina (tulisan-tulisan Apokaliptik, naskah-naskah Laut Mati, kitab-kitab Apokrif, tulisan-tulisan para Rabi) dan tulisan-tulisan Helenistik (tulisan-tulisan Philo, tulisan-tulisan Hermetika, Gnostisisme dan agama-agama misteri).

Selanjutnya, pandangan Guhtrie tentang hubungan PL – PB hanya ia kemukakan secara tersirat dalam keseluruhan isi tulisannya.

 

Persoalan Titik Tolak

Karena pengaruh pendekatan tematik, Guhtrie, mau-tidak mau harus menghadapi masalah yang dipergumulkan oleh Teologi Sistematika, yakni masalah titik tolak. Jika demikian, pertanyaanya adalah, mengapa Gutrhie memulai dengan doktrin Allah? Mengapa ia tidak memulai dengan doktrin Alkitab?

Dilema yang dihadapi Guthrie jelas di sini. Pembahasannya tentang Allah (doktrin Allah) di dalam bukunya ini adalah murni pendekatan Teologi Sistematis. Ia tidak membahas tema pokok (doktrin) ini dengan melakukan analisis per kitab.

Kemudian, ketika ia membahasa doktrin Allah, misalnya, mengapa ia bertolak dari ’Kemuliaan Allah? Mengapa ia tidak bertolak dari ’Kasih Allah? Bukankah ini Teologi Perjanjian Baru, bukan Teologia Perjanjian Lama?

Persoalan-persoalan serupa banyak dijumpai pada berbagai pokok bahasan Guthrie yang lain.

 

Berbagai Diskusi Teologis

Berikut ini adalah berbagai topik di dalam buku Teologi Perjanjian Baru karangan Donald Guthrie yang perlu dievaluasi lebih jauh adalah: Penderitaan (Theodicy), Dosa Warisan, Kemurtadan, Kemanusiaan Yesus, Kurios (Tuhan), Gereja dan Israel, Dasar Gereja, Gereja dan Kerajaan Allah, Predistinasi, Sakramen?, Kebangkitan Tubuh, Keadaan Sementara, Roh Kudus dan lainnya.

 

Penutup

            E. Wurthwein menulis bahwa dewasa ini kita makin terpisah jauh dalam hal kesepakatan tentang konteks dan metode penulisan PL dan PB dari pada keadaan kita lima puluh tahun yang lalu. Ia mendaftarkan paling tidak delapan metode penulisan Teologi Biblika. Brevard S. Childs saja mendaftarkan sekurang-kurangnya delapan model Teologi Alkitab masa kini.

            Pendakatan Guthrie mungkin dapat digolongkan ke dalam pendekatan Didaktik-Dogmatik (Sistematika-Sintetis). Ini merupakan metode tradisional dalam mengorganisasikan Teologi Biblika, yang dipinjam dari Teologi Sistematika/Dogmatika. Gutrhie tampak berusaha menggunakan metode Teologi Sistematika untuk menentukan bagian-bagiannya (pokok-pokok bahasannya), yaitu: Allah-Manusia-Keselamatan (Teologi-Antropologi-Soteriologi). Sama seperti R. C. Dentan milsanya, Guthrie dalam struktur bukunya Teologi Perjanjian Lama, menunjukkan sulitnya mengatur bahan-bahan PL di bawah rubrik-rubrik tradisional ini.

            Ada berbagai persoalan ketika menulis Teologi Perjanjian Baru (dan Teologi Perjanjian Lama) dengan pendekatan ini. Misalnya, akan ada banyak materi PB yang tidak berhubungan dengan pokok-pokok/tema-tema Allah-Manusia-Keselamatan ini yang akan dikesampingkan/diabaikkan. Misalnya materi tentang Kehidupan/Etika Kristen, yang telah dengan cerdik diakomodasi oleh Guthrie di dalam bukunya ini.

            Terlepas dari persoalan-persoalan di atas, Guthrie telah berhasil menanamkan banyak sekali hal penting kepada pikiran para pembaca bukunya: Otoritas Alkitab sebagai catatan ’tentang’ penyataan Allah dan ’adalah’ penyataan khusus Alah sendiri, yang bersifat tanpa salah, normatif, hangat dan relevan bagi masa kini.

 

 

George Eldon Ladd, A Theology of The New Testament. Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing, 1993.

Evaluasi Buku George Eldon Ladd

“A Theology of the New Testament”

 

Pendahuluan

Secara umum Ladd membagi pembahasan Teologi PB dalam bukunya ke dalam enam bagian yang memang merupakan pembagian yang umum dipakai oleh para sarjana. Adapun pembagiannya adalah dimulai dengan Teologi Injil Sinoptik, Teologi Injil Yohanes, Teologi Kisah Rasul, Teologi Surat-surat Paulus, Teologi Surat-surat Umum dan di akhiri dengan Teologi dalam Kitab Wahyu. 

 

Bagian Pertama: Injil Sinoptik

Ladd memulai pembahasan dengan memberi pendahuluan dengan memberikan dua hal penting yaitu pertama, tentang sejarah perkembangan  Teologi Perjanjian Baru mulai abad pertengahan sampai dengan perkembangan Teologi Perjanjian Baru pada masa kini khususnya di Amerika. Kedua tentang Teologi Alkitab, sejarah dan kanonisasi. Salah satu pembahasan penting dalam bagian ini yang jarang di bahas oleh para teolog atau ahli Alkitab lain adalah topik tentang teologi Alkitab dengan kanon. Apakah pengkajian Teologi Alkitab hanya dibatasi oleh 66 kitab dalam kanon atau boleh juga berdasarkan buku lain-lain termasuk Apokripa? Jawabannya adalah tidak karena dalam kanon mengandung sifat sejarah suci yang didalamnya ada sejarah penebusan yang dikerjakan oleh Allah.

Pembahasan kedua adalah tentang Yohanes Pembaptis. Menurut penulis, pembahsan ini kurang dapat dikategorikan dalam Teologi Perjanjian Baru, tetapi lebih merupakan pembahasan tentang tokoh dalam Perjanjian Baru. Berhubungan dengan Yohanes Pembaptis topik yang berhubungan dengan teologi PB misalnya adalah teologi tentang Baptisan, khususnya tentang sumber dan latar belakang baptisan Yohanes.

Pada bagian ketiga sampai dengan sembilan, Ladd membahas Teologi Kerajaan (Kerajaan Allah).  Dalam literatur khususnya tulisan yang bersifat apokaliptis Yahudi, seringkali muncul dualisme eskatologis dimana satu sisi ada pengharapan akan adanya tatanan dunia baru di sisi lain kennyataan dunia masa kini yang penuh kejahatan, karakter zaman ini berlawanan dengan karakter zaman yang akan datang. Selain itu munculnya realita adanya kuasa yang lain yaitu roh-roh jahat dan setan-setan, maka keberadaan Kerajaan Allah merupakan sesuatu kebutuhan bagi umat Allah.  Karena Kerajaan Allah merupakan topik penting dan merupakan “kebutuhan” bagi umat pada waktu itu maka muncul berbagai tafsiran tentang Kerajaan Allah.

Dalam pembahasan tentang topik Kerajaan Allah ini Ladd membahas terlalu luas dalam pengertian bukan hanya pengertian Kerajaan Allah dalam konteks PB tetapi pengertian Kerajaan Allah dari masa PL sampai masa reformasi juga mendapat tempat dalam pembahasannya. Dalam kalangan Yahudi penekanan Kerajaan Allah adalah bahwa Allah sebagai Raja baik atas bangsa Israel (Kel. 15:18) maupun atas seluruh umat manusia di dunia (2Raj. 19:15).  Walaupun Allah sekarang adalah Raja, referensi lain mengatakan tentang hari ketika Ia akan menjadi Raja. Kenyataan ini menuntun kepada suatu kesimpulan bahwa sementara Allah adalah Raja, Ia harus juga menjadi Raja, yaitu Ia harus menyatakan kerajaan-Nya di seluruh dunia.

Dalam konteks PB Kerajaan Allah (basileia tou theou) juga mempunyai beberapa penafsiran. Pertama, Kerajaan Allah adalah Kerajaan Surga karena penggunaan kedua istilah ini sering bergantian dan keduanya merupakan idiom untuk bahasa Semitik dimana Surga adalah nama pengganti untuk hal illahi. Kedua, dimengerti sebagai kerajaan eskatologis, dimana pemerintahan Allah secara langsung pada suatu saat nanti akan dapat dinikmati. Ketiga, Kerajaan Allah dimengerti sebagai Kerajaan masa kini. Salah satu argumen untuk pendapat ini berdasarkan tafsiran Matius 12:28, “Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Roh Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu.” Dalam bagian akhir pembahasannya tentang topik ini Ladd mengatakan, “Kerajaan Allah aktif dalam Perjanjian Lama. Dalam peristiwa-peristiwa seperti kitab Keluaran dan pembuangan ke Babel, Allah bertindak dalam kuasa kerajaan-Nya untuk melepaskan atau menghakimi umat-Nya. Namun dalam pengertian nyata, Kerajaan Allah telah datang ke dalam sejarah dalam pribadi dan misi Tuhan Yesus.”

Dalam pembahasan selanjutnya khususnya Kerajaan Allah dalam konteks pengajaran Yesus, Ladd mengartikan sebagai Masa Baru Keselamatan. Masa Baru keselamatan ini dalam pengertian, pertama Kerajaan itu sebagai alam berkat masa kini, dimana Kerajaan Allah dimengerti sebagai dinamika pemerintahan Allah yang aktif dalam Yesus, yang berati alam yang penuh berkat masa kini yang diterima oleh setiap manusia yang menerima perkataan Yesus. Kedua, Kerajaan Allah sebagai suatu anugerah masa kini. Ini berarti Kerajaan Allah bukan hanya pemerintahan Allah yang dinamis, melainkan juga dipakai untuk menunjukkan anugerah hidup dan keselamatan. Bentuk nyata dari anugerah masa kini ini ialah anugerah, keselamatan, anugerah pengampunan dan anugerah pembenaran dari Tuhan.

Berbicara tentang kerajaan tidak terlepas dari Sang Raja yang memerintah, maka dalam pembahasan selanjutnya Ladd mengupas tentang Allah dari Kerajaan. Ladd menjelaskan tentang “doktrin Allah” dalam konteks Kerajaan Allah, dimana Allah yang memerintah dalam Kerajaan ini adalah pertama Allah yang mencari melalui misi Yesus yang melayani orang berdosa. Kedua, Allah yang mengundang, dimana Yesus menggambarkan keselamatan eskatologis dengan jamuan atau pesta dengan banyak tamu yang diundang (Mat. 22:1-). Ketiga, Allah sebagai Bapa. Allah mencari dan mengundang umat manusia untuk menyerahkan diri ke dalam pemerintahan-Nya supaya Ia menjadi Bapa mereka, yang merupakan suatu pertalian yang tak terpisahkan antara Kerajaan Allah dan Kebapaan-Nya. Keempat Allah yang Menghakimi. Allah yang mencari juga Allah yang suci maka Ia menuntut kebenaran diantara umat yang diundang-Nya.

Pembahasan selanjutnya adalah tentang misteri Kerajaan.  Dalam hal ini Ladd menjelaskan tentang aturan bagaimana menafsirkan perumpamaan-perumpamaan yang dipakai oleh Tuhan Yesus untuk menggambarkan tentang kerajaan Allah. Ini penting karena Tuhan Yesus menggunakan perumpamaan-perumpamaan seperti empat macam tanah, ilalang, biji sesawi, ragi pukat dan sebagainya yang seringkali berkaitan dengan pengajaran tentang Kerajaan Allah. Adapun prinsip penafsiran perumpamaan secara umum adalah, pertama, perumpamaan tidak boleh ditafsirkan seakan perumpamaan itu adalah alegoris. Kedua perumpamaan harus dipahami sebagai sesuai dengan latar belakang kehidupan historis pelayanan Yesus dan bukan dalam kehidupan gereja.

Dalam pembahasan pada bab kedelapan Ladd mengupas tentang Kerajaan Allah dan gereja, khususnya tentang hubungan diantara keduanya. Pertama Gereja bukanlah Kerajaan itu, dalam pengertian gereja tidak identik dengan Kerajaan Allah. Dalam PB tidak menyamakan orang-orang percaya dengan Kerajaan Allah. Kedua, kerajaan itu menciptakan Gereja. Kerajaan Allah yang dinamis yang hadir dalam misi Yesus, menantang manusia untuk menanggapi dan membawa mereka ke dalam persekutuan yang baru yang akhirnya terbentuk gereja. Ketiga, Gereja bersaksi untuk kerajaan itu. Keberadaan dan kehadiran gereja adalah untuk menyaksikan Kerajaan Allah. Gereja tidak dapat membangun atau menjadi kerajaan, tetapi hanya menyaksikan tentang Kerajaan itu. Keempat, Gereja adalah alat kerajaan itu. Murid-murid Yesus tidak hanya memberitakan Kerajaan Allah tetapi mereka adalah juga alat dari Kerajaan Allah dalam hal bahwa pekerjaan-pekerjaan Kerajaan itu dilaksanakan melalui mereka seperti halnya melalui Yesus sendiri. Kelima, Gereja adalah penjaga Kerajaan itu.

Pembahasan terakhir tentang kerajaan Allah dalam bab kesembilan adalah tentang Etika dari Kerajaan itu. Ada beberapa ahli yang tidak menyetujui teologi Tuhan Yesus tetapi memuji pengajaran etika-Nya karena menemukan makna yang abadi dalam ajarannya. Dalam etika pemerintahan Allah, membahas tentang hubungan positif antara ajaran etika Yesus dengan beritanya tentang Kerajaan Allah. Pertama etika bersifat absolut karena merupakan etika pemerintahan Allah.  Yesus mengajarkan kehendak Allah yang murni, tidak berkondisi dan tanpa kompromi yang diletakkan Allah di atas manusia sepanjang masa. Kedua, etika hidup batiniah. Etika Kerajaan Allah memberi penekanan baru atas kebenaran hati. Penekanan utamanya pada karakter batiniah yang mendasari perilaku.  Ketiga, Pencapaian Kebenaran. Bagaimana mencapai kebenaran dalam Kerajaan itu? Dalam hal ini Yesus mensyaratkan pembaharuan batin yang akan menyanggupkan manusia untuk memenuhi ajaran-ajaran-Nya.  Iman terhadap kerajaan yang dinyatakan oleh Yesus akan menghasilkan kehendak dan kekuatan untuk manaati perintah-perintah Kerajaan yang baru ini. Keempat, Pahala dan Anugerah.  Banyak pengajaran Yesus sehubungan dengan Kerajaan yang baru dikaitkan dengan pahala. Tetapi konsep pahala disini berbeda dengan konsep Yahudi pada umumnya yang dianggap sebagai semacam jasa. Dalam Kerajaan yang baru ini pahala adalah merupakan anugerah yang diberikan secara cuma-cuma.

Pembahasan dalam bab kesepuluh adalah tentang Mesias atau Teologi tentang Mesias. Dalam konteks PL istilah Mesias (Mashiah) tidak dipakai, pemunculannya memakai kasus genitif seperti “Mesias Yehovah”.  Namun istilah Mesias pertama-tama  dimengerti sebgai orang yang diurapi oleh Allah, yang penggunaan mula-mula dalam konteks mesianik dalam 1 Samuel 2:10 dengan istilah orang yang diurpi-Nya. Dalam konteks Yudaisme antara perjanjian, khususnya dalam literatur-literatur apokaliptis, ide Mesias mulai berkembang.  Akhirnya dalam literatur para Rabi sebagai satu keseluruhan, Mesianis rajani keturunan Daud menjadi tokoh sentral dalam pengharapan mesianis, sementara istilah Anak Manusia tidak lagi dipakai.

Dalam konteks kitab Injil, pengharapan orang-orang Yahudi terhadap Mesias cukup jelas,  dengan karakteristik sebagai keturunan Daud (Mat. 21:9), dilahirkan di Betlehem (Mat. 2:5) dan Ia akan hidup selama-lamanya (Yoh. 12:34).  Dalam perkembangannya pengharapan Mesias adalah sebagai Raja keturunan Daud yang diurapi Allah dan akan membebaskan secara politik dari penjajahan bangsa non Yahudi, dan mendirikan kerajaan dunia dengan kekuatannya yang besar. Sedangkan dalam surat-surat Paulus pengharapan Mesianik mempunyai konotasi soteriologi. Sedangkan pengakuan Yesus sebagai Mesias pertama muncul dari pengakuan Petrus ketika ia ditanya oleh Tuhan Yesus, dan pengakuan ini diteguhkan oleh Tuhan Yesus sendiri (Mrk. 8:27-29). Pemunculan tentang pengakuan Yesus sebagai Mesias kedua adalah ketika Yesus diperiksa di hadapan Sanhedrin dengan pertanyaan “apakah Enkau Mesias, . . .?” Jawaban Yesus menegaskan tentang pengakuan ini. Istilah yang berkaitan dengan Mesias dan sering dikenakan pada Tuhan Yesus adalah Anak Daud.

Pembahasan selanjutnya dalam bab kesebelas yang masih terkait dengan Mesias adalah Anak Manusia.  Tanda kemesiasan yang penting dalam Injil Sinoptik adalah Anak Manusia. Fakta yang mendukung pentingnya istilah Anak Manusia ini adalah pertama, Anak manusia adalah cara yang sering dipakai (disukai) Yesus untuk menyebutkan diri-Nya sendiri. Kedua, sebutan ini tidak pernah dipakai oleh orang lain untuk menyebutnya. Ketiga, Tidak ada bukti dalam Kisah Rasul atau surat-surat kiriman bahwa gereja kuno menyebut Yesus sebagai Anak Manusia.

Secara latar belakang istilah Anak Manusia sering di pakai dalam PL dan hanya menyatakan anak manusia secara harafiah. Hanya dalam kitab Daniel istilah Anak Manusia dipakai dalam pengertian lain yang disejajarkan dengan orang-orang kudus (Dan. 7:21-27).  Dalam PB  pengertian Anak Manusia lebih spsifik mengarah kepada Yesus dan pekerjaan-Nya. Tuhan Yesus menggunakan istilah Anak Manusia yang harus menderita untuk menebus dosa manusia, yang pada akhirnya istilah ini terkait dengan karakter dan pekerjaan Mesias.

Pembahasan lain dalam bab dua belas adalah tentang Anak Allah. Menurut Ladd Yesus memandang diri-Nya sebagai Anak Allah dalam cara unik sehingga Ia terpisah dari semua orang dalam “berbagi” keesaan dengan Allah, yang merupakan hal mustahil bagi manusia biasa. Menurut penulis istilah Anak Allah bukan terkait dengan Yesus memandang dirinya, tetapi terkait dengan esensi dan keberadaan-Nya. Seperti pernyataan Marshall yang dikutip oleh Ladd bahwa Anak Manusia adalah sarana yang sempurna untuk menyatakan kesadaran pribadi ilahi Yesus.

Dalam Bab ketiga belas membahas tentang persoalan Mesianis yang terkait dengan Yesus dari sejarah dan Yesus History. Persoalan ini muncul karena ada beberapa ahli yang membedakan Yesus yang dari Sejarah dengan Yesus yang diimani oleh gereja dan yang menekankan ketransendenan Yesus.  Dalam kesimpulannya Ladd mengatakan bahwa Yesus yang diimani memang Yesus yang ada dalam sejarah, sehingga Yesus yang Alkitabiah bukanlah Yesus yang dihasilkan oleh iman. Gambaran Alkitab tentang Yesus adalah kesaksian dari Para Rasul. Pernyataan Ladd , “ Iman saya tidak menciptakan konstruksi itu, tetapi iman saya adalah bahwa sifat Allah dan sejarah punya tempat untuk Yesus yang digambarkan Injil yang memungkinkan saya menerima kesaksian Alkitabiah.” Sebuah pernyataan yang mewakili kaum injili tentang relasi iman, sejarah dan Yesus.

Pembahasan selanjutnya dalam bab empat belas adalah tentang misi Mesianis.  Karena pengertian Mesias dalam kalangan orang Yahudi dan Yesus sebagai Mesias berbeda maka perihal misi yang dijalankan juga berbeda. Misi Yesus bukan membebaskan orang Israel secara politik seperti harapan mereka, tetapi misi yang bersifat rohani berhubungan dengan kebebasan manusia dari dosa. Misi yang dilakukan Yesus adalah untuk meraih kemenangan sebagai Mesias melalui kematiann-Nya di kayu Salib.

Pembahasan terakhir dalam bagian pertama (Teologi Injil Sinoptik) adalah tentang eskatologi. Penekanan eskatologi dalam Injil Sinoptik adalah tentang kebangkitan tubuh, neraka, hukuman kekal datangnya kerajaan Baru yang diharapkan yang terkait dengan kedatangan Yesus kedua kali. Tentang waktu datangnya Kerajaan Baru ini terkait dengan tiga ungkapan yang berbeda yaitu unsur kesegeraan, penundaan dan ketidak pastian.  Ketiga hal ini sepertinya berlawanan satu dengan yang lain. Menurut Ladd kesegeraan ialah unsur paling penting dalam eskatologi yang diajarkan Yesus. Ketika kedatangan itu belum terjadi, gereja harus menyesuaikan penundaan parousia; dan hal ini diambil sebagai salah satu faktor yang menentukan dalam perkembangan doktrin Kristen.

 

Bagian Kedua: Injil Keempat (Yohanes)

            Dalam pembahasan pertama (Bab 16) tentang Injil Yohanes Ladd membahas tentang persoalan kritis dalam Injil Yohanes yang terkait dengan perbedaan-perbedaan dengan Injil  Sinoptik. Perbedaan yang meliputi  lokasi pelayanan Yesus, kosa kata yang dipakai Yesus, gaya bahasa, bentuk sastra dan penekanan  teologis. Perbedaan yang sering menjadi bahan perdebatan di antara para sarjana ialah penafsiran Injil Yohanes sebagai produk kedua dari dunia Helenistis, dimana berita tentang Yesus telah disesuaikan dengan kebudayaan Helenistis. Salah satu usulan pemecahannya ialah bahwa Yohanes dengan sangat hati-hati menyusun kembali dan menginterpretasikan kata-kata Yesus agar sesuai dengan situasi kontemporernya.

            Hal menarik lain yang dibahas oleh Ladd dalam Bab tujuh belas adalah tentang adanya dualisme dalam Injil Yohanes. Dualisme antara dunia masa kini dan dunia masa datang, antara gelap dan terang, antara daging dan roh, dualisme dalam eskatologi antara dunia bawah dalam kekuasaan Iblis dengan dunia atas yaitu dunia terang, dualisme dunia Yahudi dan dunia Yunani.  Adanya dualisme ini berlatarbelakang dunia filsafat Yunani.

            Pengajaran penting yang ditekankan Yohanes adalah tentang Kristologi (bab 18). Yang menarik dari Kristologi Yohanes adalah menyatakan Yesus sebagai Logos, suatu istilah yang Yesus sendiri tidak pernah menggunaknnya. Logos berasal dunia Yunani (Heroclitus) dan merupakan unsur penting dalam Stoa yang dalam Kristologi Yohanes mengacu kepada pra-eksistensi Yesus. Penekanan lain adalah tentang Yesus sebagai Mesias, Anak Manusia dan Anak Allah.

            Topik lain yang merupakan kekasan Injil Yohanes adalah pengajaran tentang Hidup yang Kekal.  Hidup kekal dalam Injil Yohenaes pertama dimengerti sebagai yang bersifat eskatologis seperti yang terlihat dalam Yohanes 12:25. “Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal.” Namun demikian dalam pengajaran Hidup Kekal dalam Injil Yohanes juga ada unsur kekinian, dimana hidup kekal pada masa yang akan datang sudah diberikan Yesus pada masa kini. Maksud misi Yesus adalah membawa pengalaman hidup  kekal masa depan kepada hidup masa kini (Yoh. 10:10).  Salah satu hal penting yang mengkaitkan Hidp kekal dengan masa kini adalah pengetahuan akan Allah melalui Yesus Kristus.

            Injil Yohanes selain berbicara tentang kehidupan kekal, juga membahahas tentang kehidupan Kristen masa kini (bab 20).  Kehidupan masa kini ditandai dengan iman, hidup berdasarkan etika Kristen, Kehidupan bergereja yang didalamnya ada unsur sakramen.

            Pengajaran lainnya yang penting dalam Injil Yohanes adalah pengajaran tentang Roh Kudus (bab 21). Menurut Ladd, pengajaran Roh Kudus dalam Injil Yohanes agak berbeda meskipun tidak bertentangan dengan pengajaran Roh Kudus dalam kitab-kitab lainnya. Kalau dalam Sinoptik mencatat tentang turunnya Roh Kudus, Dalam Yohanes lebih menekankan tentang pribadi dan karya Roh Kudus. Salah satu istilah khas dalam Injil Yohanes adalah penyebutan Roh Kudus dengan Parakletos, yang  akan menggantikan tempat Yesus dan melanjutkan pelayanan-Nya terhadap murid-murid-Nya.

            Pembahasan terakhir dalam Injil Yohanes oleh Ladd ialah tentang eskatologi. Kalau dalam Sinoptik menekankan Kerajaan Allah dalam Yohanes menekankan eskatologi dalam pengertian hidp kekal. Penekanan lainnya dalam eskatologi Yohanes adalah tentang kedatangan Yesus kedua kali, kebangkitan dan hukuman kekal.

 

Bagian Ketiga:  Gereja Mula-Mula (Kisah Para Rasul)

            Secara umum Ladd memberi porsi yang lebih sedikit terhadap pembahasan Kisah Rasul dimana ada empat point utama yang dibahasnya yaitu Teologi Kisah Para Rasul (bab 23), Kebangkitan (bab 23), Kerygma Eskatologis (bab 25) dan Gereja. Secara Teologis Kisah rasul dianggap sebagai karya Teologis yang merefleksikan kehidupan dan pemikiran gereja mula-mula.

            Pembahasan kedua ialah tentang kebangkitan. Kebangkitan Yesus merupakan peristiwa historis yang akhirnya mempengaruhi kehidupan para murid. Kebangkitan Kristus dan kebangkitan mereka yang telah menjadi milik-Nya merupakan dua bagian dari satu peristiwa, dua babak dari satu drama, dua tahap dari satu proses. Hubungan waktu diantara keduanya tidak penting, hal ini tidak mempengaruhi hubungan teologisnya. Kebangkitan Kristus merupakan kebangkitan eskatologis yang pernah terjadi dalam sejarah dan telah menyebabkan lahirnya gereja.

            Kerygma eskatologis merupakan topik berikutnya yang dibahas oleh Ladd.  Dimana menyelusuri topik tentang kesengsaraan Yesus, permulaan kebangkitan, Kerajaan Allah, kenaikan, Raja Mesias Anak Manusia dan Yesus sebagai Tuhan berdasarkan kitab Kisah Para Rasul.  Menurut penulis pembahasan itu kurang sesuai dengan Teologi Kisah Rasul, karena topik-topik yang dimunculkan bukan merupakan penekanan berita Kisah Rasul.

            Pembahasan yang sangat sesuai dengan berita Kisah Rasul adalah pembahasan dalam bab ke 26 ini yaitu tentang gereja.  Kalau mau menelusuri lahirnya gereja harus dimulai dengan Kisah rasul, dimana menurut Ladd permulaan Gereja dimulai dengan peristiwa Pentakosta. Gereja mula-mula adalah berbentuk persekutuan orang-orang percaya dan ditandai dengan adanya kehidupan dalam kasih, persekutuan, diakonia dan persaudaraan.  Salah satu yang menandai adalah adanya baptisan.

 

Bagian Empat: Paulus

            Ladd memberikan tempat yang luas untuk membahas tentang Teologi Paulus (12 Bab). Paulus adalah seorang pemikir terbesar dalam PB yang memberi penjelasan tentang makna pribadi dan pekerjaan Tuhan Yesus. Pembahasan dimulai dengan memberikan latar belakang keyahudian Paulus sampai dengan pertobatannya menjadi pengikut Kristus. Menurut Ladd yang menjadi inti teologi Paulus adalah pembhenaran oleh Iman.

            Pembahasan kedua dari teologi Paulus oleh Ladd adalah tentang sumber-sumber pemikiran Paulus.  Secara umum surat-surat Paulus bukanlah karya-karya teologis atau produk sastra formal, melainkan bersifat non sastra, menghidupkan koresponden pribadi yang ditulis dengan perasaan mendalam terhadap jemaat-jemaat Kristen yang yang kebanyakan didirikan oleh Paulus sendiri. Namun demikian Paulus dapat dikategorikan sebagai seorang teolog sistematis dalam arti bahwa ia telah berusaha menyusun suatu sistem ajaran yang konsisten, padat dan seimbang seperti seorang teolog modern.  Selain itu, “keteologian” Paulus berdasarkan latar belakang keyahudiannya, sehingga kita dapat mengenali teologi Paulus sebagai interpretasi terhadap makna pribadi dan karya Kristus dalam relevansi praktisnya bagi kehidupan Kristen.

            Topik lain yang muncul dalam teologi Paulus adalah tentang manusia di Luar Kristus.  Dalam beberapa bagian Paulus menggunakan istilah dunia untuk menggambarkan orang yang di luar Kristus, meskipun di beberapa bagian juga mempunyai arti yang lain. Istilah-istilah lain yang diapakai oleh Paulus dalam bagian ini masih terkait dengan kondisi manusia di luar Kristus adalah hati nurani, dosa, daging, seteru-seteru, kematian dan Kristus.

            Pembahasan selanjutnya dalam bab ke 30 tentang pribadi Kristus menurut gambaran Paulus. Istilah-istilah yang dipakai Paulus untuk melukis pribadi Kristus dalam surat-suratnya adalah Yesus sebagai Mesias, Yesus sebagai Anak Allah, dan Kristus sebagai Adam yang Terakhir.  Dalam bagian-bagian ini Paulus menjelaskan tentang Kristus menurut istilah-istilah yang sudah dimengerti atau setidaknya sudah biasa dalam lengkungan Yahudi. 

            Dalam bagian selanjutnya Ladd membahas tentang Karya Kristus menurut Paulus, dimana pembahasan difokuskan dalam dua hal yaitu: pertama, Penebusan, kedua Pembenaran dan Pendamaian. Menurut pengamatan penulis pembahasan kedua topik ini meskipun dibedakan dalam dua bab, terjadi overlaping pembahasan, dimana dalam pembahasan tentang penebusan penjelasan-penjelasan mengenai pembenaran dimasukkan didalamnya. Dalam penebusan, melalui kematian Kristus merupakan unsur utama, sedang yang melandasi ialah kasih Allah. Karena kasih ini maka ada unsur pengorbanan bagi orang lain.

            Dalam doktrin pembenaran, bagi Paulus bersifat eskatologis. Hal ini dihubungkan dengan pernyataan Paulus dalam Roma 8:33 “Siapakah yang akan menggugat orang-orang pilihan Allah? Allah, yang membenarkan mereka? Siapakah yang akan menghukum mereka” Kalau dalam Yudaisme dasar pembenaran adalah ketaatan kepada hukum dalam teologi Paulus dasarnya adalah kematian Kristus. Hal yang terkait langsung dengan pembenaran adalah pendamaian. Kalau pembenaran adalah hasil keputusan ilahi tentang pembebasan orang berdosa dari kesalahan, pendamaian adalah pemulihan kepada persekutuan yang diakibatkan oleh pembenaran.

            Pembahasan selanjutnya dalam bab 33 adalah tentang psikologi Paulus.  Dalam bagian ini menurut penulis antara judul dengan pembahasan kurang menyambung, karena porsi pembahasannya lebih banyak tentang sarx daging. Apa perlunya membahas psikologi Paulus dalam kaitannya dengan teologi PB?

            Pembahasan dalam bab 34 adalah tentang hidup baru dalam Kristus. Hidup baru adalah persatuan dengan Kristus di dalam kematian dan kebangkitan-Nya, suatu kehidupan yang dimiliki oleh orang beriman yang telah menjadi ciptaan baru di dalam Kristus. Salah satu ayat pendukung untuk bagian ini adalah Roma 8:10 “Tetapi jika Kristus ada di dalam kamu, maka tubuh memang mati karena dosa, tetapi roh adalah kehidupan oleh karena kebenaran.”

            Hukum Taurat merupakan pembahasan dalam bab selanjutnya, dimana Paulus memberikan penafsiran baru berdasarkan terang pengenalan akan Tuhan Yesus. Bagi Paulus meskipun Taurat merupakan pengungkapan yang benar dan kudus tentang kehendak Allah, namun Taurat telah gagal membuat manusia benar di hadapan Allah.

            Dalam bab 36 Ladd membahas tentang kehidupan Kristen.  Pembahasan ini sebenarnya sebagian sudah dibahas atau tumpang tindih dengan pembahasn bab 34 tentang hidup baru dalam Kristus. Penekanan dalam bagian ini tentang kehidupan praktis seperti kehidupan yang meneladani Kristus, pengudusan, kehidupan dalam kasih dan bagaimana menyikapi terhadap hal-hal jahat.

            Dalam bab 37, Ladd membahas teologi Paulus tentang gereja. Secara struktur konsep Paulus tentang gereja tidak jauh berbeda dengan gereja dalam Kisah Rasul. Menurut Paulus ekklesia adalah kesinambungan umat Allah dalam PL meskipun tidak identik dengan umat Israel. Penekanan Paulus tentang gereja adalah persekutan orang-orang kudus (orang percaya) sebagai tubuh Kristus.

            Pembahasan terakhir Ladd tentang Teologi Paulus adalah eskatologi. Penekaan eskatologi paulus adalah tentang keadaan peralihan dari masa kini kepada masa yang akan datang, yaitu kedatangan Kristus dan kebangkitan orang mati.  Hal lain yang terkait dengan eskatologi paulus adalah perihal tidurnya orang mati, kembalinya Kristus, rahasia kekerasan hati Israel dan keselamatan akhir, kebangkitan dan pengangkatan, penghakiman dan penggenapan.

 

Bagian Lima: Surat-Surat Umum

            Pada bagian kelima (bab 39-43) Ladd membahas Teologi dalam surat-surat umum.  Meskipun semua surat disinggung penekanan dan porsi utama pembahasannya adalah dalam kitab Ibrani. Teologi utama dalam Ibrani adalah adanya dualisme dua dunia dan keimaman atau Imam Besar. Kristus sebagai Imam besar yang melayani dan memberikan korban satu kali untuk selamanya.  Dalam Surat petrus teologi yang menonjol adalah tentang pemeliharaan ilahi dalam penderitaan manusia.  Secara umum pembahasan dalam surat-surat umum oleh Ladd hampir semacam  tafsiran, kurang mengangkat teologi utamanya.

 

Bagian Enam: Apokalips

            Menurut pengamatan penulis pembahasan Ladd tentang Kitab Wahyu bukan hanya sebatas teologi kitab wahyu tetapi dicampur dengan tafsiran kitab Wahyu.  Hal ini terlihat dari penjelasannya tentang isi kitab wahyu satu topik yang pada umumnya masuk dalam tafsiran.  Selain itu pembahasan keduanya tentang metode-metode penafsiran kitab Wahyu. Sedangkan secara teologi, teologi utama kitab Wahyu adalah teologi Apokalips dimana Ladd memberikan tiga bagian utama dalam teologi kitab Wahyu ini yaitu: Pertama, Masalah kejahatan dimana Kitab Wahyu menubuatkan satu periode dimana kejahatan dahsyat akan terjadi. Kedua, Datangnya Murka, dimana masa kesengsaraan dibarengi dengan turunnya murka Allah atau penjatuhan hukuman Allah atas manusia. Ketiga, Kedatangan Kerajaan, yang ditandai dengan kehancuran kejahatan oleh kedatangan Tuhan dan masa berkat kehidupan kekal yang dinikmati oleh umat Tuhan.

 

Evaluasi secara Keseluruhan

            Menurut pengamatan penulis, hasil karya Ladd dapat diakatakan mewakili pandangan kelompok Injili tentang teologi, yaitu teologi yang dibangun berdasarkan data-data Alkitab. Konsep dan pandangannya terhadap Alkitab ikut menentukan teologi yangt dihasilkannya. Pembahasan yang diberikan berdasarkan asumsi teologi Injili yang jelas.

Dari segi pembahasan ada beberapa yang overlaping dalam satu bab, dimana dua topik berbeda tetapi isi pembahasnnya ada kesamannya. Sementara itu pembagian kelompok besar pembahasnnya dalam konteks teologi PB tidak harus berdasarkan kitab tetapi dapat juga berdasarkan topik per topik. Pembagian kedalam enam bagian yaitu sinoptik, Injil Yohanes, Kisah Rasul, Surat-surat Paulus, Surat-surat Umum dan Kitab Wahyu adalah pembagian yang sering dipakai secara biblikal bukan pembagian dalam konteks teologi.

 

 

Charles C. Ryrie, Biblical Theological of the New Testament Chicago: Moody Press, 1999.

 

 

A book to be used in conjunction with commentaries, that will assist any reader to have a new appreciation of the authors, circumstances, and writings of the New Testament.

 

 

 

 

 


 

 

3. Alkitab: Pro dan Kontra

 

Harold Lolowang. Menyibak Kontroversi Dugaan Ketidakaslian Alkitab. Yogyakarta: Andi, 2009.

 

 

EVALUASI TERHADAP BUKU. Harold Lolowang

“Menyibak Kontroversi Dugaan Ketidakaslian Alkitab”

 

Pendahuluan

Buku yang ditulis oleh Ir. Harold Lolawang ini, sedang menanggapi dan menyibak buku “Misquoting Jesus” Karya Bart D. Ehrman, Ph. D. Buku “Misquoting Jesus” ini menduga bahwa telah terjadi perubahan-perubahan penyalinan Alkitab yang dilakukan oleh para penyalin Alkitab dari masa purba sampai Abad pertengan. Para penyalin telah mengutak-atik ayat yang asli. Intinya bahwa Alkitab yang ditulis itu bukan ilham Allah dan Yesus bukan Allah.

Buku “Misquoting” ini, menjelaskan bahwa gelar Yesus sebagai Allah itu adalah tambahan, orang Kristen percaya akan tipuan ini, konsep tritunggal itu disisipkan dalam 1 Yohanes 5:7, Markus 16:9-20 tidak ada dalam naskah asli, 1 Timotius 3:16 bukan Allah yang menyatakan diri dalam rupa manusia Dia hanyalah manusia biasa yang bermanifestasi diri dalam rupa manusia.

Walaupun pandangan ini sangat rasional dan pengaruhnya dapat membuat orang tidak percaya lagi terhadap Alkitab dan Yesus adalah Tuhan. Untuk mengungkap dan membuktikan bahwa alasan-alasan yang meragukan kebenaran Alkitab menurut penulis  “Misquoting Yesus” maka perlu diadakan penyelidikan. Itulah yang dilakukan oleh Ir Harold Lolawang untuk membuktikan: Apakah yang dikatakan dalam buku Misquoting Yesus itu tidak benar, atau sebaliknya akan menyibaknya melalui mencari sumber-sumber sebagai dasar kebenaran untuk membungkam pandangan ini supaya terbuka kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya. Sehingga dapat menyatakan Alkitab itu benar dan sumber kebenaran yang tidak diragukan, dia menyibaknya dalam buku ini.

Dampak yang diakibatkan dari membaca buku “Misquoting Yesus” ada dua yaitu:

Bagi mereka yang tidak bersandar kepada Roh Kudus, akan segera memberi respon yang negatif terhadap iman kepada Alkitab dan Tuhan Yesus telah dikasihinya.

Kemungkinan setelah membaca buku “Misquonting Yesus”, orang itu semakin belajar dan terus belajar dan menemukan kebenaran. Ia semakin teguh pada imannya, dapat membedakan mana yang bersumber dari kebenaran.

 

Evaluasi Keseluruhan Buku

Berangkat dari Titik Awal yang Salah

 

Pengaruh Buku-buku dalam Penyesatan sampai Diakhirat

            Jika titik awalnya benar, hasil akhirnya benar. Sebaliknya titik awal yang salah akan menghasilkan hasil akhir juga yang salah.

            Membaca buku-buku tanpa dasar dasar yang berisi asumsi, berdasarkan fiksi, rekaan, perkiraan, dan yang sejenisnya seolah-olah membenarkan dugaan khayal para pengarang dan menolak Yesus. Dalam hal ini dugaan bisa dianggap benar, bahkan melebihi kebenaran Alkitab karena “kelihatan ilmiah”. Banyak orang tidak sadar bahwa itu dugaan dan asumsi sipengarang. Misalnya buku The Jesus Family Tomb ditulis Simcha Jacobovici dan Charles Pellegrino dan the Da Vinci Code ditulis oleh Dan Brown. Buku-buku ini menulis sangat berbeda dengan Yesus menurut Alkitab. Buku The Da Vinci Code mengisahkan pernikahan Yesus dengan Maria Magdalena dan juga hasil pernikahan mereka (di Prancis Selatan). Buku the Jesus Family Tomb mengisahkan bahwa Jasad Yesus dan keluarganya telah ditemukan di kompleks makam Talpiot di Yerusalem Selatan. (Berdasarkan fakta-fakta historis tidak cocok).

            Pengaruh buku Injil menurut Dan Brown dari penelitian George Barna, ada 45 juta orang Amerika membaca buku ini, 5% pembaca yang diubah keyakinannya. Artinya ada 2 juta orang Amerika diseret ke Neraka hanya karena buku fiksi.

 

“Misquoting Jesus” Ehrman untuk Kaum Awam Kristen

            Buku ini ditulis ditujukan kepada kaum awam yang benar-benar lugu dalam bidang teologi. Buku ini menyoroti “kesalahan-kesalahan Alkitab dan kronologis perubahan-perubahan (baik tidak disengaja maupun disengaja), sehingga member konklusi “bahwa orang Kristen tidak perlu percaya sepenuhnya Alkitab karena Alkitab memang sama sekali tidak dapat dipercaya”. Hal ini tidak benar.

            Kesalahan titik awal yang ditujukan kepada Bart Ehrman, dia re menjadikan dirinya sendiri sebagai seorang agnostic? Dia langsung tidak mempercayai Alkitab sebagai firman Allah. Letak kesalahan awalnya adalah:

 

Alkitab hanya sebagai bagian dari Liturgi

            Akibat pandangan yang dangkal tentang Alkitab menjadi awal yang keliru “buku itu terkesan kuno, tidak melihat alasan untuk membaca sendiri atau mempelajarinya. Titik awal yang salah dalam kehidupan masa remaja Ehrman, Alkitab tidak menjadi hal yang utama dalam hidupnya sebagai orang Kristen, dalam kelas sekolah minggu lebih berfokus persolan-persoalan praktis dan social dan cara hidup di dunia ini. Hal ini berbeda dengan yang berangkat dari titik awal yang benar (Yos. 1:8).

 

Teologi Menduga-duga seperti Peristiwa

Penggodaan di Taman Eden

            Buku “Misquoting Jesus” berisi dugaan-dugaan seperti orang masuk gua atau dapat juga dimisalkan seperti ketika seseorang melakukan perjalanan pertama kali ke tempat yang tidak pernah didatangi. Jika diteliti buku itu penuh dengan uangkapan-ungkapan keraguan yang dikemas dalam bentuk yang sangat tidak pasti dan menduga-duga. Kata-kata yang digunakan adalah berbagai variasi dari ketidakpastian.

 

Buku Misquoting Jesus dan

“Kata-kata melayang yang tidak pasti”

            Kitab Lukas 22:39-46 Yesus berdoa di Bukit Zaitun. Dalam ayat 43-44 diungkapkan ketika Dia berdoa ada malaikat menampakkan diri untuk memberi kekuatan dan keringat-Nya berubah menjadi titik-titik darah. Ehrman menyatakan bahwa bisa jadi ayat-ayat yang membicarakan keringat menjadi titik darah ini merupakan tambahan para penyalin kemudian. Menurutnya, kenyataan Naskah Alexandria tidak memuat ayat 43-44. Ini adalah asumsinya, tetapi ada banyak pembaca buku ini menerimanya sebagai sebuah kepastian. Padahal Naskah Alexandria itu sendiri telah tercemar pemikiran Origenes yang memasukkan paganisme ke dalam terjemahannya.

            Sebenarnya manuskrip Alexanderia bukanlah manuskrip terawal karena ada Peshitta (manuskrip bertuliskan tulisan Aram, bahasa yang digunakan Yesus ketika itu) yang jauh lebih awal. Manuskrip Peshitta ini menjadi sumber bagi Alkitab yang digunakan Gereja Orthodoks Timur. Juga ada kitab Waldens, manuskrip Curationian, dan manuskrip awal lainnya yang lebih awal dari naskah Alexandria.

            Dalam “Misquoting Jesus” banyak halaman memuat ungkapan “kata-kata melayang dan tidak pasti”. Hal tersebut terdapat dalam buku menyibak Kontroversi ada 103 “ketidakpastian” ada dalam buku Ehrman. Semua orang menyingkirkan “kata-kata melayang dan tidak pasti”. Alkitab dianggap tidak benar. Contoh “kata-kata melayang dan tidak pasti dalam buku Misquoting Jesus: Jesus dijadikan Allah oleh Para Penyalin. Halaman 122, pendapatnya disimpulkan tentang 1 Timotius 3:16 yang dikatakan Ehrman “dapat disimpukan garis dibuat dibelakangnya…” artinya, arti itu dalam 1 Timotius 3:16 adalah kata “yang” atau “siapa” yang dalam bahasa Yunani di tulis sebagai OS (dengan O yang tidak memiliki garis di tengahnya) dan bukan kata “Allah” (QS ; huruf O yang ada garis tengahnya, yang disebut Theta).

            Menurut Ehrman, akibat penambahan garis datar ini secara sengaja, dari OS menjadi QS, frasa yang asli sengaja diubah mejadi “Yesus adalah yang nyata dibuat dalam daging”. Menurutnya, tambahan garis datar terjadi belakangan. Pengubahan ini konon dilakukan oleh penyalin sesudah itu dan mengubah Kristus dari manusia menjadi Allah  (dijelaskan jawabannya di bab 11).

            Teologi “menduga-duga” adalah konsep lama yang dikemas dalam kemasan yang baru.Konsep membingungkan membingungkan sudah ada sejak Taman Eden, memutarbalikkan kebenaran firman Allah, dengan menggunakan kata “tentulah”. “Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?” (Kej. 3:1b).

Iblis  dengan memakai nama Allah (yang dikatakan sebagai Allah berfirman), kata “tentulah” member pemahaman bisa “ya”, bisa juga “tidak”. Kalau “ya” syukurah…jika “tidak” ya tidak apa-apa, dianggap tidak apa-apa, padahal konsekuensinya kehilangan kemuliaan Allah. Jadi metode tipuan ini sangat berbahaya sekali, samar-samar dan tidak kentara. Jadi hal penting di sini perlu dipahami bahwa telah terjadi penyelewengan firman Allah berwujud bentuk lama di Taman Eden dalam kemasan baru dalam bentuk buku-buku yang yang menggoyahkan iman kristiani.

Konspirasi yang tidak terlihat Konpirasi menyajikan “dugaan” disajikan berdampingan dengan “data pembenar” yang menyokong asumsi mereka. Iblispun sekarang gencar melakukan konspirasi yang secara sadar dan tidak sadar dilakonkan oleh orang-orang yang dimata manusia sebagai “pakar Alkitab” untuk meruntuhkan kebenaran Alkitab sebagai Firman Tuhan. Tujuannya supaya orang Kristen ragu terhadap Alkitab dan Yesus Kristus Tuhan dan Juruselamat.

            Pembual Cendikiawan. Setiap hari kebohongan-kebohongan mengintai kita. Sebab inilah yang terjadi sekarang ini. Banyak ahli yang mempelajari Alkitab, dengan klasifikasi doctor dan pakar, yang dengan seenaknya melakukan pengibulan. Mereka memberikan data yang kelihatan pasti, tetapi sesungguhnya semua jauh dari kebenaran. Dengan buku-buku hard cover yang menarik, dengan ulasan sistematik, hati-hati cendikiawan tukang kibul. Tertipu dengan modal kata “bisa jadi”, “diduga”,  atau tampaknya”.

 

Supaya Manusia tidak Bergantung kepada Allah

            Konsep cendikiawan tukang kibul itu sungguh hebat. Mereka menyiapkan konsep teologia “tentulah” yang semua hanya menduga-duga. Banyak kata “mungkin”, “rupanya”, tampaknya”, dan “pastilah”. Tujuannya hanya satu, yaitu supaya manusia tidak bergantung kepada Allah dan berpihak kepada Iblis.

            Untuk mencapai tujuan itu, Iblis berusaha membuat manusia terpengaruh dengan teologi “tentulah” yang dirancangnya sejak di Taman Eden. Berbagai ajaran palsu dilancarkan.

 

Menghadapi “Badai Iman”

            Sikap skeptis Ehrman beruba dari ketidak percayaan”bola salju sebesar kelereng “menjadi “bongkaan besar”, dengan tegas ia tidak mempercayai Alkitab sebagai firman Allah. Ia menulis dengan sikap skeptic, itu terjadi karena Ia mengambil posisi titik awal yang salah. Ia memulai dengan rasio, bukan iman. Alkitab dipandang hanya sebagai buku liturgy biasa. Ehrman menuliskan Alkitab tidak ditandaskan secara berlebihan dan buku itu terkesan kuno.

            Karena ia menulis perilakunya yang tidak lagi beriman kepada Kristus, ia sangat yakin dan menularkan sifat goyah ini kepada pembacanya. Karena titik awal yang salah, ia berakhir pada titik yang salah. Mulai buku “Misquoting Jesus” dan beberapa buku sebelumnya, ia seolah-olah mempengaruhi orang Kristen lain untuk bersatu padu menyerang wibawa Alkitab.

 

Prinsip yang Diajarkan Yesus

untuk Menghadapi “Badai Iman”

            Jauh sebelum badai-badai iman ini terjadi, Tuhan Yesus sudah mengibaratkan orang yang mendengar dan melakukan perkataaan-Nya sama seperti orang yang mendirikan rumah di atas batu (Mat. 7:24-25).

 

Bab. 5-6  Apakah Isi Alkitab Sekarang bukan Pengilhaman Allah?

            Dalam bab ini Ehrman dengan bukunya “Misquoting Jesus” memberikan kesan bahwa Alkitab sudah tidak asli lagi sebagai ilham Allah karena penyalinan yang telah diubah. Perubahan ini membuat orang Kristen merasa sudah dikibuli oleh Alkitab yang dikatakan dasar iman yang murni. Horald Lolowang mengatakan jangan percaya dulu dengan Ehrman, perlu melihat fakta-fakta yang akan dia kemukakan.

            Naskah Bizaitun sumber asal Alkitab KJV yang murni) dikatakan dikatakan oleh mereka kurang historis dan kurang murni . Padahal uraian naskah itu lebih dekat dengan kehidupan Yesus. Codex Vaticanus dan Siniaticus yang ditemukan pada abad pertengahan dikatakan sebagai manuskrip yang sangat historis oleh Ehrman. Naskah ini dipelintir , hasilnya kedua naskah penuh kesalahan-kesalahan. Wescott dan Hort mengikuti Codex Vaticanus dan Codex Sinaiticus dan mengubah total kebenaran ilahi. Menolak semua kebenaran dan menjadikan Alkitab PB versi mereka yang berbeda dengan manuskrip asli. Tetapi bagi Ehrman, manuskrip yang asli adalah codex Vaticanus dan Codex Sinaiticus. Anehnya, ternyata kedua naskah minority Text) sudah banyak dipreteli, codex ini tidak memuat Markus 16:9-20. Ehrman sangat mepuja-puja KV dan KS.

 

 

 

 

 

Peshitta dan Kelompok Sumber-sumber Asal Alkitab

di lingkungan Gereja Timur (Orthodox)

            Kelompok ini tidak dimasukkan oleh Ehrman, padahal Peshitta sesungguhnya dikenal sebagai bentu awal dari segala manuskrip Alkitab di kalangan gereja –gereja ortodok). Kata “Peshitta” ini berarti sederhana atau tepat. Peshitta adalah dokumentasi tertulis yang diabadikan dari para rasul dalam bentuk bahasa Aram yang orisinal menjadi bahasa yang dipercakapkan Tuhan Yesus. Lebih memperkuat lagi bukti bahwa Peshitta jauh lebih tua dibandingkan dengan KV dan KS sebagai naskah tertua. Jauh dari yang dikemukakan Ehrman.

 

Kelumit Penjelasan Beberapa bagian Alkitab yang

Dipertanyakan dalam buku “Misquoting Jesus” (I)

            Dalam bab 2 Misquoting Jesus dan buku sejenisnya dipenuhi dengan kata-kata “tampaknya”, “kemungkinan besar”, siapa tahu”, “ada kemungkinan”, dan variasi-variasi serba tidak pasti. Dengan hikmat Roh Kudus akan menguraikan hal-hal yang dikatakan Ehrman dipalsukan dalam Alkitab, sesungguhnya tidak demikian. Contoh Wanita yang berzina  dalam Yohanes 7:53-8:11 adalah kisah yang ditambahkan kemudian tidak pernah ditulis dalam Kitab Yohanes yang Asli? Kisah ini menurutnya hanyalah fiktif dan tidak pernah terjadi sama sekali karena tidak ada dalam Injil yang asli. Alasan Ehrman sangat lemah karena berdasarkan asumsi, menggunakan kata”kemungkinan”, ini Spekulasi “kemungkinan”.

Bab 2 halaman 61-66 buku “Misquoting Jesus” menyebutkan bahwa kedua belas ayat  dalam Markus 16 tidak asli dan ditambah kemudian. Dapat dijelaskan bahwa ada dua alasan yang kurang tepat di atas sebagai berikut: Pertama, Ehrman hanya berasumsi bahwa cerita itu ditambah-tambahi oleh penyalin belakangan. Nama penyalin tidak disebutkan, tuduhannya sangat spekulatif. Kedua, cerita itu tidak ada dalam Injil Markus yang Asli”. Sampai saat ini tidak ada ahli yang dapat memastikan mana naskah yang aslih. Semua para ahli mengemukakan panangan yang berbeda tentang manuskrip yang asli. Dari bab 9 bahwa kebingungan dan kerontokan iman tidak perlu terjadi asal tetap berpegang teguh pada pada Alkitab, dan bab 10 topik masih sama dengan materi yang lainnya.

Bab 11 tentang sekelumit penjelasan Alkitab yang dipertanyakan dalam buku Misquoting Jesus (3) Apakah benar manuskrip asli dalam 1 Timotius 3:16 menyatakan Yesus bukan “Allah menjadi daging” (rupa manusia). Alkitab KJV “…was manifest in the Fels, Manuskrip dari Qirbet Qumran bukti arkeologis 1 Timotius 3:16 adalah penemuan dokumen 7Q4 di Qumran. Arti 7Q4 adalah manuskrip no 4 yang dikemukakan dalam gua Qumran nomor 7. Dalam bab 9 menjelaskan gua-gua Qumran yang mempunyai berbagai manuskrip awal selama ribuan tahun. Terkuak thn 1947 ditemukannya manuskrip 7Q4. Dalam manuskrip nomor 4 itu diperoleh data tentang keabsahan potongan yang menceritakan 1 Timotius 3:16. Seorang tokoh gereja purba, Hipplytus (170-236), dalam bukunya berjudul melawan Noetus, mengutip 1 Timotius 3:16.” Untuk Allah kami yang bersama-sama kita dalam rupa tubuh”. Christosomus (350 M) mengutif dengan menggunakan bahasa Yunani, kemudian Gregorus dari Nyassa (370) mengutif ayat ini 22 kali, Ignatius (100 M).

 

Bab akhir ini Menjelaskan Alkitab sebagai Pedang Roh

Dalam bab 6-7 bagaimana isi Alkitab dipreteli para teolog modern dengan mengeluarka intinya sehingga tersisa remah-remah”. Upaya iblis mengganti pedang yang asli dengan pedang palsu. Alkitab sebagai pedang , yang adalah firman kebenaran, mau diganti dengan kepalsuan. Yesus dikatakan tidak lahir dari anak dar, tidak ada Trinitas Allah; gelar Yesus sebagai Tuhan ditiadakan; Yesus identik dengan anak dewa; surge dan deneraka dikaburkan ; orang jahat tidak masuk neraka, setan tidak perlu diusir, tetapi cukup ditegur saja dan masih banyak ajaran Alkitab yang menyimpang. Dr D. A. Waite mengingatkan bahwa “kita dapat menggunakan Alkitab yang enak dibaca sekalipun tidak cocok dengan perkataan Allah, tetapi semua itu tidak ada gunanya. Alkitab yang tidak menyuarakan firman Allah sama sekali tidak berguna karena bukan pedang Roh, melainkan pedang mainan. Kita harus mengerti bahwa kuasa Yesus Kristus Tuhan itu luar biasa. Berdirilah teguh diatas Firman Tuhan. Jangan percaya dengan buku yang menyesatkan. Percaya dan tetap teguh dengan janji firman Tuhan, sama halnya dengan memegang pedang Roh”.

 

Evaluasi Bagian-bagian Tertentu

            Buku yang berjudul “Menyibak Kontroversi dugaan ketidakaslian Alkitab” yang ditulis oleh Ir. Horald Lolowang, lebih menyoroti atau lebih dominan menanggapi buku “Misquoting Jesus” yang ditulis oleh Bart D. Ehrman. Bart menduga adanya perubahan-perubahan penyalinan Alkitab yang dilakukan para penyalin dari masa purba sampai Abad Pertengahan. Dalam bab ini Ehrman dengan bukunya “Misquoting Jesus” memberikan kesan bahwa Alkitab sudah tidak asli lagi sebagai ilham Allah karena penyalinan yang telah diubah. Perubahan ini membuat orang Kristen merasa sudah “dikibuli” oleh Alkitab yang dikatakan dasar iman yang murni.

Para penyalin telah mengutak-atik ayat yang asli. Intinya bahwa Alkitab yang ditulis itu bukan ilham Allah dan Yesus bukan Allah. Buku Misquoting ini, menjelaskan bahwa gelar Yesus sebagai Allah itu adalah tambahan, orang Kristen percaya akan tipuan ini, konsep tritunggal itu disisipkan dalam 1 Yohanes 5:7, Markus 16:9-20 tidak ada dalam naskah asli, 1 Timotius 3:16 bukan Allah yang menyatakan diri dalam rupa manusia Dia hanyalah manusia biasa yg bermanifestasi diri dalam rupa manusia.

Kesalahan titik awal yang ditujukan kepada Bart Ehrman, dia re menjadikan dirinya sendiri sebagai seorang agnostic? Dia langsung tidak mempercayai Alkitab sebagai firman Allah. Letak kesalahan awalnya adalah:Alkitab hanya sebagai bagiab dari Liturgi. Jika diteliti buku itu penuh dengan uangkapan-ungkapan keraguan yang dikemas dalam bentuk yang sangat tidak pasti dan menduga-duga. Kata-kata yang digunakan adalah berbagai variasi dari ketidak pastian.

Sikap skeptis Ehrman beruba dari ketidak percayaan”bola salju sebesar kelereng “menjadi “bongkaan besar”, dengan tegas ia tidak mempercayai Alkitab sebagai firman Allah. Ia menulis dengan sikap skeptic, itu terjadi karena Ia mengambil posisi titik awal yang salah. Ia memulai dengan rasio, bukan iman. Alkitab dipandang hanya sebagai buku liturgy biasa. Ehrman menuliskan Alkitab tidak ditandaskan secara berlebihan dan buku itu terkesan kuno.

Dalam bab 2 “Misquoting Jesus” dan buku sejenisnya dipenuhi dengan kata-kata “tampaknya”, “kemungkinan besar”, siapa tahu”, “ada kemungkinan”, dan variasi-variasi serba tidak pasti. Dengan hikmat Roh Kudus akan menguraikan hal-hal yang dikatakan Ehrman dipalsukan dalam Alkitab, sesungguhnya tidak demikian. Contoh Wanita yang berzinah  dalam Yohanes 7:53-8:11 adalah kisah yang ditambahkan kemudian tidak pernah ditulis dalam Kitab Yohanes yang Asli? Kisah ini menurutnya hanyalah fiktif dan tidak pernah terjadi sama sekali karena tidak ada dalam Injil yang asli. Alasan Ehrman sangat lemah karena berdasarkan asumsi, menggunakan kata”kemungkinan”, ini Spekulasi “kemungkinan”.

Kekeliruan Ehrmen selanjutnya bahwa dia tidak pernah memasukkan naskah Peshitta adalah dokumentasi tertulis yang diabadikan dari para rasul dalam bentuk bahasa Aram yang orisinal menjadi bahasa yang dipercakapkan Tuhan Yesus. Lebih memperkuat lagi bukti bahwa Peshitta jauh lebih tua dibandingkan dengan KV dan KS sebagai naskah tertua. Jauh dari yang dikemukakan Ehrman.

Penutup

Apa yang ditulis dalam buku “Menyibak kontroversi Dugaan Ketidakaslian Alkitab” oleh Harold telah memberikan kontribusi yang positif untuk menanggapi buku Ehrman “Misquoting Jesus”. Dalam buku ini mengungkapkan apa yang ditulis oleh Ehrman lebih bersifat dugaan-dugaan dalam bentuk spekulasi yang tidak mendasar. Tetapi jika orang yang kurang beriman membaca ini bisa terpengaruh, sebab apa yang ditulis dalam buku “Misquoting Jesus” bisa diterima oleh akal.

Penyebab kekeliruan yang telah dilakukan oleh Ehrman melalui bukunya “Misquonting Jesus” tentang dugaan penyalinan Alkitab telah mengalami perubahan, bukan llham Roh Kudus dan Yesus dijadikan Allah. Pendapat saya kenapa Ehrman menjadi demikian disebabkan oleh Kesalahan titik awal yang ditujukan kepada Bart Ehrman, dia re menjadikan dirinya sendiri sebagai seorang “agnostic”? Dia langsung tidak mempercayai Alkitab sebagai firman Allah. Letak kesalahan awalnya adalah:

Alkitab hanya sebagai bagiab dari Liturgi. Akibat pandangan yang dangkal tentang Alkitab menjadi awal yang keliru “buku itu terkesan kuno, tidak melihat alasan untuk membaca sendiri atau mempelajarinya. Titik awal yang salah dalam kehidupan masa remaja Ehrman, Alkitab tidak menjadi hal yang utama dalam hidupnya sebagai orang Kristen, dalam kelas sekolah minggu lebih berfokus persolan-persoalan praktis dan social dan cara hidup di dunia ini.

Jadi, pengajaran yang benar berdasarkan firman Tuhan  adalah pondasi yang kuat sangat perlu ditanamkan bagi tunas remaja sejak dini. Sebab itu sangat  mempengaruhi dan menentukan arah hidup dan konsisitensi mereka terhadap kepercayaan mereka kepada Tuhan Yesus dan Alkitab adalah firman Tuhan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

James Bar, Alkitab di Dunia Modern. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.

Evaluasi  Buku James Bar

“ALKITAB DI DUNIA MODERN”

 

Pendahuluan

            Alkitab di dunia modern berusaha memberi suatu pembahasan sekitar status Alkitab, masalah-masalah yang muncul dan otoritas bagi umat percaya. Istilah-istilah Pengilhaman, Kewibawaan Alkitab, Pendalaman Alkitab,  makna Alkitab adalah  Firman Tuhan, Firman yang telah menjadi manusia . Selain itu juga buku ini mendiskusikan sehubungan penafsiran, Alkitab kesaksian tentang peristiwa-peristiwa penyelamatan. Untuk selanjutnya kita bisa diskusikan dan pemipikiran jalan keluar ketika menghadapi persoalan atau masalah di dalam kehidupan secara pribadi maupun dalam gereja.

Buku berjudul "Alkitab di Dunia Modern" ini merupakan terjemahan dari "The Bible in the Modern World," yaitu suatu rentetan ceramah yang diberikan pada tahun 1970 di Universitas Edinburgh, Skotlandia, di dalam rangka seri "Croall Lectures."

Penterjemah sempat menghadiri rentetan-ceramah itu di Edinburgh, dan merasa tertarik kepada cara-pembahasannya yang jujur, terbuka, dan segar. Karena itu dia merasa girang waktu bahan ceramah-ceramah itu diterbitkan dalam bentuk buku pada tahun 1973.

Pada tahun 1977, penterjemahan "Alkitab di Dunia Modern," dipakai dalam bentuk stensilan, sebagai bahan untuk “seminar Teologia Perjanjian Lama” di Sekolah Tinggi Teologia "Duta Wacana," Yogyakarta. Tanggapan mahasiswa terhadap buku ini adalah: menarik: waktu baru mulai berkenalan dengan isinya, ada yang mencapnya "radikal," atau merupakan "serangan terhadap kekudusan Alkitab," atau "kurang relevan dalam konteks situasi teologia di Indonesia." Akan tetapi di dalam proses membahasnya, timbullah dua kesan sebagai berikut: pertama, ialah bahwa gereja-gereja kita justru terancam bahaya, kalau kita (terutama pendeta para teolog) tidak ikut menggumuli masalah-masalah yang memikat perhatian James Barr dalam buku ini. Kedua, ialah bahwa cara pemecahan masalah status Alkitab yang digariskan James Barr, justru dapat membuka kemungkinan bagi kita mencapai keyakinan dan keberanian yang lebih kokoh, dalam menggunakan Alkitab sebagai landasan kebaktian, pemberitaan, dan pelayanan Kristen.

Apa yang ditulis James Barr sendiri adalah tepat: "Kalau kita tidak berusaha mencari penjelasan yang logis-akaliah tentang status Alkitab di gereja masa kini, maka alternatifnya adalah hanya dua adalah:

 

Kita meninggalkan konsep "status Alkitab yang istimewa" itu sama sekali, serta mengaku bahwa soal itu tidak penting lagi; atau

Kita tetap menegaskan bahwa Alkitab masih mempunyai status-unik seperti pada jaman dahulu kala; walaupun kita tidak sanggup mendukung keyakinan itu dengan argumentasi-argumentasi yang logis-akaliah, melainkan hanya dengan desakan bahwa bagi kita Alkitab memang berstatus demikian."

 

Apakah tidak nampak gejala bahwa beberapa banyak pemimpin dan anggauta gereja-gereja kita kini mulai cenderung pada alternatif b) itu? Kalau benar demikian, apakah tidak menjadi kepastian bahwa lambat-laun sikap itu akan mematahkan semangat keyakinan kita, melumpuhkan kesaksian kita, dan mematikan dialog kita dengan dunia sekitar? Maka oleh sebab itu, bahan yang disajikan James Barr ini patut digumuli dan dimanfaatkan oleh pemikir-pemikir Kristen, baik pendeta maupun awam.

 

 

Latar Belakang Situasi Masa Kini

            Pada buku ini telah diuraikan mengenai latar belakang situasi masa kini, dimulainya konsensus pada periode sesudah perang dunia II. Ada beberapa hal yang patut disimak, antara lain:

Gerakan Neo-Orthodox.  Pada masa ini theologia pada umumnya menekankan Alkitab.  Penekanan ini nampak menonjol dalam gerakan yang sering dikenal dengan gerakan “Neo-Orthodox” yang dipelopori oleh Karl Barth. Neo Orthodox sudah mulai setelah perang dunai I dan begitu berkembang sampai akhir perang dunia II. Titik tekanannya pada isi Alkitab. Peranan neo-orthodox titik tekanannya pada isi Alkitab. Gerakan ini menginginkan kembali kepada prinsip-prinsip reformasi.  Gerakan ini muncul akibat dari theologia liberal yang lebih menekankan pada usaha manusia, yang menjadikan Allah serupa dan segambar dengan manusia, serta memberikan penekanan yang kuat sekali kepada kebudayaan manusia, hakekat manusia, dan cara berpikir manusia. Oleh karena itu gerakan Neo-Orthodox menekankan bahwa iman mulai dengan Allah bersabda dan Alkitblah yang menyaksikan Allah.

Oleh karena kerinduan dalam menyelidiki Alkitab, maka para ahli menggunakan metode historis –kristis kepada bagian-bagian Alkitab seperti yang dikenakan kepada kesusasteraan kuno atau karangan-karangan sejarah yang kuno, dengan demikian para ahli Alkitab menyimpulkan adalah: pertama, banyak kitab-kitab dalam Alkitab sebenarnya tidak dikarang oleh oknum yang secara tradisional dianggap pengarangnya. Kedua, kemungkinan ada bahwa Alkitab tersebut terdiri dari berbagai-bagai lapis bahan berasal dari berbagai-bagai periode yang disusun menjadi satu oleh redaktur pada akhir proses yang panjang. Ketiga, diakui bahwa kitab-kitab tersebut mungkin mengandung unsur-unsur mitologis atau legenda-legenda historis, sehingga sejarah jaman kuno yang melatarbelakangi kitab-kitab Alkitab itu harus direkonstruksikan dan tidak dapat diambil begitu saja dari naskah Alkitab sediri. Ciri-ciri Neo-Orthodoxan antara lain: (1) Unsur polemik terhadap fundamentalis,  (2).Alkitab dipandang sebagai keseluruhan, (3). Ditekannya exegesis, (4) Keneo-orthodoxan dan gerakan oikumenis, (5) Keneo-orthodoxan dan soal-soal sosio-politis.

Dengan demikian bahwa Alkitab pada periode sesudah perang sudah mendapat kembali kedudukan yang sentral di dalam gereja-gereja dan di dalam iman orang Kristen. Pada periode sebelumnya Alkitab  telah mengalami kegoncangan, kedudukan Alkitab telah mengalami kegoncangan di bawah pengaruh pendekatan kritis – historis. Alkitab juga diabaikan pada periode theologia liberal. Tetapi pada prinsipnya, sentralitas-mutlak Alkitab dalam iman Kristen dan dalam kehidupan gereja sudah diakui dan diteguhkan. 

            Selanjutnya mengenai beberapa tanda tanya yang diajukan belakangan ini.  Banyak unsur dari keragu-raguan modern terhadap status Alkitab dalam kehidupan dan keiman Kristen. Pada umumnya pertanyaan-pertanyaan yang diajukan itu tidak merupakan penolakan mutlak terhadap pandangan-pandangan traidisional mengenai Alkitab. Hanya kadang-kadang saja timbul konfrontasi langsung dengan pendapat-pendapat tradisional itu. Kadang-kadang pertanyaan-pertanyaan baru itu menyoroti kelemahan-kelemahan dalam pandangannya yang biasa. Ada beberapa penekanan dalam bagian ini, antara lain: ada beberapa gereja yang menilai tinggi status dan kewibawan Alkitab. Sekalipun demikian merekapun masih mengalami keragu-raguan terhadap Alkitab. Di sisi satu gereja terdapat kelompok yang lebih kecil tetapi berpengaruh besar, yang secara aktif menyangsikan pengertian tradisional tentang Alkitab. Sedangkan disisi lain terdapat orang-orang Kristen konservatif yang mempertahankan ajaran tradisional tentang status Alkitab.

 

Beberapa Konsep yang Berpengaruh

            Pengilhaman. Istilah pengilhaman yang dikenakan pada Alkitab oleh kaum awam ialah bahwa Alkitab “diilhamkan” “atau “diwahyukan” itu berarti bahwa Alkitab berasal dari Allah, sehingga isinya benar dan tidak mengandung unsur ketidakbenaran.  Nats Firman Tuhan yang mencatat mengenai pengilhaman terdapat dalam I Timotius 3;16: “Segala tulisan yang dilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran”. 

            Menurut pola pikiran kaum fundamentalis, konsep keilhaman itu dikaitkan secara erat dengan konsep “ketak-mungkinan-salah”. Yang jelas karena Alkitab berasal dari Allah, maka itu berarti ia tak mungkin mengandung kesalahan dan tak mungkin mengantar pembaca ke dalam pendapat yang salah. Kesalahan dalam hal ini, mempunyai dua arti yaitu: kesalahan historis dan kesalahan theologis.

            Istilah firman Allah akan menyamakan dengan istilah keilhaman Alkitab. Istilah Firman juga berarti bahwa Alkitab itu berasal dari Allah serta merupakan penyataan kehendakNya, dan karena itulah pasti bebas dari segala kesalahan. Sedangkan definisi yang demikian ditolak oleh para ahli teologi. Ahli teologi menekankan bahwa yang dinyatakan Allah dalam proses penyataan, ialah Allah sendiri. Allah menyatakan diri dalam Firman-Nya. Dan Firman Allah adalah Yesus Kristus. Itu berarti bahwa pada prinsipnya dan terutama, Firman Allah itu bukanlah Alkitab, melainkan Yesus Kristus sendiri  Satu rumusan yang dipakai Karl Barth tentang Firman Allah, konsepnya bahwa Firman Allah mempunyai bentuk rangkap tiga. Bentuk primer Firman Allah ialah Yesus Kristus sendiri, Sang Firman yang dinyatakan. Bentuk skunder Firman Allah adalah skriptura dalam bentuk tertulis. Sedangkan bentuk ketiga adalah Firman yang berupa kerygma gereja, firman dalam bentuk kotbah., ketiga bentuk tersebut adalah berhubungan erat satu sama lain. Sang Firman Yesus Kristus, hanya berbicara ia disaksikan oleh skriptura dan diberitakan dengan iman oleh gereja

Konsep “kewibawaan” menunjukkan “hubungan”. Kata “Kewibawaan merupakan istilah yang paling sering dipakai dalam penyelidikan-penyelidikan mutakhir tentang status Alkitab. Istilah tersebut menekankan hubungan hierarkhis yaitu hubungan yang menentukan urutan atau tingkatan prioritas antara berbagai lembaga atau sumber-sumber ide yang mungkin mempengaruhi kita. Istilah kewibawaan membayangkan bahwa gereja atau orang Kristen atau pengkotbah itu dipengaruhi oleh berbagai-bagai kuasa yang mempengaruhi oleh berbagai kuasa yang mempengaruhi pikiran dan tindakannya. Oleh karena itu konsep kewibawaan itu menentukan prioritas yang harus diberikan kepada kuasa yang satu dengan dibandingkan dengan kuasa yang lain. Kewibawaan dihubungkan dengan skripture dan tradisi gereja, kedua-duanya mempunyai kewibawaan yang seimbang.

 

Relativisme di antara Kebudayaan dan Keradikalan Baru

            Istilah “keradikalan” dipakai dalam arti lunak, yaitu bahwa pandangan-pandangan tradisional tentang status Alkitab disoroti dengan teliti. Adapun ciri-ciri keradikalan baru, antara lain ditekannya pada situasi modern. Pembahasan masih sekitar peranan Alkitab bagi manusia modern. Adapun perannya yaitu: Alkitab sebagai perangsang keputusan existensial, Alkitab berperan dalam kontek gereja. Pada pokoknya menurut mazhab radikal, sekali kita menetapkan prinsip Alkitab bahwa Alkitab mempunyai suatu peranan mutlak sebagai norma atau sumber kewibawaan. 

            Langkah-langkah pertama  dalam mendiskusikan keradikalan baru, melalui unsur-unsur kekuatan, pendapat bahwa gereja diwajibkan mengutarakan apa yang dipercayaanya pada masa kini, yaitu tidak hanya mengulangi apa yang dipercayai oleh pengarang-pengarang Alkitab sekian ribu tahun yang lalu, merupakan pendapat yang benar. Manusia modern menuntut supaya kita mengutarakan apa yang kita percayai supaya kita berani mempertanggungjawabkan kepercayaan kita sebagai milik kita sendiri.

            Tanggapan sementara terhadap keradikalan baru, yaitu adanya unsur kekuatan, yaitu proses terhadap keganjilan-keganjilan yang implisit termaktub dalam konsep kewibawaan Alkitab. Adapun unsur yang kurang kuat. Masalah relative antar kebudayaan. Hal ini menekankan hubungan antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain merupakan persoalan yang harus dihadapi dalam  diskusi modern tentang status Alkitab.

 

 

Alkitab sebagai Bahan Kesusasteraan

            Alkitab sebagai bahan kesusteraan. Alkitab sebagai mithos dasar agama Kristen, ada 2 alasan kita perlu membahas status Alkitab merupakan karangan kesusteraan: Pertama, ialah bahwa kebanyakan orang setuju bahwa Alkitab memang merupakan karangan kesusteraan yang menarik, walaupun dengan catatan barangkali bahwa statusnya sebagai bahan kesusteraan merupakan taraf fungsinya yang paling rendah. Kedua, bahwa ada hubungan antara pandangan tentang Alkitab sebagai kesusteraan dan pandangan radikal yang kita bahas.

            Penyelidikan Alkitab sebagai karangan kesusasteraan akan membantu pengertian kita tentang beberapa cara Alkitab berfungsi: misalnya penggunaan Alkitab  secara liturgis dan meditasi, dan kemungkinan bahwa orang yang belum beriman akan tertarik membaca Alkitab justru sebagai bahan kesusasteraan.

            Bahaya bahwa apresiasi kesusasteraan mengaburkan hasil-hasil penyelidikan kritis historis. Penyelidikan yang demikian mungkin akan memberi pengertian tentang Alkitab secara keseluruhan, atau sedikit-sedikitnya tentang kitab-kitab dan kelompok-kelompok kita merupakan unit-unit kesatuan, Tetapi harus dijaga, agar pendekatan yang demikian jangan hanya semacam reaksi  obskurantis (samar-samar) terhadap  hasil penyelidikan Alkitab secara kristis- historis.

            Kenetralan – theologis pendekatan  “apreasiasi kesusasteraan”. Segi positif , bahwa dengan pendekatan demikian, diharapkan membawa sikap yang agak netral terhadap persoalan-persoalan theologis. Dan sikap netral itu kadang-kadang menjadi keuntungan. Sedangkan pada pihak lain, supaya asalkan Alkitab dibaca dengan sungguh-sungguh, berita Alkitab itu dengan demikian akan berpengaruh atas dunia. Dari sisi negatif, dengan membaca Alkitab sebagai bahan kesusasteraan begitu saja, maka ketika mulai mendiskusikan theologia yang timbul berdasarkan pembacaan dan pengertian yang demikian pastilah kaku dan pincang. Ada beberapa topik yang menjadi persoalan apabila hanya dibaca berdasarkan kesusasteraan, misalnya topik-topik yang menyangkut: Apakah Allah sungguh ada, Apakah Yesus sungguh berasal dari Allah,  Apakah arti kebangkitan Yesus, dan masih banyak topik-topik yang mengandung persoalan teologis tidak cukup hanya ditinjau dari pendekatan kesusasteraan. Ahli theologia dapat membaca kitab Ayub sebagai bahan kesusasteraan, justru karena dia menyadari bahwa kita-kitab semacam itu tidak termasuk struktur inti imannya. Fungsi kitab-kitab yang demikian adalah untuk mengisi atau melengkapi struktur inti. Sedangkan struktur inti itu berasal dari bahan-bahan Alkitab yang lain. Struktur inti terdiri dari dua macam bahan, yang pertama ialah peristiwa-peristiwa yang khusus, misalnya kelahiran, kematian, kebangkitan Yesus peristiwa-peristiwa semacam itulah betul-betul dasariah. Dan unsur kedua ialah bagian-bagian yang merupakan rumusan doktrin yang luar biasa tajamnya dan jelasnya, seperti yang banyak terdapat, misalnya surat-surat Rasul Paulus.

 

Peristiwa dan Penafsiran Alkitab sebagai Keterangan

            Selain Alkitab sebagai bahan kesusasteraan sebagai pola dasar untuk pengalaman Kristen.  Alkitab sebagai suatu karangan kesusasteraan yang memang agung dan hampir-hampir bersifat cerita buatan atau cerita fiski, namun yang tidak mengandung informasi tentang dunia obyektif. Menurut gambaran demikian, fungsi pola-pola dan simbol-simbol yang tercakup dalam naskah karangan kesusasteraan itu adalah sebagai contoh-contoh untuk mengerti dirinya untuk mengerti dunia sekitarnya. Pembaca Alkitab akan mendesakkan pandangannya bahwa adalah lebih dari itu, dan bahwa ada fungsi-fungsi Alkitab yang jauh lebih penting dari pada unsur kesusasteraannya. Biasanya aspek yang dianggap lebih penting ialah bahwa Alkitab memberi keterangan tentang peristiwa-peristiwa. Eksistensi-eksistensi dan peristiwa-peristiwa yang disinggung dalam Alkitab adalah bukan hanya sarana cerita, atau bukan sekedar oknum-oknum dan peristiwa-peristiwa yang  bersifat dramatis, yang tidak berteksistensi di luar karangan kesusasteraan yang menceritakannya. Sebaliknya dianggap bahwa obyek-obyek yang dalam Alkitab itu kebanyakan merupakan realita-realita obyektif dan justru Alkitab yang menyediakan keterangan yang essensial tentang obyek-obyek tersebut.

            Dari peristiwa dan penafsiran Alkitab sebagai keterangan dapat diterima secara umum karena: Alkitab adalah penting bagi kita, bukan hanya dari segi keterangan yang diberikan di dalamnya, melainkan karena peristiwa-peristiwa yang menyelamatkan, yang melatarbelakanginya. Alkitab adalah sumber keterangan yang utama peristiwa-peristiwa yang menyelamatkan. Laporan-laporan dalam Alkitab itu, berasal dari orang-orang yang menyaksikan peristiwa-peristiwa penyelamatan itu dan yang mempengaruhi iman. Itu berarti bahwa Alkitab bukanlah hanya sumber keterangan yang penting, melainkan juga respons dalam iman terhadap peristiwa-peristiwa penyelamatan yang mereka saksikan. Ada suatu analogi antara laporan-laporan dalam Alkitab dengan peristiwa-peristiwa asali dan analogi itu adalah memadai untuk menjamin bahwa Alkitab mengantarkan atau mengkomunikasikan sedikit-dikitnya bentuk dasar atau inti atau makna penuh keselamatan dari peristiwa-peristwa asli tersebut.

 

Peranan Alkitab dalam Bidang Teologi

            Penekanan modern kepada kewibawaan Alkitab, yaitu bahwa pokok perhatian utama gerakan neo-orthodox itu ialah usaha untuk menjadikan teologi Alkitab sebagai norma untuk theologia masa kini. Fungsi Alkitab sebagai norma untuk teologi, atau fungsi teologi Alkitab sebagai teologi standard itulah inti rentetan persoalan yang sedang dipelajari. Alkitab mengandung unsur teologi. Pendapat tradisional bahwa Alkitab identik teologi, bahwa tiap-tiap kalimat dari alkitab merupakn rumusan dogmatis, secara langsung atau tidak langsung, hal ini tidak dapat dipertahankan lagi (Alkitab tidak merupakan text –book dogma). Menurut Vawter bahwa secara tradisional, soal keilhaman Alkitab dipikirkan dalam konteks konsep-rangkaian yaitu bahwa Alkitab merupakan suatu katalog doktrin-doktrin, bahkan hampir-hampir suatu teks-book penyataan sehingga tiap-tiap anak kalimat dianggap rumusan dogma.

            Menurut Kaufman, tradisional tentang Alkitab mempunyai tiga taraf, yaitu:

Pertama, secara tradisional Alkitab terkaitkan dengan pandangan global mengenai dunia sebagai milik Tuhan. Maka melalui kaitan itu Alkitab menyodorkan suatu pandangan tentang dunia, suatu orientasi hidup yang menyeluruh. Kedua, Alkitab berlaku sebagai sumber bahan definitif yang dapat dimanfaatkan, bila dicari  bimbingan dalam segala macam masalah yang menyangkut kebenaran, moralitas dan lain-lain. Ketiga, Alkitab dianggap sebagai sumber kewibawaan untuk teologi.

 

Dasar untuk Membangun

            Faktor – faktor situasi masa kini berkenaan dengan masalah status Alkitab. Banyak hambatan-hambatan terhadap pemakaian Alkitab secara lebih luas di gereja masa kini.  Keragu-raguan yang menimpa gereja masa kini berkenaan dengan status Alkitab baik pada pihak radikal maupun pada pihak konservatif.

 

Teologi dan Penafsiran

            Penafsiran theologis harus bersifat konstruktif. Bentuk dasar suatu teologi terdiri dari pernyataan-pernyataan tentang apa yang dipercayai gereja pada masa kini. Pernyataan-pernyataan yang demikian harus merupakan rumusan-rumusan yang segar.  Maksudnya ialah bahwa rumusan-rumusan itu harus terus menerus diolah kembali , berdasarkan uraian kritis yang berlangsung secara kontinue. Baik yang lama dipakai kembali maupun yang lama ditinggalkan, dengan memakai rumusan baru, satu hal yang harus dipikirkan bahwa pemikiran theologis harus bersifat kontruktif.

 

Pembatasan dan Penyeleksian

            Sudah waktunya kita berusaha mendiskusikan tentang pembatasan skriptura suci secara ekstern. Harus diakui bahwa seluruh persoalan ini penuh dengan kebetulan-kebetulan historis, penuh dengan kerelatifan-kerelatifan dan unsur-unsur yang tidak dapat dijelaskan atau dibenarkan menurut norma-norma theologia rasional, tetapi yang harus diakui sebagai kenyataan. Tetapi ada juga suatu aspek praktis tentang kanon Alkitab yang patut kita ingat, yaitu bahwa kanon itu menggariskan suatu  bahan yang dapat dikuasai dan diselidiki yang memperlihatkan suatu keseimbangan antara berbagai-berbagai  pendapat teologis.Tentulah ahli tafsir tidak menyelidiki kitab-kitab kanonik itu secara terisolasi, melainkan dalam hubungan dengan jumlah buku yang besar sekali yang termasuk kategori non kanonik, yaitu bukan hanya dokumen-dokumen Kristen dari periode post Perjanjian Baru, tetapi juga tulisan-tulisan Yahudi  dari periode yang sama dan dari bahan-bahan dari agama yang lain yang sama.  Misalnya apakah Mishna dan Talmud merupakan kelangsungan yang sah dan wajar dari  atau untuk kecenderungan-kecenderungan yang nampak pada taraf terakhir dalam kanon Perjanjian Lama. Hubungan antara tradisi Yahudi dan Alkitab ini adalah sangat penting, bukan hanya di bidang dialog antar agama, melainkan penting juga untuk pemikiran theologia di kalangan Kristen.  Secara praktis kita dapat memasukkan dalam kanon seluruh tradisi yang telah bertumbuh secara fajar dari akar-akar skriptura atau menilai seluruh bahan itu sebagai skriptura.  Persoalan tentang penyeleksian dan pengaturan bahan Alkitab secara intern adalah merupakan persoalan yang lebih rumit dan memang menuntut perhatian yang jauh lebih besar dalam diskusi modern tentang penafsiran Alkitabiah.

 

Kata dan Makna, Huruf dan Roh Kudus

            Penafsiran Harfiah. Istilah “harfiah” sering muncul dalam pembicaraan tentang Alkitab, namun jarang dianalisa. Jika kita menganalisanya, kita menyadari bahwa istilah”harfiah” dipakai dalam dua arti yang bertentangan yang satu positif dan yang lain negatif. Harfiah tidak identik dengan fundamenalis. Fundamentalis lebih mementingkan ketak-mungkinan-salah dari pada keharafiahannya. Biasanya memang harfiah ada kaitannya dengan fundamentalisme. Orang awam mengartikan fundamenatlis adalah penafsiran secara harfiah. Namun demikian definisi demikian kurang akurat, karena pokok persoalan yang dibicarakan oleh kaum fundamenatlis dengan non fundamentalis bukan terletak pada keharfiahan melainkan ketak-mungkinan-salah. Harapan kaum fundamentalis bukanlah supaya Alkitab ditafsirkan secara harfiah, melainkan supaya Alkitab ditafsirkan sedemikian rupa, hingga tidak ada kesan tentang adanya kesalahan di dalamnya. Untuk menghindarkan kesan yang demikian. Kaum fundamentalis bolak-balik supaya tetap menekankan tafsiran harfiah dan tafsiran non harfiah (simbolis, metaforis, dan sebagainya). Sebagai contoh yang cukup terkenal: pendapat kaum konservatif masa kini tidak mengikuti suatu tafsiran harfiah tentang riwayat kejadian (penciptaan) dalam kitab Kejadian. Penafsiran harfiah menerima bahwa dunia diciptakan dalam jangka waktu enam hari (yaitu”hari” yang identik dengan hari-malam yang kita alami masa kini. Tetapi kaum konservatif modern biasanya menjelaskan bahwa keenam hari itu merupakan enam periode teologis, atau menurut rumusan lain, enam tahap perkembangan, bukan dalam proses penciptaan itu sendiri, melainkan dalam proses penyataan kebenaran penciptaan itu. Jadi kini hanya kaum fundamentalis yang ekstrim sekali yang berkewajiban penafsiran harfiah betul tentang enam hari itu.  Kebanyakan orang cenderung kepada tafsiran simbolis atau alegoris. Mereka kaum fundamentalis cenderung ke situ memang jelas, yaitu: karena suatu penafsiran yang betul-betul harfiah, sukar diterima oleh akal modern, sehingga timbul kesan bahwa Alkitab mengandung kesalahan. Demi menghindarkan kesan demikian, penafsir konservatif beralih kepada suatu penafsiran yang non harfiah. Hanya dengan cara demikian dia dapat menyelamatkan konsep tak-mungkinan-salah Alkitab.   

Obyek penafsiran harfiah bereksistensi persis sebagaimana digambarkan menurut pengertian nats yang langsung. Ditekankannya eksistensi obyek nats, itulah yang dibayangkan, bila orang berkata bahwa kaum fundamentalis membaca Alkitab secara harfiah. Jikalau dikatakan dalam nats bahwa Yesus berjalan di atas air, maka pastilah Dia berjalan di atas air juga, jikalau nats mengatakan bahwa Metusalah hidup 969 tahun lamanya, maka pastilah dia hidup 969 tahun lamanya. Istilah-istilah seperti “berjalan di atas air”, hidup selama, “air” dan “tahun” diberi arti yang identik dengan arti kamus biasa.

Harfiah dalam arti demikian dapat dikontraskan dengan “alegoris”. Penafsiran harfiah yang langsung menyelidiki obyek-obyek yang disinggung dalam nats. Penafsiran “harfiah” berlawanan dengan “alegoris”. Perbedaan alegori dibandingkan dengan pengertian harfiah, ialah bahwa dalam alegori obyek yang sebenarnya adalah berlainan dengan obyek yang langsung dikenal melalui bahasa nats itu,  karena obyek yang sebenarnya hanya dapat dikenal melalui suatu proses tidak langsung, yaitu berdasarkan simbol-simbol dan tanda-tanda yang bersembunyi dalam bahasa nats itu. Sebagai contoh Alkitab menceritakan bahwa Abraham keluar dari Urkasdim; mungkin si penafsir mengartikannya demikian: bahwa sang jiwa berangkat dari dunia daging. Maka dengan obyek yang disinggung  dalam nats ini adalah   keberangkatan jiwa.

Konsep secara tradisonal istilah keilhaman itu dikaitkan dengan konsep ketak-mungkinan-salah. Menurut pandangan umum, istilah keilhaman dapat berubah sebagai akibat program pendidikan , yang menekankan bahwa Alkitab memang merupakan “skriptura yang diilhamkan, namun mungkin mengandung kesalahan juga.  Konsep yang demikian tentang Alkitab akan secara tidak langsung mempengaruhi pandangan orang beriman tentang tabiat Allah. Namun disisi lain, pendapat umum juga setuju bahwa Allah tidak berubah, Dia memang Allah tak mungkin mengucapkan sesuatu yang kurang sempurna (dalam arti tak mungkin Allah berubah), karena menurut definisi Allah adalah Dia yang tak berubah. 

Firman Allah: Alkitab adalah kristalisasi tradisi umat Allah dan sarana penyampaian Firman Allah. Istilah firman Allah sering kita dengar dalam gereja sebelum  mendengarkan kotbah “marilah kita mendengarkan Firman Allah. Itulah sebabnya Firman Allah merupakan kristalisasi tradisi umat Allah dan oleh Allah dijadikan sarana pembicaraanNya sendiri dengan angkatan-angkatan turunan dalam umat Tuhan itu.  Akan tetapi pengertian yang demikian adalah agak samar-samar. Sebab  itu mereka menggunakan istilah Firman Allah biasanya untuk menjelaskan melalui istilah “keilhaman” atau melalui struktur-struktur yang agak kompleks yang disusun oleh mazhap Barth.

            Kewibawaan merupakan konsep yang ingin menentukan derajat skriptura dibandingkan dengan standart-standart lain  yang ikut menentukan pemikiran gereja modern, mungkin istilah kewibawaan adalah yang paling tepat. Yang menjadi pemikiran kita apakah kewibawaan betul-betul sesuai dengan  struktur theologia modern dalam prakteknya. Istilah kewibawaan dapat dipakai terus, jikalau diberi arti yang lebih lunak. Tetapi konsep itu kurang berfaedah, kalau didefiniskan akan secara ketat atau dikenalkan secara mengikat kepada segala jenis pemikiran theologia modern. Konsep fungsi dapat membina saling pengertian dan sesuai juga dengan kemajuan theologia modern. Kita tidak dapat mengatakan bahwa Alkitab mempunyai fungsi begitu saja tanpa uraian yang lebih konkrit. Karena dibandingkan dengan keilhaman atau kewibawaan Alkitab, maka konsep fungsi nampaknya perlu ada pemikiran satu persatu bidang –bidang mana yang patut masuk fungsi dalam Alkitab, baik yang menyangkut sejarah, kesusasteraan, theologia, pengkotbah dan sebagainya.  Dengan menyelidiki makna “fungsi” maka kita mendapat keuntungan dalam setiap pemahasan sesuai dengan bidang-bidang yang ada. Keuntungan yang dimaksud adalah: 

Pertama, proses-proses penyelidikan sejarah, pengkritikan bahan kesusasteraan, bertheologia, berkhotbah, dan sebagainya. Memang dilangsungkan oleh tiap-tiap aliran  theologis, maka pendekatan melalui konsep “fungsi” meningkatkan saling pengertian antara aliran-aliran tersebut.  Apalagi yang menyangkut masa kini, lebih pemahaman pengertian , bukan kewibawaan.

Kedua, bahwa konsep fungsi bersifat aneka ragam. Keanekaragam tersebut adalah sesuai dengan kenyataan bahwa manusia memakai berbagai-bagai ragam pemikiran dalam proses penyelidikan Alkitab. Tetapi lebih dari itu, keanekaragaman konsep “fungsi” berati bahwa kita tidak usah bergumul lagi untuk mempersatukan segala pemikiran kita tentang status Alkitab menjadi satu konsep – pembimbing yang mutlak. Dan ternyata bahwa dalam proses memilih secara definif antara konsep-konsep pembimbing yang sudah ditampilkan.

Landasan Kesatuan Alkitab.  Di satu pihak kita melihat bahwa Alkitab boleh dipandang sebagai kesatuan. Kesatuannya itu dapat menjadi nampak kalau kita menyelidiki bentuk-bentuk definitif Alkitab sebagai bahan kesusasteraan atau jika kita temukan dalam Alkitab sesuatu kerangkaian dasar berupa jaringan konsep-konsep yang saling mendukung. Di pihak lain, menekankan berbagai kekhasan-kekhasan yang nampak dalam Alkitab. Alkitab bukan saja merupakan suatu saluran berisi informasi teologis yang benar saja, melainkan suatu lapangan pergumulan, persengketaan, dan konfrontasi, dimana masing-masing menyerang dalam membela pengertian masing-masing tentang Allah.  Namun demikian, kita harus menyadari unsur-unsur kesamaan yang mengikat bagian-bagian Alkitab itu menjadi suatu kesatuan. Dimasa yang mendatanag, penyelidikan terhadap Alkitab akan menghasilkan suatu pengertian yang lebih mendalam lagi tentang kesatuannya itu.  Kesatuan yang terdalam tidak terdapat dalam Alkitab itu,  yaitu:  unsur-unsur kesamaan  yang nampak diantara pola-pola pemikiran  atau keseimbangan yang nampak di antara pola-pola pemikirannya atau keseimbangan yang nampak di antara berbagai-bagai tekanannya, melainkan terdapat pada Allah yang Esa.  Kesatuan Allah juga merupakan suatu kesatuan di tengah-tengah berbagai  macam perbedaan.  Suatu kesatuan yang mempunyai proses sejarah adalah menarik bahwa Alkitab yang begitu beraneka ragam itu dapat dipakai dalam gereja. Dapat diamati bahwa kenyataannya perbedaan mencerminkan suatu keyakinan bahwa keanekaragaman bahan Alkitab itu tidak akan memecah belah gereja menjadi pihak-pihak yang saling bertentangan. Akan tetapi keyakinan dasariah itu tak perlu ditangkap secara akaliah, atau dirumuskan dalam bentuk buku dan dokumen. Karena pada prinsipnya, keyakinan akan kesatuan Alkitab Karena pada prinsipnya, keyakinan dasariah itu tak perlu ditangkap secara akaliah, atau dirumuskan dalam bentuk buku dan dokumen, karena itu prinsipnya keyakinan atau kesatuan itu berlandaskan iman dan harapan.

 

Penutup

             

 

 

 

Jakob Van Bruggen. Siapa yang Membuat Alkitab? Surabaya: Momentun-Litindo, 2002.

 

 

EVALUASI BUKU JAKOB VAN BRUGGEN

”SIAPA YANG MEMBUAT ALKITAB?”

Pendahuluan

Sebagaimana tampak pada halaman 83 bukunya, gagasan apologetis utama Bruggen sebenarnya adalah tentang bagaimana berbagai kitab yang terpisah-pisah dapat menjadi satu kitab, yakni Alkitab? Sudah berabad-abad lamanya naskah-naskah peninggalan para nabi, rasul, penginjil dan para saksi itu diikat menjadi satu kitab, yakni Alkitab. Tetapi bagaimana keeratan ikatan itu? Hal ini sering dipertanyakan oleh, misalnya, para penganut kritik sumber, yang menganalisa Alkitab dengan menjabarkannya menjadi banyak sumber. Siapakah yang membuat kitab-kitab suci menjadi satu Alkitab? Allah atau manusia?

Persoalan kanonisasi sangat ditekankan dalam diskusi buku ini. Apa itu kanonisasi? Yang terjadi dalam kanonisasi bukan penyeleksian, tetapi pengakuan dan tindakan melindungi terhadap tulisan-tulisan para nabi dan para rasul. Justru karena ada tulisan-tulisan itu yang hilang, serta ada tulisan-tulisan lain yang ingin mengakui statusnya sebagai sejajar dengan tulisan-tulisan itu, maka gereja dengan cermat dan hati-hati menjaga apa yang masih ada padanya. Karena itu terwujudlah kulit Alkitab yang melindungi Kitab-Kitab Suci dan yang mengikatnya menjadi satu buku, yaitu Alkitab.

 

Evaluasi secara Umum

Buku Ini memberikan kontribusi yang sangat positif bagi kekristenan, khususnya di tengah-tengah merebaknya liberalisme dalam bidang kajian teologi biblika. Kritik sumber telah mencabik-cabik Perjanjian Lama dengan teori JEDP, demikian juga Perjanjian Baru dengan sumber Q-L-nya.

            Liberalisme pasca Pencerahan, dilanjutkan dengan Neo-Ortodok dalam bentuk yang lain sudah lama mengajarkan bahwa cerita-cerita dalam Injil merupakan campuran antara cerita tentang peristiwa dan sekaligus tafsiran tentang peristiwa itu. Skeptisisme terhadap ‘sejarah’ versi para penulis Alkitab diantisipasi oleh Neo-Ortodoks dengan cara yang seakan-akan membela iman Kristen, tetapi dampaknya malah meruntuhkannya: Mereka mencoba memisahkan ‘sejarah’ dari ‘iman’.

            Saya yakin bahwa berbagai penyimpangan doktrin, disebabkan baik secara langsung maupun secara tidak langsung oleh doktrin yang salah tentang Alkitab. Sikap kritis terhadap Alkitab yang menjadikan-Nya obyek penyelidikan semata, sementara si peneliti sebagai subyek, berkaitan erat dengan asumsi yang keliru tentang asal-usul Alkitab, dan tentang bagaimana Alkitab itu terbentuk. Oleh karena itu buku karya Bruggen ini relevan sekali di tengah-tengah situasi Kekristenan yang kritis ini.

Secara keseluruhan, buku ini sudah cukup membahas isu-isu yang mendasar tentang status Alkitab, walau tidak bermaksud untuk menjawab semua pertanyaan yang mungkin diajukan dari kalangan liberal tentang Alkitab.

Salah satu kelebihan dari buku ini adalah adanya sejumlah ‘ekskursus’ yang Bruggen sajikan secara terpisah, pada bagian-bagian akhir bukunya. Ini menolong baik dari segi teknik penulisan maupun dari segi bobot argumentsi yang diberikan.

 

 

Evaluasi Atas Bagian-bagian Tertentu dari Buku

Beberapa bagian (bab) dari buku ini menarik sehingga memerlukan diskusi lebih lanjut.

Bab I, dalam sub topik Agama Kristen dan Kitab-kitab Suci, Yesus dihubungkan secara erat dengan Alkitab. Ada orang yang mencoba memisahkan kedua-Nya, dengan mengatakan ”saya percaya kepada Yesus, dan bukan kepada Alkitab”, tetapi bagaimana mungkin orang dapat mengenal Yesus dan mentaati-Nya tanpa membaca Alkitab?

Yang menarik dari Bab I adalah pengertian ’kanoon’ dan kanonisasi. Kanoon lebih berarti ’daftar’ atau ’tabel’, bukan ’alat pengukur’. Kanonisasi lebih berarti ’pengakuan’, bukan ’penyeleksian’.

Tentang Kritik kanon, ada gagasan yang serupa dengan Childs: Ada hubungan antara pemahaman tentang kanon dengan pemahaman tentang masing-masing kitab. Terkadang kita tampaknya bisa memegang dan meneliti kanon, tanpa ingin mengusik kewibawaan masing-masing kitab dalam Alkitab, tetapi dalam praktik semua itu tidak dapat dipisahkan.

Bab II. Dalam Bab ini, Bruggen membuktikan bahwa Kanonisai PL lebih berarti ’pengakuan’. Bukan ’penyeleksian’. Pembahasannya sangat menarik, khususnya tentang kanon Samaria dan Konsili Yamnia. Tidak dapat ditunjukkan konsili atau sinode di mana kanon PL dibatasi oleh keputusan manusia.

Bab III. Hal baru yang saya dapatkan di bagian ini adalah bahwa bukan kewibawaan ke-66 kitab itu yang harus dibuktikan, melainkan keragu-raguan terhadap kewibawaan itu yang harus diuji. Dalam abad-abad lampau gereja tidak pernah menerima PB berdasarkan rekonstruksi historis atas riwayat penyusunannya. Pengakuan mempunyai dasar yang berbeda. Tidak benar seandainya pengakuan itu dirongrong atas dasar rekonstruksi atas sejarah kanon, dan kemudian kita berupaya untuk membangun dasar historis bagi kepercayaan terhadap kewibawaan Alkitab.

PL dan PB mempunyai kewibawaan yang sama, sekalipun dalam relief historis keduanya saling berbeda. Bagi para Rasul dan bagi generasi sesuah mereka, hal yang terakhir di atas jauh lebih jelas dari pada bagi kita. Hal yang baru itu sebenarnya bukan baru. Alkitab tidak diperluas, tetapi digenapi. Dapat dikatakan bahwa ini dalahgagasn yang tidak pernah dapat ditangkap oleh banyak teolog Teologi Sistematis.

Berbeda dengan pemahaman banyak orang Kristen dewasa ini, Bruggen membuktikan bahwa Origenes, Eusebius dan Athanasius, bahkan Konsili Kartego, tidak memiliki wewenang untuk memutuskan, atau menyeleksi kanon. Mereka lebih sebagai orang-orang yang mengakui kitab-kitab yang sudah diterima sebagai berwibawa.

Bab IV, yang membahas tentang Kewibawaan Alkitab dengan menunjuk kepada siapa sumber sejati dari Alkitab. Ini berkaitan erat dengan apa pengertian kita tentang inspirasi atau pengilhaman, sampai sejauh mana faktor insani dan faktor ilahi berperan dalam penulisan Alkitab.

Alkitab bertumbuh secara tidak mencolok dan dalam kesunyian. Tak seorang pun dapat menandai proses pertumbuhannya dengan bantuan tanggal dan tahun tertentu. Ini merupakan pembahasan yang murni biblikal, karena menurut wibawa Alkitab dari Musa, yang dengannya para nabi dan penulis Alkitab diukur. Kemudian Yesus Kristus, yang dengannya para rasul dan penulis Alkitab diukur.

Bab V membahas persoalan Wahyu dan Kritik, sesuatu yang tidak asing lagi bagi kita, khususnya di tengah-tengah hingar-bingar neo-liberalisme dan liberalisme teologi pada dekade-dekade terakhir ini. Secara keseluruhan Bruggen memberikan argumentasi apolegetika yang cukup jitu. Kritik terhadap wahyu Allah pada zaman moderen ini bukanlah sesuatu yang baru. Ia jauh lebih tua, sama tuanya dengan Taman Firda’us. Ia berasal dari zaman serangan pertama Iblis terhadap umat manusia ciptaan Allah, hanya penampilannya saja yang baru. Saya setuju sekali.

Bab VI membahas persoalan yang sudah tidak asing lagi bagi kita.

Bab VII membicarakan tentang pertanyaan apakah masalah-masalah yang timbul dalam pembacaan Alkitab tidak menghalangi pengakuan atas kewibawaan Alkitab? Ini pasti berkaitan secara langsung dengan inerransi dan sufisiensi Alkitab.

Menarik bahwa menurut Bruggen, Kitab Suci bukan ’bisa salah’, bukan juga ’tanpa salah’. Menurutnya Kitab Suci ’layak dipercaya’. Ada beberapa hal baik di sini. Misalnya ada perbedaan antara ’kesulitan’ dan ’masalah’. Tetapi persoalan serius dari argumentasi Bruggen di sini ialah, ia tampaknya menolak ’inerransi verbal’, hal yang ia hindari dalam pembahasannya dalam buku ini. Ini perlu dibahas lebih lanjut.

Pada bagian ini Barr mengemukakan argumentasi yang logis tentang mengapa sampai timbul kesulitan dalam Alkitab, serta contohnya. 

 

Penutup

Saya sangat menghargai usaha keras Bruggen ini. Bukan berarti bahwa tidak ada hal-hal yang dibahasnya yang masih memerlukan pejelasan dan jawaban lebih lanjut. Pertanyaan pasti selalu ada dan pasti ada jawabannya.

Menurut saya, benar sekali bahwa presuposisi memainkan peranan penting. Sama seperti Bruggen, sampai pada atas-batas titik yang menjadi keyakinannya, presuposisinya yang positif terhadap Kitab Suci (penghormatannya terhadap Kitab Suci sebagai Firman Allah sendiri, dan sebagai yang memiliki wibawa ilahi) menghasilkan sebuah sikap kritis yang positif. Tidak mungkin seseorang mempelajari Kitab Suci secara serius dan pada saat yang sama menyangkali otoritasnya.

 

 

 

 

Norman L. Geisler, Inerrancy. Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1980

 

EVALUASI TERHADAP BUKU NORMAN L. GEISLER

”INERRANCY”

 

Pendahuluan

Diterbitkannya kumpulan tulisan yang dieditori oleh Geisler ini dilatarbelakangi oleh sebuah konferensi yang diadakan oleh ICBI di kota Chicago pada bulan Oktober 1978, yang diikuti oleh 300 sarjana Alkitab, Pendeta dan orang awam.

Pasal-pasal dalam buku ini adalah kumpulan dari paper 14 sarjana Alkitab yang dipresentasikan dalam konferensi tersebut, tidak termasuk 19 Artikel Chicago Statement yang juga dihasilkan dalam konferensi tersebut.

Sebagaimana latar belakang dari berbagai peserta konferensi dan para penulis, pasal-pasal dalam buku ini mempresentasikan range yang luas dari berbagai denominasi dan opini teologi – Anglikan, Baptis, Free Church, Lutheran, Methodist, Presbyterian, dll. – yang berusaha mempertahankan inerransi dari Kitab Suci. Mungkin tidak ada kasus teologi di zaman moderen ini yang menyatukan bersama-sama elemen-elemen yang berbeda dari komunitas Kristen dalam sebuah spirit kesatuan sama seperti yang dilakukan oleh konferensi tersebut.

Konferensi tersebut dan buku ini dengan jelas mengindikasikan bahwa  tidak ada kesatuan yang sebenarnya terlepas dari kesatuan dalam kebenaran, dan tidak ada kesatuan dalam kebenaran terlepas dari Firman Allah, yang adalah kebenaran (Yoh 17:17).

Buku ini diterbitkan sebagai hasil sebuah konsensus dari para sarjana evangelikal-kontemporer tentang penting dan krusialnya inerransi alkitabiah bagi vitalitas gereja Kristen, kini dan yang akan datang.

 

Evaluasi Setiap Bagian

 

Pandangan Kristus tentang Kitab Suci (John W. Wenham)

Pernyataan Wenham bahwa pandangan Kristus tentang Kitab Suci terkait erat dengan keyakinan bahwa Injil menyajikan informasi yang releabel tentang ajaran-ajaran-Nya, menunjukkan pentingnya hubungan satu doktrin dengan doktrin lainnya. Saya sangat setuju: Pandangan Kristus tentang Alkitab adalah bahwa Alkitab adalah Firman Allah yang berwibawa, dan pandangan ini dicatat dalam kitab-kitab Injil. Hanya apabila kitab-kitab Injil diyakini sebagai akurat dan inerran, maka kita boleh yakin bahwa Kristus memiliki pandangan sebagaimana tersebut di atas.

            Kuasa bagi ajaran Yesus bergantung sepenuhnya pada kebenaran litral Kitab Suci. Yesus menggunakan ajaran PL untuk membahas persoalan-persoalan doktrin dan etika. Pengakuannya atas otoritas Kitab Suci ditunjukkan pada cara Dia memakai Kitab Suci untuk melawan Iblis. Penekanannya atas pentingnya Kitab Suci tidak hanya dituntukkannya karena keterbatasan-Nya sebagai manusia, bahkan pasca kebangkitan, sebagai Tuhan, Ia menekankan pentingnya Kitab Suci.

            Pandangan Yesus yang penting, yang ditekankan oleh Wenham antara lain adalah bahwa: Yesus mengakui bahwa Alkitab memiliki penulis manusia, tetapi bagi Dia, penulis utama Alkitab adalah Allah sendiri. Bagi Yesus, PL adalah benar, otoritatif dam diinspirasikan. Bagi Dia, Allah PL adalah Allah yang hidup, dan ajaran PL adalah ajaran Allah yang hidup. Bagi Yesus, “.., what Scripture said, God said.”

 

Pandangan para Rasul tentang Kitab Suci (Edwin A. Blum)

Benar, bahwa para penulis PB (para rasul) menulis karena koneksi mereka dengan dan komitmen mereka kepada Yesus Kristus. Mereka membagikan pandangan terhadap Kitab Suci yang sama tingginya dengan pandangan Guru mereka itu. Bagi para rasul, PL bertotoritas dalam kehidupan keagamaan karena Allah telah membicarakannya melalui Roh Kudus-Nya melalui penulis manusia.

Hal penting yang dikemukakan Blum adalah bahwa para penulis PB juga menunjukkan bahwa tulisan pribadi mereka dalah berdasarkan perintah Tuhan, dan terkait erat dengan otoritas penyataan PL. Otoritas ini bukanlah otoritas  manusia, tetapi otoritas Roh Kristus yang memberikan perintah-perintah Kristus kepada umat-Nya.

 

Dugaan Kesalahan-kesalahan dan Ketidak-cocokan/Ketidak-sesuaian

dalam Manuskrip Asli Alkitab (Gleason L. Archer)

 

Dalam pasal ini, Archer mendiskusikan tentang kesulitan-kesulitan dalam Alkitab – yang oleh sebagian orang disebut sebagai ‘kesalahan, dan mendemonstrasikan mengapa hal-hal tersebut bukanlah masalah yang serius. Secara khusus ia membahas tentang kesulitan-kesulitan yang dimunculkan olej dua pengarang: William LaSor dalam ‘Theology, News and Notes’ dan Dewey Beegle dalam ‘Scripture, Tradition and infallibility.

Menurut saya, tulisan Archer ini menunjukkan cara yang baik sekali tentang bagaimana semua hal yang diduga merupakan kesalahan itu dapat dijelaskan secara rasionabel.

 

Kritik Tinggi dan Ineransi Alkitabiah (J. Berton Payne)

Higjer Criticism adalah seni tentang bagaimana menyelidiki literatur dalam arti setepat-tepatnya dan mengukurannya sesuai dengan hal itu. Ia menjadi kritik yang negatif, biasa disebut ’metode kritik-historis’, ketika ia menggunakan penghakiman rasional terhadap Kitab Suci, khususnya tentang komposisi dan historisitasnya.

            Sebenarnya ia mendiskualifikasikan dirinya sebagai ’trully scientific criticism, karena menolak untuk memandang obyek (Alkitab) yang dianalisisnya sesuai dengan karakter ilahi-Nya. Payne menyediakan beberapa contoh, baik tentang kritik yang valid dan yang tidak valid, bersama-sama beberapa evaluasi apa yang dilakukan oleh kritik negatif untuk menginfiltrasi evangelicalisme dengan pandangan yang mengsubordinatkan otoritas Kristus dan Kitab Suci di bawah penghakiman manusia.

 

Hermeneutika yang Sah (Walter C. Kaiser, Jr.)

Menurut Kaiser, Jr, hanya dengan memelihara perbedaan penting antara arti dan signifikansi, maka Kitab Suci dapat dibebaskan dari tangan-tangan musuh-musuhnya dan teman-temannya. ’Arti’ mengandung pengertian: ide tunggal yang direpresentasikan oleh teks sebagai yang dimaksud oleh penulis manusia yang menerima penyataan Allah). ’Signifikansi’ diartikan sebagai representasi hubungan yang ada antara arti tunggal dan para pembaca, situasi atau sebuah ide.

Benar, bahwa krisis masa kini dalam doktrin Kitab Suci dihubungkan secara langsung dengan prosedur dan metode yang miskin dalam menangani Kitab Suci.

 

Inerransi Naskah Asli (Greg L. Bahnsen)

Bahnsen menegaskan tentang pada apa arti apakah inerransi itu dimaksudkan, yaitu pada naskah asli Kitab Suci. Ketika Kitab Suci mengajarkan inerransinya, inskripturasi dan dan Firman Allah menunjukkan kepada kita untuk mengidektifikasikan objek utama dan spesifik dari inerransi sebagai teks atau naskah asli.

Doktrin evangelical menunjuk pada naskah asli, bukan naskah codeks, juga bukan naskah kopi atau terjemahan sebagai inerran. Inspirasi dari kopi dan transmisi Kitab Suci tidak diijinkan oleh Allah. Kita menjamin bahwa kita dapat mempercayai Firman Allah di dalam Alkitab kita pada masa kinikarena pemeliharaan (providensia) Allah.

 

Kecukup-memadaian Bahasa Manusia (James I. Packer)

Menurut Packer, skeptisisme dewasa ini terhadap kapasitas bahasa manusia untuk menampung kebenaran tentang Allah mengalir dari empat sumber. Salah satu di antaranya ialah asumsi dibanyak hermeneutika Protestan moderen bahwa isi dari komunikasi antara Allah dan manusia yang ada dalam Alkitab adalah non-verbal dan non-informatif. Packer sangat akurat dan tajam tentang keempat sumber yang disebutkannya itu.

Pertanyaan tentang apakah bahasa Alkitab cukup memadai untuk memberikan kepada kita pengetahuan tentang Allah paralel dengan pertanyaan apakah kata-kata, pekerjaan dan pribadi dari Kristus alkitabiah, yang adalah Kristus historis memadai bagi tujuannya. Ini menarik. Dua pertanyaan tereduksi menjadi satu, karena Kristus adalah vocal theme dari Kitab Suci, dan bahwa Kristus dan Alkitab saling menunjuk satu terhadap yang lain. Kedua-duanya membagikan kualitas yang sama tentang kekhususan sejarah yang disebut penyataan pribadi Allah.

 

Kepenulisan Manusia dalam Kitab suci yang Diinspirasikan (Gordon R. Lewis)

 

Perhatian terhadap faktor kemanusiaan dalam penulisan Alkitab telah membawa sebagian orang untuk menyangkali ineransi Alkitab. Sebagai kontras, studi yang dilakukan oleh Lewis ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa ajaran Alkitab adalah sepenuhnya ilahi dan sepenuhnya manusia tanpa salah, sebagaimana Yesus Kristus adalah sepenuhnya ilahi dan sepenuhnya manusia, tetapi tanpa dosa.

Faktor manusiawi dalam penulisan Alkitab harus didasarkan pada doktrin ortodoks tentang Allah, penciptaan, pemeliharaan dan mujizat.Para penulis Alkitab tidaklah otom, melainkan hidup dan bergerak dan mendapatkan keberadaannya seluruhya dari Allah. Mereka diciptakan dengan kapasitas untuk ’self-transendence dalam kesegambaran dengan Allah, mereka dapat menerima kebenaran melalui penyataan. Pemeliharaan disediakan Allah bagi keunikan kepribadian mereka, mereka juga memiliki karakteristik yang umum, yang juga dimiliki oleh manusia-manusia lain dalam segala waktu dan kebudayaan. Pengajaran mereka berasal, bukan dari keinginan mereka, melainkan dari Allah yang datang kepada mereka melalui berbagai macam arti. Dalam seluruh proses penulisan manusia, mereka secara supranatural dibayang-bayangi oleh Roh Kudus. Apa yang tertulis, karena itu dalam bahsa manusia, tidak semata-mata manusiawi, tetapi juga ilahi. Ia adalah kebenaran obyektif  bagi semua orang dari segala waktu dan budaya, entah mereka menerimanya atau tidak.

 

Pengertian Inerransi (Paul D. Feinberg)

Usaha untuyk mempertahankan terminologi dan doktrin inerransi meninsyaratkan pentingnya sebuah definisi yang jelas. Dalam tulisannya ini, Feinberg bertujuan untuk menspesifikkan arti dari doktrin ini. Untuk tujuan akhirr ini, sebuah studi tentang metodologi teologi diusahakan. Ia menyimpulkan tentang metode-metode apakah yang paling tepat untuk teologi secara keseluruhan dan yang harus digunakan untuk memformulasikan doktrin ineransi. Jadi fenomena Kitab Suci dapat dievaluasi, dan sebuah definisi tentang doktrin ini diformulasikan dalam terminologi yang benar atau dalam kebenaran yang penuh.

            Feinberg juga mendiskusikan tentang kualifikasi, ketidak-mengertian dan tujuan dari pokok doktrin ineransi ini.

 

Presuposisi Filsafat tentang Inerransi Alkitab (Norman L. Geisler)

Geisler menunjikkan dalam tulisannya ini tentang bagaimana dewasa ini peringatan rasul Paulus dalam Kol2:8 menjadi lebih serius lagi, khususnya dalam hubungannya dengan gerakan neo0evangelkikalisme yang semakin jauh dari doktrin alkitabiah-historis tentang inerransi.

Dalam tulisannya ini, Geisler mengekspose beberapa dari presuposisi filsafat utama yang dimulai pada abad ke-17 yang turut andil dalam menciptakan krisis dalam pandangannya d\tentarhadap otoritas Kitab Suci. Mulai dari Francis Baccon, Thomas Hobes, David Hume, otoritas Kitab Suci secara progresif dirusakkan./diruntuhkan. Melalui Kant dan Kierkegaard, beberapa presuposisi filsafat yang utama memimpin kepada penyangkalan ineransi Kitab Suci, yang kemudian diimplantasikan dalam teologi Barat. Neo-evanglical moderen yang menyangkali innerransi meminjam satu atau lebih dari beberapa presuposisi filsafat itu.  

 

Kesaksian Internal Roh Kudus (R. C. Sproul)

Roh Kudus berhubungan dengan Kitab Suci dalam berbagai hal. Beberapa dari yang yang paling signifikan adalah dalam hal ’inspirasi’, ’iluminasi’, ’aplikasi’, conviction’ dan ’testimonium.’ Yang menjadi pusat perhatian Sproul dalam tulisannya ini adalah dalam hal yang terakhir, ’testimonium’.

Internal testimony bekerja mengkonfirmasikan releabilitas dari Kitab Suci, memastikan kepada kita bahwa Kitab Suci adalah Firman Allah. Kata kuncinya di sini adalah ’memastikan’. Bagi Eksistensialis, Neo-Ortodoks, dll, kebenaran tidak sungguh-sungguh benar sampai, atau kecuali dimensi pribadi ditambahkan (subyektifitas). Tetapi menrutu pemikiran Kristen klasik, kepercayaan indivisual membuat respons subyektif kepada Firman yang obyektif melalui campur tangan Roh. Bagi para Eksistensialis, respons subyektif  menentukan natur dari Firman melalui jaringan-jaringan kinetik Roh.

 

Pandangan Tentang Alkitab yang Dipegang Gereja:

Gereja Mula-mula Sampai Luther (Robert D. Preus)

Presu membuktikan dalam tulisannya ini bahwa doktrin pengilhaman verbal dan inerransi dan otoritas ilahi Kitab Suci secara konsisten telah diajarkan oleh Gereja Kristen sejak zaman para rasul melalui gereja mula-muladan abad pertengahan pada masa reformasi. Sebuah kesatuan yang mengagumkan darikepercayaan dan penggunaan terminologi tetap berlangsung melalui abad-abad tentang doktrin ini, sebagaimana diajarkan oleh Perjanjian Baru itu sendiri.

Pada saat reformasi, sebuah pembacaan injili baru atas Alkitab dan sebuah perhatian atau tekanan yang lebih kuat pada satu-satunya otoritas dari Kitab Suci (sola scriptura) mengingatkan kepada Perjanjian Baru itu sendiri.

 

Pandangan Tentang Alkitab  yang Dipegang Gereja:

Calvin dan Pengakuan Westminster (John H. Garstner)

 

Dalam tulisannya ini Garstner menunjukkan dengan meyakinkan bahwa John Kalvin dan Calvinisme dalam jemaat Westminster memegang doktrin inerransi. Persoalan yang sulit adalah menjelaskan bagaimanabeberapa sarjana tidak dapat menerima fakta ini? Perdebatan tidak muncul karena apa yang Kalvin atau Westminster tulis, tetapi karena apa yang beberapa sarjana errantis simpulkan dari apa yang mereka tulis.

 

 

BB. Warfield versus G. C. Berkouwer tentang Kitab Suci (Henry Krabbendam)

 

            Dalam studinya, Krabbendam mengkontraskan pandangan Warfield dan Berkouwer tentang Kitab Suci. Hasilnya menunjukkan bahwa pandangan mereka tentang Kitab Suci, baik sebagai Firman Allah dan sebagai kata-kata manusia, adalah secara total dan radikal berlainan. Perbedaan mereka dalam hal menghormati inerransi Kitab Suci menunjukkan dua tradisi yang antagonistik yang berdiri bersama-sama.

 

Evaluasi Keseluruhan

Tidak semua topik yang dibahas oleh ke-14 sarjana Alkitab dalam buku ini membahas persoalan inneransi secara langsung. Beberapa di antaranya lebih dekat pada doktrin manusia, doktrin Roh Kudus, doktrin Kristus, dst. Tetapi benar bahwa tidak ada topik yang dibahas oleh Alkitab yang tidak berhubungan sebab akibat dengan inerransi Alkitab.

Secara keseluruhan tulisan-tulisan yang dipaparkan adalah kombinasi antara lapangan Teologi Biblika, Teologi Historika dan Teologi Sistematika. Kecuali Pasal 12 dan 13, yang lebih condong ke lapangan Teologi Gistorika, tidak ada yang murni dalam salah satu dari ketiga lapangan itu.

            Saya setuju dan respek serta bersyukur atas apologetika para sarjana Injili ini. Ada beberapa bagian tulisan yang sulit dibedakan, apakah masih dalam tataran injili, ataukah sudah memasuki tataran fundamentalis. Tetapi menurut saya para kontributor dalam tulisan telah berhasil memberikan argumentsi ilmiah-teologis yang obyektif dan berbobot.

            Bukan saja dalam hal inerransi Alkitab kita dapat menemukan antagonistis di antara Warfield dan Berkhouwer. Seluruh penulis ini, boleh memiliki satu pemahaman yang unity tentang inerransi. Tetapi ketika membicarakan berbagai teologi sebagai produk Kitab Suci yang inerran itu, mereka memiliki berbagai macam ’antagonis’ yang lain. Ini menunjukkan bahwa diskusi tentang ’natur’ Kitab Suci itu perlu. Tetapi diskusi tentang ’bagaimana menangani’ Kitab Suci itu juga perlu. Dalam banyak hal dua pokok itu memiliki hubungan yang erat.

            Akhirnya saya pikir adalah penting untuk memperhatikan bagian Appendix dalam buku ini, tentang The Chicago Statement on Biblical inerrancy.

 

 

 

Penutup

Sesuai dengan latar belakang diterbitkannya buku ini sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian pendahuluan, adalah merupakan tujuan bersama dari ICBI untuk mendefinisikan, mempertahankan mengaplikasikan doktrin inerransi alkitabiah sebagai sebuah elemen esensi dari otorits Kitab Suci dan sebuah keperluan bagi kesehatan gereja Kristus, dalam konteks untuk memenangkan gereja agar kembali kepada posisi historisnya. Buku ini menurut saya memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi persoalan yang krusial tersebut.

 

 

Norman Geissler & Ron Brooks, Ketika Alkitab Dipertanyakan. Yogyakarta: Andi, 2004.

 

EVALUASI BUKU NORMAN GEISLER DAN RON BROOKS

“KETIKA ALKITAB DIPERTANYAKAN”

Pendahuluan

Pada bab pertama membahas mengenai “Kebutuhan untuk Menjawab Setiap Orang”. Sepanjang hidupnya ia telah menyadari sepenuhnya tentang fakta bahwa dunia ini bertentangan dengan kekristenan pada tingkat intelektual. Seorang penatua di gereja harus berpegang kepada perkataaan yang benar, yang sesuai dengan ajaran yang sehat, supaya ia sanggup menasihati orang berdasarkan ajaran itu dan sanggup meyakinkan penentang-penentangnya”. Sekalipun sudah diajarkan dengan dengan yang baik dan benar, banyak pertanyaan-pertanyaan yang diberikan, demikian juga kita harus menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan baik. Ada pelayanan dalam penginjilan dan juga pelayanan dalam pra penginjilan. Pelayanan penginjilan, menyangkut pelayanan mengenai dosa dan dosa ditanggalkan, selanjutnya menerima Yesus. Pelayanan pra penginjilan menyangkut masalah-masalah-masalah atau pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab dengan baik dan benar.

            Beberapa alasan sederhana yang perlu terlibat dalam pra penginjilan: (1) Apakah orang tidak percaya mempunyai banyak pertanyaan bagus?  (2) Apakah kita mempunyai jawaban yang bagus di mana Allah memerintahkan kita untuk memberikan jawaban kepada mereka? Berikut pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, yang perlu dijawab dengan benar.

 

Pertanyaan-Pertanyaan tentang Allah

Pertanyaan-pertanyaan yang harus dibahas dalam pra penginjilan adalah: “Apakah Allah itu ada?” Pertanyaan kedua yang berkaitan dengan pertanyaan pertama adalah “jika Allah ada seperti apakah Allah itu?” Secara tradisional ada empat argumen dasar yang digunakan untuk membuktikan keberadaan Allah, yaitu: argumentasi kosmologis, teleologis, aksiologis dan ontologis. Tetapi karena ini merupakan istilah –istilah teknis kita menyebutnya sebagai Argumen Ciptaan (kosmos berarti ciptaan), Argumen Desain (telos berarti tujuan), Argumen Hukum Moral (aksios berarti penghakiman) dan Argumen Makhluk (ontos berarti makhluk).  

 

Argumen dari Ciptaan

Sejarah Argumen dari Ciptaan “Paulus berkata bahwa semua orang mengenal Allah, sebab Allah telah menyatakan kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak daripada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih (Rm. 1:19-20).  Plato adalah pemikir pertama yang dikenal telah mengembangkan argumen berdasarkan sebab akibat. Aristoteles mengikutinya, filsuf muslim al-faraba dan Avicenna juga menggunakan jenis penalaran ini, seperti halnya pemikir Yahudi Moses Maimonides. Dalam pemikiran Kristen, Agustinus, Aquinas, Anselmus dan Descartes, Leibnis dan tokoh-tokoh lainnya sampai saat ini telah memandang argumen ini berharga dan membuatnya menjadi argmen yang paling utama untuk membuktikan keberadaan Allah.

Ide dasar dari argumen ini adalah bahwa, karena ada alam semesta. Hal itu pasti disebabkan oleh sesuatu yang ada di luar dirinya sendiri. Hal ini didasarkan pada hukum sebab akibat, yang mengatakan bahwa setiap hal yang terbatas disebabkan oleh sesuatu di luar dirinya sendiri. Ada dua bentuk yang berbeda dari argumen ini, yaitu bentuk pertama mengatakan bahwa alam semesta membutuhkan penyebab pada permulaannya. Bentuk kedua berpendapat bahwa alam semesta membutuhkan penyebab saat ini juga untuk tetap ada.

Alam semesta memiliki penyebab pada mulanya.  Argumen ini mengatakan bahwa alam semesta itu terbatas dalam arti memiliki asal mula dan bahwa permulaannya disebabkan oleh sesuatu di luar alam semesta. Hal itu dinyatakan dengan cara demikian sebagai berikut: (1) Alam semesta memiliki asal mula. (2) Segala sesuatu yang memiliki asal mula pasti disebabkan oleh sesuatu yang lain. (3) Sebab itu, alam semesta disebabkan oleh sesuatu yang lain dan penyebab itu adalah Allah.

Untuk menghindari beberapa pendapat mengatakan bahwa alam semesta itu bersifat kekal, ia tidak pernah memiliki asal mula, ia selalu ada begitu saja. Carl Sagan berkata: “Kosmos itu semua yang ada, atau yang pernah ada, atau akan pernah ada”. Ada dua cara untuk menjawab keberatan ini, pertama bukti ilmiah sangat mendukung ide bahwa alam semesta memiliki asal mula. Selain bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa alam semesta memiliki asal mula, ada alasan filosofis untuk percaya bahwa dunia memiliki titik asal.

Alam semesta membutuhkan penyebab untuk eksistensinya yang berkesinambungan. Dunia membutuhkan baik penyebab mula-mula maupun penyebab pemeliharaannya. Dalam satu pengertian, pernyataan ini merupakan pertanyaan dasar yang paling sering ditanyakan. Mengapa ada sesuatu dan bukan tidak ada apa-apa? Pertanyaan tersebut mengandung maksud, sebagai berikut: (1) Ada benda-benda yang terbatas dan berubah. (2) Setiap benda yang terbatas dan berubah pasti disebabkan oleh sesuatu yang lain. (3) Tidak bisa ada kemunduran yang tidak terbatas untuk penyebab-penyebab ini. (penyebab mula-mula dan penyebab pemelihara). (4) Sebab itu, harus ada penyebab pertama yang tidak disebabkan apapun untuk setiap benda yang terbatas dan berubah yang ada.

 

Argumen dari Desain

Sejarah Argumen dari Desain, “Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku, Aku bersyukur kepadaMu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya (Mzm. 139:13-14). Menjawab kelahiran Abad Pencerahan dan metode ilmiah, William Paley (1743-1805) menekankan bahwa jika seseorang menemukan ada jam di ladang yang kosong, ia akan dengan tepat menyimpulkan bahwa ada pembuat jam karena adanya desain yang jelas. Hal yang sama harus dikatakan pada desain yang kita temukan di alam. David Hume yang skeptis bahkan menyatakan argumen ini dalam bukunya Dialogues Concerning Natural Religion, seperti halnya beberapa hal lainnya. Namun, paling tidak ada banyak penentang hal ini seperti hanya ada pendukung untuk itu. pendukung klasik argumen ini adalah William Paley dan penentang yang paling terkemuka adalah David Hume. 

Argumen ini, seperti argumen lainnya yang akan kita sebutkan secara singkat, merujuk aspek tertentu dari penciptaan pada Sang Pencipta yang telah menempatkannya di sana. Argumen ini berpendapat bahwa desain mengacu pada Desainer yang cerdas sebagai berikut: (1) Semua desain menyiratkan adanya desainer. (2) Ada desain yang luar biasa dalam alam semesta. (3) Sebab itu, pasti ada perancang alam semesta yang Luar Biasa.

Premis pertama kita ketahui dari pengalaman. Kapan pun kita melihat desain yang rumit, kita tahu berdasarkan pengalaman sebelumnya bahwa hal itu berasal dari pikiran sang desainer. Jam menyiratkan adanya pembuat jam, bangunan menyiratkan adanya arsitek, lukisan menyiratkan adanya seniman, dan pesan bersandi menyiratkan adanya pengirim intelegen. Itu selalu merupakan harapan kita karena kita melihatnya berulang-ulang. Ini adalah cara lain  untuk menyatakan prinsip sebab akibat. Selain itu, makin hebat suatu desain, makin hebat desainernya. Makin rumit suatu desain, makin besar intelegensi yang dibutuhkan untuk menghasilkannya.

 

Argumen dari Hukum Moral

Sejarah Argumen Moral. Argumen ini tidak begitu diperhatikan sampai awal abad XIX setelah munculnya tulisan-tulisan Imanuel Kant. Kant menekankan bahwa tidak ada jalan untuk memiliki pengetahuan absolut tentang Allah dan menolak semua argumen tradisional terhadap keberadaan Allah.  Namun ia menyetujui pendekatan moral, bukan sebagai bukti untuk keberadaan Allah., melainkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa Allah adalah dalil yang penting bagi semua kehidupan moral. Dengan kata lain, kita tidak bisa mengetahui bahwa Allah ada, tetapi kita harus bertindak seolah –olah Ia ada untuk membuat moralitas dapat dimengerti. Para pemikir baru-baru ini telah memperhalus argumen ini untuk menunjukkan bahwa ada dasar rasional bagi keberadaan Allah untuk ditemukan dalam moralitas. Juga ada usaha penyangkalan keberadaan Allah berdasarkan hukum moral, dari ide-ide yang berasal dari Pierre Bayle dan  Albert Camus. 

            Argumen dari hukum moral, argumen yang sama berdasarkan tatanan moral alam semesta dan bukan sekedar tatanan fisik, bisa ditawarkan. Menurut pendapat ini, penyebab alam semesta adalah seorang pribadi yang selain mahakuasa dan cerdas juga bermoral sebagai berikut: (1) Semua manusia sadar tentang adanya hukum moral secara objektif.  (2) Hukum moral menyiratkan adanya Pemberi hukum yang bermoral. (3) Sebab itu, pasti ada Pemberi hukum moral yang tertinggi.

 

Sama, Berbeda atau Mirip?

Seberapa kita mirip Allah? Seberapa banyak akibat bisa memberitahu kita tentang penyebabnya? Beberapa orang berkata bahwa akibat harus persis sama sperti sebabnya. Kualitas seperti eksistensi atau kebaikan dalam akibat harus sama dengan kualitas dalam sebabnya. Jika itu benar, kita semua akan menjadi penganut panteisme, karena kita semua adalah allah, kekal dan ilahi.  Sebagai reaksi, beberapa orang berkata bahwa kita sama sekali berbeda dengan dari Allah. Tidak ada kesamaan antara siapa Dia dan siapa kita.  Tetapi itu berarti bahwa kita tidak memiliki pengetahuan positif tentang Allah. Kita hanya bisa mengatakan bahwa Allah “bukan begini” dan “bukan begitu”, tetapi kita tidak pernah bisa mengatakan seperti apa Dia. Jalan tengahnya adalah mengatakan bahwa kita mirip dengan Allah, sama tetapi dalam cara yang berbeda. Eksistensi, kebaikan, kasih, semua berarti hal yang sama bagi kita maupun bagi Allah. Kita memiliki hal itu secara terbatas dan Ia tidak terbatas. Jika kita juga harus mengatakan seperti apa allah itu, tetapi dalam beberapa hal, kita juga harus menyatakan bahwa Ia tidak terbatas seperti kita”kekal”, ” tidak berubah”, ”tidak dibatasi ruang”, dan sebagainya.

            Pada satu segi, argumen ini juga mengikuti prinsip sebab akibat. Tetapi hukum moral berbeda dari hukum alam. Hukum moral tidak menjelaskan apa itu, melainkan menjelaskan apa yang seharusnya ada. Hukum moral bukan sekedar penjelasan bagaimana cara tindak tanduk manusia dan tidak diketahui dengan mengamati apa yang dilakukan manusia.  Jika demikian, ide kita tentang moralitas tentu akan berbeda. Sebaliknya, hukum moral memberi tahu kita apa yang seharusnya dilakukan manusia, apakah mereka melakukan hal itu atau tidak. Jadi “keharusan” moral muncul dari sesuatu di luar alam semesta. Kita tidak bisa menjelaskan hal itu dengan apa pun yang terjadi di alam semesta dan hal itu tidak bisa dipersempit dengan hal-hal yang dilakukan manusia di alam semesta. Hukum moral melampui tatanan alam dan membutuhkan penyebab yang transenden.

 

Argumen dari Keberadaan

Sejarah Argumen dari Keberadaan. Ketika Allah menyatakan nama-Nya kepada Musa, Ia berkata, “AKU ADALAH AKU,” yang menjelaskan  bahwa eksistensi merupakan atribut-Nya yang utama (Kel. 3:14), Rahib abad XI Anselmus dari Canterbury menggnakan ide ini untuk menyusun bukti tentang eksistensi Allah dari ide dasar tentang Allah, tanpa harus melihat pada bukti dalam ciptaan.  Anselmus mengacu pada ide itu sebagai “bukti dari doa” karena ia memikirkan hal itu, sementara merenungkan ide tentang Pribadi yang sempurna; sebab itu nama makalah di mana ide itu ditemukan adalah The Monologion, yang berarti doa satu arah. Dalam tulisannya yang lain, the Proslogion, ia berdialog dengan Allah tentang alam dan mengembangkan argumen dari Ciptaan juga. Dalam filosofi modern, argumen dari keberadaan ditemukan dalam tulisan-tulisan Descartes, Spinoza, Leibniz, dan Hartshome.

 

Argumen dari keberadaan.  Argumen keempat berusaha membuktikan bahwa Allah pasti ada berdasarkan definisinya. Argumen ini mengatakan bahwa sekali kita mendapatkan ide tentang seperti apa Allah itu, ide itu perlu melibatkan eksistensi. Ada beberapa bentuk argumen ini, tetapi kita hanya akan membicarakan ide tentang Allah sebagai Pribadi yang sempurna sebagai berikut:

Kesempurnaan apapun yang bisa dikaitkan dengan Pribadi yang paling sempurna yang mungkin ada (bisa dipahami) harus dikaitkan dengannya.

Eksistensi yang perlu merupakan kesempurnaan yang bisa dikaitkan dengan Pribadi yang sempurna.

Sebab itu, eksistensi yang perlu harus dikaitkan  dengan Pribadi yang paling sempurna.

Argumen itu bisa dinyatakan ulang dengan cara demikian: (1) Jika Allah ada, kita memahami Dia sebagai Pribadi yang perlu. (2) Berdasarkan definisinya, Pribadi yang perlu harus ada dan tidak bisa tidak ada. (3) Sebab itu, jika Allah ada, Ia harus ada dan tidak bisa tidak ada.

 

Pertanyaan-Pertanyaan tentang allah-allah lain

 Cara pandang seseorang terhadap Allah berbeda-beda. Seseorang memahami Allah akan banyak menentukan cara dia memandang dunia. Kita menyebut konsep yang berbeda ini pandangan hidup. Ada enam pandangan hidup yang bertentangan dengan kekristenan, seperti berikut ini:

 

Ateisme                       : pandangan bahwa tidak ada Allah

Deisme                        : pandangan bahwa Allah ada, tetapi tidak melakukan mukjizat

Panteisme                    : pandangan bahwa semua adalah Allah.

Panenteisme               : pandangan bahwa Allah berkembang bersama dengan dunia

Allahisme Terbatas     : pandangan bahwa Allah ada tetapi terbatas dan / atau tidak sempurna.

Politeisme                   : pandangan bahwa ada banyak allah.

 

Pertanyaan-Pertanyaan tentang Kejahatan

Apakah kejahatan itu? Apakah sifat kejahatan itu? Kita berbicara tentang tindakan kejahatan (pembunuhan), orang-orang jahat (Charles Manson), buku-buku yang jahat (pornografi), peristiwa yang jahat (tornado), penyakit yang jahat (kanker atau kebutaan), tetapi apa yang membuat semua ini jahat? Apakah yang jahat, jika kita memandang hal itu pada dirinya sendiri? Beberapa orang berkata bahwa kejahatan adalah zat yang menguasai benda tertentu dan membuat benda itu menjadi buruk (seperti virus yang menginfeksi hewan) atau bahwa kejahatan adalah kekuatan lawan di dunia. Tetapi jika Allah menciptakan sesuatu, itu membuat Allah bertanggung jawab atas kejahatan. Argumentasinya tampak seperti berikut ini: (1) Allah adalah pencipta segala sesuatu. (2) Kejahatan adalah sesuatu. (3) Jadi Allah adalah pencipta kejahatan.

Dari mana kejahatan itu berasal. Pada mulanya, Allah ada dan Ia sempurna. Kemudian Allah yang sempurna menciptakan dunia yang sempurna. Jadi bagaimana kejahatan muncul ke dalam situasi. Berikut ringkasan atas problema yang terjadi sebagai berikut: (1) Setiap makhluk yang diciptakan Allah sempurna. (2) Tetapi makhluk yang sempurna itu tidak bisa melakukaan hal yang tidak sempurna. (3) Jadi, setiap makhluk yang diciptakan Allah tidak bisa melakukan apa yang tidak sempurna.

Tetapi jika Adam dan Hawa sempurna, bagaimana mereka bisa jatuh?  Jangan menyalahkan pada ular, karena itu hanya membuat pertanyaan kita mundur satu langkah, bukankah Allah membuat ular itu sempurna juga? Beberapa orang telah menyimpulkan bahwa pasti pada kekuatan yang sama dengan Allah atau melampaui kontrolNya. Atau mungkin Allah tidak baik sama sekali. Tetapi mungkin jawabannya terletak pada ide kesempurnaan itu sendiri sebagai berikut: (1) Allah menciptakan segala sesuatu dengan sempurna. (2) Salah satu hal sempurna yang diciptakan Allah adalah makhluk yang bebas. (3) Kehendak bebas adalah penyebab kejahatan. (4) Jadi ketidaksempurnaan (kejahatan) bisa muncul dari kesempurnaan (bukan  secara langsung, tetapi secara tidak langsung melalui kebebasan).

 

Pertanyaan-Pertanyaan tentang Yesus Kristus

Kebenaran kekristenan bergantung sepenuhnya pada kebenaran Yesus Kristus dan keadaan-Nya yang sebenarnya. Apakah Ia ada? Bagaimana kita bisa mengetahui sesuatu tentang hidup-Nya? Siapa sebenarnya Dia?  Mengapa kita harus mempercayai Dia melebihi semua orang lainnya? Tanpa jawaban yang positif untuk pertanyaan-pertanyaan ini, klaim kebenaran tentang kekristenan adalah kosong. 

Berikut bukti historis dan alasan bahwa Yesus bukan hanya hidup, melainkan bahwa Ia adalah Allah yang menjadi manusia. Garis besar argumen itu, antara lain:

Dokumen Perjanjian Baru secara historis merupakan bukti yang bisa diandalkan.

Bukti historis Perjanjian Baru menunjukkan bahwa Yesus menyatakan diri sebagai Allah dan meneguhkan penyataan itu dengan tanda-tanda mukjizat yang berpuncak pada kebangkitan-Nya.

Sebab itu ada bukti historis yang bisa diandalkan bahwa Yesus Kristus adalah Allah. Ada empat  pandangan Modern tentang Kristus sebagai berikut: (1) Yesus tidak pernah hidup-orang-orang yang memegang pandangan ini berkata bahwa Paulus menemukan ide tentang Yesus dari mitos kuno dan keempat Injil ditulis belakangan untuk menciptakan ilusi bahwa Ia sungguh-sungguh manusia nyata. (2) Yesus tanpa teologi atau mujizat. Beberapa orang percaya bahwa Yesus memang sungguh-sungguh hidup, tetapi kita tidak bisa mengetahui apapun tentang Dia dari Perjanjian Baru. Setelah menanggalkan semua aspek supernatural dari kehidupan Yesus. (3) Yesus dijadikan mitologi-Rudolf  Bultmann mengembangkan satu sistem penafsiran yang menghilangkan semua unsur supernatural dengan menyebut hal itu mitos. Untuk menemukan Yesus yang sejati, ia berusaha menyingkirkan mitos itu dan menemukan apa yang jenis kebutuhan yang dimiliki orang-orang yang membuat mereka menemukan kisah semacam itu. (4) Tidak ada masalah. Beberapa sarjana berkata bahwa kebangkitan mungkin terjadi atau mungkin tidak, tetapi itu tidak masalah. Yang penting adalah bahwa kita percaya. Mereka berkata, bahwa kebenaran itu hanyalah apa yang anda percaya benar.

 

Keberatan selanjutnya bahwa ada yang beranggapan bahwa orang percaya (orang Kristen) dengan tiba-tiba mengatakan bahwa Perjanjian Baru adalah dokumen sejarah, bukan sekadar buku agama. Benar, Alkitab adalah sumber pengetahuan agama dan tidak masuk akal untuk mengharapkan orang yang tidak percaya untuk menerima apa yang ia katakan benar adanya. Namun, tidak perlu ada keberatan untuk menerima apa yang dikatakan Alkitab tentang peristiwa sejarah untuk menerima apa yang dikatakan Alkitab tentang peristiwa sejarah jika kita bisa menunjukan bahwa Perjanjian Baru adalah juga catatan sejarah. Pertimbangan hal ini, adalah:

 

Catatan Injil ditulis oleh saksi mata dalam rentang waktu empat puluh tahun dari peritiwa yang digambarkan. Ini memberikan kredibilitas bagi cerita mereka dan menjamin tingkat akurasi yang jujur.

Alkitab tidak hanya memiliki satu catatan tentang peristiwa peristiwa itu, melainkan paling sedikit empat catatan yang cocok dalam fakta-fakta utamanya.

Cerita yang dikisahkan dalam Perjanjian Baru cocok dengan bukti dari ahli sejarah sekuler dan sejarah Yahudi abad pertama dan kedua.

Alkitab terbukti sangat akurat dalam apa yang ia katakan tentang dunia kuno.

 

Jadi tidak ada alasan bahwa Perjanjian Baru tidak bisa diterima sebagai dokumen sejarah yang bisa diandalkan yang memberikan informasi yang tidak ternilai kepada kita tentang kehidupan dan kematian Yesus dari Nazaret. 

 

Pertanyaan-Pertanyaan tentang Alkitab

Bagaimana kita tahu bahwa Alkitab berasal dari Allah karena satu alasan yang sangat

Sederhana adalah: Yesus memberitahu kita demikian.  Pada otoritas-Nya, sebagai Allah atas alam semesta ini, kita merasa yakin bahwa Alkitab adalah Firman Allah. Ia meneguhkan otoritas Perjanjian Lama dalam ajaran-Nya, dan Ia menjanjikan Perjanjian Baru yang penuh kuasa melalui murid-muird-Nya dan Ia menjanjikan Perjanjian baru yang penuh kuasa melalui murid-muird-Nya. Anak Allah sendiri menjamin kita bahwa Alkitab adalah Firman Allah.

           

Garis besar Argumen Alkitab sebagai berikut:

 

Allah ada

Perjanjian Baru adalah dokumen sejarah yang bisa diandalkan

Mujizat itu mungkin.

Mujizat meneguhkan pernyataan Yesus sebagai Allah

Apapun yang diajarkan Allah itu benar

Yesus (Allah) mengajar bahwa Alkitab adalah Firman Allah dengan meneguhkan

Perjanjian Lama dan menjanjikan Perjanjian Baru

Sebab itu, Alkitab adalah Firman Allah

 

            Bagaimana dengan Aprokrif? Apokrif adalah satu set buku yang ditulis antara abad ketiga B.C dan abad pertama A.D. Kitab ini terdiri dari 14 kitab. Yang ditemukan dalam beberapa salinan kuno terjemahan penting Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani dan mencerminkan beberapa tradisi dan sejarah Yahudi yang muncul setelah zaman Maleakhi (nabi terakhir dalam PL). Sebagian Apokrif diterima sebagai Kitab Suci oleh Agustinus dan gereja Syiria pada abad ke 4 dan kemudian dijadikan kanon oleh gereja Katolik. Kitab Apokrif disinggung dalam Perjanjian Baru dan oleh bapa-bapa gereja awal dan telah ditemukan diantara Gulungan Laut Mati di Qumran.

            Namun kitab ini tidak pernah diterima oleh orang Yahudi sebagai kitab Suci dan tidak dimasukkan dalam Alkitab Ibrani. Meskipun Perjanjian Baru menyinggung kitab itu (misal. Ibrani 11:35), tidak satu pun kiasan tersebut yang dengan jelas disebut sebagai Firman Alah.  Agustinus mengakui bahwa kitab itu dimasukkan dalam Septuaginta (terjemahan Yunani) yang ia pandang diilhami, tetapi Jerome sarjana Ibrani membuat versi resmi vulgate latin untuk Perjanjian Lama tanpa kita tambahan Apokrif. Gereja-gereja yang menerima Apokrif melakukan itu lama setelah kitab itu ditulis (abad ke 4, ke 16 dan 17). Bapa-bapa yang mengutip tulisan ini diimbangi oleh tokoh lainnya yang menentang hal itu dengan keras seperti Athanasius dan Jerome.  Sesungguhnya, kitab-kitab ini tidak pernah secara resmi ditambahkan ke dalam Alkitab sampai tahun 1546 AD, dalam Sidang Trente. Tetapi ini dicurigai karena menambahkan kitab-kitab berdasarkan penggunaan oleh orang-orang Kristen  29 tahun setelah Martin Luther mencari dukungan alkitabiah untuk mencari kepercayaan seperti keselamatan berdasarkan perbuatan baik dan doa kepada orang mati (disediakan Apokrif: 2 makabe 12, 45-46, Tobit 12:9). Berkaitan dengan penemuan Qumran, ratusan kitab telah ditemukan di sana yang bukan merupakan kanonik, hal ini tidak menawarkan bukti bahwa mereka menerima kitab-kitab apokrif seperti halnya kesusasteraan populer lainnya.  Akhirnya, tidak ada klaim kitab apokrif bahwa kitab ini diilhami. Sesungguhnya, beberapa secara khusus menyangkal bahwa kitab-kitab ini diilhami (I Makabe 9:27). Jika tidak mengilhami kitab ini, berarti kitab ini bukan Firman-Nya.

 

            Bagaimana dengan Injil Gnostik. Injil Gnostik dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengannya merupakan bagian dari Pseudepigrata Perjanjian Baru, yang berarti tulisan Palsu. Tulisan itu disebut demikian karena penulisannya menggunakan nama salah satu rasul dan bukan nama mereka sendiri, misalnya Injil Petrus dan Kisah Yohanes. Kedua kitab ini tidak ditulis oleh rasul-rasul, tetapi oleh orang lain pada abad ke 2  dan setelah itu berpura-pura menggunakan otoritas kerasulan untuk mengembangkan ajaran mereka sendiri. Saat ini kita menyebut penipuan dan pemalsuan.  Kedua kitab ini mengajarkan doktrin tentang dua bidat-bidat yang paling awal yang kedua-duanya menyangkal realitas Inkarnasi. 

           

Pertanyaan-pertanyaan tentang Kesulitan Alkitab

Menurut Norman Geisler mengajukan panduan untuk mengatasi perikop yang sulit sebagai berikut:

Pastikan kita tahu apa yang dikatakan teksnya.

Pastikan kita tahu apa yang dimaksud teksnya.

Pastikan kita tahu apa yang dimaksud teksnya.

Jangan mencampurkanadukkan kesalahan dengan ketidaktepatan

Jangan mencampuradukkan kesalahan dengan sudut pandang

Bahasa tentang dunia adalah bahasa sehari-hari

Ingat bahwa Alkitab mencatat hal-hal yang tidak disetujuinya.

 

Banyak kesulitan-kesulitan yang perlu dijelaskan. Kesulitan tersebut dalam hal problema silsilah, problem etis, problem histories, problem kutipan, problem ilmiah. Kaum Injili berusaha untuk membuktikan bahwa Alkitab tidak memiliki kesalahan, sehingga mereka bisa yakin bahwa Alkitab adalah Firman Allah.

           

Pertanyaan-pertanyaan tentang Arkeologi

Arkeologi Alkitabiah merupakan topic yang menarik. Selain itu arkeologi juga memiliki hubungan yang paling menguntungkan dengan studi Alkitab. Ahli arkeologi yang terkenal Nelson Glueck dengan berani menyimpulkan. Namun kenyataannya, secara kategoris bisa dinyatakan dengan jelas bahwa tidak ada satupun penemuan arkeologis yang pernah bertentangan dengan referensi Alkitab satupun.  Banyak penemuan arkelogis yang telah dibuat menenguhkan pernyataan sejarah dalam Alkitab dengan garis besar yang jelas atau perincian yang pasti.

            Hal-hal yang berhubungan dengan arkeologi misalnya: (1) Penciptaan, apakah cerita Penciptaan bersifat sejarah atau mitos? (2) Apakah air bah itu peritiwa yang nyata? (3) Apakah benar ada menara Babel?

Bagaimana Musa bisa mengetahui segala sesuatu tentang hal ini. Jawaban sederhana untuk pertanyaan ini bahwa Allah menyatakan hal itu kepada Musa.  Dengan demikian arkelogi meneguhkan Perjanjian Lama.

Selain itu, juga perlunya keakuratan historis Lukas, misalnya: sensus dalam Lukas 2:1-5, Bukti berkaitan dengan kematian Yesus.

 

Pertanyaan-Pertanyaan tentang Ilmu Pengetahuan dan Evolusi

Selanjutnya Pertanyaan-Pertanyaan tentang Ilmu Pengetahuan dan Evolusi, antara lain masalah Ilmu Pengetahuan Modern dan Penciptaan, Argumen dasar untuk menentang evolusi. Ilmu Pengetahuan didasarkan pada sebab akibat, segala peristiwa memiliki penyebab. Segala sesuatu tidak terjadi begitu saja.  Prinsip-prinsip ilmiah pertama kali dikembangkan menjadi metode ilmiah, para ahli seperti fancies Bacon, Johanes Kepler, Isaac Newtonm dan William Kelvin membedakan antara penyebab primer dan penyebab skunder. Penyebab primer adalah penyebab pertama yang menjelaskan ketunggalan peristiwa-peristiwa yang hanya terjadi satu kali dan tidak memiliki penjelasan alami.

 

Pertanyaan-Pertanyaan tentang Kehidupan Sesudah Kematian

Kemudian kita beralih pada pertanyaan-pertanyaan tentang Kehidupan Sesudah Kematian. Seringkali kita berbicara Kristus karena Ia datang sebagai manusia. Dengan demikian reinkarnasi berarti hal itu terjadi berulang-ulang. Menurut makna dari kata tersebut, berarti terus menerus lahir kembali dalam daging, dalam tubuh yang berbeda, tetapi jiwa atau rohnya masih tetap sama. Dalam arti bahwa Reinkarnasi adalah keyakinan bahwa setelah kematian, jiwa berpindah ke tubuh lainnya. Lain halnya, dengan kebangkitan Kristus.  Problema ini diselesaikan, bahwa anak manusia telah bangkit dari antara orang mati, telah menunjukkan bahwa daging manusia bisa diubah menjadi tubuh ilahi.

 

Pertanyaan-Pertanyaan tentang Kebenaran

Apakah kebenaran itu. Apakah kebenaran bersifat relative atau absolute. Klaim bahwa kebenaran bersifat relative bisa dipahami dalam dua cara. Apakah kebenaran bersifat relative dibandingkan ruang dan waktu (itu benar pada saat itu, tetapi tidak pada saat sekarang), atau relative dibandingkan orang (benar bagi saya, tetapi tidak bagi anda). Sebaliknya kebenaran Absolut menyiratkan paling tidak dua hal adaah: (1) apa yang benar pada suatu waktu dan di suatu tempat benar sepanjang waktu dan di semua tempat. (2). Apa yang benar bagi satu orang, benar bagi semua orang, Kebenaran Absolut tidak berubah, kebenaran relative berubah dari waktu ke waktu dan dari orang ke orang. 

Bagaimana kebenaran menurut Agnostikisme atau Skeptisisme (pengetahuan), Bagaimana kebenaran menurut rasionalisme (akal manusia)  Bagaimana kebenaran menurut Fideisme (Iman), dan kebenaran menurut Realisme (kenyataan).

 

Pertanyaan-Pertanyaan yang menyangkut Moral

Sekedar menunjukkan bahwa relativisme salah karena tidak menunjukkan nilai-nilai Kristiani dengan benar. Penganut relativisme berkata: bahwa Ada banyak nilai absolute. Ia menunjukkan banyak hal yang secara universal diakui sebagai hal yang salah, seperti kekejaman terhadap anak, pemerkosaan, pembunuhan tanpa sebab, dsb. Ia juga mencatat bahwa nilai-nilai tidak berubah banyak dari satu budaya dengan budaya lain., tetapi sangat mirip.  Seseorang dikatakan akan bermoral apabila seseorang mengerti nilai-nilai. Apakah manusia dinilai sebagai suatu benda atau barang, atau manusia dinilai sebagai pribadi yang mulia (ciptaan Tuhan), bahkan manusia tidak ada nilainya sama sekali, dengan benda pun masih bernilai benda atau barang.

            Orang-orang mengungkapkan kasih dan mengharapkan untuk dikasihi, tetapi berdasarkan kodratnya manusia bukan kasih, Kasih manusia selalu berubah dan terbatas. Kasih adalah sesuatu yang dimiliki manusia, tetapi bukan sifat dasar mereka. Tetapi kasih bersifat absolute, harus ada kasih yang tidak berubah dan tidak terbatas di suatu tempat yang menjadi sumber segala kasih lainnya.  Semua keabsolutan moral harus merupakan penentu absolute dan manusia bukan sesuatu absolut. Jadi dari mana kasih berasal? Jawaban Kristen adalah bahwa kasih berasal dari Allah. Sesungguhnya, Alkitab berkata: “Allah adalah kasih” (1Yoh. 4:16). Karena Allah pada dasarnya adalah kasih, Ia bisa memberkan kasih kepada ciptaan-Nya. 

 

Penutup

 

 

 

 

 

 

Sakae Kubo & Walter Specht. So Many Version? Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1975. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Charles Grimes, “Mengapa Terjemahan Alkitab Berbeda?” Unit Bahasa dan Budaya, GMIT (2007).

 

 

Evaluasi Buku Dr. Charles Grimes, Ph. D. “Mengapa  Terjemahan Alkitab Berbeda?”

 

Pendahuluan

Booklet ini menjelaskan, mengapa terjemahan Alkitab kedalam bahasa-bahasa daerah berbeda dari Alkitab Terjemahan Baru (TB). Ada beberapa alasan:

 

Sasaran Berbeda. TB diterjemahkan oleh para teolog untuk dipakai sendiri, mencerminkan pola pikir kuno. Sedangkan terjemahan lain dilakukan untuk dipakai masyarakat umum, mencerminkan  pola pikir zaman modern.

 

Ilmu Penerjemahan Alkitab telah berkembang sejak TB diterbitkan. TB mulai diterbitkan pada 1952 dengan prinsip dan prosedur kuno, kurang sistematis. Alkitab terjemahan modern oleh LAI dan UBB-GMIT mengikuti prinsip dan prosedur yang telah diakui secara Internasional dan telah ditetapkan sebagai suatu disiplin ilmu.

 

Pendekatan Penerjemahan Berbeda, adalah: (1) Penerjemahan secara harfiah: lebih mempertahankan bentuk (struktur, kata,makna) bahasa aslinya. Kurang memperhatikan konteks masyarakat sehari-hari, pemahaman dikorbankan. (2) Penerjemahan berdasarkan makna / penerjemahan dinamis. Mementingkan makna dan komunikasi dengan mengorbankan struktur aslinya. Pendekatan ini jauh lebih sulit karena harus memperhitungkan banyak faktor, tetapi hasilnya lebih memuaskan dan dinilai lebih baik.

 

Pengertian terhadap bahasa asli telah berkembang. Selama beberapa abad hanya dikenal 2 jenis bahasa Yunani: Yunani Sastra dan Yunani modern. Sekitar tahun 1880 disadari ada bahasa Yunani Koine yang dipakai dalam sebagian besar PB. Dilakukan peninjauan kembali dan didapatkan perbedaan-perbedaan fungsi dan makna kata. Kamus kosa kata Yunani Koine, 8 jilid, oleh Moulton dan Milligan (1914-1929), 17% kosa-katanya tidak ada informasinya; 800 kata belum ditemukan di luar PB berarti belum ada informasi yang dapat diandalkan. Sejak 1976, 15 jilid baru telah diterbitkan, telah ditemukan 4000 naskah berbahasa Yunani Koine dari kota Efesus saja. Semua kata telah memiliki informasi dan ditemukan diluar PB.

 

Naskah Sumber sedikit berbeda. Sebelum th 1516 tidak ada naskah Yunani lengkap dalam satu buku. PB bahasa Yunani pertama oleh Erasmus menggunakan hanya 6 naskah Yunani sebagai bandingan. Leijdecker menerjemahkan Alkitab kedalam bahasa Melayu dari Alkitab bahasa Belanda dan kumpulan naskah Yunani yang terbatas itu. TB dikerjakan berdasar PB Yunani tradisi Erasmus dan Beza, belum sempat memanfaatkan perkembangan 100 tahun terakhir. Sejak 1900 hingga saat ini telah ditemukan ribuan naskah PB dari abad 2, abad 4 dan 5 dan telah diteliti dan dibahas dalam debat terbuka dengan prinsip ilmiah, dikumpul dalam PB Yunani, 1998, United Bible Societies, edisi ke 4. Terjemahan UBB-GMIT berdasar PB Yunani UBS edisi ke 4 tersebut, sehingga berkeyakinan kuat sangat dekat dengan tulisan asli.

 

Pengetahuan Alkitabiah telah jauh berkembang sejak TB diterjemahkan. Naskah Gulungan Laut Mati yang ditemukan 1947 menjadi informasi berharga atas kejelasan kata, adat istiadat,peristiwa sejarah, binatang dan tumbuhan dalam Alkitab dan dipakai sebagai sumber bagi tim UBB-GMIT. Sedangkan TB belum menggunakannya sehingga nama binatang dan tumbuhan hanya dalam istilah Ibrani atau Yunani yang salah tafsir.

 

Langkah Penerjemahan lebih lengkap. PB dikerjakan oleh Lembaga Alkitab Belanda, oleh orang-orang Belanda dinegara Belanda. Baru 1951 melibatkan secara aktif orang Indonesia yaitu  Naipospos dan Abineno (Swellengrebel 1978) TB diserahkan ke LAI pada 1959, namun dalam prosesnya tidak menguji apakah hasil terjemaha.n dapat dimengerti dengan baik oleh masyarakat umum. Ada banyak kata yang tidak umum diperguinakan, misalnya apamfatir, arasy, kirmizi, munajat, dll. Sedangkan UBB-GMIT melibatkan orang2 awam  yang mewakili berbagai tingkat dan kalangan agar hasil terjemahan bisa benar2 dimengerti oleh segala lapisan masyarakat.

 

Gaya Bahasa berbeda. Pilihan kata dan susunan kalimat dalam  TB sulit dipahami oleh orang2 yang tidak berada dalam lingkungan  gereja, misalnya “preman”kota atau orang2 dari daerah yang terasing. UBB-GMIT berjuang agar terjemahan ini memakai bahasa sehari-hari yang umum dipakai dalam masyarakat luas, sama seperti Yunani Koine dalam PB asli. BERBEDA tidak berarti SALAH.

 

Evaluasi Seluruh Buku

       Booklet ini diterbitkan olehUnit Bahasa dan Budaya, GMIT, oleh Dr. Charles Grimes, Ph.D. untuk menjelaskan sebab-sebab berbedanya Terjemahan Alkitab TB dan UBB_GMIT. Sekaligus menjawab kecurigaan akan adanya kesalahan dalam salah satu terjemahan Alkitab ini. Walaupun buku ini kecil tapi cukup focus dan jelas didalam menjawab satu sisi persoalan : Mengapa terjemahan Alkitab bisa berbeda; maka diharapkan dengan menggunakan contoh ke perbedaan 2 versi ini (TB dan UBB-GMIT) pembaca akan memperoleh sebagian jawaban akan hal2 yang membuat perbedaan dalam dunia penerjemahan Alkitab. Kesimpulan akhir dari buku ini tercetak cukup jelas, yaitu: Berbeda tidak berarti Salah.walaupun ada juga kekurangannya disana sini.

Untuk menuliskan buku kecil ini Dr.Charles Grimes mempelajari bahan-bahan dari cukup banyak buku Kepustakaan. Kiranya Daftar buku2 tersebut dapat menjadi sumber yang penting bagi yang akan meneliti lebih lanjut ..

 

Evaluasi Bagian-bagian Tertentu

Alasan ke perbedaan nomor 1 dan 3 (sasaran dan pendekatan ) tentu amat sangat wajar terjadi. Penggunaan terjemahan LAI yang luas, sasaran masyarakat umum tentu menggunakan susunan bahasa (Indonesia, misalnya) yang standard, baku. Sedangkan untuk kebutuhan yang lebih khusus, suku-suku pedalaman dengan masyarakat tertentu , budaya, alam yang spesifik maka penerjemahan berdasarkan makna lebih dipentingkan. 

 

Penutup

Ilmu akan terus berkembang. Juga ilmu-ilmu yang berhubungan dan menunjang  penerjemahan. Sangat dimungkinkan untuk adanya perkembangan dalam usaha pelayanan penerjemahan Alkitab ini terus berlanjut. Satu hal yang perlu, bahwa Alkitab adalah Firman Allah, diilhami sendiri oleh Allah, dibaca dan dipelajari serta diaplikasikan dalam iluminasi Roh Allah. Demikian pula kita percaya, semua usaha pelayanan penerjemahan Alkitab haruslah dipimpin dan dikuasai oleh Roh Allah.

 

 

 

David L. Baker.  Satu Alkitab Dua Perjanjian. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.

 

EVALUASI BUKU DaVID L. Baker

“Satu Alkitab dua perjanjian”

 

Pendahuluan

            Pembahasan dalam buku ini  menjawab pertanyaan yang dibutuhkan gereja sepanjang zaman sebagai berikut: Apakah Kekristenan yang didasarkan pada Perjanjian Baru masih membutuhkan Perjanjian lama? Apakah  PL  sebaiknya dibuang saja, karena  sudah usang  atau dipelihara  sebagai peninggalan sejarah? Apakah PB cukup sebagai dasar   iman Kita? Apakah PL  dan PB  berbicara tentang Allah yang sama  dan keduanya  merupakan  satu Alkitab? Jawaban dari pertanyaan di atas adalah:  Sejak semula  umat Kristen  mengakui  baik PL dan PB  sebagi kitab suci.  Akan tetapi   tidak semua orang puas  dengan jawaban itu.

            Buku ini membahas hubungan dan  kesatuan  dari  Alkitab PL dan PB  secara lebih mendalam. Ruang Lingkup bahasan  PL  dan PB  dalam Perjanjian  dan   sejarah penafsiran. Membahas pendekatan Modern  PB diapandang sebagai Alkitab yang hakiki. Kedua Perjanjian sama - sama kitab suci Kristen. PL sebagai Alkitab yang hakiki,  Kedua Perjanjian sebagai  sejarah keselamatan. Membahas  Tiga tema kunci adalah:  tipologi, Janji dan penggenapan  dan Beraneka ragam tetapi bersatu.

            Hubungan teologis antara kedua Perjanjian sebagai berikut: Pada pasal satu membahas  hubungan  antara PL dan PB. PL banyak membicarakan masa depan,  eskatologi para nabi,  dan unsur apokaliptik   tulisan-tulisan yang kemudian.  Dan banyak yang digenapi dan banyak pula yang masih belum digenapi hingga akhir PL. Sehingga  menimbulkan ketegangan mendasar yang belum terselesaikan   selama masa PL.  Jadi PL merupakan  kitab yang belum lengkap tanpa PB. PB menegaskan  penggenapan janji dan pengharapan dari PL.  Tidak  berarti PL telah usang,  justru menunjukkan bahwa PB  bergantung pada kerangka pemahaman PL untuk mengerti  dan mengungkapkan peristiwa yang dicatatnya. Bukti yang ada menunjukkan bahwa Yesus menunjukkan sikap yang positif terhadap PL  bukan merupakan temuan baru jemaat mula mula  melainkan bersumber dari Yesus sendiri.

            Dalam sejarah  penafsiran di gereja Marcion menolak  PL sebagai berikut: Ada orang lain menekankan pentingnya PL bagi gereja mula mula. Kebanyakan orang yakin PL PB satu kesatuan Alkitab. Ada yang mencari perbedaannya dan persamaanya. Ada  yang mengutamakan Yesus sebagai kunci memahami PL. Penafsiran alegoris juga  menjadi populer dengan makna harfiah. Menjelang abad 14   menekankan penafsiran harfiah. Menjelang abad 19 menerima penafsiran yang  memuaskan  harus berdasarkan  pada pemahaman  nas-nas  Alkitab  secara harfiah  dalam konteks sejarah  namun masa itu pemahaman teologis  hampir diabaikan. Awal abad 20 penelitian  mulai diperhatiak hubungan antara dua perjanjian.  Sebagai pernyataan bertahap  “progresive revelation”. Sekitar thn 1930-1950 muncul lagi neo Marcionisme yang meremehkan PL. Pada abad 20  pendekatan lebih bersifat teologis.  Ada empat kelompok utama  sudah dibahas pada pasal 3-6  dalam buku ini.

 

Pendekatan  PB

            Bultman pasal 3.   Adanya kesamaan eksitensial dan kontras  dalam dua perjanjian itu. Pada hakekatnya Pemahaman Pl dan PB sama namun ada perbedaan dalam rincinnya. Hukum bangsa Israel berbeda dengan kasih karunia dalam PB atau janji dalam Kristus.

            PB menurut Bultman andakan PL yang mencacat kegagalan sejarahnya kemudian menjadi satu janji. Menurut Baumgartel, PL bersumber dari satu janji dalam Kristus. “Akulah Tuhan , Allahmu” dasarnya janji ini ada dalam PB.  Namun kedua teolog ini mengatakan PL bukan suatu kitab  Kristen,  PB barulah dianggap sebagai kitab Kristen.  Bagi orang Kristen PL hanya memiliki makna kalau dilihat dari terang PB.

            Menurut kedua teolog ini yg penting ialah PB. Sedangkan PL hanya bersifat sekunder. Argumen Bultmann  dan para teolog lain yang disebutkan  pada pasal yang sama  dikemukakan secara meyakinkan  dan ada unsur benarnya.  Pendekatan hanya melaui PB harus ditolak kendati banyak yang dipelajari darinya.

 

Pendekatan PL

            PL memiliki  keunggulan dan kemandirian  teologis  dalam kaitannya  dengan PB. Menurut Vanruler  bahwa perlunya pendekatan alkitabiah, tentang Kristologi, Sejarah keselamatan, tipologi, janji dan pengenapan, kesinambungan dan ketidaksinambungan. Implikasinya bagi teologi   dan jemaat. Kewibawaan PL, penafsiran PL dan PB, teologi Alkitab.

 

Penutup

            Buku ini salah satu buku terbaik yang menjaga keutuhan hubungan Alkitab PL dengan PB. Menyatakan bahwa PL tidak dapat dipisahkan dengan PB,  sebab jika terpisah maka Kristen  mengalami kesulitan memahami maksud dan rencana Allah dalam sejarah dunia secara  sempurna. Sekalipun banyak  orang yang memperdebatkan keutuhan PL dan PB tetapi   diyakinkan bahwa satu Kitab dua perjanjian ini tetap tidak dapat dipisahkan.

 

 

 

 

 

 

Kesimpulan dari Evaluasi Buku-buku

 

Injili vs Liberal

 

1.     Yesus adalah satu-satu juru selamat dan di luar Yesus tidak ada keselamatan

2.     Alkitab adalah Firman Tuhan, dan tidak ada satu iota pun kesalahan. Alkitab adalah benar.

3.     Alkitab ditulis oleh Allah melalui para nabinya di mana Roh Kudus bekerja menguasai para nabi untuk menulis kitab-kitabnya tanpa menggabaikan latar belakang setiap kehidupan para nabi yang bersangkutan.

 


 

4. Teologi Biblika

 

Bahasa Alkitab: Ibrani, Aramik,

Yunani Septuaginta (LXX) dan 

Yunani Perjanjian Baru

 

Pendahuluan

Istilah Bible berasal dari bahasa Yunani (biblia) yang berarti kitab-kitab[3] yang diakui secara kanonikal oleh gereja Kristen.[4]   Dr. Henrietta Mears dalam bukunya “What the Bible is all about’” mengatakan “The Bible is God’s written revelation of His will to men.  Its central the is salvation through Jesus Christ.  The Bible contains 66 books, written by 40 authors, covering a period of apporximately 1600 years.”[5]

Word of God[6] atau Alkitab Perjanjian Lama berisi 39 Kitab yaitu Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan, Yosua, Hakim-hakim, Ruth, 1 & 2 Samuel, 1 & 2 Raja-raja, 1 & 2 Tawarikh, Ezra, Nehemia, Esther, Ayub, Mazmur, Amsal, Pengkhotbah, Kidung Agung, Yesaya, Yermia, Ratapan, Yeheskiel, Daniel, Hosea, Yoel, Amos, Obaja, Yunus, Mikha, Nahum, Habakuk, Zefanya, Hagai, Zakharia, Maleakhi.  Alkitab Perjanjian Lama versi Indonesia (LAI, 2007) masih tetap mempertahankan susunan kitab sebagaimana diakui oleh orang Kristen pada umumnya. 

Jumlah dan susunan Kitab-kitab PL di atas memang menurut para ahli Alkitab Perjanjian Lama berbeda dengan Alkitab PL kuno orang Ibrani.  Mengapa?  F.F. Bruce, dalam bukunya “The Canon of Scripture” berkata bahwa “the books of the Hebrew are traditionally twenty-four in number, arranged in three devisions: torah, Nebiim, Ketubim…”[7]

Kitab-kitab Perjanjian Lama menurut Mears ditulis dalam beberapa bahasa seperti kutiban berikut ini “The Old Testament was written mostly in Hebrew ( a few short passages in Aramaik).  About 100 years before the Christian Era the entire Old testament was translated into Greek.”[8]

Perjanjian Baru berisi 27 Kitab dan Surat yang susunan nya sebagai berikut:  Matius, Markus, Lukas, Yohanes, Kisah Para Rasul, Roma, 1 & 2 Korentus, Galatia, Epesus, Pilipi, Kolose, 1 & 2 Tesalonika, 1 & 2 Timotius, Titus, Filemon, Ibrani, Yakobus, 1 & 2 Petrus, 1, 2 & 3 Yohanes, Yudas, dan Wahyu. 

Alkitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani seperti ungkapan Mears “The New Testament was written in the Greek Language,”[9] sebab bahasa Yunani merupakan bahasa percakapan di dunia Helenistik.  Dalam Perjanjian Baru terdapat beberapa ungkapan atau kalimat yang berasal dari bahasa yang bukan Yunani, sebagaimana ungkapan Steven Barabas, seorang professor Theology di Wheaton College, sebagai berikut: “except for e few words and sentences, the NT was composed in Greek, the language of ordinary conversation in the Hellenistic world.”[10]

 

Penulisan Alkitab Perjanjian Lama

Sejarah Penulisan Ibrani

Mempelajari penulisan Alkitab dalam bahasa Ibrani merupakan sesuatu yang sangat penting, karena Alkitab Perjanjian Lama sering diperdebatkan dalam berbagai penelitian Perjanjian Lama.  Terutama dalam bidang penelitian kritik teks dan kritik historis dalam penulisan Alkitab PL, sampai pada pengkanonan PL.

            R.K. Harrison, seorang profesor Perjanjian Lama di Wycliffe College dan di Universitas Toronto, mengutip B.J. Robert dalam bukunya “The OT Text and versions,” mengatakan “study of the Hebrew text in its own right is a matter of great importance, since the judgments that are made by scholars in this field are basic to all others areas of Old Testament investigation.  As a discipline textual criticism is independent of the history and early growth of the Scriptural writings, as well as of the formation of the canon.”[11]

            Tujuan akhir dari kritik teks adalah menemukan kembali teks Alkitab yang mendekati teks yang asli.  Karena secara objektif kita tak dapat menemukan teks Alkitab Perjanjian Lama

yang asli.  Semua copy yang ada pada kita merupakan suatu warisan dari abad datang kepada abad.  Namun demikian, kita tak dapat meragukan kebenaran Alkitab Perjanjian lama walaupun teks aslinya sudah hilang atau tak pernah lagi kita ketahui.[12]

            Ada penemuan arkeology, seperti dikembangkan oleh Wellhausen pada masanya, yang mengatakan bahwa zaman orang Ibrani kuno, mereka belum terbiasa dengan menulis. Maksudnya, Penulisan Perjanjian Lama belum ada sampai awal para Bapa-Bapa PL.  Di Timur Tengah kuno pada tahun 3100 BC penulisan dimulai dan dikembangkan, dan zaman itu bahasa Semitik yang digunakan.

            Sekitar tahun 900-612 BC digunakan bahasa Aramaik dalam penulisan dan hal ini terjadi pada zaman neo-Assyrian dan di tahun 1500 BC daerah Syra Palestina menggunakan alpabet Mesir.  Di tahun 1000 BC tulisan dalam bahasa Ibrani dikembangkan, menurut penanggalan Gezer.  Teks-teks awal sekita abad 10 BC, zaman pemerintahan Jerobeam II, sudah dikembankan penulisan para imam yang profesional.  Tulisan-tulisan zaman itu ada yang berbahasa Aramaik,  Moabite, dan Ibrani.  Dan secara formal nanti tahun 30 BC – 7- AD pada zaman pemerintahan Herodian, penulisan dalam bahasa Ibrani dikembangkan dengan luar biasa dan semua dokumen resmi dalam bahasa Ibrani.[13]

 

Bahasa Penulisan PL

Bahasa Ibrani

Memperhatikan sejarah singkat penulisan Alkitab Perjanjian Lama seperti diuraikan di atas, maka Steve menulis bahwa “most of the Old Testament was written in Hebrew”[14]  Para penulis kitab dalam Alkitab diilhami oleh Roh Kudus, dengan kata lain “pengaruh adikodrati Roh Kudus atas para penulis Alkitab sehingga membuat hasil karya mereka menjadi suatu catatan yang akurat tentang penyataan atau yang mengakibatkan karya mereka benar-benar merupakan Firman Allah.”[15]

            Ada beberapa bukti kuat mengenai penulisan Alkitab Perjanjian Lama dalam bahasa Ibrani, atau dapat dikatakan sebagai transmisi teks Ibrani.  Pertama adalah periode perkembangan Pre-Masorettic.  Sampai pada masa pengkanonan Perjanjian Lama sebetulnya secara mendetail kitab-kitab PL tersebut belum memenuhi standardisasi dalam bentuk seperti sekarang ini.  Hal tersebut dibuktikan dengan adanya penemuan, penemuan di Qumran berupa manuscripts yang memperlihatkan kepada kita beberapa tipe teks yang berbeda dengan teks tradisional Masoretik. 

Pada abad ke II sebelum Kristus, proses transmisi teks bahasa Ibrani dikembangkan oleh para ahli kitab Massorets, yang disebut “Shoperim”, seperti dalam Talmud.  Nati pada masa pre-Kristen para penulis orang Ibrani berpikir mengenai pewarisan teks Alkitab Perjanjian Lama dalam bahasa Ibrani, yang akhirnya diketahui sebagai teks yang asli (walaupun kita tak dapat mengetahuinya sekarang) dan dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan teks Alkitab bahasa Ibrani asli dan teks LXX.[16] 

Ada beberapa naskah yang berasal dari Qumran sesuai dengan penemuan naskah tua, terlebih penemuan para gembala suku Ta’amire di mana naskah-naskah tersebut ada dalam tempayan.[17] 

 

Ada scroll yang ditemukan di Qumran - Q3 yang dikenal dengan manuscript di Museum Palestina sebagai naskah dalam bahasa Ibrani yang kuno.[18]

Ada beberapa teks Alkitab Ibrani yang dianggap versi Alkitab kuno

yang dijadikan patokan untuk versi Alkitab Perjanjian Lama yang beredar sampai sekarang.  Sebagai contoh ada penggalan codex B (codex Vaticanus) yang berasal dari abad IV yang tersimpan di Perpustakaan Vatican.[19]

 

            Codex Sinaiticus, yang diduga berasal dari abad keempat, disimpan di Museum Britis.[20]

 

 

            Ada juga codex Alexandrinus (codex A) di duga berasal dari abad kelima.  Dipersembahkan kepada Karel I oleh Patriarkh Konstantinopel pada tahun 1628 dan sekarang berada di Museum Britis.[21]

 

 

Bahasa Aramaik

Perjanjian Lama ada bagian yang ditulis dalam bahasa Aramaik, seperti yang ditemukan dalam Goa XI yaitu terjemahan kitab Ayub dalam bahasa Aram, contoh Ayub 42:9-11.[22]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bahasa-bahasa utama yang dipakai dalam dunia Romawi adalah Latin, Yunani, Aram, dan Ibrani.  Latin adalah bahasa hukum di pangadilan dan kesusteraan Romawi dan digunakan di wilayah Barat penduduk Romawi.  Bahasa Yunani adalah bahasa kebudayaan yang dikenal oleh semua cendekiawan yang merupakan bahasa sampingan mayoritas penduduk Romawi bagian Timur, bahkan masih digunakan masa kini di Palestina.  Dan bahasa Aramik adalah bahasa utama di Timur Dekat.  Rasul Paulus berbicara kepada orang-orang di yerusalem dalam bahasa Aramik (Kisah 22:2), juga ia menggunakan bahasa Aram ketika ia menyampaikan pembelaannya di istana Anthonius.[23]

Tuhan Yesus juga menggunakan bahasa Aramik seperti dalam Yoh.1:42, Mark. 7:34, Mat.27:46.  Bahasa Aram juga muncul dalam ungkapan-ungkapan keagamaan di awal gereja, seperti:  Abba (Roma.8:15), Maranatha (1 Kor.16:22), sehingga dapat disimpulkan bahwa gereja Kristus yang mula-mula dalam Perjanjian baru berbicara dalam bahasa Aram, sebab bahasa Ibrani kuno yang erat kaitannya dengan bahasa Aram tidak digunakan lagi sejak zaman Ezra, kecuali di antara para rabi yang mempelajari dan menggunakannya sebagai media pemikiran teologis.[24]

 

Penulisan Alkitab Perjanjian Baru

     Apabila kita menoleh sejarah di Palestina dapat terlihat bahwa mereka mengenal berbagai bahasa dalam masyarakat saat itu, seperti:  bahasa Ibrani, Yunani, dan Latin, bandingkan Yohanes 19:20.  Masyarakat umum nampaknya mengenal tahasa tersebut sehingga tertulis pada bagian atas kepala Yesus di kayu salib, alasannya bahwa Palestina dianggap daerah kosmopolitan saat itu.[25] 

 

Bahasa Yunani Septuaginta.

           Bahasa Latin merupakan bahasa resmi Pemerintah Roma saat itu dan dikenal oleh para Pemimpin Roma bersama tentaranya, dan beberapa orang Yahudi menggunakannya dalam percakapan sehari-hari dan salah satu contoh bahasa Latin di Perjanjian Baru adalah istilah “legion.”  Bahasa Yunani digunakan secara umum di Palestina, lebih khusus bagian Utara daerah Galilea sebab penduduk kebanyakan bangsa Yunani.  Dan bahasa ketiga yang digunakan secara umum oleh masyarakat di Palestina saat itu adalah bahasa Aramik, sebagai bahasa Ibu orang Yahudi.  Para guru dan ahli Kitab orang Yahudi terus menggunakan bahasa tersebut takkala mereka mempelajari Perjanjian Lama.[26]

      Pada sekitar tahun 250-150 BC Perjanjian Lama berbahasa Ibrani

      diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani di kota Alexandria Mesir, sebab bahasa

Yunani merupakan bahasa umum masyarakat pada waktu itu, dan terjemahan tersebut dinamakan Septuaginta (berarti Tujuh Puluh) sehingga ajaran Perjanjian lama diterima oleh semua orang.  Satu bahasa, satu dunia.  Itulah ambisi pemuda Alexander, putra Raja Philip dari Makedonia 300 tahun sebelum Kristus.  Untuk mengokohkan kemenangannya dia menetapkan bahasa Yunani sebagai bahasa sehari-hari bersama kebudayaannya.[27]

                

Bahasa Yunani Perjanjian Baru

Peristiwa-peristiwa abad III BC sangat berpengaruh pada kekristenan serta penulisan Perjanjian Baru.  Sebagian besar klhotbah-khotbah para Rasul Kristus disampaikan dalam bahasa Yunani dan buku-buku Perjanjian baru ditulis dalam bahasa Yunan, sebab bahasa tersebut digunakan secara umum zaman itu.[28]

Tenney berkata bahwa jumlah orang Yahudi di negara Romawi baik dari golongan Hebrais maupun golongan Helenis mencapai sekitar empat setengah juta.

Namun nampaknya kaum Helenis sedikti banyak jumlah pengikutnya dibanding pengikut Hebrais yang terbuka kepada Perjanjian Lama yang menggunakan bahasa Yunani (Septuaginta).  Bahasa Yunani yang digunakan saat itu kebanyakan adalah

bahasa Yunani koine yang disederhanakan agar dimengerti kebanyakan masyarakat zaman itu.  Pada zaman penulisan Perjanjian Baru bahasa Yunani sungguh sangat meluas dibawah kepemimpinan Romawi.[29]  Demikian juga Mounce berkata bahwa bahasa Yunani menyebar luas di seluruh masyarakat di selruuh dunia zaman itu dan memang bahasa Yunani koine digunakan sebab katanya “koine means common and describes the common, everyday for of the language, used by every day people.”[30]

            Perjanjian Baru merupakan bagian kedua dari Kitab Suci kita, berasal dari

kata Latin Novum tetamentum, yang merupakan terjemahan dari bahasa

Yunani He Kaine Diatheke.  Kata-kata ini biasanya menyatakan suatu pesan atau wasiat terakhir atau berarti suatu ketetapan yang telah dibuat oleh suatu pihak yang mungkin akan diterima atau ditolak oleh pihak lain, namun tidak dapat diubah oleh pihak lain tersebut, dan apabila diterima, akan mengikast kedua belah pihak, sehingga Testamentum diingriskan Testament.[31]

            Istilah covenant berarti perjanjian – menyetujui, atau bersama-sama.  Artinya ada suatu perjanjian, ketetapan atau kontrak yang melibatkan persetujuan kedua belah pihak.  Istilah tersebut terlihat dalam Kitab keluaran 24:1-8 di mana Allah membuat perjanjian dengan UmatNya dan kata tersebut digunakan dalam bahasa Yunai diatheke yang berarti perjanjian. Luk.22:14-20.  Jadi Perjanjian Baru adalah suatu catatan mengenai sifat dan perwujudan dari kesepakatan yang baru antara Allah dan manusia melalui Kristus dan perjanjian tersebut bila diterima oleh manusia, baik manusia bersama Allah sama-sama terikat memenuhi kewajibannya dan tuntutannya.[32]

            Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani, yang merupakan bahasa umum masyarakat dan digunakan sehari-hari dalam dunia Helenistik; walaupu dapat dikatakan bahwa bahasa Yunani Perjanjian baru yang klasik sangat berbeda dengan Perjanjian Lama (Septuaginta) yang merupakan terjemahan PL ke dalam PB oleh Tujuh Puluh ahli.[33]

            Perjanjian Baru terdiri dari 27 buku yang diilhamkan oleh Allah dan 27 kitab Perjanjian Baru yang berbahasa Yunani tersebut adalah Empat Injil:  Matius, markus, Lukas, dan Yohanesm Kisah Para Rasul, ada tujuh surat umum:  Yakub, 1 dan 2 Petrus, 1,2,3 Yohanes, dan Yudas; tiga belas surat Paulus; Ibrani, 1,2 Timotius dan Titus, Pilemon dan Wahyu (sementara menurut Athanasius ada 14 surat Paulus termasuk Ibrani).[34]

 


 

Proses menjadi Bahan Alkitab dalam Gambar


5. Skopa Kajian Dasar-dasar Biblika

 

Power Point:

Skopa Kajian biblika

Alkitab

Injil-injil Sesat

Kitab Ibrani dalam Tanakh

Metode PL  + Metode PL. enns


 

6. Metodologi Biblika

 

Walter C. Kaiser, JR. Toward an Exegetical Theology: Biblical Exegesis for Preaching and Teaching. Grand Rapids: Baker Book  House, 1994.  

 

 

EVALUASI BUKU

TOWARD AN EXEGETICAL THEOLOGY

BIBLICAL EXEGESIS FOR PREACHING AND TEACHING

Walter C. Kaiser, JR. Baker Book House, Grand Rapids, Michingan. 1994

 

 

Pendahuluan

Buku ini terdiri dari 267 halaman yang dibagi dalam 4 bagian (part) adalah:  Part 1: Introduction dengan contents nya, current crises in Exegetical, The definition and History of Exegesis.  Part 2: Contextual Analysis, Syntactical Analysis, Verbal Analysis, theological Analysis, Homeletical Analysis, Illustration of Syntactical and Homeletical Analysis. Part 3: Special Issues, dengan contents, The Use of Prophecy in Expository Preaching. The Use of Narrative in Expository Preaching, The Use of Poetry in Expository Preaching. Part 4: Conclusion. The Exegete atau Pastor and the Power of God, Bibliography.

Dalam teologi terdapat juga permasalahan dalam hal eksegesa. “Already we have been warned about crises in systematic theology and Biblical theology, and about ignorance of the contensts of Scripture”.[35]

 

Current Crises in Exegetical Theology

In a world that ha been treated almost daily toone crisis after another in almost every aspect of its life, it will come as no shock to hav another crisis announced: a crisis in exegetical Theology. Already we have been warned about crises in systematic theology, and about ignorance of the contents of Scripture.

A gap of crisis proportions exists between the steps generally outlined in most seminary or Biblical trainning classes in exegesis and the hard realities most pastors face every week as they prepare their sermons.`

To be sure, the church has had more than her rightful share of  “Meditation” or “topical sermon” which are more or less lossely connected with a Biblical pharase, clause, sentence, verse or scattered assortment thereof.

It is time either rectify the situation with a good theory of exegesis and a corresponding announcement of a series af valid stepsin route of moving from exegesis to preaching.

 

The Crisis in Hermeneutics

For at the heart of much of the debate here is the problem of how the interpreter can relate “what the text meant in its historical context” when the issues put ii these terms, there  can be no denying the fact  that this is the very hiatus which is troubling interpreters in all the

The hummanities; it is not an issues unique to the Biblical interpreter.

The issues nmust be put bluntly; Is the meaning of a text to be defined solely in terms of the verbal meaning of that text as those words were use by theScriptural author ? Or should the meaning of a text be partly understood in terms of” what it now means too me” the reader and interpreter.

 

The Multiple “Meanings” of the Interpreter

One way to break this Gordian knot is to fall back on the formula “ Interpreters often can understand authors better than they understand themselves. Thus in the formula under consideran the word authors should be understood as the “works” composed.

A text is understand able when the author has expressed him self in clear and sensible way. “ Better Understanding” is not different from the writer’s meaning; for at the points at which it improve or criticizes a work of a writer.

Significance will need to be a secondary and subjective determiniation which will derive legitimacy only to the extent that it as already accurately assessed the authors single meaning in tht text. To the basic meaning the interpreter and reader may then bring their questions, critism, and suggested modern analog.

 

The Crisis in Homiletics

One more crisis must be faced before we begin to suggest some solutions of our own: the crisis in the pulpit. For larg segments of the christian it is a truism ta say that Biblical exposition has become a lost art in contemporary preaching.

How could Christian interpreter keep from  avoiding those passages, not only in the Old Testament, but also in the New  Testament, but also in  the Old tstament, that appear to be so very specifically addressed and date? There seems to be no way to esape this problem.

 

 

The definitiion and History of Exegesis

It is difficult to find a good working dfinition of Biblical exegesis ven though our generation has at its finger tips a wide assortmen of Biblical handbooks, dictionaries, and journal articles.

 

The Definition of Exegesis

The term is derrived from a transliteration of the Greek word έξήγησις, meaning a “narration” or “ explanation”  The Greek verbal form έξηγέομαι, which literally rendered means “ to lead out of”. In the Septuagint έξηγέομαι,mainly translates the Hebrew verb סָפֵר  which in the intesive steam means “ to recount, tell, or declare” in the New Testament this verb occurs read that it is the “ only Son, who is in the bosom of the Father who as exegeted .

 

The Practice of Exegesis

The Pastors, theological, student, andserious interpreter of Scripture are shocked tolearn that virtualy no one has mapped  out the actual route that the interpreter is to take as he enters the practice of exegesis.

The begin with, let it be state as a sort of first principle that to preparation for preaching is always a movement which must begin with the text of Scripture and have  as its goal the proclamation of that Word in succh a way taht it can be heard with all its poignone iota of its original normativeness.

In the tehologiacal student is being taught no more expertise in the languanges than this, then it would be better to give an introduction lecture on the basic nature of the verb structure in Greek an Hebrew with some help in using a Greek or Hebrew analytical lexicon which conveniently parses every verb in an alphabetical listing. In this way, the student would be able to parse every verb instantaneously.

 

The Apostolic Age

By the Apostolic Age, we mean generally the first century of the Christian era. What we havein mind here basiccally the New Testament writter’suse of the Old testament. But it is also necessary to say something about sectarian exegesis, such as that of the essesnes from the Qumran Community, and wh.at may be broadly called Rabbinic exegesis.

The principals systemof hermeneutic were developed in Rabbinic literature: the famous seven basic rules of Hillel (c. 30 B.C – A.D. 9) etc.

 

The Patristic Age

The history of exegesis in the early Church is basically a histry af astuggle between the two school of Alexandria and Antioch. But Even before the tension took these classic shapes, the early Church fathers exebited a decided tendendcy toeard the allegorization of Scripture. For example, Irenaus, a student of  Polycarp, who in turn was a disciple of the apostle John, wrote  in A.D. 185 in his work Against Heresis (V. 8. 4) that the Old Testament description of clean and unclean animals is symbolic of the classes of mankind

 

The Reformation Age

Out of the Renaissance with its new emphasis on a return to the original languanges of Scripture come Johann reuchlin’s Hebrew grammar  and lexicon and Erasmus’s first critical edtion of the Greek New Testament (A.D. 1516). In part they set the groundwork  for the arrival of Marthin Luther and John Calvin.

 

Chapter 3

THE SYNTACTICAL THEOLOGICAL METHOD

 

Contextual Analysis

Where must the exegete begin ? hal he begin with the most intrecate and smallest components such as phonemes, morphenes, words, and the gradually work up to pharases, clauses, sentences, paragraphs, sectionsm and books ? Or is the reverse order to be followed?

Godd exegetikal procedurs dictate that the details be viewed in light of the total tcontext.

 

Sectional Contex

The word ontext is composed of two Latin elements, Con (Together) Textus (Woven). Hence when we speak

 Of the ontext, we are talking about te connection of thought that runs through a passage, those links that weave in into one piece.

The exegete must be feel  that his primary obligation is t find thisthread of thought which run like a life stream through the smaller and larger parts of every passage.

The Book Context

At this point it should be possible to identify the overall purpose andplan of the book. The parts shuld up to the total work.

Book where the overall purpose must be ascertained by the contents and the transitions from section to section and paragraph to paragraph, our task is much more difficult.

 

The Canonical Context

Lately there has been in the Church a whole new emphasis on the canon. One name stands out beyond all ther recent comentators in this new emphasis on canon.

Canonical analysis, as he sees it, must itself be focus on the text-in the final form which now lies before the Church. Thus the present shape of the text, apart from what he would still regard as the legitimate avenues of historyo, and traditio-criticism, has its own kind of integrity. Must explain the Bible that presently is in the hands of the Church. To make sure that no one confuses the approach of canonical analysis with several other recent critical method.

 

The Immediate Context.

There is one more aspect that must be considered here, and that is paragraph analysis (or in poetry, strophe analysis) within the section

The investigation of the context  or f a paragraph can be as illuminating as discovery of how the various section of a book relate.

            To one another. Without the benefit of knowing the connection between the paragraph under consideration and setion of  the book in which it is found, the exegete will often be at sea in interpreting of passage. The primary work of identifying context is most important.

 

Analytical Analysis

Exegetes have generally adopted his term as being deskriptive of their own approach to the exegetical task: the grammatico-historical method of exegesis.

The term grammatico however, is somewhat misleading since we ussulay mean by “grammatical” the arrangement of words and contruction of sentences.

 

The Literary Type

Before in depth work on the paragraph can begin (which after all is the centr of our concern in syntactical analysis) a preliminary step ust by taken. It is necessary to decide what type of literary composition is before us.

There are five basic literary forms used by the Biblical writers- may be allowed for the moment to aint with a wide brush and to use a somewhat sweeping generalization.

These typemay be listed as 1. Prose, 2. Poetry, 3. Narrative, 4. Wisdom, and 5. Apocalyptic.

 

The Paragraph

Once the exegete has determined the natural divisions and the literary type of the individual book, it is time to get down to examining the passage that has been selected for exegeting.

How shall we define and delimit the paragraph ? most of the criteria resemble those for marking off a section.

Thereare three types of clauses 1. Independent,main,or principal clause. 2. Coordinate clause. 3. Dependent subordinate clause.

 

The Syntactical Display

In order for the exegete to study a paragraph in terms of both its internal operation and external interrations,we are advocating the use of a syntactical display or “ block diagram”

The theme proportion is brought out t the left-han margin. A bock diagram arranges all the material, regardless

 

Evaluasi secara Umum

Buku ini mengkritisi para teolog dan gembala sidang dalam menyampaikan khotbah yang didasarkan pada ekesegese yang tidak sesuai. “A gap of crises proportions exist between the steps generally outlined in most seminary or  biblical trainning classes in exegesis and the hard realities most pastors face every week as they prepare their sermons.[36] dan ini disebut dengan “The crisis in Hermeneutic, Homelietic”. Hal ini telah menjadi perdebatan yang kuat sejak dahulu.[37] dengan demikian, dimunculkan definisi dan sejarah dari eksegese dan bagaimana membentuk sebuah kalimat teologi melalui metode-metode yang benar.

 

Evaluasi Bagian-bagian Tertentu

Walter C. Kaiser, JR dalam bukunya Toward An Exegetical Theological Biblical Exegesis for Preaching and Teaching dirangkum secara sistematik dengan pembahasan terkosentrasi dalam 4 bagian besar (part) yaitu Introduction, The Syntactical Theological Method, Special Issues dan yang terakhir Conclusionnya.

Sebuah komentar dari penulis buku yang menjadi dasar tulisannya dikatakan “ a gap exist in the academic preparation of the ministry. Its the gap between the study of the biblical text and actual  delivery of messages to God’s people.”

 

Penutup

 

 

 

Harianto GP,  Eksegese PL. Surabaya: STT Bethany, 2015.

 


 

 

 

Robert B. Chisholm, Jr., From Exegesis to Exposition: A Practical Guide to Using Biblical Hebrew. Grand Rapids: Baker Books, 1998.

Robert B. Chisholm Jr. (Th.D., Dallas Theological Seminary) is professor of Old Testament studies at Dallas Theological Seminary. He wrote Interpreting the Minor Prophets and contributed to the Dictionary of Biblical Imagery and the New International Dictionary of Old Testament Theology and Exegesis.

Many seminarians suspect that their courses in Hebrew have little relevance to their current and future ministry. However, in "From Exegesis to Exposition," Chisholm inspires and instructs students and pastors to use the Hebrew Bible appropriately in their preaching and teaching, showing seminarians and seminary-trained pastors how to "preach accurate, informative, and exciting sermons, rooted in the Hebrew text." (59)

 

 

 

David Alan Black &  David S. Dockery. (eds). Interpreting The New Testament. Nashville: Broadman & Holman Publishers, 2001.

The editors of this book contend that one of the world's best-known and most influential bodies of literature is one of the least understood. This is due both to the proliferation of modern hermeneutical approaches and to the lack of understanding of the historical backgrounds of the New Testament. In their sequel to their earlier work, New Testament Criticism and Interpretation, Black and Dockery present essays on current issues and methods with the purpose of enhancing New Testament interpretation, teaching, and preaching, and providing a useful means of learning what the New Testament is all about

 

David Alan Black currently serves as Professor of New Testament and Greek at Southeastern Baptist Theological Seminary in Wake Forest, North Carolina. He has written or edited over 100 essays and 14 books, including Learn to Read New Testament Greek. He and his wife and sons live on a ranch near Oxford, North Carolina.

David S. Dockery is President and Professor of Christian Studies, Union University. He has written and contributed to many articles and books and is the founding editor of the Criswell Theological Review. He and his family currently reside in Jackson, Tennessee.

 

 

 

 

Peter Cotterell & Max Turner.   Linguistics & Biblical Interpretation.  United State of America: InterVarsity Press, 1989.

 

EVALUASI BUKU Peter Cotterell & Max Turner

Linguistics & Biblical Interpretation”

 

Pendahuluan

Peter Riddell (Ph.D., Australian National University) is Director of the Centre for Islamic Studies and Muslim-Christian Relations at London Bible College. He is the author or editor of several books, including Islam: Essays on Scripture, Thought, and Society. Peter Cotterell (Ph.D., London University) is Associate Senior lecturer at the Center for Islamic Studies. He has lectured for 19 years at London Bible College, where he also served as the principal.

Max Turner writes urban fantasy books and is also a science and physical education teacher. His first novel, Night Runner, was a Red Maple Award honour book and a finalist for the Sunburst Award. Its sequel, End of Days, was shortlisted for the Ottawa Book Award. He lives in Ottawa with his wife and three children.

 

In this introduction to the use of linguistics in biblical interpretation, Peter Cotterell and Max Turner focus on the concept of meaning, the significance of author, text and reader, and the use of discourse analysis.

 

Dalam permulaan di bab pertama Cotterell & Turner membahas tentang bahasa, ilmu bahasa dan penafsiran Alkitabiah.  Bahasa manusia adalah komplek dan luas yang dipakai dalam komunikasi. Dalam hubungan dengan komunikasi, ada yang disbeut Semiotics yaitu  studi yang berhubungan dengan signal atau tanda dalam komunikasi.  Dalam berkomunikasi unsur yang penting adalah bahasa, dan dalam penggunaan bahasa ada penekanan-penekanan tertentu, baik melalui kata-kata maupun melalui sikap/nada suara. Oleh karena itu seorang penafsir selain memperhatikan konteks sosio kultural juga harus memperhatikan studi tentang arti kata dan Lexical Semantics.

            Cotterell & Turner selanjutnya menjelaskan tentang bahasa yang bersifat universal dibuktikan dengan beberapa argumen diantaranya tentang penggunaan bahasa oleh setiap komunitas tertentu yang hampir sama misalnya ketika bertanya, ada kesamaan-kesamaan tertentu dalam setiap bahasa khususnya dari segi nada. Selain itu adanya minimal 2 jenis kata yang sama di setiap bahasa yaitu kata kerja dan kata benda yang dipakai dalam komunikasi di setiap bahasa di dunia.

            Pada bagian akhir pembahasan di bab pertama, Cotterell & Turner membahas tentang linguistik dan Alkitab. Adakah sesuatu yang dapat dilakukan linguistik dalam penafsiran Alkitab?  Yang jelas linguistik memberi kontribusi dalam penafsiran Alkitab, seperti dengan adanya buku A Greek Lexicon of the New Testament and Early Literature. Selain itu kegunaan linguistik yang lebih awal dalam penafsiran Alkitab adalah dalam Metode Analisa Teks. Dalam metode ini linguistik mutlak diperlukan.

            Pada bab kedua Cotterell & Turner membahas tentang Semantik dan Hermeneutik. Semantik adalah bagian dari linguistik yang mengkhususkan pada arti kata. Karena itu penggunaan semantik dalam penafsiran adalah untuk menemukan arti kata-kata yang diapakai dalam Alkitab, karena setiap kata yang diapakai dapat memiliki arti yang berbeda. Disini pentingnya menemukan arti dari setiap teks. Cotterell & Turner memberikan beberapa hal tentang arti dari sebuah teks diantaranya arti dari pengarang, memang ini subyektif karena arti yang sebenarnya hanya pengarangnya yang tahu.  Misalnya kata-kata Tuhan Yesus dalam Yohanes 7:34 “Kamu akan mencari Aku, tetapi tidak akan bertemu dengan Aku, sebab kamu tidak dapat datang ke tempat di mana Aku berada”  Apabila hanya dibaca sepintas ayat ini akan menimbulkan berbagai penafsiran, tetapi apabila dilhat konteks pada waktu itu setidaknya akan diketahui maksud Tuhan Yesus. Arti Teks, Teks-teks Alkitab adalah teks zaman dahulu dan ada beberapa kata yang tidak dipakai lagi pada masa kini, maka perlu sekali untuk mngetahui arti teks pada waktu teks tersebut ditulis. Menetukan arti yang tepat, karena satu kata dapat berarti lebih dari satu, seperti adanya perbedaan terjemahan dalam beberapa versi Alkitab, arti yang tepat harus di pilih. Denotasi dan konotasi. Denotasi dapat dikatakan sebagai arti harafiah, sedangkan konotasi arti secara umum, misalnya penggunaan gaya bahasa antophomorfis. Arti dan signifikansi dimana kata-kata yang dipakai dalam perumpamaan memiliki arti yang berbeda harus ditafsirkan sebagai perumpamaan. Karena teks dapat memiliki beberapa arti yang berbeda maka tugas eksegesis adalah menemukan arti yang paling tepat.

            Dalam bab ketiga Cotterell & Turner membahas tentang  Dimensions of the Meaning of a Discourse. Yang dimaksudkan disini adalah menemukan arti yang dimaksud oleh penulis karangan. Pembahasan  dimulai dengan arti sebagai pengertian (meaning as sense), dimana pengertian kata, pengertian paragraf, dan pengertian dari pengarang harus diketahui dengan benar. Kedua, meaning and reference, dimana untuk mengetahui arti yang tepat perlu dipertimbangakan referensinya. Ketiga, Meaning as Significance and Presupposition Pools. Sebuah kalimat dapat mempunyai signifikansi yang berbeda bagi orang yang berbeda. Karena alasan ini perlu dicari pengertian teks menurut kelompok tertentu.  Setiap kelompok punya presupposisi tertentu dalam mengartikan sebuah pernyataan kalimat. Keempat, Meaning as Significance and Genre Consideration. Yang perlu dipertimbangkan disini dalam mengartikan sebuah teks adalah genrenya, jenis karangannya. Mazmur misalnya tidak dapat ditafsirkan dengan cara yang sama ketika menafsirkan Kisah Rasul karena genrenya berbeda. Kelima, Meaning as ‘significance’ and Exegetial Task. Karena setiap teks dapat mempunyai signifikansi yang berbeda, disinilah diperlukan tugas eksegesis supaya pengertian setiap bagian dalam Alkitab dapat ditemukan dengan benar.

            Dalam bab keempat Cotterell & Turner membahas tentang penggunaan dan penyalahgunaan Studi Kata dalam Teologi. Pembahasan dengan dimulainya penggunaan studi kata Theologica Lexiconon New Testament dari Cremer sampai dengan TDNT dari Kittel. Selanjutnya Cotterell & Turner membahas tentang James Barr dan Kritik Pendekatan Studi Kata terhadap Teologi. Beberapa Kritikan Barr diantaranya, pertama, Barr memberi kritikan terhadap teori yang mengatakan bahwa struktur bahasa Ibrani adalah suatu ready indek dari pemikiran Ibrani. Salah satu contoh yang diberikan Barr adalah adanya kekontrasan antara bahasa Yunani yang bersifat statis, abstrak, analitis dan antroformologis dualistis (manusia terdiri dari tubuh dan jiwa) dan bahasa Ibrani yang bersifat dinamis, konkrit, sintetik dan antroformologis monis. Kritikan selanjutnya dari Barr adalah tentang etymologi sebagai arti kata yang sudah pasti.  Kritikan ini diberikan karena secara historis arti kata bisa terjadi perubahan, tidak konstan. Kritikan ketiga yang diberikan Barr adalah kritikan terhadap Kittel Dictionary.  Menurut Barr pertama, perlu dibedakan antara konsep, lambang dan signifikansi, misalnya konsep “anak” lambangnya adalah “kata anak” dan signifikasinya adalah “anak real yang ada di dunia”.  Kedua adanya pebedaan antara “kata” “arti” “konsep” dan “signifikasi”

            Bagian selanjutnya Cotterell & Turner menyampaikan tanggapan dari beberapa orang terhadap kritikan Barr. Pertama tanggapan dari  David Hill yang dapat menerima konsep Barr bahwa arti kata bukan hanya arti secara Semantik tetapi konteks kalimat juga menentukan arti dari sebuah kata.  Tetapi ada perbedaan konsep dimana bagi Barr ada berbagai variasi hubungan antara kata, konsep dan konteks. Tanggapan kedua adalah dari editor Kittel Dictionary, dimana kesimpulannya menerima sebagian pendapat Barr dan memasukkan pendapat Barr dalam edisi berikutnya.

            Dalam bab kelima Cotterell & Turner membahas tentang The Grammar of Word: Lexical Semantics.  Dalam pendahuluannya terhadap bab ini memberi penjelasan tentang beberapa hal diantaranya: Perubahan bahasa yang seringkali memberi arti baru bagi sebuah kata, bahaya dari Etimologisasi dimana pengertian kata secara etimologi tidak dapat menjadi patokan baku karena seringkali terjadi perubahan-perubahan arti, kata-kata dan multiplikasi arti dimana satu kata tidak hanya berarti satu saja tetapi bisa berarti lebih dari satu.

            Pembahasan lainnya adalah tentang analisa terhadap arti yang berbeda dari sebuah kata, salah satunya perbedaan arti kata menurut leksikon dengan penggunaan kata-kata secara praktis.  Selanjutnya tentang klarifikasi tentang apa yang kita maksudkan melalui arti sebuah kata. Yang dimaksudkan disini memberi pengertian “arti” dari dua pendekatan berbeda yaitu pendekatan “concept Oriental” (pendekatan tradisionil) dan pendekatan “Field Oriental” (arti kata yang dihubungkan dengan kata-kata lain). Selanjutnya tentang tipe-tipe hubungan arti antara kata-kata, dimana secara umum ada dua relasi yaitu substitutional (paradigmatik) dan Collocational (syntagmatik). Pembahasan terahir dalam bab ini adalah tentang konteks dan pilihan arti (menentukan arti). Untuk kata-kata yang memiliki beberapa arti, dalam menentukan atau memilih arti yang tepat perlu diperhatikan konteksnya.  Dengan konteks memfokuskan arti dari sebuah kata.

            Pembahasan dalam bab keenam adalah tentang Kalimat dan Kelompok Kalimat. Dalam komunikasi ada aturan atau ikatan-ikatan tertentu yang dipakai, demikian juga dalam sebuah kalimat, ada aturan yang secara umum dipakai, salah satunya kalimat harus lengkap sehingga dapat dimengerti. Secara klasifikasi kalimat dapat dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu pertama, Kalimat produktif dan kalimat non produktif, kedua, kalimat sederhana dan kalimat luas. Dalam sebuah kalimat juga ada kalimat inti seperti misalnya Efeus 1:16 “aku pun tidak berhenti mengucap syukur karena kamu” kalimat inti dari ayat ini adalah “Aku mengucap syukur”. 

Pembahasan kedua dalam bab keenam adalah kelompok atau kumpulan kalimat. Dalam sebuah karangan terdiri dari beberapa bagian besar dan kecil yang dapat berdiri sendiri, yaitu kalimat. Kalimat demi kalimat membentuk sebuah paragraf, dimana biasanya dalam sebuah paragraf ada satu kalimat yang dominan atau kalimat inti. Dalam pembacaan Alkitab susunan kalimat harus dimengerti dengan baik termasuk menemukan kalimat intinya. Analisa untuk menemukan inti kalimat ini perlu dilakukan, khususnya dalam proses penerjemahan ke dalam bahasa lain. Terlebih lagi dalam eksegesis terhadp teks Alkitab, anlasia inti kalimat merupakan suatu keharusan. Cara lain dalam pengenalan inti kalimat dalam kelompok kalimat adalah melalui netode diagram.  Cotterell & Turner memberikan contoh-contoh diagram kalimat dalam usaha untuk menemukan inti dan mengartikan dengan lebih baik.

Pembahasan selanjutnya adalah hubungan-hubungan Arti antara Pasangan-pasangan Kalimat atau Proposisi. Pada intinya dalam rangkaian atau pasangan kalimat ada kalimat inti, tugas kita menemukan bagian inti kalimat tersebut. Selanjutnya adalah tentang analisa struktur Semantik, dimana melalui diagram semantik akhirnya dapat menemukan kalimat inti dari rangkaian kalimat yang ada. Bagian terkhir dalam bab ini yang merupakan implikasi dari pembahasan-pembahasan sebelumnya adalah Analisa Struktur Semantik dan Perjanjian Baru, dimana pembahsan-pembahasn seblumnya diterapkan dalam menganalisa salah satu bagian dalam Perjanjian Baru.

Dalam Bab ketujuh Cotterell & Turner membahas tentang Analisa Tulisan (discourse). Secara umum istilah discourse mengacu kepada bahasa lisan tetapi dapat juga berarti tulisan misalnya novel atau karangan yang lain. Dalam sebuah discourse secara fakta pasti ada koherensi, baik koherensi dari segi struktur maupun topiknya. Dalam hal ini Cotterell & Turner memberi contoh dan penjelasan dari karangan Paulus dalam Korintus. Dari karangan (discourse) juga ada indikasi-indikasi waktu, seperti misalnya dari Yohanes 1:19-2:1 tercatat, Pada hari pertama orang-otang Farisi mengirim . . . (Yoh. 1:19), pada hari kedua Yohanes Pembaptis melihat Yesus (Yoh. 1:29) dan seterusnya. Bagian lain sehubungan dengan analisa karangan adalah Deixis yaitu istilah yang dipakai dalam karangan untuk mengindikasikan personal dan aspek dari waktu. Secara umum ada empat Deixis yaitu Personal Deixis, Social Deixis, Temporal Deixis dan Locational Deixis. Kategori kalimat lainnya adalah perkataan langsung dan tidak langsung dalam sebuah teks.

Dalam bab kedelapan Cotterell & Turner membahas “Discourse Analysis:  The Special Case of Conversation.  Bahasa dipakai baik dalam bentuk tulisan, pembicaraan monolog seprti khotbah dan dalam percakapan.  Dalam percakapan bisa terjadi hanya dua orang yang terlibat maupun kelompok yang terlibat sehingga bahasa dan percakapan perlu dikenal oleh sekelompok orang dalm komunitas percakapan tersebut. Karena percakapan melibatkan kelompok maka perlu diperhatikan tentang prsuposisi kelompok. Karena alasan ini maka ada beberapa pembicara yang memberikan asumsi-asumsi tertentu terhadap audiennya. Prasuposisi kelompok ini merupakan konsep yang sudah familier dalam kelompok tersebut tentang suatu subjek, seperti misalnya anekdot, theologi dan musik. 

Salah satu contoh dalam Alkitab adalah ketika Tuhan Yesus berbicara dalam Matius 19:23: “Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sukar sekali bagi seorang kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” Perkataan Tuhan Yesus ini membuat para pendengar heran karena perbedaan prasuposisi, dimana dalam prosuposisi mereka orang kaya akan mendapat pahala sementara yang dikatakan Tuhan Yesus berbeda. Tuhan Yesus mengetahui prsuposisi mereka tetapi Tuhan Yesus mengajarkan dengan prasuposisi yang berbeda.

Selanjutnya Cotterell & Turner memberikan lima prisip yang harus diperhatikan dalam percakapan sebagai berikut:

Pengetahuan dari pendengar, Ini termasuk pengertian terhadap prasuposisi kelompok dan pengetahuan pendengar. Contohnya ketika Tuhan Yesus berbicara dengan perempuan Samaria Tuhan Yesus mengetahui pengetahuan dari lawan bicaranya, yaitu perempuan Samaria.

Prinsip Co-operasi. Adanya pengertian antara pembicara dan pendengar. Prinsip ini sangat penting dalam percakapan karena mempengaruhi jalan atau tidaknya dengan baik sebuah percakapan.

Prinsip realitas. Dalam percakapan seringkali tidak dapat dihindarkan penggunaan kata-kata atau istilah asing yang mungkin dapat ditafsirkan dengan pengertian berbeda. Seperti pernyataan Tuhan Yesus dalam Yohanes 6:52 “Orang-orang Yahudi bertengkar antara sesama mereka dan berkata: Bagaimana Ia ini dapat memberikan daging-Nya kepada kita untuk dimakan.”

Prinsip konteks-kelayakan.  Dalam berkomunikasi menggunakan bahasa, ada berbagai dialek, kita perlu memilih yang tepat. Demikian juga dalam bahasa tulis ada perbedaan-perbedaan gaya tulisan tertentu.

Keterbatasan bahasa partisipan. Dalam hal ini perlu memengenal pendengar apakah pendengar mempunyai pengetahuan dan kemampuan bahasa yang memadai untuk terjadinya sebuah percakapan. Salah satu contoh adalah pengenalan Paulus terhadap pendengar atau pembaca suratnya dalam 1 Korintus 3:1-2 “Dan aku, saudara-saudara, pada waktu itu tidak dapat berbicara dengan kamu seperti dengan manusia rohani, tetapi hanya dengan manusia duniawi, yang belum dewasa dalam Kristus. Susulah yang kuberikan kepadamu, bukanlah makanan keras, sebab kamu belum dapat menerimanya. Dan sekarang pun kamu belum dapat menerimanya.”

 

Pembahasan selanjutnya dalam bab ini adalah “Adjacency Pairs” yang terdiri dari  sebagai berikut: Pertama, Pembukaan (initiation) yang pada umumnya berisi salam. Kedua, Topikalisasi, dimana pembicaraan masuk ke dalam topik atau urusan yang menjadi bahan pembicaraan. Ketiga, Pertanyaan dan Jawaban. Ini biasanya muncul setelah topik utama disampaikan. Dalam Lukas 7:36-50 terjadi pertanyaan dan jawaban ketika Tuhan Yesus berbicara diantara pendengarnya. Keempat, Repair-Resolution Pair. Ini terjadi ketika pembicara mempersiapkan untuk masuk ke topik berikutnya dengan asumsi pendengar juga melakukan hal sama. Pada bagian terakhir Cotterell & Turner menerapkan semua teori di atas dengan meninjau percakapan yang terjadi antara Tuhan Yesus dengan Nikodemus.  Dalam percakapan ini dimunculkan semua unsur pembahasan dalam bagian sebelumnya.

Dalam bab terakhirnya Cotterell & Turner membahas tentang Non-Literal Languge. Pembahasan dimulai dengan Arti Subeyektif dalam Percakapan atau Tulisan. Dalam bab-bab sebelumnya telah dibahas tentang arti yang dapat bersifat multi atau banyak, sehingga arti yang dimaksud oleh pembicara atau penulis ada unsur subyektifnya, tergantung pada apa yang dimaksudkan oleh pembicara atau penulis tersebut. Pembahasan kedua adalah tentang Bahasa Afektif. Dalam berbahasa untuk komunikasi secara fakta ada unsur ekspresi dan emosi. Inilah unsur bahasa non literal, yang dapat dijumpai dalam percakapan maupun dalam tulisan, khususnya tulisan-tulisan dalam bentuk puisi seperti dalam Yesaya 5:7:  “Sebab kebun anggur TUHAN semesta alam ialah kaum Israel, dan orang Yehuda, ialah tanam-tanaman kegemaran-Nya; dinanti-Nya keadilan, tetapi hanya ada kelaliman, dinanti-Nya kebenaran tetapi hanya ada keonaran.”  Dalam bagian ini Cotterell & Turner juga memberi contoh-contoh unsur bahasa afektif dalam Alkitab khususnya tulisan-tulisan Paulus.

Pembahasan selanjutnya tentang Metafora, dimana dalam berbahasa seringkali untuk menjelaskan sesuatu yang belum dikenal dengan baik menggunakan gambaran-gambaran dari hal-hal yang sudah dikenal atau metafora. Penggunaan metafora adalah tindakan yang kreatif, dan tentunya dalam menafsirkan metafora ini harus sesuai dengan maksud dari pengguna metafora. Tentunya hal ini terkait dengan pembahasan sebelumnya tentang prasuposisi kelompok, dimana metofara yang digunakan pada umumnya sudah dikenal oleh kelompok tersebut. Paulus dalam 1 Korintus 12 menggunakan metafor tubuh untuk menggambarkan kesatuan jemaat Tuhan. Kesatuan tubuh adalah kesatuan yang mengikat dan saling membutuhkan, demikian juga seharusnya yang terjadi dengan umat Tuhan dalam hubungannya satu dengan yang lain.

Selain metafora hal yang hampi sama adalah Perumpamaan dan Alegori. Perumpamaan adalah bahasa figuratif untuk menjelaskan konsep tertentu kepada pendengar atu pembaca. Tuhan Yesus dalam pengajaran kepada pendengarnya sering menggunakan perumpamaan-perumpamaan. Sedangkan Alegori juga ada kesamaan tetapi menggunakan simbol-simbol tertentu. Perbedaan antara perumpaan dan alegori adalah, kalau perumpaan tujannya untuk kejelasan sedangkan alegori untuk mystify.

Pada bagian terakhir pembahasannya Cotterell & Turner menerapkan apa yang telah disampaikan dengan memberikan analisa atau tafsiran terhadap teks 1 Korintus 11:2-16. Berdasarkan analisa kalimat-kalimat intinya Cotterell & Turner membagi bagian ini menjadi lima seksi, Seksi pertama ayat 3 merupakan dasar padigma. Seksi kedua,  ayat 4-6 tentang pertanyaan mengenai kepala dan rambut. Seksi ketiga ayat 7-12 seruan tentang peristiwa penciptaan yang dalam hal ini relasi antara laki-laki dan perempuan. Seksi keempat, ayat 13-15 tentang seruan untuk menjadi alami. Seksi kelima ayat 16 merupakan kesimpualan yang merupakan tradisi gereja.

Evaluasi secara Keseluruhan

            Pertama dari segi bahasa, karangan Cotterell & Turner memakai bahasa yang terkait dengan linguistik sehingga tidak mudah untuk dipahami, setidaknya dibutuhkan orang yang berkemampuan sastra Inggris untuk dapat memahami dengan lebih sempurna. Istilah-istilah yang dipakai sering menggunakan istilah yang terkait dengan ilmu bahasa (linguistik) sehingga menghasilkan karya yang berbahasa tinggi, ada keindahan dari segi bahasa yang dipakainya.

            Dari segi pembahasan Cotterell & Turner memberi judul bukunya “Linguistik & Biblical Interpretation”, tetapi pembahasannya lebih menitikberatkan pada unsur linguistiknya sehingga unsur biblical interpretation kurang. Cotterell & Turner membahas panjang lebar tentang lingustik dan berusaha menerapkan dalam penafsiran Alkitab.  Ilmu bahasa (linguistik) yang ada terkesan “dipaksakan” dalam menafsirkan Alkitab, karena meskipun unsur ilmu bahasa ada dalam Alkitab, penekanan Alkitab tidak terletak pada sudut linguistiknya. Linguistik hanya salah satu cara dalam pendekatan terhadap Alkitab.

            Dalam bukunya ini Cotterell & Turner juga kurang memisahkan dengan jelas antara bahasa lisan dengan bahasa tulisan, sehingga unsur-unsur yang sepertinya hanya mungkin dalam bahsa komunikasi lisan diterapkan secara langsung untuk bahasa tulis, Memang ada persamaan diantara keduanya (bahasa lisan dan bahasa tulis) tetapi ada hal-hal yang tidak mungkin dipersatukan diantara bahasa lisan dengan bahasa tulisan, seperti misalnya unsur tanya jawab, meskipun dalam Alkitab juga memuat unsur tanya jawab antara Tuhan yesus dengan pendengarnya.

            Secara umum buku ini perlu diperhatikan ketika seseorang mau mendekati Alkitab. Dalam penafsiran unsur-unsur linguistik perlu diperhatikan karena ada perbedaan bahasa dan waktu antara Alkitab dengan dunia masa kini dimana kita hidup.

 

Penutup

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Eta Linnemaan. Historical Criticism of the Bible: Methodology or Ideology? Grand Rapids: Baker Book House, 1993.

 

 

EVALUASI Buku ETA LINNEMANN

“Historical Criticism of the Bible”

 

            Buku oleh Eta Linnemann ini merupakan suatu buku yang menarik. Akan ada banyak orang yang akan membaca buku ini dengan harapan untuk dipuaskan secara akali mengenai pemahaman mereka tentang bagaimana melakukan kritik sejarah terhadap Alkitab. Akan tetapi Eta Linnemann justru menyerang metode kritik sejarah yang disenangi oleh Bultmann, guru besarnya selama ia belajar teologi. Dapat dikatakan bahwa buku ini adalah karya tulis Eta Linemann untuk menebus “dosa” yang selama ini ia lakukan dengan mengajarkan dan melakukan kritik sejarah terhadap Alkitab. Eta sendiri sebelum menuliskan buku ini telah mengalami perubahan hidup atau dapat dikatakan telah menemukan keselamatan sejati di dalam Yesus Kristus dan ingin terus mengalami kuasa kasihNya yang begitu besar dan ajaib. Ia mengaku bahwa selama ini dengan melakukan kritik sejarah terhadap Alkitab, tidak didapatkannya jawaban apa-apa yang berarti.

 

Bagian I: Kekristenan dan Universitas Modern

Universitas, akar perkembangan intelek mulai dari abad ke-13an, memiliki asal usul kekafiran yang khas. Dimulai dari studi tentang hukum-hukum sipil sebagai subyek utamanya, universitas yang dimulai di Bologna Italia mengupas filsafat yang dikemukakan oleh Aristoteles mengenai hal ini. Dengan berkembangnya kepopuleran universitas, bermunculan juga perkembagnan-perkembangan pemikiran yang tidak memiliki latar belakan kekristenan sama sekali.

Scholasticism yang walaupun memiliki pengaruh Kristen, adalah suatu gerakan penggabungan nilai-nilai pemikiran Kristen dengan metode dan alur berfikir falsafati yang telah dikembangkan dari dulu oleh filsafat Yunani – seperti pemikiran Aristoteles. Sama halnya dengan humanisme modern, penjunjungan yang terlalu tinggi terhadap kemampuan berfikir manusia telah menimbulkan suatu standar nilai moral baru, yaitu manusia. Manusia menjadi terlalu penting dan adalah takaran dari segala sesuatu.

Masa pencerahan memberikan percikan api kepada kegiatan akademis dan skolastis pada masyarakat modern pada jaman itu. Sebtulnya tidak ada pemikiran baru yang dikemukakan oleh para pemikir-pemikir jaman ini. Francis Bacon telah memberikan gambaran yang tepat ketika ia mengatakan bahwa “semua kebenaran dapat ditemukan dengan berfikir secara induktif.” Dengan demikian pemikiran manusia kembali diletakkan pada derajat yang lebih tinggi dari pada Firman Tuhan sekalipun. Cara berfikir Bacon, Hobbes yang memisahkan antara iman dan pemikiran, Descartes, Spinoza, dan Kant telah meletakkan akar-akar berfikir sekuler kepada metode kritik historis, bahkan tanpa disadari, telah memulainya.

Ide-ide yang timbul dari humanisme telah mendapatkan kematangan di dalam filsafat Idealisme German. Perkembangan system pendidikan telah dibentuk sedemikian rupa terhadap pantulan rupa manusia oleh pemikiran-pemikirannya. Pemikiran idealisme ini telah mengambil bentuk yang tertinggi, menurut mereka, dalam kesusasteraan. Hal ini menjadi unsur penting dalam pewujudan pemikiran manusia.

Perkembangan jaman terus terjadi dan peradaban manusia telah memasuki suatu jaman baru dengan perkembangan teknologi yang begitu maju. Jaman teknologi ini juga telah menaruh kedudukan manusia dalam posisi yang tertinggi dibandingkan jaman-jaman sebelumnya. Penitik-beratan kepada metode ilmiah sebagai standart kesahian ilmu memberikan pemujaan kepada daya pikir manusia. Firman Tuhan telah menjadi objek pemikiran dan bukan sesuatu yang memiliki nilai lebih di mata ilmu pengetahuan. Standart kehidupan manusia dan standart berfikir manusia semua telah ditentukan oleh manusia sendiri karena perkembangan pemikiran manusia yang begitu besar.

 

Pertanyaan-pertanyaan yang Berhubungan dengan Universitas

Karena perkembangan peradaban manusia selama beberapa abad terakhir telah meninggikan dirinya sendiri, dengan dasar-dasar ateistik sebagai landasan berpikirnya, sulit untuk keluar dari kerangka tersebut dan menyadari bahwa semua itu adalah kesalahan. Karena kita telah hidup di dalam aras berfikir yang sedemikian rupa, kita sendiri terkadang “buta” terhadap kesalahan dalam kecenderungan berfikir yang terjadi di dalam peradaban modern ini. Kekuatan berfikir manusia telah melampaui segala sesuatu dan telah membentuk peradaban yang terstruktur dengan keteraturan berfikir dan ide (pada masyarakat Barat).

Permasalahan besar timbul karena orang-orang Kristen tidak menyadari pergeseran pola berfikir kearah peninggalan nilai-nilai Kristiani Alkitabiah. Pemikir seperti Pico, Hobbes, Kant, Descartes, Goethe, Hegel dan pemikir lainnya mengemukakan buah pemikirannya dalam kancah dan lingkup kekristenan. Dengan demikian pengaruh-pengaruh yang ditimbulkannya merasuk pemikiran umat Kristen tanpa disadarinya. Umat Kristen dibiasakan dan dibentuk oleh pemikiran-pemikiran radikal yang dianggap hebat ini tanpa disadarinya.

Walaupun demikian, Allah tidak berdiam diri. Selalu ada sekelompok pemikir yang tidak mau menyerah kepada disilusi yang terjadi terhadap ketidak perluan dunia modern terhadap Allah. Allah telah memilih orang-orang pilihanNya untuk memelihara ajaran-ajaran-Nya. Walaupun mereka tidak dianggap sehebat pemikir-pemikir di atas, iman Kristen tetap dan akan terus terjaga kemurniannya atas ikut campur Allah dalam kuasa keselamatannya di dalam Yesus Kristus.

Walaupun perkembagnan jaman terus terjadi ke arah yang semakin sekuler, kita sebagai orang-orang Kristen ditetapkan untuk berada di dalam Universitas yang sekuler untuk tujuan tertentu. Alkitab sendiri menyarankan bahwa kita tetap hidup di dalam dunia untuk mempengaruhinya. Setiap orang Kristen sejati tidak dapat memisahkan dirinya dari dunia ini, karena mereka memiliki tugas khusus untuk menjadi pengaruh yang positif terhadap kesekuleran yang diakibatkan dan ditimbulkan dalam Universitas.

 

Israel Kuno dalam Dunia Barat Modern

Dalam sejarah Israel, penyembahan kepada ilah yang salah sudah terjadi juga. Dimulai dari dosa Salomo dengan mendirikan kuil-kuil bagi istri-istrinya untuk melakukan penyembahan, akibat yang ditimbulkan adalah kemurnian penyembahan terhadap Allah telah luntur. Raja yang menjadi setelah itupun mendirikan pemujaan ilah yang salah dalam bentuk patung anak sapi emas. Raja Yerobeam telah mendirikan system pemujaan ilah yang salah yang sesuai dengan keinginannya sendiri – akibat dari pengaruh luar. Bahkan ia telah menunjuk imam-iman yang bukan dari suku Lewi demi kepentingan politik.

Kesamaan pergeseran pemikiran ini juga telah terjadi dalam dunia barat setelah jaman pertengahan. Ciri-ciri pergeseran ini dapat dilihat sebagai berikut:

1.     Allah dikesampingkan, bahkan ditiadakan.

2.     Kecenderungan manusia untuk mengikuti kedagingannya

3.     Masing-masing individu dapat membuat apa saja yang diinginkannya

4.     Kecenderungan tersebut diarahkan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan

5.     Kecenderungan keduniawian ini menjadi formal dan normal, norma-norma ini telah mengatur kehidupan manusia

6.     Allah dilihat dari sudut pandang manusia

7.     Pandangan Allah terhadap institusionalisasi ini adalah hal tersebut adalah dosa.

 

Pendidikan Kristen pada Tingkatan Universitas

Menanggapi semua perkembangan di atas, pemikiran terhadap pendidikan tingkat Universitas harus dilakukan untuk melihat bagiamana pengaruh Kristen dapat dirasakan pada tingkat pendidikan ini. Akan ada banyak kritikan dan keberatan dari universitas yang telah berdiri sekian lama. Untuk universitas-universitas tersebut, dirasakan akan terjadi banyak pertentangan jika harus membongkar ulang nilai-nilai sekulernya dan memasuki nilai-nilai Kristen. Akan tetapi hal tersebut perlu dimulai seberapapun kesanggupan dari setiap universitas.

Pendidikan Kristen harus tampak dalam setiap universitas untuk memberikan warna dan dasar yang benar bagi mahasiswanya. Nilai kekristenan yang telah luntur dari masyarakat harus dekembalikan, atau minimal diusahakan untuk dikembalikan, dengan cara mempengaruhi pemikir-pemikir masa depan. Menempatkan pengajar dan orang-orang Kristen yang berpengaruh tidak akan memperbaiki hal ini, akan tetapi, minimal, akan memulai proses pemberian nilai Kristiani pada universitas-universitas kita.

Menanggapi hal ini kita harus berusaha untuk membuat pendidikan bercirikan Kristen. Kita harus mengarahkan agar pendidikan yang kita lakukan berguna bagi Tubuh Kristus. Dalam hal ini, kita harus meletakkan Firman Tuhan sebagai pusat pendidikan kita. Tidak perlu teologi, apa lagi filsafat, dijadikan sebagai dasar pendidikan karena mereka memiliki unsur pemikiran manusiawi yang terlalu kuat.

Jadikan kritisisme sebagai dasar dari pendidikan kita. Kritisisme yang dimaksuda adalah agar kita selalu mengkritisi segala sesuatu menggunakan dasari Alkitab sebagai pijakan kita. Dengan kemurahan Allah kita dapat bergerak ke arah itu. Yang saya sarankan adalah kita menyusun topic-topik yang perlu kita kritisi dalam pelaksanaan pendidikan kita. Topik tersebut dapat disusun dalam kawasan-kawasan seperti berikut:

1.     Kritik terhadap filsafat

2.     Kritik terhadap tren pemikiran kontemporer

3.     Kritik terhadap seni

4.     Kritik terhadap ilmu pengetahuan

5.     Apologetika

6.     Kritik terhadap dosa yang sering tampak dalam kehidupan sehari-hari

7.     Kritik terhadap ajaran-ajaran sesat

 

Untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut, perlu dipertimbangkan rancangan pendidikan yang mungkin dapat dilakukan. Pendidikan yang dilakukan harus disusun untuk melibatkan para mahasiswa untuk melakukan pelayanan. Gabungkan teori dan praktek, yaitu belajar dan pelayanan. Hal yang perlu diukur bukan hanya kinerja akademis.

Langkah-langkah praktis yang dapat diambil, dapat mengukuti perkembangan tahapan seperti yang saya usulkan sebagai berikut:

1.     Tahap pertama: berikan pendidikan dasar bagi semua mahasiswa di semua jurusan

2.     Tahap kedua: pendidikan teologia untuk semua

3.     Tahap ketiga: pelatihan para pengajar untuk menjadi pengaruh yang baik

4.     Tahap keempat: peluasan program (seperti ilmu alam, kedokteran dan lainnya)

 

Alkitab dan Manusia Modern

Alkitab dengan sendirinya tidak berubah dari masa ke masa. Perubahan terjadi kepada manusia dan peradabannya. Dengan demikian apakah kedudukan Alkitab berubah? Perubahan-perubahan ini terjadi karena perkembangan pemikiran-pemikiran jaman yang mempengaruhi bagaimana seseorang itu berpikir.

Bagi manusia modern, membaca Alkitab sekalipun diperlukan cara yang modern juga yang mengikut arus pemikiran jaman. Hal ini merupakan perkembangan jaman yang tak terelakkan. Seperti pandangan manusia modern bahwa mujizat itu merupakan suatu mitos belaka walaupun terdapat di dalam Alkitab – yang dianggapnya sebagai suatu hal yang kuno dan tidak relevan pada hari ini. Walaupun demikian, manusia modern di dunia modern juga tetap melakukan kebiasaan-kebiasaan yang tergolongkan hal-hal mistis. Mereka justru senang akan ramalan dan horoskop, dan hal-hal serupa.

Apakah Alkitab masih relevan bagi manusia modern seperti itu? Alkitab telah membicarakan mengenai kehidupan yang dijalani oleh manusia modern ini. Masyarakat cepat bosan dideskripsikan oleh Pengkhotbah sebagai “usaha menjaring angin.” Generasi-genarasi, pada esensinya, tidak berubah, mereka hanya hidup demi kesenangan belaka. Hal ini pun dikemukakan oleh Alkitab ketika Yesus berkata: "Sebab sebagaimana halnya pada zaman Nuh, demikian pula halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia. Sebab sebagaimana mereka pada zaman sebelum air bah itu makan dan minum, kawin dan mengawinkan, sampai kepada hari Nuh masuk ke dalam bahtera, dan mereka tidak tahu akan sesuatu, sebelum air bah itu datang dan melenyapkan mereka semua, demikian pulalah halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia” (Mat. 24:37-39).

Gambaran masyarakat modern ini mirip sekali dengan gambaran Alkitab mengenai para antikristus. Inilah tanda-tanda akhir jaman. Manusia telah mengkondisikan dirinya untuk hidup seperti dan sebagai antikristus tanpa disadarinya. Kebiasaan-kebiasaan manusia modern memiliki kesamaan yang luar biasa dari deskripsi Alkitab, akan tetapi manusia modern tetap saja tidak menghiraukan tanda-tanda tersebut dan bergerak menuju akhir jaman untuk mendapatkan penghakiman dan penderitaan seperti yang Alkitab sendiri telah peringatkan.

 

Bagian II: Studi Teologi Kritik Sejarah

Dasar-dasar dari kritik sejarah dapat diketahu dengan memahami beberapa prinsip berikut:

Prinsip yang pertama adalah anggapan bahwa Teologi adalah sebuah ilmu pengetahuan (science). Dalam hal ini ada beberapa asumsi sebagai berikut: (1) Alkitab diteliti seolah Allah itu tidak ada. (2) Relativias Alkitab – dengan arti bahwa kedudukan Alkitab itu sama seperti kedudkan kitab-kitab lainnya dari agama-agama lain. Alkitab dianggap sebagai buku biasa dan bukan Firman Tuhan. Inspirasi Allah bagi para penulis juga dianggap tidak berlaku. Oleh karena itu pengukuran atau kanonisasi harus dilakukan terhadap kanonisasi Alkitab. (3) Alkitab diangap sebagai teks biasa. Dengan demikian keberadannya dapat dianalisa sesuai denga metode yang baku hasil dari pemikiran sendiri. (4) Penalaran kritis dianggap sebagai kebenaran yang paling tinggi. Presuposisi metode historis kritis ini menganggap bahwa metodenya menolong manusia untuk mengerti Alkitab karena peninjauannya yang objektif. (5) Kebenaran itu subjektif, sesuai dengan kebutuhan teolog.

 

Prinsip yang kedua berkaitan dengan “Praktek Teologi Kritik Sejarah” sebagai berikut: (1) Critical Historiography. Konsep ini menggunakan temuan-temuan kuno dan bukti-bukti bahasa sebagai sumber informasi mengenai jaman Alkitab. Penentuan masa penemuan-penemuan kuno ini akan berperan penting dalam pembentukan hipotesis. (2) Asumsi dan fakta. Dalam metode ini, asumsi yang sudah “dibuktikan” akan dianggap sebagai fakta. Dan sebagai peraturan, fakta tersebut harus diterima sebagai benar dan tidak dipertanyakan lagi bagaimana proses yang sudah terjadi sampai dengan kesimpulan tersebut. Hanya hal-hal yang belum terbukti perlu dipikirkan dan diselidiki. (3) Sosialisasi dan konformitas. Bagi mereka yang teribat dalam kelompok pengguna metode ini, harus menerima apa yang dikemukakan oleh pengajarnya sebagai bagian dari kewajiban dirinya terhadap Allah. (4) Kata-kata dan arti. Bagi praktisi kritik sejarah, metode yang digunakan adalah pseudomorphosis, yaitu pengosongan arti dari suatu konsep, dan membangunnya kembali dengan kata-kata lain untuk mengemukakan prinsip yang sama.

Konsekuensi yang harus diwaspadai dari seseorang yang akan menggunakan metode kritik sejarah ini adalah suatu hal yang perlu dipertimbangkan. Mereka harus sadar bahwa untuk melayani Tuhan sesuai dengan panggilannya, mereka tidak perlu mengetahui bagaimana melakukan metode kritik sejarah ini. Penguasaan akan metode ini tidak akan membantu, bahkan dapat merubah panggilan Tuhan tersebut. Metode ini bukan diperuntukkan bagi semua orang Kristen yang ingin menjadi Kristen.

 

Iman dari Teologi dan Teologi dari Iman

Studi ilmiah, perlu diketahui, adalah sebuah proses dimana pikiran kita didisiplin. Langkah pertama, kegiatan berfikir dipisahkan dari pengaruh pribadi si pemikir. Kedua, pengetahuan kita diasah agar siap dipakai. Keiga, pelajar belajar untuk mendapatkan berbagai macam data dan konsep dalam kerangka berfikir yang sudah diberikan oleh disiplin ilmu itu sendiri. Kemudian praktisi metode ini diberi pelatihan untuk mengemukakan pandangannya terlepas dari pemikiran-pemikiran yang ada. Praktisi metode kritik sejarah dilatih dan dibiasakan untuk berfikir seperti ini setiap harinya.

Mereka yang akan melakukan studi semacam ini, dihruskan untuk melakukan pendekatan studi teologi tanpa presuposisi apapun juga, agar mereka dapat melihat kebenaran tanpa ada halangan. Semua pengalaman iman yang telah dialami dan semua pelajaran iman harus dikesampingkan untuk mencapai tujuan tersebut. Walaupun demikian, tetap saja seseorang tidak bisa melakuakan pendekatan dalam belajar Alkitab tanpa presuposisi apapun juga, kerena mereka mempelajarinya dengan presuposisi lain yang sudah melekat kepad bagian yang mereka pelajari itu.

Seharusnya, pendekatan yang dilakukan adalah teologi tentang iman, yaitu bahwa iman orang-orang percaya harus diletakkan kepada dasar Alkitab sebagai Firman Tuhan. Allah dapat menggunakan siapa saja untuk menjadi penyampai pesan-Nya. Bukan hanya mereka yang dapat menemukan “kebenaran” melalui metode kritik sejarah saja. Iman terhadap kedaulatan Allah diperlukan dalam berteologi, dan bukan sebaliknya.

 

Kecenderungan Pemikiran Teologi Kritik Sejarah

Mereka yang menggunakan metode kritik sejarah, diarahkan untuk percaya bahwa seseorang harus percaya “kebenaran” dalam Alkitab KARENA itu adalah hasil dari penelitian ilmiah. Fakta hasil dari penemuan tadi, digunakan untuk membangun penemuan lain untuk menyimpilkan fakta lainnya. Dengan demikian praktisi kritik sejarah akan terjebak dalam jaringan kebohongan.

Segala susah payah yang harus dilakukan seseorang dalam melakukan metode ini adalah untuk memperoleh pengakuan bahwa pemikiran yang dilakukan bebas dari presuposisi lainnya. Dalam hal ini seseorang harus mampu membaca Alkitab tanpa dogma dan pengaruh apapun. Jika dia terbebas dari dogma, dia telah membaca Alkitab secara kritik sejarah.

Seperti yang sudah dikemukakan pada bagian sebelumnya, manusia memiliki peran yang terlalu besar dalam menentukan kebenaran Alkitab. Metode kritik sejarah ini menempa “aku” sebagai penentu kebenaran yang terdapat dalam Alkitab. Diri manusia adalah ukuran dari segala kebenaran.

 

Teologi Kritik Sejarah dan Teologi Injili

Ilmu pengetahuan memiliki struktur yang kaku. Ilmu pengetahuan adalah sistem dari realisasi diri dan konfirmasi yang terus berputar. Ilmu pengetahuan membanggakan diri dengan system penelitian dan penemuannya. Tidak berbeda dengan hal itu, kritik sejarah juga menempatkan ilmu pengetahuan dan metodologinya pada posisi yang tinggi, karna dianggap bebas dari dogma tertentu.

Bebeda halnya dengan teologi injili. Teologi injili tidak dapat dikatakan sebagai ilmu pasti dalam menafsirkan Alkitab. Jika dalam berteologi, metode ilmiah digunakan, maka ciri khas injilinya akan hilang. Beda halnya dengan penggunaan ilmu pengetahuan sebagai sarana penjelasan. Jika ilmu pengetahuan digunakan untuk menjelaskan kebenaran Alkitab. Hal itu dapat menolong penguatan sikap teologis. Akan tetapi tidak boleh sebaliknya!

 

Firman Allah

Sikap yang benar perlu dimiliki oleh kita sebagai orang percaya. Mengenai Alkitab, Firman Tuhan, kita perlu mengetahui bahwa ada beberapa hal yang perlu kita yakini. Kita perlu tahu bahwa Alkitab adalah perkataan Allah yang diinspirasikan melalui inspirasi verbal maupun pribadi. Alkitab juga terbebas dari kesalahan karena kita tahu bahwa Allah sendiri yang ikut campur dalam penulisannya. Kita perlu meyakini bahwa Alkitab adalah Firman Allah yang memiliki pesan yang seragam dan adalah perkataan Allah sendiri dalam keseluruhanya.

 Firman Allah juga selau konsisten, tidak menyangkal satu bagian dengan bagian lainnya. Firman Allah diwahyukan kepada umatnya melalui proses yang pasti dan penuh dengan maksud dan tujuan dari Allah. Firman Allah sudah cukup, sudah lengkap dan dapat mencukupi semua orang. Firman Allah efektif jika kita menggunakannya sebagaimana mustinya digunakan, bukan sebagaimana mustinya kita. Dan, Firman Allah adalah cerminan dari Allah, kita dapat melihat sifat-sifat dan kebiasaan-kebiasaan Allah dalam situasi-situasi tertentu.

 

 

Evaluasi secara Keseluruhan

Secara umum memang Eta Linnemann telah mengungkapkan isi pemikirannya dan isi hatinya terhadap metode kritik sejarah. Kegiatan yang pernah ia dalaminya ini ternyata tidak membawa kepuasannya, baik dalam pemikirannya apalagi dalam kepuasan rohaninya. Dengan demikian, ia telah mengungkapkan dengan banyak pertimbangan kelemahan dan “kesesatan” dari metode kritik sejarah ini.

Pendiriannya sangat jelas, menentang dan menantang metode ini. Eta juga telah memberikan masukkannya untuk digunakan sebagai alternative dari berbagai kelemahan dari metode kritik sejarah ini. Buku ini terkesan sangat tulus dan pribadi dikemukakan oleh Eta sebagai upaya “penebusan” kesalahannya (bahkan “dosa”) yang selama ini telah dia geluti. Saya rasa tujuan penulisannya telah tercapai, untuk menolong membukakan mata dari banyak orang mengenai kritik sejarah yang dapat menimbulkan “kesesatan” itu.

 

Penutup

 

 

 


 

 

 

 

Gerald Bray, Biblical Interpretation: Past  & Present. Downers Grove: InterVarsity Press, 1996.

 

 

EVALUASI BUKU Gerald Bray

 “Biblical Interpretation: Past  & Present”

 

Pendahuluan

Dua karakter agama adalah: monotheistic (satu Allah yang Pencipta bumi dan isinya) dan scriptural dimana Allah yang menyatakan dirinya dan tujuannya dalam tulisannya yang dapat dibaca, dipelajari serta diaplikasi dalam diri orang-orang percaya. Di sini orang percaya menggunakan Alkitab sebagai tuntunan dirinya mengenal tujuan Allah. Jadi inilah doktrin Allah menekan hubungan pribadi orang-orang percaya dengan Allah.

            Sifat alamiah Alkitab sebagai berikut: (1) Alkitab adalah kumpulan dokumen-dokumen tulisan mengenai manusia pada waktu  berbeda yang mengambarkan pengalamannya bersama Allah. (2) Alkitab adalah  suatu  record manusia meresponi apa yang dikatakan Allah. (3) Alkitab adalah Firman Allah yang diberikan kepada manusia.

            Kanon PL berisi buku-buku yang isinya dipersiapkan untuk merelasikan waktu Yesus yang ada datang. Kanon PB berisi cerita Yesus yang sudah dipersiapkan dalam buku-buku dalam PL hingga Yesus mati di kayu salib, dan kemudian terbentuknya gereja yang merupakan pelestarian pekerjaan Yesus.

 

Sebelum Kritik Sejarah

Sebelum abad  ke-19 ada usaha mencoba melakukan pendekatan pengetahuan sosial (kemasyarakatan) dan budaya sebagai sarana untuk mengerti tentang teks Alkitab. Bahkan studi pendekatan Ibrani , khususnya akar tradisi Ibrani secara umum mencoba memahami gereja, dan juga studi pendekatan Yunani untuk mengenal tentang kekristenan. Di sini bukan saja budaya yang dijadikan pendekatan untuk memahami teks Alkitab,  tetapi juga bahasa untuk studi kekristenan. 

           

Dimulai dengan Mentafsir Biblika

Tafsir biblika dimulai dari periode perjanjian. Tulisan-tulisan kitab di PL menjadi pembicaraan tafsir bersamaan pembahasan kanon PL.  Kitab Ulangan dicoba didekati dengan tradisi tetapi tidak mengurangi kewibawaan kitab tersebut (400 BC).

Farisi: bekerja dalam group Yahudi untuk melawan Yesus. Jadi pekerjaan biblika mereka tujuannya menjatuhkan  Yesus. Pendekatan mereka pendekatan tradisi (Mishnah, Tosephta, Gemaras, Midrashim dan Tamudim)

Sadduki (lebih daripada arititeles dan Farisi): mereka juga melakukan pendekatan tradisi dengan menolak konsep kebangkitan Yesus (Mrk. 12: 18-23).

The essenes and Qumran: group yang dihidupkan oleh masyarakat Yahudi, yang menekan pada pembahasan peristiwa-peristwa yang terjadi.

Samarian: group yang Yudaisme, dimana mereka menggunakan kuil-kuil Yudaisme sebagai tempat pembahasan  agama Israel.

Yahudi diaspora:  kegagalan Yerusalem (586 BC) di mana bangsa Yahudi tersebar di seluruh dunia, termasuk sekitar Palestina. Mereka berkumpul membahas Yahudi masa kejayaan.

Josephus: seorang anti Yesus yang menyebarkan pengajaran pengetahuan tingkah laku orang-orang Yahudi dalam tradisi PL  pada waktu PB.

 

Isu:  dibutuhkan menguraikan bahwa teks sebagai hukum yang tertinggi dalam masyarakat Yahudi, pemahaman tentang kehidupan (tradisi) Yudasime,  tempat tradisi yang berkaitan dengan Alkitab, dan dibutuhkan jawaban apakah perjanjian PL (Allah dengan Israel) dapat digenapi pada masa akan datang.

            Metodologi: Scribal (mainly Pharisaic), Qumranic, Samaritan, Jesus, dan Christian (early church).

 

Penafsiran  ”Patristic”

Periode bapa-bapa gereja yang mengembangkan dasar doktrin kekristenan (AD 100- Council of Chalcedon, 451). Masa ini dimulai pekerjaan yang sifatnya eksegese yang dilakukan oleh Pope Gregory (604) yang pendekatan budaya dan teologi, menekankan tentang Trinitas dan pribadi  Kristus. Ada dua tradisi yang ditekankan: Yunani dan  tradisi Western  (Latin).

 

Para Penafsir. Sebelum AD 200: Marsion, Gnostics, Melito of Sardis, Irenaeus, Tertullian, 200-325:  Hippolytus; Philo Judaeus of Alexandria, Clement of Alexandria, Origen, Dionysius of Alexandria. 325-451: Arius, Athanasius of Alexandria, Didymus the Blind, Cyril of Alexandria,  Evagrius Ponticus, Gregory of Nyssa. Eusebius of Caesarea, Diodore of Tarsus, Theo of Mopsuestia, John Chrysostom, Theodoret of Cyrrhus, Basil of Caesarea, Ambrosiaster, Tyconius, Jerome, Pelagius, Auggustine of Hippo. 451-604:  Gregory of Agrigentum, Oecumenius, Andrew of Caesarea, Hadrianus, Procopius of Gaza.

            Isu: dibutuhkan perbedaan orang Kristen dengan Yudaisme, dibutuhkan perbedaan orang-orang Kristen yang menyembah berhala dengan orang-orang yang menganut filsafat Hellenistic, dibutuhkan pemahaman Alahnya orang Kristen dengan kealamiaan Kristus, dibutuhkan demontrasi kepada mereka bahan bagaimana biblika dapat diaplikasikan ke dalam kehidupan orang-orang Kristen, dibutuhkan pemahaman kesatuan gereja, kesaksian, dan kebenran dalam Kristus.  

            Metodologi: Alexandrian exegesis, Antiochene exegesis, dan Western (latin) exegesis.

 

Penafsiran ”Medieval”

Periode pertengahan  biblika dikembangkan oleh para sarjana teologi dan sarjana biblika. Para sarjana Protestan menggunakan eksegese sebagai sarana mencari makna teks dalam Alkitab.  Proses dimulai dari masa Pemerintahan Romawi di Barat  (476), tetapi akhir abad 19 sudah dimulai di Mesir, Afrika, Siriadan Spanyol yang dikuasai oleh Islam.

 

Para  Penafsir. Sebelum 800: John Cassian, Junilius, Isidore of Seville, Maximus the Confessor, Ambrose Autpert, Beatus of Liebana, Aldhelm of Malmesbury, dan Bede.  800-1150:  Alcuin of York, Claudius of Turin, Haimo of Auxerre, Rabanus Maurus, Paschasius Radbertus, John Scotus Eriugena, Remigius of Auxerre, Fulbertof Chartres, Bruno of Wurzburg, Peter Dismisn, Othlo of St Emmeran, Berengar of Tours, Bruno of Tours, Bruno the Carthusian, Anselm and Ralph of Laon, Bruno of Asti or Segni, Guibert of Nogent, Rupert of Deutz, Hugh of St Victor, Peter Abelard, William of St Thierry, Zachary of Besancom, Bernard of Chairvaux, Gilbert de la Porree, Peter Lombard, Robert of Melun, Medieval Jewish  exegetes,  dan lainnya.

            1150-1350: Joachim of Fiore, Thomas of Chobham, William of Auvergne, Hugh of St. Cher, Robert Grosseteste, Thomas Aquinas, Bonaventure, Roger Bacon, Meistter Johannes Eckhart, Nicholas of Lyra, Robert Holcot.350-1500: John Wycliffe, Jean Gerson, paul of Burgos, John of Ragusa.

Isu:  kebutuhan pencarian makna teks Alkitab dan bagaimana mentafsirkan, dibutuhkannya bahan-bahan perdebatan tenang authoritas, dibutuhkan perbaikan gereja dengan pengajaran yang biblika, dibutuhkan menghubungan pengajaran biblika dengan pengetahuan.

Metodologi:  general observations.

 

The Renaissance and Reformasi

Dimulai pada tahun 1450di Eropa Barat oleh para sarjana Yunani yang menekankan tentang perkembangan dan pertumbuhan kerohanian seseorang di gereja. Hal tersebut sampai tahun 1500 berkembang di Antwerp, Paris, dan London.

 

Para Penafsir. The humanists: Lorenzo Valla, Marsilio Ficino, Desiderius Erasnus of Rotterdam, Jacques Lefevre d’Etaples, Johaan Eck, Johannes Reuchlin, John Colet, Guillaume Bude, Sebastiano Castello.

The Lutheran Reformes: Martin Luther, Francois Lambert, Andreas Althamer, Andreas Bodenstein von Karlstadt, Johann Bugenhagen, Philipp Melanchthon, Andreas Osiander, Johannes Brenz.

Reformers influenced by Luther: Wolfgang Capito, Martin Bucer, William  Tyndale, Miles Coverdale.

The Swiss Reformers: Ulrich Zwingli, Johannes Oecolampadius, Conrad Pelican, Peter Martr Vermigli, Wolfgang Musculus, Theodor Bibliander, Johainn Heinrich Bullinger, Jean  Bellarmine, Leonard Lessius, Cornelius a LiVio, Francis Titelmans, Jacopo Sadoleto, Jean de Gagny, Claude Guilliaud, Ambrosius Catharinus Politus, Jean Arboreus, Sixtus of Sien, Andreas Masius, Alfonso Salmeron, Benito Arias Montano, Juan Maldonado, Francisco Toleto, Francisco Ribera, bento Pereira, Willem Hessels van Est, Robert Bellarmine, Leonard Lessius, Cornelius a Lapide, Jacques Bonfrere. 

The Defenders of Protestan Orthodoxy: Joachim Camerarius, Matthias Flacius, Kasper Olevianus, Girolamo Zanchi, Robert Rollock, Niels Hemmingsen, Giles Hunnius,  Theodore de Beze, Thomas Brightman, Robert Boyd, Johann Gerhard, Johann Heinrich Alsted, Joseph Mede, Constantjin L’Empereur, dan lainnya.

 

Isu: dibutuhkan penemuan prinsip-prinsip autoritas iman Kristen dan pengalaman dalam pertumbuhan spiritual seseorang, dibutuhkan nilai-nilai biblika untuk menjelaskan kebenaran di atas, dibutuhkan dasar-dasar posisi teologi terhadap pengajaran Alkitab.

Metodologi: Sola Scriptura, pengilhaman Alkitab, hermeneutik Luther, hermeneutik Tyndale, hermeneutik Calvin, pencarian hermeneutik yang biblika sebagai perkembangan teologi.

 

 

 

 

Metode Kritik Sejarah

 

Dimulai dengan Metode Kritik Sejarah

Pendekatan  kritik sejarah mulai muncul pada periode ini – yang disebut ”Age of Reason” (1648). Di sini filsafat digunakan sebagai pendektan teologi. Gerakan ini seolah-olah menjadi gerakan sesudah zaman pencerahan Luther.  Para sarjana sejarah mencoba memahami Alkitab dengan keilmuannya.

 

Para Penafsir. British: Thomas Hobbes, John Wilkins, John Lightfoot, John Spencer, John Locke, John Mill, Isaac Newton, The English Deists, Herbeerbert of Cherbury,  Charles Blount, John Toland, Anthony Collins, Matthew Tindal, Thomas Woolston, Thomas Morgan, Thomas Chubb, Peter Annet, Opponents of the Deists, the Cambrige Platonists dan lain-lain.

Ducth: Konrad von der Vorst, Hugo de Groot, Gerhard Jan Vossius, Isaak Vossius, Bruch Spinoza, dan Campegius Vitringa.

            French: Issac de la Peyrere, Pierre Bayle, Pierre Jurieu, Richard Simon, dan lainnya.

Italian: Giovani Bernardo de Rosi. German: Philipp Jakob Spenser, August Hermann Francke, Johann Jakob Rambach dan lainnya.

 

            Isu: dibutuhkan penjelasan bagaimana kebenaran dapat diketahui dan  apakah aturan Alkitab dapat dijalankan, dibutuhkan ketergantungan yang alamiah dan kebutuhan agama, dan bagaimana Alkitab menjawabnya.

            Metodologi: pendekatan rasional, kritik teks, efek romanticism, syntheis,

 

Abad 19 (1800-1918)

Periode ini telah terjadi perkembangan pada dunia sosial, politik dan pengetahuan di mana hal itu terjadi sesudah revolusi Perancis dan Napoleon ( 1789-1815) dalam masyarakat Eropa. Terjadi masa ekspansi  perdagangan dan agama (misi Protestan) ke Afrika dan Asia. Di sini sarjana biblika didominasi oleh orang-orang  dan organisasi akademik Jerman  seperti di Berlin, Bonn, Breslau, Erlangen, Giessen, Gottingen, Greifswald, Halle, Tubingen, Jena, Kiel, Konigsberg, Leipzing, Marburg, Rostock, dan Wurzburg.

 

PL dari De Wette to Wellhausen

Era baru dibuka oleh W.M.L. De Wette (1780-1849) seorang sarjana biblika yang mulai menyentuh PL, dengan  mencoba melakukan pendekatan kritik teks dan sejarah pada Kitab-kitab  Pentateukh.

 

Para Penafsir. German: Wilhelm Martin, Wilhelm Gesenius, Carl Peter Gramberg, Friedrich Bleek, Christian Carl J, dan lainnya. The English-Speaking world: Adam Clarke, Hugh James Rose, Thomas Arnold, Moses Stuart, dan lainnya.

Isu: dibutuhkan pembenaran hubungan PL dengan sejarah sekuler, dibutuhkan menjelaskan sifat-sifat Israel yang alamiah dan perkembangan sejarahnya, dibutuhkan hubungan perkembangan Israel sebagai bangsa yang bangkit, dibutuhkan hubungan PL dengan PB.

Metodologi: kritik PL, kritik Pentateukh, eksegese non Kritik. 

           

PB dari Schleiermacher to Schweitzer

Studi kritik sejarah PB  yang berhubungan dengan gereja yang berakar dalam PL, sebab PB merupakan pusat tempat orang-orang yang merubah statusnya – dari  masyarakat lama menjadi masyarakat Kristen. Pendekatan kritik sejarah mencoba mengungkapkan makna yang ada pada teks-teks PB.

 

Para Penafsir. The German sphere: the forerunners of Baur: Friedrich Daniel E. Schleiermacher, Hermann Heimart Cludius, Hermann Olshausen, Johann Leonhard Hug dan lainnya. The German sphere: Baur and his legacy: Ferdinand Christian Baur, Albert Schwegler, dan lainnya. The German  sphere: the history of religions school and after: Hermann Usener, Otto Pfleidere, Adolf Hausrath, William Wrede, dan lainnya.  The English-speaking world: Joseph Stevens Buckminster,  Samuel Taylor Coleridge, Charles Simeon, Herbert Marsh, Robert Haldane, dan lainnya. French-speaking Writers: Michel Nicolas, Edmond Scherer, Ernest Renan, Frederic Godet, dan lainnya.

            Isu:  dibutuhkan hubungan antara PB dengan fakta sejarah,  dibutuhkan jawaban apakah teologi PB, dibutuhkan keberadaan akurat teks dari dimana untuk bekerja.

            Metodologi: perbandingan dengan PL, the grammatico-historical method,  the Tubingen School,  the demolition of the Tubingen approach, the history of religions approach: first phase,  the history of religion approach: second phase,  eschatology.

 

Pertengahan Abad 20 (1918-75)

            Perang Dunia I (1914-18) merupakan koreksi yang paling penting dalam dunia Barat. Setelah perang tersebut muncul trend liberal dengan  mengembangkan pendekatn  kritik biblikanya seperti Adolf von Harnack melawan Karl Barth. Tetapi Barth lebih cenderung mengembangkan biblical preaching daripada kritik teks tersebut. Setelah Perang Dunia II (1939-45) muncul perkembangan studi biblika, yang kemudian didominansi oleh metode kritik sejarah, bahkan selanjutnya berkembang studi biblika dan arkeologi.

 

Kritik PL sesudah Wellhausen

Sebelum 1900 arkeologi dijadikan teori untuk melakukan pendekatn kritik PL. Pekerjaan ini berkembang pada periode ini dimana para sarjana melakukan pendekatan yang sifatnya tradisi (pendekatan tradisi) seperti yang dilakukan oleh De Ette.  Jadi, kritik sejarah (historis) lebih tajam dikembangkan lagi oleh Friedrich Delitzsch (1902), dan Hermann Gunkel.

 

Para Penafsir. The Heralds of a New approach: Edward Burnett Tylor, Emile Durkheim, Wilhelm Wundt, Albert Eickhorn dan lainnya.  Gunkel and his followers in Germany: Hermann Gunkel, Justus Koberle, Hugo Gressmann, Albrecht Alt, dan lainnya. Other German Scholars: Walther Eichrodt, Walter Zimmerli, dan lainnya. The Scandinavians: Aage Bentzen, Ivan Engnell, Sigmund Mowinckel. The English-speaking World: Henry Wheeler Robinson,  James Alan Montgomery, dan lainnya.

Isu: dibutuhkan  identitas jenis literatur apa untuk PL, dibutuhkan arkeologi tempat nabi-nabi  dengan studi PL, dibutuhkan hubungan teks PL dengan agama PL.

            Metodologi: kritik bentuk (Gattungsgeschichte), pengaruh arkeologi, kritik redaksi dan teologi PL.            

 

 

 

Kritik PB sesudah Schweitzer

Kritik PL berkembang setelah Perang Dunia I yang dikembangkan oleh Karl Barth, seorang neo-orthodox (1886-1968), muridnya A. von Harnack seorang ahli teori liberal  di Berlin. Barth meletakan filsafat sebagai akar teologi sistematika.

 

Para Penafsir. The German sphere: Paul Billerbeck, Hans Windisch, Rudolf Otto,  Hans Lietzmann, Hans Freiherr von Soden, Friedrich Buchsed dan lainnya. The English-speaking world: John Martin Creed, Shailer Mathews, James Moffatt, Kirsopp Lake, dan lainnya.

            Isu: dibutuhkan hubungan antara Yesus dengan gereja orang-orang Kristen, dibutuhkan hubungan antara gereja orang-orang Kristen dengan orang-orang Yudais, dibutuhkan jawaban apakah teologi Kristen  sebagai akar PB, dibutuhkan pendekatan akrealogi dalam studi PB.

            Metodologi: kritik bentuk, kritik redaksi, pertanyaan-pertanyaan sejarah, Judaism, kritik sejarah untuk studi PB.

 

Pandangan Masa Kini: The Contemporary Scene

Akhir abad 19 sampai 1970 terjadi perkembangan pendektan penafsiran. Penafsiran teks tidak hanya dimiliki oleh pendekatan kritik historical saja dalam studi biblika, tetapi muncul beberapa pendekatan yang lain (pendekatan itu ditolak oleh kaum fundamentalists dan traditionalists) juga dapat dilihat dalam pendekatan sosial atau politik. Tahun 1950 muncul conservative evangelicalism  (Protestantism) dengan pendekatan doktrinal untuk studi biblika.  Bersama itu berkembang juga pendekatan  kritik redaksi, kritik bentuk, analisa literal,  pendekatan antropologi-culture, dan feminism.

 

            Trend-trend Akademik dalam  Tafsir

            Para sarjana biblika ini mengembangkan pendekatan kritik sejarah tradisi yang menempatkan dirinya sebagai ”fundamentalists”.

 

Para Penafsir. Literary critis and philosophers: Erich Auerbach, Clive Staples Lewis,  Martin  Heidegger,  Ernst Fuchs, Hans Wilhemlm Frei, Northrop, Amos Niven Wilder, Hans George Gadamer, Gerhard Ebeling, Paul Ricour. Professional biblical sholars:  Joseph Augustine Fitzmyer, William Farmer, Deniis Nineham, krister Stendahl dan lainnya.

 

Isu: dibutuhkan  studi Alkitab dengan cara pandang satu sisi teologi, kebutuhan mengintegrasikan studi kritik tradisi dengan disiplin yang lain, menyatukan atau integrasi studi biblika sebagai suatu disiplin ilmu.

Metodologi: kritik sejarah sejak 1975,  conservative, kritik kanon,  kritik literary baru,  structuralism, the new hermeneutic.

           

Trend-trend Sosial dalam Tafsir

Periode ini munculnya penafsiran biblical kontemporer dengan pendekatan sosial dan politik.  Pendekatan ini meletakan diri pada posisi orthodoxy, artinya meletakan teologi untuk bekerja secara praktikal yang diwujudkan dalam ”the kingdom of God”, khususnya ke dunia. Tradisi gereja harus dapat mengatasi keadaan sosial. Jadi gereja diletakan pada keseimbangan sosial dan politik lokal, nasional maupun internasional. Jadi, gereja yang berpihak pada perbaikan sosial dan berpolitik.

 

Para Penafsir.Jacques Ellul,  Jose Miguez Bonino, Juan uis Segundo, Norman Karol Gottwald, Gustavo Gutierrez, Peter Berger, Abraham Johannes Malherbe, dan lainnya.

 

            Isu: menggunakan teks biblika untuk menyelesaikan persoalan sosial, ekonomi dan problem politik, menemukan prinsip-prinsip hermeneutik tunggal terhadap Alkitab yang dapat diaplikasikan pada segala situasi, menghubungkan jenis hermeneutik tradisi ke peristiwa-peristiwa yang terjadi.

Metodologi: Sociological theory, liberation theology,  dan feminist theology.

 

 

Trend-trend Evangelical dalam Tafsir

Periode ini memunculkan penafsiran biblika kontemporer dari kaum conservative evangelicalism.  Kaum ini didukung oleh gereja-gereja  Protestant, yang mengembangkan teologi reformation: Lutherans, Calvinists,  Arminians, Baptis, Episcopal dan Presbyterians.

 

Para Penafsir. The forerunners: James Orr, James Denney, John Davis, Robert Dick Wilson, John Gresham Machen, Geerhardus Vos, dan lainnya. The new generation: Ned Bernard Stonehouse,  Edward John Young,  David Martyn Lloyd-Jones, George Eldon Ladd, dan lainnya.  The inheritors: Peter Craigie,  Gerhard Maier,  Edwin Masao Yamauchi, dan lainnya.

Isu: dibutuhkan secara akademik para sarjana dapat menempatkan posisi teologinya sebagai orthodox evangelical, mampu meletakan dasar-dasar orthodox  yang dapat dikembangkan oleh orang-orang Kristen, akademik dan gereja dapat bekerja sama, mempunyai komitmen sebagai orang evangelistically, dan evagelistically dapat melakukan perdebatan hermeneutik  terhadap teologi modern.

Metodologi:  The Warfield (Old Princeton)  approach. 

 

 

Evaluasi secara Keseluruhan

 

Buku ini bukan merupakan pembukti sebuah hipotesa yang dianalisa, melainkan lebih cenderung pada pekerjaan pendokumetasian, seperti mengerjakan ensiklopedia. Buku ini merupakan pekerjaan pendokumentasian  ”sejarah hermeneutik”. Dan sebagai pekerjaan pendokumentasian, maka buku ini sangat bagus dan sangat bermanfaat guna membuka nuansa perkembangan hermeneutika.

Lahirnya pendekatan-pendekatan  kritik pada teks Alkitab tergantung pada kebutuhan zamannya, sehingga setiap munculnya persoalan biblika (yang menganggu kewibawaan teks atau yang membutuhkan teks sebagai jawaban) maka para sarjana mulai mencari pendekatan “baru” (mungkin sesuai dengan disiplin ilmnya) untuk dapat mengeluarkan makna teks Alkitab.

Belajar dari sejarah hermeneutik dimana pendekatan ilmu pengetahuan, sosial, politik, kritik sejarah, kritik liberal dan sejenis yang mencoba membuka makna teks Alkitab merupakan upaya yang panjang dan membawa dampak keraguan akan wibawa Alkitab cukup dapat dirasakan. Pendekatan  tersebut perlu diluruskan dengan pendekatan tafsir yang menghargai Allah adalah penulis Firman-Nya (Alkitab), Firman-Nya tidak salah, dan teks mempunyai kewibawaan Allah. 

 

Begitu banyak pendekatan tafsir yang kadang-kadang sulit dilihat latar belakang kelahirannya (apakah pendekatan tersebut menempatkan teks adalah buku atau teks adalah karya Allah), maka perlunya kaum Injil berani merumuskan pendekatan tafsir teks yang berada dalam kehendak Allah.

 

Penutup

 

 

Gordon D. Fee. New Testament Exegesis: A Handbook for Students and Pastors. Lousville: Westminster/ John Knox Press, 1993.

 

Evaluasi Buku Gordon D. Fee

New Testament Exegesis, Third Edition

 

Pendahuluan

Penulis berangkat dari adanya sikap yang kurang tepat dalam melakukan proses eksegesis Perjanjian Baru. Eksegesis Alkitab Perjanjian Baru dilakukan dengan tidak memperhatikan hal-hal yang bersifat sejarah ke dalam makna teks Alkitab.  Olehkarenaitu, penulis menyarankan dalam melakukan kegiatan “eksegesis” denganmenjawabpertanyaan, apakahmaksuddaripenulisAlkitab? Hal iniberkaitandenganapa yang penulistelahkatakan (berkaitandenganisinya) danmengapapenulismengatakanhaltersebut (berbicaratentangkontekssastranyayakni, berkaitandenganadanyaperbedaanwaktu, bahasadanbudayadenganpembacapadamasakini). Secararingkas, eksegesisterutamamemberikanperhatiansecarasengajapada: apa yang penulisinginkandariparapembacamula-mulauntukdipahami.

Penulismemberikanpenekanan yang utamapada “langkah-langkah” untukmelakukaneksegesis.Sehinggatujuan yang segeraterjadiadalahparapembacabukuinimampuuntukmemahamiteksAlkitabitusendiri.Namundemikiantidakcukuphanyasampaidisitusaja, harapan lain parapembacamampumengaplikasikanmaknatekstersebutkepadagerejadanduniamasakini. Sehinggaadakecenderungandalambukuiniuntukmengalihkan “tekskepadakotbah”.

Bukuinipentinguntukdipelajaridandipahamidenganmaksuduntukmenolongparapelayan-pelayanTuhanmemahamiteksAlkitabdenganbenardanmaumelakukaneksegesisatasseluruhkitab.Karenapadakenyataannya, banyakparapelayangerejamelakukaneksegesishanyauntukpengajaran yang bersifatsementaraatauhanyauntukmaksudberkotbahsaja. Ada juga yang melakukan proses eksegesishanyauntukmemecahkan “Persoalanteks” yang menjadibahanperbincanganataumemerlukanpenyelidikanlebihmendalam.

 

Evaluasi secara Keseluruhan Buku

Penulisan buku ini bertujuan untuk menolong mahasiswa dan

Para pelayanTuhandalammelakukan proses eksegesisAlkitabPerjanjianBaru. Untukdapatmelakukanhaltersebut, penulismemberikanempatbagianbesar yang pentinguntukdibicarakanyaitupertama, sebuahbimbinganuntukmelakukan proses eksegesis. Kedua, bagaimanamelakukan proses eksegesis yang berkaitandenganteksasli. Ketiga, bimbingansingkatbagaimanamenerapkanhasileksegesiskedalamkotbah.Akhirnya, penulismenekankanpentingnyamemahamialat-alatbantudansumber-sumberuntukmelakukan proses eksegesis.

Untuk dapat melakukan proses eksegesis Alkitab Perjanjian Baru, penulis memberikan langkah-langkah yang diawali dengan memperhatikan hal-hal umum sesuai dengan tipe sastra (genre) dari kitab yang akan di eksegesis. Namun demikian, penting untuk diingat bahwa masing-masing tipe tersebut memiliki persoalan-persoalan eksegesis khusus serta “peraturan-peraturan” tersendiri. Karena itu dalam pasal 1 penulis memberikan pedoman eksegesis ke dalam empat bagian yaitu: pertama, beberapa langkah permulaan yang umum untuk semua tipe sastra. Kedua, langkah-langkah khusus yang khas untuk masing-masing tipe sastra. Ketiga, langkah-langkah lebih lanjut yang sifatnya umum untuk semua tipe sastra dan akhirnya, sejumlah kesimpulan mengenai penerapan.

Selanjutnya pada pasal 2 penulis memberikan langkah-langkah untuk melakukan proses eksegesis yang berkaitan dengan teks aslinya. Melalui enam langkah utama yaitu: menganalisa susunan kalimat, membangun teks, menganalisa tata bahasa, menganalisa kata-kata, menganalisa latar belakang sejarah-budaya dan akhirnya menganalisa sebuah perikop.

Berikutnya, agar para hamba-hamba Tuhan, mahasiswa teologi dan jemaat dapat menyampaikan kebenaran Firman Tuhan dengan tepat dalam berkotbah maka penulis memberikan bimbingan singkat untuk melakukan eksegesis kotbah. Proses ini dilakukan dalam dua langkah yaitu pada saat melakukan tugas eksegesis dan mengalihkan hasil eksegesis kepada kotbah. Eksegesis dilakukan dengan memperhatikan enam langkah utama yaitu persiapan awal, hal-hal yang berkaitan dengan isi, persoalan-persoalan kontekstual, literatur tambahan yang diperlukan, konteks Alkitab Teologi dan akhirnya bagaimana menerapkannya dengan benar. Pada bagian berikutnya adalah langkah-langkah mengalihkan hasil eksegesis kepada kotbah dengan cara meluangkan waktu untuk merenungkan teks, memulai dengan satu maksud, memutuskan pendahuluan dan kesimpulan, membuat sebuah garis besar dan akhirnya membuat kotbah.

Langkah yang terakhir untuk melakukan proses eksegesis Alkitab Perjanjian Baru adalah dengan memperhatikan alat-alat bantu dan sumber-sumber untuk langkah-langkah eksegesis.

 

 

 

Evaluasi Bagian-bagian Tertentu

 

Bimbingan untuk Eksegesis

Bimbingan untuk eksegesis maksudnya adalah bimbingan untuk melakukan proses eksegesis secara khusus dalam Alkitab Perjanjian Baru. Bimbingan ini memberikan langkah dasar untuk melakukan eksegesis keseluruhan genre dalam Perjanjian Baru. Agar langkah eksegesis ini benar maka penulis menyarakan dalam delapan langkahya itu: menyelidiki konteks sejarah secara umum, menegaskan batasan teks, menjadi lebih akrab dengan paragraf atau perikop, menganalisa susunan kalimat dan hubungan sintaksisnya, membangun teks, menganalisa tata bahasa, menganalisa kata-kata penting dan akhirnya menyelidiki latar belakang sejarah-budaya.

Selanjutnya, untuk mengeksegesis kitab yang berbentuk surat-surat ditambahkan tiga langkah berikutnyaya itu: menentukan sifat formal darisurat, memeriksa konteks sejarah dalam kekhususannya dan menentukan konteks sastranya. Sedangkan dalam mengeksegesis kitab-kitab injil penulis menambahkan tiga langkah berikutnya yakni, menentukan sifat formal perikop atau kata-kata, menganalisa perikop dalam synopsis injil dan akhirnya menganalisa perikop dalam konteks ceritanya.KitabKisah Para Rasul memiliki kekhususan dengan menambahkan dua langkah selanjutnya yaitu: menyelidiki persoalan-persoalan sejarah dan menentukan konteks sastra. Akhirnya, untuk kitabWahyu penulis memberikan tiga langkah lanjutanya ini: memahamI ciri formal dari kitab Wahyu, menentukan konteks sejarah dan akhirnya menentukan konteks sastra.

Proses eksegesis akan semakin lengkap apabila setelah melewati tahapan dasar maupunkhusus  dilengkapi dengan empat tahapan penyempurnaanya itu:  mempertimbangkan konteks teologi dan Alkitab secara luas, memeriksa keberadaan buku-buku tambahan yang berkaitan, menyiapkan terjemahan akhir, dan menuliskan hasil eksegesa.

 

Eksegesis dan Teks Asli

            Proses eksegesis Alkitab Perjanjian Baru dipandang sebagian orang mudah, namun bagi sebagian lainnya merupakan proses yang sulit. Kendala terbesar dalam melakukan proses eksegesis teks asli disebabkan tidak memiliki pengetahuan bahasa Yunani. Untuk itu penulis buku membaginya dalam dua langkah yaitu langkah untuk mereka yang memiliki pengetahuan bahasa Yunani dan selanjutnya bagi mereka yang tidak memiliki pengetahuan bahasa Yunani.

            Ada beberapa langkah penting untuk mengeksegis teks asli yakni: pertama, analisa susunan kalimat. Bagian ini memeriksa persoalan-persoalan tata bahasa yang berhubungan dengan bentuk kata (morfologi), pentingnya kasus, tensa dll. Kedua, membangun sebuah teks. Hal yang menjadi perhatian adalah penyelidikan yang berkaitan dengan persoalan teks asli. Mana dari variasi-variasi, yang ditemukan dalam tradisi manuskrip, yang paling mirip mewakili kata-kata sebenarnya dari penulis Alkitab. Untuk itu diperlukan untuk membaca bagaimana catatan-catatan kaki dalam dua edisi dasar PB bahasa Yunani dan langkah-langkah untuk membuat keputusan tekstual. Ketiga, analisa tata bahasa. Analisa ini berkaitan dengan semua unsur-unsur dasar bagi pemahaman hubungan-hubungan kata-kata dan kelompok-kelompok kata dalam sebuah bahasa. Keempat, analisa kata-kata. Dalam eksegesis mengingat fungsi kata-kata dalam suatu teksmerupakan bagian yang sangat penting. Oleh karena itu, perlu memahami setepat mungkin apa yang sedang disampaikan penulis dengan menggunakan kata tertentu. Kelima, bagian yang mempelajari latar belakang sejarah-budaya. Pembelajaran pada bagian ini dimaksudkan agar para pembaca memiliki kesadaran akan apa yang perlu diselidiki, untuk menngatasi asumsi mengenai apa yang sedang dikatakan penulis-penulis PB. Keenam, analisa perikop. Analisa ini merupakan penyelidikan perkataan atau cerita dalam injil yang berangkat dari tiga pertanyaan dasar yaitu apakah ada signifikansi yang nyata dari perkataan atau yang ditemukan dalam Injil yang sedang dieksegesis. Apakah ada perbedaan-perbedaan dalam bahasa atau urutan kata antara Injil tersebut dengan Injil yang lain, yang signifikan dalam makna perikop tersebut dalam Injil yang sedang di eksegesis dan akhirnya pertanyaan apakah signifikan bagi ketepatan pemuatannya ditempat tersebut (mengenai konteks sastra).

 

Bimbingan Singkat untuk Eksegesis Khotbah

            Penulis melihat bahwa kebanyakan para pelayan gerejawi yang sudah mengecap pendidikan teologi, tidak terlatih untuk menerapkan semua kemahiran eksegesis untuk tugas yang lebih umum dalam mempersiapkan kotbah. Untuk itu penulis, berusaha memenuhi kekosongan tersebut dengan menyediakan sebuah bentuk berguna yang dapat diikuti untuk mengeksegesis sebuah teks PB, dengan tujuan untuk mengkotbahkan teks itu.

            Proses eksegesis kotbah ini terbagi menjadi dua bagian yaitu: bimbingan untuk proses eksegesis dan sejumlah saran singkat tentang bagaimana mengalihkan teks kepada kotbah. Panduan ini disesuaikan untuk para pelayan gereja yang memiliki sepuluh jam atau lebih setiap minggunya.

 

Alat-alat Bantu dan Sumber-sumber untuk Langkah-Langkah Eksegesis

            Tujuan dalam pasal ini adalah memperhatikan berbagai sumber bagi eksegesis Perjanjian Baru. Penulis memberi masukan berkaitan dengan berbagai sumber dengan harapan para mahasiswa menjadi lebih nyaman dengan adanya bantuan tersebut. Sumber-sumber tersebut dapat berupa buku atau sarana penyelidikan dengan bantuan komputer.

 

Penutup

            Proses eksegesis Alkitab Perjanjian Baru bukanlah hal mudah namun bukan berarti tidak dapat dilakukan. Proses ini membutuhkan kesabaran, ketekunan dan latihan yang terus menerus. Hal ini akan semakin menolong kita untuk memahami teks Alkitab sebagai mana dimaksudkan oleh penulis kepada pembaca pada masa itu. Serta mampu menyampaikan maknanya secara tepat pada pembaca masa kini dalam bentuk khotbah. Perlunya belajar bahasa asli dalam Alkitab akan menolong kita lebih memahami makna teks dengan benar. Akhirnya, jangan pernah lelah dan berhenti dalam melakukan  proses eksegesis. Jadikan itu bagian hidup yang penting sebagai seorang pelayan Tuhan.

 


 

Kevin J. Vanhoozer, Is There A Meaning in the Text? Grand Rapids: Zondervan,

 

EVALUASI BUKU KEVIN J. VANHOOZER

  IS THERE  A  MEANING  IN  THIS TEXT?”

 

Pendahuluan

            Alkitab telah ditafsirkan dengan berbagai cara. Kadang-kadang Alkitab, ditafsikan oleh kelompok tertentu dengan caranya sendiri untuk meligitimasi suatu tujuan tertentu. Misalnya penafisrna kaum Feminist, yang berusaha untuk menafsirkan Alkitab ke dalam paham mereka. ada unsur pemaksaan teks, sehingga teks yang diteliti diupayakan sedemikian rupa supaya cocok dengan pandangan mereka. ada juga kritik historis, yang berusaha untuk meneliti keaslian suatu teks, sementara para pendukung usaha ini sendiri tidak memiliki teks yang asli itu seperti apa. Jika apa yang mereka harapkan tidak diperoleh, maka kesimpulannya adalah bahwa teks itu tidak asli. Karena teks tidak asli maka tentu isinya pun patut dipertanyakan. Selain itu, masih banyak bentuk pendekatan-penedekatan lain yang dipakai sehingga cenderung mengaburkan makna dari sebuah teks

Pemahaman manusia terbatas, karena itu manusia tidak mungkin dapat menyelami semua kebenaran dari teks-teks yang ada dalam Alkitab. Memang teks dalam Alkitab adalah tulisan manusia, namun haruslah dipahami bahwa Alkitab itu hanya tulisan manusia semata dan terisolasi dalam batas-batas kaa-kata manusia. Alkitab adalah firman Allah yang ditulis dalam bahasa manusia. Sebagai bahasa manusia, tentu dapat dipelajari, tetapi sebagai firman Allah, maka dasar untuk memahaminya adalah iman. Itulah sebabnya, Agustinus berkata: “Credo ut intelligam” (saya mengerti karena saya percaya). Ungkapan ini seharusnya menjadi   suatu motivasi bagi setiap orang untuk mempelajari Alkitab.

Semua konsep manusia dipengaruhi oleh bahasa. Manusia tidak dapat melakukan sesuatu di luar pengaruh bahasa. Karena itu, apapun bentuk teks dari sebuah kitab, bahasa yang dipakai pasti memiliki makna tertentu yang perlu diselidiki untuk menemukan kebenaran-kebenaran di dalam teks itu.

Pemahaman terhadap Alkitab juga harusnya bersumber atau berasal dari dalam Alkitab sendiri dan bukannya sumber dari luar Alkitab. Vanhoozer, mengatakan: “saya pempertahankan iman  bahwa kita dapat mengetahui sesuatu lebih dari pada mengetahui diri sendiri ketika kita memandang ke dalam cermin dari teks.” Semua orang dipanggil untuk meneliti dan menemukan kebenaran supaya dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat.

Makna suatu teks tidak sekedar sama seperti sebuah biji yang tersembunyi di dalam kulitnya, tetapi makna suatu teks adalah apa yang menarik perhatian kita terhadap sebuah teks. Artinya teks itu mengandung makna yang menantang kita untuk menemukannya.

Untuk dapat menemukan makna dari suatu teks tententu, maka diperlukan penafsiran terhadap teks itu. Pekerjaan ini bukanlah pekerjaan yang mudah, karena itu membutuhkan ketekunan. Pemahaman manusia tidaklah memadai untuk memahami suatu eks tertentu jika hanya megandalkan rasio semata. Dengan kesadaran yang demikian, maka tepatlah apa yang dikatakan oleh Agustinus, sebagaimana yang dikutip di atas. Alkitab bukanlah hanya sekedar kumpulan teks-teks atau tulisan-tulisan manusia belaka. Alkitab adalah firman Allah yanag ditulis dalam bahasa manusia.

 

Alkitab yang ditulis dalam bahasa manusia memang haruslah diselidiki untuk menemukan makna suatu teks tertentu sebagaimana teks itu ditulis. Untuk dapat memahami hal ini maka dibutuhkan logika.Tetapi sebagai firman Allah, maka iman haruslah menjadi dasar atau landasan di dalam melakukan penafsiran terhadap Alkitab itu

Dalam kaitan antara penafsiran dan teks, haruslah dipahami bahwa penafsiran haruslah disesuaikan dengan teks dan bukannya teks disesuaikan dengan penafsiran. Hal itu berarti bahwa para di dalam sebuah penafsiran yang baik haruslah diperhatikan bentuk teks yang ada. Teks-teks yang ada dalam Alkitab beraneka ragam. Ada teks yang berbentuk sejarah, ada yang berbentuk syair, ada yang berbentuk ungkapan kebijaksanaan, ada yang berbentuk perumpamaan dan bentuk-bentuk lainnya

Di dalam sejarah penafsiran, ada berbagai bentuk penafsiran yang dipakai sesuai dengan kepentingan penafsir itu. Di dalam buku ini Vanhoozer, kelihatannya lebih cenderung kepada bentuk penadsiran Trinitarian. Menurut Vanhoozer, ada beberapa alasan mengapa bentuk penafsiran ini dipilih sebagai berikut:

Hal yang pertama dan paling penting adalah bahwa ortodoksi Kristen percaya bahwa secara essensi, Allah sendiri yang mengkomunikasikan Diri-Nya sendiri kepada orang lain dengan cara Trinitarian. Dalam teologi Trinitarian tentang firman Allah,  memahami bahwa Allah sebagai penulis, pemberi pesan, sebagai   yang berkuasa, sejak awal adalah Allah yang komunikatif.  Allah dalam Yesus Kristus adalah pribadi yang merepresentasikan Allah. Dengan demikian Allah dapat dipahami melalui Yesus Kristus.

Ada suatu metodologi analogi antara teologi dan teori literal, yang berlandaskan kepada transendensi Allah dan transendensi bahasa (makna)

Dalam hubungannya dengan pluralisme, kita harus mencatat  berdasarkan suatu paralel. Setiap Pribadi dari Tritunggal memberikan sudut  pandang yang berbeda tentang satu Allah yang benar. Karena itu ada keterbatasan perspektif  dalam pluralilitas.

 

Pluralisme yang dipahami di sini bukalah dalam arti pluralisme keanekaragaman masyarakat dengan kepercayaan dan kebudayaannya dalam suatu lingkup kehidupan tertentu, tetapi yang dimaksud adalah bahwa ketiga pribadi Tritunggal itu memiliki peran-Nya masing-masing sekalipun tetap dalam suatu kesatuan yang tak terpisahkan satu dengan lainnya. Allah yang komunikaif itu berkomunikasi dengan manusia dalam berbagai cara sebagaimana diungkap dalam Ibrani 1:1. Untuk itu, firman Allah tidak dapat dipahami atau dipahami hanya dalam lingkup yang terbatas. Firman Tuhan dapat dipahami berdasarkan konteks yang dipakai Allah di dalam mengkomunikasikan kebenaran-Nya kepada manusia. Di sinilah letak makna pluralisme cara Allah mengkomunikasikan kebenaran-kebenaran itu

 

Di dalam menafsirkan firman Allah,  penting juga diperhatikan hubungan antar teks. Misalnya  di dalam menafsirkan perumpamaan. Memang setiap perumpamaan memiliki maknanya sendiri, namun perumpamaan itu harus dikelompokkan bersama dan sehingga dapat memberikan pola penafsiran dan pengertian yang sama. Hal itu dapat dilihat dalam penggunaan perumpamaan di dalam injil-injil. Sebagian besar perumpamaan itu berhubungan dengan pemberitaan Yesus tentang kehadiran Kerajaan Allah. Untuk itu, perumpamaan itu haruslah ditafsirkan dalam perspektif itu

 

Hal yang sama juga berlaku bagi penafsiran Alkitab secara keseluruhan. Misalnya di dala menafsirkan bagian-bagian tertentu di dalam Perjanjian Baru, haruslah dilihat hubungan teks itu dengan Perjanjian Lama. Demikian juga di dalam menafsirkan Perjanjian Lama, kadang-kadang teks dalam Perjanjian Lama itu memiliki hubungan dengan bagian-bagian tertentu dengan Perjanjian Baru dan bahkan memberikan penjelasan yang lebih jelas bagi teks itu

 

Di dalam mengerjakan penafsiran teks, ada juga beberapa hal yang sangat mempengaruhi pemahaman seorang penafsir terhadap teks tertentu. Hal-hal itu meliputi sebagai berikut:

Identifikasi pembaca teks. Di dalam menafsirkan bagaimana teks itu menghasilkan suatu efek atau akibat, maka pembaca teks itu perlu didentifikasikan. Studi ini dapat menolong untuk melihat bagaimana teks ini diperlakukan oleh para pembaca dan memiliki dampak bagi mereka baik di masa lalu maupun di masa kini

Tempat para pembaca. Setiap pembaca biasanya memiliki tempat , kebudayaan, waktu dan tradisinya masing-masing. Melalui hal ini, para pembaca memiliki gambaran bagaimana ia melihat posisi suatu masyarakat sosial, tempat dan waktu yang berbeda dengannya. Membaca adalah sama dengan  dialog antara teks dan pembaca, hubungan antara penjelasan teks dan orang-orang yang hidup dalam budaya tertentu.

Apakah ada pembaca dalam teks? Mereka ini adalah para pembaca pertama yang memberikan respon sebagai orang-orang konservatif, pembaca teks yang sesungguhnya.

 

Berdasarkan beberapa hal di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa tidaklah cukup hanya membaca sebuah teks, tetapi bagaimana teks itu memiliki efek atau dampak bagi orang-orang yang berhubungan dengan teks itu maupun para pembacanya

Untuk menemukan memahami  kebenaran yang terkandung di dalam Alkitab, maka dibutuhkan hikmat di dalam menafsirkan Alkitab. Seorang penafsir yang baik, harus benar-benar memperhatikan bagaimana mengikuti teks dan memperlakukan teks secara benar. Sebelum seseorang memutuskan untuk melihat lebih dekat kepada bagian teks tertentu, hal pertama yang harus ia lakukan adalah menerima dan mengakui akan kewibawaan teks itu. Penafsir harus benar-benar memberikan konsentrasi kepada teks dan melihat dengan jelas apa yang terkandung di dalam teks itu

Memberikan penghormatan kepada teks merupakan suatu tindakan yang sangat bermoral bagi seorang penafsir. Artinya, seorang penafsir haruslah memiliki motivasi yang benar-benar  didasarkan kepada hati yang tulus untuk memahami, sehingga ia dapat menemukan makna yang sesungguhnya dari suatu teks tertentu

 

Di dalam usaha menafsir dan memahami bagian teks tertentu, ada beberapa kaidah yang perlu diperhatikan oleh seorang penafsir, yaitu:

 

Ia haruslah orang yang beriman. Menemukan makna sebuah teks bukanlah pekerjaan yang serampangan. Untuk itu, seorang penafsir dapat menemukan kebenaran yang sesungguhnya dari suatu teks, jika ia memiliki iman. Iman itulah yang akan membimbing penafsir itu kepada kebenaran-kebenaran rohani yang tidak dapat dipahami dengan benar jika mengandalkan akal semata. Perkara rohani hanya dapat dipahami melalui hubungan yang benar dengan pemberi kebenaran itu, yaitu Allah melalui iman

Selalu berharap. Selain itu, seorang penafsir juga haruslah orang yang selalu berharap. Selalu berharap di sini artinya penafsir berusaha untuk menemukan kebenaan apa yang terkandung di dalam teks yang sedang dipelajari, dan bukannya apa yan akan ia katakan tentang teks itu. Dengan adanya harapan ini, maka penafsir membiarkan dirinya diarahkan oleh teks dan bukannya ia mengarahkan teks

Memiliki kecintaan terhadap Hermeneutik. Seorang penafsir yang baik juga harus memiliki kecintaan kepada hermeneutika  yang benar. Berdasarkan hukum hermeneutika yang benar, seorang penafsir tidaklah serampangan di dalam memperlakukan teks sesuai dengan apa yang ia harapkan. Ada langkah-langkah yang harus diikuti untuk menemukan kebenaran-kebenaran di dalam bagian teks tertentu. Melalui prosedur yang benar di dalam penafsiran terhadap bagian teks tertentu, seseorang terhindar dari kesmpulan yan terburu-buru dan sewenang-wenang, yang akhirnya menyesatkan.

Memiliki kejujuran. Artinya harus memiliki   komitmen dan pemahaman pendahuluan, bahwa teks tidak boleh diperlakukan dengan tidak jujur atau dimanipulasi dengan praduga-praduga yang sesungguhnya tidak sesuai dengan teks

Memiliki keterbukaan. Artinya memiliki keterbukaan dan kerinduan untuk mendengar dan mempertimbangkan pikiran-pikiran orang lain, termasuk mereka-mereka yang tidak sepakat dengan penafsir itu

Memiliki fokus yang jelas. Artinya, berkosentrasi kepada teks yang hendak diselidiki dengan sabar, dan sungguh-sungguh mengarahkan kemampuan untuk teks yang diselidiki

 

Evaluasi secara Keseluruhan

Sebagai akhir dari evaluasi terhadap buku ini, maka ada beberapa komentar yang hendak disampaikan sebagai berikut:

Pembahasan dalam buku ini sangat dalam dan menuntut konsentrasi yang penuh agar dapat dipahami mengenai persoalan makna teks.

Buku ini membuktikan bahwa tidak ada satu bagian pun dari teks dalam kitab yang kanonik yang tidak memiliki makna. Kalau hal itu terjadi maka yang salah bukan teksnya, tetapi pembaca atau penafsirnya.

Karena kitab suci adalah inspirasi dari Allah, maka untuk memahaminya dituntut suatu hubungan yang benar dengan pemberi kebenaran itu, yaitu Allah sendiri sebagai pemilik kebenaran itu. Karena teks tidak hanya semata-mata tulisan manusia melainkan juga adalah firman Allah, maka seorang penafsir yang baik adalah orang yang memiliki kehidupan kerohanian yang benar.

Untuk dapat memahami teks sebagaimana itu berbicara, maka ada kaidah-kaidah yang harus dimiliki dan dilakukan oleh seorang penafsir, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Penutup


7. Rancang Bangun Teologi Biblika

 

Rancang Bangun dalam Kata

 

Teologi “Kejujuran” dalam  Kejadian sebagai Bahan Ajar dalam

Pembinaan Family Altar di Gereja Bethany Indonesia  / suatu Apolegetika terhadap Doktrin Kekudusan menurut John Calvin

 

Bab I Pendahuluan

Masalah-masalah/ isu-isu  ajaran kejujuran  yang berkembang  masa kini (FA/Perwalian STT Bethany/ PA).

Hasil-hasil penelitian

 

Paper ini bertujuan untuk mencari jawaban sebagai berikut:  Apakah  nilai-nilai Teologi Kejujuran?  Bagaimanakah doktrin Kejujuran menurut John Calvin?  Bagaimanakah evaluasi Teologi kejujuran terhadap doktrin Kejujuran John Calvin?

 

 

BAB II TEOLOGI KEJUJURAN MENURUT KITAB KEJADIAN

 

Pengertian Kejujuran

Kata “kejujuran” menggunakan bahasa Ibrani צְדָקָה (tsed-aw-kaw)  artinya honesty sedangkan bahasa Yunani ……  artinya … [38] Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dikatakan bahwa jujur  adalah  lurus hati; tidak berbohong; tidak curang; tulus; ikhlas. Sedangkan kejujuran (noun) adalah sifat (keadaan) jujur; ketulusan (hati); kelurusan (hati).[39]  Selanjutnya dalam KJV (1611) menggunakan kejujruan  (honesty) sementara NRSV dan REB memilih “virtous” (kebajikan). Tetapi kejujuran dalam Kejadian 30:33 diberi oleh NRSV dan TB-Lai arti modern adalah “kebenaran” .[40]  Selanjutnya, bahwa jujur mengarakan kepada seseorang di mana dalam Yosua 10:13 dan 2 Samuel 1:18 disebut orang jujur. Ucapan-ucapan Raja Salomo dalam 1 Raja 8:12-13 menurut LXX, yang menempatkan kata-kata itu sesudah 8:53, terdapat dalam “kitab nyanyian”. Karena “nyanyian”, syir mirip sekali dengan ysyr, barangkali kedua kitab itu sama.[41] Jadi kejujuran adalah sifat yang ada di dalam diri seseorang yang diungkapkan dengan apa adanya sesuai nilai-nilai kebenaran  alkitabiah.

 

 

Kejujuran berlandasarkan Kebenaran (ditambahin buku komentari)

  Genesis 30:33 וְעָֽנְתָה־בִּ֤י צִדְקָתִי֙ בְּי֣וֹם מָחָ֔ר כִּֽי־תָב֥וֹא עַל־שְׂכָרִ֖י לְפָנֶ֑יךָ כֹּ֣ל אֲשֶׁר־אֵינֶנּוּ֩ נָקֹ֙ד וְטָל֜וּא בָּֽעִזִּ֗ים וְחוּם֙ בַּכְּשָׂבִ֔ים גָּנ֥וּב ה֖וּא אִתִּֽי׃

 

 

Dan kejujuranku akan terbukti di kemudian hari, apabila engkau datang memeriksa upahku: Segala yang tidak berbintik-bintik atau berbelang-belang di antara kambing-kambing dan yang tidak hitam di antara domba-domba, anggaplah itu tercuri olehku."

           

 

Kata “kejujuran”  diterjemahkan  oleh KJV  righteousness” tetapi oleh NAS, RSV dan NIV diterjemahkan “honesty”.  Kata “righteousness” menekankan pada kebenaran sedang penggunaan honesty menekankan  pada kejujuran. Jadi kata  צִדְקָתִי  (cidqätî)  berarti  menekankan pada kejujuran yang dilandasarkan pada kebenaran. Dari perbedaan terjemahan maka penulis menggunakan terjemahan “kejujuran” berarti “honesty”. Kata “Kejujuran” (honesty) menggunakan bahasa Ibrani   צִדְקָתִי (cidqätî)  berasal dari kata  צְדָקָה (tsed-aw-kaw)  adalah:  noun common feminine singular construct suffix 1st person common singular. Kata צְדָקָה (tsed-aw-kaw)  adalah noun (kata benda) yang berpoisi sebagai subyek – yang sekaligus mempin ayat yang bersangkut.  Karena צְדָקָה (tsed-aw-kaw)  menggunakan tunggal berarti צְדָקָה (tsed-aw-kaw)  berkaitan dengan hanya yang bersangkutan. Jadi tidak ada yang lain terlibat dalam konteks kejujuran. Jadi kejujuran tersebut hanya dimiliki oleh orang yang bersangkutan (“ku” 1st person). Karena kejujuran itu “feminine”  yang menunjuk kepada kewanitaan maka sifatnya (ciri khas yg ada pd sesuatu) adalah feminine.Jadi kejujuran didominasi oleh ciri khas yang feminine. Jadi  dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ayat ini menekan pada kejujuran yang berlandaskan kebenaran yang hanya dimiliki oleh subyek (seseorang) yang bersifat feminine. 

  

 

Sub Judul 3 (ditambahin buku komentari)

 

Kejadian  34

34:12 walaupun kamu bebankan kepadaku uang jujuran dan uang mahar seberapa banyakpun, aku akan memberikan apa yang kamu minta; tetapi berilah gadis itu kepadaku menjadi isteriku."

 

 

Kesimpulan: ----

Sub Judul 4 (ditambahin buku komentari)

 

 

Kejadian  42

42:11 Kami ini sekalian anak dari satu ayah; kami ini orang jujur; hamba-hambamu ini bukanlah pengintai."

 

Sub Judul 5 (ditambahin buku komentari)

 

 

Kejadian  42

42:19 Jika kamu orang jujur, biarkanlah dari kamu bersaudara tinggal seorang terkurung dalam rumah tahanan, tetapi pergilah kamu, bawalah gandum untuk meredakan lapar seisi rumahmu.

 

Kesimpulan: ----

 

Sub Judul 6 (ditambahin buku komentari)

 

 

Kejadian  42

42:31 Tetapi kata kami kepadanya: Kami orang jujur, kami bukan pengintai.

 

Sub Judul 7 (ditambahin buku komentari)

 

Kesimpulan: ----

 

Sub Judul 8 (ditambahin buku komentari)

 

Kejadian  42

42:33 Lalu kata orang itu, yakni yang menjadi tuan atas negeri itu, kepada kami: Dari hal ini aku akan tahu, apakah kamu orang jujur: dari kamu bersaudara haruslah kamu tinggalkan seorang padaku; kemudian bawalah gandum untuk meredakan lapar seisi rumahmu dan pergilah;

 

Kesimpulan: ----

 

Sub Judul 9 (ditambahin buku komentari)

 

Kejadian  42

42:34 lalu bawalah kepadaku saudaramu yang bungsu itu, maka aku akan tahu, bahwa kamu bukan pengintai, tetapi orang jujur; dan aku akan mengembalikan saudaramu itu kepadamu, dan bolehlah kamu menjalani negeri ini dengan bebas."

Kesimpulan: ----

 

BAB III KeJUJURAN menurut John Calvin

 

BAB IV evaluasi Teologi kejujuran terhadap

doktrin Kejujuran John Calvin

 

BAB V KESIMPULAN

 

 

 

 

Dari urian beberapa kata di atas dapat ditarik kesimpulan teologi sebagai berikut:

Kejujuran selalu berlandaskan kebenaran  (diambil dari kesimpulan Kej. 30:33) = menjadi sub judul

…. (diambil dari kesimpulan Kej. 34:12) = menjadi sub judul

 

…. (diambil dari kesimpulan Kej. 42: 11) = menjadi sub judul

 

…. (diambil dari kesimpulan Kej. 42:19) = menjadi sub judul

 

….  (diambil dari kesimpulan Kej.  42:33) = menjadi sub judul

 

…. (diambil dari kesimpulan Kej. 42: 34) = menjadi sub judul

 

Catatan:

Kalau bagian-bagian di atas hasil kesimpulannya sama langsung digabung dalam satu sub judul, dan jangan dibuat sub judul tersendiri.

Untuk menjadi uraian sub judul yang mendalam dan  tajam maka perlu dukungan footnote dari buku-buku.

Karena materi ini dikerjakan oleh mahasiswa doctoral, maka disarankan yang lebih baik bahwa mengambil buku untuk footnote yang ditulis oleh para doctor, bukan lulusan S-2 apalagi S-1.

Tolong  ikuti penulisan footnote dari Turabian yang sudah disertakan di bagian akhir diktat ini.


 

 

 

Rancang Bangun dalam Paper

 

 

Rancang Bangun Pendidikan  Multikultural

berdasarkan “Berbuat Baik”  menurut Perjanjian  Lama

Oleh: Harianto GP

 

Bab 1 Pendahuluan

 

Kata “berbuat  baik”  berarti  mengerjakan (melakukan) sesuatu:  elok; patut; teratur (apik, rapi, tidak ada celanya),  tidak jahat ( kelakuan, budi pekerti, keturunan, dan sebagainya); jujur;  kebaikan; kebajikan: hati berbudi baik; kepada sesama manusia.[42] Berbuat baik adalah universal di mana semua orang dengan berbagai latar belakang agama, etnik dan lainnya pastilah dengan senang untuk  berbuat baik.  Justru kalau mereka tidak berbuat baik (berbuat jahat) maka akan tercap  sebagai “orang yang melanggar hukum” bahkan ada yang menyebut “terkutuklah” orang yang berbuat jahat. Misalnya “pemboman yang diterjadi di New York, Bali dan dan di Negara-negara dunia, maka semua orang mengatakan “terkutuklah mereka ”. Mereka dikutuk oleh mata dunia. Begitu juga yang dilakukan oleh orang-orang yang membakar tempat-tempat ibadah  maka “terkutuklah mereka”. Semua mata dunia mengutuk mereka tanpa melihat latar belakang etnik maupun religi.

Pastilah semua orang dapat menerima dan senang melihat manusia dapat berbuat baik. Bahkan orang bilang  bahwa berbuat baik berakibat sebagai berikut: (1) Ia disukai orang. (2) Ia dihargai orang. (3) Ia dibutuhkan orang. (4) Ia menjadi contoh hidup orang lain.  Berkaitan hal tersebut, maka hasil penelitian Fakultas Psikologi The University of Michigan, AS, beberapa waktu lalu, menunjukkan bahwa berbuat baik ternyata memperpanjang umur! Seseorang yang melakukan perbuatan baik, hatinya akan tenang. Orang yang hatinya tenang, hormon baik dalam tubuhnya akan berkembang. Terbentuklah tubuh yang sehat. Seperti itulah hubungan sederhananya. Berangkat dari kepuasan batin, kesehatan jasmani seseorang bisa dibentuk. Ini karunia yang tiada tara nilainya dan sepantasnya setiap manusia  menjalankan sebaik-baiknya. Berbuat baik itu bisa dilakukan dengan cara apa saja. Tersenyum, memberi jalan bagi orang yang terburu-buru, atau mengucapkan terima kasih adalah cara berbuat baik yang sederhana. Pasti bisa dilakukan oleh siapa saja. Apa sulitnya menyapa, menyalami dan menerima orang dengan senyum ramah? Apa sulitnya memperlakukan semua orang dengan kasih, kemurahan, dan rasa hormat?[43]

Sebuah penelitian yang dlakukan oleh University of British Columbia menemukan efek dari berbuat baik kepada orang lain  meredakan despresi yang sedang dialaminya.[44] Selanjutnya dikatakan bahwa ketika melakukan perbuatan baik dengan sadar, otaknya terbuka dan terjadi aliran energi semesta ke dirinya. Semua organ tubuh bekerja dengan normal. Bahkan lebih baik. 70 persen dari tubuh terdiri dari air. Menurut penelitian Masaru Emoto, bahwa air memiliki daya rekam tinggi. Saat berbuat baik berarti cairan tubuh manusia  merekam kebajikan. Dan hasilnya pikiran dan tubuh normal dan bahkan optimal kinerjanya. Hal tersebut, didukung oleh peneliti yang juga seorang Jepang, Hiromi Shinya, melakukan penelitian tentang manfaat enzym. Kesimpulannya juga sangat mirip dengan hasil penelitian Masaru Emoto. Pikiran baik dan selalu bersyukur mengakibatkan produksi enzym berjalan dengan baik. Enzym adalah zat berupa cairan yang sangat membantu metabolisme tubuh. Adalah Shigeo Haruyama yang membuktikan keajaiban endorphin. Dalam penelitiannya terbukti bahwa pikiran yang murni baik akan menghasilkan beta endorphin yang memberikan efek bagi peningkatan kesehatan bagi tubuh manusia.[45]

Paper ini bertujuan untuk mencari jawaban sebagai berikut:  Apakah nilai-nilai berbuat baik menurut Alkitab? Bagaimanakah tantangan “berbuat baik” menurut dimensi Teologi Multikultural? Bagaimanakah implementasi pendidikan Teologi Multikultural mengenai berbuat baik ke dalam pelayanan Kristen?

 

 

Bab II NIlai-nilai Berbuat Baik”

 

Pengertian “Berbuat Baik”

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa baik mempunyai beberapa makna sebagai berikut: (1)  elok; patut; teratur (apik, rapi, tidak ada celanya, dsb.). (2) mujur; beruntung (tt nasib); menguntungkan (tt kedudukan dsb). (3) berguna; manjur (tt obat dsb.). (4) tidak jahat (tt kelakuan, budi pekerti, keturunan, dsb); jujur. (5) sembuh; pulih (tt luka, barang yg rusak, dsb.). (6) selamat (tidak kurang suatu apa). (7) selayaknya; sepatutnya. (8) (untuk menyatakan) entah ... entah. (9) ya (untuk menyatakan setuju). (10) kebaikan; kebajikan: hati berbudi baik.[46]

Lebih khusus lagi bahwa  “Kebaikan” (Ibrani tov) menunjuk  kepada sesuatu yang menyenangkan, menggembirakan atau ramah. Sesuatu yang memberi kebahagiaan atau kepuasan yang mendampakkan kepuasan estetika atau moral. Dalam LXX menerjemahkan tov dengan “agathos”, kata Yunani biasa untuk menerangkan gagasan yang baik sebagai kualitas jasmani atau moral, dan kadang-kadang menerjemahkannya dengan kalos (harfiah 'cantik'; jadi baik dalam bahasa Yunani klasik maupun dalam Alkitab, bahwa perbuatan baik disebut tindakan yang “mulia'” “yang terhormat”,“mengagumkan” dan “patut” dipuji”.[47]

 

Perbuatan Baik adalah Proses

            Perbuatan baik adalah proses dan tidak dapat dilakukan sekali dalam umur manusia melainkan terus menerus secara aktif.  Dalam Kejadian 4: 7 berbunyi: “Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik? Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya." Kata “berbuat baik” menggunakan Ibrani     תֵּיטִיב (tetib) berarti  “to be good”. Tetapi yang menarik  יטב  adalah verb hiphil imperfect 2nd person masculine singular, berarti  “berbuat baik” secara terus-terus,  proses  reflektif yang menjadi baik . Jadi “berbuat baik” adalah suatu proses yang dilakukan oleh seseorang untuk menjadi “lebih baik.  Sebaliknya, kalau ia tidak melakukan proses menjadi baik atau berbuat jahat (Ayb. 24:21; Mzm. 14:3; 36:3), maka ia adalah seorang yang berdosa.  Teks di atas menegaskan bahwa seseorang harus memilih berbuat baik dikehendak oleh Tuhan dan berbuat jahat adalah dosa.  Bahkan Allah sendiri berbuat baik (Kel. 1:20; Hak.17:13; 1 Sam. 25:31). Hal itu dilakukan Allah karena  Sesungguhnya, di bumi tidak ada orang yang saleh: yang berbuat baik dan tak pernah berbuat dosa!” (Pkh. 7:20).

Lebih dalam lagi dalam PB dikatakan bahwa: “ Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik” (Gal. 6:9; Tit. 6: 18; Yak. 4:17), Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman (Gal. 6:10), dan dalam Ibrani 13:16  dikatakan: “janganlah kamu lupa berbuat baik dan memberi bantuan, sebab korban-korban yang demikianlah yang berkenan kepada Allah”.

 

Unsur Berbuat Baik

  Unsur  berbuat baik  adalah “berkenan di hadapan Tuhan”.  Kata “berkenan” menunjuk kepada nilai yang dikandung oleh sesuatu. Misalnya adalah “berguna”, seperti garam (Mat. 5:13; Luk. 14:34), “bermutu tinggi” seperti emas (Kej. 2:12), “ternak” (Kej. 41:26), “produktif” seperti pohon (Mat. 7:17), “tanah” (Luk. 8:8). Tapi pengertian Alkitab tentang kebaikan moral dan spiritual adalah benar-benar teologis, dan sangat bertentangan dengan pandangan yang berpusat kepada manusia (antroposentris) tentang kebaikan yang dikembangkan oleh orang Yunani dan para ahli pikir tradisi mereka yang kemudian. Pengertian Alkitab dapat diuraikan sebagai berikut: (1) Allah adalah baik, karena secara moral  adalah Dia adalah sempurna dan maha agung dalam kemurahan hati. Pengakuan bahwa Allah baik, adalah alas dasar dari semua pemikiran alkitabiah tentang kebaikan moral. Kata “Baik” dalam Alkitab bukanlah kualitas abstrak, juga bukan cita-cita manusia sekuler; “baik” pertama-tama dan terutama berarti apa Allah itu (“Ia adalah baik”, Mzm. 100:5). (2) Perbuatan-perbuatan Allah adalah baik, karena perbuatan-perbuatan-Nya itu menyatakan sifat-sifat kebijaksanaan dan kuasa-Nya (Mzm. 104:24-31), dan adalah berkenan kepada Dia sendiri. Ketika perbuatan penciptaan selesai, “Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik” -- wetob (Kej. 1:31; bdk. ay. 4, 10, 12, 18, 21, 25). (3) Pemberian-pemberian Allah adalah baik, karena pemberian-pemberian itu mengungkapkan kemurahan hati-Nya, dan diuntukkan bagi kesejahteraan dan keselamatan si penerima. Kata seperti “Bermanfaat”, “berguna”, “menguntungkan” adalah beberapa di antara pengertian sekuler tentang “baik” sebagai kata sifat, sedangkan “kemakmuran” dan  “kesejahteraan” adalah kata bendanya. Alkitab menggabungkan keduanya dalam teologinya dengan mengajarkan, bahwa bukan saja segala pemberian Allah adalah baik dalam tujuan maupun dampak-dampaknya, tetapi juga bahwa segala yang baik pada hakikatnya adalah pemberian Allah (Yak. 1:17; Mzm. 4:6). (5) Ketaatan kepada perintah-perintah Allah adalah baik, karena Allah berkenan dan menerima hal itu (1Tim. 2:3), dan mereka yang melakukan ketaatan itu akan memperoleh keuntungan daripadanya (Tit. 3:8).[48]

 

Akibat Berbuat Baik

“Berbuat baik” bukan hanya perintah dari Tuhan tetapi bila seseorang berbuat baik, maka ia akan berakibat sebagai berikut: diberkati Tuhan (Kej. 26:29),  menjadikan keturunanmu sebagai pasir di laut, yang karena banyaknya tidak dapat dihitung (Kej. 32: 12), Tuhan berbuat baik kepada hidup kita (Bil. 10:29). Tuhan bergirang (Ul. 28:63; Yer. 32:41), anak-anakmu akan duduk di atas takhta Israel sampai keturunan yang keempat (2Raj. 10:30), menjadi tenang (Mzm. 116:7), orang benar mengelilingnya (Mzm. 142:7), Aku mau menyanyi untuk TUHAN (Mzm. 13:6), memuji nama-Mu (Mzm. 142:7), berbuat baik kepada dirinya sendiri (Ams. 11:17), dan ia takut akan Tuhan (Yer. 32:40).

Berbuat baik bukan karena disuap tetapi memang wajib melakukannya (Bil. 24:13) kerannya bahwa Allah mengajarkan dan memberi contoh seseorang untuk untuk berbuat baik (Ul. 8:16). Kalau seseorang  berbuat baik maka berakibat bahwa orang lain juga berbuat baik kepadanya (Ul.30:5).

 

Bab III Tantangan “berbuat Baik”

dalam Dimensi  Teologi Multikultural

 

Tantangan “Berbuat Baik” dalam Teosentris

Pernyataan umum Allah hadir untuk semua orang. Pernyataan umum adalah tindakan  Allah menyatakan diri-Nya melalui alam semesta, sejarah, dan hati nurani manusia. Allah adalah  sesuatu yang disembah oleh manusia. Allah telah menyatakan diri-Nya kepada manusia secara lengkap. Hal itu bisa dilihat dari nama-nama yang Allah miliki.  Nama Allah selalu digunakan secara bersetaraan dengan kesempurnaan misalnya setia (Yes. 49:9), kasih karunia (Mzm. 23:3), kemuliaan (Mzm. 79:9). Nama-nama Allah mempunyai informasi yang berotoritas mengenai sifat-sifat, pikiran atau rancangan Allah.

Sementara natur manusia adalah mereka yang sedang menikmati hidup sehari-hari, bekerja,  berolahraga,  berlibur, bersekolah, dan sebagainya. Di sini bahwa natur manusia dalam Kejadian 1:26-27, dijelaskan bahwa manusia diciptakan menurut “gambar” dan ”rupa” Allah. Kata “gambar” dan “rupa” tidak menunjukkan dua hal yang berbeda, tetapi mengandung kesamaan. Kesamaan ini menekankan akan kesamaan ilahi  -- bukan kesamaan secara fisik -- antara Allah dengan ciptaan-Nya, yaitu: manusia.  Tapi, karena manusia jatuh dalam dosa, maka kesamaan illahi ini rusak.[49]

Berkaitan hal di atas, maka tantangan “berbuat baik” dalam Teosentris (umum) adalah mandat budaya (diberikan Allah kepada semua manusia – penatalayanan bersama dan tanggung jawab bersama), Natur Manusia (manusia sebagai dengan rupa Allah – Imago Dei dan Similitude Dei), Kedaulatan Allah (manusia merupakan bagian dari kehendaknya guna mencapai tujuan yang kekal), Providensia Allah (setiap manusia mempunyai hak untuk hidup sebagaimana yang telah disediakan oleh Allah), keadilan Allah (sebagai hakim Allah meminta pertanggungjawaban apa yang telah dilakukan oleh manusia. Allah menghendaki manusia berlaku adil terhadap siapa saja sesuai apa yang menjadi haknya), kekudusan Allah (setiap orang percaya memiliki tanggung jawab untuk mempresentasikan kekudusan Allah di tengah-tengah orang lain yang beda suku dan agamanya).[50]

Allah adalah segala-galanya. Dengan mengenal Allah semakin hari semakin dalam berarti manusia sudah mengenal din sendiri. Karena segala sesuatu itu berasal dan ada dalam Allah.Ia ada di dalam-Nya. Segala kehidupan ada di dalam dan dari Allah, entah itu merupakan bentuk kehidupan yang terendah yang tidak disadari atau kehidupan tertinggi yang sangat pintar dan sadar akan dirinya sendiri.

Dan apa yang perlu manusia ketahui tentang Allah? Tak lain adalah sifat keilahian-Nya, keberadaan-Nya, kekekalan-Nya, ketidakterbatasan-Nya, ketidakberubahan-Nya, kemahatahuan-Nya, hikmat-Nya, kemahakuasaan-Nya, kemahatinggian-Nya, kesetiaan-Nya, kebaikan-Nya, keadilan-Nya, belas kasih-Nya, kasih karuniah-Nya, kekudusan-Nya, kedaulatan-Nya, dan masih banyak lagi. Tetapi, karena kesempurnaan Allah, maka manusia yang berdosa tidak bisa melihat dan mengenal Allah secara sempurna pula. Bahkan bagi orang yang tidak percaya kepada-Nya, susah untuk bisa melihat kepribadian Allah. Di sini, Allah berharap bahwa semua manusia di bumi ini percaya kepada-Nya tetapi mereka menolak. Karena itu, kunci mengenal pribadi-Nya, pada orang yang percaya kepada-Nya. Dengan cara apa orang yang percaya kepada-Nya lihat pribadi Allah? Tak lain, dengan iman dan kasih kita bisa melihat Dia secara sepintas.[51]

Jadi tantangan “berbuat baik” dilakukan seseorang (manusia) dengan manusia lainnya tanpa melihat latar belakang agama atau etnis, ekonomi, social dan lainnya. Semua manusia mempunyai kedudukan sama adalah manusia ciptaan Allah dan mereka, satu dengan yang lain, mempunyai hak untuk saling berbuat baik, saling tolong menolong dan saling bergandengan hidup  bersama di muka bumi.

 

Tantangan “Berbuat Baik” dalam Kristosentris

Pernyataan khusus Allah adalah untuk orang yang percaya Alkitab sebagai Firman Allah.  Pernyataan khusus adalah wahyu yang diberikan Allah melalui karya penebusan Yesus Kristus dalam sejarah, dan wahyu ini hanya terdapat di dalam Alkitab.  Misalnya: seseorang selamat karena percaya kepada Yesus, mendapatkan Roh Kudus tiap-tiap hari, Roh Kudus tinggal di dalam kita, mendapat kerajaan Allah, janji pengampunan, janji berkat, dan sebagainya.

Dalam konteks penyataan khusus Allah (dalam kehidupan orang percaya), maka tantangan  orang percaya “berbuat baik” terhadap sesamanya wajib dilakukan. Tantangan ”berbuat baik”  dalam Kristosentris (kekristenan) adalah  inkarnasi (Allah menjadi manusia menujukan solidaritas dan identifikasi diri), universalitas Soteriologi (Yesus sebagai Juruselamat bagi semua orang yang menerima Dia sebagai juruselmatnya), Teokrasi-Presentis  menunjuk pada masa kini (Kristus memerintah berdasarkan berkuasa mengatur ciptan-Nya), universalitas Karya Roh Kudus (Roh Kudus melakukan segala sesuai sesuai dengan perintah Kritus), naturalitas gereja (Gereja sebagai tubuh Kristus adalah gereja harus kreatif melayani di tengah dunia) dan multikultural kekekalan (Gereja akan terus berlanjut hingga kekekalan).[52]

 

Prinsip Inkarnasi

Titik ini ”berbuat baik” antara orang percaya dimulai dari inkarnasi Yesus ke bumi. Hal tersebut dimulai setelah manusia pertama Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, menyebabkan semua keturunannya berdosa. Semua manusia tidak ada yang benar, seorang pun tidak (Rm. 3:10). Semua manusia telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah (Rm. 3:23). Dan sebagai upahnya adalah maut (Rm. 6:23). Karena manusia telah berdosa, maka hubungan antara Allah dan manusia menjadi terputus, manusia tidak dapat sampai kepada Allah. Segala yang dilakukan manusia untuk mencapai keselamatan adalah sia-sia, entah itu dengan melakukan perbuatan baik atau amal, sebab segala perbuatan baik manusia hanyalah merupakan kain kotor saja di hadapan Tuhan (Yes. 64:6).

Setelah semua cara yang sebelumnya dipakai untuk mendapatkan keselamatan sia-sia, akhirnya sang Juruselamat sendiri yang datang. Tuhan mengetahui bahwa manusia tidak mungkin dapat memperoleh keselamatan hanya dengan usahanya sendiri, karena manusia tidak ada yang sempurna.

 

Prinsip Keselamatan

Perbuatan baik Allah dinyatakan melalui kasih Allah dengan cara adalah dinyatakan melalui Anak-Nya supaya manusia hidup (1Yoh. 4:9), tetapi Allah menujukkan kasih-Nya kepada manusia melalui kematian  Kristrus di kayu salib  ketika kita masih berdosa (Rm. 5:8). Ini disebabkan karena begitu besar kasih Allah kepada manusia meski manusia hidupnya selalu memberontak Allah (Yoh. 3:16). Bahkan dasar Allah menyelamatkan manusia adalah kasih. Mazmur 33: 5b mengatakan bahwa sifat kasih Allah adalah setia, tidak meninggalkan orang yang dikasihi. Ia masih tetap mengasihi manusia meskipun kita sering tidak mengasihi Allah. 

Kasih adalah anugerah (pemberian) Allah kepada manusia. Dikatakan satu anugerah, karena manusia  tidak membayar kembali kasih Allah tersebut (Yoh. 3:16). Persoalannya: bagaimana manusia meresponi kasih Allah? Manusia harus menuruti perintah-perintah-Nya. Wujudnya kasih harus diwujudkan dalam perbuatan manusia sehari-hari. Tetapi, manusia sering mengalami  hambatan bahwa manusia tidak bisa mengasihi musuh-musuhnya sedangkan Allah bisa mengasihi manusia yang pemberontak Dia. Implikasi kasih bagi manusia adalah manusia mesti hidup ”berbuat baik” kepada Tuhan dan sesamanya.

            Apa yang diberikan Yesus kepada manusia, yaitu keselamatan dapat diperoleh manusia melalui jalan anugerah. Melalui Roh Kudus, Allah menarik dan mengajak orang kepada Yesus Kristus dan pertobatan. Kemudian Allah membawa orang itu kepada pilihan untuk memutuskan kehendaknya, apakah ia mau bertobat dan menyambut Tuhan Yesus sebagai Juruselamatnya. Demikian pula pilihan terakhir harus dari kehendak manusia. Allah menghendaki agar semua orang tidak binasa (2 Ptr. 3:9).

 

Prinsip Roh Kudus

            Dalam konteks ini bahwa Roh Kudus mempunyai peran menggantikan Yesus Kristus sesudah Yesus bangkit ke surga. Mengapa Tuhan Yesus harus pergi (Yoh. 16:7-11)? Selama Tuhan Yesus masih ada di dunia, Roh Kudus belum bisa datang. Roh Kudus sebagai pengganti Tuhan Yesus datang sebagai penolong dan akan mendampingi kita selama-lamanya. Roh Kudus hadir ke dalam diri orang percaya, bukan hadir ke dalam diri orang tidak percaya.

Roh Kudus sebagai dinamika dalam pekerjaan misi. Roh Kudus disebut lebih dari 250 kali dalam Perjanjian Baru.[53]  Roh Kudus dalam bahasa Yunani “parakletos”  berarti “sebagai penghibur”. Dalam bentuk pasif artinya “seorang yang dipanggil ke samping” untuk menolong. Bentuk kata dasar dari kata “parakalein” dan “parakletoi”. “Parakalein” digunakan khususnya untuk mendorong orang-orang, memberikan semangat agar mereka menghasilkan perbuatan-perbuatan yang benar dan pikiran-pikiran yang mulia. Kata “parakalein” digunakan dalam kaitannya dengan pertempuran. “Parakletoi” atau pendorong-pendorong adalah veteran-veteran yang mendorong para serdadu  sebelum dan selama pertemuan.[54]

“Parakletos” mempunyai latar belakang Septuaginta yang menyatakan sejenis  ketenangan dan penghiburan dalam penderitaan yang menjaga seseorang untuk tetap berdiri di atas kakinya, yang kalau orang tersebut dibiarkan, ia akan  jatuh. Ketenangan inilah yang memungkinkan seorang untuk melewati saat kritis dan tidak jatuh.[55]

“Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu” (Yoh 14: 26).

 

“Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi” ((Kis 1:8).

 

Dengan demikian, maka fungsi Roh Kudus adalah: (1)  bukan hanya menginsyafkan, tetapi juga menggerakkan manusia untuk melakukan sesuatu dan membawa manusia kepada Kristus. Roh Kudus menginsyafkan akan dosa secara terus menerus. Dosa di sini berarti mempunyai “penyakit” dan tidak mengurus “penyakitnya”, tidak berusaha untuk sembuh dari “penyakitnya”. Misal: mencuri, berjinah, iri hati, memfitnah, dan lainnya. Berarti dosa tetap tinggal di dalam perbuatan yang tidak berkenan kepada Allah. Roh Kudus menginsyafkan manusia akan dosanya sehingga dia menjadi manusia baru. (2) Roh Kudus menginsyafkan akan kebenaran bahwa Yesus pergi kepada Bapa dan manusia tidak melihat-Nya lagi.  Pada saatnya Yesus datang keduakalinya untuk menghakim manusia di bumi. (3) Roh Kudus menginsyafkan  akan menghakiman  karena penguasa dunia (Iblis) telah dihukun, berarti kuasanya terbatas. Sehingga Iblis tidak bisa (tidak berhak) menunduh anak-anak Tuhan karena telah diselamatkan oleh salib Kristus. Iblis tidak bisa menghalangi, meniadakan, menghancurkan pemberitaan Injil. Anak-anak Allah menang atas usaha Iblis. Iblis diberi kesempatan untuk berbuat jahat kepada manusia tetapi manusia diberi kuasa untuk melawannya, sehingga kejahatan Iblis berubah menjadi berkat bagi anak-anak Allah.

Jadi pekerjaan “berbuat baik” yang dilakukan oleh orang percaya mendapat dukungan dari Roh Kudus hingga pekerjaan tersebut menjadi sukses. Roh Kudus membimbing orang percaya untuk mampu berbuat baik, berbuat baik dan selalu berbuta baik.

 

Prinsip Naturalitas Gereja

Pekerjaan Missio Dei, Missio Christi dan Roh Kudus diembankan kepada gereja Tuhan.  Gereja Tuhan itu adalah Kerajaan Allah dimana  Tuhan sendiri memulai pelayanannya  memberitakan Kerajaan Allah. Markus mengatakan: “Waktunya telah genap, Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” (Mrk 1:14-15).  Berita mengenai kerajaan itu terus menjadi berita utama dalam pelayanan-Nya; dan seperti  yang diberitahukan Lukas kepada kita, bahwa sesudah bangkit, Dia terus  berbicara kepada para rasul “tentang Kerajaan Allah”. Jadi, berita Kerajaan Allah itu merupakan satu fokus, dan bahkan sesuatu hal yang penting, penekanan dari pelayanan Kristus ketika memberikan  pengajaran.[56]

Kata “Gereja” berasal dari bahasa Portugis “Igreja”, yang berarti sama dengan Eklesia (bahasa Yunani), artinya: “dipanggil keluar” menjadi milik Tuhan Yesus. Kata “Eklesia” menekankan pada 3 hal: sidang (himpunan orang banyak), jemaat (bahasa Arab berarti: himpunan, rombongan atau pertemuan orang-orang), dan gedung gereja.

Gereja mempunyai tiga arti sebagai berikut: (1) orang-orang yang dipanggil keluar dan dipersatukan menjadi anggota “Tubuh Kristus” (Ef. 2:13,19; 4:15-16); (2) gedung atau tempat kebaktian (beribadah) dari bahasa Yunani “Kurakion”, berarti: rumah Tuhan (bahasa Belanda “Kerk”), dan (3) denominasi (aliran sesuatu gereja yang terdiri dari beberapa jemaat).  Dalam PL: Bahasa Ibrani qahal (77 kali dalam PL), yang disalin menjadi ekklesia, artinya  “orang-orang Kudus”.   Qahal  dipakai dalam kaitan dengan suatu perkumpulan atau pertemuan tertentu di suatu tempat, sebagai suatu kumpulan jasmani dan tidak pernah digunakan untuk menyampaikan bahasan mengenai gabungan mistik para orang kudus sebagai kumpulan rohani dari orang-orang yang terpisah secara geografis.[57] Dalam PB: Ekklesia; jemaat; perkumpulan orang-orang kudus; orang-orang Kristen.

Memang konsep  tentang Kerajaan Allah hampir-hampir tidak jelas dalam pelayanan 12 murid. Dalam khotbah-khotbah yang dicatat Alkitab, Petrus tidak memakai konsep itu, tetapi Surat-surat II Petrus 1:1 adalah  satu-satunya penyebutan konsep mengenai “Kerajaan kekal, yaitu Kerajaan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus”. Mirip dengan hal itu, Yakobus hanya menulis sekali mengenai “Kerajaan yang telah dijanjikan-Nya kepada barangsiapa yang mengasihi Dia” (Yak. 2:5). Konsep itu tidak ditemukan dalam ketiga surat Yohanes, dan hanya dikemukakan dalam Injilnya saat dia secara langsung mengutip Sang Guru (Yoh. 3:3,5; 18:36).

 Paulus yang mengembangkan “Kerajaan Allah” dan ia memberitakan mengenai Kerajaan Allah (Kis. 14:22; 19:8; 28:23;31). Dalam surat-suratnya dia menguraikan, bahwa kini kenyataan rohani dari kerajaan itu bukan soal makanan dan minuman, melainkan “soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus” (Rm. 14:17). Sifat moralnya, aspek-aspek keduniawian lainnya mengenai nilai-nilai, alam, tujuan, dan realisasinya dinyatakan tegas dalam 1 Korintus 6: 9-10; 15:50; Galatia 5:21; Efesus 5:5; dan II Timotius 4:18. Di sini, bahwa: pertama, kerajaan itu akan segera dinyatakan. Kedua, kerajaan itu mempunyai ciri yang rumit yang sulit didefinisikan. Ketiga, muncul ciri khas dari kerajaan itu sepanjang zaman yang berlaku universal dan bersifat kualitatif – satu fakta yang makin menyulitkan dilakukan pembedaan-pembedaan secara tajam.[58]

Jadi gereja berfungsi sebagai pemberita orang percaya untuk berbuat baik. Hamba-hamba Tuhan bukan saja menyampaikan khotbah, mengajar dan sharing  mengenai berbuat baik, tetapi juga menjadi teladan berbuat baik. Dengan demikian jemaat mendapat gambar kehidupan berbuat baik. Tentu saja perlahan-lahan jemaat menjadi hidup berbuat baik kepada manusia siapa saja. Jadi ”berbuat baik” merupakan model teladan bagi kehidupan manusia.

 

Tantangan “Berbuat Baik” dari Teosentris ke Kristosentris”

“Berbuat baik” mempunyai nilai yang universal di mana setiap manusia ingin melakukannya dengan sebaik-baiknya dalam hidupnya. Allah  mengajarkan untuk berbuat baik. Dari “berbuat baik” setiap orang akan dapat dengan bebas berbicara  bahkan bekerja sama dalam lingkup Teosentris.  Dari teosentris tersebut maka tidaklah sulit memasuki konsep  Kristosentris di mana seseorang dapat diajak sharing mengenai Injil yang  menawarkan keselamatan kekal melalui Yesus Kristus.

 

BAB IV.  Implementasi Pendidikan 

“Berbuat Baik” ke dalam Pelayanan Kristen

 

Bahan Pengajaran “Berbuat Baik”

“Berbuat baik” menjadi bahan pengajaran yang mesti diterapkan dalam kehidupan manusia (bukan saja orang Kristen tetapi non-Kristen juga). Berbuat baik adalah bahan pengajaran yang universal. Karena itu, jal tersebut sangatlah efektif bila digunakan sebagai alat komunikasi baik dalam sharing maupun tingkat yang lebih akrab lagi adalah dalam bekerja sama di tengah masyarakat majemuk.

            Berkaitan hal di atas, maka Alkitab menjabarkan sebagai berikut: Engkau baik dan berbuat baik; ajarkanlah ketetapan-ketetapan-Mu kepadaku (Mzm. 119: 68), “belajarlah berbuat baik (Yes. 1:17), karena mereka tidak tahu berbuat baik (Yer. 4:22), ketentuan Tuhan (Yer. 36:11; Zkh. 8:15). Selanjutnya dalam PB juga ditajamkan bahwa “jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu” (Tit. 2:7). Jadi “berbuat bait” dapat menjadi bahan mengajar yang mengerucut kepada keteladan hidup seseorang. Tentu saja semua itu harus dimulai dalam dirinya sendiri baru dapat diekspresikan ke luar. Bagaimanakah seseorang ingin menjadi teladan berbuat baik di tengah masyarakatnya tetapi ia sendiri tidak dapat menghargai berbuat baik dalam dirinya sendiri? Bukankah “berbuat baik” selalu dimulai dari dalam dirinya sendiri baru keluar?

 

Teologi Berbuat Baik dalam Kerangka Teokrasi Ke Kristosentris

Teologi “berbuat baik” dalam kerangka epistemology Teokrasi ke Kristosentris yang menjadi wilayah doktrinal. Berbicara doktrinal berarti tidak lepas dengan pertumbuhan iman Kristen dan tugas missioner yang diberikan Allah kepada umat-Nya. Sebagai iman selalu berpusat kepada Yesus dan sebagai missioner berupaya memenangkan jiwa-jiwa yang tersesat (hilang).

Karena sifatnya doktrinal maka diupayakan bahwa konsep-konsep “berbuat baik” itu didialogkan sebagai sapaan konsep di tingkat kemajemukan agama-agama. Dialog tersebut adalah sharing mengenai berbuat baik. Bagi  orang Kristen berbuat baik adalah ajaran  Alkitab itu sendiri.  Rom 2:12: “Semua orang yang berdosa tanpa hukum taurat akan binasa tanpa hukum taurat; dan semua orang yang berdosa di bawah hukum Taurat akan dihakimi oleh hukum taurat.” Dalam Yoh 18: 37 dikatakan bahwa Yesus datang  ke dalam dunia ini supaya Dia bersaksi tentang kebenaran berbuat baik.

Perbuatan baik Allah  adalah kebenaran yang dilandaskan keselamatan manusia, dan  hanya melalui Yesus Kristus – manusia percaya kepada-Nya sebagai Juru Selamat – maka manusia itu hidup dalam kebenaran yang sesungguhnya.  Apa yang dikatakan Alkitab itulah kebenaran Allah, sebab perbuatan baik  itu adalah Allah itu sendiri, dan perbuatan baik itu adalah ketaatan.

Begitu juga Yesus adalah perbuatan baik  itu sendiri karena Yesus itu adalah Allah sendiri. Jadi, kalau Allah  mendemotrasikan perbuatan baik-Nya kepada manusia melalui Yesus  berarti Allah itu juga memberikan perbuatan baik  itu dalam Yesus.  Perbuatan baik  Yesus adalah Dia datang menjadi saksi kebenaran Allah. Yoh 1:18: “Tidak seorang pun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya.” Di sini, Yesus tidak hanya dikomunikasikan Firman Allah secara langsung, tetapi  Dia adalah Firman Allah itu sendiri. Dia adalah iman orang Kristen.

Jadi, dialog “perbuatan baik” akhirnya menjadi tidak kompromis. Ketika dialog selesai maka kelanjutannya adalah patner dialog itu akan “menerima” atau “menolak”. “Menerima” berarti Yesus Kristus menjadi Juru Selamatnya dan ia mendapat jaminan hidup kekal, tetapi bila ia “menolak” berarti  seseorang sudah mendengar kesaksian keselamatan melalui Kristus.

 

Teologi Berbuat Baik yang Holistik

Teologi Berbuat Baik yang holistik menjadi wilayah etika.  Perbuatan baik adalah apa yang diajarkan Yesus bahwa orang percaya harus hidup di tengah masyarakat, berkomunikasi dengan masyarakat, bahkan menolong atau membagi kasih Allah kepada siapa saja. Di sini, orang Kristen berbuat baik kepada semua orang dan apa pun agamanya. Yesus mengajarkan  kita agar kita berbuat baik  kepada sesama manusia. Orang percaya  berbuat baik kepada  orang-orang agama lain Kasih yang diberikan Allah kepada orang percaya dalam Kristus memanggilnya menerima tetangganya dan  mengajak mengenal  “berbuat baik” Allah yang luar biasa. 

Proses pengenalan perbuatan baik  bukan berarti seseorang harus berpakaian sama seperti orang Kristen, merubah nama menjadi ciri nama orang Kristen, atau mengikuti irama  keagamaan orang Kristen. Karena perubahan bukan berarti memanipulasi pemikiran manusia menjadi evagelism misalnya.  Evangelism adalah cara hidup dan pemberitaan Firman, tetapi perubahan[59] adalah cara respon terhadap Firman Allah dalam pribadinya yang membuat seseorang itu mempunyai pendirian (sikap) yang nyata bersekutu yang benar dengan Allah.

 Jadi, ”perbuatan baik”  bisa kompromis selama etika yang dirumuskan bersama -- antara umat beragama – sesuai dengan kebenaran Alkitabiah. “Perbuatan baik ” ini membuat orang Kristen mau bekerja sama dengan siapa saja dan tidak melihat agama apa saja untuk melakukan hal-hal yang baik – menolong orang miskin, menjadi warga negara yang baik, membangun moral negara, ikut berperang bila negara memintanya, menjaga keamanan lingkungan, menjaga kebersihan lingkungan dan sebagainya. Dalam “berbuat baik”, orang Kristen hanya mempunyai tugas melakukan nilai-nilai kebenaran Allah  dengan sebenar-benarnya dan nilai-nilai “perbuatan baik” seteladan-teladannya seperti apa yang telah dilakukan Yesus sebagai teladan hidup baik dalam  doktrin maupun etika.  Berkaitan hal tersebut, Lumintang mengatakan bahwa “berbuat baik”  (kebenaran Allah) yang benar adalah bersumber dari Allah melalui penyataan umum.  Kebenaran tersebut bukanlah kebenaran yang membawa manusia mengenal Allah dan bukanlah kebenaran yang menyelamatkan, melainkan kebenaran yang menolong manusia untuk hidup bijaksana dan bermoral.[60]

 

Perbuatan Baik  adalah Misi Amanat Agung

Meskipun orang Kristen mau bekerja sama dengan siapa saja tidak memandang agama apa saja tetapi ia tetap hidup dalam kerangka misi Amanat Agung --  dalam PL Allah mengharapkan bangsa Israel menjadi teladan ketaatan Allah sehingga bangsa-bangsa lain datang kepada-Nya (Mzm. 96: 2-3,10; 67: 2-5) sedangkan dalam PB orang Kristen sebagai saksi  Allah dan pemberita Injil ke seluruh dunia (Mat. 28: 18-20; Mrk. 16: 15-18; Luk. 24: 46-49; Kis. 1:7-9; Yoh. 20: 11-23; Kis. 1:8).

 

 

Bab V Kesimpulan

 

            Perbuatan Baik adalah perintah yang diberikah oleh Tuhan kepada umat-Nya. Kalau manusia itu mau dikatakan baik maka ia wajib berbuat baik. Karena perbuatan baik mempunyai sifat yang universal di mana agama apapun dan kepercayaan apapun pasti mengajarkan pengikutnya untuk berbuat baik.  Karena sifatnya yang universal, maka “perbuatan baik” sangatlah tepat digunakan dalam rancang bangun teologi multikultural. 

            Teologi Multikultural mengenai “berbuat baik” menjadi implementasi yang sangat berpengaruh untuk mengiring seseorang memasuki konsep Teokrasi yang kemudian ditajamkan ke Kristosentris. Di sini nilai Amanat Agung Yesus Kristus  untuk memenangkan orang menjadi nyata dan dapat dilaksanakan dengan baik. Tetapi, tentu saja, pekerjaan Roh Kudus dalam diri orang percaya sangat menentukan keberhasilan misi Amanat Agung tersebut.


 

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………….. ii

Bab 1 Pendahuluan      ……………………………………………………….. 1

 

Bab II NIlai-nilai Berbuat Baik”    ……………………………………….. 4

 

Pengertian “Berbuat Baik”     ……………………………………………….. 4

Perbuatan Baik adalah Proses ………………………………………………   5

Unsur-unsur Berbuat Baik …………………………………………………    6

Akibat Berbuat Baik ………………………………………………………….7

 

Bab III Tantangan “berbuat Baik”

             dalam Dimensi  Teologi Multikultural        ……………..… 8

 

Tantangan “Berbuat Baik” dalam Teosentris ………………….…………….8

Tantangan “Berbuat Baik” dalam Kristosentris ……………….……………10

Tantangan “Berbuat Baik” dari Teosentris ke Kristosentris” ……………… 17

 

BAB IV.  Implementasi Pendidikan 

             “Berbuat Baik” ke dalam Pelayanan Kristen         ……….20

 

Bahan Pengajaran “Berbuat Baik”     ………..…………………………….. 20

Teologi Berbuat Baik yang Holistik  ……………………………………… 21

Perbuatan Baik  adalah Misi Amanat Agung ……………………………… 23

 

Bab V Kesimpulan          ……………………………………………………...  24                       

-

             


 

Lampiran

 

ABBREVIATIONS AND SYMNOLS:

Barbara Friberg, Timothy Friberg, Kurt Aland, Carlo M. Martini, Bruce M. Metzger, and Allen Wikgren (eds), Analytical Greek New Testament (Grand Rapids: Baker Book House, t.th).

 

NOUN

 

N (noun; kata benda):

P (pronoun; kata ganti):

N (nominative; kasus nominatif; berfungsi sebagai kata benda; subyek). Analysis:    sebuah kata; a word

 

G (genitive; kasus; bisa berfungsi kata benda atau kata sifat; yang dinyatakan sebagai suatu kepunyaan; dipkai menyatakan “perpisahan dari”. Contoh:+ genetif yang berarti “dari” / “pergi dari sebelah”;  +genetive yang berarti “dari”/ “keluar dari”). Analysis:  (dari/milik sebuah kata; kepunyaan); of a word

 

D (dative; bisa kata benda bisa kata sifat; pelengkap penyerta, yaitu orang yang kepadanya atau baginya dilakukan sesuatu. Contoh: “ke” / “kepada”; dipkai untuk menyatakan tempat (lokatif), yaitu keadaan sesuatu tidak bergerak. Contoh: = datif artinya  “di”/ “di dalam”; menyatakan “alat” (instrument) yang dipakai untuk melakukan sesuatu). Analysis:  (pada atau bagi sebuah kata); to or for a word

 

A (accusative; pelengkap penderita; kasus keempat; obyek; juga dipakai untuk menyatakan gerekan/ ke arah sesuatu. Contoh:  +akusatif yang berarti “kepada” atau “ke arah”;  + akusatif yang berarti “kepada” atau “ke dalam”). Analysis:  (sebuah kata; obyek); a word

 

V (vocative; kata benda; bentuknya penyeru yang dipakai kepada benda atau kepada orang: O, Tuhan, engkau menyelamatkanku!). Analysis:  (o kata; kata seru); o word 

 

 

M (masculine; )

F (feminine; )

N (neuter; )

 

X (first person; )

Y (second person)

Z (third person; )

 

S (singular; )

P (plural; )

 

VERB

 

V (verb)

 

I (indicative; )

S (subjunctive; )

O (optative; )

M (imperative; )

N (infinitive; )

P (pasticiple; )

R (participle [imperative sense];  )

 

P (present; )

I (imperfect; )

F (future; )

A (aorist; )

R (perfect; )

L (pluperfect; )

 

A (active; )

M (middle; )

P (passive; )

E (either middle or passive; )

D (middle deponent; )

O (passive deponent; )

N (middle or passive deponent; )

 

N (nominative)

G (genitive)

D (dative)

A (accusative)

V (vocative)

 

M (masculine)

F (feminine)

N (neuter)

 

X (first person)

Y (second person)

Z (third person)

 

S (singular)

P (plural)

 

 

ADJECTIVE

 

A (adjective)

 

P (pronominal)

B (adverb)

 

C (cardinal; )

O (ordinal; )

R (relative; )

I (indefinite; )

T (interrogative; )

D (demonstrative; )

M (comparative;  )

S (superlative; )

 

 

N (nominative)

G (genitive)

D (dative)

A (accusative)

V (vocative)

 

M (masculine)

F (feminine)

N (neuter)

 

X (first person)

Y (second person)

 

S (singular)

P (plural)

 

DETERMINER (definite article)

 

D (determiner; definite article)

 

N (nominative)

G (genitive)

D (dative)

A (accusative)

V (vocative)

 

 

M (masculine)

F (feminine)

N (neuter)

 

S (singular)

P (plural)

 

 

PREPOSITION

 

P (preposition)

 

G (genitive)

D (dative)

A (accusative)

 

 

CONJUNCTION

 

C (conjunction)

 

S (subordinating)

C (coordinating)

H (superordinating; hyperordinating)

 

PARTICLE

 

Q (particle)

 

S (sentential)

T (interrogative)

V (verbal)


 

 

A Manual for Writers of Research Papers, Theses,  and Dissertations Turabian Quick Guide

KATE L. TURABIAN

A Manual for Writers

of Research Papers, Theses, and Dissertations

Turabian Quick Guide

Kate L. Turabian’s Manual for Writers of Research Papers, Theses, and Dissertationspresents two basic documentation systems: notes-bibliography style (or simply bibliography style) and author-date style (sometimes called reference list style). These styles are essentially the same as those presented in The Chicago Manual of Style, sixteenth edition, with slight modifications for the needs of student writers.

Bibliography style is used widely in literature, history, and the arts. This style presents bibliographic information in footnotes or endnotes and, usually, a bibliography.

The more concise author-date style has long been used in the physical, natural, and social sciences. In this system, sources are briefly cited in parentheses in the text by author’s last name and date of publication. The parenthetical citations are amplified in a list of references, where full bibliographic information is provided.

Aside from the use of notes versus parenthetical references in the text, the two systems share a similar style. Click on the tabs below to see some common examples of materials cited in each style. For a more detailed description of the styles and numerous specific examples, see chapters 16 and 17 of the 8th edition of Turabian for bibliography style and chapters 18 and 19 for author-date style. If you are uncertain which style to use in a paper, consult your instructor.

notes-bibliography style: sample citations

The following examples illustrate citations using notes-bibliography style. Examples of notes are followed by shortened versions of citations to the same source. For more details and many more examples, see chapters 16 and 17 of Turabian. For examples of the same citations using the author-date system, click on the Author-Date tab above.

Book

One author

1. Malcolm Gladwell, The Tipping Point: How Little Things Can Make a Big Difference (Boston: Little, Brown, 2000), 64–65.

2. Gladwell, Tipping Point, 71.

Gladwell, Malcolm. The Tipping Point: How Little Things Can Make a Big Difference. Boston: Little, Brown, 2000.

Two or more authors

1. Peter Morey and Amina Yaqin, Framing Muslims: Stereotyping and Representation after 9/11 (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 52.

2. Morey and Yaqin, Framing Muslims, 60–61.

Morey, Peter, and Amina Yaqin. Framing Muslims: Stereotyping and Representation after 9/11. Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011.

For four or more authors, list all of the authors in the bibliography; in the note, list only the first author, followed by “et al.” (“and others”):

1. Jay M. Bernstein et al., Art and Aesthetics after Adorno (Berkeley: University of California Press, 2010), 276.

2. Bernstein et al., Art and Aesthetics, 18.

Bernstein, Jay M., Claudia Brodsky, Anthony J. Cascardi, Thierry de Duve, Aleš Erjavec, Robert Kaufman, and Fred Rush. Art and Aesthetics after Adorno. Berkeley: University of California Press, 2010.

Editor or translator instead of author

1. Richmond Lattimore, trans., The Iliad of Homer (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 91–92.

2. Lattimore, Iliad, 24.

Lattimore, Richmond, trans. The Iliad of Homer. Chicago: University of Chicago Press, 1951.

Editor or translator in addition to author

1. Jane Austen, Persuasion: An Annotated Edition, ed. Robert Morrison (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2011), 311–12.

2. Austen, Persuasion, 315.

Austen, Jane. Persuasion: An Annotated Edition. Edited by Robert Morrison. Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2011.

Chapter or other part of a book

1. Ángeles Ramírez, “Muslim Women in the Spanish Press: The Persistence of Subaltern Images,” in Muslim Women in War and Crisis: Representation and Reality, ed. Faegheh Shirazi (Austin: University of Texas Press, 2010), 231.

2. Ramírez, “Muslim Women,” 239–40.

Ramírez, Ángeles. “Muslim Women in the Spanish Press: The Persistence of Subaltern Images.” In Muslim Women in War and Crisis: Representation and Reality, edited by Faegheh Shirazi, 227–44. Austin: University of Texas Press, 2010.

Preface, foreword, introduction, or similar part of a book

1. William Cronon, foreword to The Republic of Nature, by Mark Fiege (Seattle: University of Washington Press, 2012), ix.

2. Cronon, foreword, x–xi.

Cronon, William. Foreword to The Republic of Nature, by Mark Fiege, ix–xii. Seattle: University of Washington Press, 2012.

Book published electronically

If a book is available in more than one format, cite the version you consulted. For books consulted online, include an access date and a URL. If you consulted the book in a library or commercial database, you may give the name of the database instead of a URL. If no fixed page numbers are available, you can include a section title or a chapter or other number.

1. Isabel Wilkerson, The Warmth of Other Suns: The Epic Story of America’s Great Migration (New York: Vintage, 2010), 183–84, Kindle.

2. Philip B. Kurland and Ralph Lerner, eds., The Founders’ Constitution (Chicago: University of Chicago Press, 1987), chap. 10, doc. 19, accessed October 15, 2011, http://press-pubs.uchicago.edu/founders/.

3. Joseph P. Quinlan, The Last Economic Superpower: The Retreat of Globalization, the End of American Dominance, and What We Can Do about It (New York: McGraw-Hill, 2010), 211, accessed December 8, 2012, ProQuest Ebrary.

4. Wilkerson, Warmth of Other Suns, 401.

5. Kurland and Lerner, Founders’ Constitution.

6. Quinlan, Last Economic Superpower, 88.

Wilkerson, Isabel. The Warmth of Other Suns: The Epic Story of America’s Great Migration. New York: Vintage, 2010. Kindle.

Kurland, Philip B., and Ralph Lerner, eds. The Founders’ Constitution. Chicago: University of Chicago Press, 1987. Accessed October 15, 2011. http://press-pubs.uchicago.edu/founders/.

Quinlan, Joseph P. The Last Economic Superpower: The Retreat of Globalization, the End of American Dominance, and What We Can Do about It. New York: McGraw-Hill, 2010. Accessed December 8, 2012. ProQuest Ebrary.

 

Journal article

In a note, list the specific page numbers consulted, if any. In the bibliography, list the page range for the whole article.

Article in a print journal

1. Alexandra Bogren, “Gender and Alcohol: The Swedish Press Debate,” Journal of Gender Studies 20, no. 2 (June 2011): 156.

2. Bogren, “Gender and Alcohol,” 157.

Bogren, Alexandra. “Gender and Alcohol: The Swedish Press Debate.” Journal of Gender Studies 20, no. 2 (June 2011): 155–69.

Article in an online journal

For a journal article consulted online, include an access date and a URL. For articles that include a DOI, form the URL by appending the DOI to http://dx.doi.org/ rather than using the URL in your address bar. The DOI for the article in the Brown example below is 10.1086/660696. If you consulted the article in a library or commercial database, you may give the name of the database instead.

1. Campbell Brown, “Consequentialize This,” Ethics 121, no. 4 (July 2011): 752, accessed December 1, 2012, http://dx.doi.org/10.1086/660696.

2. Anastacia Kurylo, “Linsanity: The Construction of (Asian) Identity in an Online New York Knicks Basketball Forum,” China Media Research 8, no. 4 (October 2012): 16, accessed March 9, 2013, Academic OneFile.

3. Brown, “Consequentialize This,” 761.

4. Kurylo, “Linsanity,” 18–19.

Brown, Campbell. “Consequentialize This.” Ethics 121, no. 4 (July 2011): 749–71. Accessed December 1, 2012. http://dx.doi.org/10.1086/660696.

Kurylo, Anastacia. “Linsanity: The Construction of (Asian) Identity in an Online New York Knicks Basketball Forum.” China Media Research 8, no. 4 (October 2012): 15–28. Accessed March 9, 2013. Academic OneFile.

Magazine article

1. Jill Lepore, “Dickens in Eden,” New Yorker, August 29, 2011, 52.

2. Lepore, “Dickens in Eden,” 54–55.

Lepore, Jill. “Dickens in Eden.” New Yorker, August 29, 2011.

Newspaper article

Newspaper articles may be cited in running text (“As Elisabeth Bumiller and Thom Shanker noted in a New York Times article on January 23, 2013, . . .”) instead of in a note, and they are commonly omitted from a bibliography. The following examples show the more formal versions of the citations.

1. Elisabeth Bumiller and Thom Shanker, “Pentagon Lifts Ban on Women in Combat,”New York Times, January 23, 2013, accessed January 24, 2013, http://www.nytimes.com/2013/01/24/us/pentagon-says-it-is-lifting-ban-on-women-in-combat.html.

2. Bumiller and Shanker, “Pentagon Lifts Ban.”

Bumiller, Elisabeth, and Thom Shanker. “Pentagon Lifts Ban on Women in Combat.” New York Times, January 23, 2013. Accessed January 24, 2013. http://www.nytimes.com/2013/01/24/us/pentagon-says-it-is-lifting-ban-on-women-in-combat.html.

Book review

1. Joel Mokyr, review of Natural Experiments of History, ed. Jared Diamond and James A. Robinson, American Historical Review 116, no. 3 (June 2011): 754, accessed December 9, 2011, http://dx.doi.org/10.1086/ahr.116.3.752.

2. Mokyr, review of Natural Experiments of History,752.

Mokyr, Joel. Review of Natural Experiments of History, edited by Jared Diamond and James A. Robinson. American Historical Review 116, no. 3 (June 2011): 752–55. Accessed December 9, 2011. http://dx.doi.org/10.1086/ahr.116.3.752.

Thesis or dissertation

1. Dana S. Levin, “Let’s Talk about Sex . . . Education: Exploring Youth Perspectives, Implicit Messages, and Unexamined Implications of Sex Education in Schools” (PhD diss., University of Michigan, 2010), 101–2.

2. Levin, “Let’s Talk about Sex,” 98.

Levin, Dana S. “Let’s Talk about Sex . . . Education: Exploring Youth Perspectives, Implicit Messages, and Unexamined Implications of Sex Education in Schools.” PhD diss., University of Michigan, 2010.

Paper presented at a meeting or conference

1. Rachel Adelman, “ ‘Such Stuff as Dreams Are Made On’: God’s Footstool in the Aramaic Targumim and Midrashic Tradition” (paper presented at the annual meeting for the Society of Biblical Literature, New Orleans, Louisiana, November 21–24, 2009).

2. Adelman, “Such Stuff as Dreams.”

Adelman, Rachel. “ ‘Such Stuff as Dreams Are Made On’: God’s Footstool in the Aramaic Targumim and Midrashic Tradition.” Paper presented at the annual meeting for the Society of Biblical Literature, New Orleans, Louisiana, November 21–24, 2009.

Website

A citation to website content can often be limited to a mention in the text or in a note (“As of July 27, 2012, Google’s privacy policy had been updated to include . . .”). If a more formal citation is desired, it may be styled as in the examples below. Because such content is subject to change, include an access date and, if available, a date that the site was last modified.

1. “Privacy Policy,” Google Policies & Principles, last modified July 27, 2012, accessed January 3, 2013, http://www.google.com/policies/privacy/.

2. Google, “Privacy Policy.”

Google. “Privacy Policy.” Google Policies & Principles. Last modified July 27, 2012. Accessed January 3, 2013. http://www.google.com/policies/privacy/.

Blog entry or comment

Blog entries or comments may be cited in running text (“In a comment posted to The Becker-Posner Blog on February 16, 2012, . . .”) instead of in a note, and they are commonly omitted from a bibliography. The following examples show the more formal versions of the citations.

1. Gary Becker, “Is Capitalism in Crisis?,” The Becker-Posner Blog, February 12, 2012, accessed February 16, 2012, http://www.becker-posner-blog.com/2012/02/is-capitalism-in-crisis-becker.html.

2. Becker, “Is Capitalism in Crisis?”

Becker, Gary. “Is Capitalism in Crisis?” The Becker-Posner Blog, February 12, 2012. Accessed February 16, 2012. http://www.becker-posner-blog.com/2012/02/is-capitalism-in-crisis-becker.html.

E-mail or text message

E-mail and text messages may be cited in running text (“In a text message to the author on July 21, 2012, John Doe revealed . . .”) instead of in a note, and they are rarely listed in a bibliography. The following example shows the more formal version of a note.

1. John Doe, e-mail message to author, July 21, 2012.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[1]B.F. Drewes & Julianus Mojau, Apa itu Teologi? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010)  17.

[2]Bandingkan dengan Teologi Sistematika adalah berhubungan dengan kata “system”, yaitu perangkat unsur yang secara teratur saling berkaiatan sehingga membentuk totalitas. Materi pokok yang dipelajari dalam bidang ini adalah makna Firman Allah dalam kehidupan atau konteks kita ini.

1Gerhard F. Hasel,  Teologia Perjanjian Lama  (Malang:  Gandum Mas,  2006), hal. 1.

2Ibid. 24.

3Merk, Biblische Theologie,  210-214.

41Gerhard F. Hasel,  Teologia Perjanjian Lama, 30.

                

5Clements. OT Theology,  91.

6W.Eichdrodt  TOT I,  31.

7Fohrer, “Das AT und das Thema “Christolkogie”,  295.

8Gese, “Tradition and Biblical Theology”, 322.

[3]F.F Bruce,    Bible, dalam  New Bible Dictionary , J.D. Douglas, organizing editor  (Grand Rapids, Michigan:  WM. B. Eerdmans Publishing Co, 1979), 148. 

[4]Ibid.

[5]Henrietta Mears,  What the Bible is all about  (Minneapolis, Minnesota:  The Billy Graham Evangelistic Association, 1966), 1

[6]Orville J. Nave,  Nave’s Topical Bible   (Chicago:  Moody Press),  1416.

[7]F.F. Bruce,  The Canon of Scripture  (Downers Grove, Illinois:  Intervarsity Press, 1988), 29.

[8]Mears, 1.

[9]Ibid, 1

[10]Steven Barabas,  Bible, dalam “The New International Dictionary Of The Bible,” J.D. Douglas & Merrll C. Tenney, editor  (Grand Rapids, MI, USA:  Regency Reference Library, 1987), 147.

[11]R.K. Harrison,  Introduction to the Old Testament  (USA:  Intervarsity Press, 1975), 201.

[12]Ibid.

[13]Ibid., 201-10.

[14]Barabas,” Bible”,  dalam “The New International Dictionary of the Bible,” 147.

[15]Millard J. Erickson,  Teologi Kristen, vol. 1   (Malang:  Yayasan Penerbit Gandum Mas, 1999), 255.

[16]Harrison, 211.

[17]E.W. Tuibstra dan I.W.J. Hendriks,   Naskah-Naskah dari Laut Mati  (Jakarta:  BPK Gunung Mulia, 1978), 31.

[18]Millar Burrows.,  The Dead Sea Scroll  (New York:  The Viking Press, 1956), xxii.

[19]Merrill C. Tenney,  Survey Perjanjian Baru   (Malang:  Penerbit Gandum Mas, 1992), 123.

[20]Ibid., 124.

[21]Ibid., 126.

[22]Tuinstra dan Hendriks, Naskah-Naskah dari Laut Mati, 58.

[23]Tenney, 67.

[24]Ibid.

[25]Bruce M. Metzger.   The New Testament its Background, Growth and Content  (Nashville, Tennessee:  Abingdon Press,  1965), 32.

[26]Ibid.

[27]Walter M.  Dunnett.  Pengantar Perjanjian Baru  (Malang:  Penerbit Gandum Mas, 1963), 8.

[28]Ibid., 9.

[29]J.N.Birdshall, “Language of the New Testamen,  dalam “The New Bible Dictionary”, editor J.D.Douglas.  (Grand Rapids, Michigan:  WM.B.  Eerdmans Publishing Co, 1979), 713-14.

[30]William D. Monunce.  Basics of Biblical Greek  (Grand Rapids Michigan:  Zondervan, 2003), 1.

[31]Tenney, Survery Perjanjian Baru, 159.

[32]Ibid., 159-72.

[33]Steven Barabas, 147.

[34]Walter A. Elwell dan Robert W. Yarbrough.  Encountering The New Testament  (Grand rapis, Michuigan:  Baker House Co, 1984), 26-27.

[35] Walter Kaiser, JR. Toward and Exegetical Theology, Grand Rapids, Michigan, 1994, hal. 17

[36] Ibid. 18.

[37] Perdebatan antara J.A. Ernesti dan J.S. Semler,  24.

[38] Diberi footnote

[39] Jujur; KBBI Offline. Versi 1.3.

[40]W.R.F. Browning, Kamus Alkitab (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011),  184.

[41]J.D. Douglas (Peny. Um.), Ensiklopedia Alkitab  Masa Kini. Jilid 1 A-L (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina kasih/OMF, 2008), 488-489.

[42]“Baik”; KBBI. Versi 1.1. CD-Rom.

[44] “berbuat Baik Bisa redakan Despresi”; http://palingseru.com/19943/berbuat-baik-bisa-redakan-depresi (Diakses 20 April 2014).

[45] “Pengadilan Tuhan Tidak Mesti Menunggu Kiamat…”; http://hiburan.kompasiana.com/humor/2013/11/26/pengadilan-tuhan-tidak-mesti-menunggu-saat-kiamat-614222.html (Diakses 14 April 2014).

[46]“Baik”. KBBI Offline 1.3.CD-ROM.

[47]Baik; kebaiakan”; Ensiklopedia SABDA; http://alkitab.sabda.org/dictionary.php?word=BAIK,%20KEBAIKAN (Diakses 14 April 2014). Dalam ensiklopedia tersebut dikatakan bahwa  dalam PB mengembangkan pemakaian kata ini dengan menggunakan kedua kata sifat di atas secara bergantian (bnd mis Rm. 7:12-21). Paulus, mengikuti LXX, menggunakan kata benda agathosyne untuk menggambarkan kebaikan Kristen, dengan penekanan utama pada kemurahan hati (Rm. 15:14; Gal. 5:22; Ef. 5:9; 2 Tes. 1:11; mengenai terjemahannya, lih tafsiran kitab-kitab ini). la juga memakai kata chrestotes (“kebaikan”, “kemurahan”) untuk kemurahan hati Allah yg mengasihani (Rm. 2:4; 11:22).

[48]Baik; kebaiakan”; Ensiklopedia SABDA; http://alkitab.sabda.org/dictionary.php?word=BAIK,%20KEBAIKAN (Diakses 14 April 2014).

[49] Elohim  (Allah) menciptakan manusia dalam gambar-Nya seperti ayat 26. Dalam hal ini, Gambar dan rupa Allah dikaitkan dengan hakekat manusia. Dalam manusia seperti inilah Allah menghembuskan nafas hidup (Kej. 2:7). Dengan demikian, manusia memiliki sebagai berikut: (1) Norma moral. (2) Kesadaran akan kematian dan kemungkinan adanya kehidupan setelah mati. (3) Kesadaran akan adanya kodrat yang lebih tinggi. (4) Kemampuan untuk mengungkapkan kebenaran yang mutlak atau yang paling dasar.

[50]G. Sudarmanto, Teologi Multikultural (Batu: YPPII, 2014) 101-123.

[51] A. W. Tozer, Mengenal yang Mahakudus (Bandung: Kalam Kudus, t.t.)  40.

[52]Ibid. 124-152.

[53]George W. Peters, Teologi Pertumbuhan Gereja (Malang: Gandum Mas, 2002)  43.

[54]Alton Clark Scanion, Asas-asas Misiologia Alkitabiah dan untuk Masa Kini (Semarang: STBI, 1991) 31-32.

[55]William Barclay, More New Testament Words (London: SCM Press, 1958) 134.

[56]Harianto GP, Pengantar Misiologi (Yogjakarta: Abdi, 2013) 32.

[57]John F. Walvoord, Gereja dalam Nubuatan (Surabaya: Yakin, 1984) 15. 

[58]George W. Peters, Teologi Pertumbuhan Gereja (Malang: Gandum Mas, 2002) 47.

[59]Ada dua tahap perubahan sebagai berikut: Tahap  pertama, dalam perubahan dimulai dari persektuan yang benar dengan Allah.  Perubahan ini terjadi karena undangan Allah.  Di sini, orang Kristen berfungsi sebagai  pendemo kasih Allah (1Kor. 3:5). Tahap kedua, Allah yang bekerja dalam diri seseorang untuk dirubahkan.  Meskipun Allah yang mengundang seseorang untuk berubah tetapi sedikit orang Kristen  yang mau menjadi  pekerja Allah.  Padahal kini sudah waktu orang Kristen mengambil hasilnya (memanen). Karena itu, sebelum orang Kristen melakukan pekerjaan Allah, ia diminta untuk berdoa terhadap kerjaan itu (Luk. 10:2). Orang Kristen itu bukan mendoakan seseorang yang akan dipanen tetapi berdoa untuk pekerja yang jumlahnya masih sedikit (Yoh. 4: 35, 37). Memanen dan mencari pekerja bukanlah suatu  kegiatan sekali kerja tetapi proses yang panjang, yang harus dilakukan terus menerus.

[60] Stevri I. Lumintang,  Keunikan Theologia Kristen di Tengah Kepalsuan (Batu: YPPI, 2010) 204.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN

  BAB 1 PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN   A. Pengertian Pendidikan (secara umum): 1. Apakah arti pendidikan ? Lebih daripada sekedar s...