Silabus
Sekolah Tinggi Teologi
Bethany
Mata Kuliah : Coluiqium Biblicum
Bobot : 3 sks
Program : Doktoral
Dosen : Dr.E.B,
D.Th.
Waktu : 13-17 Maret 2017
Deskripsi
Mata kuliah ini membahas secara komprehensif mengenai: hahekat teologi biblika, proses dan
hal-hal yang mempengaruhi terbentuknya rumusan teologi (bagaimanakah seseorang
melakukan integrasi antara teologi dengan biblika), skopa kajian: dasar-dasar
biblika dan isu Gospel, dasar-dasar
pendekatan Teologi Biblika dalam perspektif rancang bangun integrasi sebuah teologi
biblika, metodologi biblika dan merancang bangun teologi biblika.
Standar
Kompetensi
Mahasiswa menguasai berbagai dimensi teori tentang hahaket, proses, metodologi dan merancang bangun
teologi biblika dengan menggunakan metodologi yang benar.
Kompetensi
Dasar
Mampu menjelaskan
hahaket teologi biblika.
Mampu
menjelaskan proses dan hal-hal yang mempengaruhi
terbentuknya rumusan teologi.
Mampu menjelaskan skopa kajian: dasar-dasar biblika dan isu Gospel.
Mampu melakukan
dasar-dasar pendekatan Teologi Biblika
dalam perspektif rancang bangun
integrasi sebuah teologi biblika.
Mampu melakukan
metodologi biblika.
Mampu merumuskan
rancang bangun teologi biblika.
Indikator
Hasil Belajar
Mampu
menjelakan hahaket teologi biblika.
Mampu
menjelaskan proses dan hal-hal yang mempengaruhi
terbentuknya rumusan teologi.
Mampu
menjelaskan metodologi biblika.
Mampu menjelaskan dasar-dasar
biblika dan isu Gospel.
Mampu
melakukan dasar-dasar pendekatan Teologi Biblika
dalam perspektif rancang bangun
integrasi sebuah teologi biblika.
Mampu
melakukan metodologi biblika.
Mampu
merumuskan rancang bangun teologi biblika.
Pokok-pokok
Bahasan
Silabus dan
Pengantar
Hakekat Teologi
Biblika
Dasar-dasar Pendekatan
Teologi Biblika dalam perspektif Rancang
Bangun antara Teologi dan Biblika
Skopa Kajian Dasar-dasar
Biblika
Metodologi Biblika:
Hermeneutika, Eksegese dan Ekspositori
Merancang Bangun Teologi Biblika
Bahan Acuan Utama
B.F. Drewes &
Julianus Mojau, Apa itu Teologi? Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Charles C. Ryrie, Biblical Theological of the New Testament
Chicago: Moody Press, 1999.
Christoph Barth
& Marie-Claire Barth-Frommel, Teologi
Perjanjian Lama 1-3. 2 Jilid. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
David Alan Black & David S. Dockery. (eds), Interpreting The New Testament. Nashville: Broadman & Holman
Publishers, 2001.
David L. Baker, Satu Alkitab Dua Perjanjian. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1993.
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1-3. 3 jilid.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
Eta Linnemaan, Historical Criticism of the Bible:
Methodology or Ideology? Grand Rapids: Baker Book House, 1993.
George Eldon Ladd,
A Theology of The New Testament.
Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing, 1993.
Gerald Bray, Biblical Interpretation: Past & Present. Downers Grove:
InterVarsity Press, 1996.
Gerhard F. Hasel, Teologi Perjanjian
Lama. Malang: Gandum Mas, 1995.
Gordon D.
Fee, New
Testament Exegesis: A Handbook for Students and Pastors. Lousville:
Westminster/ John Knox Press, 1993.
Harianto GP, Eksegese Perjanjian Lama. Surabaya:
Sekolah Tinggi teologi Bethany, 2014.
Harold Lolowang, Menyibak Kontroversi Dugaan Ketidakaslian
Alkitab. Yogyakarta: Andi, 2009.
Horst
Dietrich Preuss, Old Testament
Theology,
Volume 1-2. Stuttgart: W. Kohlhammer, 1992.
Jakob Van Bruggen,
Siapa yang Membuat Alkitab? Surabaya:
Momentun-Litindo, 2002.
James Barr, Alkitab di Dunia Modern. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1993.
James Barr. Fundamental. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1996.
John Owen. Biblical Theology. Grand Rapids: Soli
Deo Gloria Publications, 2009.
Kevin J.
Vanhoozer. Apakah Makna dalam Teks ini?
Surabaya: Momentum, 2013.
Norman Geissler
& Ron Brooks, Ketika Alkitab
Dipertanyakan. Yogyakarta: Andi, 2004.
Norman L. Geisler,
Inerrancy. Grand Rapids: Zondervan
Publishing House, 1980
Peter Cotterell & Max Turner. Linguistics & Biblical Interpretation. United State of America: InterVarsity Press,
1989.
Robert B.
Chisholm, Jr., From Exegesis to
Exposition: A Practical Guide to Using Biblical Hebrew.Grand Rapids: Baker
Books, 1998.
Robert Davidson. Al;kitab Berbicara. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2000.
Sakae Kubo &
Walter Specht, So Many Version? Grand
Rapids: Zondervan Publishing House, 1975.
Sonny
Zaluchu, Biblical Theology. Semarang: Sinai Publishers, 2011.
Walter C. Kaise,
JR., Toward an Exegetical Theology:
Biblical Exegesis for Preaching and Teaching. Grand Rapids: Baker Book
House, 1994.
Walter C. Kaiser,
Jr. Teologi Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas, 2000.
Yonky Karman. Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.
Metode
Dalam mewujudkan tujuan khusus atau hasil belajar di atas, kegiatan belajar
mengajar ditempuh dengan pendekatan berikut:
Kuliah (penjelasan dari pendidik), diskusi dan tanya jawab
Diskusi kelas dan
kelompok yang dipresentasikan.
Presentasi Tugas
anak didik.
Tugas-tugas pendalaman.
Evaluasi dan Kriteria Penilaian
Setiap laptop
sudah ada program Bibleword (boleh Bibleword
versi 7, 8 atau 9).
Interaksi kelas = 20%.
Tugas awal = 40%. Tugas Awal Book
Review. Catatan: (1) Setiap mahasiswa silakan
memilih 2 buku yang sudah terdaftar dalam Bahan Acuan Umum. (2) Book
Review. Judul: Evaluasi Buku “…….”, dengan susunan isi sebagai
berikut: (1) Bab I Pendahuluan-- ringkasan, (2) Bab II Evaluasi
Keseluruhan Buku, (3) Evaluasi Bagian-bagian Tertentu Buku, dan (4) Bab 4
Penutup. (3) Tugas-tugas akan dipresentasikan pada awal kuliah.
Paper penajaman = 40%.
Paper merumuskan rancang bangun teologi biblika (lihat contoh yang sudah
disediakan). Catatan: (1) Panjang paper 10-15 halaman dengan
spasi 1,5 (satu setengah). (2) Semua kutipan wajib ditulis di footnote
dan semakin banyak bahan sumber maka bahan paper semakin berbobot.
Jadwal Kegiatan Belajar
Senin, 13 Maret 2017
16.00 – 18.00 :
Session1 Silabus dan Pengantar
18.00 – 19.00 : Rehat
19.00 – 21.00 : Session 2 Hakekat Teologi Biblika
Selasa, 14 Maret 2017
16.00 – 18.00
: Session 3 Dasar-dasar Pendekatan
Teologi Biblika dalam perspektif Rancang
Bangun antara Teologi
dan Biblika.
18.00 – 19.00
: Rehat
19.00 – 21.00
: Session 4 Skopa Kajian
Biblika: Alkitab dan Isu-isu Gospel (Power Point)
Rabu, 15 Maret 2017
16.00 – 18.00
: Session 5 Dasar-dasar Biblika:
Alkitab dan Isu-isu Gospel (Power Point)
18.00 – 19.00
: Rehat
19.00 – 21.00
: Session 6 Metodologi Biblika 1
Kamis, 16 Maret 2017
15.00 – 18.00
: Session 7 Metodologi Biblika 2 (menggunakan Bibleword)
18.00 – 19.00
: Rehat
19.00 – 21.00
: Session 8 Metodologi Biblika 3
Jumat, 17 Maret 2017
16.00 – 18.00
: Session 9 Metodologi Biblika 4
18.00 – 19.00
: Rehat
19.00 – 21.00
: Session 10 Rancang Bangun Teologi Biblika
1. Hakekat Teologi Biblika
Teologi adalah
wacana (ilmiah) mengenai Allah atau illah-illah. Teologi Kristen adalah keyakinan bahwa Allah
bertindak atau berfirman, secara khusus dalam Yesus Kristus yang menggenapi
perjanjian dengan umat Israel. Ilmu teologi adalah bidang studi ilmiah yang
melatari gereja yang diutus ke dalam dunia dalam usahanya untuk memahami dan
menghayati karya Allah, sesuai dengan Firman Allah yang hidup; hasil ini
berarti bahwa ilmu teologi secara kritis meninjau praktis dan misi gereja dalam
terang kebenaran Firman Allah.[1]
Biblika terbentuk
dari istilah Yunani, biblia, yang artinya “kitab-kitab” atau “Alkitab”. Jadi sebagai sumber teologi, Alkitab dikaji
dengan teliti supaya maknanya
menjadi makin jelas. Seluruh
kemajemukan dalam Alkitab diperhatikan
dan arah utama keseluruhan mencari
amanat Alkitab. Keadaan ini disebut
“Teologi Biblika”.[2]
Untuk itu, membutuhkan menggunakan metode telogi biblika adalah penafsiran.
Bacaan:
B.F. Drewes &
Julianus Mojau, Apa itu Teologi? Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010: 92-108.
Evaluasi Buku B.F. Drewes
& Julianus Mojau
“Apa Itu Teologi?”
Buku ini bertujuan
menjelaskan isi dan metode teologi. Secara khusus akan dibahas tempat dan
pembagian formal ilmu teologi di Indonesia. Ilmu teologi merupakan ilmu
majemuk, satu kesatuan utuh dari bidang-bidang Biblika, Umum, Historika, Sistematika
dan Pratika.
Teologi senantiasa
muncul dalam situasi kondisi atau konteks tertentu sebab Firman Allah
menanggapai kehidupan kita kini dan disini. Ilmu Teologi berhubungan langsung
dengan spiritualitas yang hidup, memberi kekuatan, pengarahan dan kadang-kadang
melalui kebingungan. Ilmu Teologi melayani damai sejahtera di bumi demi
kemuliaan Allah.
Tempat dan
Pembagian Formal Ilmu Teologi di Indonesia
Sampai tahun 1999,
pendidikan di Indonesia berada dibawah Mendikbud, baru kemudian Mendiknas.
Keppres 34, 1972 dan Inpres 15, 1974 mengharuskan STT menjadi Sekolah Tinggi
Filsafat/Agama. Terjadi kontroversi terutama STT berlatar belakang Protestan.
1992 Menteri Agama mengeluarkan Kurikulum Standard Minimal Teologi versi
Departemen Agama. Mendikbud mengeluarkan SK. 035/U/1993 dengan 2 konsekuensi adalah:
(1) Ilmu Teologi tidak terdaftar dalam ensiklopedi ilmu pengetahuan di
Indonesia. (2) Gelar S.Th tidak diakui di Indonesia.
Dalam keadaan
semakin sulit ini ditempuh 2 macam jalan keluar yaitu: (1) beberapa sekolah STT
melebur diri menjadi “Fakultas” dalam suatu universitas misalnya : STT Duta
Wacana, Yogyakarta menjadi Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana;
STT GPM, Ambon menjadi Fakultas Teologi UKIM; STT Tomohon menjadi Fakultas
Teologi UKIT. (2) STT yang mengambil 2 program pendidikan yang berbeda : S1
Telogi berada di bawah Depdikbud dan S1 PAK berada di bawah Departemen Agama
(Bimas Kristen Protestan). Contohnya: INTIM, Makassar.
Tiga alasan yang
memicu kontroversial dalam formalitas pendidikian ilmu Teologi di Indonesia:
(1) Sikap yang kurang mendukung dari gereja-gereja yang berpendapat bahwa
pendidikan teologi tidak perlu “ilmiah”. Gereja hanya memerlukan orang-orang
yang mau melayani dengan pengetahuan alkitab cukup. Penguasaan ajaran gereja
dan keterampilan berkhotbah. (2) Pandangan pemerintah Indonesia yang menganggap
sama ilmu Teologi dan ilmu Agama. (3) Kriteria ke”ilmiah”an ilmu Teologi
berdasarkan epistemologi dan empirisme tidak dipenuhi yaitu: syarat
obyektifitas atau bebas nilai dan keyakinan. Sehingga berdasarkan kriteria ini
pendidikan Teologia tidak dapat disebut sebagai pendidikan yang ilmiah.
Setelah melalui
perjuangan cukup lama akhirnya pendidikan Teologi diakui sebagai pendidikan
keilmuan di Indonesia dalam keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No.:
0359/U/1996. Sejajar kedudukannya dengan ilmu-ilmu lain.
Kurikulum Nasional
(Kurnas) Program Studi Teologi adalah: (1) Mata Kuliah Umum (MKU) dengan 10 SKS. (2) Mata
Kuliah Dasar Keahlian (MKDK) dengan 30 SKS. (3) Mata Kuliah Keahlian (MKK)
dengan 47 SKS.
Ada 3 konsekuensi
yang mengikuti : 1) Ilmu Teologi sebagai pendidikan ilmiah ditantang harus
terus-menerus mengembangkan diri (metode dan isinya) sebagai sebuah ilmu
pengetahuan. Setiap orang yang belajar
ilmu teologi dituntut kemampuan akademis tertentu untuk dapat menyelesaikan
pendidikannya, tidak cukup hanya dengan “mengandalkan” kesalehan hidup. 2)
Pendidikan teologi sebagai pendidikan keilmuan harus menjadi pendidikan yang
terbuka bagi siapa saja. Dengan demikian, belajar ilmu teologi tidak selalu
berhubungan dengan sikap untuk menganut ajaran atau aliran teologis tertentu.3)
Setiap lembaga pendidikan teologi di Indonesia pada prinsipnya dapat memperoleh
pengakuan formal atas ijazah yang dikeluarkannya.
PERSETIA
menganggap Kurnas kurang bisa mencerminkan arah macam pendidikan teologi yang
hendak dicapai; sehingga pada tahun 1997 dalam Study Institute di Salatiga menetapkan
pembagian kurikulum versi PERSETIA sebagai berikut: (1) Rumpun 1/Rumpun Umum ;
tuntutan formal pemerintah. (2) Rumpun 2/Rump;un Teologi : dasaar bangunan dan
kompetensi teologis. (3) Rumpun 3/Rumpun Konteks ; keterampilan metodologis,
praktik eksperimen berteologi yang berkontekstual.
Apa itu Ilmu
Teologi?
Teologi : Theos = Allah atau ilah ; logos = perkataan/firman/wacana. Teologi
= wacana ilmiah mengenai Allah atau ilah-ilah (Umum, telah dipakai orang Yunani
jauh sebelum gereja Kristen).
Ilmu Teologi
(Kristen) = Bidang studi ilmiah yang secara kritis melayani dan meninjau
praktik dan misi gereja dalam terang kebenaran Firman Allah.
Dalam gereja
Kristen teologi mula-mula hanya membahas ajaran mengenai Allah, baru kemudian
menjadi lebih luas yaitu membahas keseluruhan ajaran dan praktik Kristen.
Obyek ilmu Teologi
ialah hubungan dialogis antara firman Allah dan konteks manusia, dijelaskan
sebagai berikut : 1) Teologi implisit/teologi primer/olah rasa: refleksi (tidak
konsisten) orang percaya secara umum atas karya Allah yang diterima dalam iman.
2) Teologi Eksplisit/ Telogi sekunder/olah nalar: Ilmu Teologi yang logis,
konsisten, kritis. Diperlukan untuk memahami dan menganalisis teologi implisit
Ilmu Teologi dan
Ilmu Religi
Agama/religi adalah
sikap serius dan sosial dari individu/komunitas kepada satu/lebih kekuasaan
tertinggi sehubungan dengan kepentingan dan nasib mereka.
Ilmu agama/ilmu
deskriptif: study tentang agama-agama secara umum dan netral.
Ilmu Teologi
(Kristen): bersifat normative, mempelajari tolak ukur hidup kristiani yang
benar berdasar keyakinan Allah berkarya dalam Yesus Kristus.
Manfaat dari Ilmu
Religi adalah menolong kita untuk membangun perspektif dan tindakan bersama
dengan penganut-penganut agama lain menghadapi isu-isu kemanusiaan misalnya
kerusakan lingkungan, hak asasi manusia, keadilan social dan kemiskinan.
Ilmu Teologi dan
Spiritualitas
Spiritus = Roh, jiwa, sikap batin. Spiritualitas
Kristen = sikap batin yang berjuang untuk menghidupi Firman Allah.
Spiritual-Formation (Kristen) = unsur penting dalam ilmu Teologi: adalah sikap
batin yang berjuang untuk menghayati iman sesuai dengan Firman Allah yang
hidup, dikerjakan melalui pergaulan teratur dengan Alkitab, pergumulan penuh
kasih dengan dunia, doa yang jujur kepada Allah.
Sejarah Ilmu
Teologi
PL dan PB
merupakan dasar ilmu teologi namun bukan termasuk sejarah ilmu teologi karena
teologi baru dimulai sekitar tahun 100 M.
Tahun
100-600: Gereja Kuno
Tulisan-tulisan
teologis-pastoral tertua yang dikarang oleh Bapa-Bapa Rasuli dalam bahasa
Yunani antara lain : didakhe (ajaran)
dan surat-surat Clemens (Uskup di
Roma) Tahun 313 Konstatinus, kaisar Romawi menjadi Kristen sehingga tahun 391
agama Kristen menjadi agama resmi kekaisaran Romawi. Tahun 395 kekaisaran
Romawi terbagi menjadi bagian Barat dan Timur; mempengaruhi gereja yang juga
terbagi ke dalam “Kekristenan Barat” berpusat di Roma dan “Kekristenan Timur”
berpusat di Konstantinopel/Byzantium.
Tahun 410 Romawi
dijarah orang-orang Goth. Tahun 476 kekaisaran berakhir.
Bapa-Bapa Gereja
Timur dalam 2 pusat budaya Helenisme: Mazhab Aleksandria (Mesir) dengan metoda
tafsir alegoris, tokohnya Clemens dan Origenes; Mazhab Antiokhia dengan
historis alkitab, tokohnya Yohanes Chrysostomus.
Gereja Barat,
berbahasa latin dengan tokohnya Tertulianus dan Agustinus. Terdapat
masalah-masalah teologis: antara lain kanon PB, keesaan Allah, diselesaikan di
konsili Nicea tahun 325; Yesus Kristus yang sungguh-sungguh manusia dan sungguh-sungguh
Allah ditetapkan pada konsili di Calcedon tahun 451. Pengakuan Iman Rasuli
ditetapkan.
Kaum perempuan
dalam kepemimpinan gereja makin dipersoalkan, tetapi beberapa perempuan Kristen
sempat menonjol misalnya Eudokia (istri kaisar Romawi abad ke 5) menulis karya
dalam bidang sejarah gereja.
Tahun
600-1500: Abad Pertengahan
Perkembangan agama
Islam yang cepat sekitar tahun 611 (Nabi Muhammad menerima wahyu pertama).
Tahun 1054 gereja Barat dan gereja Timur berpisah oleh perbedaan doktrin.
Lahirnya Fakultas Teologi di Universitas Eropa (tahun 1200), teolog Thomas
Aquinas dengan bukunya : Summa Theologiae. Sementara Ilmu Teologi dan
Universitas-Universitas di dominasi laki-laki terdapat 2 tokoh perempuan yaitu
: Hildegrad dari Bringen, seorang pendiri biara dan pengkhotbah dan Katarina
dari Siena, perempuan yang memperjuankan kesatuan gereja dan membawa banyak
orang kepada Kristus, mendapat gelar “Pujangga Gereja” dari Gereja Katolik pada
1970. Terjadi beberapa perang salib yang memperebutkan wilayah-wilayah bagi
para peziarah masuk Yerusalem serta penaklukan gereja Timur kepada kekuasaan
Paus; upaya ini gagal. Tahun 1453 Konstatinopel direbut Kesultanan Ottoman,
seorang Turki beragama Islam.
Tahun
1500-1700: Reformasi Gereja
Terjadi banyak
perubahan di bidang politis dan ilmu pengetahuan : Coppernicus (bumi
mengelilingi matahari); Columbus mendarat di benua Amerika.Kesatuan Gereja
Katolik mengalami kegagalan muncul reformasi gereja: sola gratia, sola fide, sola scruptura oleh Martin Luther. Tokoh
yang lain adalah Yohanes Calvin yang menyusun sistematika tentang iman Kristen
menurut pengertian reformasi yaitu: Institutio. Teolog perempuan (walaupun
langka): Jane Lead dari Inggris menyatakan pertemuan langsungnya dengan hikmat ilahi
dan menerbitkan karangan teologis dan Theresa Avila (1515-1582) Teolog
perempuan dari Spanyol. Fransciscus Xaverius (1508-1552) yang PI sampai ke
Ambon, Ternate, Halmahera. Kontra-reformasi dari Gereja Katolik didukung oleh
ordo baru yaitu : Ordo Yesuit (1540) yang sangat serius mempertahankan ajaran
Katolik. Tahun 1650 terjadi peperangan antara wilayah Katolik dan Protestan
diikuti dengan gereja-gereja Lutheran dan Calvinis yang makin menekankan
perbedaan mereka terutama doktrin predestinasi
rangkap dari Calvinis ditolak oleh para teolog Lutheran.
Penekanan pada
logika manusia telah memunculkan gerakan Pietisme
yang menekankan kesalehan nyata dalam hidup orang Kristen. Tokohnya : John dan
Charles Wesley (1703-1791) yang menjadi cikal bakal gereja Methodist.
Tahun
1700-1960 : Zaman Modern
Pencerahan
(1700-1800); perubahan kebudayaan politik dan kehidupan gereja. Akal menjadi
dewa yang baru, ilmu Teologi dipengaruhi oleh paradigma ini sehingga muncul
metode historis kristis terhadap
kebenaran Firman Tuhan. Teolog Jerman, Friedrich D.E. Schleiermacher 1768-1834
mempertahankan peranan perasaan dalam iman dan teologi Kristen. Akar iman bukan
dalam akal melainkan dalam kesadaran religius.
Pekabaran
Injil (1800-1900)
Realitas
penjajahan membawa juga gerakan zending atau PI ke benua lain (jajahan). Fokus
: Pertobatan pribadi dan pietisme. Lahir gerakan kaum perempuan, The Woman’s Bible oleh Elizabeth Cady
Stanton di Amerika, Dr. Anna Cooper perempuan kulit hitam yang memperjuangkan
injil untuk kulit hitam.
Karya Karl Barth
1886 – 1968, 13 jilid Dogmatika Gereja melawan fasisme dan sosialisme nasional
Hitler.
Paul Tillich
1886-1965, Teolog Amerika : Systematic
Theology yang menekankan metode korelasi antara manusia dan penyingkapan
ilahi.
Tahun
1960-saat ini : Ilmu Teologi di Dunia ke-3
Dunia ke-3 =
Negara-negara berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Akhir periode
penjajahan politik Indonesia : 1945. Terjadi peristiwa-peristiwa penting :
Konsili Vatikan II 1962-1965 : sikap keterbukaan Gereja Katolik Roma terhadap
eksistensi agama-agama lain. Lahirnya Teologi Feminis (tahun 1960 an)
(pembebasan kaum perempuan) kebangkitan di Amerika Utara. Teolog Feminis dari
Indonesia : Sientje Merentek-Abram dan Marianne Kattopo (bukunya : Berikanlah Aku Air Hidup itu) Teologi Hitam James H.
Cone dengan bukunya : A Black Theology of
Liberation di Amerika Latin, menyatakan bahwa Allah menggabungkan dirinya
dengan orang hitam. Sebab itu Yesus dapat disebut Black Messiah.
Teologi
Konstekstual berkembang di periode ini.
Pertemuan
kekristenan dengan penganut agama2 lain secara umum menimbulkan pandangan
teologis sebagai berikut:
Pandangan
eksklusif: memandang orang bukan Kristen sebagai manusia yang masih diluar
karya penyelamatan Allah.
Pandangan
inklusif: mengakui bahwa penganut agama2 lain menerima tempat didalam karya
penyelamatan. Pandangan akan “Kristus yang kosmis”
Pandangan
pluralis: Yesus Kristus adalah salah satu diantara perantara karya penyelamatan
Allah. Diluar Kristus ada perantara lain yang juga membawa karya penyelamatan
Allah.
Pergumulan
Orang Miskin
Muncul di Asia
dimana Teologi berusaha meleburkan diri dengan perjuangan orang miskin:
Teologi Minjung di
Korsel 1979 (Minjung, bhs korea = rakyat yang tertekan dan menderita). Teolog
perempuan Chung Hyun Kyung berani menuangkan makna Kristus Yesus sebagai hamba
dan Tuhan dengan memakai unsur konteks Asia dan Yesus ebagai “Ibu” yang peka
dan berbelas kasihan. Yesus juga sebagai “Pekerja pabrik” dan “makanan bagi
rakyat lapar”.
Teologi Dialit di
India 1980 an. (Dialit = terpecah, tertindas) mewakili lapisan masyarakat
paling rendah di India.
Di Indonesia :
Teologi Kesimbangan yang memperjuangkan keseimbangan antara orang kaya dan
miskin berdasarkan 2 Korintus 8 : 13 – 15, dicetuskan oleh S.A.E. Nababan dalam
konferensi Protestan dan Katolik “Membangun Manusia Pembangun”, 1970.
Berkembang Teologi
Naratif atau Teologi Cerita, penguraian teologinya memakai metode menceritakan.
Teolognya a.l.: Choan-Seng Song dari Taiwan, Kosuke Koyama dari Jepang.
Lahirnya gerakan
kekristenan di Asia a.l. East Asian Christian Conference 1959 yang menjadi
Christian Conference of Asia pada 1973; Perhimpunan Pendidikan Teologi di Asia
Tenggara – ATESEA ; Perhimpunan Seni Kristiani Asia 1978.
Kalangan Oikumenis
dalam kelompok World Council of Churches; Kelompok Karismatis, Pentakostal,
Injili, semuanya berkembang dengan segala Variannya.
Kesimpulan
Ilmu Teologi Barat
tidak lagi dianggap sebagai teologi yang universal
Pusat pergumulan
teologis tidak lagi berupa pergumulan tradisi-tradisi Kristen namun hal
memberitakan Kabar Baik
Pergumulan
Teologis bersangkut dengan keseluruhan hidup kita. Kabar Baik bermakna
individual dan sosial kemasyarakatan yang konkrit
Berteologi
kontekstual berarti oikumene dan universalitas Gereja Kristus, Gereja yang
Kudus dan am.
Perkembangan
Pendidikan dan Ilmu Teologi di Indonesia
Periode 1 abad ke
19 : Titik permulaan pendidikan teologi di Indonesia walaupun belum di dalam
bingkai pendidikan formal. Tahun 1821 Joseph Kam dan Roskott menyelenggarakan
pendidikan untuk Guru Injil di Ambon; mendorong terbentuknya STOVIL di Ambon
dan Tomohon sebagai wadah pendidikan Teologi yang formal. Sekolah Guru di
Sumatera Utara, Dan usaha-usaha pendidikan teologi nonformal terjadi di Jawa
Tengah, Poso, Batak, dll.
Periode 2 abad ke
20 : Tahun 1902, STOVIL dibuka di Kupang. Pendidikan teologi di Yogyakarta,
1906, Bale Wijata di Malang tahun 1927, STT di Jakarta Tahun 1934, Sekolah
Pendeta Makassar di Soe, Timor tahun 1948.
Tahun 1960 an
bangkitlah STT di hampir Sinode Gereja di Indonesia; 27 Oktober 1963 lahir
PERSETIA.
ATA dengan SAAT di
Malang, I3 di Batu. 1981 PASTI berdiri.
Bangkit semangat
oikumenes serta kesadaran kebangsaan di kalangan gereja-gereja di Indonesia;
Usaha penerbitan buku nyanyian “Mazmur dan nyanyian Rohani” oleh I.S. Kijne;
LAI berdiri tahun 1954. 1984 YAMUGER menerbitkan Kidung Jemaat.
Muncul kesadaran
kritis terhadap pendidikan teologi; perhatian serius terhadap teologi feminis
dan peranan perempuan (1995 terbentuk PERWATI); HAM dan masalah lingkungan
hidup dipandang sebagai masalah teologis; kesadaran bahwa ilmu teologi berbeda
dengan ajaran resmi gereja.
Periode 3 abad ke
21 – sekarang : isu-isu teologis a.l : kemiskinan, ekonomi global, ideologi,
demokratisasi, kebangkitan agama-agama non Kristen. Hubungan dialogis antar
agama diprediksikan menjadi pergumulan teologis yang dominan dalam pendidikan
teologi di Indonesia. Metode pendekatan kontekstual masih akan mendominasi
orientasi bertelogi di Indonesia.
Pembidangan Ilmu
Teologi
Bidang Biblika.
Materi pokok: Alkitab, sumber ilmu teologi. Metode ilmu sastra. Bidang Umum.
Materi pokok: konteks konkrit jaman sekarang. Metode sangat beraneka ragam,
tergantung konteksnya. Bidang Historika. Sejarah, ilmu sejarah. Bidang
sistematika : makna Firman Allah yang kontekstual. Metoda :kontekstual. Bidang
Praktika: mediasi empiris Firman Allah dan
manusia modern, dengan metoda pendekatan.
Pembidangan
Protestan Calvinis : Bidang Bibliologis, Bidang Eklesiologis, Bidang Dogmatis,
Bidang Diakonologis. “Konteks” tidak mendapat tempat khusus dalam berteologi.
Pembidangan
Katolik Roma : Teologi Dasar/Fundamental, Tafsir Kitab Suci, Teologi Dogma:
Kristologi, Eklesiologi, Sakramen-Sakramen, Teologi Praksis.
Hubungan antar
Bidang : Kontekstualisasi yaitu proses penggabungan amanat Alkitab dengan
situasi kondisi kita (=indigenisasi,inkulturasi). Pernyataan Theological
Education Fund/TEF: kontekstualisasi lebih dari pembribumian, ada yang
autentik dan palsu, bersifat dinamis, memiliki prioritas-prioritas, dan bukan
isolasi bangsa dan budaya, tetapi membantu solidaritas semua orang dalam
ketaatannya kepada Tuhan.
Alkitab
dan Konteks
Hubungan dialektis
antara Alkitab yang adalah bidang Biblika dan Konteks yang adalah bidang
Umum/seluruh dunia luar; ada 2 aspek:
Alkitab memberi
perspektif Kerajaan Allah terhadap konteks. Ini yang menjadi fokus pergumulan.
Konteks ikut
menentukan pemahaman manusia terhadap Alkitab.
Alkitab, Konteks
dan Historika : Gerakan
dialogis Alkitab dan Konteks terjadi
terus menerus sepanjang jaman, dengan perkembangan yang tidak selalu positif
dan linier. Pergumulan masa lalu harus menjadi pelajaran kita pada masa kini.
Alkitab, Konteks,
Historika, Sistematika dan Praktika : Proses timbal balik kegiatan Teologis
lewat masalah Praktika atau Sistematika
dapat dimulai dari konteks ke Alkitab atau sebaliknya. Melalui
Sistematika dan Praktika terjadi konfrontasi ataupun konfirmasi antara Alkitab
dan konteks. Kewibawaan Firman Allah harus tetap dipertahankan dalam semua
eksistensi kehidupan .
Teologi
Kontekstual bukan merupakan pokok satu –dua mata kuliah tapi harus menentukan
dan mengarahkan segala bidang studi ilmu teologi. Peranan Hermeneutik (Metode
penerapan teks dari jaman dahulu bagi situasi kini) sangat penting. Tujuan
akhir pendidikan ilmu teologi adalah “mengarahkan kaki kita kepada jalan damai
sejahtera” (Luk. 1 : 79).
Evaluasi
Keseluruhan Buku
Buku ini
menjelaskan pengertian mendasar dan sesungguhnya dari istilah “teologi” dimana
secara umum atau “awam” istilah ini telah menimbulkan kemajemukan interpretasi
dan pemaknaan yang membingungkan kalangan umum bahkan para warga dan aktivis
gereja.
Buku ini juga
menelusuri sejarah perkembangan teologi dan konteks pendidikan teologi di
Indonesia yang akhirnya harus selalu dimengerti sebagai sebuah proses
kontekstualisasi yang berkesinambungan dari waktu ke waktu.
Sistematik
penulisan yang jelas, bahasa yang mudah, edukatif dapat memelihara antusias
pembaca sampai bab terakhir. Buku ini mengubah pengertian tentang ilmu teologi
yang semula bagaikan pemandangan panorama
laut dalam sebuah akuarium yang keruh menjadi pemandangan panorama laut asli
yang sangat jernih melalui penyelaman.
Buku ini
menyadarkan akan “ancaman yang serius” jika orang percaya tidak mengarahkan
pikiran teologisnya dengan benar dan menganggap berteologi itu bukan bagiannya.
Evaluasi
Bagian-bagian Tertentu Buku
Tujuan penulis
yang bersemangat menyajikan dengan utuh kejelasan tentang ilmu teologia (hal.
1, Tujuan buku ini) diharapkan berhasil maksimal bagi setiap pembelajar yang
membacanya. Bahwa tujuan akhir adalah menaruh ilmu teologi sebagai sarana
terbitnya dan “bertumbuhnya spiritualitas yang hidup” (hal. 2) dan harus
membawa pembelajar kepada ortopraksis, bukan sedekar ortodoksis (hal. 163).
Mengenai MK Rumpun
Umum (hal. 11) memang merupakan pemenuhan akan tuntutan formal dari pemerintah
RI. Jauh lebih daripada tuntutan formal saja, ada signifikansi yang besar bagi
orang Kristen mengenai pengetahuan sejarah dan budaya dan kesadaran nasional
NKRI; yang di dalam faktanya telah terabaikan bagi para generasi muda “Kristen”
saat ini. Karena sesungguhnya teologi senantiasa muncul terkait di dalam
konteks tertentu (Bangsa dan Negara Indonesia).
Penutup
Para Pembelajar
Teologi di Indonesia sangat dianjurkan memahami buku ini. Para Pengajar Teologi
akan mendapatkan manfaat yang besar yaitu kejelasan dan referensi yang sangat
penting untuk segala Mata Kuliah yang diampu. Melalui buku ini, gereja
diharapkan tergugah terhadap pembentukan spiritual yang kontekstual.
Sonny
Zaluchu, Biblical Theology. Semarang: Sinai Publishers, 2011.
EVALUASI BUKU Sonny Zaluchu “Biblical Theology”
Pendahuluan
Evaluasi Isi Buku
secara Keseluruhan
Teologi biblika melihat Alkitab sebagai sebuah kesatuan yang tidak
terpisahkan di dalam keragaman para penulis dan kitab-kitabnya. Setiap bagian
Alkitab memiliki arti dan hubungan dengan bagian lainnya. Semua tema di dalam
Alkitab dijelaskan di dalam perspektif Alkitab.
Sudut pandang terpenting mengenai teologi biblika adalah pendekatan
terhadap Alkitab sebagai wahyu Allah dan sifat innerancy-nya. Alkitab berisi pewahyuan Allah kepada manusia
sebagai wujud penyataanNya yang tak dapat salah. Teologi Alkitab menerima PL
dan PB sebagai pewahyuan Allah yang progresif dan merupakan wahyu itu sendiri.
Disebut progresif karena Allah tidak
menyatakan diriNya sekaligus dan seketika, tetapi berlangsung di dalam sejarah
manusia dalam rentang waktu yang sangat lama. Dalam sudut pandang ini, teologi
biblika mencoba membeberkan bagaimana Allah mengambil inisiatif untuk
mengungkapkan siapa Dia dan apakah yang menjadi rencanaNya di dalam ruang dan
waktu. Teologi biblika bertugas untuk mengungkap siapakah Allah yang telah
mewahyukan diriNya itu sehingga manusia memiliki pengetahuan dan pengenalan
yang benar akan Allah dan melalui firman itu manusia mengalami transformasi.
Evaluasi Bagian-bagian Isi Buku
Buku ini disusun dalam tujuh bagian. Dua bab pertama meletakkan dasar teologi
biblika. Definisi, kedudukan teologi biblika di dalam hubungannya dengan disiplin ilmu
teologi lainnya, sudut pandang keilmuan dan metodologi teologi biblika
diuraikan pada bab pertama. Sedangkan sejarah lahirnya teologi biblika sebagai
sebuah disiplin ilmu dan karya serta teolog yang terlibat di dalamnya
dijelaskan secara komprehensif di dalam bab dua. Dari dua bab tersebut
diperoleh gambaran mengenai apakah yang menjadi tujuan dan bagaimana cara kerja
disiplin ini di dalam membangun teologi yang alkitabiah.
Bab berikutnya diberikan uraian deskriptif yang lebih terfokus mengenai
pendekatan di dalam membangun teologi dari PL (bab tiga) dan PB (bab lima). Dua
tema penting di dalam teologi PL yakni rencana penebusan Allah (redemptive)
dan perjanjianNya dengan manusia (covenant)
dibahas secara khusus di bab empat. Dari pembahasan ketiga bab ini diperoleh
gambaran mengenai bagaimana teologi biblika menemukan hal-hal penting di dalam
tema tersebut.
Dua bab terakhir adalah soal Alkitab. Teologi biblika bekerja dengan
memandang Alkitab sebagai sumber utama dan satu-satunya. Dalam kerangka
disiplin ilmu ini, Alkitab dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh dan
berkesinambungan dari PL hingga PB. Berbagai prinsip penting tentang kesatuan
Alkitab dijelaskan dalam bab enam. Sedangkan bab terakhir berisi mengenai sikap
dan pandangan teologi biblika di dalam menghadapi berbagai bentuk kritik
Alkitab yang terbukti sangat mempengaruhi cara pandang para teolog di dalam
membangun teologinya.
Penutup
Sesuai dengan judulnya,
buku ini sangat biblika. Di dalamnya tersusun secara sistematis sehingga
pembaca dapat memahami esensi dari teologi biblika. Hal menarik lainnya adalah
usaha penulis untuk melihat kesatuan Alkitab dan keterpaduan tema tentang
Perjanjian Allah dengan umat-Nya.
Sangat setuju dengan pendapat penulis bahwa dalam sudut pandang teologi
biblika, apapun perangkat dan pendekatan yang dipakai dalam mempelajari
Alkitab, eksegesis dan hermenetiknya diarahkan untuk menemukan apa yang ingin
disampaikan oleh Alkitab kepada pembacanya tanpa mengganggu gugat kewibawaannya
sebagai sumber penyataan Allah dan penyataan itu sendiri. Sejauh kritik tidak
merusak kredibilitas Alkitab, maka teologi biblika terbuka untuk menerimanya.
John Owen, Biblical Theology: The History of Theology
from Adam to Christ. Grand Rapids: Soli Deo Gloria Publications, 2000.
John Owen
(1616-1683) was an early Puritan advocate of Congregationalism and Reformed
theology. Educated at Queen's College, Oxford, he served under the Puritan
government of Oliver Cromwell as personal chaplain to Cromwell and later as
vice-chancellor of Oxford. A contemporary of John Bunyan, Owen's extensive body
of work includes some twenty-eight books on theological and devotional themes.
His later years were spent in pastoral ministry where he served as the leading
spokesman for the Protestant Nonconformists.
To review this
book in detail would require much more space than is allotted here. Biblical
Theology covers such a broad topic in such great detail, that pretty much any
review this size will fail to do Owen justice. So let us cover the very basics:
Biblical Theology
is not necessarily a systematic theology as the title might suggest. Instead,
it is the history of theology, rather than simply the expounding of theology.
In a sense, Owen seems to be targeting a much wider audience than simply
Christian believers, and there is really no direct, systematic presentation of
biblical doctrine, per se. Instead, this work deals with how God has revealed
Himself throughout human history, and how humans have or have not
responded/interpreted this revelation. Thus, this history of theology, as Owen
demonstrates, is how humans, both regenerate and unregenerate, have formed
views of God (and ourselves), and have dealt with His various ways of revealing
Himself down through history.
So in this
examination of theology, Owen surveys a very wide field of philosophy,
examining what kind of ‘theology’ man has come up with in various ages. As a
reader, we see here how unbelievably well-read Owen was in philosophy, not to
mention his astounding grasp of history. Owen quotes the writings of the
philosophers, both Christian and non-Christian, protestant and Catholic, and
even Jewish and Muslim, dozens and dozens of times. For example, Plato is cited
over 2 dozen times, as is Cicero, Aristotle, Augustine, etc.
So beginning with
Adam, when for thousands of years there was no instituted ‘church’, just
families orally passing down the theology of God, Owen examines each age of the
church in relation to theology formed, and does so in the order below:
The Natural
Theology of the First Man
The Fall and loss
of Natural Theology
The Insufficiency
of Natural Theology for Salvation
Natural Theology
Under Total Depravity (61 pages)
The Renewal of
Theology After the Fall
At this point,
Owen demonstrates the first ‘reformation’ of the church, which ends up
happening after each stage of God’s revelation. That is, the theology which God
revealed to man after the fall, being to individuals and families only, and
orally, not written, was insufficient in sustaining the Church, and thus
reformation (cleaning out) and further revelation took place. This theme of
revelation-apostasy-reformation-further revelation continues down through human
history, as Owen brilliantly demonstrates. To give one good example, the flood
was a ‘reformation’ of sorts due to man’s rebellion to how God had revealed
Himself beforehand, and after the flood God purifies His church (indeed, the
entire world) through Noah’s family, and He gives them further
revelation/theology post-flood to help curb the wickedness. This pattern is
demonstrated by Owen to take place in various ages from Adam to its final
culmination (and full reformation) in Christ and Christian theology.
One other note,
Owen takes several ‘digressions’ as he calls them, as particular topics come up
that might influence a reader’s opinion one way or another. Owen simply stops
right in the middle of his argument and deals with these digressions in fairly
extensive length. These include a digression on Universal Grace, on
Bellarmine’s Roman Notes of The Church, The Origin of Writing (very
fascinating), The Antiquity of Hebrew, The Hebrew Vowel-Points, The Septuagint
Greek Version, The Origin of the Targums, Jewish Rites and Christianity, and
Philosophical Corruptions of Theology.
To conclude with a
few personal notes here: The book is
close to 1000 pages with the introductions and appendix. It is a very tough
read because of how detailed and long-winded Owen can be at times. This book is
not meant for the weak or the wondering mind. Only the serious student will get
through it, with others giving up within 200 pages or so. It is not especially
entertaining or practical reading at times, and thus I would not recommend it
to anyone but who is disciplined in.
2. Proses Berteologi
Proses
teologi: Memahami nilai-nilai biblika
(membaca ayat), diintegrasi dengan pengetahuan, maka lahirkan sebuah teologi.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Berteologi
Faktor-faktor
yang mempengaruhi sebuah teologi: Sejauhmana seseorang memahami biblika:
semakin menguasai biblika maka semakin berteologi berdasarkan biblika dan
semakin sedikit mengusai biblika, maka berteologi berdasarkan pengalaman.
Christoph Barth
& Marie-Claire Barth-Frommel, Teologi
Perjanjian Lama 1-3. 2 Jilid. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
EVALUASI BUKU
Christoph Barth & Marie-Claire Barth-Fommel
TEOLOGI PERJANJIAN LAMA I
Buku Teologi Perjanjian Lama ini
sudah digunakan selama 30 tahun di sekolah tinggi teologi dan seminar agung
sebagai buku pegangan. Isi bagian pertama membangkitkan semangat sejumlah besar
mahasiswa untuk memahami Alkitab. Christoph Bart (1917-1986) mencintai
Perjanjian Lama sejak masa studinya. Ia memahaminya sebagai suatu kor yang
memuji Allah dengan suara berbagai saksi,dan sebagai petunjuk untuk hidup
menurut kehendak Allah. Ia tidak puas dengan metode yang mengikuti jalan
katekisasi.Ia mengembangkan usul Gerhard Von Rad agar pengakuan iman orang
Israel, sebagaimana terdengar dalam ibadah dan tampat dalam susunan kitab-kitab
Perjanjian Lama, menjadi pola “pemahaman” dengan saksama.
Ia mengembangkan bahan buku ini
sejak pertama kali mengajar di Banjarmasin (1948-1952), lalu di STT Jakarta
(1953-1965), sebagai dosen tamu sampai 1983, dan guru besar di Jerman.Buku ini
menjadi karya pokok Christoph Bart dan ditulis dalam bahasa Indonesia bagi
mahasiswa teologi dan peminat lainnya. Untuk menuliskannya, ia menerima tugas
mengajar di Jerman yang memiliki perpustakaan yang lebih lengkap.Ketika sakit
parah, ia menugaskan istrinya menulis bagian terakhir berdasarkan catatannya.
Buku ini ditujukan kepada suatu
jemaat yang luas; kepada semua orang yang “ingin tahu” mengenai isi, arti dan
pengaruh kitab-kitab perjanjian Lama.Tidak terbatas kepada para “pelayan firman
Allah” atau kepada para calon pendeta dalam pengertian yang sempit saja. Di
samping memberi informasi itu, buku ini mempunyai suatu maksud yang
mungkindianggap berbahaya.Tidak hanya memuat cerita-cerita dari masa lampau,
tetapi – terlindung di dalam cerita-cerita itu – suatu berita yang dinamis,
yang sanggup mengayakan keyakinan-keyakinan dan kepercayan-kepercayaan yang
dianggap suci.Tadinya berita itu ditujukan kepada bangsa Israel, tetapi
sekarang kitapun boleh mendengarnya. Supaya dapat menjadi suatu berkat bagi
masyarakat di sekitarnya.Tantangan inilah yang dimaksudkan oleh buku ini untuk
umat Kristen di Indonesia.Pembaca baiklah memusatkan perhatiannya pada
pokok-pokok minatnya masing-masing, kemudian juga pada pasal-pasal lainnya.
Apakah Teologi Perjanjian
Lama itu?
Apakah Guna Teologi Biblika?
Firman Allah memberikan hidup kepada
kita sebagai gereja Tuhan.Namun, kita sadar bahwa Firman itu baru “kena” bila
terjadi pertemuan antara Tuhan dan kita dengan perantaraan Roh kudus.Untuk
memahami Firman yang menghidupkan itu secara mendalam, kita perlu mengenal
berita Alkitab.Itulah sebabnya gereja bertanggung jawab meneliti Alkitab secara
terus-menerus dan mencari makna beritanya dalam situasi dan kondisi di mana ia
hidup.Hasil penelitian ini dibutuhkan baik oleh mereka yang bertugas dalam
gereja secara professional maupun oleh mereka yang melayani sebagai relawan dan
aktivis, dan oleh setiap orang yang ingin mendalami iman Kristen, agar
kesaksian mereka tepat.
Apakah yang Dimaksudkan dengan Teologi Biblika?
Alkitab sebenarnya, melainkan suatu
perpustakaan dengn 39 kitab dalam Perjanjian Lama dan 27 kitab dalam Perjanjian
Baru. Bahan-bahan itu ditulis dalam tiga bahasa (Ibrani, Aram dan Yunani).Kita
membacanya dalam terjemahan yang senantiasa perlu disempurnakan sesuaai dengan
naskah asli dan perkembangan bahasa kita.Antara bahan tertua dalam Alkitab dan
bahan termuda terentang waktu 12 abad. Artinya, bahan-bahan itu berkembang
dalam budaya-budaya kuno yang berbeda dengan budaya kita,
Pada masa awal Kekristenan, para
rasul dan penginjil mengenal Yesus sebagai Anak Allah dan Mesias, sebagai Tuhan
dan Juruselamat, sebagai Gembala dan pemberi hidup atas dasar Alkitab orang
Yahudi yang kita namakan perjanjian Lama.Di dalamnya mereka belajar mengenal
Kerajaan Allah, panggilan umat Israel untuk menjadi berkat bagi semua kaum di
muka bumi, dan undangan agar orang dari segala bangsa menerima karunia dan
kehendak Allah yang Esa. Para Penginjil dan Rasul yakin bahwa di dalam Yesus
tujuan janji-janji Allah digenapi (bnd. Luk.22:44-47; Yoh. 5:39-40; Kis. 2:14-36;
3:12-26; 7:1-53; Ibr. 11). Kitab Suci orang Yahudi menjadi alat utama Tuhan
tatkala Ia membangun umat baru yang terdiri dari warga segala bangsa. Kini kita
pun menelitinya untuk mengetahui siapakah Yesus dan apakah kehendak
Allah demi dunia yang adil dan manusiawi.
Dalam arti inilah teeologi
Perjanjian Lama terarah pada Firman Allah yang menjadi darah-daging manusia
dalam Yesus kristus. Dia berwibawa akan kesaksian yang mempersiapkan
kedatangan-Nya dan memperlihatkan makna penderitaan sebagai Orang benar dan
makna kebangkitan-Nya. Kitab Suci umat Kristen memiliki dua bagian: Perjanjian
lama menuju kepada Yesus Kristus dan Perjanjian Baru yang menyaksikan
kedatangan-nya. Yesus Kristus sendiri berdiri di tengah-tengah keduanya dan
menyertai umat-Nya.
Kesaksian Perjanjian Lama
Sekalipun Alkitab satu, sejak dua
abad lalu umat Kristen biasa meneliti kedua bagian secarra sendiri-sendiri
untuk memahami sumbangan khas masing-masing, tanpa bermaksud melepas satu dari
yang lain.
Suara saksi-saksi Perjanjian Lama
berasal dari zaman yang berbeda=beda, demikian pula tekanan dan
spiritualitasnya, namun semuanya terarah kepada Tuhan yang Esa. Meneliti
Perjanjian Lama berarti terjun ke dalam dunia yang majemuk dan memungkinkan
dialog antara saksi-saksi yang berlainan, namun semuanya memberitakan karya dan
Firman Allah dari sudut pandang masing-masing.
Kiasan Yvon Gebara, biarawati
Amerika Latin itu, agaknya dapat menolong kita. Ia menggambarkan “kebenaran:
itu bukan sebagai pohon yang besar dengan akar tunggal. Sebaliknya, “kebenaran”
lebih dilihat sebagai ekosistem, yang di dalamnya berbagai tumbuhan, hewan, dan
mikro-organisme saling menunjang demi kehidupan bersama di tengah lingkungan
besar itu. Demikianlah juga teologi biblika, yang hendak memperhatikan semua kesaksian yang terdapat di dalam kitab
Suci dan memperhadapkannya pada situasi untuk menolong umat Kristen dan
masyarakat bertumbuh menurut kehendak Allah. Tanpa tantangan manusia tidak
dapat menjadi bijaksana dan masyarakat tidak menjadi matang. Tentu ada
batasnya, yakni apa yang bertentangan dengan kehendak Allah harus ditolak.
Batas itu ditentukan Allah dan digumuli bersama di bawah bimbingan Roh-Nya.
Teologi Perjanjian Lama dan Cabang Teologi Lainnya
Teologi biblika bersandar pada ilmu
tafsir yang meneliti ayat demi ayat, perikop demi perikop dan unit yang lebih
luas seperti kitab atau karya suatu mazhab dari sudut bahasa, bentuk, isi dan
konteks.Ia meneliti naskah yang terdapat dalam kanon yang wibawanya
diakui gereja. Teologi biblika juga berhubungan dengan ilmu teologi sistematika
(dogmatika dan etika), yang memperingatkannya akan persoalan yang dipikirkan
umat Kristen berabad-abad lamanya daan yang sedang aktual. Teologi Biblika juga
berhubungan dengan teologi pratika yang menyampaikan hasilnya kepada jemaat
melalui pembinaan, pemberitaan dan pengajaran, serta dalam usaha diakonia
sosial dan politis.Seperti semua ilmu, teologi biblika mempunyai suatu fungsi
kritis yang dijalankan dalam dialog dengan gereja, tradisinya, dan persoalan
yang dihadapinya.
Sejarah Ilmu Teologi
Perjanjian Lama
Ilmu Teologi Perjanjian Lama pada Masa Lampau
Ilmu Teologi Kristen pada umumnya
telah mempunyai sejarah yang sama lamanya dengan sejarah umat Kristen itu
sendiri. Usaha penafsiran Kitab Suci, usaha pemikiran dan penguraian tentang
isi pemberitaan Kristen. Dan usaha pengenaan pemberitaan itu pada suasana di
tiap-tiap waktu dan tempat – ketiga jurusan utama dari ilmu teologi inilah yang
selalu dianggap sebagai keperluan dan syarat mutlak bagi kehidupan dalam
abad-abad yang menyusul kemudian ( 200-600 M). Harus dicatat adanya
upaya-upaya yang sungguh-sungguh di
bidang penasiran kitab Suci Perjanjian Lama. Ada dua aliran penafsiran yang
menonjol pada masa itu: pada satu pihak ada mazhab Antiokhia dengan cara
penafsiran yang lebih bersifat “historis” dan teliti, di pihak lain ada mazhab
Aleksandria dengan cara penafsiran yang bersifat “alegoris” (mengutamakan arti
kiasan). Ternyata, arah penafsiran yang terakhir inilah yang lebih banyak
meninggalkan pengaruhnya terhadap para penafsir Kitab Suci pada abad
pertengahan.
Suatu kemajuan besar terjadi melalui
gerakan Reformasi pada abad ke-16 ketika kedaulatan Kitab Suci atas gereja
mulai ditemukan kembali. Abad itu menjadi saksi dari perkembangan yang besar di
dalam bidang penelitian Kitab suci sehingga Perjanjian Lama pun mulai bersuara
dengan lebih bebas. Kitab Kejadian, Yesaya, dan Mazmur secara khusus memainkan
peran penting di dalam pembaruan gereja pada masa itu.
Zaman Renaisans, Rasionalisme, dan Romantik
Pada zaman Renaisans (abad ke-15 dan
abad ke-16) dunia Barat mengangkat lagi warisan budaya Yunani-Romawi (dengan
minat akan naskah kuno dalam bahasa asli, yang juga menjadi factor pendorong
penerjemahan Alkitab dari bahasa asli ke dalam bahasa rakyat). Manusialah –
bukan lagi Allah – yang menjadi inti dan ukuran segala sesuatu. Seabad kemudian
dengan Rasionalisme, akal budi dipahami sebagai kuasa yang dapat memahami dan
mengatur dunia.Ilmu dan teologi mulai berkembang.Dalam zaman Romantik, orang
menghargi kembali perasaan dan mata mereka terbuka terhadap perbedaan budaya
dan agama.
Akibat perubahan budaya ini adalah
bahwa Alkitab dipandang sebagai karya budaya kuno yang harus diteliti
lepas dari ajaran gereja, tanpa memperhitungkan tindakan dan wibawa
Allah.Sejumlah ahli mengikuti jalan itu, misalnya P.G.C. van Coelln (1836).
Mencari suatu sintetis dan menemukannya dalam “kerajaan Allah” sebagai lambing
agama yang mengatasi agama suku yang
partIkular dan – dengan perantaraan nabi besar – tiba pada suatu etika
yang bernada universal.
G.F.Oehler mengangkat suatu
pemikiran yang bertolak dari Penciptaan.
Menurutnya, dari penciptaan itu Allah mengembangkan secara organis sejarah
keselamatan. Melalui ikrar dan janji-Nya kepada Abraham (agama suku-suku
Israel), ikrar-Nya dalam taurat kepada Musa (agama etis yang mencari keadilan),
hingga penggenapan janji-Nya dalam Yesus Kristus (agama kasih yang universal),
Allah mengarah pada penciptaan langit dan bumi baru.Dengan demikian, Oehler
menekankan keutuhan Alkitab.
Menurut W.M.L. de Wette, manusia
terbuka ada kenyataan rohani. Melalui lambing dan mite, manusia mulai
mengembangkan agama.Dalam perpaduan antara keyakinan dan perasaan, manusia
berkembang menuju kerajaan di mana Allah memerintah.Kita melihat bahwa paham
filsafat dan agama menentukan bagaimana Alkitab dimengerti, sebagaimana dahulu
ajaran gereja menjadi faktor penentu, karena pada periode itu warga jemaat
tidak berminat atas teologi yang kurang relevan dalam kehidupan nyata.
Perkembangan pada Abad ke-20
Pada abad ke-20, setelah Perang
Dunia I, teori evolusi dan kepercayaan akan kemajuan runtuh dan dicarilah suatu
teologi biblika yang menyaksikan karya dan Firman Allah yang hidup. Jalan
dibuka dari dua segi, Albrecht Alt dan Martin Noth, dua pakar sejarah Alkitab
yang memperlihatkan bahwa keterikatan kepada Tuhan yang hidup merupakan inti
riwayat kedua belas suku Israel. Lalu, Karl Barth bertolak dari Allah yang
berbeda dari segala bayangan filsafat dan agama, yang hanya dapat dikenal
melalui kesaksian Alkitab.Th.C.Vriezen (1954, bahasa Belanda) melihat intinya
dalam persekutuan antara Allah dan umat-Nya. Edmond Jacob mengutamakan Allah,
karya, dan kemenangan-Nya yang terakhir (1955, bahasa Perancis). Namun usaha
yang paling menarik dikerjakan oleh Gerhard von Rad (1960).
Evaluasi
Isi Buku
Allah yang mengikat erjanjian dengan
umat-Nya adalah juga Pencipta.Ia menciptakan karena Ia hendak bersekutu dengan
manusia dan memilih Abraham dan keturunannya untuk menjadi berkat bagi segenap
kaum di muka bumi. Dapat disimpulkan bahwa pokok penciptaan diangkat dari sudut
pandang umat yang telah berhubungan mesra dengan illah dalam perjanjian yang Ia
ikrarkan. Berdasarkan sudut inilah pokok penciptaan dilihat sebagai penjelasan
dan pelengkap dari pokok inti, yaitu penciptaan umat Israel itu sendiri.Penciptaan
hendaknya dipahami dengan bersandar pada tindakan Allah terhadap umat
pilihan-Nya.
Di antara segala makhluk, manusia
diberikan tempat terkemuka karena Allah hendak besekutu dengan dia dalam suatu
perjanjian sebagai berikut:
Manusia dijadikan
sebagai tubuh berjiwa dan jiwa bertubuh yang terarah oleh keputusan hatinya.
Manusia dijadikan
menurut gambar Allah da diberikan kuasa untuk memelihara dunia.
Manusia dijadikan
sebagai laki-laki dan perempuan. Mitra yang berbeda dan setingkat-sederajat.
Manusia mencurigai
Allah dan membahayakan hubungan dengan Tuhan dan sesama.
Tuhan memberkati
segala makhluknya dan memanggil manusia agar ia hidup dalam hubungan yang benar
dan adil.
Manusia senantiasa
merupakan rahasia bagi dirinya sendiri karena tantangan yang dialami dalam
dirinya.
Untuk dipikirkan
lebih lanjut:
Umat Kristen dan
umat Islam mengakui Allah sebagai Pencipta dan Pemilik dunia dengan segala
isinya. DGD menekankan bahwa pemeliharaan dunia ciptaan Allah tidak dapat
dipisahkan dari perdamaian dan keailan.Bagaimanakah suatu etika lingkungan
hidup dapat dikembangkan sedemikian rupa sehingga etika tersebut bermakna dalam
kebudayaan Indonesia dan didukung oleh gereja-gereja dan umat Islam?
Apakah pembedaan
antara dosa aktif (kesobongan) dan dosa pasif (kepasrahan) berakibat pada
pelayanan pastoral?
Alkitab dan
Alquran mengenal tradisi yang serupa dan membawakannya dengan caranya
masing-masing.Teks-teks Alquran di dalam buku ini diangkat demi mendukung
dialog yang saling menghormati, baik dalam hal kesamaan maupun perbedaan, dan
juga demi mencari sikap dan etika yang tepat untuk masyarakat Indonesia yang
majemuk.Teks Alquran ini dikutip dari terjemahan Departemen Agama Republik
Indonesia. S. 2:117: Allah Pencipta
langit dan bumi, dan bila Ia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan padanya:
“jadilah”. Lalu jadilah ia.
Allah memilih
orang-orang tertentu. Kita memakai sebutan ini dengan sengaja. Justru sebutan
inilah yang menggambarkan pekerjaan Allah sebaik-baiknya sebagai tindakan
tegas, berdaulat, dan ajaib, sebagai tindakan yang menimbulkan rasa heran dan
berbagai-bagai pertanyaan mengenai aalasan, kewibawaan, dan maksud Allah yang
berdiri di belakangnya.
Allah memilih para
bapa leluhur Israel, itulah segi perbuatan-Nya yang telah kita bicarakan.
Perbuatan-Nya itu memiliki beberapa segi lain, antaranya penyataan diri .bukan
seolah-olah perbuatan Allah terbagi-bagi atas beberapa tindakan yang dilakukan
berturut-turut sehingga sewajarnya tindakan-tindakan itu kita uraikan dalam
urutan tertentu, bagaikan adegan-adegan dalam suatu drama.
Suatu peristiwa, yakni sesuatu yang
pernah terjadi, sebagai pokok kepercayaan umat Israel. Sekali lagi dipentaskan kepada kita suatu
peristiwa sebagai perbuatan ajaib Allah.Kemenangan di medan perang.
Pihak orang Mesir dengan angkatan perangnya yang dahsyat menderita kekalahan
yang tak disangka-sangka sehingga pihak orang Israel yang tidak bersenjata
itu luput dari pengejaran dan sempat meloloskan diri perbudakan.
Allah memberikan Hukum-Hukum-Nya di
dalam lebih setengah Kitab Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan yang
bersifat undang-undang, peraturan-peraturan, dan sebagainya.Bahan tersebut
hanya dipahami berdasarkan tindakan Allah demi umat yang diberikan
undang-undang itu. Sepuluh Firman, dibuka dengan perkataan: ”Akulah Tuhan,
Allahmu, yang membawa engkau keluar dari Mesir, tempat perbudakan itu” (Kel. 20:2).
Dia yang membebaskan umat itu berhak mengatur kehidupannya sedemikian rupa
sehingga warganya dapat menikmati kemerdekaan dan ikut bertanggung jawab atas
pemeliharaan-Nya. Istilah yang sering dipakai untuk undang-undang dalam
Perjanjian Lama adalah kata Arab atau Indonesia “Taurat”, dari kata Ibrani, Tora.
Evaluasi
Bagian-bagian Isi Buku
Bab I: Allah Menciptakan
Langit dan Bumi
Semua bangsa kuno mengakui bahwa
Allah tertinggi menciptakan langit dan bumi, sebagaimana terlihat dalam cerita
mula-jadi masing-masing. Namun, setelah Israel mengalami penyertaan Tuhan mulai
dari Mesir hingga Bait Suci di Yerusalem didirikan, barulah ia meluaskan
pandangannya ke seliuruh bumi dan mengakui bahwa Tuhan – bukan ilah pujaan
bangsa-bangsa lain – yang menciptakan langit dan bumi. Namun dari sudut lain,
pokok penciptaan patut ditempatkan pada permulaan kitab Suci sebagai dasar
bersama seluruh umat manusia. Pokok ini memainkan peran penting ketika orang
Israel memandang dirinya sendiri dari luar danberupaya memahami tempatnya di
tengah-tengah dunia.
Tuhan menciptakan
Langit dan Bumi dengan sempurna. Tuhan dipuji karena Ia menciptakan langit dan
bumi secara baik sekali. Kata kerja “menciptakan” atau “menjadikan” pada
umumnya dipakai untuk Allah dan manusia.Bumi pun dijadikan. Dalam bahasa Ibrani
hanya terdapat satu kata, yaitu erets, untuk tiga kata berikut ini: bumi, tanah
dan negeri. Tuhan juga dipuji karena Ia menghadapi kekacauan dan kuasa-kuasa
perusak dan menang atas mereka. Allah bertindak menurut rencana yang
ditetapkan-Nya sendiri.Langkah demi langkah Allah menciptakan ruang bagi
tumbuh-tumbuhan agar dapat berkembang dan makhluk hidup bertambah-tambah sampai
dijadikan-Nya makhluk yang dapat mengambil bagian bersama Dia sendiri dalam
Sabat, hari peristirahatan, yang sarat dengan hubungan timbal balik.
Tuhan menciptakan
dengan Perantaraan Firman, Roh, dan Hikmat. Menurut kesaksian utama Perjanjian
Lama, Allah menciptakan dengan perantaraan Firman yang berwibawa penuh dan
senantiasa menghasilkan tindakan: “Berfirmanlah ….. maka jadi” (Kej.1:3); “Jadilah
demikian” (Kej.1:7, 9, 11, 15, 24).
Allah menciptakan manusia dari debu tanah (sebagai
Adam dan adamah, kata Ibrani untuk tanah
Kej.2:7; Pkh. 3:20; Mzm. 89:48),
pada hari keenam, sama dengan binatang, sehingga ia bertubuh. Tubuh dan daging
yang berselimutkan kulit (Ayb. 10:11; Yeh.37:8), inilah manusia sebagai tubuh.
Ke dalam tubuh manusia itu, Allah menghembuskan “nafas hidup” dan manusia itu
menjadi “jiwa yang hidup”. Hanya melalui Roh yang menghidupkan itu makhluk
dikaruniakan hidup. Inti kehidupan itu disebut nyawa, jiwa, napas.
Allah Menjadikan
Manusia Menurut Gambar-Nya. Allah menjadikan manusia menurut gambarnya untuk
memungkinkan hubungan timbal balik antara Dia dan mereka.Martabat manusia
terletak pada gambar Allah yang menunjukkan kesedian dan undangan membuka diri
terhadap Allah.
Allah menciptakan
manusia sebagai laki-laki dan perempuan. Menurut Kejadian 1:26-28 Allah
mengambil keputusan untuk menjadikan manusia (bentuk tunggal), lalu membuat
mereka (bentuk jamak). Laki-laki disebut
dengan kata sifat maskulin dan perempuan dengan kata sifat feminim.
Allah senantiasa memberkati manusia.Allah prihatin kepada manusia yang
berdosa.Manusia Diajak Berkarya dan diundang dalam Persekutuan dengan Tuhan.
Titik Hubungan Antara Alkitab dan
Alquran.Teks-teks Alquran berikut ini diangkat demi mendukung dialog yang
saling menghormati, baik dalam hal kesamaan maupun perbedaan, dan juga demi
mencari sikap dan etika yang tepat untuk masyarakat Indonesia yang
majemuk.Allah menciptakan langit dan bumi, Allah menciptakan manusia, Allah
memelihara umat-Nya, Manusia berdosa, Kain dan Habel, Nuh dan Air Bah serta
Menara Babel.
Bab II : Allah Memilih
Para Leluhur Israel
Tempat pokok ini dalam kesaksian
kitab-kitab Perjanjian Lama. Pokok ini termasuk “kredo” umat Israel sebagai
pendahuluan atas pokok-pokok “Keluaran dari Mesir” dan “pemberian tanah
Kanaan”. Sebagai penghubung antara pokok “penciptaan dunia” dengan segala pokok
yang berikut, dan – khususnya menurut pandangan para imam – sebagai peletakan
dasar dari perbuatan Allah di Gunung Sinai.
Allah memilih
Abraham, Ishak dan Yakub.Allah memilih orang-orang-Nya atas perkenan-Nya
sendiri dan bukan karena jasa atau bakat orang tersebut. Allah memanggil
orang-orang-Nya dan menyuruh mereka meninggalkan segala jaminan dan menuju
tempat di mana Ia akan menemui mereka. Allah memberkati orang yang dipilih-Nya.
Dengan memilih orang-orang tertentu Allah tidak menolak orang lain.
Atas perkenan-Nya
sendiri Allah memilih orang-orang. Allah tidak wajib mempertanggungjawabkan
kebijaksanaan-Nya.Pada hakikatnya Allah memilih orang dalam pengasihan-Nya yang
bebas yang tidak didasarkan pada sikap dan bakat orang itu, tetapi hanya pada
kehendak Allah sendiri. Allah memilih orang-orang-Nya, menjalin hubungan khas
dan mulai suatu babak sejarah dengan mereka.
Allah memanggil orang-orang
yang meninggalkan semua jaminan.Allah memilih para leluhur dan mengambil
segala jaminan yang lazim dari mereka, serta menimbulkan di dalam hati mereka
kerelaan untuk menerima firman-Nya. Allah memberkati orang-orang yang
dipilih-Nya dan Ia menjadikan mereka hamba-hamba-Nya. Ketika Abraham dipanggil,
Ia dijanjikan berkat untuk diri sendiri: Ia akan menjadi bapa suatu bangsa yang
besar dan namanya akan termasyur. Semua orang yang berhubungan sejahtera dengan
dia pun diberkati.
Lot, Ismael, dan
Esau serta Keturunannya Tidak Terpilih.Cerita-cerita para bapa leluhur itu
memberi cukup perhatian dan tempat kepada tokoh-tokoh manusia yang tidak
terpilih itu.Mereka diberi tugas dan peranannya masing-masing. Kalau Allah
tidak mmemilih mereka, belum tentu hal itu berarti bahwa Allah “menolak”,
“membuang” atau malah “mengutuki” mereka. Umat Israel mengetahui tentang suatu
rencana Allah mengenai umat manusia seluruhnya,, di mana “orang-orang luar” pun
mendapat tempatnya.
Allah Menyatakan
Diri.Allah menyatakan diri kepada para bapa leluhur. Sambil “memanggil” dan
“menggerakkan” mereka, Ia sendiri tidak tinggal tersembunyi. Tindakan-Nya
tertuju kepada manusia yang dipilih-Nya dan perhatian kita pun diarahkan kepada
orang-orang pilihan-Nya itu. Namun, di dalam tindakan-Nya ini Iasekaligus
menyatakan diri sehingga perhatian kita pun terarah kepada .dia yang bertindak.
Allah “memperlihatkan” atau “memperdengarkan” diri-Nya, atau dengan cara lain menyatakan
kehadiran-Nya.
Bab
III: Allah Membawa Israel Keluar dari Mesir
Kitab Keluaran
menerima namanya dengan mengingat kelima belas pasal pertama (Kel.1:1-15:21).
Kesaksian Perjanjian Lama mengenai penciptaan dunia berpusat pada Kejadian 1-2,
kesaksiannya mengenai pemilihan para bapa leluhur berpusat pada kumpulan
Kejadian 12-50. Demikian juga dengan pokok tentang Keluaran dari Mesir itu;
hamper semua bahan cerita tentang pokok itu terkumpul dalam Keluaran 1-15).
Allah membebaskan
umat-Nya supaya mereka Merdeka sebagai Hamba Tuhan, berarti “menjadi merdeka”
dengan sesungguhnya. Orang-orang Israel telah dibebaskan, sebab merekalah “umat
Tuhan”.
Bab
IV: Allah Membimbing Umat-Nya di Padang Gurun
Pokok ini termasuk
“kredo” umat Israel sebagai penghubung antara pokok “Keluaran dari Mesir dan
Pemberian tanah Kanaan, dan untuk mengingatkan Israel pada wujudnya sendiri
sebagai umat di dalam perjalanan.
Allah memilih
Suatu Bangsa Yang Degil.Sejumlah saksi yakin bahwa gurun adalah tempat
kelahiran Israel sebagai Umat Tuhan.Kasih saying Tuhan pernah dijawab umat-Nya
dengan kasih pula.Namun, kebanyakan saksi memberitahukan bahwa umat Allah itu
memberontak di gurun, kurang percaya, dan berkali-kali mencobai Allah.
Umat Allah
Menggerutu dan Memberontak di Gurun. Rupa-rupanya, sungut-sungut ini menjadi
suatu sifat dari zaman padang gurun. Yosua 9:18 adalah kekecualian satu-satunya
di mana istilah ini dipakai tidak berkenaan dengan zaman padang gurun.
Sungut-sungut ini menyatakaaan suatu sikap “tidak puas” “tidak sabar” atau
“tidak tahu”.
Allah Menanggung
umat-Nya Di Padang Gurun. Allah memilih umat-Nya dan hal itu berarti Ia
membebaskannya. Ini menjadi kesimpulan kita ketika merenungkan perbuatan Allah
di Mesir. Kini kita tidak berada di Mesir lagi, tetapi di padang gurun! Allah
memilih umat-Nya. Itu berarti Ia memeliharanya: “Dikelilingi-Nya dia dan
diawasi-Nya, dijaga-Nyaa sebagai biji mata-Nya” (Ul.32:10), dituntun-Nya dia
dengan hati-hati (Kel.15:13), didukung-Nya dia “di atas sayap rajawali”
(Kel.19:4) sepanjang waktu. Judul di atas ini memakai kata yang terakhir
sebagai rumusan untuk segalakata yang lain.
Bab
V: Penyataan Di Gunung Sinai
Peristiwa-peristiwa
di atas puncak dan di dekat kaki gunung yang termasyur itu begitu besar
pengaruhnya atas kelahiran dan kehidupan
umat Israel, menurut kesaksian mereka sendiri di dalam kitab-kitab
Perjanjian Lama, sehingga sudah selayaknya jika kita mengkhususkan satu bab
tersendiri mengenai hal itu. Rupa-rupanya pokok Gunung Sinai ini ada juga segi
yang memperlihatkannya sebagai peristiwa yakni sebagai perbuatan Allah adalah: Pertama, Allah mengikat perjanjian-Nya
dengan Israel. Kedua, Allah
memberikan undang-undang dengan perantaraan Musa, Ketiga,Allah membina
umat-Nya, yakni dengan memberikan “Kesepuluh Firman” untuk menguduskan,
membebaskan, dan mempersatukannya.Umat rela menerima Firman itu dan Tuhan
selalu mempertahankan Perjanjian-Nya. Kumpulan Hukum itu Disebut Taurat.
Penutup
Allah menciptakan
segala sesuatu, memberikan hidup kepada para makhluk-Nya, dan sekalipun hati
manusia cenderung pada kejahatan, Ia memberkati mereka. Manusia itu hendaknya
bertanggung jawab atas perbuatannya terhadap sesama dan makhluk lainnya serta
bersyukur kepada Allah yang membuka kesempatan berkembang.
Bangsa-bangsa lain
(dan sejumlah besar suku bangsa Indonesia) mencari asalnya dalam mite
mula-jadi. Akan tetapi, umat Israel berakar dalam sejarah dan memahami hidupnya
sebagai jalan di hadapan Tuhan.
Allah memilih
sekelompok pekerja rodi sebagai umat-Nya. Dengan ini Ia memihak orang-orang
tertindas. Inilah dalil dasar teologi pembebasan.
Di Sinai Allah
menyatakan diri-Nya kepada umat-Nya dan menentukan bentuk hubungan antara Dia
dan orang-orang pilihan-Nya.Kesaksian yang satu mengutamakan perjanjian yang
Allah karuniakan lengkap dengan undang-undang yang mengatur persekutuan orang
merdeka yang saling menghormati. Sedangkan kesaksian yang lain berkaitan dengan
ibadah – dengan para imam, kurban, tempat dan waktu yang kudus – yang Tuhan
tentukan untuk umat-Nya. Kedua suara ini menekankan kesetiaan Tuhan kepada
umat-Nya dan menuntut agar umat-Nya pun setia kepad Allah.Hanya dalam hubungan
timbal balik tersebut terbuka ruang hidup bermakna untuk manusia.
Christoph Barth & Marie-Claire Barth-Fommel
TEOLOGI PERJANJIAN LAMA 2
Pendahuluan
Buku ini berusaha menjawab pertanyaan: Apa yang
melatar belakangi pemberian tanah Kanaan?
Adakah konsep pemerintahan yang ideal
atas dasar kegagalan dan kesuksesan pemerintahan raja-raja
di Israel? Bagaimana
memahami Yerusalem sebagai kota Allah?
Bagaimana
nabi-nabi memberikan kontribusi bagi informasi masyarakat secara sosial maupun spiritual?
Pokok
teologis yg dianggakat dalam buku ini
ingin memahami suara Allah di
masa silam bagi umat Kristen masa kini. Penulis
buku ini , mengangkat segi segi penting
seputar teologi PL dengan
pertimbangan isu-isu yang berkembang abad ini.
Dgn harapan besar:
Umat Kristen
memiliki petunjuk untuk persoalan yang
relevan , misalnya hak tanah ,
pemerintah yang adil. Maka diaturlah
dalam hukum taurat dengan ( sistim theoktasi )
Untuk mencapai
tujuan tersebuat maka disusun sebagai berikut
Menjelaskan
bagaimana Allah memberikan Tanah Kanaan kepada Israel dimana Allah akan mendidik mereka untuktakut
akan Tuhan, mereka harus berjalan dengan iman,
berhadapan dengan musuh, dan
terus berjuang.
Tiba di Kanaan
kemudian Allah mengangkat raja raja bagi Israel, dituntut
masuarakat yg sejahtra, adil dan makmur, dan menjanjikan Mesias sebagai Raja yang maha Adil.
Berikutnya
Allah menetapkan Sion/ Yerusalem sebagai kota Allah tempat yang tepat untuk Israel melaksanakan
ibadahnya , sebagai tempat pilihan Allah bagi
Raja Daud bertahta
Selanjutnya menguraikan bagaimana Allah mengutus
nabi-nabi , Allah memakai para nabi sebagai
wakil Allah menegur dan menjaga Israel
agar takit akan Tuhan. Melalui
nabi nabi Allah benubuatkan banyak hal untuk masa depan Israel dan dunia. Terutama akan datangnya pelepas yang
terakhir yaitu utusan yang menyerahkan
nyawa bagi tebusan banyak orang.
Penutup
Buku ini cukup baik menjelaskan teologia PL
dengan tema tema penting Allah memberikan tanah Kanaan kepda
Israel, Allah juga mengangkat hakim,
dan raja-raja Israel, Allah memilih Sion
sebagai kota penting dimana Allah memerintah melaui Daud, selanjutnya bagaimana
Allah mengutus para nabi sebagai juru bicara Allah kepada umat Israel.
Gerhard F. Hasel, Teologi Perjanjian
Lama. Malang: Gandum Mas, 1995.
Evaluasi Buku Gerhard F. Hasel
“TEOLOGI
PERJANJIAN LAMA”
Permulaan
dan Perkembangan Teologi Perjanjian Lama
Teologi Perjanjian
Lama tidak terlepas dari Teologi Alkitab, karena Teologi Perjanjian Lama
merupakan bagian dari Teologia Alkitab, maka teologia Perjanjian Lama tidak
dapat diselidiki terlepas dari teologia Alkitab.1
Istilah teologia Alkitab dipakai dalam dua arti 1) istilah ini dapat berarti
sebuah teologi yang ajaran-ajarannya bersumber pada Alkitab dan dasarnya adalah
Alkitab, 2) teologi yang dikandung oleh Alkitab itu sendiri. Dalam arti kedua,
istilah teologi Alkitab merupakan suatu disiplin teologis tertentu yang asal
mula dan perkembangannya berbeda-beda menurut latar belakang dan sejarah
masing-masing. Seratus tahun setelah
reformasi baru muncul istilah teologia Alkitab oleh Wolfgang Jacob Christian
berjudul Teutshe Biblische Theologie (Kempten, 1629) karangan Christman ini sudah
tidak ada lagi. Baru benar-benar ada istilah teologia Alkitab Henricus A.Diest
dalam bukunya “Theologia Biblica” (Daventri, 1643).
Bauer dalam bukunya Theologie des
Alten Testaments memulai memisahkan antara teologia Alkitabiah menjadi teologia
Perjanjian Lama dengan teologi Perjanjian Baru. Dalam bukunya tersebut, Bauer
memiliki tiga struktur isi, yaitu: teologi, Antropologi dan Kristologi. Dari zaman Pencerahan sampai zaman teologia
dialektika disiplin teologi Alkitabiah memisahkan diri sebagai tambahan dari
dogmatik, teologia Alkitab menjadi saingan dengan teologia dogmatik.2
Kaiser menerbitkan karya teologia Alkitab dengan pendekatan rasionalis
dan menolak pendekatan supranaturalisme. Seorang murid Gabler menandai gerakan
pertama menjauhi rasionalis dan mengadakan pendekatan pemaduan teologia Alkitab
dengan suatu sistem filosofis. Sintesisnya yang lebih tinggi antara iman dengan
perasaan membawa masuk perkembangan awal pertumbuhan agama dari Hebraisme
menjadi Kristianisme lewat Yudaisme.3
Sumbangan Oehler dalam membahas
teologia Perjanjian Lama mengenai teori dan metode pemahaman dari sudut teologi
Alkitabiah tentang teologia Perjanjian Lama.
Oehler bereaksi terhadap gaya pengikut Marcion yang diperkenalkan oleh
F. Schleirmacher dengan sikap mereka yang memandang rendah Perjanjian lama dan
terhadap penyeragaman total terhadap Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Oehler sendiri tidak melepaskan pendapat
bahwa ada kesatuan di antara Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru. Oehler berpendapat bahwa ada kesatuan
di dalam perbedaan. Oehler menerima
adanya pemisahan antara teologi Perjanjian Lama dengan teologi Perjanjian Baru,
namun teologi Perjanjian Lama hanya dapat berfungsi secara benar di dalam
kontek kanonik yang lebih luas. Teologi
Perjanjian lama merupakan suatu ilmu sejarah berdasar pada eksegesis dari sudut
sejarah, tata bahasa yang tugasnya adalah mereproduksi isi dari tulisan-tulisan
dalam Alkitab menurut kaidah-kaidah dengan bahasa dengan mempertimbangkan
keadaan sejarah pada saat tulisan-tulisan tersebut pertama kali ditulis dan
juga kondisi-kondisi pribadi dari para penulis Alkitab. Teologia Perjanjian
Lama karya Oehler dianggap sebagai Penyajian Keselamatan. Bagian penting dari
reaksi golongan konservatif muncul dalam “mazhab sejarah keselamatan”. Mazhab sejarah keselamatan abad ke 19
didasarkan pada (1) Sejarah umat Allah
sebagai diungkapkan dalam Firman, (2) Pemahaman tentang pengilhaman
Alkitab, (3) hasil (pendahuluan) dari sejarah antara manusia dengan Allah di
dalam Tuhan Yesus Kristus. Van Hofman menemukan di dalam Alkitab suatu catatan
tentang sejarah penyelamatan langsung yang didalamnya Tuhan sejarah adalah
Allah Trinitas yang dimaksud dan tujuanNya adalah menebus umat manusia. Karena
Yesus Kristus adalah tujuan semula dunia ini yang menjadi sasaran sejarah keselamatan
dan yang memberikan arti kepada sejarah keselamatan, maka Perjanjian Lama
berisi proklamasi sejarah keselamatan.
Inilah yang harus diuraikan oleh teologi Perjanjian Lama.
Mulai tahun 1878
menandai dimulainya kemenangan oleh pendekatan dari sudut “sejarah agama-agama” (Religionsgeschicte).
Suatu ciri khas yang menonjol dari
sejarah agama-agama adalah metode perkembangan evolusi yang berdasarkan sejarah
pertumbuhan. Mazhab yang baru ini cocok
dengan suasana intelektual dari masa itu yang sudah diajarkan oleh Hegel
dan Darwin untuk menganggap prinsip-prinsip evolusi sebagai kunci ajaib untuk
membuka semua rahasia sejarah.4 Pendekatan dari sudut agama-agama yang penuh
diliputi kejadian sejarah telah membawa kehancuran final atas kesatuan Perjanjian
Lama yang direndahkan tingkatannya menjadi sebuah koleksi bahan-bahan dari beberapa periode yang berdiri sendiri dan
hanya terdiri atas berbagai refleksi umat Israel tentang jumlah-jumlah
agama-agama kafir yang berbeda-beda. Pendekatan ini memiliki dampak yang sangat
menghancurkan terhadap teologia Perjanjian Lama dan terhadap pemahaman tentang
Perjanjian Lama dalam semua aspeknya yang lain. Diperlukan suatu tindakan yang
betul-betul berani untuk mendobrak tindakan pemakaian teori sejarah dalam
studi-studi Perjanjian Lama dan untuk menemukan kembali dan menghidupkan
kembali teologi Perjanjian Lama.
Kebangunan kembali Teologi
Perjanjian Lama. Faktor yang menyebabkan
kebangunan kembali Teologi Perjanjian lama, yaitu munculnya renainsans teologi Perjanjian Lama
antara lain :1) hilangnya pamor
naturalisme evolusioner, 2) reaksi terhadap keyakinan bahwa kebenaran historis
dapat dicapai lewat objektivitas ilmiah murni atau bahwa objektivitas semacam
itu memang dapat dicapai, 3) kecenderungan untuk kembali kepada ide penyataan
di dalam teologi dialektik.
Pada tahun 1922 muncul tanda jelas
pertama tentang kebangunan teologi Perjanjian Lama, dengan terbitnya buku karya
E.Konig berjudul “Theologie des Alten Testaments”.Konig memiliki pandangan yang
sangat tinggi terhadap kebenaran amanat Perjanjian lama dari aliran Wellhausen
dan mencanangkan suatu pemakaian yang tepat akan metode penafsiran berdasarkan
sejarah tata bahasa. Konig mengkombinasikan sejarah perkembangan agama Israel
dengan sejarah faktor-faktor teologis tertentu dari iman Perjanjian Lama. Pada tahun 1926 O.Eissfeld memasuki arena
pembahasan itu dengan menyatakan bahwa teologi Perjanjian Lama adalah suatu
bidang disiplin yang non historis, ditentukan oleh posisi iman sang teolog.,
sehingga sifatnya subjektif, padahal studi tentang agama Israel itu bersifat
historis dan objektif.
Zaman emas dari
teologia Perjanjian lama dimulai tahun 1930-an dan terus berlangsung sampai
sekarang. Karya – karya teologi Perjanjian lama yang penting datang dari E.Sellin
(1933) dan L. Koehler (1936) yang keduanya memakai susunan :
Allah-Manusia-Keselamatan.
Sekitar
Masalah Metodologi
Tugas deskriptif
dalam tradisi ilmiah gabler-Wrede – Stendahl. Ahli teologi Alkitab dikatakan
harus memusatkan perhatiannya pada soal menguraikan ”arti asli dari ayat” dan bukan “makna ayat itu masa kini”
demikian stendahl. Kemajuan teologi Alkitab sangat bergantung pada tepatnya
pembedaan ini digunakan, yang harus dipahami sebagai “kapak” yang memisahkan
dengan pasti pendekatan deskriptif terhadap Alkitab dengan pendekatan normatif
yang sering kali ditugaskan kepada seorang ahli teologi sistematika, yang
bertugas menerjemahkan makna ayat itu masa kini. Tugas yang disebut terakhir, yaitu “makna ayat
itu masa kini”, tidak boleh dianggap sebagai bagian yang tepat dari metode
deskriptif historis yang sempurna..
Perbedaan antara
arti “asli dari ayat “ dengan “makna ayat itu masa kini” merupakan inti masalah
yang paling fundamentalis dalam teologi Perjanjian Lama, karena mencari “arti
asli dari ayat” bukanlah sekedar menemukan arti asli dari ayat Alkitab itu
dalam konteks kanonik alkitabiahnya; itu merupakan suatu komunikasi rekontruksi
historis. Sedang yang dimaksudkan dengan
rekontruksi historis menurut seorang sarjana modern ialah penyajian dunia
pemikiran tentang Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru sebagaimana
direkontruksikan berdasarkan lingkungan sosial kulturnya.Rekontruksi historis
atau “arti asli dari ayat”, memahami
Alkitab sebagaimana dibatasi oleh waktu dan lingkungan ketika Alkitab pertama
kali ditulis. Waktu dan tempat Alkitab ditulis, lingkungan sosio-culturalnya,
tatanan sosialnya, dan lingkungan kebudayaannya di antara agama-agama dan
bangsa-bangsa lain merupakan satu-satunya kunci yang sebenarnya untuk
mengetahui pengertian aslinya. Dalam hal ini Alkitab ditafsirkan dengan cara
yang sama seperti setia dokumen kuno lainnya. Sebagaimana halnya “arti asli dari ayat: merupakan
rekontruksi historis yang dilaksanakan dengan prinsip-prinsip metode penelitian
sejarah, demikian pula “makna ayat itu masa kini” merupakan penafsiran
teologis.
Penafsiran
teologis adalah penerjemahan ayat yang telah direkontruksikan secara historis
ke dalam situasi dunia modern. Biasanya ini berarti bahwa kunci menuju
penafsiran teologis ialah pandangan hidup sang penafsir itu sendiri.
Bagaimanapun pandangan hidup sang penafsir dan jenis filsafat apapun yang
dipakai dalam penafsiran teologis atau untuk mengetahui “makna ayat itu masa
kini”, pendekatan yang teologis dan bersifat menafsirkan terhadap “makna ayat
itu masa kini” adalah teologi sekarang itu dan dianggap sebagai bersifat
normatif bagi iman dan hidup. Jadi bahwa perbedaan zaman modern antara “arti
asli ayat” dengan “makna ayat itu masa kini” seperti penafsiran teologis yang
bersifat normatif merupakan persoalan baik dalam perbedaannya maupun dalam
tugasnya. Sebagai contoh D.H Kelsey telaah dengan ringkas, mengatakan bahwa ada
beberapa cara yang dapat saling menghubungkan “arti asli ayat itu” dengan “makna ayat itu masa kini” dengan hasil yang
beraneka raga sebagai berikut:
Pertama, dapat ditetapkan bahwa pendekatan
deskriptif yang berusaha menentukan “arti asli ayat” dengan memakai metode
penelitian apapun juga dianggap identik dengan “makna ayat itu masa kini”.
Kedua, dapat ditetapkan bahwa”arti asli ayat”
mengandung pokok-pokok pikiran, gagasan-gagasan, dan lain-lain yang perlu
dicari dan diterjemahkan secara sistematik dan dijelaskan dan bahwa
inilah”makna ayat itu masa kini”, meskipun penjelasan-penjelasan tersebut
mungkin tidak pernah berpikir oleh para penulis ahli dan mungkin ditolak oleh
mereka.
Ketiga, dapat ditetapkan bahwa “arti asli ayat”
merupakan suatu cara bicara zaman kuno yang bergantung pada waktu dan budayanya
sendiri dan yang perlu dijelaskan ulang dengan memakai bahasa masa kini tentang
gejala yang sama, dan bahwa penjelasan ulang ini adalah “makna ayat itu masa
kini”. Prosudere ini menunjukkan bahwa sang teolog memiliki pengetahuan tentang
gejala tersebut terlepas dari masukan Alkitab dan “arti asli ayat” sehingga ia
dapat memeriksa ungkapan kuno tersebut dan mendapat dasar bagi uraiannya sendiri.
Keempat, dapat ditetapkan bahwa “arti asli ayat”
mengacu pada cara orang Kristen dahulu menggunakan ayat-ayat Alkitab dan bahwa
“makna ayat itu masa kini” hanyalah cara ayat-ayat tersebut digunakan oleh
orang Kristen modern. Dalam hal ini ada
hubungan genetis. Kesley mencatat bahwa
, “tidak ada dari ketetapan ini yang dapat disahkan tersebut, karena justru
yang menjadi masalah ialah hubungan antara studi eksegetis dengan teologi
sekarang ini.” Kritikan-kritikan
terhadap perbedaan antara “arti asli ayat”
denga “makna ayat itu masa kini”, yaitu perbedaan antara rekontruksi
historis atau apa yang bersifat historis, deskriptif, dan objektif dengan penafsiran teologis atau apa yang
bersifat teologis dan normatif, dilancarkan oleh berbagai kalangan. Selanjutnya bahwa B.S Childs telah mengajukan keberatan
terhadap pendekatan historis dan deskriptif karena sifatnya membatasi. Tugas historis dan deskriptif tidak dapat
dilihat sebagai suatu tahap netral yang kemudian menuju penafsiran teologis
yang asli. Ayat itu, kata Child,
memberikan “kesaksian yang lebih luas daripada apa yang terkandung di dalamnya
tentang maksud ilahi Allah. Harus ada
“pergerakan dari tingkat kesaksian tersebut menuju kenyataan” .
Stendahl mengakui
bahwa tugas deskriptif itu “ mampu menguraikan ayat-ayat Alkitab secara lebih
luas dari pada apa yang terkandung di dalam ayat-ayat itu…dalam maksud dan
fungsi ayat-ayat itu sepanjang zaman…. Namun Stendahl menolak bahwa penjealsan
tentang kenyataan ini merupakan bagian dari tugas seorang ahli teologi
Alkitabiah. Akan tetapi, Childs bersikeras bahwa “arti asli ayat itu” sebagian
besar ditentukan oleh hubungannya dengan orang yang kepadanya ayat itu
ditujukan. Childs memperlihatkan bahwa “bila dilihat dari kontek kanon maka
masalah arti asli dari ayat dan makna ayat itu
masa kini keduanya tidak dapat dipisahkan dan merupakan bagian dari
tugas penafsiran Alkitab sebagai Firman Allah.
A. Dulles
mempunyai maksud yang sama ketika ia berbicara soal “kegelisahan tentang
pemisahaan radikal….antara arti asli ayat Alkitab dengan makna ayat Alkitab itu
masa kini”. Kalau Stendahl memberikan
nilai normatif yaitu penafsiran teologis, maka Dulles mempertahankan pendapat
bahwa nilai normatif harus diberikan juga kepada arti asli dari ayat Alkitab,
dan kita dapat menambahkan arti asli ayat itu dalam konteks kanoniknya sendiri
waktu berbicara dengan bahasa yang dipakai Childs.
Metodologi
dalam PL
Metodologi dalam
Perjanjian Lama. Ada beberapa metode yang bisa dipakai untuk menyelidiki
teologia Perjanjian Lama, yaitu:
Metode
Didaktik-Dogmatik.
Metode tradisional dalam mengorganisasikan teologi Perjanjian lama ialah
pendekatan yang dipinjam dari teologi dogmatik (teologi sistematika) dan bagiannya
(untuk pokok-pokok bahasannya) tentang Allah-Manusia-Keselamatan atau
Teologi-Anthropologi-Soteriologi.
Metode Progresif
dan Genetis,
oleh C.K. Lehman mendefinisikan metode ini sebagai metode teologi Alkitabiah.
Metode teologi Alkitabiah sebagai metode yang ditetapkan pada umumnya oleh
prinsip perkembangan historis. Metode ini dipahami sebagai pembeberan penyataan
Allah sebagaimana disajikan oleh Allah. Perkembangan historis dari penyataan
Allah yang berkembang dibuktikan dalam periode-periode atau era-era penyataan
ilahi yanag ditetapkan secara benar-benar sesuai dengan garis-garis pemisah
yang dibuat oleh penyataan itu sendiri. Secara lebih khusus hal ini berarti
bahwa penyataan ilahi berpusat pada beberapa perjanjian yang dibuat oleh Allah
dengan Nuh, Abraham, Musa dan melalui Kristus, yang semuanya menunjukkan
“keberadaan organik” dari Alkitab serta “anatomi” Kitab Suci. Dengan demikian
nampak pengaruh dari beberapa sarjana dan mulai mengadakan pendekatan untuk
membangun dari “singkapan progresif “. Lehman membagi karyanya menjadi tiga
bagian besar, yang mengikuti pembagian kanon Ibrani. Bagian I membahas
penyataan Allah dalam penciptaan dan kejatuhan manusia ke dalam dosa, dari
kejatuhan dalam dosa sampai Abraham, dan sepanjang masa bapak-bapak leluhur,.
Bahan ini diikuti oleh penyataan dan ibadah pada zaman Musa, suatu bagian
khusus tentang dosa dan keselamatan dalam pentateukh. Bagian II membahas penyataan Allah sepanjang
masa nabi-nabi, dengan beberapa subseksi
yang membahas pemunculan, tempat, sifat dari gerakan kenabian, teologi
nabi-nabi, penyataan Allah melalui nabi-nabi dari periode Asiria, teologi
Yesaya 40-66, teologi nabi-nabi zaman Kasdim (neo Babilonian), zaman
pembuangan, dan zaman Persia. Bagian III membicarakan teologi hagiograf dalam urutan Mazmur, Amsal, Pengkhotbah.
Kidung Agung, dan Ayub. Pandangan ini
menyediakan banyak pandangan yang bernilai dan penting, namun struktur kanonik
yang terdiri atas tiga bagian ini nampak sangat bertentangan dan tidak dapat
didamaikan dengan metode genetis dari “perkembangan historis”, karena kanon Ibrani tidak
memberikan bukti adanya suatu perkembangan historis yang konsisten. Teologi Perjanjian Lama sajian Lehman
menunjukkan suatu campuran struktur kanonik yang terdiri dari atas
tiga bagian tadi dengan suatu pendekatan khusus dan secara kitab per
kitab tanpa adanya suatu perkembangan historis yang konsisten. Beberapa kitab tetap tanpa penanggalan, sama sekali di luar
“Perkembangan Historis” dan secara genetis tidak ada kaitannya dengan penyataan
yang berkembang. Selanjutnya bahwa Clements membagi monografnya menjadi
delapan bab. Bab 1 dan 2 merupakan sebuah survey yang berisi berbagai
masalah metodologi serta masalah
–masalah lain yang terkait. Bab 3-6 membahas apa yang oleh Clements dianggap
sebagai tema-tema pokok dalam Perjanjian Lama. Tema “Allah Israel” dibicarakan
dalam aspek – aspek seperti keberadaan
Allah, nama-nama Allah, kehadiran Allah dan keunikan Allah, suatu arus perkembangan yang bersifat
genetis-historis mendapatkan sorotan yang hati-hati. Clements menolak untuk
memakai pendekatan yang berorientasi pada suatu pusat terhadap teologi
Perjanjian Lama dengan suatu prinsip pengatur. Bagi Clements kesatuan
Perjanjian Lama bukanlah berupa suatu tema tertentu, suatu pusat, suatu prinsip
pengatur, atau suatu rumusan, melainkan sifat dan keberadaan Allah sendirilah
yang merupakan landasan kesatuan dalam Perjanjian Lama. Clements tidak hanya menekankan pentingnya
kanon namun dengan kuat menunjukkan bahwa kanon Kitab Suci Ibrani sendiri yaitu
Perjanjian Lama, merupakan norma yang benar bagi teologi Perjanjian Lama.
Dengan demikian terdapat suatu kaitan yang nyata antara maksud “kanon” dengan
maksud “teologi”, karena status tulisan-tulisan ini sebagai kanon kitab-kitab
kudus itulah yang menjadi tanda bahwa tulisan-tulisan tersebut mengandung
Firman Allah yang tetap diyakini sebagai memiliki kuasa. Menurut pendapat
BS.Childs bahwa konsepsi kanon inilah yang menimbulkan beberapa pertanyaan
tentang otoritas Perjanjian Lama dan kemampuannya untuk memberi kita suatu
teologi yang dapat tetap bermakna dalam abad kedua puluh.Oleh karena itu
Clements menolak untuk menganggap teologi Perjanjian Lama sebagai suatu
kegiatan yang deskriptif semata. Hal ini memberi alasan untuk menolak pendekatan
yang justru memang menyesuaikan dengan sejarah ini didasarkan pada pendapat
bahwa Perjanjian Lama memberi kita penyataan dari Allah yang kekal itu. Teologi
Perjanjian Lama tidak boleh dianggap sebagai kegiatan yang historis dan
deskriptif (pendapat Gabler-Wrede-Stendahl), tetapi sebaliknya daripada
membicarakannya sebagai suatu cabang dari penelitian sejarah Perjanjian Lama,
teologi Perjanjian Lama hendaknya dianggap secara tepat sebagai suatu cabang
teologi.5
Metode yang
menggunakan contoh yang Representatif yang mewakili Keseluruhan. Tokoh teologi Perjanjian Lama, Eichrodt pada
tahun 1930-an mengembangkan pendekatan yang menggunakan contoh yang
representatif. Eichrodt mampu melakukan
penggunaan contoh yang representatif terhadap seluruh dunia pemikiran
Perjanjian Lama dengan membuat perjanjian itu sebagai pusat Perjanjian
Lama. Teologi Eichrodt benar-benar
bersifat historis dan deskriptif. Ia mempertahankan anggapannya bahwa teolog
Perjanjian Lama harus dituntun oleh prinsip seleksi dan prinsip kecocokan.
Tugas sistematika ini penggunaan metode dengan menggunakan contoh yang
representatif terhadap seluruh proses historis dengan membentangkan secara
terang-terangan struktur inti dari agama. Tujuan Eichrodt ialah memahami alam
kepercayaan Perjanjian Lama dalam kesatuan strukturalnya dan menjelaskan
maknanya yang paling dalam.6 Kaiser menunjukkan bahwa satu-satunya pusat
sejati atau Mitte dari sebuah teologi Perjanjian Lama ialah”tema Perjanjian”.
Kaiser menunjukkan juga bahwa hal itu dikenal dalam Perjanjian Lama dengan
konstelasi kata-kata seperti janji, sumpah, berkat dan perhentian serta
keturunan”. Kaiser memahami pusat atau
rencana inti yang kepadanya setiap penulis Alkitab menyumbang secara sadar ini
sebagai tema “janji berkat ilahi”. Bagi Kaiser tema “janji berkat” merupakan
pusat yang agak luas dari Alkitab.
Metode Topikal. Metode topikal dibedakan dengan metode didaktik
–dogmatik lewat penolakannya untuk membiarkan kategori-kategori dari luar
dilapisi sebagai suatu jaringan melalui mana bahan-bahan dan tema-tema
Perjanjian Lama dibaca, dirangkum, dan disistematisasi. Pendekatan yang dipakai
yaitu pendekatan pembahasan kitab per kitab dalam urutan sejarah dan
berdasarkan dari sudut penelitian sastera. Teologi Perjanjian Lama Fohrer
menghindari :” metode penggunaan contoh yang representatif, metode genesis, dan
metode dogmatik dengan struktur Teologi-Anthropologi-Soteriologi”. Di lain
pihak Fohrer merintis jalan dalam teologi Perjanjian Lama dengan menganut suatu
pendekatan topikal yang deskriptif maksudnya sesuai dengan dengan pengertian yang dikandungnya untuk masa
kini. Fohrer berusaha menjembatani kesenjangan antara “rekontruksi dengan
interpretasi” atau antara “arti asli ayat” dengan “makna ayat untuk masa kini”.7
Suatu penelitian atas metode Fohrer menunjukkan bahwa dalam inti bukunya
menjelaskan “Kesatuan dalam keanekaragaman” yang menguraikan “kekuasaan Allah
dan hubungan antara Allah dengan Manusia”.
Metode
Diakronis.Metode diakronis untuk teologi Perjanjian Lama tergantung pada riset
sejarah tradisi yang dikembangkan sekita tahun 1930-an. G.von Rad membangkitkan
pemikiran serta riset baru, van Rad menceritakan ulang “kerigma atau pengakuan
Perjanjian Lama yang terungkap lewat metode sejarah tradisi diakronis. Pendekatan diakronis menembus sampai ke
beberapa lapisan, berturut-turut dari ayat Perjanjian Lama tertentu dengan
tujuan mengungkapkan “kegiatan teologi Israel yang mungkin merupakan salah satu
kegiatan yang tergolong paling penting dan menarik, yaitu usaha-usaha yang senantiasa
baru untuk membuat tindakan-tindakan
penyelamatan ilahi relevan bagi setiap masa dan waktu pencapaian dan pengakuan
yang senantiasa baru tentang tidakan-tindakan Alah yang akhirnya membuat
berbagai pengakuan iman lama menjadi tradisi –tradisi yang begitu banyak. Von
Rad merupakan sarjana pertama dan
satu-satunya yang pernah menerbitkan sebuah teologi Perjanjian Lama yang
sepenuhnya diakoronis tentang tradisi-tradisi sejarah Israel.
Metode Pembentukan
Tradisi.
Metode diakronis von Rad yang terus menerus didiskusikan dan didorong telah
mendatangkan sebuah hasil lainnya dalam perkembangan atau kelanjutan suatu
aspek tertentu dari metode sejarah tradisi yang diakronis. Segera setelah
teologi von Rad yang bergantung pada metode sejarah tradisi muncullah metode
“pembentukan tradisi” gagasan sarana Perjanjian Baru bernama Hartmut Gese.
Tesis programatik Gese ialah bahwa Perjanjian Baru merupakan kesimpulan dari
pembentukan tradisi yang dimulai dalam Perjanjian Lama, sehingga Perjanjian
Baru menggenapi Perjanjian Lama. Hal ini berarti bahwa teologi Alkitab dibangun
atas landasan kesatuan proses pembentukan tradisi atau kesatuan antara kedua
perjanjian karena sudah ada akibat sejarah tradisi. Menurut Gese hanya sejarah
tradisi dapat menghasilkan teologi Alkitabiah,..Sejarah tradisi dapat menjadi
metode teologi Alkitabiah karena sejarah tradisi menjangkau melampaui
fakta-fakta sejarah dan gejala-gejala keagamaan dan menggambarkan proses
pembentukan tradisi yang hidup.8
Metode
Dialektis-Tematik. Metode diakronis dan metode pembentukan
tradisi bergantung pada metode sejarah tradisi. Brueggman memulai pendekatan
baru dari kedua metode, dengan pendekatan-pendekatan terhadap teologi
Perjanjian Lama yang memakai hubungan tematik dan dialektik. Bruegman menunjuk tiga tokoh dialektika,
yaitu dialektika yang berpengaruh yaitu dialektika “Etika/Estetika (Terrien),
dialektika “pembebasan/berkat” (Westerman), dan dialektika “teologis/kosmis
(Hanson). Dialektika Terrin didasarkan bahwa “realitas kehadiran Allah merupakan
pusat iman Alkitabiah., bukan saja kehadiran karena berkat, juga kehadiran
karena hubungan persekutuan.
Metode Teologi
Alkitabiah Baru. Brevard Childs
mengusulkan suatu teologia Alkitabiah baru. yang akan mengatasi dikotomi antara
“arti asli dari ayat” dengan “makna ayat itu untuk masa kini. Teologia
Alkitabiah Baru gagasan Child menyatakan menganggap serius kanon Alkitabiah
sebagai konteksnya. Childs memiliki tesis bahwa kanon gereja Kristen merupakan
kontek yang paling tepat untuk membuat Teologia Alkitabiah. Secara jelas bahwa
pendekatan Childs terhadap teologi Alkitabiah serta definisnya sngat berlawanan
dengan metode diakronis dari von Rad dan metode “pembentukan tradisi” dari H. Gese.
Teologi Perjanjian
Lama yang kanonik Multipleks. Sebagai kesimpulan terdapat sejumlah gagasan
penting yang menuju kepada suatu teologi Perjanjian Lama kanonik yang menyertai
suatu pendekatan multipleks sebagai berikut (1) Isi teologia Perjanjian Lama
ditunjukkan sebelumnya karena kegiatan ini merupakan teologi dari Perjanjian
Lama yang kanonik. (2) Teologi Perjanjian Lama bertugas menyediakan penjelasan
–penjelasan dan penafsiran-penafsiran ringkas dari bentuk final tulisan-tulisan
Perjanjian Lama yang tersendiri atau rangkaian tulisan yang membiarkan
bermacam-macam tema, motif, dan konsepsinya muncul dan menunjukkan keterkaitan
tulisan-tulisan tersebut satu sama lain. (3) Struktur teologi perjanjian Lama
mengikuti berbagai prosedure pendekatan multipleks. (4) Urutan teologi
Perjanjian Lama mencerminkan penekanan bercabang dua dari teologi kitab per
kitab atau rangkaian tulisan dan tema-tema, motif-motif, dan konsepsi-konsepsi
yang dihasilkan waktu hal-hal tersebut muncul. (5) Penyajian tema-tema
longitudional dari Perjanjian Lama sebagaimana tema-tema itu muncul dari
berbagai teologi tersendiri tentang kitab-kitab atau rangkaian tulisan menyusul
sesudah itu berdasarkan suatu pembahasan dari banyak segi. (6) Tujuan akhir dari pendekatan kanonik terhadap
teologi Perjanjian lama ialah menerobos aneka teologi tentang kitab-kitab
secara tersendiri atau kelompok tulisan serta bermacam-macam tema longitudional
sampai pada kesatuan dinamis yang mengikat semua teologi dan tema itu menjadi
satu. (9) Teolog Kristen mengerti bahwa
teologi Perjanjian Lama merupakan bagian dari satu keseluruhan yang meluas.
Masalah Sejarah, SejarahTradisi dan Sejarah
Keselamatan
Von Rad
menampilkan pokok persoalan sejarah dalam bentuknya yang paling tajam lewat
perbedaan paling berlawanan yang ia tunjukkan diantara kedua versi sejarah
Israel, yaitu sejarah yang berdasarkan penelitian modern dan sejarah yang
dibangun oleh iman Israel. Penelitian sejarah modern, menurut van Rad yaitu
mencari hasil maksimum yang berdasarkan penelitian yang bersifat pasti,
sedangkan gambaran kerigmatik (tentang sejarah Israel sebagaimana dibangun oleh
imannya) cenderung menuju suatu hasil maksimum yang bersifat teologis.
Frederich Baumgartel menolak pemisahan sejarah kedalam dua versi sejarah
berdasarkan penelitian modern maupun sejarah yang dibangun oleh iman Kristen.
Sebuah usaha besar
untuk mengatasi persoalan tentang dua gambaran yaitu gambaran Sejarah Israel
dan gambaran Sejarah Keselamatan menurut Pannenberg harus memulainya dari sudut
pandang mengenai makna sejarah itu sendiri, sejarah merupakan cakrawala paling
luas untuk teologia Kristen. Landasan Pannenberg bagi keseluruhan program
teologinya rupanya terletak pada pemahamannya tentang sejarah sebagai “realitas
mutlak”. Sejarah merangkum realitas masa lalu dan masa kini manusia. Dengan demikian merujuk pada perkembangan
konsepsi sejarah sebagai realitas mutlak ini mulai dari Israel kuno hingga masa
kini. Pannenberg menentang perbedaan yang lazim dibuat manusia antara
fakta-fakta sejarah dengan makna, penilaian dan penafsiran dari fakta-fakta
sejarah tersebut. Pannenberg menekankan bahwa penyataan sebagai sejarah, tujuan
dari tindakan Yahweh di dalam sejarah ialah agar Allah dikenal melalui
penyataanNya. Hubungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru terdapat
dalam satu sejarah, yaitu sejarah universial yang berakal di dalam Allah yang
bekerja dimana saja untuk tetap menepati janjiNya. Di dalam sejarah universal nasib umat
manusia, sejak penciptaannya nampaknya terus berkembang menurut rencana Allah.
Dengan demikian
von Rad membiarkan hubungan antara sejarah keselamatan dengan sejarah modern
tetap terbuka, maka Pannenberg dengan pandangan kesatuannya tentang sejarah
universal memasukkan sejarah keselamatan ke dalam kategori sejarah universalnya
yang luas. Rolf Rendtorff (anggota lingkungan kerja Pannenberg) mengusulkan
untuk mengaitkan sejarah keselamatan dengan gambaran sejarah Israel yang berdasarkan
penelitian sejarah. Rendtorff akan memadukan apa yang dewasa ini dipisahkan
menjadi: Sejaraah Israel, Sejarah Tradisi, dan Teologia Perjanjian Lama”.
Rendtorff menjelaskan bahwa sejarah Israel berlangsung di dalam
peristiwa-peristiwa dari luar yang biasanya merupakan pokok penelitian sejarah
tentang sejarah dan di dalam peristiwa-peristiwa terselubung yang banyak dan
berlapis-lapis yang telah kita kumpulkan dengan istilah tradisi. Oleh karena
itu, metode penelitian sejarah harus diubah dan diperluas supaya mampu
membuktikan pada saat yang sama penyataan Allah di dalam sejarah, sekalipun
demikian belum memuaskan. Karena dengan skema manapun ilmu pengetahuan tidak
dapat mencapai pengertian yang dapat diterima sepenuhnya tentang realitas
sejarah karena adanya berbagai keterbatasan dan kekurangan yang serius dalam
bidang metodologis, historis, dan teologis. Tindakan Allah menyertai Israel di
dalam sejarah termasuk cara-cara yang sangat kompleks dan beraneka ragam yang
dengannya Israel mengembangkan dan mewariskan pengakuannya. Jadi kita harus
bekerja dengan suatu metode yang memperhatikan keseluruhan sejarah itu dengan
mengakui kesatuan asli dari fakta-fakta dan maknanya serta suatu konsepsi
tentang realitas mutlak yang memadai.
Pusat Perjanjian Lama dan Teologi Perjanjian Lama
Bagi Eichrodt
“konsepsi pusat” untuk memperoleh kesatuan iman alkitabiah ialah “perjanjian”.
Konsepsi perjanjian dijelaskan diberi kedudukan pusat dalam pemikiran religius
Perjanjian Lama sehingga dengan bergerak dari konsepsi ini, kesatuan struktural
dari amanat Perjanjian Lama dapat dijadikan lebih mudah dilihat. Eichrodt tidak
menganggap konsepsi pusat ini sebagai suatu konsepsi doktrinal, yang dengan
bantuannya dapat dihasilkan sekumpulan dogma, tetapi sebagai gambaran khas
dari suatu proses yang hidup yang telah dimulai pada satu saat tertentu dan
di tempat tertentu untuk menunjukkan suatu kenyataan ilahi yang unik di dalam
keseluruhan sejarah agama.
E. Sellin memilih
kekudusan Allah sebagai ide pokok untuk menuntunnya dalam paparan teologi
Perjanjian lama. Kekudusan Allah inilah yang menunjukkan sifat paling mendalam
dan mendasar dari Allah Perjanjian Lama., Seperti halnya Eichrodt dan Sellin,
Ludwig Kohler juga nenpunyai konsepsi pusat kesenangannya sendiri, yaitu Allah
sebagai Tuhan. Bagi Kohler penegasan yang pokok dan menentukan dari teologia
Perjanjian Lama haruslah bahwa Allah itu Tuhan.
Hubungan
antara Kedua Perjanjian
Teologia Perjanjian Lama adalah bagian teologi
Alkitabiah. Ada hubungan timbal balik antara Perjanjian Lama dengan Perjanjian
Baru. sekalipun demikian, kenyataan ini menimbulkan persoalan-persoalan tentang
kesinambungan dan keadaan tidak bersambung, tentang apakah orang secara unik
membaca dari Perjanjian Lama ke Perjanjian Baru, atau dari Perjanjian Baru ke
Perjanjian Lama, secara timbal balik memanglah demikian. Dasar dari seluruh
masalah ini bukan hanya suatu kenyataan tentang
masalah teologis mengenai timbal balik antara kedua perjanjian, tetapi
juga suatu penyelidikan terhadap sifat dari kesatuan. Rudolt Bultman mencari
kaitan antara kedua perjanjian itu dalam kurun sejarah faktual Israel. Bultman menetapkan hubungan ini sedemikian
rupa sehingga sejarah Perjanjian Lama merupakan sejarah kegagalan. Bagi orang Kristen “sejarah Israel bukanlah
sejarah penyataan, jadi Perjanjian Lama merupakan prakiraan tentang perjanjian
Baru.
Sifat rumit dari hubungan timbal balik antara
kedua Perjanjian memerlukan suatu pendekatan multipleks. Tidak ada kategori,
konsepsi atau skema tunggal yang dapat diharapkan sanggup mengurangi
keanekaragaman hubungan timbal balik tersebut. Diantara pola-pola hubungan
historis dan teologis antara kedua perjanjian adalah sebagai berikut:
Sebuah ciri umum
dari kedua perjanjian ialah sejarah yang berkesinambungan dari umat Allah dan
gambaran tentang perbuatan-perbuatan Allah bagi umat manusia.
Penekanan baru
telah diberikan pada hubungan antara kedua perjanjian berdasarkan
kutipan-kutipan Alkitab.
Diantara
hubungan-hubungan timbal balik diantara kedua perjanjian nampak pemakian
istilah – istilah teologis. (Hampir
setiap istilah teologis yang pokok dalam Perjanjian Baru diambil dari kata
Ibrani yang telah lama digunakan dan dikembangkan dalam Perjanjian Lama.
Hubungan timbal balik antara kedua perjanjian
juga nyata dalam kesatuan hakiki darin tema-tema utama.
Suatu pemakaian
tipologi yang berhati-hati dan teliti sangat diperlukan bagi suatu
metodologi yang memadai yang berusaha
menyelesaikan konteks sejarah Perjanjian Lama dan hubungannya dengan Perjanjian
Baru.
Kategori janji/nubuat
dan penggenapan menjelaskan suatu aspek lain dari hubungan timbal balik antara
kedua perjanjian.
Yang terakhir
tetapi bukan berarti tidak penting ialah konsepsi sejarah keselamatan yang
mengaitkan kedua perjanjian menjadi satu.
Bila dipahami secara
benar, berbagai hubungan timbal balik antara kedua perjanjian ini dapat
dianggap sebagai menjelaskan kesatuan antara kedua perjanjian tanpa memaksakan
suatu keseragaman atas bermacam-macam kesaksian alkitabiah., Ada kesatuan dalam
perbedaan.
Saran-saran
Pokok untuk Membuat Teologi Perjanjian Lama
Suatu cara yang produktif untuk
meneruskan dari keadaan dewasa ini nampaknya perlu bersandar pada saran-saran
pokok, yaitu:
Teologia
Alkitabiah harus dipahami sebagai sebuah disiplin yang bersifat historis-teologis.
Maksudnya bahwa ahli teologi Alkitabiah yang terlibat dalam pembuatan baik
teologi perjnjian lama maupun teologia Perjanjian Baru harus mengakui bahwa
tugasnya adalah untuk menemukan dan menguraikan apa makna asli dari ayat dan
juga apa arti ayat tersebut untuk masa kini.
Bila teologi
Alkitabiah dipahami sebagai sebuah disiplin yang bersifat histori-Kristis, maka
dengan sendirinya yang tepat harus bersifat historis dan theologis.,, maka
dengan sendirinya metodenya yang tepat harus bersifat historis dan teologis
sejak awal.
Ahli teologi
Alkitab yang terlibat dalam telogia Perjanjian Lama menunjukkan pokok
persoalannya lebih dahulu karena usahanya itu merupakan teologia Perjanjian
Lama.
Penyajian
teologi-teologi dari kitab – kitab atau kelompok tulisan dalam Perjanjian Lama
akan lebih suka tidak mengikuti urutan kitab-kitab tersebut dalam urutan
kanoniknya , karena urutan baik kanon Ibrani atau dalam LXX (Septuaginta).
Sebuah teologi
Perjanjian Lama tidak sekedar berusaha untuk mengetahui teologia dari berbagai
kitab, atau kelompok kitab; teologi Perjanjian Lama juga berusaha untuk
mengumpulkan dan menyajikan tema-tema
utama dalam Perjanjiian Lama.
Waktu Perjanjian
Lama ditanya untuk memperoleh teologinya, pertama-tama dijawab dengan memberikan
berbagai teologi, yaitu teologi dari kitab-kitab terpisah dan kelompok tulisan
dan kemudian dengan memberikan
teologi-teologi dari berbagai tema longitudional.
Ahli teologi
Alkitabiah memahami teologi Perjanjian Lama sebagai lebih luas daripada teologi
kitab Suci Ibrani. Nama teologi Perjanjian Lama menunjukkan kontek yang lebih
luas dari Allkitab yang didalamnya Perjanjian Baru merupakan salah satu
bagian. Sebuah teologi Perjanjian Lama
yang integral harus menunjukkan hubungannya yang mendasar dengan Perjanjian
Baru atau dengan teologi Perjanjian Baru.
Walter C. Kaiser,
Jr., Teologi Perjanjian Lama. Malang:
Gandum Mas, 2000.
“TEOLOGI
PERJANJIAN LAMA”
Pendahuluan
Bermula dari keprihatinan penulis tentang
adanya Krisis besar dalam Teologi Alkitab, yakni ketidak mampuan disiplin ilmu
tersebut mengemukakan dan menerapkan kembali Otoritas Alkitab maka penulis
memberikan kontribusi tentang soal-soal Definisi dan Metodologi Teologi
Perjanjian lama.Inti Pokok, yaitu kesatuan Alkitab secara rohani dapat
memberikan pengertian yang tepat tentang Teologi Alkitab yang secara Induktif
disediakan dan dipertegas oleh Alkitab sendiri.
Evaluasi Isi Buku
Menurut penulis, sejak
tahun 1933 Teologi Alkitabiah telah mendapat tempat yang terhormat di dalam
pelajaran Teologi. Bentuk Eksistensial
dari disiplin ilmu tersebut telah dikenal sebagai Gerakan Teologi Alkitabiah. Tulisan
Langdom B. Gilkey: “Kosmologi, Ontologi dan kesulitan bahasa Alkitabih” serta
pidato pengukuhan James Barr yang berjudul “Kebangkitan melalui Sejarah di
dalam Perjanjian Lama dan Pemikiran Modern” menghantam Inti Gerakan Teologi
Alkitabiah dengan menyingkapkan pendiriannya yang bercabang tentang kemodernan dan Alkitab. Akibatnya berbagai mujizat dan Firman Tuhan dalam
Alkitab diberitakan sedemikian rupa (meniadakan perlunya disertakan) supaya
tidak mengganggu berbagai hal yang dicapai oleh modernisasi.
Awal dari kembalinya teologi itu
dapat dilihat ketika von Rad menjawab pertanyaan tentang “obyek” dariTeologi
Perjanjian Lama secara jujur: obyeknya adalah apa yang diakui Israael mengenai
Yahweh. Pengakuan tersebut bukan merupakan pernyataan iman; pengakuan itu adalah
tindakan yang dengannya bangsa tersebut menyatakan kesadaran mereka
tentang hubungan mereka dengan Allah. Dengan demikian, tidaklah mungkin untuk
menulis suatu teologi tentang Perjanjian lama: yang ada ialah teologi-teologi
tentang Perjanjian Lama. Lebih jauh lagi, fakta sejarah yang sebenarnya
haruslah dipisahkan dari sejarah yang ditafsirkan yang merupakan
ungkapan iman bangsa Israel seperti yang
terlihat di dalam pengakuan iman yang ada di dalam Kitab Ulangan 25:5-10. Di
dalam penafsiran sejarah yang berubah dan dibetulkan ini, menurut von Rad,
teologi Alkitabiah dapat menemukan obyeknya.
Beberapa orang, misalnya Horace
Hummel dengan terang-terangan menyatakan bahwa “Teologi Alkitabiah sudah mati,
dan IOVC (The Interpreter’s One – Volume Commentary on the Bible, Abingdon,
1971) merupakan saksinya. J. Christian Beker, Brevard S. Childs, B.W. Anderson
dan Hans-Yachin Kraus, hanya menyebutnya sebuah krisis.Sekarang jelaslah bahwa
masa setelah von Rad dipenuhi dengan banyak sekali analisis diri, dan beberapa
masalah metodologi yang nyata tetap tak teratasi.
Ada suatu kontribusi Injili dari
teolog Menonit yaitu Clester K. Lehman pada tahun 1971 berjudul Biblical
Theologi, jilid I, Perjanjian Lama. Pada tahun berikutnya Walther Zimmerli,
teolog yang menjanjikan dari Jerman, memasukkan bukunya yang berjudul “Grundriss
der altestamentlichen Theologi”.Sementara itu George Fohrer, menyusul
bukunya “History of Israelite Relegion” (edisi Jerman, 1969) dan studinya dalam Old
Testament Thelogi and History pada tahun 1973, dan John L. McKenzie,
seorang Katolik dari Amerika, menambahkan tulisannyaA Theology of the Old
Testament pada tahun 1974. Selain beberapa monografi besar tersebut harus
juga ditambahkan banyak artikel dalam majalah yang muncul secara berkesinambungan.
Teologi Alkitabiah akan selalu
merupakan jenis yang membahayakan sebelum metodologi yang kakutentang
penelitian sumber imajiner, sejarah tradisi, dan tipe-tipe tertentu dari
penelitian bentuk ditahan perkembangannya. Proses semacam itu tidak dapat begitu
saja disamakan dengan suatu konsep statis tentang perkembangan catatan Alkitab.
Sebaliknya penulis menandaskan bahwa jika catatan Alkitab dibiarkan berbicara
tentang maksudnya sendiri terlebih dulu, maka jelas yang ditunjukkan adalah
kemajuan, pertumbuhan, perkembangan, pergerakan, penyataan arti secara sporadic
dan tidak teratur serta seleksi peristiwa-peristiwa di dalam aliran arus
sejarah. Penulis setuju dengan Pere de Vaux bahwa sejarah ini bukan sekedar
berguna untuk ilmu berkhotbah: sejarah ini haruslah nyata, atau ia tidak layak
untuk dipercaya secara pribadi dan kemungkinan besar mengalami keruntuhan
internal karena bobot penemuannya sendiri. Kalau meminjam sebuah pepatah kuno,
dengan permintaan maaf, mungkin ada generasi yang telah dikelabui di suatu
waktu, tetapi bukan semua sisa orang itu yang dikelabui sepanjang waktu.
Allah tetaplah Tuhan yang berdaulat
bahkan dalam bidang ini sekalipun. Karena itu, mendadaknya pemunculan gambaran
Penciptaan, Jatuhnya pasangan manusia yang pertama, jangkauan universal dari
janji kepada Abraham, keimaman semua orang Israel, atau ramalan yesaya tentang
langit baru dan bumi baru, tidak perlu mengejutkan kita dan tidak perlu dinilai
sebagai hal yang tidaak mungkin.
Sifat teologi Perjanjian Lama
seperti yang dipahami di sini bukanlah semata-mata suatu teologi yang sesuai
dengan keseluruhan Alkitab, tetapi itulah teologi yang digambarkan dan dimuat
di dalam Alkitab (subyektif genitive) dan secara berhubungan dari zaman ke
zaman sebagai keseluruhan konteks anteseden sebelumnya, menjadi dasar bagi
teologi yang menyusul pada setiap zaman.Strukturnya disusun secara historis dan
isinya diperiksa dari segi eksegeses.Pusat dan konseptualisasinya yang menyatu
bisa ditmukan dalam berbagai gambaran, penjelasan dan hubungan teksnya.
Sampai dengan decade tujuh puluhan,
prinsip yang dipegang dan paling dihormati di antara sebagian besar teolog
alkitabiah adalah bahwa sejarah merupakan perantara utama bagi penyataan Ilahi
di dalam Perjanjian Lama.Apa yang dapat diketahui mengenai Allah, haruslah
diketahui lebih dulu melalui sejarah. Padahal tekslah yang selayaknya memiliki
hak, entah teks itu dinyatakan sebagai diilhamkan atau tidak, untuk lebih dulu
didengar berdasarkan hubungan antara teks itu sendiri dan dalam keutuhan kanonik
serta kontekstualteks-teks itu sendiri. Lalu apabila dipakai suatu sarana
pengukur kebenaran ( sebagaimana memang harus) terhadap konteks secara total
(yang juga harus) maka sarana-sarana tersebut tidak boleh yang secara picik
mewakili kepentingan jemaat dari suatu generasi yang mempunyai alasan yang
khasuntuk menyetujui atau menentang suatu pandangan khusus mengenai kehidupan.
Sebaliknya, semua kriteria dalam mengadkan pendekataan pada masalah harus
menggunakan cara yang sama dengan system yurisprudensi Amerika yaitu: suatu
teks tidak salah sebelum terbukti bersalah berdasarkan data-data yang
diketahui. Data-dsta tersebut harus berasal dari narasumber yang ketelitian
mereka tentang pokok-pokok yang dimaksud itu dapat ditunjukkan atau yang hidup
sezaman dengan teks yang sedang diselidiki dan yang terkenal selalu dapat
menghasilkan data yang dapat dipercaya.
Dengan pendekatan ini, sejarah bisa
kembali dijadikan sumber keterangan dalam keseluruhan konteksnya tentang waktu
dan konteks penafsirannya.Sejarah dapat kembali menjadi perantara untuk
memperoleh pengertian bersama dengan kesatuan konteksnya. Bilamana di antara
segala keanekaragaman dalam teks itu terdapat suatu inti dari berondongan
kegiatan ini, maka di dalam teks harus ditunjukkan bahwa inti tersebut adalah
“titik awal” kanon sendiri dan di dalam teks harus ditegaskan kembali di dalam
kesaksian bersama dari kanon bahwa inti itu merupakan kepeduliannya sendiri
yang senantiasa hadir, pengharapan utama dan patokaan tetap tentang apa yang
penting dalam teologi atau yang merupakan keharusan dalam teologi.
Inti yang diperoleh dari teks itu,
yang pada dasarnya disebut “janji” dalam Perjanjian Baru (epangelia),
dikenal di dalam perjanjian Lama dengan
sekumpulan istilah. Ungkapan pertamanya ialah “berkat”. Itu merupakan karunia
pertama Allah kepada ikan-ikan, ungags (Kej.1:22), dan kemudian kepada umat
manusia (ay.28). Bagi manusia, berkat bukan hanya meliputi karunia Ilahi untuk
berkembang biak dan “berkuasa”. Kata yang sama juga menandai kesiapan di mana semua
bangsa di bumi dapat makmur secara rohani melalui pengantara yakni Abraham dan
keturunannya; ini juga merupakan bagian dari “berkat” tersebut. Jelasnya
pangkat tinggi harus diberikan kepada istilah ini sebagai kata pertama yang
menunjukkan rencana Allah.
Tidak diragukan lagi bahwa tokoh
yang sangat penting adalah Abraham dan Daaud. Perjanjian masing-masing mereka
semula dicatat di dalam Kejadian 12:1-3 dan II Samuel 7:11-16 (bdg. I
Taw.17:10-14). Janji dan berkat Abraham segera menarik perhatian para pendengar
mula-mula, sebagaimana juga menarik perhatian para pembaca berikutnya, karena
keagungan isinya dan pengulangan ketentuannya di dalam Kejadian12-50.Demikian
juga janji Daud menjadi harapan yang menggembirakan dalam sebagian besar
tulisan para nabi dan penulis Tawarikh.
Evaluasi Bagian-bagian Isi Buku
Bagian
I: Definisi dan Metode
Tujuan penulis buku ini ialah untuk
membedakan dengan tegas metode teologi Alkitabiah dengan metode teologi
sistematika atau dengan sejarah agama. Ada sebuah pusat atau rencana hakiki
yang kepadanya setiap penulis dengan sadar memberikan kontribusi. Suatu prinsip
penseleksian sudah jelas dan ditentukan oleh Tuhan melalui penyingkapan yang
belum sempurna berupa tema janji berkat Ilahi kepada semua manusia ketika kanon
itu dimulai dalam Kejadian 1-11 dan dilanjutkan dalam Kejadian 12-50.
Sebaliknya daripada menyeleksi data teologi yang cocok dengan khayalan kita
atau yang memenuhi suatu kebutuhan mutakhir,
teks tersebut tentu sudah menetapkan prioritas dan pilihannya sendiri.
Pokok-pokok yang rumit ini dapat dikenal, bukan berdasarkan kelompok-kelompok
teologi atau gereja, melainkan berdasarkan kreteria seperti: (1) Penempatan
yang kritis dari pernyataan-pernyataan yang bisa ditafsirkan di dalam rangkaian teks; (2) Frekuensi pengulangan ide-ide; (3)
pengulangan frasa atau istilah yang mulai mengambil status teknis; (4)
Diteruskannya tema-tema yang sudah dihentikan oleh seorang pendahulu sering
kali dengan bidang pembahasan yang lebih luas; (5) Penggunaan kategori-kategori
tuntutan yang digunakan sebelumnya yang dengan mudah memberikan gambaran
tentang suatu tahap baru di dalam program sejarah dan (6) Standar organisasi yang dengannya
orang-orang, tempat-tempat, dan ide-ide ditandai untuk memperoleh pengesahan,
perbandingan, pencakupan, dan pengertian masa sekarang serta masa yang akan
datang.
Jadi penulis menegaskan , menurut
metodologi yang diajukannya, teologi alkitabiah mengambil struktur
pendebatannya dari perjalanan sejarah teks dan mengambil seleksi teologi serta
kesimpulan-kesimpulannya dari hal-hal yang ditemukan di dalam pusat kanonik.
Dengan demikian teologi ini sebagian cocok dengan penekanan secara berurutan
dan historis dari tipe diakronis teologi Perjanjian Lama dan penekanan
normative dari tipe structural.
Bagian
II: Materi untuk Teologi Perjanjian Lama
Tanda dari Kejadian 1-11 dapat
ditemukan dalam “berkat Eden, Nuh dan Abraham. Dengan pernyataan janji Allah
untuk memberkati seluruh makhluk
ciptaan dalam permulaan narasi tentang masa sebelum para bapak leluhur (Kej. 1:22;
28), pada pokok-pokok yang strategis sepanjang jalan narasi (Kej. 5:2; 9:1),
dan pada kesimpulannya (Kej. 12:1-3), maka tema, kesatuan, dan batas-batas
teologi dari Kejadian 1-11 sudah pasti.
Firman tentang
Penciptaan : Secara keseluruhan metode penciptaan sama jelasnya dengan
sumbernya: Allah yang menciptakan, dan Ia melakukannya dengan Firman-Nya. Namun
penciptaan dengan Firman menekankan lebih dari sekedar metodenya. Penciptaan
dengan Firman juga menekankan bahwa penciptaan itu sesuai dengan pengetahuan
lebih dulu Allah tentang dunia, karena Ia berfirman tentang apa yang sebelumnya
telah Ia pikirkan dan rencanakan.
Firman Tentang
Berkat : Firman Penciptaan diikuti dengan Firman tentang berkat. Dengan
demikian semua makhluk di laut dan di udara dilimpahi dengan kemampuan untuk
berkembang biak dan diberi suatu misi Ilahi.
Allah memberkati
semuanya itu, firman-Nya : Berkembangbiaklah dan bertambah banyaklah serta
penuhilah air dalam laut; dan hendaklah burung-burung di bumi bertambah banyak.
Kejadian 1:22. Firman keselamatan Allah, menjadikan umat Israel umat-Nya,
dimana Allah akan tinggal diantara mereka.Kemenangan janji Allah, umat-Nya masa
sesudah Pembuangan. Bangsa itu akan merupakan umat Allah, suatu Jemaah (edah),
kesatuan Israel ketika mereka hidup,
mengasihi dan menyembah Tuhan dengan “segenap hati/tulus”.
Bagian
III: Hubungannya dengan Trilogi Perjanjian Baru
Willis J. Beecher dalam kuliah yang
ia sampaikan di Princeton pada awal abad
ini dengan topik bahwa Perjanjian Lama memuat sejumlah besar amalan mengenai
Mesias yang akan datang dan bahwa, hal tersebut digenapi dalam Yesus Kristus,
mungkin pada hakikatnya berasal dari Kitab Suci, tetapi secara struktur nyaris
tidak demikian. Alkitab menyajikan sangat sedikit ramalan kecuali dalam bentuk
janji-janji atau ancaman-ancaman. Alkitab berbeda dengan teologi-teologi yang
sistematis dalam hal (penolakannya untuk melepaskan) ramalan dari janji atau
ancaman ….. (dan) dalam menekankan satu janji ketimbang banyak ramalan. Inilah catatan
yang umum dalam kedua kitab perjanjian itu – banyak perincian yang menjelaskan
satu janji, janji itu berfungsi sebagai suatu doktrin utama dalam agama.
Penutup
Buku Teologi Perjanjian Lama ini
merupakan sebuah kontribusi dari seorang teolog yang semakin banyak membaca
teologi zaman ini, semakin gelisah karena tidak mengemukakan dan menerapkan
kembali otoritas Alkitab. Teologi Perjanjian Lama berfungsisebagai alat
pembantu bagi teologi eksegesis dan bukan melakukan peranan lamanya sebagai
penyedia data bagi teologi sistematika. Penafsir memerlukan suatu cara untuk
dengan mudah memperoleh teologi yang berkaitan dengan teks yang sedang
diselidikinya. Proses berteologi yang baik adalah memahami nilai-nilai Biblika
(membaca ayat) atau eksegesa, metode dan penafsiran.
Top of Form
EVALUASI BUKU HORST DIETRICH
PREUSS
“Theology of the Old Testament – Volume 1”
Pendahuluan
Tidak banyak buku
yang beredar yang “berani” untuk membahas mengenai teologi dari Perjanjian
Lama. Tidak sejak tahun 1950an, sejak Gerhard van Rad, ada buku yang komprehensif
untuk membahas mengenai teologi dari Perjanjian Lama. Memang untuk menggali
pemikiran-pemikiran teologis dari Perjanjian Lama dibutuhkan suatu keberanian
tersendiri. Horst Dietrich Preuss telah berusaha untuk menjawab tantangan
tersebut.
Dalam bukunya ini,
Preuss telah berusaha untuk menyusun kembali Teologia yang termuat dalam
Perjanjian Lama, sebuah “upgrade” dari van Rad, dengan mempertimbangkan
penemuan-penemuan dan penelitian-penelitian baru yang telah bermunculan sejak
tahun 1950an. Seiring dengan buku dari van Rad, Preuss seperti teolog-teolog
German lainnya, menggunakan bukti-bukti arkeologis untuk menceritakan kembali
dan meberikan gambaran yang lebih lengkap mengenai dunia Perjanjian Lama.
Tentunya jika ada penemuan-penemuan baru, pemikiran-pemikiran tersebut harus
dikaji ulang.
Untuk lebih
memahami buku ini, perlu dipahami struktur dan arti dari beberapa bagian yang
dikemukakan oleh Preuss ini. Memang studi tentang Teologi Perjanjian Lama itu
sulit untuk dilakukan. Akan tetapi, usaha harus tetap dilakukan untuk
menyajikan sebuah skopa luas dari dunia kehidupan iman dan saksi dari
Perjanjian Lama. Kesulitan dalam kajian ini teletak pada keterbatasan kita,
yang hidup sekian ribu tahun kemudian, untuk memahami dunia yang berlaku pada
jaman Perjanjian Lama itu. Mengenai hal tersebut dapat dikatakan bahwa kita
sangat asing atas kebiasaan, kebudayaan khusus, dan dunia Perjanjian Lama pada
umumnya.
Yang dilakukan
oleh Preuss, menurut dia, mengenai Teologi Perjanjian Lama, adalah untuk memberikan
massukan dan pendapat dari dirinya sendiri dan orang lain tentang pengertian
dari “permasalahan teologis yang terkandung dalam keragaman akan kesaksian
Perjanjian Lama dalam konteksnya.” Sama dengan hal itu, Teologi Perjanjian Lama
dapat dipahami sebagai penelitian mengenai teologi yang terkadung dalam
Perjanjian Lama, bukan teologi yang menggunakan Perjanjian Lama sebagai subjek
kajiannya.
Sebagian besar
teolog lainnya, telah menuliskan struktur dan isi dari buku Perjanjian Lama
yang serupa dengan buku sejarah. Dengan demikian teologia yang dihasilkan juga
bukan suatu teologia yang sistematis, karena bangsa Israel sekalipun, tidak
mendapatkan teologi yang sistematis dari Allah. Preuss berusaha sebisa mungkin
untuk tidak melakukan hal tersebut. Ia telah berusaha untuk tidak hanya
menceritakan kembali sejarah itu dengan berbagai pandangan dan masukkan untuk
memberikan gambaran yang lebih luas mengenai dunia Perjanjian Lama itu, tetapi
juga memberikan pemikiran yang lebih meluas.
Untuk lebih
memahami teologi dari Perjanjian Lama yang telah dituliskan oleh Preuss, perlu
dipahami metodologi yang digunakan oleh dia. Yang pertama, Preuss telah
berusaha untuk tidak mengemukakan sejarah dari agama Israel, akan tetapi sebuah
teologi yang lebih tersistematis dan terstruktur. Usaha ini memang harus
dilakukan untuk melihat gambaran yang luas, karena tidak terbatas dari
kejadian-kejadian kronologis. Yang kedua, Preuss ingin menjawab
pertanyaan-pertanyaan seputar metode hermeneutic dan eksigesa dari teks-teks yang
ada dengan teologi yang dikembangkannya ini.
Yang ketiga,
sebuah deskripsi sistematik telah ditetapkan, karena memang Perjanjian Lama
dalam analisa akhirnya, memiliki suatu pusat. Yang keempat, karakter dari
teologi yang dibangun harus bersifat dari dalam menuju keluar. Artinya adalah
teologi yang ada harus mengemukakan pandangannya tentang Allah secara
keseluruhan dengan cara menggali Perjanjian Lama itu sendiri. Yang kelima,
formulasi sistematis harus dikemukakan secara jelas. Masukkan sejarah tidak boleh
dibuang begitu saja, tetapi terintegrasi dalam sajian teologi yang sistematis
dari Perjanjian Lama.
Akibat yang
dihasilkan dari lima batasan metodologi teologi Perjanjian Lama yang dilakukan
oleh Preuss ini, hampir tidak mungkin Perjanjian Lama disajikan secara
kronologis dalam suatu kesatuan utuh. Dengan mengemukakan ide utama, harus
dikemukakan akibat-akibat dari berbagai kejadian dalam pengemukaan ide utama
tersebut. Akibatnya, akan ada teks yang letaknya dekat dengan ide utama, akan
ada juga yang jauh – secara kronologis kejadian.
Dalam mencari ide
utama, atau ide sentral, Preuss mengemukakan, perlunya pemahaman mengenai
sifat-sifat umum dari iman terhadap YHWH, dan komponen-komponen yang membentuk
dan menentukan struktur dasar tersebut. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat
ditanyakan seperti: Bagaimana cara Perjanjian Lama membiacarakan tentang
Allah?; Bagaimana Perjanjian Lama menceritakan tentang bagaimana Allah
berbicara, dan bagaimana cara untuk berbicara kepada Allah?; dan pertanyaan
lainnya.
Menurut Preuss,
pusat dari Perjanjian Lama adalah pemilihan Allah dan akibat yang dihasilkan
dari pemilihan tersebut. Pemilihan ini bukanlah kegiatan yang berhenti hanya
dengan dipilihnya bangsa Israel. Dan bukan juga bukan di luar waktu, akan
tetapi dalam sejarah dan sangat terbuka bagi perkembangannya. Kejadian utama
dari pemilihan ini adalah pemilihan bangsa Israel dalam hubungannya dengan
keluaran dari Mesir. Allah telah menetapkan sebuah wilayah, raja-raja,
imam-imam, nabi-nabi, dan kota Yerusalem. Akibat dari pemilihan tersebut dan
bagi mereka yang terpilih, pada dasarnya adalah untuk bersaksi mengenai Allah
ini, dan juga hidup sesuai dengan tuntutan dari Allah.
Buku volume I ini
berfokus terhadap usaha untuk menerangkan Allah yang memilih. Dalam hal ini
Preuss mengemukakan arti dari pemilihan melalui studi kata, kerangka
semantiknya, dan juga dengan pandangan dari kegiatan-kegiatan Allah dalam
pemilihanNya itu. Ketetapan yang perlua dilakukan oleh bangsa Israel menitik
beratkan formulasi yang dikemukakan Preuss melalui diskusi dari perjanjian yang
dilakukan di Sinai dan hukum-hukum umum lainnya. Buku volume 1 ini berpusatkan
mengenai nama-nama Allah, gelar, tindakan-tindakan, kekuasaan dari setiap
kegiatan-Nya (roh Allah, malaikat-malaikatNya, kemuliaan-Nya dan kemuliaan
nama-Nya, keadilan-Nya, berkat-Nya, kebijaksanaan dan Kata-kata-Nya), dan
“sifat-sifat” Allah. Preuss juga
memperhatikan masalah pewahyuan.
Preuss memberikan
porsi besar pada bagian awal dari pengungkapan ide sentral yang disarankannya.
Preuss memulai dengan segala macam pengertian mengenai arti kata pemilihan itu
sendiri yang terkandung di dalam Perjanjian Lama. Pengungkapan kata dan konsep
pemilihan yang dilakukan dari dalam Perjanjian Lama, menimbulkan pengertian
yang sangat kuat karena sebagian besar dari konsep ini ia ambil dalam konteks
Perjanjian Lama. Pembaca akan dibawa kepada pengertian yang lengkap dari
pengungkapan arti dari pemilihan itu sendiri.
Setelah pemahaman
yang cukup luas dari konsep pemilihan Allah terhadap bangsa Israel, Preuss
mengemukakan idenya bahwa akibat-akibat yang ditimbulkannya dari pemilihan ini
membentuk bangsa Israel menjadi “bangsa teladan” dalam menjalankan bagian dari
perjanjiannya. Mulai dari hukum-hukum utama, sampai dengan pelaksanaan teknis
dari berbagai aspek kehidupan, semua itu harus dilakukan oleh bangsa Israel
akibat dari pemilihan yang dilakukan oleh Allah terhadapnya.
Pada bagian kedua
di dalam buku ini, Preuss kemudian menjabarkan secara panjang lebar tentang
Allah, Sang pemilih. Segala sisi Allah diusahakan untuk dikemukakannya. Hal ini
membawa pembaca kepada pengertian yang semakin mendalam akan hubungan bangsa
Israel dengan Allah. Allah yang telah memilih dan membuat perjanjian kepada
bangsa ini telah menyatakan diriNya agar bangsa Israel benar-benar mengenal
siapa itu Allah yang telah memilih mereka. Pengertian akan Allah ini dari
bangsa Israel membawa kepada tingkatan ketaatan yang lebih mendalam.
Dalam mengemukakan
konsep tersebut, Preuss mendeskripsikan Allah. Dimulai dari nama-nama Allah, peruntukan
istilah-istilah Allah, kekuatan dari Allah, dan aspek-aspek lainnya. Dari
gambaran Allah ini yang digali dari dalam Perjanjian Lama, kita dapat melihat
pandangan atau worldview bangsa Israel mengenai Allah. Pandangan ini penting
dalam memahami berbagai alasan mengapa bangsa Israel melakukan apa yang mereka
lakukan. Berbeda dengan kita sekarang ini yang telah “diwarisi” konsep Allah
dalam kehidupan kita. Bangsa Israel memiliki konsep yang unik, baik pada jaman
itu dalam hubunganya dengen bangsa lain, maupun dalam hubungannya dengan dunia
masa kini.
Untuk dapat lebih
memahami isi dari buku karya Preuss ini, dapat dilihat struktur isi dari buku
ini sebagai berikut:
Bagian
Satu: Meletakan Dasar
Bab 2. Sebuah
Tinjauan Pernyataan Dari Perjanjian Lama Mengenai Pemilihan mencakup adalah:
Tindakan Allah Untuk Memilih, Kata Kerja “Memilih”, Pemilihan Pribadi,
Pemilihan Umat, The Semantic Field, Penekanan Historis, Pemiihan Dan Sejarah,
Teologi Dari Pemilihan dan Pertanyaan-Pertanyaan Lainnya.
Bab 3. Pemilihan
Dan Keharusan Dari Umat mencakup adalah;
(1) Peristiwa Keluaran Sebagai Awal Dari Pemilihan Utama Yang Tampak,
Israel Sebagai Masyarakat Terpilih, Israel Sebagai Bangsa Dan Masyarakat
Beriman (Am (“Umat”) Dan Goy (“Umat”), “Israel”, Qahal, (“Perkumpulan”) Dan
‘Eda (“Jemaat”), Perbedaan-Perbedaan Di Dalam Israel, “Amphictyony”? dan Menuju
Pengertian-Diri Dari Israel. (2) Masyarakat Dan Individu. (3) Tradisi Sinai
Dan Perjanjian Sinai (Tradisi Sinai,
Perjanjian Sinai, Rumusan Perjanjian, Keluaran 32-34 dan Bangsa Yang Berkeluh
Kesah Di Padang Gurun). (4) Kewajiban Dan Hukum: Dasar Teologis Dari Hukum
Allah. (5) Musa: Tempatnya Dan Permasalahan Dari Penemuan Dan Pewahyuan Akan
Sebuah Agama. (6) Kehendak Allah Membutuhkan Tanggung Jawab (10 Hukum, Tuntutan
Allah Untuk Eksklusivitas (Hukum Pertama), Larangan Bagi Ilah Lain (Hukum
Kedua) dan Pembentukan Konsep Monoteisme). (7) Wilayah Bagi Israel. (8) Allah
Sebagai Prajurit Perang Dan Peperangan Allah (Yhwh Sebagai Prajurit, Peperangan
Yhwh, Keadaan Untuk Belajar, “Larangan” dan Peperangan Dan Damai).
Bagian
Dua: Allah Sebagai Subjek Dari Tindakan
Sejarah Dari Pemilihan
Bab 4. Allah Yang
Memilih: Nama Dan Gelar Nya. Tindakannya Dan Kekuasaannya. Pernyataan Tentang
“Sifat”-Nya mencakup adalah: (1) Nama-Nama Allah (Yahweh, Yahweh Sebaoth). (2)
Peruntukan Istilah-Istilah Allah (Elohim, El, Eloah dan Perwujudan Allah Melalui Nama-Namanya). (3)
Allah Sebagai Raja (Kekuasaan Allah Dalam Kegiatannya, Roh Allah, Pengungkapan
Allah, Malaikat Allah, Kemuliaan Allah, “Nama” Allah, Keadilan Allah, Berkat
Allah, Hubungan Antara Kelakuan Dan Konsekuensi, Kebijaksanaan Allah dan Fiman
Allah. (2) Allah Menyatakan Dirinya (Istilah-Istilah, “Pernyataan” Dalam
Lingkungan Kebudayaan Israel, Perkenalan Diri Dan Pengetahuan Tentang Allah,
Stuktur Dasar Dari Bahasa Perjanjian Lama Mengenai Pernyataan, Tindakan Allah
Dalam Sejarah dan “Waktu” Menurut Saksi Dari Perjanjian Lama). (3) Allah
Sebagai Pencipta (Mengenai Worldview, Bahasa Hymnic-Sepiential Mengenai
Penciptaan, Kaum Yahweh, Sumber Keimaman, Deutero-Isaiah, Postexilic Psalms
dan Penciptaan, Sejarah Dan
Keselamatan). (4) Pernyataan Perjanjian Lama Tentang “Sifat” Allah (Allah
Sebagi Allah Kekal Tanpa Asal Muasal, Yang Kudus Dan Yang Kudus Bagi Israel,
Kecemburuan Allah, Keluaran 34:6f, Allah Sebagai Allah Yang Hidup,
Anthropomorphime Dan Anthropopathisme dan Sturktur Fundamental Bagi Saksi Allah
Di Perjanjian Lama).
Bab 5. Dunia Allah
Dan Dunia Yang Jauh Dari Allah mencakup adalah: Tempat Tinggal Allah,Tabut,
Tenda (Pertemuan), Wilayah Allah: Cherubim, Seraphim Dan Malaikat, Iblis, Setan
dan Kerajaan Orang Mati.
Evaluasi
secara Keseluruhan
Secara
keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa memang Preuss telah berhasil dalam
pengungkapan teologia yang digalinya dari Perjanjian Lama. Preuss telah
berhasil mengungkapkan ide-ide utama yang terdapat dalam Perjanjian Lama.
Mengang pemikirannya ini akan membawa konsekuensi dimana akan ada ahli-ahli
lain yang memiliki pandangan yang berbeda. Akan tetapi konsepsi Preuss dari teologia
Perjanjian Lama ini akan berdampak lebih positif kepada pengertian tentang
ajaran-ajaran Allah kepada kita, umatNya, di dalam Perjanjian Lama.
Teologi yang
dikemukakan oleh Preuss ini, dapat menolong orang-orang percaya untuk
memikirkan kembali tentang konsep mereka akan Allah yang kita sembah.
Pengemukaan teologi ini akan menolong orang-orang percaya untuk memahami secara
luas dan mendalam siapa itu Allah dan apa saja aspek-aspek Allah dan
implikasinya dalam kehidupan orang percaya secara umum. Orang-orang Kristen
yang terbawa arus pemikiran modern juga dapat menemukan pijakan yang kuat dalam
iman mereka, yang dapat terbantukan oleh sistematika dan struktur teologia yang
diberikan oleh Preuss ini. Bahaya penurunan derajat kemurnian Injil dengan pengaruh
humanism alam wujud kompromi sosiologis dan antropologi, dapat dicegah dengan
pengungkapan pengertian iman kita, secara sistematis, sebagai pegangan
kehidupan iman kita.
Penutup
John Owen, Biblical Theology: The History of Theology
from Adam to Christ. Grand Rapids: Soli Deo Gloria Publications, 20009.
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1-3. 3 jilid.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
EVALUASI BUKU DONALD GUTHRIE
”TEOLOGI PERJANJIAN BARU”
Pendahuluan
Dalam konteks
Indonesia, buku Teologi Perjanjian Baru karangan Donald Guthrie ini juga unik,
karena sebagai buku teologi ‘injili’, ia diterbitkan oleh PT BPK, yang menurut
penilaian saya secara pribadi telah menjadi salah satu lembaga pencetak dan
penerbit buku-buku teologi liberal.
Evaluasi secara
Keseluruhan
Evaluasi ini lebih bersifat metodis, artinya
membicarakan pergumulan Guthrie sebagaimana tampak dalam bukunya, sehingga
bukunya tersebut layak disebut sebagai sebuah buku Teologi biblika sebafai
berikut:
Klaim Kitab Suci Sebagai ’Batu Ukur’ sifat Normatif Teologi Biblika
Evaluasi saya atas hal ini didasarkan pada berbagai perdebatan masa
kini tentang sifat disiplin Teologi Biblika. Salah satu perdebatan itu adalah
tentang apakah Teologi Biblika itu semata-mata disiplin yang semata-mata
bersifat Deskriptif, atau disiplin yang memang bersifat Normatif?
Gutrhie yakin bahwa dalam Teologi biblika, kita tidak hanya sekedar
mempelajari sekumpulan hal yang dipercayai oleh orang-orang kuno. Dalam
mengakes Alkitab, kita bukan hanya sekedar ingin mengetahui apa arti teks bagi
orang-orang pada zaman teks itu ditulis. Alkitab mengklaim dirinya sebagai
memiliki wibawa ilahi, yanjg sifatnya general, universal dan lintas zaman. Saya
setuju dengan keyakinan Guthrie ini.
Ketegangan antara Pendekatan Teologi Sistematis (Tematik) dan
Pendekatan Teologi Biblika (Analitis)
Jika Guthrie serius dalam pembahasan Teologi
Biblikanya, seharunya ia menggunakan pendekatan per kitab (analitis), bukan per
tema (sintetis). Artinya, ia akan membahas setiap tema sejauh tema itu
menonjol, atau muncul dan dibahas dalam sebuah kitab yang sedang dianalisisnya.
Dengan demikian banyaknya tema yang menonjol atau yang muncul pada setiap kitab
tidaklah sama. Tema yang menonjol di sebuah kitab belum tentu disinggung dalam
kitab yang lain. Tetapi pendekatan analitis ini memang tidak populer untuk
kebanyakan orang dewasa ini, meletihkan dan terasa tidak kontemporer.
Guthrie tampak ingin mengakomodasi semangat
biblika dan semangat kontemporer. Soluasi yang ia lakukan adalah ia
menggabungkan kedua pendekatan: Menggunakan pendekatan tematis sebagai
pokok-pokok besar, tetapi kemudian membahas setiap kitab dalam Perjanjian Baru
sejauh kitab tersebut menyinggung tema yang sedang ia bahas sebagai sub-sub
pokoknya. Ia membuat ringkasan atas setiap analisis perkitabnya, diakhiri
dengan ringkasan atas setiap tema pokok secara keseluruhan. Belakangan,
pendekatannya ini tampak kurang konsisten ia terapkan pada bahasannya tentang
kitab-kitab yang lebih kecil. Ia cenderung menyatukan kitab-kitab Yakobus, 1
dan 2 Petrus, 1, 2, 3 Yohanes, Yudas dalam satu rubrik analitis. Ia tidak
meng-analitis masing-masing kitab itu satu persatu. Lebih tepat dikatakan
bahawa ia men-sintesis-kan mereka.
Perhatikan bagaimana dua tema yang dikemukakan
Guthrie: Kehidupan Kristen dan Etika Kristen tampak saling tumpang tindih.
Guthrie membahas kedua tema tersebut karena kedua tema tersebut rupanya
dituntut oleh Kitab Suci, sementara Guthrie di sini sedang menulis buku Teologi
Biblika. Tetapi Kedua tema tersebut adalah tema yang asing dalam Teologi
Sistematis.
Walau bagaimanapun, baik pendekatan tematis
maupun pendekatan analitis, masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Guthrie tampaknya menyadari hal ini.
Introduksi yang seharusnya Ditempatkan di awal Buku
Guthrie telah benar dalam hal menempatkan
penjelasan metode penulisannya, yaitu pendekatan yang ia gunakan di bagian
depan buku ini. Tetapi ’pendekatan’ adalah masalah subyektif. Ada hal-hal yang
lebih obyektif yang perlu dipahami oleh para pembaca buku ini, yaitu masalah
sejarah dan natur Kitab Suci, serta sejarah dan natur disiplin Teologi Biblika,
khususnya Teologi Perjanjian Baru. Tetapi justru hal-hal yang disebut terakhir
ini ia letakkan di belakang bukunya, sebagai lampiran.
Guthrie menulis bukunya dengan sejumlah
presuposisi tertentu. Berdasarkan isi bukunya, kita tahu bahwa presuposisi yang
dimilikinya adalah injili. Seharusnya presuposisi-presuposisi inilah yang
terlebih dahulu di komunikasikan kepada para pembacanya, pada bagian awal buku.
Presuposisi obyektif, dalam artian presuposisi yang dinyatakan dan dituntut
oleh Kitab Suci dari setiap orang percaya seharusnya diletakkan di depan/bagian
awal bukunya.
Bisa jadi Guthrie ingin mengakomodasi kebiasaan
banyak orang dewasa ini yang langsung kepada persoalan ’bagaimana’ dari
persoalan ’mengapa’. Memang benar, orang lebih cenderung ingin langsung kepada
isinya, dan tidak peduli dengan presuposisi.
Dalam hubungannya dengan kurikulum pendidikan
teologi di sekolah-sekolah/seminar-seminari kita, misalnya. Ada mata kuliah
Pengantar Teologi Sistematika, misalnya, tetapi tidak ada mata kuliah Pengantar
Teologi Biblika. Padahal Teologi Biblika bersifat normatif terhadap Teologi
Sistematika. Bertelologi dalam kerangka berpikir Teologi Sistematika (dogma)
tampaknya lebih familiar bagi kebanyakan orang Kristen, bahkan bagi kebanyakan
teolog Kristen dewasa ini. Ada berbagai faktor yang menyebabkan hal ini.
Menurut saya, persoalan ini sangat krusial,
mengingat masih mudanya disiplin Teologi Biblika. Saya setuju dengan Walter
Kaiser Jr., bahwa jika ada yang diajarkan dalam sejarah (selama 30 tahun), maka
itu adalah penekanan bahwa sangat diperlukan solusi atas masalah-masalah yang
belum dipecahkan: definisi, metode, obyek.
Terlepas dari masalah-masalah di atas, apa yang
diperesuposisikan Guthrie di bagian awal bukunya sangat penting untuk kita
perhatikan.
Evaluasi Atas
Bagian-bagian Isi Buku
Tidak cukup waktu untuk mengevaluasi seluruh isi
buku Teologi Perjanjian Baru karangan Donald Guthrie ini. Beberapa hal saja
yang akan saya singgung. Selanjutnya saya hanya akan mendaftarkan beberapa
topik yang dapat didiskusikan lebih lanjut di kelas.
Hubungan PL-PB
Saya setuju dengan Guthrie, bahwa sangat perlu
bagi setiap teolog untuk menjelaskan pemahamannya tentang hubungan antara
ajaran-ajaran PL dan PB). Hal ini lebih penting daripada pengetahuannya tentang
hubungan antara Teologi PB dengan penelitian latar belakang lainnya. Jika hal
ini benar, maka teolog PB diharuskan untuk berupaya menjelaskan masalah
kesinambungan dan perbedaan antara PL dan PB. Sayangnya, Guthrie sedikit sekali
membahas persoalan ini lebih lenjut. Ia hanya sedikit berbicara tentang
Perjanjian Lama sebagai latar belakang. Sebaliknya ia jauh lebih banyak
membahas tentang Tulisan-tulisan Yahudi Palestina (tulisan-tulisan Apokaliptik,
naskah-naskah Laut Mati, kitab-kitab Apokrif, tulisan-tulisan para Rabi) dan
tulisan-tulisan Helenistik (tulisan-tulisan Philo, tulisan-tulisan Hermetika,
Gnostisisme dan agama-agama misteri).
Selanjutnya, pandangan Guhtrie tentang hubungan
PL – PB hanya ia kemukakan secara tersirat dalam keseluruhan isi tulisannya.
Persoalan Titik Tolak
Karena pengaruh pendekatan tematik, Guhtrie,
mau-tidak mau harus menghadapi masalah yang dipergumulkan oleh Teologi Sistematika,
yakni masalah titik tolak. Jika demikian, pertanyaanya adalah, mengapa Gutrhie
memulai dengan doktrin Allah? Mengapa ia tidak memulai dengan doktrin Alkitab?
Dilema yang dihadapi Guthrie jelas di sini.
Pembahasannya tentang Allah (doktrin Allah) di dalam bukunya ini adalah murni
pendekatan Teologi Sistematis. Ia tidak membahas tema pokok (doktrin) ini
dengan melakukan analisis per kitab.
Kemudian, ketika ia membahasa doktrin Allah,
misalnya, mengapa ia bertolak dari ’Kemuliaan Allah? Mengapa ia tidak bertolak
dari ’Kasih Allah? Bukankah ini Teologi Perjanjian Baru, bukan Teologia
Perjanjian Lama?
Persoalan-persoalan serupa banyak dijumpai pada
berbagai pokok bahasan Guthrie yang lain.
Berbagai Diskusi Teologis
Berikut ini adalah berbagai topik di dalam buku
Teologi Perjanjian Baru karangan Donald Guthrie yang perlu dievaluasi lebih
jauh adalah: Penderitaan (Theodicy), Dosa Warisan, Kemurtadan, Kemanusiaan
Yesus, Kurios (Tuhan), Gereja dan Israel, Dasar Gereja, Gereja dan Kerajaan
Allah, Predistinasi, Sakramen?, Kebangkitan Tubuh, Keadaan Sementara, Roh Kudus
dan lainnya.
Penutup
E.
Wurthwein menulis bahwa dewasa ini kita makin terpisah jauh dalam hal
kesepakatan tentang konteks dan metode penulisan PL dan PB dari pada keadaan
kita lima puluh tahun yang lalu. Ia mendaftarkan paling tidak delapan metode
penulisan Teologi Biblika. Brevard S. Childs saja mendaftarkan
sekurang-kurangnya delapan model Teologi Alkitab masa kini.
Pendakatan
Guthrie mungkin dapat digolongkan ke dalam pendekatan Didaktik-Dogmatik
(Sistematika-Sintetis). Ini merupakan metode tradisional dalam
mengorganisasikan Teologi Biblika, yang dipinjam dari Teologi
Sistematika/Dogmatika. Gutrhie tampak berusaha menggunakan metode Teologi
Sistematika untuk menentukan bagian-bagiannya (pokok-pokok bahasannya), yaitu:
Allah-Manusia-Keselamatan (Teologi-Antropologi-Soteriologi). Sama seperti R. C.
Dentan milsanya, Guthrie dalam struktur bukunya Teologi Perjanjian Lama,
menunjukkan sulitnya mengatur bahan-bahan PL di bawah rubrik-rubrik tradisional
ini.
Ada
berbagai persoalan ketika menulis Teologi Perjanjian Baru (dan Teologi
Perjanjian Lama) dengan pendekatan ini. Misalnya, akan ada banyak materi PB
yang tidak berhubungan dengan pokok-pokok/tema-tema Allah-Manusia-Keselamatan
ini yang akan dikesampingkan/diabaikkan. Misalnya materi tentang
Kehidupan/Etika Kristen, yang telah dengan cerdik diakomodasi oleh Guthrie di
dalam bukunya ini.
Terlepas
dari persoalan-persoalan di atas, Guthrie telah berhasil menanamkan banyak
sekali hal penting kepada pikiran para pembaca bukunya: Otoritas Alkitab
sebagai catatan ’tentang’ penyataan Allah dan ’adalah’ penyataan khusus Alah
sendiri, yang bersifat tanpa salah, normatif, hangat dan relevan bagi masa
kini.
George Eldon Ladd,
A Theology of The New Testament.
Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing, 1993.
Evaluasi Buku George Eldon Ladd
“A Theology of the New
Testament”
Pendahuluan
Secara umum Ladd
membagi pembahasan Teologi PB dalam bukunya ke dalam enam bagian yang memang
merupakan pembagian yang umum dipakai oleh para sarjana. Adapun pembagiannya
adalah dimulai dengan Teologi Injil Sinoptik, Teologi Injil Yohanes, Teologi
Kisah Rasul, Teologi Surat-surat Paulus, Teologi Surat-surat Umum dan di akhiri
dengan Teologi dalam Kitab Wahyu.
Bagian Pertama:
Injil Sinoptik
Ladd memulai
pembahasan dengan memberi pendahuluan dengan memberikan dua hal penting yaitu
pertama, tentang sejarah perkembangan
Teologi Perjanjian Baru mulai abad pertengahan sampai dengan
perkembangan Teologi Perjanjian Baru pada masa kini khususnya di Amerika. Kedua
tentang Teologi Alkitab, sejarah dan kanonisasi. Salah satu pembahasan penting
dalam bagian ini yang jarang di bahas oleh para teolog atau ahli Alkitab lain
adalah topik tentang teologi Alkitab dengan kanon. Apakah pengkajian Teologi
Alkitab hanya dibatasi oleh 66 kitab dalam kanon atau boleh juga berdasarkan
buku lain-lain termasuk Apokripa? Jawabannya adalah tidak karena dalam kanon
mengandung sifat sejarah suci yang didalamnya ada sejarah penebusan yang
dikerjakan oleh Allah.
Pembahasan kedua
adalah tentang Yohanes Pembaptis. Menurut penulis, pembahsan ini kurang dapat
dikategorikan dalam Teologi Perjanjian Baru, tetapi lebih merupakan pembahasan
tentang tokoh dalam Perjanjian Baru. Berhubungan dengan Yohanes Pembaptis topik
yang berhubungan dengan teologi PB misalnya adalah teologi tentang Baptisan,
khususnya tentang sumber dan latar belakang baptisan Yohanes.
Pada bagian ketiga
sampai dengan sembilan, Ladd membahas Teologi Kerajaan (Kerajaan Allah). Dalam literatur khususnya tulisan yang
bersifat apokaliptis Yahudi, seringkali muncul dualisme eskatologis dimana satu
sisi ada pengharapan akan adanya tatanan dunia baru di sisi lain kennyataan
dunia masa kini yang penuh kejahatan, karakter zaman ini berlawanan dengan
karakter zaman yang akan datang. Selain itu munculnya realita adanya kuasa yang
lain yaitu roh-roh jahat dan setan-setan, maka keberadaan Kerajaan Allah
merupakan sesuatu kebutuhan bagi umat Allah.
Karena Kerajaan Allah merupakan topik penting dan merupakan “kebutuhan”
bagi umat pada waktu itu maka muncul berbagai tafsiran tentang Kerajaan Allah.
Dalam pembahasan
tentang topik Kerajaan Allah ini Ladd membahas terlalu luas dalam pengertian
bukan hanya pengertian Kerajaan Allah dalam konteks PB tetapi pengertian
Kerajaan Allah dari masa PL sampai masa reformasi juga mendapat tempat dalam
pembahasannya. Dalam kalangan Yahudi penekanan Kerajaan Allah adalah bahwa
Allah sebagai Raja baik atas bangsa Israel (Kel. 15:18) maupun atas seluruh
umat manusia di dunia (2Raj. 19:15).
Walaupun Allah sekarang adalah Raja, referensi lain mengatakan tentang
hari ketika Ia akan menjadi Raja. Kenyataan ini menuntun kepada suatu
kesimpulan bahwa sementara Allah adalah Raja, Ia harus juga menjadi Raja, yaitu
Ia harus menyatakan kerajaan-Nya di seluruh dunia.
Dalam konteks PB
Kerajaan Allah (basileia tou theou)
juga mempunyai beberapa penafsiran. Pertama, Kerajaan Allah adalah Kerajaan
Surga karena penggunaan kedua istilah ini sering bergantian dan keduanya
merupakan idiom untuk bahasa Semitik dimana Surga adalah nama pengganti untuk
hal illahi. Kedua, dimengerti sebagai kerajaan eskatologis, dimana pemerintahan
Allah secara langsung pada suatu saat nanti akan dapat dinikmati. Ketiga,
Kerajaan Allah dimengerti sebagai Kerajaan masa kini. Salah satu argumen untuk
pendapat ini berdasarkan tafsiran Matius 12:28, “Tetapi jika Aku mengusir setan
dengan kuasa Roh Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang
kepadamu.” Dalam bagian akhir pembahasannya tentang topik ini Ladd mengatakan,
“Kerajaan Allah aktif dalam Perjanjian Lama. Dalam peristiwa-peristiwa seperti
kitab Keluaran dan pembuangan ke Babel, Allah bertindak dalam kuasa
kerajaan-Nya untuk melepaskan atau menghakimi umat-Nya. Namun dalam pengertian
nyata, Kerajaan Allah telah datang ke dalam sejarah dalam pribadi dan misi
Tuhan Yesus.”
Dalam pembahasan
selanjutnya khususnya Kerajaan Allah dalam konteks pengajaran Yesus, Ladd
mengartikan sebagai Masa Baru Keselamatan. Masa Baru keselamatan ini dalam
pengertian, pertama Kerajaan itu sebagai alam berkat masa kini, dimana Kerajaan
Allah dimengerti sebagai dinamika pemerintahan Allah yang aktif dalam Yesus,
yang berati alam yang penuh berkat masa kini yang diterima oleh setiap manusia
yang menerima perkataan Yesus. Kedua, Kerajaan Allah sebagai suatu anugerah
masa kini. Ini berarti Kerajaan Allah bukan hanya pemerintahan Allah yang
dinamis, melainkan juga dipakai untuk menunjukkan anugerah hidup dan
keselamatan. Bentuk nyata dari anugerah masa kini ini ialah anugerah,
keselamatan, anugerah pengampunan dan anugerah pembenaran dari Tuhan.
Berbicara tentang
kerajaan tidak terlepas dari Sang Raja yang memerintah, maka dalam pembahasan
selanjutnya Ladd mengupas tentang Allah dari Kerajaan. Ladd menjelaskan tentang
“doktrin Allah” dalam konteks Kerajaan Allah, dimana Allah yang memerintah dalam
Kerajaan ini adalah pertama Allah yang mencari melalui misi Yesus yang melayani
orang berdosa. Kedua, Allah yang mengundang, dimana Yesus menggambarkan
keselamatan eskatologis dengan jamuan atau pesta dengan banyak tamu yang
diundang (Mat. 22:1-). Ketiga, Allah sebagai Bapa. Allah mencari dan mengundang
umat manusia untuk menyerahkan diri ke dalam pemerintahan-Nya supaya Ia menjadi
Bapa mereka, yang merupakan suatu pertalian yang tak terpisahkan antara
Kerajaan Allah dan Kebapaan-Nya. Keempat Allah yang Menghakimi. Allah yang
mencari juga Allah yang suci maka Ia menuntut kebenaran diantara umat yang
diundang-Nya.
Pembahasan
selanjutnya adalah tentang misteri Kerajaan.
Dalam hal ini Ladd menjelaskan tentang aturan bagaimana menafsirkan
perumpamaan-perumpamaan yang dipakai oleh Tuhan Yesus untuk menggambarkan
tentang kerajaan Allah. Ini penting karena Tuhan Yesus menggunakan
perumpamaan-perumpamaan seperti empat macam tanah, ilalang, biji sesawi, ragi
pukat dan sebagainya yang seringkali berkaitan dengan pengajaran tentang
Kerajaan Allah. Adapun prinsip penafsiran perumpamaan secara umum adalah,
pertama, perumpamaan tidak boleh ditafsirkan seakan perumpamaan itu adalah
alegoris. Kedua perumpamaan harus dipahami sebagai sesuai dengan latar belakang
kehidupan historis pelayanan Yesus dan bukan dalam kehidupan gereja.
Dalam pembahasan
pada bab kedelapan Ladd mengupas tentang Kerajaan Allah dan gereja, khususnya
tentang hubungan diantara keduanya. Pertama Gereja bukanlah Kerajaan itu, dalam
pengertian gereja tidak identik dengan Kerajaan Allah. Dalam PB tidak
menyamakan orang-orang percaya dengan Kerajaan Allah. Kedua, kerajaan itu
menciptakan Gereja. Kerajaan Allah yang dinamis yang hadir dalam misi Yesus,
menantang manusia untuk menanggapi dan membawa mereka ke dalam persekutuan yang
baru yang akhirnya terbentuk gereja. Ketiga, Gereja bersaksi untuk kerajaan
itu. Keberadaan dan kehadiran gereja adalah untuk menyaksikan Kerajaan Allah.
Gereja tidak dapat membangun atau menjadi kerajaan, tetapi hanya menyaksikan tentang
Kerajaan itu. Keempat, Gereja adalah alat kerajaan itu. Murid-murid Yesus tidak
hanya memberitakan Kerajaan Allah tetapi mereka adalah juga alat dari Kerajaan
Allah dalam hal bahwa pekerjaan-pekerjaan Kerajaan itu dilaksanakan melalui
mereka seperti halnya melalui Yesus sendiri. Kelima, Gereja adalah penjaga
Kerajaan itu.
Pembahasan
terakhir tentang kerajaan Allah dalam bab kesembilan adalah tentang Etika dari
Kerajaan itu. Ada beberapa ahli yang tidak menyetujui teologi Tuhan Yesus
tetapi memuji pengajaran etika-Nya karena menemukan makna yang abadi dalam
ajarannya. Dalam etika pemerintahan Allah, membahas tentang hubungan positif
antara ajaran etika Yesus dengan beritanya tentang Kerajaan Allah. Pertama
etika bersifat absolut karena merupakan etika pemerintahan Allah. Yesus mengajarkan kehendak Allah yang murni,
tidak berkondisi dan tanpa kompromi yang diletakkan Allah di atas manusia
sepanjang masa. Kedua, etika hidup batiniah. Etika Kerajaan Allah memberi penekanan
baru atas kebenaran hati. Penekanan utamanya pada karakter batiniah yang
mendasari perilaku. Ketiga, Pencapaian
Kebenaran. Bagaimana mencapai kebenaran dalam Kerajaan itu? Dalam hal ini Yesus
mensyaratkan pembaharuan batin yang akan menyanggupkan manusia untuk memenuhi
ajaran-ajaran-Nya. Iman terhadap
kerajaan yang dinyatakan oleh Yesus akan menghasilkan kehendak dan kekuatan
untuk manaati perintah-perintah Kerajaan yang baru ini. Keempat, Pahala dan
Anugerah. Banyak pengajaran Yesus
sehubungan dengan Kerajaan yang baru dikaitkan dengan pahala. Tetapi konsep
pahala disini berbeda dengan konsep Yahudi pada umumnya yang dianggap sebagai
semacam jasa. Dalam Kerajaan yang baru ini pahala adalah merupakan anugerah
yang diberikan secara cuma-cuma.
Pembahasan dalam
bab kesepuluh adalah tentang Mesias atau Teologi tentang Mesias. Dalam konteks
PL istilah Mesias (Mashiah) tidak
dipakai, pemunculannya memakai kasus genitif seperti “Mesias Yehovah”. Namun istilah Mesias pertama-tama dimengerti sebgai orang yang diurapi oleh
Allah, yang penggunaan mula-mula dalam konteks mesianik dalam 1 Samuel 2:10
dengan istilah orang yang diurpi-Nya. Dalam konteks Yudaisme antara perjanjian,
khususnya dalam literatur-literatur apokaliptis, ide Mesias mulai
berkembang. Akhirnya dalam literatur
para Rabi sebagai satu keseluruhan, Mesianis rajani keturunan Daud menjadi
tokoh sentral dalam pengharapan mesianis, sementara istilah Anak Manusia tidak
lagi dipakai.
Dalam konteks
kitab Injil, pengharapan orang-orang Yahudi terhadap Mesias cukup jelas, dengan karakteristik sebagai keturunan Daud
(Mat. 21:9), dilahirkan di Betlehem (Mat. 2:5) dan Ia akan hidup selama-lamanya
(Yoh. 12:34). Dalam perkembangannya
pengharapan Mesias adalah sebagai Raja keturunan Daud yang diurapi Allah dan
akan membebaskan secara politik dari penjajahan bangsa non Yahudi, dan
mendirikan kerajaan dunia dengan kekuatannya yang besar. Sedangkan dalam
surat-surat Paulus pengharapan Mesianik mempunyai konotasi soteriologi.
Sedangkan pengakuan Yesus sebagai Mesias pertama muncul dari pengakuan Petrus
ketika ia ditanya oleh Tuhan Yesus, dan pengakuan ini diteguhkan oleh Tuhan
Yesus sendiri (Mrk. 8:27-29). Pemunculan tentang pengakuan Yesus sebagai Mesias
kedua adalah ketika Yesus diperiksa di hadapan Sanhedrin dengan pertanyaan
“apakah Enkau Mesias, . . .?” Jawaban Yesus menegaskan tentang pengakuan ini.
Istilah yang berkaitan dengan Mesias dan sering dikenakan pada Tuhan Yesus
adalah Anak Daud.
Pembahasan
selanjutnya dalam bab kesebelas yang masih terkait dengan Mesias adalah Anak
Manusia. Tanda kemesiasan yang penting
dalam Injil Sinoptik adalah Anak Manusia. Fakta yang mendukung pentingnya
istilah Anak Manusia ini adalah pertama, Anak manusia adalah cara yang sering
dipakai (disukai) Yesus untuk menyebutkan diri-Nya sendiri. Kedua, sebutan ini
tidak pernah dipakai oleh orang lain untuk menyebutnya. Ketiga, Tidak ada bukti
dalam Kisah Rasul atau surat-surat kiriman bahwa gereja kuno menyebut Yesus
sebagai Anak Manusia.
Secara latar
belakang istilah Anak Manusia sering di pakai dalam PL dan hanya menyatakan
anak manusia secara harafiah. Hanya dalam kitab Daniel istilah Anak Manusia
dipakai dalam pengertian lain yang disejajarkan dengan orang-orang kudus (Dan.
7:21-27). Dalam PB pengertian Anak Manusia lebih spsifik
mengarah kepada Yesus dan pekerjaan-Nya. Tuhan Yesus menggunakan istilah Anak
Manusia yang harus menderita untuk menebus dosa manusia, yang pada akhirnya
istilah ini terkait dengan karakter dan pekerjaan Mesias.
Pembahasan lain
dalam bab dua belas adalah tentang Anak Allah. Menurut Ladd Yesus memandang
diri-Nya sebagai Anak Allah dalam cara unik sehingga Ia terpisah dari semua
orang dalam “berbagi” keesaan dengan Allah, yang merupakan hal mustahil bagi
manusia biasa. Menurut penulis istilah Anak Allah bukan terkait dengan Yesus
memandang dirinya, tetapi terkait dengan esensi dan keberadaan-Nya. Seperti
pernyataan Marshall yang dikutip oleh Ladd bahwa Anak Manusia adalah sarana
yang sempurna untuk menyatakan kesadaran pribadi ilahi Yesus.
Dalam Bab ketiga
belas membahas tentang persoalan Mesianis yang terkait dengan Yesus dari
sejarah dan Yesus History. Persoalan ini muncul karena ada beberapa ahli yang
membedakan Yesus yang dari Sejarah dengan Yesus yang diimani oleh gereja dan
yang menekankan ketransendenan Yesus.
Dalam kesimpulannya Ladd mengatakan bahwa Yesus yang diimani memang
Yesus yang ada dalam sejarah, sehingga Yesus yang Alkitabiah bukanlah Yesus
yang dihasilkan oleh iman. Gambaran Alkitab tentang Yesus adalah kesaksian dari
Para Rasul. Pernyataan Ladd , “ Iman saya tidak menciptakan konstruksi itu,
tetapi iman saya adalah bahwa sifat Allah dan sejarah punya tempat untuk Yesus
yang digambarkan Injil yang memungkinkan saya menerima kesaksian Alkitabiah.”
Sebuah pernyataan yang mewakili kaum injili tentang relasi iman, sejarah dan Yesus.
Pembahasan
selanjutnya dalam bab empat belas adalah tentang misi Mesianis. Karena pengertian Mesias dalam kalangan orang
Yahudi dan Yesus sebagai Mesias berbeda maka perihal misi yang dijalankan juga
berbeda. Misi Yesus bukan membebaskan orang Israel secara politik seperti
harapan mereka, tetapi misi yang bersifat rohani berhubungan dengan kebebasan
manusia dari dosa. Misi yang dilakukan Yesus adalah untuk meraih kemenangan
sebagai Mesias melalui kematiann-Nya di kayu Salib.
Pembahasan
terakhir dalam bagian pertama (Teologi Injil Sinoptik) adalah tentang
eskatologi. Penekanan eskatologi dalam Injil Sinoptik adalah tentang
kebangkitan tubuh, neraka, hukuman kekal datangnya kerajaan Baru yang
diharapkan yang terkait dengan kedatangan Yesus kedua kali. Tentang waktu
datangnya Kerajaan Baru ini terkait dengan tiga ungkapan yang berbeda yaitu
unsur kesegeraan, penundaan dan ketidak pastian. Ketiga hal ini sepertinya berlawanan satu
dengan yang lain. Menurut Ladd kesegeraan ialah unsur paling penting dalam
eskatologi yang diajarkan Yesus. Ketika kedatangan itu belum terjadi, gereja
harus menyesuaikan penundaan parousia; dan hal ini diambil sebagai salah satu
faktor yang menentukan dalam perkembangan doktrin Kristen.
Bagian Kedua:
Injil Keempat (Yohanes)
Dalam pembahasan pertama (Bab 16)
tentang Injil Yohanes Ladd membahas tentang persoalan kritis dalam Injil
Yohanes yang terkait dengan perbedaan-perbedaan dengan Injil Sinoptik. Perbedaan yang meliputi lokasi pelayanan Yesus, kosa kata yang
dipakai Yesus, gaya bahasa, bentuk sastra dan penekanan teologis. Perbedaan yang sering menjadi bahan
perdebatan di antara para sarjana ialah penafsiran Injil Yohanes sebagai produk
kedua dari dunia Helenistis, dimana berita tentang Yesus telah disesuaikan
dengan kebudayaan Helenistis. Salah satu usulan pemecahannya ialah bahwa
Yohanes dengan sangat hati-hati menyusun kembali dan menginterpretasikan
kata-kata Yesus agar sesuai dengan situasi kontemporernya.
Hal menarik lain yang dibahas oleh
Ladd dalam Bab tujuh belas adalah tentang adanya dualisme dalam Injil Yohanes.
Dualisme antara dunia masa kini dan dunia masa datang, antara gelap dan terang,
antara daging dan roh, dualisme dalam eskatologi antara dunia bawah dalam
kekuasaan Iblis dengan dunia atas yaitu dunia terang, dualisme dunia Yahudi dan
dunia Yunani. Adanya dualisme ini
berlatarbelakang dunia filsafat Yunani.
Pengajaran penting yang ditekankan
Yohanes adalah tentang Kristologi (bab 18). Yang menarik dari Kristologi
Yohanes adalah menyatakan Yesus sebagai Logos,
suatu istilah yang Yesus sendiri tidak pernah menggunaknnya. Logos berasal
dunia Yunani (Heroclitus) dan merupakan unsur penting dalam Stoa yang dalam
Kristologi Yohanes mengacu kepada pra-eksistensi Yesus. Penekanan lain adalah
tentang Yesus sebagai Mesias, Anak Manusia dan Anak Allah.
Topik lain yang merupakan kekasan
Injil Yohanes adalah pengajaran tentang Hidup yang Kekal. Hidup kekal dalam Injil Yohenaes pertama
dimengerti sebagai yang bersifat eskatologis seperti yang terlihat dalam
Yohanes 12:25. “Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya,
tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya
untuk hidup yang kekal.” Namun demikian dalam pengajaran Hidup Kekal dalam
Injil Yohanes juga ada unsur kekinian, dimana hidup kekal pada masa yang akan
datang sudah diberikan Yesus pada masa kini. Maksud misi Yesus adalah membawa
pengalaman hidup kekal masa depan kepada
hidup masa kini (Yoh. 10:10). Salah satu
hal penting yang mengkaitkan Hidp kekal dengan masa kini adalah pengetahuan
akan Allah melalui Yesus Kristus.
Injil Yohanes selain berbicara
tentang kehidupan kekal, juga membahahas tentang kehidupan Kristen masa kini
(bab 20). Kehidupan masa kini ditandai
dengan iman, hidup berdasarkan etika Kristen, Kehidupan bergereja yang
didalamnya ada unsur sakramen.
Pengajaran lainnya yang penting
dalam Injil Yohanes adalah pengajaran tentang Roh Kudus (bab 21). Menurut Ladd,
pengajaran Roh Kudus dalam Injil Yohanes agak berbeda meskipun tidak
bertentangan dengan pengajaran Roh Kudus dalam kitab-kitab lainnya. Kalau dalam
Sinoptik mencatat tentang turunnya Roh Kudus, Dalam Yohanes lebih menekankan
tentang pribadi dan karya Roh Kudus. Salah satu istilah khas dalam Injil
Yohanes adalah penyebutan Roh Kudus dengan Parakletos,
yang akan menggantikan tempat Yesus dan
melanjutkan pelayanan-Nya terhadap murid-murid-Nya.
Pembahasan terakhir dalam Injil
Yohanes oleh Ladd ialah tentang eskatologi. Kalau dalam Sinoptik menekankan
Kerajaan Allah dalam Yohanes menekankan eskatologi dalam pengertian hidp kekal.
Penekanan lainnya dalam eskatologi Yohanes adalah tentang kedatangan Yesus
kedua kali, kebangkitan dan hukuman kekal.
Bagian
Ketiga: Gereja Mula-Mula (Kisah Para
Rasul)
Secara umum Ladd memberi porsi yang
lebih sedikit terhadap pembahasan Kisah Rasul dimana ada empat point utama yang
dibahasnya yaitu Teologi Kisah Para Rasul (bab 23), Kebangkitan (bab 23),
Kerygma Eskatologis (bab 25) dan Gereja. Secara Teologis Kisah rasul dianggap
sebagai karya Teologis yang merefleksikan kehidupan dan pemikiran gereja
mula-mula.
Pembahasan kedua ialah tentang
kebangkitan. Kebangkitan Yesus merupakan peristiwa historis yang akhirnya
mempengaruhi kehidupan para murid. Kebangkitan Kristus dan kebangkitan mereka
yang telah menjadi milik-Nya merupakan dua bagian dari satu peristiwa, dua
babak dari satu drama, dua tahap dari satu proses. Hubungan waktu diantara
keduanya tidak penting, hal ini tidak mempengaruhi hubungan teologisnya.
Kebangkitan Kristus merupakan kebangkitan eskatologis yang pernah terjadi dalam
sejarah dan telah menyebabkan lahirnya gereja.
Kerygma eskatologis merupakan topik
berikutnya yang dibahas oleh Ladd.
Dimana menyelusuri topik tentang kesengsaraan Yesus, permulaan
kebangkitan, Kerajaan Allah, kenaikan, Raja Mesias Anak Manusia dan Yesus
sebagai Tuhan berdasarkan kitab Kisah Para Rasul. Menurut penulis pembahasan itu kurang sesuai
dengan Teologi Kisah Rasul, karena topik-topik yang dimunculkan bukan merupakan
penekanan berita Kisah Rasul.
Pembahasan yang sangat sesuai dengan
berita Kisah Rasul adalah pembahasan dalam bab ke 26 ini yaitu tentang
gereja. Kalau mau menelusuri lahirnya
gereja harus dimulai dengan Kisah rasul, dimana menurut Ladd permulaan Gereja
dimulai dengan peristiwa Pentakosta. Gereja mula-mula adalah berbentuk
persekutuan orang-orang percaya dan ditandai dengan adanya kehidupan dalam
kasih, persekutuan, diakonia dan persaudaraan.
Salah satu yang menandai adalah adanya baptisan.
Bagian Empat:
Paulus
Ladd memberikan tempat yang luas
untuk membahas tentang Teologi Paulus (12 Bab). Paulus adalah seorang pemikir
terbesar dalam PB yang memberi penjelasan tentang makna pribadi dan pekerjaan
Tuhan Yesus. Pembahasan dimulai dengan memberikan latar belakang keyahudian
Paulus sampai dengan pertobatannya menjadi pengikut Kristus. Menurut Ladd yang
menjadi inti teologi Paulus adalah pembhenaran oleh Iman.
Pembahasan kedua dari teologi Paulus
oleh Ladd adalah tentang sumber-sumber pemikiran Paulus. Secara umum surat-surat Paulus bukanlah
karya-karya teologis atau produk sastra formal, melainkan bersifat non sastra,
menghidupkan koresponden pribadi yang ditulis dengan perasaan mendalam terhadap
jemaat-jemaat Kristen yang yang kebanyakan didirikan oleh Paulus sendiri. Namun
demikian Paulus dapat dikategorikan sebagai seorang teolog sistematis dalam
arti bahwa ia telah berusaha menyusun suatu sistem ajaran yang konsisten, padat
dan seimbang seperti seorang teolog modern.
Selain itu, “keteologian” Paulus berdasarkan latar belakang keyahudiannya,
sehingga kita dapat mengenali teologi Paulus sebagai interpretasi terhadap
makna pribadi dan karya Kristus dalam relevansi praktisnya bagi kehidupan
Kristen.
Topik lain yang muncul dalam teologi
Paulus adalah tentang manusia di Luar Kristus.
Dalam beberapa bagian Paulus menggunakan istilah dunia untuk
menggambarkan orang yang di luar Kristus, meskipun di beberapa bagian juga
mempunyai arti yang lain. Istilah-istilah lain yang diapakai oleh Paulus dalam
bagian ini masih terkait dengan kondisi manusia di luar Kristus adalah hati
nurani, dosa, daging, seteru-seteru, kematian dan Kristus.
Pembahasan selanjutnya dalam bab ke
30 tentang pribadi Kristus menurut gambaran Paulus. Istilah-istilah yang
dipakai Paulus untuk melukis pribadi Kristus dalam surat-suratnya adalah Yesus
sebagai Mesias, Yesus sebagai Anak Allah, dan Kristus sebagai Adam yang
Terakhir. Dalam bagian-bagian ini Paulus
menjelaskan tentang Kristus menurut istilah-istilah yang sudah dimengerti atau setidaknya
sudah biasa dalam lengkungan Yahudi.
Dalam bagian selanjutnya Ladd
membahas tentang Karya Kristus menurut Paulus, dimana pembahasan difokuskan
dalam dua hal yaitu: pertama, Penebusan, kedua Pembenaran dan Pendamaian.
Menurut pengamatan penulis pembahasan kedua topik ini meskipun dibedakan dalam
dua bab, terjadi overlaping pembahasan, dimana dalam pembahasan tentang
penebusan penjelasan-penjelasan mengenai pembenaran dimasukkan didalamnya.
Dalam penebusan, melalui kematian Kristus merupakan unsur utama, sedang yang
melandasi ialah kasih Allah. Karena kasih ini maka ada unsur pengorbanan bagi
orang lain.
Dalam doktrin pembenaran, bagi
Paulus bersifat eskatologis. Hal ini dihubungkan dengan pernyataan Paulus dalam
Roma 8:33 “Siapakah yang akan menggugat orang-orang pilihan Allah? Allah, yang
membenarkan mereka? Siapakah yang akan menghukum mereka” Kalau dalam Yudaisme
dasar pembenaran adalah ketaatan kepada hukum dalam teologi Paulus dasarnya
adalah kematian Kristus. Hal yang terkait langsung dengan pembenaran adalah
pendamaian. Kalau pembenaran adalah hasil keputusan ilahi tentang pembebasan
orang berdosa dari kesalahan, pendamaian adalah pemulihan kepada persekutuan
yang diakibatkan oleh pembenaran.
Pembahasan selanjutnya dalam bab 33
adalah tentang psikologi Paulus. Dalam
bagian ini menurut penulis antara judul dengan pembahasan kurang menyambung,
karena porsi pembahasannya lebih banyak tentang sarx daging. Apa perlunya membahas psikologi Paulus dalam kaitannya
dengan teologi PB?
Pembahasan dalam bab 34 adalah
tentang hidup baru dalam Kristus. Hidup baru adalah persatuan dengan Kristus di
dalam kematian dan kebangkitan-Nya, suatu kehidupan yang dimiliki oleh orang
beriman yang telah menjadi ciptaan baru di dalam Kristus. Salah satu ayat
pendukung untuk bagian ini adalah Roma 8:10 “Tetapi jika Kristus ada di dalam
kamu, maka tubuh memang mati karena dosa, tetapi roh adalah kehidupan oleh
karena kebenaran.”
Hukum Taurat merupakan pembahasan
dalam bab selanjutnya, dimana Paulus memberikan penafsiran baru berdasarkan
terang pengenalan akan Tuhan Yesus. Bagi Paulus meskipun Taurat merupakan
pengungkapan yang benar dan kudus tentang kehendak Allah, namun Taurat telah
gagal membuat manusia benar di hadapan Allah.
Dalam bab 36 Ladd membahas tentang
kehidupan Kristen. Pembahasan ini sebenarnya
sebagian sudah dibahas atau tumpang tindih dengan pembahasn bab 34 tentang
hidup baru dalam Kristus. Penekanan dalam bagian ini tentang kehidupan praktis
seperti kehidupan yang meneladani Kristus, pengudusan, kehidupan dalam kasih
dan bagaimana menyikapi terhadap hal-hal jahat.
Dalam bab 37, Ladd membahas teologi
Paulus tentang gereja. Secara struktur konsep Paulus tentang gereja tidak jauh
berbeda dengan gereja dalam Kisah Rasul. Menurut Paulus ekklesia adalah kesinambungan umat Allah dalam PL meskipun tidak
identik dengan umat Israel. Penekanan Paulus tentang gereja adalah persekutan
orang-orang kudus (orang percaya) sebagai tubuh Kristus.
Pembahasan terakhir Ladd tentang
Teologi Paulus adalah eskatologi. Penekaan eskatologi paulus adalah tentang keadaan
peralihan dari masa kini kepada masa yang akan datang, yaitu kedatangan Kristus
dan kebangkitan orang mati. Hal lain
yang terkait dengan eskatologi paulus adalah perihal tidurnya orang mati,
kembalinya Kristus, rahasia kekerasan hati Israel dan keselamatan akhir,
kebangkitan dan pengangkatan, penghakiman dan penggenapan.
Bagian Lima:
Surat-Surat Umum
Pada bagian kelima (bab 39-43) Ladd
membahas Teologi dalam surat-surat umum.
Meskipun semua surat disinggung penekanan dan porsi utama pembahasannya
adalah dalam kitab Ibrani. Teologi utama dalam Ibrani adalah adanya dualisme
dua dunia dan keimaman atau Imam Besar. Kristus sebagai Imam besar yang
melayani dan memberikan korban satu kali untuk selamanya. Dalam Surat petrus teologi yang menonjol adalah
tentang pemeliharaan ilahi dalam penderitaan manusia. Secara umum pembahasan dalam surat-surat umum
oleh Ladd hampir semacam tafsiran,
kurang mengangkat teologi utamanya.
Bagian Enam:
Apokalips
Menurut pengamatan penulis
pembahasan Ladd tentang Kitab Wahyu bukan hanya sebatas teologi kitab wahyu
tetapi dicampur dengan tafsiran kitab Wahyu.
Hal ini terlihat dari penjelasannya tentang isi kitab wahyu satu topik
yang pada umumnya masuk dalam tafsiran.
Selain itu pembahasan keduanya tentang metode-metode penafsiran kitab
Wahyu. Sedangkan secara teologi, teologi utama kitab Wahyu adalah teologi
Apokalips dimana Ladd memberikan tiga bagian utama dalam teologi kitab Wahyu
ini yaitu: Pertama, Masalah kejahatan dimana Kitab Wahyu menubuatkan satu
periode dimana kejahatan dahsyat akan terjadi. Kedua, Datangnya Murka, dimana
masa kesengsaraan dibarengi dengan turunnya murka Allah atau penjatuhan hukuman
Allah atas manusia. Ketiga, Kedatangan Kerajaan, yang ditandai dengan
kehancuran kejahatan oleh kedatangan Tuhan dan masa berkat kehidupan kekal yang
dinikmati oleh umat Tuhan.
Evaluasi
secara Keseluruhan
Menurut pengamatan penulis, hasil
karya Ladd dapat diakatakan mewakili pandangan kelompok Injili tentang teologi,
yaitu teologi yang dibangun berdasarkan data-data Alkitab. Konsep dan
pandangannya terhadap Alkitab ikut menentukan teologi yangt dihasilkannya.
Pembahasan yang diberikan berdasarkan asumsi teologi Injili yang jelas.
Dari segi
pembahasan ada beberapa yang overlaping dalam satu bab, dimana dua topik
berbeda tetapi isi pembahasnnya ada kesamannya. Sementara itu pembagian
kelompok besar pembahasnnya dalam konteks teologi PB tidak harus berdasarkan
kitab tetapi dapat juga berdasarkan topik per topik. Pembagian kedalam enam
bagian yaitu sinoptik, Injil Yohanes, Kisah Rasul, Surat-surat Paulus,
Surat-surat Umum dan Kitab Wahyu adalah pembagian yang sering dipakai secara
biblikal bukan pembagian dalam konteks teologi.
Charles C. Ryrie, Biblical Theological of the New Testament
Chicago: Moody Press, 1999.
A book to be used
in conjunction with commentaries, that will assist any reader to have a new
appreciation of the authors, circumstances, and writings of the New Testament.
3. Alkitab: Pro dan Kontra
Harold Lolowang. Menyibak Kontroversi Dugaan Ketidakaslian
Alkitab. Yogyakarta: Andi, 2009.
EVALUASI TERHADAP BUKU. Harold Lolowang
“Menyibak Kontroversi Dugaan Ketidakaslian Alkitab”
Buku yang ditulis
oleh Ir. Harold Lolawang ini, sedang menanggapi dan menyibak buku “Misquoting
Jesus” Karya Bart D. Ehrman, Ph. D. Buku “Misquoting Jesus” ini menduga bahwa
telah terjadi perubahan-perubahan penyalinan Alkitab yang dilakukan oleh para
penyalin Alkitab dari masa purba sampai Abad pertengan. Para penyalin telah
mengutak-atik ayat yang asli. Intinya bahwa Alkitab yang ditulis itu bukan
ilham Allah dan Yesus bukan Allah.
Buku “Misquoting”
ini, menjelaskan bahwa gelar Yesus sebagai Allah itu adalah tambahan, orang
Kristen percaya akan tipuan ini, konsep tritunggal itu disisipkan dalam 1
Yohanes 5:7, Markus 16:9-20 tidak ada dalam naskah asli, 1 Timotius 3:16 bukan
Allah yang menyatakan diri dalam rupa manusia Dia hanyalah manusia biasa yang
bermanifestasi diri dalam rupa manusia.
Walaupun pandangan
ini sangat rasional dan pengaruhnya dapat membuat orang tidak percaya lagi
terhadap Alkitab dan Yesus adalah Tuhan. Untuk mengungkap dan membuktikan bahwa
alasan-alasan yang meragukan kebenaran Alkitab menurut penulis “Misquoting Yesus” maka perlu diadakan
penyelidikan. Itulah yang dilakukan oleh Ir Harold Lolawang untuk membuktikan:
Apakah yang dikatakan dalam buku Misquoting Yesus itu tidak benar, atau
sebaliknya akan menyibaknya melalui mencari sumber-sumber sebagai dasar
kebenaran untuk membungkam pandangan ini supaya terbuka kesalahan-kesalahan
yang telah dilakukannya. Sehingga dapat menyatakan Alkitab itu benar dan sumber
kebenaran yang tidak diragukan, dia menyibaknya dalam buku ini.
Dampak yang
diakibatkan dari membaca buku “Misquoting Yesus” ada dua yaitu:
Bagi mereka yang
tidak bersandar kepada Roh Kudus, akan segera memberi respon yang negatif
terhadap iman kepada Alkitab dan Tuhan Yesus telah dikasihinya.
Kemungkinan
setelah membaca buku “Misquonting Yesus”, orang itu semakin belajar dan terus
belajar dan menemukan kebenaran. Ia semakin teguh pada imannya, dapat
membedakan mana yang bersumber dari kebenaran.
Evaluasi
Keseluruhan Buku
Berangkat
dari Titik Awal yang Salah
Pengaruh Buku-buku dalam Penyesatan sampai Diakhirat
Jika titik awalnya benar, hasil
akhirnya benar. Sebaliknya titik awal yang salah akan menghasilkan hasil akhir
juga yang salah.
Membaca buku-buku tanpa dasar dasar
yang berisi asumsi, berdasarkan fiksi, rekaan, perkiraan, dan yang sejenisnya
seolah-olah membenarkan dugaan khayal para pengarang dan menolak Yesus. Dalam
hal ini dugaan bisa dianggap benar, bahkan melebihi kebenaran Alkitab karena
“kelihatan ilmiah”. Banyak orang tidak sadar bahwa itu dugaan dan asumsi
sipengarang. Misalnya buku The Jesus Family Tomb ditulis Simcha Jacobovici dan
Charles Pellegrino dan the Da Vinci Code ditulis oleh Dan Brown. Buku-buku ini
menulis sangat berbeda dengan Yesus menurut Alkitab. Buku The Da Vinci Code
mengisahkan pernikahan Yesus dengan Maria Magdalena dan juga hasil pernikahan
mereka (di Prancis Selatan). Buku the Jesus Family Tomb mengisahkan bahwa Jasad
Yesus dan keluarganya telah ditemukan di kompleks makam Talpiot di Yerusalem
Selatan. (Berdasarkan fakta-fakta historis tidak cocok).
Pengaruh buku Injil menurut Dan
Brown dari penelitian George Barna, ada 45 juta orang Amerika membaca buku ini,
5% pembaca yang diubah keyakinannya. Artinya ada 2 juta orang Amerika diseret
ke Neraka hanya karena buku fiksi.
“Misquoting Jesus” Ehrman untuk Kaum Awam Kristen
Buku ini ditulis ditujukan kepada
kaum awam yang benar-benar lugu dalam bidang teologi. Buku ini menyoroti
“kesalahan-kesalahan Alkitab dan kronologis perubahan-perubahan (baik tidak
disengaja maupun disengaja), sehingga member konklusi “bahwa orang Kristen
tidak perlu percaya sepenuhnya Alkitab karena Alkitab memang sama sekali tidak
dapat dipercaya”. Hal ini tidak benar.
Kesalahan titik awal yang ditujukan
kepada Bart Ehrman, dia re menjadikan dirinya sendiri sebagai seorang agnostic?
Dia langsung tidak mempercayai Alkitab sebagai firman Allah. Letak kesalahan
awalnya adalah:
Alkitab hanya sebagai bagian dari Liturgi
Akibat pandangan
yang dangkal tentang Alkitab menjadi awal yang keliru “buku itu terkesan kuno,
tidak melihat alasan untuk membaca sendiri atau mempelajarinya. Titik awal yang
salah dalam kehidupan masa remaja Ehrman, Alkitab tidak menjadi hal yang utama
dalam hidupnya sebagai orang Kristen, dalam kelas sekolah minggu lebih berfokus
persolan-persoalan praktis dan social dan cara hidup di dunia ini. Hal ini
berbeda dengan yang berangkat dari titik awal yang benar (Yos. 1:8).
Teologi Menduga-duga seperti Peristiwa
Penggodaan di Taman Eden
Buku “Misquoting
Jesus” berisi dugaan-dugaan seperti orang masuk gua atau dapat juga dimisalkan
seperti ketika seseorang melakukan perjalanan pertama kali ke tempat yang tidak
pernah didatangi. Jika diteliti buku itu penuh dengan uangkapan-ungkapan
keraguan yang dikemas dalam bentuk yang sangat tidak pasti dan menduga-duga.
Kata-kata yang digunakan adalah berbagai variasi dari ketidakpastian.
Buku Misquoting Jesus dan
“Kata-kata melayang yang tidak pasti”
Kitab Lukas 22:39-46 Yesus berdoa di
Bukit Zaitun. Dalam ayat 43-44 diungkapkan ketika Dia berdoa ada malaikat
menampakkan diri untuk memberi kekuatan dan keringat-Nya berubah menjadi
titik-titik darah. Ehrman menyatakan bahwa bisa jadi ayat-ayat yang
membicarakan keringat menjadi titik darah ini merupakan tambahan para penyalin
kemudian. Menurutnya, kenyataan Naskah Alexandria tidak memuat ayat 43-44. Ini
adalah asumsinya, tetapi ada banyak pembaca buku ini menerimanya sebagai sebuah
kepastian. Padahal Naskah Alexandria itu sendiri telah tercemar pemikiran
Origenes yang memasukkan paganisme ke dalam terjemahannya.
Sebenarnya manuskrip Alexanderia
bukanlah manuskrip terawal karena ada Peshitta (manuskrip bertuliskan tulisan
Aram, bahasa yang digunakan Yesus ketika itu) yang jauh lebih awal. Manuskrip
Peshitta ini menjadi sumber bagi Alkitab yang digunakan Gereja Orthodoks Timur.
Juga ada kitab Waldens, manuskrip Curationian, dan manuskrip awal lainnya yang
lebih awal dari naskah Alexandria.
Dalam “Misquoting Jesus” banyak
halaman memuat ungkapan “kata-kata melayang dan tidak pasti”. Hal tersebut terdapat
dalam buku menyibak Kontroversi ada 103 “ketidakpastian” ada dalam buku Ehrman.
Semua orang menyingkirkan “kata-kata melayang dan tidak pasti”. Alkitab
dianggap tidak benar. Contoh “kata-kata
melayang dan tidak pasti dalam buku Misquoting Jesus: Jesus dijadikan Allah
oleh Para Penyalin. Halaman 122, pendapatnya disimpulkan tentang 1 Timotius
3:16 yang dikatakan Ehrman “dapat disimpukan garis dibuat dibelakangnya…”
artinya, arti itu dalam 1 Timotius 3:16 adalah kata “yang” atau “siapa” yang
dalam bahasa Yunani di tulis sebagai OS (dengan O yang tidak memiliki garis di
tengahnya) dan bukan kata “Allah” (QS ; huruf O yang ada garis tengahnya, yang
disebut Theta).
Menurut Ehrman, akibat penambahan
garis datar ini secara sengaja, dari OS menjadi QS, frasa yang asli sengaja
diubah mejadi “Yesus adalah yang nyata dibuat dalam daging”. Menurutnya,
tambahan garis datar terjadi belakangan. Pengubahan ini konon dilakukan oleh
penyalin sesudah itu dan mengubah Kristus dari manusia menjadi Allah (dijelaskan jawabannya di bab 11).
Teologi “menduga-duga” adalah konsep
lama yang dikemas dalam kemasan yang baru.Konsep membingungkan membingungkan
sudah ada sejak Taman Eden, memutarbalikkan kebenaran firman Allah, dengan
menggunakan kata “tentulah”. “Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya,
bukan?” (Kej. 3:1b).
Iblis dengan memakai nama Allah (yang dikatakan
sebagai Allah berfirman), kata “tentulah” member pemahaman bisa “ya”, bisa juga
“tidak”. Kalau “ya” syukurah…jika “tidak” ya tidak apa-apa, dianggap tidak
apa-apa, padahal konsekuensinya kehilangan kemuliaan Allah. Jadi metode tipuan
ini sangat berbahaya sekali, samar-samar dan tidak kentara. Jadi hal penting di
sini perlu dipahami bahwa telah terjadi penyelewengan firman Allah berwujud
bentuk lama di Taman Eden dalam kemasan baru dalam bentuk buku-buku yang yang
menggoyahkan iman kristiani.
Konspirasi yang
tidak terlihat Konpirasi menyajikan “dugaan” disajikan berdampingan dengan
“data pembenar” yang menyokong asumsi mereka. Iblispun sekarang gencar
melakukan konspirasi yang secara sadar dan tidak sadar dilakonkan oleh
orang-orang yang dimata manusia sebagai “pakar Alkitab” untuk meruntuhkan
kebenaran Alkitab sebagai Firman Tuhan. Tujuannya supaya orang Kristen ragu
terhadap Alkitab dan Yesus Kristus Tuhan dan Juruselamat.
Pembual Cendikiawan. Setiap hari
kebohongan-kebohongan mengintai kita. Sebab inilah yang terjadi sekarang ini.
Banyak ahli yang mempelajari Alkitab, dengan klasifikasi doctor dan pakar, yang
dengan seenaknya melakukan pengibulan. Mereka memberikan data yang kelihatan
pasti, tetapi sesungguhnya semua jauh dari kebenaran. Dengan buku-buku hard
cover yang menarik, dengan ulasan sistematik, hati-hati cendikiawan tukang
kibul. Tertipu dengan modal kata “bisa jadi”, “diduga”, atau tampaknya”.
Supaya Manusia tidak Bergantung kepada Allah
Konsep cendikiawan
tukang kibul itu sungguh hebat. Mereka menyiapkan konsep teologia “tentulah”
yang semua hanya menduga-duga. Banyak kata “mungkin”, “rupanya”, tampaknya”,
dan “pastilah”. Tujuannya hanya satu, yaitu supaya manusia tidak bergantung
kepada Allah dan berpihak kepada Iblis.
Untuk mencapai tujuan itu, Iblis
berusaha membuat manusia terpengaruh dengan teologi “tentulah” yang
dirancangnya sejak di Taman Eden. Berbagai ajaran palsu dilancarkan.
Menghadapi “Badai Iman”
Sikap skeptis Ehrman beruba dari
ketidak percayaan”bola salju sebesar kelereng “menjadi “bongkaan besar”, dengan
tegas ia tidak mempercayai Alkitab sebagai firman Allah. Ia menulis dengan
sikap skeptic, itu terjadi karena Ia mengambil posisi titik awal yang salah. Ia
memulai dengan rasio, bukan iman. Alkitab dipandang hanya sebagai buku liturgy
biasa. Ehrman menuliskan Alkitab tidak ditandaskan secara berlebihan dan buku
itu terkesan kuno.
Karena ia menulis perilakunya yang
tidak lagi beriman kepada Kristus, ia sangat yakin dan menularkan sifat goyah
ini kepada pembacanya. Karena titik awal yang salah, ia berakhir pada titik
yang salah. Mulai buku “Misquoting Jesus” dan beberapa buku sebelumnya, ia
seolah-olah mempengaruhi orang Kristen lain untuk bersatu padu menyerang wibawa
Alkitab.
Prinsip yang Diajarkan Yesus
untuk Menghadapi “Badai Iman”
Jauh sebelum
badai-badai iman ini terjadi, Tuhan Yesus sudah mengibaratkan orang yang
mendengar dan melakukan perkataaan-Nya sama seperti orang yang mendirikan rumah
di atas batu (Mat. 7:24-25).
Bab. 5-6 Apakah Isi Alkitab Sekarang bukan Pengilhaman
Allah?
Dalam bab ini Ehrman dengan bukunya “Misquoting
Jesus” memberikan kesan bahwa Alkitab sudah tidak asli lagi sebagai ilham Allah
karena penyalinan yang telah diubah. Perubahan ini membuat orang Kristen merasa
sudah dikibuli oleh Alkitab yang dikatakan dasar iman yang murni. Horald
Lolowang mengatakan jangan percaya dulu dengan Ehrman, perlu melihat
fakta-fakta yang akan dia kemukakan.
Naskah Bizaitun sumber asal Alkitab
KJV yang murni) dikatakan dikatakan oleh mereka kurang historis dan kurang
murni . Padahal uraian naskah itu lebih dekat dengan kehidupan Yesus. Codex
Vaticanus dan Siniaticus yang ditemukan pada abad pertengahan dikatakan sebagai
manuskrip yang sangat historis oleh Ehrman. Naskah ini dipelintir , hasilnya
kedua naskah penuh kesalahan-kesalahan. Wescott dan Hort mengikuti Codex Vaticanus
dan Codex Sinaiticus dan mengubah total kebenaran ilahi. Menolak semua
kebenaran dan menjadikan Alkitab PB versi mereka yang berbeda dengan manuskrip
asli. Tetapi bagi Ehrman, manuskrip yang asli adalah codex Vaticanus dan Codex
Sinaiticus. Anehnya, ternyata kedua naskah minority Text) sudah banyak
dipreteli, codex ini tidak memuat Markus 16:9-20. Ehrman sangat mepuja-puja KV
dan KS.
Peshitta dan Kelompok Sumber-sumber Asal Alkitab
di lingkungan Gereja Timur (Orthodox)
Kelompok ini tidak dimasukkan oleh
Ehrman, padahal Peshitta sesungguhnya dikenal sebagai bentu awal dari segala
manuskrip Alkitab di kalangan gereja –gereja ortodok). Kata “Peshitta” ini
berarti sederhana atau tepat. Peshitta adalah dokumentasi tertulis yang
diabadikan dari para rasul dalam bentuk bahasa Aram yang orisinal menjadi
bahasa yang dipercakapkan Tuhan Yesus. Lebih memperkuat lagi bukti bahwa
Peshitta jauh lebih tua dibandingkan dengan KV dan KS sebagai naskah tertua.
Jauh dari yang dikemukakan Ehrman.
Kelumit Penjelasan Beberapa bagian Alkitab yang
Dipertanyakan dalam buku “Misquoting Jesus” (I)
Dalam bab 2 Misquoting Jesus dan
buku sejenisnya dipenuhi dengan kata-kata “tampaknya”, “kemungkinan besar”,
siapa tahu”, “ada kemungkinan”, dan variasi-variasi serba tidak pasti. Dengan
hikmat Roh Kudus akan menguraikan hal-hal yang dikatakan Ehrman dipalsukan
dalam Alkitab, sesungguhnya tidak demikian. Contoh Wanita yang berzina dalam Yohanes 7:53-8:11 adalah kisah yang
ditambahkan kemudian tidak pernah ditulis dalam Kitab Yohanes yang Asli? Kisah
ini menurutnya hanyalah fiktif dan tidak pernah terjadi sama sekali karena
tidak ada dalam Injil yang asli. Alasan Ehrman sangat lemah karena berdasarkan
asumsi, menggunakan kata”kemungkinan”, ini Spekulasi “kemungkinan”.
Bab 2 halaman
61-66 buku “Misquoting Jesus” menyebutkan bahwa kedua belas ayat dalam Markus 16 tidak asli dan ditambah
kemudian. Dapat dijelaskan bahwa ada dua alasan yang kurang tepat di atas
sebagai berikut: Pertama, Ehrman
hanya berasumsi bahwa cerita itu ditambah-tambahi oleh penyalin belakangan.
Nama penyalin tidak disebutkan, tuduhannya sangat spekulatif. Kedua, cerita itu tidak ada dalam Injil
Markus yang Asli”. Sampai saat ini tidak ada ahli yang dapat memastikan mana
naskah yang aslih. Semua para ahli mengemukakan panangan yang berbeda tentang
manuskrip yang asli. Dari bab 9 bahwa kebingungan dan kerontokan iman tidak
perlu terjadi asal tetap berpegang teguh pada pada Alkitab, dan bab 10 topik
masih sama dengan materi yang lainnya.
Bab 11 tentang
sekelumit penjelasan Alkitab yang dipertanyakan dalam buku Misquoting Jesus (3)
Apakah benar manuskrip asli dalam 1 Timotius 3:16 menyatakan Yesus bukan “Allah
menjadi daging” (rupa manusia). Alkitab KJV “…was manifest in the Fels,
Manuskrip dari Qirbet Qumran bukti arkeologis 1 Timotius 3:16 adalah penemuan
dokumen 7Q4 di Qumran. Arti 7Q4 adalah manuskrip no 4 yang dikemukakan dalam
gua Qumran nomor 7. Dalam bab 9 menjelaskan gua-gua Qumran yang mempunyai
berbagai manuskrip awal selama ribuan tahun. Terkuak thn 1947 ditemukannya
manuskrip 7Q4. Dalam manuskrip nomor 4 itu diperoleh data tentang keabsahan
potongan yang menceritakan 1 Timotius 3:16. Seorang tokoh gereja purba,
Hipplytus (170-236), dalam bukunya berjudul melawan Noetus, mengutip 1 Timotius
3:16.” Untuk Allah kami yang bersama-sama kita dalam rupa tubuh”. Christosomus
(350 M) mengutif dengan menggunakan bahasa Yunani, kemudian Gregorus dari
Nyassa (370) mengutif ayat ini 22 kali, Ignatius (100 M).
Bab akhir ini Menjelaskan Alkitab sebagai Pedang Roh
Dalam bab 6-7
bagaimana isi Alkitab dipreteli para teolog modern dengan mengeluarka intinya
sehingga tersisa remah-remah”. Upaya iblis mengganti pedang yang asli dengan
pedang palsu. Alkitab sebagai pedang , yang adalah firman kebenaran, mau
diganti dengan kepalsuan. Yesus dikatakan tidak lahir dari anak dar, tidak ada
Trinitas Allah; gelar Yesus sebagai Tuhan ditiadakan; Yesus identik dengan anak
dewa; surge dan deneraka dikaburkan ; orang jahat tidak masuk neraka, setan
tidak perlu diusir, tetapi cukup ditegur saja dan masih banyak ajaran Alkitab
yang menyimpang. Dr D. A. Waite mengingatkan bahwa “kita dapat menggunakan
Alkitab yang enak dibaca sekalipun tidak cocok dengan perkataan Allah, tetapi
semua itu tidak ada gunanya. Alkitab yang tidak menyuarakan firman Allah sama
sekali tidak berguna karena bukan pedang Roh, melainkan pedang mainan. Kita
harus mengerti bahwa kuasa Yesus Kristus Tuhan itu luar biasa. Berdirilah teguh
diatas Firman Tuhan. Jangan percaya dengan buku yang menyesatkan. Percaya dan
tetap teguh dengan janji firman Tuhan, sama halnya dengan memegang pedang Roh”.
Evaluasi
Bagian-bagian Tertentu
Buku yang berjudul “Menyibak
Kontroversi dugaan ketidakaslian Alkitab” yang ditulis oleh Ir. Horald
Lolowang, lebih menyoroti atau lebih dominan menanggapi buku “Misquoting Jesus”
yang ditulis oleh Bart D. Ehrman. Bart menduga adanya perubahan-perubahan
penyalinan Alkitab yang dilakukan para penyalin dari masa purba sampai Abad Pertengahan.
Dalam bab ini Ehrman dengan bukunya “Misquoting Jesus” memberikan kesan bahwa
Alkitab sudah tidak asli lagi sebagai ilham Allah karena penyalinan yang telah
diubah. Perubahan ini membuat orang Kristen merasa sudah “dikibuli” oleh
Alkitab yang dikatakan dasar iman yang murni.
Para penyalin
telah mengutak-atik ayat yang asli. Intinya bahwa Alkitab yang ditulis itu
bukan ilham Allah dan Yesus bukan Allah. Buku Misquoting ini, menjelaskan bahwa
gelar Yesus sebagai Allah itu adalah tambahan, orang Kristen percaya akan
tipuan ini, konsep tritunggal itu disisipkan dalam 1 Yohanes 5:7, Markus
16:9-20 tidak ada dalam naskah asli, 1 Timotius 3:16 bukan Allah yang
menyatakan diri dalam rupa manusia Dia hanyalah manusia biasa yg bermanifestasi
diri dalam rupa manusia.
Kesalahan titik
awal yang ditujukan kepada Bart Ehrman, dia re menjadikan dirinya sendiri
sebagai seorang agnostic? Dia langsung tidak mempercayai Alkitab sebagai firman
Allah. Letak kesalahan awalnya adalah:Alkitab hanya sebagai bagiab dari
Liturgi. Jika diteliti buku itu penuh dengan uangkapan-ungkapan keraguan yang
dikemas dalam bentuk yang sangat tidak pasti dan menduga-duga. Kata-kata yang
digunakan adalah berbagai variasi dari ketidak pastian.
Sikap skeptis
Ehrman beruba dari ketidak percayaan”bola salju sebesar kelereng “menjadi
“bongkaan besar”, dengan tegas ia tidak mempercayai Alkitab sebagai firman
Allah. Ia menulis dengan sikap skeptic, itu terjadi karena Ia mengambil posisi
titik awal yang salah. Ia memulai dengan rasio, bukan iman. Alkitab dipandang
hanya sebagai buku liturgy biasa. Ehrman menuliskan Alkitab tidak ditandaskan
secara berlebihan dan buku itu terkesan kuno.
Dalam bab 2 “Misquoting
Jesus” dan buku sejenisnya dipenuhi dengan kata-kata “tampaknya”, “kemungkinan
besar”, siapa tahu”, “ada kemungkinan”, dan variasi-variasi serba tidak pasti.
Dengan hikmat Roh Kudus akan menguraikan hal-hal yang dikatakan Ehrman
dipalsukan dalam Alkitab, sesungguhnya tidak demikian. Contoh Wanita yang
berzinah dalam Yohanes 7:53-8:11 adalah
kisah yang ditambahkan kemudian tidak pernah ditulis dalam Kitab Yohanes yang
Asli? Kisah ini menurutnya hanyalah fiktif dan tidak pernah terjadi sama sekali
karena tidak ada dalam Injil yang asli. Alasan Ehrman sangat lemah karena
berdasarkan asumsi, menggunakan kata”kemungkinan”, ini Spekulasi “kemungkinan”.
Kekeliruan Ehrmen selanjutnya
bahwa dia tidak pernah memasukkan naskah Peshitta adalah dokumentasi tertulis
yang diabadikan dari para rasul dalam bentuk bahasa Aram yang orisinal menjadi
bahasa yang dipercakapkan Tuhan Yesus. Lebih memperkuat lagi bukti bahwa
Peshitta jauh lebih tua dibandingkan dengan KV dan KS sebagai naskah tertua.
Jauh dari yang dikemukakan Ehrman.
Penutup
Apa yang ditulis
dalam buku “Menyibak kontroversi Dugaan Ketidakaslian Alkitab” oleh Harold
telah memberikan kontribusi yang positif untuk menanggapi buku Ehrman “Misquoting
Jesus”. Dalam buku ini mengungkapkan apa yang ditulis oleh Ehrman lebih
bersifat dugaan-dugaan dalam bentuk spekulasi yang tidak mendasar. Tetapi jika
orang yang kurang beriman membaca ini bisa terpengaruh, sebab apa yang ditulis
dalam buku “Misquoting Jesus” bisa diterima oleh akal.
Penyebab
kekeliruan yang telah dilakukan oleh Ehrman melalui bukunya “Misquonting Jesus”
tentang dugaan penyalinan Alkitab telah mengalami perubahan, bukan llham Roh
Kudus dan Yesus dijadikan Allah. Pendapat saya kenapa Ehrman menjadi demikian
disebabkan oleh Kesalahan titik awal yang ditujukan kepada Bart Ehrman, dia re
menjadikan dirinya sendiri sebagai seorang “agnostic”? Dia langsung tidak
mempercayai Alkitab sebagai firman Allah. Letak kesalahan awalnya adalah:
Alkitab hanya
sebagai bagiab dari Liturgi. Akibat pandangan yang dangkal tentang Alkitab
menjadi awal yang keliru “buku itu terkesan kuno, tidak melihat alasan untuk
membaca sendiri atau mempelajarinya. Titik awal yang salah dalam kehidupan masa
remaja Ehrman, Alkitab tidak menjadi hal yang utama dalam hidupnya sebagai
orang Kristen, dalam kelas sekolah minggu lebih berfokus persolan-persoalan
praktis dan social dan cara hidup di dunia ini.
Jadi, pengajaran
yang benar berdasarkan firman Tuhan adalah
pondasi yang kuat sangat perlu ditanamkan bagi tunas remaja sejak dini. Sebab
itu sangat mempengaruhi dan menentukan
arah hidup dan konsisitensi mereka terhadap kepercayaan mereka kepada Tuhan
Yesus dan Alkitab adalah firman Tuhan.
James Bar, Alkitab di Dunia Modern. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1993.
Evaluasi Buku James Bar
“ALKITAB DI DUNIA MODERN”
Pendahuluan
Alkitab di dunia modern berusaha
memberi suatu pembahasan sekitar status Alkitab, masalah-masalah yang muncul
dan otoritas bagi umat percaya. Istilah-istilah Pengilhaman, Kewibawaan
Alkitab, Pendalaman Alkitab, makna
Alkitab adalah Firman Tuhan, Firman yang
telah menjadi manusia . Selain itu juga buku ini mendiskusikan sehubungan
penafsiran, Alkitab kesaksian tentang peristiwa-peristiwa penyelamatan. Untuk
selanjutnya kita bisa diskusikan dan pemipikiran jalan keluar ketika menghadapi
persoalan atau masalah di dalam kehidupan secara pribadi maupun dalam gereja.
Buku berjudul
"Alkitab di Dunia Modern" ini merupakan terjemahan dari "The
Bible in the Modern World," yaitu suatu rentetan ceramah yang diberikan
pada tahun 1970 di Universitas Edinburgh, Skotlandia, di dalam rangka seri
"Croall Lectures."
Penterjemah sempat
menghadiri rentetan-ceramah itu di Edinburgh, dan merasa tertarik kepada
cara-pembahasannya yang jujur, terbuka, dan segar. Karena itu dia merasa girang
waktu bahan ceramah-ceramah itu diterbitkan dalam bentuk buku pada tahun 1973.
Pada tahun 1977,
penterjemahan "Alkitab di Dunia Modern," dipakai dalam bentuk
stensilan, sebagai bahan untuk “seminar Teologia Perjanjian Lama” di Sekolah
Tinggi Teologia "Duta Wacana," Yogyakarta. Tanggapan mahasiswa
terhadap buku ini adalah: menarik: waktu baru mulai berkenalan dengan isinya,
ada yang mencapnya "radikal," atau merupakan "serangan terhadap
kekudusan Alkitab," atau "kurang relevan dalam konteks situasi
teologia di Indonesia." Akan tetapi di dalam proses membahasnya, timbullah
dua kesan sebagai berikut: pertama,
ialah bahwa gereja-gereja kita justru terancam bahaya, kalau kita (terutama
pendeta para teolog) tidak ikut menggumuli masalah-masalah yang memikat
perhatian James Barr dalam buku ini. Kedua,
ialah bahwa cara pemecahan masalah status Alkitab yang digariskan James Barr,
justru dapat membuka kemungkinan bagi kita mencapai keyakinan dan keberanian
yang lebih kokoh, dalam menggunakan Alkitab sebagai landasan kebaktian,
pemberitaan, dan pelayanan Kristen.
Apa yang ditulis
James Barr sendiri adalah tepat: "Kalau kita tidak berusaha mencari
penjelasan yang logis-akaliah tentang status Alkitab di gereja masa kini, maka
alternatifnya adalah hanya dua adalah:
Kita meninggalkan
konsep "status Alkitab yang istimewa" itu sama sekali, serta mengaku
bahwa soal itu tidak penting lagi; atau
Kita tetap
menegaskan bahwa Alkitab masih mempunyai status-unik seperti pada jaman dahulu
kala; walaupun kita tidak sanggup mendukung keyakinan itu dengan
argumentasi-argumentasi yang logis-akaliah, melainkan hanya dengan desakan
bahwa bagi kita Alkitab memang berstatus demikian."
Apakah tidak
nampak gejala bahwa beberapa banyak pemimpin dan anggauta gereja-gereja kita
kini mulai cenderung pada alternatif b) itu? Kalau benar demikian, apakah tidak
menjadi kepastian bahwa lambat-laun sikap itu akan mematahkan semangat
keyakinan kita, melumpuhkan kesaksian kita, dan mematikan dialog kita dengan
dunia sekitar? Maka oleh sebab itu, bahan yang disajikan James Barr ini patut
digumuli dan dimanfaatkan oleh pemikir-pemikir Kristen, baik pendeta maupun
awam.
Latar
Belakang Situasi Masa Kini
Pada buku ini telah diuraikan
mengenai latar belakang situasi masa kini, dimulainya konsensus pada periode
sesudah perang dunia II. Ada beberapa hal yang patut disimak, antara lain:
Gerakan
Neo-Orthodox. Pada masa ini theologia pada umumnya
menekankan Alkitab. Penekanan ini nampak
menonjol dalam gerakan yang sering dikenal dengan gerakan “Neo-Orthodox” yang
dipelopori oleh Karl Barth. Neo Orthodox sudah mulai setelah perang dunai I dan
begitu berkembang sampai akhir perang dunia II. Titik tekanannya pada isi
Alkitab. Peranan neo-orthodox titik tekanannya pada isi Alkitab. Gerakan ini
menginginkan kembali kepada prinsip-prinsip reformasi. Gerakan ini muncul akibat dari theologia
liberal yang lebih menekankan pada usaha manusia, yang menjadikan Allah serupa
dan segambar dengan manusia, serta memberikan penekanan yang kuat sekali kepada
kebudayaan manusia, hakekat manusia, dan cara berpikir manusia. Oleh karena itu
gerakan Neo-Orthodox menekankan bahwa iman mulai dengan Allah bersabda dan
Alkitblah yang menyaksikan Allah.
Oleh karena
kerinduan dalam menyelidiki Alkitab, maka para ahli menggunakan metode historis
–kristis kepada bagian-bagian Alkitab seperti yang dikenakan kepada
kesusasteraan kuno atau karangan-karangan sejarah yang kuno, dengan demikian
para ahli Alkitab menyimpulkan adalah: pertama,
banyak kitab-kitab dalam Alkitab sebenarnya tidak dikarang oleh oknum yang
secara tradisional dianggap pengarangnya. Kedua,
kemungkinan ada bahwa Alkitab tersebut terdiri dari berbagai-bagai lapis bahan
berasal dari berbagai-bagai periode yang disusun menjadi satu oleh redaktur
pada akhir proses yang panjang. Ketiga,
diakui bahwa kitab-kitab tersebut mungkin mengandung unsur-unsur mitologis atau
legenda-legenda historis, sehingga sejarah jaman kuno yang melatarbelakangi
kitab-kitab Alkitab itu harus direkonstruksikan dan tidak dapat diambil begitu
saja dari naskah Alkitab sediri. Ciri-ciri Neo-Orthodoxan antara lain: (1)
Unsur polemik terhadap fundamentalis, (2).Alkitab
dipandang sebagai keseluruhan, (3). Ditekannya exegesis, (4) Keneo-orthodoxan
dan gerakan oikumenis, (5) Keneo-orthodoxan dan soal-soal sosio-politis.
Dengan demikian
bahwa Alkitab pada periode sesudah perang sudah mendapat kembali kedudukan yang
sentral di dalam gereja-gereja dan di dalam iman orang Kristen. Pada periode
sebelumnya Alkitab telah mengalami
kegoncangan, kedudukan Alkitab telah mengalami kegoncangan di bawah pengaruh
pendekatan kritis – historis. Alkitab juga diabaikan pada periode theologia liberal.
Tetapi pada prinsipnya, sentralitas-mutlak Alkitab dalam iman Kristen dan dalam
kehidupan gereja sudah diakui dan diteguhkan.
Selanjutnya mengenai beberapa tanda
tanya yang diajukan belakangan ini.
Banyak unsur dari keragu-raguan modern terhadap status Alkitab dalam
kehidupan dan keiman Kristen. Pada umumnya pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
itu tidak merupakan penolakan mutlak terhadap pandangan-pandangan traidisional
mengenai Alkitab. Hanya kadang-kadang saja timbul konfrontasi langsung dengan
pendapat-pendapat tradisional itu. Kadang-kadang pertanyaan-pertanyaan baru itu
menyoroti kelemahan-kelemahan dalam pandangannya yang biasa. Ada beberapa
penekanan dalam bagian ini, antara lain: ada beberapa gereja yang menilai
tinggi status dan kewibawan Alkitab. Sekalipun demikian merekapun masih
mengalami keragu-raguan terhadap Alkitab. Di sisi satu gereja terdapat kelompok
yang lebih kecil tetapi berpengaruh besar, yang secara aktif menyangsikan
pengertian tradisional tentang Alkitab. Sedangkan disisi lain terdapat
orang-orang Kristen konservatif yang mempertahankan ajaran tradisional tentang
status Alkitab.
Beberapa
Konsep yang Berpengaruh
Pengilhaman. Istilah pengilhaman
yang dikenakan pada Alkitab oleh kaum awam ialah bahwa Alkitab “diilhamkan”
“atau “diwahyukan” itu berarti bahwa Alkitab berasal dari Allah, sehingga
isinya benar dan tidak mengandung unsur ketidakbenaran. Nats Firman Tuhan yang mencatat mengenai
pengilhaman terdapat dalam I Timotius 3;16: “Segala tulisan yang dilhamkan
Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk
memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran”.
Menurut pola pikiran kaum
fundamentalis, konsep keilhaman itu dikaitkan secara erat dengan konsep
“ketak-mungkinan-salah”. Yang jelas karena Alkitab berasal dari Allah, maka itu
berarti ia tak mungkin mengandung kesalahan dan tak mungkin mengantar pembaca
ke dalam pendapat yang salah. Kesalahan dalam hal ini, mempunyai dua arti yaitu:
kesalahan historis dan kesalahan theologis.
Istilah firman Allah akan menyamakan
dengan istilah keilhaman Alkitab. Istilah Firman juga berarti bahwa Alkitab itu
berasal dari Allah serta merupakan penyataan kehendakNya, dan karena itulah
pasti bebas dari segala kesalahan. Sedangkan definisi yang demikian ditolak oleh
para ahli teologi. Ahli teologi menekankan bahwa yang dinyatakan Allah dalam
proses penyataan, ialah Allah sendiri. Allah menyatakan diri dalam Firman-Nya.
Dan Firman Allah adalah Yesus Kristus. Itu berarti bahwa pada prinsipnya dan
terutama, Firman Allah itu bukanlah Alkitab, melainkan Yesus Kristus
sendiri Satu rumusan yang dipakai Karl
Barth tentang Firman Allah, konsepnya bahwa Firman Allah mempunyai bentuk
rangkap tiga. Bentuk primer Firman Allah ialah Yesus Kristus sendiri, Sang
Firman yang dinyatakan. Bentuk skunder Firman Allah adalah skriptura dalam
bentuk tertulis. Sedangkan bentuk ketiga adalah Firman yang berupa kerygma
gereja, firman dalam bentuk kotbah., ketiga bentuk tersebut adalah berhubungan
erat satu sama lain. Sang Firman Yesus Kristus, hanya berbicara ia disaksikan
oleh skriptura dan diberitakan dengan iman oleh gereja
Konsep
“kewibawaan” menunjukkan “hubungan”. Kata “Kewibawaan merupakan istilah yang
paling sering dipakai dalam penyelidikan-penyelidikan mutakhir tentang status
Alkitab. Istilah tersebut menekankan hubungan hierarkhis yaitu hubungan yang
menentukan urutan atau tingkatan prioritas antara berbagai lembaga atau
sumber-sumber ide yang mungkin mempengaruhi kita. Istilah kewibawaan
membayangkan bahwa gereja atau orang Kristen atau pengkotbah itu dipengaruhi
oleh berbagai-bagai kuasa yang mempengaruhi oleh berbagai kuasa yang
mempengaruhi pikiran dan tindakannya. Oleh karena itu konsep kewibawaan itu
menentukan prioritas yang harus diberikan kepada kuasa yang satu dengan dibandingkan
dengan kuasa yang lain. Kewibawaan dihubungkan dengan skripture dan tradisi
gereja, kedua-duanya mempunyai kewibawaan yang seimbang.
Relativisme
di antara Kebudayaan dan Keradikalan Baru
Istilah “keradikalan” dipakai dalam
arti lunak, yaitu bahwa pandangan-pandangan tradisional tentang status Alkitab
disoroti dengan teliti. Adapun ciri-ciri keradikalan baru, antara lain
ditekannya pada situasi modern. Pembahasan masih sekitar peranan Alkitab bagi
manusia modern. Adapun perannya yaitu: Alkitab sebagai perangsang keputusan
existensial, Alkitab berperan dalam kontek gereja. Pada pokoknya menurut mazhab
radikal, sekali kita menetapkan prinsip Alkitab bahwa Alkitab mempunyai suatu
peranan mutlak sebagai norma atau sumber kewibawaan.
Langkah-langkah pertama dalam mendiskusikan keradikalan baru, melalui
unsur-unsur kekuatan, pendapat bahwa gereja diwajibkan mengutarakan apa yang
dipercayaanya pada masa kini, yaitu tidak hanya mengulangi apa yang dipercayai
oleh pengarang-pengarang Alkitab sekian ribu tahun yang lalu, merupakan
pendapat yang benar. Manusia modern menuntut supaya kita mengutarakan apa yang
kita percayai supaya kita berani mempertanggungjawabkan kepercayaan kita
sebagai milik kita sendiri.
Tanggapan sementara terhadap
keradikalan baru, yaitu adanya unsur kekuatan, yaitu proses terhadap
keganjilan-keganjilan yang implisit termaktub dalam konsep kewibawaan Alkitab.
Adapun unsur yang kurang kuat. Masalah relative antar kebudayaan. Hal ini
menekankan hubungan antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain
merupakan persoalan yang harus dihadapi dalam
diskusi modern tentang status Alkitab.
Alkitab
sebagai Bahan Kesusasteraan
Alkitab sebagai bahan kesusteraan.
Alkitab sebagai mithos dasar agama Kristen, ada 2 alasan kita perlu membahas
status Alkitab merupakan karangan kesusteraan: Pertama, ialah bahwa kebanyakan orang setuju bahwa Alkitab memang
merupakan karangan kesusteraan yang menarik, walaupun dengan catatan barangkali
bahwa statusnya sebagai bahan kesusteraan merupakan taraf fungsinya yang paling
rendah. Kedua, bahwa ada hubungan
antara pandangan tentang Alkitab sebagai kesusteraan dan pandangan radikal yang
kita bahas.
Penyelidikan Alkitab sebagai
karangan kesusasteraan akan membantu pengertian kita tentang beberapa cara
Alkitab berfungsi: misalnya penggunaan Alkitab
secara liturgis dan meditasi, dan kemungkinan bahwa orang yang belum
beriman akan tertarik membaca Alkitab justru sebagai bahan kesusasteraan.
Bahaya bahwa apresiasi kesusasteraan
mengaburkan hasil-hasil penyelidikan kritis historis. Penyelidikan yang
demikian mungkin akan memberi pengertian tentang Alkitab secara keseluruhan,
atau sedikit-sedikitnya tentang kitab-kitab dan kelompok-kelompok kita merupakan
unit-unit kesatuan, Tetapi harus dijaga, agar pendekatan yang demikian jangan
hanya semacam reaksi obskurantis
(samar-samar) terhadap hasil
penyelidikan Alkitab secara kristis- historis.
Kenetralan – theologis
pendekatan “apreasiasi kesusasteraan”.
Segi positif , bahwa dengan pendekatan demikian, diharapkan membawa sikap yang
agak netral terhadap persoalan-persoalan theologis. Dan sikap netral itu
kadang-kadang menjadi keuntungan. Sedangkan pada pihak lain, supaya asalkan
Alkitab dibaca dengan sungguh-sungguh, berita Alkitab itu dengan demikian akan
berpengaruh atas dunia. Dari sisi negatif, dengan membaca Alkitab sebagai bahan
kesusasteraan begitu saja, maka ketika mulai mendiskusikan theologia yang
timbul berdasarkan pembacaan dan pengertian yang demikian pastilah kaku dan
pincang. Ada beberapa topik yang menjadi persoalan apabila hanya dibaca
berdasarkan kesusasteraan, misalnya topik-topik yang menyangkut: Apakah Allah
sungguh ada, Apakah Yesus sungguh berasal dari Allah, Apakah arti kebangkitan Yesus, dan masih
banyak topik-topik yang mengandung persoalan teologis tidak cukup hanya
ditinjau dari pendekatan kesusasteraan. Ahli theologia dapat membaca kitab Ayub
sebagai bahan kesusasteraan, justru karena dia menyadari bahwa kita-kitab
semacam itu tidak termasuk struktur inti imannya. Fungsi kitab-kitab yang
demikian adalah untuk mengisi atau melengkapi struktur inti. Sedangkan struktur
inti itu berasal dari bahan-bahan Alkitab yang lain. Struktur inti terdiri dari
dua macam bahan, yang pertama ialah peristiwa-peristiwa yang khusus, misalnya
kelahiran, kematian, kebangkitan Yesus peristiwa-peristiwa semacam itulah
betul-betul dasariah. Dan unsur kedua ialah bagian-bagian yang merupakan
rumusan doktrin yang luar biasa tajamnya dan jelasnya, seperti yang banyak
terdapat, misalnya surat-surat Rasul Paulus.
Peristiwa
dan Penafsiran Alkitab sebagai Keterangan
Selain Alkitab sebagai bahan
kesusasteraan sebagai pola dasar untuk pengalaman Kristen. Alkitab sebagai suatu karangan kesusasteraan
yang memang agung dan hampir-hampir bersifat cerita buatan atau cerita fiski,
namun yang tidak mengandung informasi tentang dunia obyektif. Menurut gambaran
demikian, fungsi pola-pola dan simbol-simbol yang tercakup dalam naskah
karangan kesusasteraan itu adalah sebagai contoh-contoh untuk mengerti dirinya
untuk mengerti dunia sekitarnya. Pembaca Alkitab akan mendesakkan pandangannya
bahwa adalah lebih dari itu, dan bahwa ada fungsi-fungsi Alkitab yang jauh
lebih penting dari pada unsur kesusasteraannya. Biasanya aspek yang dianggap
lebih penting ialah bahwa Alkitab memberi keterangan tentang
peristiwa-peristiwa. Eksistensi-eksistensi dan peristiwa-peristiwa yang
disinggung dalam Alkitab adalah bukan hanya sarana cerita, atau bukan sekedar
oknum-oknum dan peristiwa-peristiwa yang
bersifat dramatis, yang tidak berteksistensi di luar karangan
kesusasteraan yang menceritakannya. Sebaliknya dianggap bahwa obyek-obyek yang
dalam Alkitab itu kebanyakan merupakan realita-realita obyektif dan justru
Alkitab yang menyediakan keterangan yang essensial tentang obyek-obyek
tersebut.
Dari peristiwa dan penafsiran Alkitab
sebagai keterangan dapat diterima secara umum karena: Alkitab adalah penting
bagi kita, bukan hanya dari segi keterangan yang diberikan di dalamnya,
melainkan karena peristiwa-peristiwa yang menyelamatkan, yang
melatarbelakanginya. Alkitab adalah sumber keterangan yang utama
peristiwa-peristiwa yang menyelamatkan. Laporan-laporan dalam Alkitab itu,
berasal dari orang-orang yang menyaksikan peristiwa-peristiwa penyelamatan itu
dan yang mempengaruhi iman. Itu berarti bahwa Alkitab bukanlah hanya sumber
keterangan yang penting, melainkan juga respons dalam iman terhadap
peristiwa-peristiwa penyelamatan yang mereka saksikan. Ada suatu analogi antara
laporan-laporan dalam Alkitab dengan peristiwa-peristiwa asali dan analogi itu
adalah memadai untuk menjamin bahwa Alkitab mengantarkan atau mengkomunikasikan
sedikit-dikitnya bentuk dasar atau inti atau makna penuh keselamatan dari
peristiwa-peristwa asli tersebut.
Peranan
Alkitab dalam Bidang Teologi
Penekanan modern kepada kewibawaan
Alkitab, yaitu bahwa pokok perhatian utama gerakan neo-orthodox itu ialah usaha
untuk menjadikan teologi Alkitab sebagai norma untuk theologia masa kini.
Fungsi Alkitab sebagai norma untuk teologi, atau fungsi teologi Alkitab sebagai
teologi standard itulah inti rentetan persoalan yang sedang dipelajari. Alkitab
mengandung unsur teologi. Pendapat tradisional bahwa Alkitab identik teologi,
bahwa tiap-tiap kalimat dari alkitab merupakn rumusan dogmatis, secara langsung
atau tidak langsung, hal ini tidak dapat dipertahankan lagi (Alkitab tidak
merupakan text –book dogma). Menurut Vawter bahwa secara tradisional, soal
keilhaman Alkitab dipikirkan dalam konteks konsep-rangkaian yaitu bahwa Alkitab
merupakan suatu katalog doktrin-doktrin, bahkan hampir-hampir suatu teks-book
penyataan sehingga tiap-tiap anak kalimat dianggap rumusan dogma.
Menurut Kaufman, tradisional tentang
Alkitab mempunyai tiga taraf, yaitu:
Pertama, secara tradisional Alkitab terkaitkan
dengan pandangan global mengenai dunia sebagai milik Tuhan. Maka melalui kaitan
itu Alkitab menyodorkan suatu pandangan tentang dunia, suatu orientasi hidup
yang menyeluruh. Kedua, Alkitab
berlaku sebagai sumber bahan definitif yang dapat dimanfaatkan, bila
dicari bimbingan dalam segala macam
masalah yang menyangkut kebenaran, moralitas dan lain-lain. Ketiga, Alkitab dianggap sebagai sumber
kewibawaan untuk teologi.
Dasar
untuk Membangun
Faktor – faktor situasi masa kini
berkenaan dengan masalah status Alkitab. Banyak hambatan-hambatan terhadap
pemakaian Alkitab secara lebih luas di gereja masa kini. Keragu-raguan yang menimpa gereja masa kini
berkenaan dengan status Alkitab baik pada pihak radikal maupun pada pihak
konservatif.
Teologi
dan Penafsiran
Penafsiran theologis harus bersifat
konstruktif. Bentuk dasar suatu teologi terdiri dari pernyataan-pernyataan
tentang apa yang dipercayai gereja pada masa kini. Pernyataan-pernyataan yang
demikian harus merupakan rumusan-rumusan yang segar. Maksudnya ialah bahwa rumusan-rumusan itu
harus terus menerus diolah kembali , berdasarkan uraian kritis yang berlangsung
secara kontinue. Baik yang lama dipakai kembali maupun yang lama ditinggalkan,
dengan memakai rumusan baru, satu hal yang harus dipikirkan bahwa pemikiran
theologis harus bersifat kontruktif.
Pembatasan
dan Penyeleksian
Sudah waktunya kita berusaha
mendiskusikan tentang pembatasan skriptura suci secara ekstern. Harus diakui
bahwa seluruh persoalan ini penuh dengan kebetulan-kebetulan historis, penuh
dengan kerelatifan-kerelatifan dan unsur-unsur yang tidak dapat dijelaskan atau
dibenarkan menurut norma-norma theologia rasional, tetapi yang harus diakui
sebagai kenyataan. Tetapi ada juga suatu aspek praktis tentang kanon Alkitab
yang patut kita ingat, yaitu bahwa kanon itu menggariskan suatu bahan yang dapat dikuasai dan diselidiki yang
memperlihatkan suatu keseimbangan antara berbagai-berbagai pendapat teologis.Tentulah ahli tafsir tidak
menyelidiki kitab-kitab kanonik itu secara terisolasi, melainkan dalam hubungan
dengan jumlah buku yang besar sekali yang termasuk kategori non kanonik, yaitu
bukan hanya dokumen-dokumen Kristen dari periode post Perjanjian Baru, tetapi
juga tulisan-tulisan Yahudi dari periode
yang sama dan dari bahan-bahan dari agama yang lain yang sama. Misalnya apakah Mishna dan Talmud merupakan
kelangsungan yang sah dan wajar dari
atau untuk kecenderungan-kecenderungan yang nampak pada taraf terakhir
dalam kanon Perjanjian Lama. Hubungan antara tradisi Yahudi dan Alkitab ini
adalah sangat penting, bukan hanya di bidang dialog antar agama, melainkan
penting juga untuk pemikiran theologia di kalangan Kristen. Secara praktis kita dapat memasukkan dalam
kanon seluruh tradisi yang telah bertumbuh secara fajar dari akar-akar
skriptura atau menilai seluruh bahan itu sebagai skriptura. Persoalan tentang penyeleksian dan pengaturan
bahan Alkitab secara intern adalah merupakan persoalan yang lebih rumit dan
memang menuntut perhatian yang jauh lebih besar dalam diskusi modern tentang
penafsiran Alkitabiah.
Kata
dan Makna, Huruf dan Roh Kudus
Penafsiran Harfiah. Istilah
“harfiah” sering muncul dalam pembicaraan tentang Alkitab, namun jarang
dianalisa. Jika kita menganalisanya, kita menyadari bahwa istilah”harfiah”
dipakai dalam dua arti yang bertentangan yang satu positif dan yang lain
negatif. Harfiah tidak identik dengan fundamenalis. Fundamentalis lebih
mementingkan ketak-mungkinan-salah dari pada keharafiahannya. Biasanya memang
harfiah ada kaitannya dengan fundamentalisme. Orang awam mengartikan
fundamenatlis adalah penafsiran secara harfiah. Namun demikian definisi
demikian kurang akurat, karena pokok persoalan yang dibicarakan oleh kaum
fundamenatlis dengan non fundamentalis bukan terletak pada keharfiahan
melainkan ketak-mungkinan-salah. Harapan kaum fundamentalis bukanlah supaya
Alkitab ditafsirkan secara harfiah, melainkan supaya Alkitab ditafsirkan
sedemikian rupa, hingga tidak ada kesan tentang adanya kesalahan di dalamnya.
Untuk menghindarkan kesan yang demikian. Kaum fundamentalis bolak-balik supaya
tetap menekankan tafsiran harfiah dan tafsiran non harfiah (simbolis,
metaforis, dan sebagainya). Sebagai contoh yang cukup terkenal: pendapat kaum
konservatif masa kini tidak mengikuti suatu tafsiran harfiah tentang riwayat
kejadian (penciptaan) dalam kitab Kejadian. Penafsiran harfiah menerima bahwa
dunia diciptakan dalam jangka waktu enam hari (yaitu”hari” yang identik dengan
hari-malam yang kita alami masa kini. Tetapi kaum konservatif modern biasanya
menjelaskan bahwa keenam hari itu merupakan enam periode teologis, atau menurut
rumusan lain, enam tahap perkembangan, bukan dalam proses penciptaan itu
sendiri, melainkan dalam proses penyataan kebenaran penciptaan itu. Jadi kini
hanya kaum fundamentalis yang ekstrim sekali yang berkewajiban penafsiran
harfiah betul tentang enam hari itu.
Kebanyakan orang cenderung kepada tafsiran simbolis atau alegoris.
Mereka kaum fundamentalis cenderung ke situ memang jelas, yaitu: karena suatu
penafsiran yang betul-betul harfiah, sukar diterima oleh akal modern, sehingga
timbul kesan bahwa Alkitab mengandung kesalahan. Demi menghindarkan kesan
demikian, penafsir konservatif beralih kepada suatu penafsiran yang non
harfiah. Hanya dengan cara demikian dia dapat menyelamatkan konsep
tak-mungkinan-salah Alkitab.
Obyek penafsiran
harfiah bereksistensi persis sebagaimana digambarkan menurut pengertian nats
yang langsung. Ditekankannya eksistensi obyek nats, itulah yang dibayangkan,
bila orang berkata bahwa kaum fundamentalis membaca Alkitab secara harfiah.
Jikalau dikatakan dalam nats bahwa Yesus berjalan di atas air, maka pastilah
Dia berjalan di atas air juga, jikalau nats mengatakan bahwa Metusalah hidup
969 tahun lamanya, maka pastilah dia hidup 969 tahun lamanya. Istilah-istilah
seperti “berjalan di atas air”, hidup selama, “air” dan “tahun” diberi arti
yang identik dengan arti kamus biasa.
Harfiah dalam arti
demikian dapat dikontraskan dengan “alegoris”. Penafsiran harfiah yang langsung
menyelidiki obyek-obyek yang disinggung dalam nats. Penafsiran “harfiah”
berlawanan dengan “alegoris”. Perbedaan alegori dibandingkan dengan pengertian
harfiah, ialah bahwa dalam alegori obyek yang sebenarnya adalah berlainan
dengan obyek yang langsung dikenal melalui bahasa nats itu, karena obyek yang sebenarnya hanya dapat
dikenal melalui suatu proses tidak langsung, yaitu berdasarkan simbol-simbol
dan tanda-tanda yang bersembunyi dalam bahasa nats itu. Sebagai contoh Alkitab
menceritakan bahwa Abraham keluar dari Urkasdim; mungkin si penafsir
mengartikannya demikian: bahwa sang jiwa berangkat dari dunia daging. Maka
dengan obyek yang disinggung dalam nats
ini adalah keberangkatan jiwa.
Konsep secara
tradisonal istilah keilhaman itu dikaitkan dengan konsep ketak-mungkinan-salah.
Menurut pandangan umum, istilah keilhaman dapat berubah sebagai akibat program
pendidikan , yang menekankan bahwa Alkitab memang merupakan “skriptura yang
diilhamkan, namun mungkin mengandung kesalahan juga. Konsep yang demikian tentang Alkitab akan
secara tidak langsung mempengaruhi pandangan orang beriman tentang tabiat
Allah. Namun disisi lain, pendapat umum juga setuju bahwa Allah tidak berubah,
Dia memang Allah tak mungkin mengucapkan sesuatu yang kurang sempurna (dalam
arti tak mungkin Allah berubah), karena menurut definisi Allah adalah Dia yang
tak berubah.
Firman Allah:
Alkitab adalah kristalisasi tradisi umat Allah dan sarana penyampaian Firman
Allah. Istilah firman Allah sering kita dengar dalam gereja sebelum mendengarkan kotbah “marilah kita
mendengarkan Firman Allah. Itulah sebabnya Firman Allah merupakan kristalisasi
tradisi umat Allah dan oleh Allah dijadikan sarana pembicaraanNya sendiri
dengan angkatan-angkatan turunan dalam umat Tuhan itu. Akan tetapi pengertian yang demikian adalah
agak samar-samar. Sebab itu mereka
menggunakan istilah Firman Allah biasanya untuk menjelaskan melalui istilah
“keilhaman” atau melalui struktur-struktur yang agak kompleks yang disusun oleh
mazhap Barth.
Kewibawaan merupakan konsep yang ingin
menentukan derajat skriptura dibandingkan dengan standart-standart lain yang ikut menentukan pemikiran gereja modern,
mungkin istilah kewibawaan adalah yang paling tepat. Yang menjadi pemikiran
kita apakah kewibawaan betul-betul sesuai dengan struktur theologia modern dalam prakteknya.
Istilah kewibawaan dapat dipakai terus, jikalau diberi arti yang lebih lunak.
Tetapi konsep itu kurang berfaedah, kalau didefiniskan akan secara ketat atau
dikenalkan secara mengikat kepada segala jenis pemikiran theologia modern.
Konsep fungsi dapat membina saling pengertian dan sesuai juga dengan kemajuan
theologia modern. Kita tidak dapat mengatakan bahwa Alkitab mempunyai fungsi
begitu saja tanpa uraian yang lebih konkrit. Karena dibandingkan dengan
keilhaman atau kewibawaan Alkitab, maka konsep fungsi nampaknya perlu ada
pemikiran satu persatu bidang –bidang mana yang patut masuk fungsi dalam
Alkitab, baik yang menyangkut sejarah, kesusasteraan, theologia, pengkotbah dan
sebagainya. Dengan menyelidiki makna
“fungsi” maka kita mendapat keuntungan dalam setiap pemahasan sesuai dengan
bidang-bidang yang ada. Keuntungan yang dimaksud adalah:
Pertama, proses-proses
penyelidikan sejarah, pengkritikan bahan kesusasteraan, bertheologia,
berkhotbah, dan sebagainya. Memang dilangsungkan oleh tiap-tiap aliran theologis, maka pendekatan melalui konsep
“fungsi” meningkatkan saling pengertian antara aliran-aliran tersebut. Apalagi yang menyangkut masa kini, lebih
pemahaman pengertian , bukan kewibawaan.
Kedua, bahwa konsep fungsi bersifat aneka
ragam. Keanekaragam tersebut adalah sesuai dengan kenyataan bahwa manusia
memakai berbagai-bagai ragam pemikiran dalam proses penyelidikan Alkitab.
Tetapi lebih dari itu, keanekaragaman konsep “fungsi” berati bahwa kita tidak
usah bergumul lagi untuk mempersatukan segala pemikiran kita tentang status
Alkitab menjadi satu konsep – pembimbing yang mutlak. Dan ternyata bahwa dalam
proses memilih secara definif antara konsep-konsep pembimbing yang sudah
ditampilkan.
Landasan Kesatuan
Alkitab. Di satu pihak kita melihat
bahwa Alkitab boleh dipandang sebagai kesatuan. Kesatuannya itu dapat menjadi
nampak kalau kita menyelidiki bentuk-bentuk definitif Alkitab sebagai bahan
kesusasteraan atau jika kita temukan dalam Alkitab sesuatu kerangkaian dasar
berupa jaringan konsep-konsep yang saling mendukung. Di pihak lain, menekankan
berbagai kekhasan-kekhasan yang nampak dalam Alkitab. Alkitab bukan saja
merupakan suatu saluran berisi informasi teologis yang benar saja, melainkan
suatu lapangan pergumulan, persengketaan, dan konfrontasi, dimana masing-masing
menyerang dalam membela pengertian masing-masing tentang Allah. Namun demikian, kita harus menyadari
unsur-unsur kesamaan yang mengikat bagian-bagian Alkitab itu menjadi suatu
kesatuan. Dimasa yang mendatanag, penyelidikan terhadap Alkitab akan
menghasilkan suatu pengertian yang lebih mendalam lagi tentang kesatuannya itu. Kesatuan yang terdalam tidak terdapat dalam
Alkitab itu, yaitu: unsur-unsur kesamaan yang nampak diantara pola-pola pemikiran atau keseimbangan yang nampak di antara
pola-pola pemikirannya atau keseimbangan yang nampak di antara berbagai-bagai
tekanannya, melainkan terdapat pada Allah yang Esa. Kesatuan Allah juga merupakan suatu kesatuan
di tengah-tengah berbagai macam
perbedaan. Suatu kesatuan yang mempunyai
proses sejarah adalah menarik bahwa Alkitab yang begitu beraneka ragam itu
dapat dipakai dalam gereja. Dapat diamati bahwa kenyataannya perbedaan
mencerminkan suatu keyakinan bahwa keanekaragaman bahan Alkitab itu tidak akan
memecah belah gereja menjadi pihak-pihak yang saling bertentangan. Akan tetapi
keyakinan dasariah itu tak perlu ditangkap secara akaliah, atau dirumuskan
dalam bentuk buku dan dokumen. Karena pada prinsipnya, keyakinan akan kesatuan
Alkitab Karena pada prinsipnya, keyakinan dasariah itu tak perlu ditangkap
secara akaliah, atau dirumuskan dalam bentuk buku dan dokumen, karena itu prinsipnya
keyakinan atau kesatuan itu berlandaskan iman dan harapan.
Penutup
Jakob Van Bruggen.
Siapa yang Membuat Alkitab? Surabaya:
Momentun-Litindo, 2002.
EVALUASI BUKU JAKOB VAN BRUGGEN
”SIAPA YANG MEMBUAT ALKITAB?”
Pendahuluan
Sebagaimana tampak pada halaman 83 bukunya, gagasan apologetis utama
Bruggen sebenarnya adalah tentang bagaimana berbagai kitab yang terpisah-pisah
dapat menjadi satu kitab, yakni Alkitab? Sudah berabad-abad lamanya naskah-naskah
peninggalan para nabi, rasul, penginjil dan para saksi itu diikat menjadi satu
kitab, yakni Alkitab. Tetapi bagaimana keeratan ikatan itu? Hal ini sering
dipertanyakan oleh, misalnya, para penganut kritik sumber, yang menganalisa
Alkitab dengan menjabarkannya menjadi banyak sumber. Siapakah yang membuat
kitab-kitab suci menjadi satu Alkitab? Allah atau manusia?
Persoalan kanonisasi sangat ditekankan dalam diskusi buku ini. Apa itu
kanonisasi? Yang terjadi dalam kanonisasi bukan penyeleksian, tetapi pengakuan
dan tindakan melindungi terhadap tulisan-tulisan para nabi dan para rasul. Justru karena ada
tulisan-tulisan itu yang hilang, serta ada tulisan-tulisan lain yang ingin
mengakui statusnya sebagai sejajar dengan tulisan-tulisan itu, maka gereja
dengan cermat dan hati-hati menjaga apa yang masih ada padanya. Karena itu
terwujudlah kulit Alkitab yang melindungi Kitab-Kitab Suci dan yang mengikatnya
menjadi satu buku, yaitu Alkitab.
Evaluasi
secara Umum
Buku Ini
memberikan kontribusi yang sangat positif bagi kekristenan, khususnya di tengah-tengah
merebaknya liberalisme dalam bidang kajian teologi biblika. Kritik sumber telah
mencabik-cabik Perjanjian Lama dengan teori JEDP, demikian juga Perjanjian Baru
dengan sumber Q-L-nya.
Liberalisme pasca Pencerahan,
dilanjutkan dengan Neo-Ortodok dalam bentuk yang lain sudah lama mengajarkan
bahwa cerita-cerita dalam Injil merupakan campuran antara cerita tentang
peristiwa dan sekaligus tafsiran tentang peristiwa itu. Skeptisisme terhadap
‘sejarah’ versi para penulis Alkitab diantisipasi oleh Neo-Ortodoks dengan cara
yang seakan-akan membela iman Kristen, tetapi dampaknya malah meruntuhkannya:
Mereka mencoba memisahkan ‘sejarah’ dari ‘iman’.
Saya yakin bahwa berbagai
penyimpangan doktrin, disebabkan baik secara langsung maupun secara tidak
langsung oleh doktrin yang salah tentang Alkitab. Sikap kritis terhadap Alkitab
yang menjadikan-Nya obyek penyelidikan semata, sementara si peneliti sebagai
subyek, berkaitan erat dengan asumsi yang keliru tentang asal-usul Alkitab, dan
tentang bagaimana Alkitab itu terbentuk. Oleh karena itu buku karya Bruggen ini
relevan sekali di tengah-tengah situasi Kekristenan yang kritis ini.
Secara
keseluruhan, buku ini sudah cukup membahas isu-isu yang mendasar tentang status
Alkitab, walau tidak bermaksud untuk menjawab semua pertanyaan yang mungkin
diajukan dari kalangan liberal tentang Alkitab.
Salah satu
kelebihan dari buku ini adalah adanya sejumlah ‘ekskursus’ yang Bruggen sajikan
secara terpisah, pada bagian-bagian akhir bukunya. Ini menolong baik dari segi
teknik penulisan maupun dari segi bobot argumentsi yang diberikan.
Evaluasi Atas Bagian-bagian Tertentu dari Buku
Beberapa bagian (bab) dari buku ini menarik sehingga memerlukan diskusi
lebih lanjut.
Bab I, dalam sub topik Agama Kristen dan Kitab-kitab Suci, Yesus dihubungkan
secara erat dengan Alkitab. Ada orang yang mencoba memisahkan kedua-Nya, dengan
mengatakan ”saya percaya kepada Yesus, dan bukan kepada Alkitab”, tetapi
bagaimana mungkin orang dapat mengenal Yesus dan mentaati-Nya tanpa membaca
Alkitab?
Yang menarik dari Bab I adalah pengertian ’kanoon’ dan kanonisasi. Kanoon
lebih berarti ’daftar’ atau ’tabel’, bukan ’alat pengukur’. Kanonisasi lebih
berarti ’pengakuan’, bukan ’penyeleksian’.
Tentang Kritik kanon, ada gagasan yang serupa dengan Childs: Ada hubungan
antara pemahaman tentang kanon dengan pemahaman tentang masing-masing kitab.
Terkadang kita tampaknya bisa memegang dan meneliti kanon, tanpa ingin mengusik
kewibawaan masing-masing kitab dalam Alkitab, tetapi dalam praktik semua itu tidak
dapat dipisahkan.
Bab II. Dalam Bab ini, Bruggen membuktikan bahwa Kanonisai PL lebih berarti
’pengakuan’. Bukan ’penyeleksian’. Pembahasannya sangat menarik, khususnya
tentang kanon Samaria dan Konsili Yamnia. Tidak dapat ditunjukkan konsili atau
sinode di mana kanon PL dibatasi oleh keputusan manusia.
Bab III. Hal baru yang saya dapatkan di bagian ini adalah bahwa bukan kewibawaan
ke-66 kitab itu yang harus dibuktikan, melainkan keragu-raguan terhadap
kewibawaan itu yang harus diuji. Dalam abad-abad lampau gereja tidak pernah
menerima PB berdasarkan rekonstruksi historis atas riwayat penyusunannya.
Pengakuan mempunyai dasar yang berbeda. Tidak benar seandainya pengakuan itu
dirongrong atas dasar rekonstruksi atas sejarah kanon, dan kemudian kita
berupaya untuk membangun dasar historis bagi kepercayaan terhadap kewibawaan
Alkitab.
PL dan PB mempunyai kewibawaan yang sama, sekalipun dalam relief historis
keduanya saling berbeda. Bagi para Rasul dan bagi generasi sesuah mereka, hal
yang terakhir di atas jauh lebih jelas dari pada bagi kita. Hal yang baru itu
sebenarnya bukan baru. Alkitab tidak diperluas, tetapi digenapi. Dapat
dikatakan bahwa ini dalahgagasn yang tidak pernah dapat ditangkap oleh banyak
teolog Teologi Sistematis.
Berbeda dengan pemahaman banyak orang Kristen dewasa ini, Bruggen
membuktikan bahwa Origenes, Eusebius dan Athanasius, bahkan Konsili Kartego,
tidak memiliki wewenang untuk memutuskan, atau menyeleksi kanon. Mereka lebih
sebagai orang-orang yang mengakui kitab-kitab yang sudah diterima sebagai
berwibawa.
Bab IV, yang membahas tentang Kewibawaan Alkitab dengan menunjuk kepada siapa
sumber sejati dari Alkitab. Ini berkaitan erat dengan apa pengertian kita
tentang inspirasi atau pengilhaman, sampai sejauh mana faktor insani dan faktor
ilahi berperan dalam penulisan Alkitab.
Alkitab bertumbuh secara tidak mencolok dan dalam kesunyian. Tak seorang pun
dapat menandai proses pertumbuhannya dengan bantuan tanggal dan tahun tertentu.
Ini merupakan pembahasan yang murni biblikal, karena menurut wibawa Alkitab
dari Musa, yang dengannya para nabi dan penulis Alkitab diukur. Kemudian Yesus
Kristus, yang dengannya para rasul dan penulis Alkitab diukur.
Bab V membahas persoalan Wahyu dan Kritik, sesuatu yang tidak asing lagi bagi
kita, khususnya di tengah-tengah hingar-bingar neo-liberalisme dan liberalisme
teologi pada dekade-dekade terakhir ini. Secara keseluruhan Bruggen memberikan
argumentasi apolegetika yang cukup jitu. Kritik terhadap wahyu Allah pada zaman
moderen ini bukanlah sesuatu yang baru. Ia jauh lebih
tua, sama tuanya dengan Taman Firda’us. Ia berasal dari zaman serangan pertama
Iblis terhadap umat manusia ciptaan Allah, hanya penampilannya saja yang baru.
Saya setuju sekali.
Bab VI membahas persoalan yang sudah tidak asing lagi bagi kita.
Bab VII membicarakan tentang pertanyaan apakah masalah-masalah yang timbul dalam
pembacaan Alkitab tidak menghalangi pengakuan atas kewibawaan Alkitab? Ini
pasti berkaitan secara langsung dengan inerransi dan sufisiensi Alkitab.
Menarik bahwa menurut Bruggen, Kitab Suci bukan ’bisa salah’, bukan juga
’tanpa salah’. Menurutnya Kitab Suci ’layak dipercaya’. Ada beberapa hal baik
di sini. Misalnya ada perbedaan antara ’kesulitan’ dan ’masalah’. Tetapi
persoalan serius dari argumentasi Bruggen di sini ialah, ia tampaknya menolak
’inerransi verbal’, hal yang ia hindari dalam pembahasannya dalam buku ini. Ini
perlu dibahas lebih lanjut.
Pada bagian ini Barr mengemukakan argumentasi yang logis tentang mengapa
sampai timbul kesulitan dalam Alkitab, serta contohnya.
Penutup
Saya sangat menghargai usaha keras Bruggen ini. Bukan berarti bahwa tidak ada hal-hal yang dibahasnya yang masih memerlukan
pejelasan dan jawaban lebih lanjut. Pertanyaan pasti selalu ada dan pasti ada
jawabannya.
Menurut saya, benar sekali bahwa presuposisi memainkan peranan penting.
Sama seperti Bruggen, sampai pada atas-batas titik yang menjadi keyakinannya,
presuposisinya yang positif terhadap Kitab Suci (penghormatannya terhadap Kitab
Suci sebagai Firman Allah sendiri, dan sebagai yang memiliki wibawa ilahi)
menghasilkan sebuah sikap kritis yang positif. Tidak mungkin seseorang
mempelajari Kitab Suci secara serius dan pada saat yang sama menyangkali
otoritasnya.
Norman L. Geisler,
Inerrancy. Grand Rapids: Zondervan
Publishing House, 1980
EVALUASI TERHADAP BUKU NORMAN L. GEISLER
”INERRANCY”
Pendahuluan
Diterbitkannya kumpulan tulisan yang dieditori oleh Geisler ini
dilatarbelakangi oleh sebuah konferensi yang diadakan oleh ICBI di kota Chicago
pada bulan Oktober 1978, yang diikuti oleh 300 sarjana Alkitab, Pendeta dan
orang awam.
Pasal-pasal dalam buku ini adalah kumpulan dari paper 14 sarjana Alkitab
yang dipresentasikan dalam konferensi tersebut, tidak termasuk 19 Artikel
Chicago Statement yang juga dihasilkan dalam konferensi tersebut.
Sebagaimana latar belakang dari berbagai peserta konferensi dan para
penulis, pasal-pasal dalam buku ini mempresentasikan range yang luas dari
berbagai denominasi dan opini teologi – Anglikan, Baptis, Free Church,
Lutheran, Methodist, Presbyterian, dll. – yang berusaha mempertahankan
inerransi dari Kitab Suci. Mungkin tidak ada kasus teologi di zaman moderen ini
yang menyatukan bersama-sama elemen-elemen yang berbeda dari komunitas Kristen
dalam sebuah spirit kesatuan sama seperti yang dilakukan oleh konferensi
tersebut.
Konferensi tersebut dan buku ini dengan jelas mengindikasikan bahwa tidak ada kesatuan yang sebenarnya terlepas
dari kesatuan dalam kebenaran, dan tidak ada kesatuan dalam kebenaran terlepas
dari Firman Allah, yang adalah kebenaran (Yoh 17:17).
Buku ini diterbitkan sebagai hasil sebuah konsensus dari para sarjana
evangelikal-kontemporer tentang penting dan krusialnya inerransi alkitabiah
bagi vitalitas gereja Kristen, kini dan yang akan datang.
Evaluasi Setiap Bagian
Pandangan
Kristus tentang Kitab Suci (John W. Wenham)
Pernyataan Wenham
bahwa pandangan Kristus tentang Kitab Suci terkait erat dengan keyakinan bahwa
Injil menyajikan informasi yang releabel tentang ajaran-ajaran-Nya, menunjukkan
pentingnya hubungan satu doktrin dengan doktrin lainnya. Saya sangat setuju:
Pandangan Kristus tentang Alkitab adalah bahwa Alkitab adalah Firman Allah yang
berwibawa, dan pandangan ini dicatat dalam kitab-kitab Injil. Hanya apabila
kitab-kitab Injil diyakini sebagai akurat dan inerran, maka kita boleh yakin
bahwa Kristus memiliki pandangan sebagaimana tersebut di atas.
Kuasa bagi ajaran Yesus bergantung
sepenuhnya pada kebenaran litral Kitab Suci. Yesus menggunakan ajaran PL untuk
membahas persoalan-persoalan doktrin dan etika. Pengakuannya atas otoritas
Kitab Suci ditunjukkan pada cara Dia memakai Kitab Suci untuk melawan Iblis.
Penekanannya atas pentingnya Kitab Suci tidak hanya dituntukkannya karena
keterbatasan-Nya sebagai manusia, bahkan pasca kebangkitan, sebagai Tuhan, Ia
menekankan pentingnya Kitab Suci.
Pandangan Yesus yang penting, yang
ditekankan oleh Wenham antara lain adalah bahwa: Yesus mengakui bahwa Alkitab
memiliki penulis manusia, tetapi bagi Dia, penulis utama Alkitab adalah Allah
sendiri. Bagi Yesus, PL adalah benar, otoritatif dam diinspirasikan. Bagi Dia,
Allah PL adalah Allah yang hidup, dan ajaran PL adalah ajaran Allah yang hidup.
Bagi Yesus, “.., what Scripture said, God said.”
Pandangan
para Rasul tentang Kitab Suci (Edwin A. Blum)
Benar, bahwa para
penulis PB (para rasul) menulis karena koneksi mereka dengan dan komitmen
mereka kepada Yesus Kristus. Mereka membagikan pandangan terhadap Kitab Suci
yang sama tingginya dengan pandangan Guru mereka itu. Bagi para rasul, PL
bertotoritas dalam kehidupan keagamaan karena Allah telah membicarakannya
melalui Roh Kudus-Nya melalui penulis manusia.
Hal penting yang
dikemukakan Blum adalah bahwa para penulis PB juga menunjukkan bahwa tulisan
pribadi mereka dalah berdasarkan perintah Tuhan, dan terkait erat dengan
otoritas penyataan PL. Otoritas ini bukanlah otoritas manusia, tetapi otoritas Roh Kristus yang
memberikan perintah-perintah Kristus kepada umat-Nya.
Dugaan
Kesalahan-kesalahan dan Ketidak-cocokan/Ketidak-sesuaian
dalam
Manuskrip Asli Alkitab (Gleason L. Archer)
Dalam pasal ini,
Archer mendiskusikan tentang kesulitan-kesulitan dalam Alkitab – yang oleh
sebagian orang disebut sebagai ‘kesalahan, dan mendemonstrasikan mengapa
hal-hal tersebut bukanlah masalah yang serius. Secara khusus ia membahas
tentang kesulitan-kesulitan yang dimunculkan olej dua pengarang: William LaSor
dalam ‘Theology, News and Notes’ dan Dewey Beegle dalam ‘Scripture, Tradition
and infallibility.
Menurut saya,
tulisan Archer ini menunjukkan cara yang baik sekali tentang bagaimana semua
hal yang diduga merupakan kesalahan itu dapat dijelaskan secara rasionabel.
Kritik Tinggi dan Ineransi Alkitabiah (J. Berton
Payne)
Higjer Criticism adalah seni tentang bagaimana
menyelidiki literatur dalam arti setepat-tepatnya dan mengukurannya sesuai
dengan hal itu. Ia menjadi kritik yang negatif, biasa disebut ’metode
kritik-historis’, ketika ia menggunakan penghakiman rasional terhadap Kitab
Suci, khususnya tentang komposisi dan historisitasnya.
Sebenarnya
ia mendiskualifikasikan dirinya sebagai ’trully scientific criticism, karena
menolak untuk memandang obyek (Alkitab) yang dianalisisnya sesuai dengan
karakter ilahi-Nya. Payne menyediakan beberapa contoh, baik tentang kritik yang
valid dan yang tidak valid, bersama-sama beberapa evaluasi apa yang dilakukan
oleh kritik negatif untuk menginfiltrasi evangelicalisme dengan pandangan yang
mengsubordinatkan otoritas Kristus dan Kitab Suci di bawah penghakiman manusia.
Hermeneutika yang Sah (Walter C. Kaiser, Jr.)
Menurut Kaiser, Jr, hanya dengan memelihara perbedaan
penting antara arti dan signifikansi, maka Kitab Suci dapat dibebaskan dari
tangan-tangan musuh-musuhnya dan teman-temannya. ’Arti’ mengandung pengertian:
ide tunggal yang direpresentasikan oleh teks sebagai yang dimaksud oleh penulis
manusia yang menerima penyataan Allah). ’Signifikansi’ diartikan sebagai
representasi hubungan yang ada antara arti tunggal dan para pembaca, situasi
atau sebuah ide.
Benar, bahwa krisis masa kini dalam doktrin Kitab
Suci dihubungkan secara langsung dengan prosedur dan metode yang miskin dalam
menangani Kitab Suci.
Inerransi Naskah Asli (Greg L. Bahnsen)
Bahnsen menegaskan tentang pada apa arti apakah
inerransi itu dimaksudkan, yaitu pada naskah asli Kitab Suci. Ketika Kitab Suci
mengajarkan inerransinya, inskripturasi dan dan Firman Allah menunjukkan kepada
kita untuk mengidektifikasikan objek utama dan spesifik dari inerransi sebagai
teks atau naskah asli.
Doktrin evangelical menunjuk pada naskah asli, bukan
naskah codeks, juga bukan naskah kopi atau terjemahan sebagai inerran.
Inspirasi dari kopi dan transmisi Kitab Suci tidak diijinkan oleh Allah. Kita
menjamin bahwa kita dapat mempercayai Firman Allah di dalam Alkitab kita pada
masa kinikarena pemeliharaan (providensia) Allah.
Kecukup-memadaian Bahasa Manusia (James I. Packer)
Menurut Packer, skeptisisme dewasa ini terhadap
kapasitas bahasa manusia untuk menampung kebenaran tentang Allah mengalir dari
empat sumber. Salah satu di antaranya ialah asumsi dibanyak hermeneutika
Protestan moderen bahwa isi dari komunikasi antara Allah dan manusia yang ada
dalam Alkitab adalah non-verbal dan non-informatif. Packer sangat akurat dan
tajam tentang keempat sumber yang disebutkannya itu.
Pertanyaan tentang apakah bahasa Alkitab cukup
memadai untuk memberikan kepada kita pengetahuan tentang Allah paralel dengan
pertanyaan apakah kata-kata, pekerjaan dan pribadi dari Kristus alkitabiah,
yang adalah Kristus historis memadai bagi tujuannya. Ini menarik. Dua
pertanyaan tereduksi menjadi satu, karena Kristus adalah vocal theme dari Kitab
Suci, dan bahwa Kristus dan Alkitab saling menunjuk satu terhadap yang lain.
Kedua-duanya membagikan kualitas yang sama tentang kekhususan sejarah yang
disebut penyataan pribadi Allah.
Kepenulisan Manusia dalam Kitab suci yang
Diinspirasikan (Gordon R. Lewis)
Perhatian terhadap faktor kemanusiaan dalam penulisan
Alkitab telah membawa sebagian orang untuk menyangkali ineransi Alkitab.
Sebagai kontras, studi yang dilakukan oleh Lewis ini bertujuan untuk
menunjukkan bahwa ajaran Alkitab adalah sepenuhnya ilahi dan sepenuhnya manusia
tanpa salah, sebagaimana Yesus Kristus adalah sepenuhnya ilahi dan sepenuhnya
manusia, tetapi tanpa dosa.
Faktor manusiawi dalam penulisan Alkitab harus
didasarkan pada doktrin ortodoks tentang Allah, penciptaan, pemeliharaan dan
mujizat.Para penulis Alkitab tidaklah otom, melainkan hidup dan bergerak dan
mendapatkan keberadaannya seluruhya dari Allah. Mereka diciptakan dengan
kapasitas untuk ’self-transendence dalam kesegambaran dengan Allah, mereka
dapat menerima kebenaran melalui penyataan. Pemeliharaan disediakan Allah bagi
keunikan kepribadian mereka, mereka juga memiliki karakteristik yang umum, yang
juga dimiliki oleh manusia-manusia lain dalam segala waktu dan kebudayaan.
Pengajaran mereka berasal, bukan dari keinginan mereka, melainkan dari Allah
yang datang kepada mereka melalui berbagai macam arti. Dalam seluruh proses
penulisan manusia, mereka secara supranatural dibayang-bayangi oleh Roh Kudus.
Apa yang tertulis, karena itu dalam bahsa manusia, tidak semata-mata manusiawi,
tetapi juga ilahi. Ia adalah kebenaran obyektif
bagi semua orang dari segala waktu dan budaya, entah mereka menerimanya
atau tidak.
Pengertian Inerransi (Paul D. Feinberg)
Usaha untuyk mempertahankan terminologi dan doktrin
inerransi meninsyaratkan pentingnya sebuah definisi yang jelas. Dalam
tulisannya ini, Feinberg bertujuan untuk menspesifikkan arti dari doktrin ini.
Untuk tujuan akhirr ini, sebuah studi tentang metodologi teologi diusahakan. Ia
menyimpulkan tentang metode-metode apakah yang paling tepat untuk teologi
secara keseluruhan dan yang harus digunakan untuk memformulasikan doktrin
ineransi. Jadi fenomena Kitab Suci dapat dievaluasi, dan sebuah definisi
tentang doktrin ini diformulasikan dalam terminologi yang benar atau dalam
kebenaran yang penuh.
Feinberg
juga mendiskusikan tentang kualifikasi, ketidak-mengertian dan tujuan dari
pokok doktrin ineransi ini.
Presuposisi Filsafat tentang Inerransi Alkitab
(Norman L. Geisler)
Geisler menunjikkan dalam tulisannya ini tentang bagaimana
dewasa ini peringatan rasul Paulus dalam Kol2:8 menjadi lebih serius lagi,
khususnya dalam hubungannya dengan gerakan neo0evangelkikalisme yang semakin
jauh dari doktrin alkitabiah-historis tentang inerransi.
Dalam tulisannya ini, Geisler mengekspose beberapa
dari presuposisi filsafat utama yang dimulai pada abad ke-17 yang turut andil
dalam menciptakan krisis dalam pandangannya d\tentarhadap otoritas Kitab Suci.
Mulai dari Francis Baccon, Thomas Hobes, David Hume, otoritas Kitab Suci secara
progresif dirusakkan./diruntuhkan. Melalui Kant dan Kierkegaard, beberapa
presuposisi filsafat yang utama memimpin kepada penyangkalan ineransi Kitab
Suci, yang kemudian diimplantasikan dalam teologi Barat. Neo-evanglical moderen
yang menyangkali innerransi meminjam satu atau lebih dari beberapa presuposisi
filsafat itu.
Kesaksian Internal Roh Kudus (R. C. Sproul)
Roh Kudus berhubungan dengan Kitab Suci dalam
berbagai hal. Beberapa dari yang yang paling signifikan adalah dalam hal
’inspirasi’, ’iluminasi’, ’aplikasi’, conviction’ dan ’testimonium.’ Yang
menjadi pusat perhatian Sproul dalam tulisannya ini adalah dalam hal yang
terakhir, ’testimonium’.
Internal testimony bekerja mengkonfirmasikan
releabilitas dari Kitab Suci, memastikan kepada kita bahwa Kitab Suci adalah
Firman Allah. Kata kuncinya di sini adalah ’memastikan’. Bagi Eksistensialis,
Neo-Ortodoks, dll, kebenaran tidak sungguh-sungguh benar sampai, atau kecuali
dimensi pribadi ditambahkan (subyektifitas). Tetapi menrutu pemikiran Kristen
klasik, kepercayaan indivisual membuat respons subyektif kepada Firman yang
obyektif melalui campur tangan Roh. Bagi para
Eksistensialis, respons subyektif
menentukan natur dari Firman melalui jaringan-jaringan kinetik Roh.
Pandangan Tentang Alkitab yang Dipegang Gereja:
Gereja Mula-mula Sampai Luther (Robert D. Preus)
Presu membuktikan dalam tulisannya ini bahwa doktrin
pengilhaman verbal dan inerransi dan otoritas ilahi Kitab Suci secara konsisten
telah diajarkan oleh Gereja Kristen sejak zaman para rasul melalui gereja
mula-muladan abad pertengahan pada masa reformasi. Sebuah kesatuan yang
mengagumkan darikepercayaan dan penggunaan terminologi tetap berlangsung
melalui abad-abad tentang doktrin ini, sebagaimana diajarkan oleh Perjanjian
Baru itu sendiri.
Pada saat reformasi, sebuah pembacaan injili baru
atas Alkitab dan sebuah perhatian atau tekanan yang lebih kuat pada
satu-satunya otoritas dari Kitab Suci (sola scriptura) mengingatkan kepada
Perjanjian Baru itu sendiri.
Pandangan Tentang Alkitab yang Dipegang Gereja:
Calvin dan Pengakuan Westminster (John H. Garstner)
Dalam tulisannya ini Garstner menunjukkan dengan
meyakinkan bahwa John Kalvin dan Calvinisme dalam jemaat Westminster memegang
doktrin inerransi. Persoalan yang sulit adalah
menjelaskan bagaimanabeberapa sarjana tidak dapat menerima fakta ini?
Perdebatan tidak muncul karena apa yang Kalvin atau Westminster tulis, tetapi
karena apa yang beberapa sarjana errantis simpulkan dari apa yang mereka tulis.
BB. Warfield versus G. C. Berkouwer tentang Kitab Suci
(Henry Krabbendam)
Dalam studinya, Krabbendam
mengkontraskan pandangan Warfield dan Berkouwer tentang Kitab Suci. Hasilnya
menunjukkan bahwa pandangan mereka tentang Kitab Suci, baik sebagai Firman
Allah dan sebagai kata-kata manusia, adalah secara total dan radikal berlainan.
Perbedaan mereka dalam hal menghormati inerransi Kitab Suci menunjukkan dua
tradisi yang antagonistik yang berdiri bersama-sama.
Evaluasi Keseluruhan
Tidak semua topik yang dibahas oleh ke-14 sarjana Alkitab dalam buku ini
membahas persoalan inneransi secara langsung. Beberapa di antaranya lebih dekat
pada doktrin manusia, doktrin Roh Kudus, doktrin Kristus, dst. Tetapi benar
bahwa tidak ada topik yang dibahas oleh Alkitab yang tidak berhubungan sebab
akibat dengan inerransi Alkitab.
Secara keseluruhan tulisan-tulisan yang dipaparkan adalah kombinasi antara
lapangan Teologi Biblika, Teologi Historika dan Teologi Sistematika. Kecuali
Pasal 12 dan 13, yang lebih condong ke lapangan Teologi Gistorika, tidak ada yang
murni dalam salah satu dari ketiga lapangan itu.
Saya setuju dan respek
serta bersyukur atas apologetika para sarjana Injili ini. Ada beberapa bagian
tulisan yang sulit dibedakan, apakah masih dalam tataran injili, ataukah sudah
memasuki tataran fundamentalis. Tetapi menurut saya para kontributor dalam
tulisan telah berhasil memberikan argumentsi ilmiah-teologis yang obyektif dan
berbobot.
Bukan saja dalam hal
inerransi Alkitab kita dapat menemukan antagonistis di antara Warfield dan
Berkhouwer. Seluruh penulis ini, boleh memiliki satu pemahaman yang unity
tentang inerransi. Tetapi ketika membicarakan berbagai teologi sebagai produk
Kitab Suci yang inerran itu, mereka memiliki berbagai macam ’antagonis’ yang
lain. Ini menunjukkan bahwa diskusi tentang ’natur’ Kitab Suci itu perlu.
Tetapi diskusi tentang ’bagaimana menangani’ Kitab Suci itu juga perlu. Dalam
banyak hal dua pokok itu memiliki hubungan yang erat.
Akhirnya saya
pikir adalah penting untuk memperhatikan bagian Appendix dalam buku ini, tentang
The Chicago Statement on Biblical inerrancy.
Penutup
Sesuai dengan latar belakang diterbitkannya buku ini sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian pendahuluan, adalah merupakan tujuan bersama dari
ICBI untuk mendefinisikan, mempertahankan mengaplikasikan doktrin inerransi
alkitabiah sebagai sebuah elemen esensi dari otorits Kitab Suci dan sebuah
keperluan bagi kesehatan gereja Kristus, dalam konteks untuk memenangkan gereja
agar kembali kepada posisi historisnya. Buku ini menurut saya memberikan kontribusi
yang sangat signifikan bagi persoalan yang krusial tersebut.
Norman Geissler
& Ron Brooks, Ketika Alkitab
Dipertanyakan. Yogyakarta: Andi, 2004.
EVALUASI BUKU
NORMAN GEISLER DAN RON BROOKS
“KETIKA ALKITAB DIPERTANYAKAN”
Pendahuluan
Pada bab pertama
membahas mengenai “Kebutuhan untuk Menjawab Setiap Orang”.
Sepanjang hidupnya ia telah menyadari sepenuhnya tentang fakta bahwa dunia ini
bertentangan dengan kekristenan pada tingkat intelektual. Seorang penatua di
gereja harus berpegang kepada perkataaan yang benar, yang sesuai dengan ajaran
yang sehat, supaya ia sanggup menasihati orang berdasarkan ajaran itu dan
sanggup meyakinkan penentang-penentangnya”. Sekalipun sudah diajarkan dengan
dengan yang baik dan benar, banyak pertanyaan-pertanyaan yang diberikan,
demikian juga kita harus menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan baik.
Ada pelayanan dalam penginjilan dan juga pelayanan dalam pra penginjilan.
Pelayanan penginjilan, menyangkut pelayanan mengenai dosa dan dosa
ditanggalkan, selanjutnya menerima Yesus. Pelayanan pra penginjilan menyangkut
masalah-masalah-masalah atau pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab dengan
baik dan benar.
Beberapa alasan sederhana yang perlu
terlibat dalam pra penginjilan: (1) Apakah orang tidak percaya mempunyai banyak
pertanyaan bagus? (2) Apakah kita
mempunyai jawaban yang bagus di mana Allah memerintahkan kita untuk memberikan
jawaban kepada mereka? Berikut pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, yang perlu
dijawab dengan benar.
Pertanyaan-Pertanyaan
tentang Allah
Pertanyaan-pertanyaan
yang harus dibahas dalam pra penginjilan adalah: “Apakah Allah itu ada?” Pertanyaan
kedua yang berkaitan dengan pertanyaan pertama adalah “jika Allah ada seperti
apakah Allah itu?” Secara tradisional ada empat argumen dasar yang digunakan
untuk membuktikan keberadaan Allah, yaitu: argumentasi kosmologis, teleologis,
aksiologis dan ontologis. Tetapi karena ini merupakan istilah –istilah teknis
kita menyebutnya sebagai Argumen Ciptaan (kosmos berarti
ciptaan), Argumen Desain (telos berarti tujuan), Argumen
Hukum Moral (aksios berarti penghakiman) dan Argumen Makhluk
(ontos berarti makhluk).
Argumen dari Ciptaan
Sejarah Argumen
dari Ciptaan “Paulus berkata bahwa semua orang mengenal Allah, sebab Allah
telah menyatakan kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak daripada-Nya, yaitu
kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya dapat nampak kepada pikiran dari
karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih (Rm.
1:19-20). Plato adalah pemikir pertama
yang dikenal telah mengembangkan argumen berdasarkan sebab akibat. Aristoteles
mengikutinya, filsuf muslim al-faraba dan Avicenna juga menggunakan jenis
penalaran ini, seperti halnya pemikir Yahudi Moses Maimonides. Dalam pemikiran
Kristen, Agustinus, Aquinas, Anselmus dan Descartes, Leibnis dan tokoh-tokoh
lainnya sampai saat ini telah memandang argumen ini berharga dan membuatnya
menjadi argmen yang paling utama untuk membuktikan keberadaan Allah.
Ide dasar dari
argumen ini adalah bahwa, karena ada alam semesta. Hal itu pasti disebabkan
oleh sesuatu yang ada di luar dirinya sendiri. Hal ini didasarkan pada hukum
sebab akibat, yang mengatakan bahwa setiap hal yang terbatas disebabkan oleh
sesuatu di luar dirinya sendiri. Ada dua bentuk yang berbeda dari argumen ini,
yaitu bentuk pertama mengatakan bahwa alam semesta membutuhkan penyebab pada
permulaannya. Bentuk kedua berpendapat bahwa alam semesta membutuhkan penyebab
saat ini juga untuk tetap ada.
Alam semesta
memiliki penyebab pada mulanya. Argumen
ini mengatakan bahwa alam semesta itu terbatas dalam arti memiliki asal mula
dan bahwa permulaannya disebabkan oleh sesuatu di luar alam semesta. Hal itu
dinyatakan dengan cara demikian sebagai berikut: (1) Alam semesta memiliki asal
mula. (2) Segala sesuatu yang memiliki asal mula pasti disebabkan oleh sesuatu
yang lain. (3) Sebab itu, alam semesta disebabkan oleh sesuatu yang lain dan
penyebab itu adalah Allah.
Untuk menghindari
beberapa pendapat mengatakan bahwa alam semesta itu bersifat kekal, ia tidak
pernah memiliki asal mula, ia selalu ada begitu saja. Carl Sagan berkata:
“Kosmos itu semua yang ada, atau yang pernah ada, atau akan pernah ada”. Ada
dua cara untuk menjawab keberatan ini, pertama bukti ilmiah sangat mendukung
ide bahwa alam semesta memiliki asal mula. Selain bukti ilmiah yang menunjukkan
bahwa alam semesta memiliki asal mula, ada alasan filosofis untuk percaya bahwa
dunia memiliki titik asal.
Alam semesta
membutuhkan penyebab untuk eksistensinya yang berkesinambungan. Dunia
membutuhkan baik penyebab mula-mula maupun penyebab pemeliharaannya. Dalam satu
pengertian, pernyataan ini merupakan pertanyaan dasar yang paling sering
ditanyakan. Mengapa ada sesuatu dan bukan tidak ada apa-apa? Pertanyaan
tersebut mengandung maksud, sebagai berikut: (1) Ada benda-benda yang terbatas
dan berubah. (2) Setiap benda yang terbatas dan berubah pasti disebabkan oleh
sesuatu yang lain. (3) Tidak bisa ada kemunduran yang tidak terbatas untuk
penyebab-penyebab ini. (penyebab mula-mula dan penyebab pemelihara). (4) Sebab
itu, harus ada penyebab pertama yang tidak disebabkan apapun untuk setiap benda
yang terbatas dan berubah yang ada.
Argumen dari Desain
Sejarah Argumen
dari Desain, “Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam
kandungan ibuku, Aku bersyukur kepadaMu oleh karena kejadianku dahsyat dan
ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya (Mzm. 139:13-14).
Menjawab kelahiran Abad Pencerahan dan metode ilmiah, William Paley (1743-1805)
menekankan bahwa jika seseorang menemukan ada jam di ladang yang kosong, ia
akan dengan tepat menyimpulkan bahwa ada pembuat jam karena adanya desain yang
jelas. Hal yang sama harus dikatakan pada desain yang kita temukan di alam.
David Hume yang skeptis bahkan menyatakan argumen ini dalam bukunya Dialogues
Concerning Natural Religion, seperti halnya beberapa hal lainnya. Namun, paling
tidak ada banyak penentang hal ini seperti hanya ada pendukung untuk itu.
pendukung klasik argumen ini adalah William Paley dan penentang yang paling
terkemuka adalah David Hume.
Argumen ini,
seperti argumen lainnya yang akan kita sebutkan secara singkat, merujuk aspek
tertentu dari penciptaan pada Sang Pencipta yang telah menempatkannya di sana.
Argumen ini berpendapat bahwa desain mengacu pada Desainer yang cerdas sebagai
berikut: (1) Semua desain menyiratkan adanya desainer. (2) Ada desain yang luar
biasa dalam alam semesta. (3) Sebab itu, pasti ada perancang alam semesta yang
Luar Biasa.
Premis pertama
kita ketahui dari pengalaman. Kapan pun kita melihat desain yang rumit, kita
tahu berdasarkan pengalaman sebelumnya bahwa hal itu berasal dari pikiran sang
desainer. Jam menyiratkan adanya pembuat jam, bangunan menyiratkan adanya
arsitek, lukisan menyiratkan adanya seniman, dan pesan bersandi menyiratkan
adanya pengirim intelegen. Itu selalu merupakan harapan kita karena kita
melihatnya berulang-ulang. Ini adalah cara lain
untuk menyatakan prinsip sebab akibat. Selain itu, makin hebat suatu
desain, makin hebat desainernya. Makin rumit suatu desain, makin besar
intelegensi yang dibutuhkan untuk menghasilkannya.
Argumen
dari Hukum Moral
Sejarah Argumen
Moral. Argumen ini tidak begitu diperhatikan sampai awal abad XIX setelah
munculnya tulisan-tulisan Imanuel Kant. Kant menekankan bahwa tidak ada jalan
untuk memiliki pengetahuan absolut tentang Allah dan menolak semua argumen
tradisional terhadap keberadaan Allah.
Namun ia menyetujui pendekatan moral, bukan sebagai bukti untuk
keberadaan Allah., melainkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa Allah adalah
dalil yang penting bagi semua kehidupan moral. Dengan kata lain, kita tidak
bisa mengetahui bahwa Allah ada, tetapi kita harus bertindak seolah –olah Ia
ada untuk membuat moralitas dapat dimengerti. Para pemikir baru-baru ini telah
memperhalus argumen ini untuk menunjukkan bahwa ada dasar rasional bagi
keberadaan Allah untuk ditemukan dalam moralitas. Juga ada usaha penyangkalan
keberadaan Allah berdasarkan hukum moral, dari ide-ide yang berasal dari Pierre
Bayle dan Albert Camus.
Argumen
dari hukum moral, argumen yang sama berdasarkan tatanan moral alam semesta dan
bukan sekedar tatanan fisik, bisa ditawarkan. Menurut pendapat ini, penyebab
alam semesta adalah seorang pribadi yang selain mahakuasa dan cerdas juga
bermoral sebagai berikut: (1) Semua manusia sadar tentang adanya hukum moral
secara objektif. (2) Hukum moral
menyiratkan adanya Pemberi hukum yang bermoral. (3) Sebab itu, pasti ada
Pemberi hukum moral yang tertinggi.
Sama,
Berbeda atau Mirip?
Seberapa kita
mirip Allah? Seberapa banyak akibat bisa memberitahu kita tentang penyebabnya?
Beberapa orang berkata bahwa akibat harus persis sama sperti sebabnya. Kualitas
seperti eksistensi atau kebaikan dalam akibat harus sama dengan kualitas dalam
sebabnya. Jika itu benar, kita semua akan menjadi penganut panteisme, karena
kita semua adalah allah, kekal dan ilahi.
Sebagai reaksi, beberapa orang berkata bahwa kita sama sekali berbeda
dengan dari Allah. Tidak ada kesamaan antara siapa Dia dan siapa kita. Tetapi itu berarti bahwa kita tidak memiliki
pengetahuan positif tentang Allah. Kita hanya bisa mengatakan bahwa Allah
“bukan begini” dan “bukan begitu”, tetapi kita tidak pernah bisa mengatakan
seperti apa Dia. Jalan tengahnya adalah mengatakan bahwa kita mirip dengan
Allah, sama tetapi dalam cara yang berbeda. Eksistensi, kebaikan, kasih, semua
berarti hal yang sama bagi kita maupun bagi Allah. Kita memiliki hal itu secara
terbatas dan Ia tidak terbatas. Jika kita juga harus mengatakan seperti apa
allah itu, tetapi dalam beberapa hal, kita juga harus menyatakan bahwa Ia tidak
terbatas seperti kita”kekal”, ” tidak berubah”, ”tidak dibatasi ruang”, dan
sebagainya.
Pada satu segi, argumen ini juga
mengikuti prinsip sebab akibat. Tetapi hukum moral berbeda dari hukum alam.
Hukum moral tidak menjelaskan apa itu, melainkan menjelaskan apa yang
seharusnya ada. Hukum moral bukan sekedar penjelasan bagaimana cara tindak
tanduk manusia dan tidak diketahui dengan mengamati apa yang dilakukan
manusia. Jika demikian, ide kita tentang
moralitas tentu akan berbeda. Sebaliknya, hukum moral memberi tahu kita apa
yang seharusnya dilakukan manusia, apakah mereka melakukan hal itu atau tidak.
Jadi “keharusan” moral muncul dari sesuatu di luar alam semesta. Kita tidak
bisa menjelaskan hal itu dengan apa pun yang terjadi di alam semesta dan hal
itu tidak bisa dipersempit dengan hal-hal yang dilakukan manusia di alam
semesta. Hukum moral melampui tatanan alam dan membutuhkan penyebab yang
transenden.
Argumen dari Keberadaan
Sejarah Argumen
dari Keberadaan. Ketika Allah menyatakan nama-Nya kepada Musa, Ia berkata, “AKU
ADALAH AKU,” yang menjelaskan bahwa
eksistensi merupakan atribut-Nya yang utama (Kel. 3:14), Rahib abad XI Anselmus
dari Canterbury menggnakan ide ini untuk menyusun bukti tentang eksistensi
Allah dari ide dasar tentang Allah, tanpa harus melihat pada bukti dalam
ciptaan. Anselmus mengacu pada ide itu
sebagai “bukti dari doa” karena ia memikirkan hal itu, sementara merenungkan
ide tentang Pribadi yang sempurna; sebab itu nama makalah di mana ide itu
ditemukan adalah The Monologion, yang berarti doa satu arah. Dalam tulisannya
yang lain, the Proslogion, ia berdialog dengan Allah tentang alam dan
mengembangkan argumen dari Ciptaan juga. Dalam filosofi modern, argumen dari
keberadaan ditemukan dalam tulisan-tulisan Descartes, Spinoza, Leibniz, dan
Hartshome.
Argumen dari
keberadaan. Argumen keempat berusaha
membuktikan bahwa Allah pasti ada berdasarkan definisinya. Argumen ini
mengatakan bahwa sekali kita mendapatkan ide tentang seperti apa Allah itu, ide
itu perlu melibatkan eksistensi. Ada beberapa bentuk argumen ini, tetapi kita
hanya akan membicarakan ide tentang Allah sebagai Pribadi yang sempurna sebagai
berikut:
Kesempurnaan
apapun yang bisa dikaitkan dengan Pribadi yang paling sempurna yang mungkin ada
(bisa dipahami) harus dikaitkan dengannya.
Eksistensi yang
perlu merupakan kesempurnaan yang bisa dikaitkan dengan Pribadi yang sempurna.
Sebab itu,
eksistensi yang perlu harus dikaitkan
dengan Pribadi yang paling sempurna.
Argumen itu bisa
dinyatakan ulang dengan cara demikian: (1) Jika Allah ada, kita memahami Dia
sebagai Pribadi yang perlu. (2) Berdasarkan definisinya, Pribadi yang perlu
harus ada dan tidak bisa tidak ada. (3) Sebab itu, jika Allah ada, Ia harus ada
dan tidak bisa tidak ada.
Pertanyaan-Pertanyaan
tentang allah-allah lain
Cara pandang seseorang terhadap Allah
berbeda-beda. Seseorang memahami Allah akan banyak menentukan cara dia
memandang dunia. Kita menyebut konsep yang berbeda ini pandangan hidup. Ada
enam pandangan hidup yang bertentangan dengan kekristenan, seperti berikut ini:
Ateisme :
pandangan bahwa tidak ada Allah
Deisme : pandangan bahwa Allah ada, tetapi
tidak melakukan mukjizat
Panteisme :
pandangan bahwa semua adalah Allah.
Panenteisme :
pandangan bahwa Allah berkembang bersama dengan dunia
Allahisme Terbatas : pandangan bahwa Allah ada tetapi terbatas
dan / atau tidak sempurna.
Politeisme : pandangan bahwa ada banyak
allah.
Pertanyaan-Pertanyaan
tentang Kejahatan
Apakah kejahatan
itu? Apakah sifat kejahatan itu? Kita berbicara tentang tindakan kejahatan
(pembunuhan), orang-orang jahat (Charles Manson), buku-buku yang jahat
(pornografi), peristiwa yang jahat (tornado), penyakit yang jahat (kanker atau
kebutaan), tetapi apa yang membuat semua ini jahat? Apakah yang jahat, jika
kita memandang hal itu pada dirinya sendiri? Beberapa orang berkata bahwa
kejahatan adalah zat yang menguasai benda tertentu dan membuat benda itu
menjadi buruk (seperti virus yang menginfeksi hewan) atau bahwa kejahatan
adalah kekuatan lawan di dunia. Tetapi jika Allah menciptakan sesuatu, itu
membuat Allah bertanggung jawab atas kejahatan. Argumentasinya tampak seperti
berikut ini: (1) Allah adalah pencipta segala sesuatu. (2) Kejahatan adalah
sesuatu. (3) Jadi Allah adalah pencipta kejahatan.
Dari mana
kejahatan itu berasal. Pada mulanya, Allah ada dan Ia sempurna. Kemudian Allah
yang sempurna menciptakan dunia yang sempurna. Jadi bagaimana kejahatan muncul
ke dalam situasi. Berikut ringkasan atas problema yang terjadi sebagai berikut:
(1) Setiap makhluk yang diciptakan Allah sempurna. (2) Tetapi makhluk yang
sempurna itu tidak bisa melakukaan hal yang tidak sempurna. (3) Jadi, setiap
makhluk yang diciptakan Allah tidak bisa melakukan apa yang tidak sempurna.
Tetapi jika Adam
dan Hawa sempurna, bagaimana mereka bisa jatuh?
Jangan menyalahkan pada ular, karena itu hanya membuat pertanyaan kita
mundur satu langkah, bukankah Allah membuat ular itu sempurna juga? Beberapa
orang telah menyimpulkan bahwa pasti pada kekuatan yang sama dengan Allah atau
melampaui kontrolNya. Atau mungkin Allah tidak baik sama sekali. Tetapi mungkin
jawabannya terletak pada ide kesempurnaan itu sendiri sebagai berikut: (1) Allah
menciptakan segala sesuatu dengan sempurna. (2) Salah satu hal sempurna yang
diciptakan Allah adalah makhluk yang bebas. (3) Kehendak bebas adalah penyebab
kejahatan. (4) Jadi ketidaksempurnaan (kejahatan) bisa muncul dari kesempurnaan
(bukan secara langsung, tetapi secara
tidak langsung melalui kebebasan).
Pertanyaan-Pertanyaan
tentang Yesus Kristus
Kebenaran kekristenan
bergantung sepenuhnya pada kebenaran Yesus Kristus dan keadaan-Nya yang
sebenarnya. Apakah Ia ada? Bagaimana kita bisa mengetahui sesuatu tentang hidup-Nya?
Siapa sebenarnya Dia? Mengapa kita harus
mempercayai Dia melebihi semua orang lainnya? Tanpa jawaban yang positif untuk
pertanyaan-pertanyaan ini, klaim kebenaran tentang kekristenan adalah kosong.
Berikut bukti
historis dan alasan bahwa Yesus bukan hanya hidup, melainkan bahwa Ia adalah
Allah yang menjadi manusia. Garis besar argumen itu, antara lain:
Dokumen Perjanjian
Baru secara historis merupakan bukti yang bisa diandalkan.
Bukti historis
Perjanjian Baru menunjukkan bahwa Yesus menyatakan diri sebagai Allah dan
meneguhkan penyataan itu dengan tanda-tanda mukjizat yang berpuncak pada
kebangkitan-Nya.
Sebab itu ada
bukti historis yang bisa diandalkan bahwa Yesus Kristus adalah Allah. Ada empat pandangan Modern tentang Kristus sebagai
berikut: (1) Yesus tidak pernah hidup-orang-orang yang memegang pandangan ini
berkata bahwa Paulus menemukan ide tentang Yesus dari mitos kuno dan keempat
Injil ditulis belakangan untuk menciptakan ilusi bahwa Ia sungguh-sungguh
manusia nyata. (2) Yesus tanpa teologi atau mujizat. Beberapa orang percaya
bahwa Yesus memang sungguh-sungguh hidup, tetapi kita tidak bisa mengetahui
apapun tentang Dia dari Perjanjian Baru. Setelah menanggalkan semua aspek
supernatural dari kehidupan Yesus. (3) Yesus dijadikan mitologi-Rudolf Bultmann mengembangkan satu sistem penafsiran
yang menghilangkan semua unsur supernatural dengan menyebut hal itu mitos.
Untuk menemukan Yesus yang sejati, ia berusaha menyingkirkan mitos itu dan
menemukan apa yang jenis kebutuhan yang dimiliki orang-orang yang membuat
mereka menemukan kisah semacam itu. (4) Tidak ada masalah. Beberapa sarjana
berkata bahwa kebangkitan mungkin terjadi atau mungkin tidak, tetapi itu tidak
masalah. Yang penting adalah bahwa kita percaya. Mereka berkata, bahwa
kebenaran itu hanyalah apa yang anda percaya benar.
Keberatan
selanjutnya bahwa ada yang beranggapan bahwa orang percaya (orang Kristen)
dengan tiba-tiba mengatakan bahwa Perjanjian Baru adalah dokumen sejarah, bukan
sekadar buku agama. Benar, Alkitab adalah sumber pengetahuan agama dan tidak
masuk akal untuk mengharapkan orang yang tidak percaya untuk menerima apa yang
ia katakan benar adanya. Namun, tidak perlu ada keberatan untuk menerima apa
yang dikatakan Alkitab tentang peristiwa sejarah untuk menerima apa yang
dikatakan Alkitab tentang peristiwa sejarah jika kita bisa menunjukan bahwa
Perjanjian Baru adalah juga catatan sejarah. Pertimbangan hal ini, adalah:
Catatan Injil
ditulis oleh saksi mata dalam rentang waktu empat puluh tahun dari peritiwa
yang digambarkan. Ini memberikan kredibilitas bagi cerita mereka dan menjamin
tingkat akurasi yang jujur.
Alkitab tidak
hanya memiliki satu catatan tentang peristiwa peristiwa itu, melainkan paling
sedikit empat catatan yang cocok dalam fakta-fakta utamanya.
Cerita yang
dikisahkan dalam Perjanjian Baru cocok dengan bukti dari ahli sejarah sekuler
dan sejarah Yahudi abad pertama dan kedua.
Alkitab terbukti
sangat akurat dalam apa yang ia katakan tentang dunia kuno.
Jadi tidak ada
alasan bahwa Perjanjian Baru tidak bisa diterima sebagai dokumen sejarah yang
bisa diandalkan yang memberikan informasi yang tidak ternilai kepada kita
tentang kehidupan dan kematian Yesus dari Nazaret.
Pertanyaan-Pertanyaan
tentang Alkitab
Bagaimana kita
tahu bahwa Alkitab berasal dari Allah karena satu alasan yang sangat
Sederhana adalah:
Yesus memberitahu kita demikian. Pada
otoritas-Nya, sebagai Allah atas alam semesta ini, kita merasa yakin bahwa
Alkitab adalah Firman Allah. Ia meneguhkan otoritas Perjanjian Lama dalam
ajaran-Nya, dan Ia menjanjikan Perjanjian Baru yang penuh kuasa melalui
murid-muird-Nya dan Ia menjanjikan Perjanjian baru yang penuh kuasa melalui
murid-muird-Nya. Anak Allah sendiri menjamin kita bahwa Alkitab adalah Firman
Allah.
Garis besar
Argumen Alkitab sebagai berikut:
Allah ada
Perjanjian Baru
adalah dokumen sejarah yang bisa diandalkan
Mujizat itu
mungkin.
Mujizat meneguhkan
pernyataan Yesus sebagai Allah
Apapun yang
diajarkan Allah itu benar
Yesus (Allah)
mengajar bahwa Alkitab adalah Firman Allah dengan meneguhkan
Perjanjian Lama
dan menjanjikan Perjanjian Baru
Sebab itu, Alkitab
adalah Firman Allah
Bagaimana dengan Aprokrif? Apokrif
adalah satu set buku yang ditulis antara abad ketiga B.C dan abad pertama A.D.
Kitab ini terdiri dari 14 kitab. Yang ditemukan dalam beberapa salinan kuno
terjemahan penting Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani dan mencerminkan
beberapa tradisi dan sejarah Yahudi yang muncul setelah zaman Maleakhi (nabi
terakhir dalam PL). Sebagian Apokrif diterima sebagai Kitab Suci oleh Agustinus
dan gereja Syiria pada abad ke 4 dan kemudian dijadikan kanon oleh gereja
Katolik. Kitab Apokrif disinggung dalam Perjanjian Baru dan oleh bapa-bapa
gereja awal dan telah ditemukan diantara Gulungan Laut Mati di Qumran.
Namun kitab ini tidak pernah
diterima oleh orang Yahudi sebagai kitab Suci dan tidak dimasukkan dalam
Alkitab Ibrani. Meskipun Perjanjian Baru menyinggung kitab itu (misal. Ibrani
11:35), tidak satu pun kiasan tersebut yang dengan jelas disebut sebagai Firman
Alah. Agustinus mengakui bahwa kitab itu
dimasukkan dalam Septuaginta (terjemahan Yunani) yang ia pandang diilhami,
tetapi Jerome sarjana Ibrani membuat versi resmi vulgate latin untuk Perjanjian
Lama tanpa kita tambahan Apokrif. Gereja-gereja yang menerima Apokrif melakukan
itu lama setelah kitab itu ditulis (abad ke 4, ke 16 dan 17). Bapa-bapa yang
mengutip tulisan ini diimbangi oleh tokoh lainnya yang menentang hal itu dengan
keras seperti Athanasius dan Jerome. Sesungguhnya,
kitab-kitab ini tidak pernah secara resmi ditambahkan ke dalam Alkitab sampai
tahun 1546 AD, dalam Sidang Trente. Tetapi ini dicurigai karena menambahkan
kitab-kitab berdasarkan penggunaan oleh orang-orang Kristen 29 tahun setelah Martin Luther mencari
dukungan alkitabiah untuk mencari kepercayaan seperti keselamatan berdasarkan
perbuatan baik dan doa kepada orang mati (disediakan Apokrif: 2 makabe 12,
45-46, Tobit 12:9). Berkaitan dengan penemuan Qumran, ratusan kitab telah
ditemukan di sana yang bukan merupakan kanonik, hal ini tidak menawarkan bukti
bahwa mereka menerima kitab-kitab apokrif seperti halnya kesusasteraan populer
lainnya. Akhirnya, tidak ada klaim kitab
apokrif bahwa kitab ini diilhami. Sesungguhnya, beberapa secara khusus menyangkal
bahwa kitab-kitab ini diilhami (I Makabe 9:27). Jika tidak mengilhami kitab
ini, berarti kitab ini bukan Firman-Nya.
Bagaimana dengan Injil Gnostik.
Injil Gnostik dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengannya merupakan bagian
dari Pseudepigrata Perjanjian Baru, yang berarti tulisan Palsu. Tulisan itu
disebut demikian karena penulisannya menggunakan nama salah satu rasul dan
bukan nama mereka sendiri, misalnya Injil Petrus dan Kisah Yohanes. Kedua kitab
ini tidak ditulis oleh rasul-rasul, tetapi oleh orang lain pada abad ke 2 dan setelah itu berpura-pura menggunakan
otoritas kerasulan untuk mengembangkan ajaran mereka sendiri. Saat ini kita
menyebut penipuan dan pemalsuan. Kedua
kitab ini mengajarkan doktrin tentang dua bidat-bidat yang paling awal yang
kedua-duanya menyangkal realitas Inkarnasi.
Pertanyaan-pertanyaan
tentang Kesulitan Alkitab
Menurut Norman
Geisler mengajukan panduan untuk mengatasi perikop yang sulit sebagai berikut:
Pastikan kita tahu
apa yang dikatakan teksnya.
Pastikan kita tahu
apa yang dimaksud teksnya.
Pastikan kita tahu
apa yang dimaksud teksnya.
Jangan
mencampurkanadukkan kesalahan dengan ketidaktepatan
Jangan
mencampuradukkan kesalahan dengan sudut pandang
Bahasa tentang
dunia adalah bahasa sehari-hari
Ingat bahwa
Alkitab mencatat hal-hal yang tidak disetujuinya.
Banyak
kesulitan-kesulitan yang perlu dijelaskan. Kesulitan tersebut dalam hal problema
silsilah, problem etis, problem histories, problem kutipan, problem ilmiah.
Kaum Injili berusaha untuk membuktikan bahwa Alkitab tidak memiliki kesalahan,
sehingga mereka bisa yakin bahwa Alkitab adalah Firman Allah.
Pertanyaan-pertanyaan
tentang Arkeologi
Arkeologi
Alkitabiah merupakan topic yang menarik. Selain itu arkeologi juga memiliki
hubungan yang paling menguntungkan dengan studi Alkitab. Ahli arkeologi yang
terkenal Nelson Glueck dengan berani menyimpulkan. Namun kenyataannya, secara
kategoris bisa dinyatakan dengan jelas bahwa tidak ada satupun penemuan
arkeologis yang pernah bertentangan dengan referensi Alkitab satupun. Banyak penemuan arkelogis yang telah dibuat
menenguhkan pernyataan sejarah dalam Alkitab dengan garis besar yang jelas atau
perincian yang pasti.
Hal-hal yang berhubungan dengan
arkeologi misalnya: (1) Penciptaan, apakah cerita Penciptaan bersifat sejarah
atau mitos? (2) Apakah air bah itu peritiwa yang nyata? (3) Apakah benar ada
menara Babel?
Bagaimana Musa
bisa mengetahui segala sesuatu tentang hal ini. Jawaban sederhana untuk
pertanyaan ini bahwa Allah menyatakan hal itu kepada Musa. Dengan demikian arkelogi meneguhkan
Perjanjian Lama.
Selain itu, juga
perlunya keakuratan historis Lukas, misalnya: sensus dalam Lukas 2:1-5, Bukti
berkaitan dengan kematian Yesus.
Pertanyaan-Pertanyaan
tentang Ilmu Pengetahuan dan Evolusi
Selanjutnya
Pertanyaan-Pertanyaan tentang Ilmu Pengetahuan dan Evolusi, antara lain masalah
Ilmu Pengetahuan Modern dan Penciptaan, Argumen dasar untuk menentang evolusi.
Ilmu Pengetahuan didasarkan pada sebab akibat, segala peristiwa memiliki
penyebab. Segala sesuatu tidak terjadi begitu saja. Prinsip-prinsip ilmiah pertama kali
dikembangkan menjadi metode ilmiah, para ahli seperti fancies Bacon, Johanes
Kepler, Isaac Newtonm dan William Kelvin membedakan antara penyebab primer dan
penyebab skunder. Penyebab primer adalah penyebab pertama yang menjelaskan
ketunggalan peristiwa-peristiwa yang hanya terjadi satu kali dan tidak memiliki
penjelasan alami.
Pertanyaan-Pertanyaan
tentang Kehidupan Sesudah Kematian
Kemudian kita
beralih pada pertanyaan-pertanyaan tentang Kehidupan Sesudah Kematian.
Seringkali kita berbicara Kristus karena Ia datang sebagai manusia. Dengan
demikian reinkarnasi berarti hal itu terjadi berulang-ulang. Menurut makna dari
kata tersebut, berarti terus menerus lahir kembali dalam daging, dalam tubuh
yang berbeda, tetapi jiwa atau rohnya masih tetap sama. Dalam arti bahwa
Reinkarnasi adalah keyakinan bahwa setelah kematian, jiwa berpindah ke tubuh
lainnya. Lain halnya, dengan kebangkitan Kristus. Problema ini diselesaikan, bahwa anak manusia
telah bangkit dari antara orang mati, telah menunjukkan bahwa daging manusia
bisa diubah menjadi tubuh ilahi.
Pertanyaan-Pertanyaan
tentang Kebenaran
Apakah kebenaran
itu. Apakah kebenaran bersifat relative atau absolute. Klaim bahwa kebenaran
bersifat relative bisa dipahami dalam dua cara. Apakah kebenaran
bersifat relative dibandingkan ruang dan waktu (itu benar pada saat itu, tetapi
tidak pada saat sekarang), atau relative dibandingkan orang (benar bagi saya,
tetapi tidak bagi anda). Sebaliknya kebenaran Absolut menyiratkan
paling tidak dua hal adaah: (1) apa yang benar pada suatu waktu dan di suatu
tempat benar sepanjang waktu dan di semua tempat. (2). Apa yang benar bagi satu
orang, benar bagi semua orang, Kebenaran Absolut tidak berubah, kebenaran
relative berubah dari waktu ke waktu dan dari orang ke orang.
Bagaimana
kebenaran menurut Agnostikisme atau Skeptisisme (pengetahuan), Bagaimana
kebenaran menurut rasionalisme (akal manusia)
Bagaimana kebenaran menurut Fideisme (Iman), dan kebenaran menurut
Realisme (kenyataan).
Pertanyaan-Pertanyaan
yang menyangkut Moral
Sekedar
menunjukkan bahwa relativisme salah karena tidak menunjukkan nilai-nilai
Kristiani dengan benar. Penganut relativisme berkata: bahwa Ada banyak nilai
absolute. Ia menunjukkan banyak hal yang secara universal diakui sebagai hal
yang salah, seperti kekejaman terhadap anak, pemerkosaan, pembunuhan tanpa
sebab, dsb. Ia juga mencatat bahwa nilai-nilai tidak berubah banyak dari satu
budaya dengan budaya lain., tetapi sangat mirip. Seseorang dikatakan akan bermoral apabila
seseorang mengerti nilai-nilai. Apakah manusia dinilai sebagai suatu benda atau
barang, atau manusia dinilai sebagai pribadi yang mulia (ciptaan Tuhan), bahkan
manusia tidak ada nilainya sama sekali, dengan benda pun masih bernilai benda
atau barang.
Orang-orang mengungkapkan kasih dan
mengharapkan untuk dikasihi, tetapi berdasarkan kodratnya manusia bukan kasih,
Kasih manusia selalu berubah dan terbatas. Kasih adalah sesuatu yang dimiliki
manusia, tetapi bukan sifat dasar mereka. Tetapi kasih bersifat absolute, harus
ada kasih yang tidak berubah dan tidak terbatas di suatu tempat yang menjadi
sumber segala kasih lainnya. Semua
keabsolutan moral harus merupakan penentu absolute dan manusia bukan sesuatu
absolut. Jadi dari mana kasih berasal? Jawaban Kristen adalah bahwa kasih
berasal dari Allah. Sesungguhnya, Alkitab berkata: “Allah adalah kasih” (1Yoh.
4:16). Karena Allah pada dasarnya adalah kasih, Ia bisa memberkan kasih kepada
ciptaan-Nya.
Penutup
Charles Grimes,
“Mengapa Terjemahan Alkitab Berbeda?” Unit
Bahasa dan Budaya, GMIT (2007).
Pendahuluan
Booklet ini
menjelaskan, mengapa terjemahan Alkitab kedalam bahasa-bahasa daerah berbeda
dari Alkitab Terjemahan Baru (TB). Ada beberapa alasan:
Sasaran Berbeda. TB diterjemahkan oleh para teolog
untuk dipakai sendiri, mencerminkan pola pikir kuno. Sedangkan terjemahan lain
dilakukan untuk dipakai masyarakat umum, mencerminkan pola pikir zaman modern.
Ilmu Penerjemahan Alkitab telah berkembang sejak TB
diterbitkan. TB
mulai diterbitkan pada 1952 dengan prinsip dan prosedur kuno, kurang
sistematis. Alkitab terjemahan modern oleh LAI dan UBB-GMIT mengikuti prinsip
dan prosedur yang telah diakui secara Internasional dan telah ditetapkan
sebagai suatu disiplin ilmu.
Pendekatan Penerjemahan Berbeda, adalah: (1) Penerjemahan
secara harfiah: lebih mempertahankan bentuk (struktur, kata,makna) bahasa
aslinya. Kurang memperhatikan konteks masyarakat sehari-hari, pemahaman
dikorbankan. (2) Penerjemahan berdasarkan makna / penerjemahan dinamis.
Mementingkan makna dan komunikasi dengan mengorbankan struktur aslinya.
Pendekatan ini jauh lebih sulit karena harus memperhitungkan banyak faktor,
tetapi hasilnya lebih memuaskan dan dinilai lebih baik.
Pengertian terhadap bahasa asli telah berkembang. Selama beberapa
abad hanya dikenal 2 jenis bahasa Yunani: Yunani Sastra dan Yunani modern.
Sekitar tahun 1880 disadari ada bahasa Yunani Koine yang dipakai dalam sebagian
besar PB. Dilakukan peninjauan kembali dan didapatkan perbedaan-perbedaan
fungsi dan makna kata. Kamus kosa kata Yunani Koine, 8 jilid, oleh Moulton dan
Milligan (1914-1929), 17% kosa-katanya tidak ada informasinya; 800 kata belum
ditemukan di luar PB berarti belum ada informasi yang dapat diandalkan. Sejak
1976, 15 jilid baru telah diterbitkan, telah ditemukan 4000 naskah berbahasa
Yunani Koine dari kota Efesus saja. Semua kata telah memiliki informasi dan
ditemukan diluar PB.
Naskah Sumber sedikit berbeda. Sebelum th 1516
tidak ada naskah Yunani lengkap dalam satu buku. PB bahasa Yunani pertama oleh
Erasmus menggunakan hanya 6 naskah Yunani sebagai bandingan. Leijdecker
menerjemahkan Alkitab kedalam bahasa Melayu dari Alkitab bahasa Belanda dan
kumpulan naskah Yunani yang terbatas itu. TB dikerjakan berdasar PB Yunani
tradisi Erasmus dan Beza, belum sempat memanfaatkan perkembangan 100 tahun
terakhir. Sejak 1900 hingga saat ini telah ditemukan ribuan naskah PB dari abad
2, abad 4 dan 5 dan telah diteliti dan dibahas dalam debat terbuka dengan
prinsip ilmiah, dikumpul dalam PB Yunani, 1998, United Bible Societies, edisi
ke 4. Terjemahan UBB-GMIT berdasar PB Yunani UBS edisi ke 4 tersebut, sehingga
berkeyakinan kuat sangat dekat dengan tulisan asli.
Pengetahuan Alkitabiah telah jauh berkembang sejak TB
diterjemahkan. Naskah
Gulungan Laut Mati yang ditemukan 1947 menjadi informasi berharga atas
kejelasan kata, adat istiadat,peristiwa sejarah, binatang dan tumbuhan dalam Alkitab
dan dipakai sebagai sumber bagi tim UBB-GMIT. Sedangkan TB belum menggunakannya
sehingga nama binatang dan tumbuhan hanya dalam istilah Ibrani atau Yunani yang
salah tafsir.
Langkah Penerjemahan lebih lengkap. PB dikerjakan oleh
Lembaga Alkitab Belanda, oleh orang-orang Belanda dinegara Belanda. Baru 1951
melibatkan secara aktif orang Indonesia yaitu
Naipospos dan Abineno (Swellengrebel 1978) TB diserahkan ke LAI pada
1959, namun dalam prosesnya tidak menguji apakah hasil terjemaha.n dapat
dimengerti dengan baik oleh masyarakat umum. Ada banyak kata yang tidak umum
diperguinakan, misalnya apamfatir, arasy,
kirmizi, munajat, dll. Sedangkan UBB-GMIT melibatkan orang2 awam yang mewakili berbagai tingkat dan kalangan
agar hasil terjemahan bisa benar2 dimengerti oleh segala lapisan masyarakat.
Gaya Bahasa berbeda. Pilihan kata dan
susunan kalimat dalam TB sulit dipahami
oleh orang2 yang tidak berada dalam lingkungan
gereja, misalnya “preman”kota atau orang2 dari daerah yang terasing. UBB-GMIT
berjuang agar terjemahan ini memakai bahasa sehari-hari yang umum dipakai dalam
masyarakat luas, sama seperti Yunani Koine dalam PB asli. BERBEDA tidak berarti
SALAH.
Evaluasi
Seluruh Buku
Booklet ini diterbitkan olehUnit Bahasa
dan Budaya, GMIT, oleh Dr. Charles Grimes, Ph.D. untuk menjelaskan sebab-sebab
berbedanya Terjemahan Alkitab TB dan UBB_GMIT. Sekaligus menjawab kecurigaan
akan adanya kesalahan dalam salah satu terjemahan Alkitab ini. Walaupun buku
ini kecil tapi cukup focus dan jelas didalam menjawab satu sisi persoalan :
Mengapa terjemahan Alkitab bisa berbeda; maka diharapkan dengan menggunakan
contoh ke perbedaan 2 versi ini (TB dan UBB-GMIT) pembaca akan memperoleh
sebagian jawaban akan hal2 yang membuat perbedaan dalam dunia penerjemahan Alkitab.
Kesimpulan akhir dari buku ini tercetak cukup jelas, yaitu: Berbeda tidak
berarti Salah.walaupun ada juga kekurangannya disana sini.
Untuk menuliskan
buku kecil ini Dr.Charles Grimes mempelajari bahan-bahan dari cukup banyak buku
Kepustakaan. Kiranya Daftar buku2 tersebut dapat menjadi sumber yang penting
bagi yang akan meneliti lebih lanjut ..
Evaluasi
Bagian-bagian Tertentu
Alasan ke
perbedaan nomor 1 dan 3 (sasaran dan pendekatan ) tentu amat sangat wajar
terjadi. Penggunaan terjemahan LAI yang luas, sasaran masyarakat umum tentu
menggunakan susunan bahasa (Indonesia, misalnya) yang standard, baku. Sedangkan
untuk kebutuhan yang lebih khusus, suku-suku pedalaman dengan masyarakat
tertentu , budaya, alam yang spesifik maka penerjemahan berdasarkan makna lebih
dipentingkan.
Penutup
Ilmu akan terus
berkembang. Juga ilmu-ilmu yang berhubungan dan menunjang penerjemahan. Sangat dimungkinkan untuk
adanya perkembangan dalam usaha pelayanan penerjemahan Alkitab ini terus
berlanjut. Satu hal yang perlu, bahwa Alkitab adalah Firman Allah, diilhami
sendiri oleh Allah, dibaca dan dipelajari serta diaplikasikan dalam iluminasi
Roh Allah. Demikian pula kita percaya, semua usaha pelayanan penerjemahan
Alkitab haruslah dipimpin dan dikuasai oleh Roh Allah.
David L. Baker. Satu
Alkitab Dua Perjanjian. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.
EVALUASI BUKU DaVID L. Baker
“Satu Alkitab dua perjanjian”
Pembahasan dalam buku ini menjawab pertanyaan yang dibutuhkan gereja
sepanjang zaman sebagai berikut: Apakah Kekristenan yang didasarkan pada
Perjanjian Baru masih membutuhkan Perjanjian lama? Apakah PL
sebaiknya dibuang saja, karena
sudah usang atau dipelihara sebagai peninggalan sejarah? Apakah PB cukup
sebagai dasar iman Kita? Apakah PL dan PB
berbicara tentang Allah yang sama
dan keduanya merupakan satu Alkitab? Jawaban dari pertanyaan di atas
adalah: Sejak semula umat Kristen
mengakui baik PL dan PB sebagi kitab suci. Akan tetapi
tidak semua orang puas dengan
jawaban itu.
Buku ini membahas hubungan dan kesatuan
dari Alkitab PL dan PB secara lebih mendalam. Ruang Lingkup
bahasan PL dan PB
dalam Perjanjian dan sejarah penafsiran. Membahas pendekatan
Modern PB diapandang sebagai Alkitab
yang hakiki. Kedua Perjanjian sama - sama kitab suci Kristen. PL sebagai
Alkitab yang hakiki, Kedua Perjanjian
sebagai sejarah keselamatan. Membahas Tiga tema kunci adalah: tipologi, Janji dan penggenapan dan Beraneka ragam tetapi bersatu.
Hubungan teologis antara kedua
Perjanjian sebagai berikut: Pada pasal satu membahas hubungan
antara PL dan PB. PL banyak membicarakan masa depan, eskatologi para nabi, dan unsur apokaliptik tulisan-tulisan yang kemudian. Dan banyak yang digenapi dan banyak pula yang
masih belum digenapi hingga akhir PL. Sehingga
menimbulkan ketegangan mendasar yang belum terselesaikan selama masa PL. Jadi PL merupakan kitab yang belum lengkap tanpa PB. PB
menegaskan penggenapan janji dan
pengharapan dari PL. Tidak berarti PL telah usang, justru menunjukkan bahwa PB bergantung pada kerangka pemahaman PL untuk
mengerti dan mengungkapkan peristiwa
yang dicatatnya. Bukti yang ada menunjukkan bahwa Yesus menunjukkan sikap yang
positif terhadap PL bukan merupakan
temuan baru jemaat mula mula melainkan
bersumber dari Yesus sendiri.
Dalam sejarah penafsiran di gereja Marcion menolak PL sebagai berikut: Ada orang lain menekankan
pentingnya PL bagi gereja mula mula. Kebanyakan orang yakin PL PB satu kesatuan
Alkitab. Ada yang mencari perbedaannya dan persamaanya. Ada yang mengutamakan Yesus sebagai kunci
memahami PL. Penafsiran alegoris juga
menjadi populer dengan makna harfiah. Menjelang abad 14 menekankan penafsiran harfiah. Menjelang
abad 19 menerima penafsiran yang
memuaskan harus berdasarkan pada pemahaman nas-nas
Alkitab secara harfiah dalam konteks sejarah namun masa itu pemahaman teologis hampir diabaikan. Awal abad 20
penelitian mulai diperhatiak hubungan
antara dua perjanjian. Sebagai
pernyataan bertahap “progresive
revelation”. Sekitar thn 1930-1950 muncul lagi neo Marcionisme yang meremehkan
PL. Pada abad 20 pendekatan lebih
bersifat teologis. Ada empat kelompok
utama sudah dibahas pada pasal 3-6 dalam buku ini.
Pendekatan PB
Bultman pasal 3. Adanya kesamaan eksitensial dan kontras dalam dua perjanjian itu. Pada hakekatnya
Pemahaman Pl dan PB sama namun ada perbedaan dalam rincinnya. Hukum bangsa
Israel berbeda dengan kasih karunia dalam PB atau janji dalam Kristus.
PB menurut Bultman andakan PL yang
mencacat kegagalan sejarahnya kemudian menjadi satu janji. Menurut Baumgartel,
PL bersumber dari satu janji dalam Kristus. “Akulah Tuhan , Allahmu” dasarnya
janji ini ada dalam PB. Namun kedua
teolog ini mengatakan PL bukan suatu kitab
Kristen, PB barulah dianggap
sebagai kitab Kristen. Bagi orang
Kristen PL hanya memiliki makna kalau dilihat dari terang PB.
Menurut kedua teolog ini yg penting
ialah PB. Sedangkan PL hanya bersifat sekunder. Argumen Bultmann dan para teolog lain yang disebutkan pada pasal yang sama dikemukakan secara meyakinkan dan ada unsur benarnya. Pendekatan hanya melaui PB harus ditolak
kendati banyak yang dipelajari darinya.
Pendekatan
PL
PL memiliki keunggulan dan kemandirian teologis
dalam kaitannya dengan PB. Menurut
Vanruler bahwa perlunya pendekatan
alkitabiah, tentang Kristologi, Sejarah keselamatan, tipologi, janji dan
pengenapan, kesinambungan dan ketidaksinambungan. Implikasinya bagi
teologi dan jemaat. Kewibawaan PL,
penafsiran PL dan PB, teologi Alkitab.
Penutup
Buku ini salah satu buku terbaik
yang menjaga keutuhan hubungan Alkitab PL dengan PB. Menyatakan bahwa PL tidak
dapat dipisahkan dengan PB, sebab jika
terpisah maka Kristen mengalami
kesulitan memahami maksud dan rencana Allah dalam sejarah dunia secara sempurna. Sekalipun banyak orang yang memperdebatkan keutuhan PL dan PB
tetapi diyakinkan bahwa satu Kitab dua
perjanjian ini tetap tidak dapat dipisahkan.
Kesimpulan dari Evaluasi Buku-buku
Injili vs Liberal
1.
Yesus
adalah satu-satu juru selamat dan di luar Yesus tidak ada keselamatan
2.
Alkitab
adalah Firman Tuhan, dan tidak ada satu iota pun kesalahan. Alkitab adalah
benar.
3.
Alkitab
ditulis oleh Allah melalui para nabinya di mana Roh Kudus bekerja menguasai
para nabi untuk menulis kitab-kitabnya tanpa menggabaikan latar belakang setiap
kehidupan para nabi yang bersangkutan.
4. Teologi Biblika
Bahasa
Alkitab: Ibrani, Aramik,
Yunani
Septuaginta (LXX) dan
Yunani
Perjanjian Baru
Pendahuluan
Istilah
Bible berasal dari bahasa Yunani (biblia) yang berarti kitab-kitab[3] yang
diakui secara kanonikal oleh gereja Kristen.[4] Dr. Henrietta Mears dalam bukunya “What the
Bible is all about’” mengatakan “The Bible is God’s written revelation of His
will to men. Its central the is
salvation through Jesus Christ. The
Bible contains 66 books, written by 40 authors, covering a period of
apporximately 1600 years.”[5]
Word
of God[6] atau
Alkitab Perjanjian Lama berisi 39 Kitab yaitu Kejadian, Keluaran, Imamat,
Bilangan, Ulangan, Yosua, Hakim-hakim, Ruth, 1 & 2 Samuel, 1 & 2
Raja-raja, 1 & 2 Tawarikh, Ezra, Nehemia, Esther, Ayub, Mazmur, Amsal,
Pengkhotbah, Kidung Agung, Yesaya, Yermia, Ratapan, Yeheskiel, Daniel, Hosea,
Yoel, Amos, Obaja, Yunus, Mikha, Nahum, Habakuk, Zefanya, Hagai, Zakharia,
Maleakhi. Alkitab Perjanjian Lama versi Indonesia
(LAI, 2007) masih tetap mempertahankan susunan kitab sebagaimana diakui oleh
orang Kristen pada umumnya.
Jumlah
dan susunan Kitab-kitab PL di atas memang menurut para ahli Alkitab Perjanjian
Lama berbeda dengan Alkitab PL kuno orang Ibrani. Mengapa?
F.F. Bruce, dalam bukunya “The Canon of Scripture” berkata bahwa “the
books of the Hebrew are traditionally twenty-four in number, arranged in three
devisions: torah, Nebiim, Ketubim…”[7]
Kitab-kitab
Perjanjian Lama menurut Mears ditulis dalam beberapa bahasa seperti kutiban
berikut ini “The Old Testament was written mostly in Hebrew ( a few short
passages in Aramaik). About 100 years
before the Christian Era the entire Old testament was translated into Greek.”[8]
Perjanjian
Baru berisi 27 Kitab dan Surat yang susunan nya sebagai berikut: Matius, Markus, Lukas, Yohanes, Kisah Para
Rasul, Roma, 1 & 2 Korentus, Galatia, Epesus, Pilipi, Kolose, 1 & 2
Tesalonika, 1 & 2 Timotius, Titus, Filemon, Ibrani, Yakobus, 1 & 2
Petrus, 1, 2 & 3 Yohanes, Yudas, dan Wahyu.
Alkitab
Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani seperti ungkapan Mears “The New
Testament was written in the Greek Language,”[9] sebab
bahasa Yunani merupakan bahasa percakapan di dunia Helenistik. Dalam Perjanjian Baru terdapat beberapa ungkapan
atau kalimat yang berasal dari bahasa yang bukan Yunani, sebagaimana ungkapan
Steven Barabas, seorang professor Theology
di Wheaton College, sebagai berikut: “except for e few words and sentences, the
NT was composed in Greek, the language of ordinary conversation in the
Hellenistic world.”[10]
Penulisan Alkitab Perjanjian Lama
Sejarah
Penulisan Ibrani
Mempelajari
penulisan Alkitab dalam bahasa Ibrani merupakan sesuatu yang sangat penting,
karena Alkitab Perjanjian Lama sering diperdebatkan dalam berbagai penelitian
Perjanjian Lama. Terutama dalam bidang
penelitian kritik teks dan kritik historis dalam penulisan Alkitab PL, sampai
pada pengkanonan PL.
R.K. Harrison, seorang profesor
Perjanjian Lama di Wycliffe College dan di Universitas Toronto, mengutip B.J.
Robert dalam bukunya “The OT Text and versions,” mengatakan “study of the
Hebrew text in its own right is a matter of great importance, since the
judgments that are made by scholars in this field are basic to all others areas
of Old Testament investigation. As a
discipline textual criticism is independent of the history and early growth of
the Scriptural writings, as well as of the formation of the canon.”[11]
Tujuan akhir dari kritik teks adalah
menemukan kembali teks Alkitab yang mendekati teks yang asli. Karena secara objektif kita tak dapat
menemukan teks Alkitab Perjanjian Lama
yang
asli. Semua copy yang ada pada kita
merupakan suatu warisan dari abad datang kepada abad. Namun demikian, kita tak dapat meragukan
kebenaran Alkitab Perjanjian lama walaupun teks aslinya sudah hilang atau tak
pernah lagi kita ketahui.[12]
Ada penemuan arkeology, seperti
dikembangkan oleh Wellhausen pada masanya, yang mengatakan bahwa zaman orang
Ibrani kuno, mereka belum terbiasa dengan menulis. Maksudnya, Penulisan
Perjanjian Lama belum ada sampai awal para Bapa-Bapa PL. Di Timur Tengah kuno pada tahun 3100 BC
penulisan dimulai dan dikembangkan, dan zaman itu bahasa Semitik yang
digunakan.
Sekitar tahun 900-612 BC digunakan
bahasa Aramaik dalam penulisan dan hal ini terjadi pada zaman neo-Assyrian dan
di tahun 1500 BC daerah Syra Palestina menggunakan alpabet Mesir. Di tahun 1000 BC tulisan dalam bahasa Ibrani
dikembangkan, menurut penanggalan Gezer.
Teks-teks awal sekita abad 10 BC, zaman pemerintahan Jerobeam II, sudah
dikembankan penulisan para imam yang profesional. Tulisan-tulisan zaman itu ada yang berbahasa
Aramaik, Moabite, dan Ibrani. Dan secara formal nanti tahun 30 BC – 7- AD
pada zaman pemerintahan Herodian, penulisan dalam bahasa Ibrani dikembangkan
dengan luar biasa dan semua dokumen resmi dalam bahasa Ibrani.[13]
Bahasa
Penulisan PL
Bahasa
Ibrani
Memperhatikan
sejarah singkat penulisan Alkitab Perjanjian Lama seperti diuraikan di atas,
maka Steve menulis bahwa “most of the Old Testament was written in Hebrew”[14] Para penulis kitab dalam Alkitab diilhami
oleh Roh Kudus, dengan kata lain “pengaruh adikodrati Roh Kudus atas para
penulis Alkitab sehingga membuat hasil karya mereka menjadi suatu catatan yang
akurat tentang penyataan atau yang mengakibatkan karya mereka benar-benar
merupakan Firman Allah.”[15]
Ada
beberapa naskah yang berasal dari Qumran sesuai dengan penemuan naskah tua,
terlebih penemuan para gembala suku Ta’amire di mana naskah-naskah tersebut ada
dalam tempayan.[17]
Ada
scroll yang ditemukan di Qumran - Q3 yang dikenal dengan manuscript di Museum
Palestina sebagai naskah dalam bahasa Ibrani yang kuno.[18]
Ada
beberapa teks Alkitab Ibrani yang dianggap versi Alkitab kuno
yang
dijadikan patokan untuk versi Alkitab Perjanjian Lama yang beredar sampai
sekarang. Sebagai contoh ada penggalan
codex B (codex Vaticanus) yang berasal dari abad IV yang tersimpan di
Perpustakaan Vatican.[19]
Codex Sinaiticus, yang diduga
berasal dari abad keempat, disimpan di Museum Britis.[20]
Ada juga codex Alexandrinus (codex
A) di duga berasal dari abad kelima.
Dipersembahkan kepada Karel I oleh Patriarkh Konstantinopel pada tahun
1628 dan sekarang berada di Museum Britis.[21]
Bahasa Aramaik
Perjanjian
Lama ada bagian yang ditulis dalam bahasa Aramaik, seperti yang ditemukan dalam
Goa XI yaitu terjemahan kitab Ayub dalam bahasa Aram, contoh Ayub 42:9-11.[22]
Tuhan
Yesus juga menggunakan bahasa Aramik seperti dalam Yoh.1:42, Mark. 7:34,
Mat.27:46. Bahasa Aram juga muncul dalam
ungkapan-ungkapan keagamaan di awal gereja, seperti: Abba (Roma.8:15), Maranatha (1 Kor.16:22),
sehingga dapat disimpulkan bahwa gereja Kristus yang mula-mula dalam Perjanjian
baru berbicara dalam bahasa Aram, sebab bahasa Ibrani kuno yang erat kaitannya
dengan bahasa Aram tidak digunakan lagi sejak zaman Ezra, kecuali di antara
para rabi yang mempelajari dan menggunakannya sebagai media pemikiran teologis.[24]
Penulisan
Alkitab Perjanjian Baru
Apabila kita menoleh sejarah di Palestina
dapat terlihat bahwa mereka mengenal berbagai bahasa dalam masyarakat saat itu,
seperti: bahasa Ibrani, Yunani, dan
Latin, bandingkan Yohanes 19:20.
Masyarakat umum nampaknya mengenal tahasa tersebut sehingga tertulis
pada bagian atas kepala Yesus di kayu salib, alasannya bahwa Palestina dianggap
daerah kosmopolitan saat itu.[25]
Bahasa Yunani Septuaginta.
Bahasa Latin merupakan bahasa resmi
Pemerintah Roma saat itu dan dikenal oleh para Pemimpin Roma bersama
tentaranya, dan beberapa orang Yahudi menggunakannya dalam percakapan
sehari-hari dan salah satu contoh bahasa Latin di Perjanjian Baru adalah istilah
“legion.” Bahasa Yunani digunakan secara
umum di Palestina, lebih khusus bagian Utara daerah Galilea sebab penduduk
kebanyakan bangsa Yunani. Dan bahasa
ketiga yang digunakan secara umum oleh masyarakat di Palestina saat itu adalah
bahasa Aramik, sebagai bahasa Ibu orang Yahudi.
Para guru dan ahli Kitab orang Yahudi terus menggunakan bahasa tersebut
takkala mereka mempelajari Perjanjian Lama.[26]
Pada sekitar tahun 250-150 BC Perjanjian
Lama berbahasa Ibrani
diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani di
kota Alexandria Mesir, sebab bahasa
Yunani
merupakan bahasa umum masyarakat pada waktu itu, dan terjemahan tersebut
dinamakan Septuaginta (berarti Tujuh Puluh) sehingga ajaran Perjanjian lama
diterima oleh semua orang. Satu bahasa,
satu dunia. Itulah ambisi pemuda
Alexander, putra Raja Philip dari Makedonia 300 tahun sebelum Kristus. Untuk mengokohkan kemenangannya dia
menetapkan bahasa Yunani sebagai bahasa sehari-hari bersama kebudayaannya.[27]
Bahasa Yunani Perjanjian Baru
Peristiwa-peristiwa
abad III BC sangat berpengaruh pada kekristenan serta penulisan Perjanjian
Baru. Sebagian besar klhotbah-khotbah
para Rasul Kristus disampaikan dalam bahasa Yunani dan buku-buku Perjanjian
baru ditulis dalam bahasa Yunan, sebab bahasa tersebut digunakan secara umum
zaman itu.[28]
Tenney
berkata bahwa jumlah orang Yahudi di negara Romawi baik dari golongan Hebrais
maupun golongan Helenis mencapai sekitar empat setengah juta.
Namun
nampaknya kaum Helenis sedikti banyak jumlah pengikutnya dibanding pengikut
Hebrais yang terbuka kepada Perjanjian Lama yang menggunakan bahasa Yunani
(Septuaginta). Bahasa Yunani yang
digunakan saat itu kebanyakan adalah
bahasa
Yunani koine yang disederhanakan agar dimengerti kebanyakan masyarakat zaman
itu. Pada zaman penulisan Perjanjian
Baru bahasa Yunani sungguh sangat meluas dibawah kepemimpinan Romawi.[29] Demikian juga Mounce berkata bahwa bahasa
Yunani menyebar luas di seluruh masyarakat di selruuh dunia zaman itu dan
memang bahasa Yunani koine digunakan sebab katanya “koine means common and
describes the common, everyday for of the language, used by every day people.”[30]
Perjanjian Baru merupakan bagian kedua
dari Kitab Suci kita, berasal dari
kata
Latin Novum tetamentum, yang merupakan terjemahan dari bahasa
Yunani
He Kaine Diatheke. Kata-kata ini
biasanya menyatakan suatu pesan atau wasiat terakhir atau berarti suatu
ketetapan yang telah dibuat oleh suatu pihak yang mungkin akan diterima atau
ditolak oleh pihak lain, namun tidak dapat diubah oleh pihak lain tersebut, dan
apabila diterima, akan mengikast kedua belah pihak, sehingga Testamentum
diingriskan Testament.[31]
Istilah covenant berarti perjanjian
– menyetujui, atau bersama-sama. Artinya
ada suatu perjanjian, ketetapan atau kontrak yang melibatkan persetujuan kedua
belah pihak. Istilah tersebut terlihat
dalam Kitab keluaran 24:1-8 di mana Allah membuat perjanjian dengan UmatNya dan
kata tersebut digunakan dalam bahasa Yunai diatheke yang berarti perjanjian.
Luk.22:14-20. Jadi Perjanjian Baru
adalah suatu catatan mengenai sifat dan perwujudan dari kesepakatan yang baru
antara Allah dan manusia melalui Kristus dan perjanjian tersebut bila diterima
oleh manusia, baik manusia bersama Allah sama-sama terikat memenuhi
kewajibannya dan tuntutannya.[32]
Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa
Yunani, yang merupakan bahasa umum masyarakat dan digunakan sehari-hari dalam
dunia Helenistik; walaupu dapat dikatakan bahwa bahasa Yunani Perjanjian baru
yang klasik sangat berbeda dengan Perjanjian Lama (Septuaginta) yang merupakan
terjemahan PL ke dalam PB oleh Tujuh Puluh ahli.[33]
Perjanjian Baru terdiri dari 27 buku
yang diilhamkan oleh Allah dan 27 kitab Perjanjian Baru yang berbahasa Yunani
tersebut adalah Empat Injil: Matius,
markus, Lukas, dan Yohanesm Kisah Para Rasul, ada tujuh surat umum: Yakub, 1 dan 2 Petrus, 1,2,3 Yohanes, dan
Yudas; tiga belas surat Paulus; Ibrani, 1,2 Timotius dan Titus, Pilemon dan Wahyu
(sementara menurut Athanasius ada 14 surat Paulus termasuk Ibrani).[34]
Proses
menjadi Bahan Alkitab dalam Gambar
5. Skopa Kajian Dasar-dasar Biblika
Power Point:
Skopa Kajian
biblika
Alkitab
Injil-injil Sesat
Kitab Ibrani dalam
Tanakh
Metode PL + Metode PL. enns
6. Metodologi Biblika
Walter C. Kaiser,
JR. Toward an Exegetical Theology:
Biblical Exegesis for Preaching and Teaching. Grand Rapids: Baker Book House, 1994.
EVALUASI BUKU
TOWARD AN EXEGETICAL
THEOLOGY
BIBLICAL EXEGESIS
FOR PREACHING AND TEACHING
Walter C. Kaiser,
JR. Baker Book House, Grand Rapids, Michingan. 1994
Buku ini terdiri
dari 267 halaman yang dibagi dalam 4 bagian (part) adalah: Part 1: Introduction
dengan contents nya, current crises in Exegetical, The definition and History
of Exegesis. Part 2: Contextual Analysis, Syntactical Analysis,
Verbal Analysis, theological Analysis, Homeletical Analysis, Illustration of
Syntactical and Homeletical Analysis. Part 3: Special Issues, dengan contents, The Use of Prophecy in Expository
Preaching. The Use of Narrative in Expository Preaching, The Use of Poetry in
Expository Preaching. Part 4: Conclusion.
The Exegete atau Pastor and the Power
of God, Bibliography.
Dalam teologi
terdapat juga permasalahan dalam hal eksegesa. “Already we have been warned
about crises in systematic theology and Biblical theology, and about ignorance
of the contensts of Scripture”.[35]
Current
Crises in Exegetical Theology
In a world that ha
been treated almost daily toone crisis after another in almost every aspect of
its life, it will come as no shock to hav another crisis announced: a crisis in
exegetical Theology. Already we have been warned about crises in systematic
theology, and about ignorance of the contents of Scripture.
A gap of crisis
proportions exists between the steps generally outlined in most seminary or
Biblical trainning classes in exegesis and the hard realities most pastors face
every week as they prepare their sermons.`
To be sure, the
church has had more than her rightful share of
“Meditation” or “topical sermon” which are more or less lossely
connected with a Biblical pharase, clause, sentence, verse or scattered
assortment thereof.
It is time either
rectify the situation with a good theory of exegesis and a corresponding
announcement of a series af valid stepsin route of moving from exegesis to
preaching.
The
Crisis in Hermeneutics
For at the heart
of much of the debate here is the problem of how the interpreter can relate
“what the text meant in its historical context” when the issues put ii these
terms, there can be no denying the
fact that this is the very hiatus which
is troubling interpreters in all the
The hummanities;
it is not an issues unique to the Biblical interpreter.
The issues nmust
be put bluntly; Is the meaning of a text to be defined solely in terms of the
verbal meaning of that text as those words were use by theScriptural author ?
Or should the meaning of a text be partly understood in terms of” what it now
means too me” the reader and interpreter.
The
Multiple “Meanings” of the Interpreter
One way to break
this Gordian knot is to fall back on the formula “ Interpreters often can
understand authors better than they understand themselves. Thus in the formula
under consideran the word authors should
be understood as the “works” composed.
A text is
understand able when the author has expressed him self in clear and sensible
way. “ Better Understanding” is not different from the writer’s meaning; for at
the points at which it improve or criticizes a work of a writer.
Significance will
need to be a secondary and subjective determiniation which will derive
legitimacy only to the extent that it as already accurately assessed the
authors single meaning in tht text. To the basic meaning the interpreter and
reader may then bring their questions, critism, and suggested modern analog.
The
Crisis in Homiletics
One more crisis
must be faced before we begin to suggest some solutions of our own: the crisis
in the pulpit. For larg segments of the christian it is a truism ta say that
Biblical exposition has become a lost art in contemporary preaching.
How could
Christian interpreter keep from avoiding
those passages, not only in the Old Testament, but also in the New Testament, but also in the Old tstament, that appear to be so very
specifically addressed and date? There seems to be no way to esape this
problem.
The
definitiion and History of Exegesis
It is difficult to
find a good working dfinition of Biblical exegesis ven though our generation
has at its finger tips a wide assortmen of Biblical handbooks, dictionaries,
and journal articles.
The Definition of Exegesis
The term is
derrived from a transliteration of the Greek word έξήγησις, meaning a
“narration” or “ explanation” The Greek
verbal form έξηγέομαι, which literally rendered means “ to lead out of”. In the
Septuagint έξηγέομαι,mainly translates the Hebrew verb סָפֵר which in the intesive steam means “ to
recount, tell, or declare” in the New Testament this verb occurs read that it
is the “ only Son, who is in the bosom of the Father who as exegeted .
The Practice of Exegesis
The Pastors, theological, student, andserious interpreter of Scripture are
shocked tolearn that virtualy no one has mapped
out the actual route that the interpreter is to take as he enters the
practice of exegesis.
The begin with, let it be state as a sort of first principle that to
preparation for preaching is always a movement which must begin with the text
of Scripture and have as its goal the
proclamation of that Word in succh a way taht it can be heard with all its
poignone iota of its original normativeness.
In the tehologiacal student is being taught no more expertise in the
languanges than this, then it would be better to give an introduction lecture
on the basic nature of the verb structure in Greek an Hebrew with some help in
using a Greek or Hebrew analytical lexicon which conveniently parses every verb
in an alphabetical listing. In this way, the student would be able to parse
every verb instantaneously.
The Apostolic Age
By the Apostolic Age, we mean generally the first century of the Christian
era. What we havein mind here basiccally the New Testament writter’suse of the
Old testament. But it is also necessary to say something about sectarian
exegesis, such as that of the essesnes from the Qumran Community, and wh.at may
be broadly called Rabbinic exegesis.
The principals systemof hermeneutic were developed in Rabbinic literature:
the famous seven basic rules of Hillel (c. 30 B.C – A.D. 9) etc.
The Patristic Age
The history of exegesis in the early Church is basically a histry af
astuggle between the two school of Alexandria and Antioch. But Even before the
tension took these classic shapes, the early Church fathers exebited a decided
tendendcy toeard the allegorization of Scripture. For example, Irenaus, a
student of Polycarp, who in turn was a
disciple of the apostle John, wrote in
A.D. 185 in his work Against Heresis
(V. 8. 4) that the Old Testament description of clean and unclean animals is
symbolic of the classes of mankind
The Reformation Age
Out of the Renaissance with its new emphasis on a return to the original
languanges of Scripture come Johann reuchlin’s Hebrew grammar and lexicon and Erasmus’s first critical
edtion of the Greek New Testament (A.D. 1516). In part they set the groundwork for the arrival of Marthin Luther and John
Calvin.
Chapter 3
THE SYNTACTICAL THEOLOGICAL METHOD
Contextual Analysis
Where must the exegete begin ? hal he begin with the most intrecate and
smallest components such as phonemes, morphenes, words, and the gradually work
up to pharases, clauses, sentences, paragraphs, sectionsm and books ? Or is the
reverse order to be followed?
Godd exegetikal procedurs dictate that the details be viewed in light of
the total tcontext.
Sectional Contex
The word ontext is composed of two Latin elements, Con (Together) Textus
(Woven). Hence when we speak
Of the ontext, we are talking about
te connection of thought that runs through a passage, those links that weave in
into one piece.
The exegete must be feel that his
primary obligation is t find thisthread of thought which run like a life stream
through the smaller and larger parts of every passage.
The Book Context
At this point it should be possible to identify the overall purpose andplan
of the book. The parts shuld up to the total work.
Book where the overall purpose must be ascertained by the contents and the
transitions from section to section and paragraph to paragraph, our task is
much more difficult.
The Canonical Context
Lately there has been in the Church a whole new emphasis on the canon. One
name stands out beyond all ther recent comentators in this new emphasis on
canon.
Canonical analysis, as he sees it, must itself be focus on the text-in the
final form which now lies before the Church. Thus the present shape of the
text, apart from what he would still regard as the legitimate avenues of
historyo, and traditio-criticism, has its own kind of integrity. Must explain
the Bible that presently is in the hands of the Church. To make sure that no
one confuses the approach of canonical analysis with several other recent
critical method.
The Immediate Context.
There is one more aspect that must be considered here, and that is
paragraph analysis (or in poetry, strophe analysis) within the section
The investigation of the context or
f a paragraph can be as illuminating as discovery of how the various section of
a book relate.
To
one another. Without the benefit of knowing the connection between the
paragraph under consideration and setion of
the book in which it is found, the exegete will often be at sea in
interpreting of passage. The primary work of identifying context is most
important.
Analytical Analysis
Exegetes have generally adopted his term as being deskriptive of their own
approach to the exegetical task: the grammatico-historical method of exegesis.
The term grammatico however, is somewhat misleading since we ussulay mean
by “grammatical” the arrangement of words and contruction of sentences.
The Literary Type
Before in depth work on the paragraph can begin (which after all is the
centr of our concern in syntactical analysis) a preliminary step ust by taken.
It is necessary to decide what type of literary composition is before us.
There are five basic literary forms used by the Biblical writers- may be
allowed for the moment to aint with a wide brush and to use a somewhat sweeping
generalization.
These typemay be listed as 1. Prose, 2. Poetry, 3. Narrative, 4. Wisdom,
and 5. Apocalyptic.
The Paragraph
Once the exegete has determined the natural divisions and the literary type
of the individual book, it is time to get down to examining the passage that
has been selected for exegeting.
How shall we define and delimit the paragraph ? most of the criteria
resemble those for marking off a section.
Thereare three types of clauses 1. Independent,main,or principal clause. 2.
Coordinate clause. 3. Dependent subordinate clause.
The Syntactical Display
In order for the exegete to study a paragraph in terms of both its internal
operation and external interrations,we are advocating the use of a syntactical
display or “ block diagram”
The theme proportion is brought out t the left-han margin. A bock diagram
arranges all the material, regardless
Evaluasi
secara Umum
Buku ini
mengkritisi para teolog dan gembala sidang dalam menyampaikan khotbah yang
didasarkan pada ekesegese yang tidak sesuai. “A gap of crises proportions exist
between the steps generally outlined in most seminary or biblical trainning classes in exegesis and the
hard realities most pastors face every week as they prepare their sermons.[36] dan ini disebut dengan
“The crisis in Hermeneutic, Homelietic”. Hal ini telah menjadi perdebatan yang
kuat sejak dahulu.[37] dengan demikian,
dimunculkan definisi dan sejarah dari eksegese dan bagaimana membentuk sebuah
kalimat teologi melalui metode-metode yang benar.
Evaluasi
Bagian-bagian Tertentu
Walter C. Kaiser,
JR dalam bukunya Toward An Exegetical
Theological Biblical Exegesis for Preaching and Teaching dirangkum secara
sistematik dengan pembahasan terkosentrasi dalam 4 bagian besar (part) yaitu
Introduction, The Syntactical Theological Method, Special Issues dan yang
terakhir Conclusionnya.
Sebuah komentar
dari penulis buku yang menjadi dasar tulisannya dikatakan “ a gap exist in the
academic preparation of the ministry. Its the gap between the study of the
biblical text and actual delivery of
messages to God’s people.”
Penutup
Harianto GP, Eksegese PL. Surabaya: STT Bethany, 2015.
Robert B.
Chisholm, Jr., From Exegesis to
Exposition: A Practical Guide to Using Biblical Hebrew. Grand Rapids: Baker
Books, 1998.
Robert
B. Chisholm Jr. (Th.D., Dallas Theological Seminary) is professor of Old
Testament studies at Dallas Theological Seminary. He wrote Interpreting the
Minor Prophets and contributed to the Dictionary of Biblical Imagery and the
New International Dictionary of Old Testament Theology and Exegesis.
Many seminarians
suspect that their courses in Hebrew have little relevance to their current and
future ministry. However, in "From Exegesis to Exposition," Chisholm
inspires and instructs students and pastors to use the Hebrew Bible
appropriately in their preaching and teaching, showing seminarians and
seminary-trained pastors how to "preach accurate, informative, and
exciting sermons, rooted in the Hebrew text." (59)
David Alan Black
& David S. Dockery. (eds). Interpreting The New Testament. Nashville:
Broadman & Holman Publishers, 2001.
The editors of
this book contend that one of the world's best-known and most influential
bodies of literature is one of the least understood. This is due both to the
proliferation of modern hermeneutical approaches and to the lack of
understanding of the historical backgrounds of the New Testament. In their
sequel to their earlier work, New Testament Criticism and Interpretation, Black
and Dockery present essays on current issues and methods with the purpose of
enhancing New Testament interpretation, teaching, and preaching, and providing
a useful means of learning what the New Testament is all about
David Alan Black currently serves
as Professor of New Testament and Greek at Southeastern Baptist Theological Seminary
in Wake Forest, North Carolina. He has written or edited over 100 essays and 14
books, including Learn to Read New Testament Greek. He and his wife and sons
live on a ranch near Oxford, North Carolina.
David S. Dockery is President and
Professor of Christian Studies, Union University. He has written and
contributed to many articles and books and is the founding editor of the
Criswell Theological Review. He and his family currently reside in Jackson,
Tennessee.
Peter Cotterell & Max Turner. Linguistics & Biblical Interpretation. United State of America: InterVarsity Press,
1989.
EVALUASI BUKU Peter Cotterell & Max Turner
“ Linguistics & Biblical Interpretation”
Pendahuluan
Peter Riddell
(Ph.D., Australian National University) is Director of the Centre for Islamic
Studies and Muslim-Christian Relations at London Bible College. He is the author
or editor of several books, including Islam: Essays on Scripture, Thought, and
Society. Peter Cotterell (Ph.D., London University) is Associate Senior
lecturer at the Center for Islamic Studies. He has lectured for 19 years at
London Bible College, where he also served as the principal.
Max Turner writes
urban fantasy books and is also a science and physical education teacher. His
first novel, Night Runner, was a Red Maple Award honour book and a finalist for
the Sunburst Award. Its sequel, End of Days, was shortlisted for the Ottawa
Book Award. He lives in Ottawa with his wife and three children.
In this introduction to the use of linguistics in
biblical interpretation, Peter Cotterell and Max Turner focus on the concept of
meaning, the significance of author, text and reader, and the use of discourse
analysis.
Dalam permulaan di
bab pertama Cotterell & Turner membahas tentang bahasa, ilmu bahasa dan
penafsiran Alkitabiah. Bahasa manusia
adalah komplek dan luas yang dipakai dalam komunikasi. Dalam hubungan dengan
komunikasi, ada yang disbeut Semiotics
yaitu studi yang berhubungan dengan
signal atau tanda dalam komunikasi.
Dalam berkomunikasi unsur yang penting adalah bahasa, dan dalam
penggunaan bahasa ada penekanan-penekanan tertentu, baik melalui kata-kata
maupun melalui sikap/nada suara. Oleh karena itu seorang penafsir selain
memperhatikan konteks sosio kultural juga harus memperhatikan studi tentang
arti kata dan Lexical Semantics.
Cotterell & Turner selanjutnya
menjelaskan tentang bahasa yang bersifat universal dibuktikan dengan beberapa
argumen diantaranya tentang penggunaan bahasa oleh setiap komunitas tertentu
yang hampir sama misalnya ketika bertanya, ada kesamaan-kesamaan tertentu dalam
setiap bahasa khususnya dari segi nada. Selain itu adanya minimal 2 jenis kata
yang sama di setiap bahasa yaitu kata kerja dan kata benda yang dipakai dalam
komunikasi di setiap bahasa di dunia.
Pada bagian akhir pembahasan di bab
pertama, Cotterell & Turner membahas tentang linguistik dan Alkitab. Adakah
sesuatu yang dapat dilakukan linguistik dalam penafsiran Alkitab? Yang jelas linguistik memberi kontribusi
dalam penafsiran Alkitab, seperti dengan adanya buku A Greek Lexicon of the New Testament and Early Literature. Selain
itu kegunaan linguistik yang lebih awal dalam penafsiran Alkitab adalah dalam
Metode Analisa Teks. Dalam metode ini linguistik mutlak diperlukan.
Pada bab kedua Cotterell &
Turner membahas tentang Semantik dan Hermeneutik. Semantik adalah bagian dari
linguistik yang mengkhususkan pada arti kata. Karena itu penggunaan semantik
dalam penafsiran adalah untuk menemukan arti kata-kata yang diapakai dalam
Alkitab, karena setiap kata yang diapakai dapat memiliki arti yang berbeda.
Disini pentingnya menemukan arti dari setiap teks. Cotterell & Turner
memberikan beberapa hal tentang arti dari sebuah teks diantaranya arti dari pengarang, memang ini
subyektif karena arti yang sebenarnya hanya pengarangnya yang tahu. Misalnya kata-kata Tuhan Yesus dalam Yohanes
7:34 “Kamu akan mencari Aku, tetapi tidak akan bertemu dengan Aku, sebab kamu
tidak dapat datang ke tempat di mana Aku berada” Apabila hanya dibaca sepintas ayat ini akan
menimbulkan berbagai penafsiran, tetapi apabila dilhat konteks pada waktu itu
setidaknya akan diketahui maksud Tuhan Yesus. Arti Teks, Teks-teks Alkitab adalah teks zaman dahulu dan ada
beberapa kata yang tidak dipakai lagi pada masa kini, maka perlu sekali untuk
mngetahui arti teks pada waktu teks tersebut ditulis. Menetukan arti yang tepat, karena satu kata dapat berarti lebih
dari satu, seperti adanya perbedaan terjemahan dalam beberapa versi Alkitab,
arti yang tepat harus di pilih. Denotasi dan konotasi. Denotasi dapat dikatakan
sebagai arti harafiah, sedangkan konotasi arti secara umum, misalnya penggunaan
gaya bahasa antophomorfis. Arti dan
signifikansi dimana kata-kata yang dipakai dalam perumpamaan memiliki arti
yang berbeda harus ditafsirkan sebagai perumpamaan. Karena teks dapat memiliki
beberapa arti yang berbeda maka tugas eksegesis adalah menemukan arti yang
paling tepat.
Dalam bab ketiga Cotterell &
Turner membahas tentang Dimensions of the Meaning of a Discourse.
Yang dimaksudkan disini adalah menemukan arti yang dimaksud oleh penulis
karangan. Pembahasan dimulai dengan arti
sebagai pengertian (meaning as sense),
dimana pengertian kata, pengertian paragraf, dan pengertian dari pengarang
harus diketahui dengan benar. Kedua, meaning
and reference, dimana untuk mengetahui arti yang tepat perlu
dipertimbangakan referensinya. Ketiga, Meaning
as Significance and Presupposition Pools. Sebuah kalimat dapat mempunyai
signifikansi yang berbeda bagi orang yang berbeda. Karena alasan ini perlu
dicari pengertian teks menurut kelompok tertentu. Setiap kelompok punya presupposisi tertentu
dalam mengartikan sebuah pernyataan kalimat. Keempat, Meaning as Significance and Genre Consideration. Yang perlu
dipertimbangkan disini dalam mengartikan sebuah teks adalah genrenya, jenis
karangannya. Mazmur misalnya tidak dapat ditafsirkan dengan cara yang sama
ketika menafsirkan Kisah Rasul karena genrenya berbeda. Kelima, Meaning as ‘significance’ and Exegetial Task.
Karena setiap teks dapat mempunyai signifikansi yang berbeda, disinilah
diperlukan tugas eksegesis supaya pengertian setiap bagian dalam Alkitab dapat
ditemukan dengan benar.
Dalam bab keempat Cotterell &
Turner membahas tentang penggunaan dan penyalahgunaan Studi Kata dalam Teologi.
Pembahasan dengan dimulainya penggunaan studi kata Theologica Lexiconon New Testament dari Cremer sampai dengan TDNT dari Kittel. Selanjutnya Cotterell
& Turner membahas tentang James Barr dan Kritik Pendekatan Studi Kata
terhadap Teologi. Beberapa Kritikan Barr diantaranya, pertama, Barr memberi
kritikan terhadap teori yang mengatakan bahwa struktur bahasa Ibrani adalah
suatu ready indek dari pemikiran
Ibrani. Salah satu contoh yang diberikan Barr adalah adanya kekontrasan antara
bahasa Yunani yang bersifat statis, abstrak, analitis dan antroformologis
dualistis (manusia terdiri dari tubuh dan jiwa) dan bahasa Ibrani yang bersifat
dinamis, konkrit, sintetik dan antroformologis monis. Kritikan selanjutnya dari
Barr adalah tentang etymologi sebagai arti kata yang sudah pasti. Kritikan ini diberikan karena secara historis
arti kata bisa terjadi perubahan, tidak konstan. Kritikan ketiga yang diberikan
Barr adalah kritikan terhadap Kittel Dictionary. Menurut Barr pertama, perlu dibedakan antara
konsep, lambang dan signifikansi, misalnya konsep “anak” lambangnya adalah
“kata anak” dan signifikasinya adalah “anak real yang ada di dunia”. Kedua adanya pebedaan antara “kata” “arti”
“konsep” dan “signifikasi”
Bagian selanjutnya Cotterell &
Turner menyampaikan tanggapan dari beberapa orang terhadap kritikan Barr.
Pertama tanggapan dari David Hill yang
dapat menerima konsep Barr bahwa arti kata bukan hanya arti secara Semantik
tetapi konteks kalimat juga menentukan arti dari sebuah kata. Tetapi ada perbedaan konsep dimana bagi Barr
ada berbagai variasi hubungan antara kata, konsep dan konteks. Tanggapan kedua
adalah dari editor Kittel Dictionary, dimana kesimpulannya menerima sebagian
pendapat Barr dan memasukkan pendapat Barr dalam edisi berikutnya.
Dalam bab kelima Cotterell &
Turner membahas tentang The Grammar of
Word: Lexical Semantics. Dalam
pendahuluannya terhadap bab ini memberi penjelasan tentang beberapa hal
diantaranya: Perubahan bahasa yang seringkali memberi arti baru bagi sebuah
kata, bahaya dari Etimologisasi dimana pengertian kata secara etimologi tidak
dapat menjadi patokan baku karena seringkali terjadi perubahan-perubahan arti,
kata-kata dan multiplikasi arti dimana satu kata tidak hanya berarti satu saja
tetapi bisa berarti lebih dari satu.
Pembahasan lainnya adalah tentang
analisa terhadap arti yang berbeda dari sebuah kata, salah satunya perbedaan arti
kata menurut leksikon dengan penggunaan kata-kata secara praktis. Selanjutnya tentang klarifikasi tentang apa
yang kita maksudkan melalui arti sebuah kata. Yang dimaksudkan disini memberi
pengertian “arti” dari dua pendekatan berbeda yaitu pendekatan “concept Oriental” (pendekatan
tradisionil) dan pendekatan “Field
Oriental” (arti kata yang dihubungkan dengan kata-kata lain). Selanjutnya
tentang tipe-tipe hubungan arti antara kata-kata, dimana secara umum ada dua
relasi yaitu substitutional
(paradigmatik) dan Collocational
(syntagmatik). Pembahasan terahir dalam bab ini adalah tentang konteks dan
pilihan arti (menentukan arti). Untuk kata-kata yang memiliki beberapa arti,
dalam menentukan atau memilih arti yang tepat perlu diperhatikan konteksnya. Dengan konteks memfokuskan arti dari sebuah
kata.
Pembahasan dalam bab keenam adalah
tentang Kalimat dan Kelompok Kalimat. Dalam komunikasi ada aturan atau
ikatan-ikatan tertentu yang dipakai, demikian juga dalam sebuah kalimat, ada
aturan yang secara umum dipakai, salah satunya kalimat harus lengkap sehingga
dapat dimengerti. Secara klasifikasi kalimat dapat dikelompokkan dalam dua
kelompok yaitu pertama, Kalimat produktif dan kalimat non produktif, kedua,
kalimat sederhana dan kalimat luas. Dalam sebuah kalimat juga ada kalimat inti
seperti misalnya Efeus 1:16 “aku pun tidak berhenti mengucap syukur karena
kamu” kalimat inti dari ayat ini adalah “Aku mengucap syukur”.
Pembahasan kedua
dalam bab keenam adalah kelompok atau kumpulan kalimat. Dalam sebuah karangan
terdiri dari beberapa bagian besar dan kecil yang dapat berdiri sendiri, yaitu
kalimat. Kalimat demi kalimat membentuk sebuah paragraf, dimana biasanya dalam
sebuah paragraf ada satu kalimat yang dominan atau kalimat inti. Dalam
pembacaan Alkitab susunan kalimat harus dimengerti dengan baik termasuk
menemukan kalimat intinya. Analisa untuk menemukan inti kalimat ini perlu
dilakukan, khususnya dalam proses penerjemahan ke dalam bahasa lain. Terlebih
lagi dalam eksegesis terhadp teks Alkitab, anlasia inti kalimat merupakan suatu
keharusan. Cara lain dalam pengenalan inti kalimat dalam kelompok kalimat
adalah melalui netode diagram. Cotterell
& Turner memberikan contoh-contoh diagram kalimat dalam usaha untuk menemukan
inti dan mengartikan dengan lebih baik.
Pembahasan
selanjutnya adalah hubungan-hubungan Arti antara Pasangan-pasangan Kalimat atau
Proposisi. Pada intinya dalam rangkaian atau pasangan kalimat ada kalimat inti,
tugas kita menemukan bagian inti kalimat tersebut. Selanjutnya adalah tentang analisa
struktur Semantik, dimana melalui diagram semantik akhirnya dapat menemukan
kalimat inti dari rangkaian kalimat yang ada. Bagian terkhir dalam bab ini yang
merupakan implikasi dari pembahasan-pembahasan sebelumnya adalah Analisa
Struktur Semantik dan Perjanjian Baru, dimana pembahsan-pembahasn seblumnya
diterapkan dalam menganalisa salah satu bagian dalam Perjanjian Baru.
Dalam Bab ketujuh
Cotterell & Turner membahas tentang Analisa Tulisan (discourse). Secara umum istilah discourse
mengacu kepada bahasa lisan tetapi dapat juga berarti tulisan misalnya novel
atau karangan yang lain. Dalam sebuah discourse
secara fakta pasti ada koherensi, baik koherensi dari segi struktur maupun
topiknya. Dalam hal ini Cotterell & Turner memberi contoh dan penjelasan
dari karangan Paulus dalam Korintus. Dari karangan (discourse) juga ada indikasi-indikasi waktu, seperti misalnya dari
Yohanes 1:19-2:1 tercatat, Pada hari pertama orang-otang Farisi mengirim . . .
(Yoh. 1:19), pada hari kedua Yohanes Pembaptis melihat Yesus (Yoh. 1:29) dan
seterusnya. Bagian lain sehubungan dengan analisa karangan adalah Deixis yaitu
istilah yang dipakai dalam karangan untuk mengindikasikan personal dan aspek
dari waktu. Secara umum ada empat Deixis yaitu Personal Deixis, Social Deixis, Temporal Deixis dan Locational Deixis. Kategori kalimat
lainnya adalah perkataan langsung dan tidak langsung dalam sebuah teks.
Dalam bab
kedelapan Cotterell & Turner membahas “Discourse
Analysis: The Special Case of
Conversation.” Bahasa dipakai baik
dalam bentuk tulisan, pembicaraan monolog seprti khotbah dan dalam
percakapan. Dalam percakapan bisa
terjadi hanya dua orang yang terlibat maupun kelompok yang terlibat sehingga
bahasa dan percakapan perlu dikenal oleh sekelompok orang dalm komunitas percakapan
tersebut. Karena percakapan melibatkan kelompok maka perlu diperhatikan tentang
prsuposisi kelompok. Karena alasan ini maka ada beberapa pembicara yang
memberikan asumsi-asumsi tertentu terhadap audiennya. Prasuposisi kelompok ini
merupakan konsep yang sudah familier dalam kelompok tersebut tentang suatu
subjek, seperti misalnya anekdot, theologi dan musik.
Salah satu contoh
dalam Alkitab adalah ketika Tuhan Yesus berbicara dalam Matius 19:23: “Yesus
berkata kepada murid-murid-Nya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sukar
sekali bagi seorang kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” Perkataan Tuhan
Yesus ini membuat para pendengar heran karena perbedaan prasuposisi, dimana
dalam prosuposisi mereka orang kaya akan mendapat pahala sementara yang dikatakan
Tuhan Yesus berbeda. Tuhan Yesus mengetahui prsuposisi mereka tetapi Tuhan
Yesus mengajarkan dengan prasuposisi yang berbeda.
Selanjutnya
Cotterell & Turner memberikan lima prisip yang harus diperhatikan dalam
percakapan sebagai berikut:
Pengetahuan dari
pendengar, Ini termasuk pengertian terhadap prasuposisi kelompok dan
pengetahuan pendengar. Contohnya ketika Tuhan Yesus berbicara dengan perempuan
Samaria Tuhan Yesus mengetahui pengetahuan dari lawan bicaranya, yaitu
perempuan Samaria.
Prinsip Co-operasi.
Adanya pengertian antara pembicara dan pendengar. Prinsip ini sangat penting
dalam percakapan karena mempengaruhi jalan atau tidaknya dengan baik sebuah
percakapan.
Prinsip realitas.
Dalam percakapan seringkali tidak dapat dihindarkan penggunaan kata-kata atau
istilah asing yang mungkin dapat ditafsirkan dengan pengertian berbeda. Seperti
pernyataan Tuhan Yesus dalam Yohanes 6:52 “Orang-orang Yahudi bertengkar antara
sesama mereka dan berkata: Bagaimana Ia ini dapat memberikan daging-Nya kepada
kita untuk dimakan.”
Prinsip
konteks-kelayakan. Dalam berkomunikasi
menggunakan bahasa, ada berbagai dialek, kita perlu memilih yang tepat.
Demikian juga dalam bahasa tulis ada perbedaan-perbedaan gaya tulisan tertentu.
Keterbatasan
bahasa partisipan. Dalam hal ini perlu memengenal pendengar apakah pendengar
mempunyai pengetahuan dan kemampuan bahasa yang memadai untuk terjadinya sebuah
percakapan. Salah satu contoh adalah pengenalan Paulus terhadap pendengar atau
pembaca suratnya dalam 1 Korintus 3:1-2 “Dan aku, saudara-saudara, pada waktu
itu tidak dapat berbicara dengan kamu seperti dengan manusia rohani, tetapi
hanya dengan manusia duniawi, yang belum dewasa dalam Kristus. Susulah yang
kuberikan kepadamu, bukanlah makanan keras, sebab kamu belum dapat menerimanya.
Dan sekarang pun kamu belum dapat menerimanya.”
Pembahasan
selanjutnya dalam bab ini adalah “Adjacency
Pairs” yang terdiri dari sebagai
berikut: Pertama, Pembukaan
(initiation) yang pada umumnya berisi salam. Kedua, Topikalisasi, dimana pembicaraan masuk ke dalam topik atau
urusan yang menjadi bahan pembicaraan. Ketiga,
Pertanyaan dan Jawaban. Ini biasanya muncul setelah topik utama disampaikan.
Dalam Lukas 7:36-50 terjadi pertanyaan dan jawaban ketika Tuhan Yesus berbicara
diantara pendengarnya. Keempat, Repair-Resolution Pair. Ini terjadi
ketika pembicara mempersiapkan untuk masuk ke topik berikutnya dengan asumsi
pendengar juga melakukan hal sama. Pada bagian terakhir Cotterell & Turner
menerapkan semua teori di atas dengan meninjau percakapan yang terjadi antara
Tuhan Yesus dengan Nikodemus. Dalam
percakapan ini dimunculkan semua unsur pembahasan dalam bagian sebelumnya.
Dalam bab
terakhirnya Cotterell & Turner membahas tentang Non-Literal Languge. Pembahasan dimulai dengan Arti Subeyektif
dalam Percakapan atau Tulisan. Dalam bab-bab sebelumnya telah dibahas tentang
arti yang dapat bersifat multi atau banyak, sehingga arti yang dimaksud oleh
pembicara atau penulis ada unsur subyektifnya, tergantung pada apa yang
dimaksudkan oleh pembicara atau penulis tersebut. Pembahasan kedua adalah
tentang Bahasa Afektif. Dalam berbahasa untuk komunikasi secara fakta ada unsur
ekspresi dan emosi. Inilah unsur bahasa non literal, yang dapat dijumpai dalam
percakapan maupun dalam tulisan, khususnya tulisan-tulisan dalam bentuk puisi
seperti dalam Yesaya 5:7: “Sebab kebun
anggur TUHAN semesta alam ialah kaum Israel, dan orang Yehuda, ialah tanam-tanaman
kegemaran-Nya; dinanti-Nya keadilan, tetapi hanya ada kelaliman, dinanti-Nya
kebenaran tetapi hanya ada keonaran.”
Dalam bagian ini Cotterell & Turner juga memberi contoh-contoh unsur
bahasa afektif dalam Alkitab khususnya tulisan-tulisan Paulus.
Pembahasan
selanjutnya tentang Metafora, dimana dalam berbahasa seringkali untuk
menjelaskan sesuatu yang belum dikenal dengan baik menggunakan
gambaran-gambaran dari hal-hal yang sudah dikenal atau metafora. Penggunaan
metafora adalah tindakan yang kreatif, dan tentunya dalam menafsirkan metafora
ini harus sesuai dengan maksud dari pengguna metafora. Tentunya hal ini terkait
dengan pembahasan sebelumnya tentang prasuposisi kelompok, dimana metofara yang
digunakan pada umumnya sudah dikenal oleh kelompok tersebut. Paulus dalam 1
Korintus 12 menggunakan metafor tubuh untuk menggambarkan kesatuan jemaat
Tuhan. Kesatuan tubuh adalah kesatuan yang mengikat dan saling membutuhkan,
demikian juga seharusnya yang terjadi dengan umat Tuhan dalam hubungannya satu
dengan yang lain.
Selain metafora
hal yang hampi sama adalah Perumpamaan dan Alegori. Perumpamaan adalah bahasa
figuratif untuk menjelaskan konsep tertentu kepada pendengar atu pembaca. Tuhan
Yesus dalam pengajaran kepada pendengarnya sering menggunakan
perumpamaan-perumpamaan. Sedangkan Alegori juga ada kesamaan tetapi menggunakan
simbol-simbol tertentu. Perbedaan antara perumpaan dan alegori adalah, kalau
perumpaan tujannya untuk kejelasan sedangkan alegori untuk mystify.
Pada bagian
terakhir pembahasannya Cotterell & Turner menerapkan apa yang telah
disampaikan dengan memberikan analisa atau tafsiran terhadap teks 1 Korintus
11:2-16. Berdasarkan analisa kalimat-kalimat intinya Cotterell & Turner
membagi bagian ini menjadi lima seksi, Seksi pertama ayat 3 merupakan dasar
padigma. Seksi kedua, ayat 4-6 tentang
pertanyaan mengenai kepala dan rambut. Seksi ketiga ayat 7-12 seruan tentang
peristiwa penciptaan yang dalam hal ini relasi antara laki-laki dan perempuan. Seksi
keempat, ayat 13-15 tentang seruan untuk menjadi alami. Seksi kelima ayat 16
merupakan kesimpualan yang merupakan tradisi gereja.
Evaluasi
secara Keseluruhan
Pertama dari segi bahasa, karangan
Cotterell & Turner memakai bahasa yang terkait dengan linguistik sehingga
tidak mudah untuk dipahami, setidaknya dibutuhkan orang yang berkemampuan
sastra Inggris untuk dapat memahami dengan lebih sempurna. Istilah-istilah yang
dipakai sering menggunakan istilah yang terkait dengan ilmu bahasa (linguistik)
sehingga menghasilkan karya yang berbahasa tinggi, ada keindahan dari segi
bahasa yang dipakainya.
Dari segi pembahasan Cotterell &
Turner memberi judul bukunya “Linguistik & Biblical Interpretation”, tetapi
pembahasannya lebih menitikberatkan pada unsur linguistiknya sehingga unsur biblical interpretation kurang.
Cotterell & Turner membahas panjang lebar tentang lingustik dan berusaha
menerapkan dalam penafsiran Alkitab.
Ilmu bahasa (linguistik) yang ada terkesan “dipaksakan” dalam
menafsirkan Alkitab, karena meskipun unsur ilmu bahasa ada dalam Alkitab,
penekanan Alkitab tidak terletak pada sudut linguistiknya. Linguistik hanya
salah satu cara dalam pendekatan terhadap Alkitab.
Dalam bukunya ini Cotterell &
Turner juga kurang memisahkan dengan jelas antara bahasa lisan dengan bahasa
tulisan, sehingga unsur-unsur yang sepertinya hanya mungkin dalam bahsa
komunikasi lisan diterapkan secara langsung untuk bahasa tulis, Memang ada
persamaan diantara keduanya (bahasa lisan dan bahasa tulis) tetapi ada hal-hal
yang tidak mungkin dipersatukan diantara bahasa lisan dengan bahasa tulisan,
seperti misalnya unsur tanya jawab, meskipun dalam Alkitab juga memuat unsur
tanya jawab antara Tuhan yesus dengan pendengarnya.
Secara umum buku ini perlu
diperhatikan ketika seseorang mau mendekati Alkitab. Dalam penafsiran
unsur-unsur linguistik perlu diperhatikan karena ada perbedaan bahasa dan waktu
antara Alkitab dengan dunia masa kini dimana kita hidup.
Penutup
Eta Linnemaan. Historical Criticism of the Bible:
Methodology or Ideology? Grand Rapids: Baker Book House, 1993.
EVALUASI Buku ETA LINNEMANN
“Historical Criticism of the Bible”
Bagian
I: Kekristenan dan Universitas Modern
Universitas, akar
perkembangan intelek mulai dari abad ke-13an, memiliki asal usul kekafiran yang
khas. Dimulai dari studi tentang hukum-hukum sipil sebagai subyek utamanya,
universitas yang dimulai di Bologna Italia mengupas filsafat yang dikemukakan
oleh Aristoteles mengenai hal ini. Dengan berkembangnya kepopuleran
universitas, bermunculan juga perkembagnan-perkembangan pemikiran yang tidak
memiliki latar belakan kekristenan sama sekali.
Scholasticism yang
walaupun memiliki pengaruh Kristen, adalah suatu gerakan penggabungan
nilai-nilai pemikiran Kristen dengan metode dan alur berfikir falsafati yang
telah dikembangkan dari dulu oleh filsafat Yunani – seperti pemikiran
Aristoteles. Sama halnya dengan humanisme modern, penjunjungan yang terlalu
tinggi terhadap kemampuan berfikir manusia telah menimbulkan suatu standar
nilai moral baru, yaitu manusia. Manusia menjadi terlalu penting dan adalah
takaran dari segala sesuatu.
Masa pencerahan
memberikan percikan api kepada kegiatan akademis dan skolastis pada masyarakat
modern pada jaman itu. Sebtulnya tidak ada pemikiran baru yang dikemukakan oleh
para pemikir-pemikir jaman ini. Francis Bacon telah memberikan gambaran yang
tepat ketika ia mengatakan bahwa “semua kebenaran dapat ditemukan dengan
berfikir secara induktif.” Dengan demikian pemikiran manusia kembali diletakkan
pada derajat yang lebih tinggi dari pada Firman Tuhan sekalipun. Cara berfikir
Bacon, Hobbes yang memisahkan antara iman dan pemikiran, Descartes, Spinoza,
dan Kant telah meletakkan akar-akar berfikir sekuler kepada metode kritik
historis, bahkan tanpa disadari, telah memulainya.
Ide-ide yang
timbul dari humanisme telah mendapatkan kematangan di dalam filsafat Idealisme
German. Perkembangan system pendidikan telah dibentuk sedemikian rupa terhadap
pantulan rupa manusia oleh pemikiran-pemikirannya. Pemikiran idealisme ini
telah mengambil bentuk yang tertinggi, menurut mereka, dalam kesusasteraan. Hal
ini menjadi unsur penting dalam pewujudan pemikiran manusia.
Perkembangan jaman
terus terjadi dan peradaban manusia telah memasuki suatu jaman baru dengan
perkembangan teknologi yang begitu maju. Jaman teknologi ini juga telah menaruh
kedudukan manusia dalam posisi yang tertinggi dibandingkan jaman-jaman
sebelumnya. Penitik-beratan kepada metode ilmiah sebagai standart kesahian ilmu
memberikan pemujaan kepada daya pikir manusia. Firman Tuhan telah menjadi objek
pemikiran dan bukan sesuatu yang memiliki nilai lebih di mata ilmu pengetahuan.
Standart kehidupan manusia dan standart berfikir manusia semua telah ditentukan
oleh manusia sendiri karena perkembangan pemikiran manusia yang begitu besar.
Pertanyaan-pertanyaan
yang Berhubungan dengan Universitas
Karena
perkembangan peradaban manusia selama beberapa abad terakhir telah meninggikan
dirinya sendiri, dengan dasar-dasar ateistik sebagai landasan berpikirnya,
sulit untuk keluar dari kerangka tersebut dan menyadari bahwa semua itu adalah
kesalahan. Karena kita telah hidup di dalam aras berfikir yang sedemikian rupa,
kita sendiri terkadang “buta” terhadap kesalahan dalam kecenderungan berfikir
yang terjadi di dalam peradaban modern ini. Kekuatan berfikir manusia telah
melampaui segala sesuatu dan telah membentuk peradaban yang terstruktur dengan
keteraturan berfikir dan ide (pada masyarakat Barat).
Permasalahan besar
timbul karena orang-orang Kristen tidak menyadari pergeseran pola berfikir
kearah peninggalan nilai-nilai Kristiani Alkitabiah. Pemikir seperti Pico,
Hobbes, Kant, Descartes, Goethe, Hegel dan pemikir lainnya mengemukakan buah
pemikirannya dalam kancah dan lingkup kekristenan. Dengan demikian
pengaruh-pengaruh yang ditimbulkannya merasuk pemikiran umat Kristen tanpa
disadarinya. Umat Kristen dibiasakan dan dibentuk oleh pemikiran-pemikiran
radikal yang dianggap hebat ini tanpa disadarinya.
Walaupun demikian,
Allah tidak berdiam diri. Selalu ada sekelompok pemikir yang tidak mau menyerah
kepada disilusi yang terjadi terhadap ketidak perluan dunia modern terhadap
Allah. Allah telah memilih orang-orang pilihanNya untuk memelihara
ajaran-ajaran-Nya. Walaupun mereka tidak dianggap sehebat pemikir-pemikir di
atas, iman Kristen tetap dan akan terus terjaga kemurniannya atas ikut campur
Allah dalam kuasa keselamatannya di dalam Yesus Kristus.
Walaupun
perkembagnan jaman terus terjadi ke arah yang semakin sekuler, kita sebagai
orang-orang Kristen ditetapkan untuk berada di dalam Universitas yang sekuler
untuk tujuan tertentu. Alkitab sendiri menyarankan bahwa kita tetap hidup di
dalam dunia untuk mempengaruhinya. Setiap orang Kristen sejati tidak dapat memisahkan
dirinya dari dunia ini, karena mereka memiliki tugas khusus untuk menjadi
pengaruh yang positif terhadap kesekuleran yang diakibatkan dan ditimbulkan
dalam Universitas.
Israel
Kuno dalam Dunia Barat Modern
Dalam sejarah
Israel, penyembahan kepada ilah yang salah sudah terjadi juga. Dimulai dari
dosa Salomo dengan mendirikan kuil-kuil bagi istri-istrinya untuk melakukan
penyembahan, akibat yang ditimbulkan adalah kemurnian penyembahan terhadap
Allah telah luntur. Raja yang menjadi setelah itupun mendirikan pemujaan ilah
yang salah dalam bentuk patung anak sapi emas. Raja Yerobeam telah mendirikan
system pemujaan ilah yang salah yang sesuai dengan keinginannya sendiri –
akibat dari pengaruh luar. Bahkan ia telah menunjuk imam-iman yang bukan dari
suku Lewi demi kepentingan politik.
Kesamaan
pergeseran pemikiran ini juga telah terjadi dalam dunia barat setelah jaman
pertengahan. Ciri-ciri pergeseran ini dapat dilihat sebagai berikut:
1.
Allah
dikesampingkan, bahkan ditiadakan.
2.
Kecenderungan
manusia untuk mengikuti kedagingannya
3.
Masing-masing
individu dapat membuat apa saja yang diinginkannya
4.
Kecenderungan
tersebut diarahkan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan
5.
Kecenderungan
keduniawian ini menjadi formal dan normal, norma-norma ini telah mengatur kehidupan
manusia
6.
Allah
dilihat dari sudut pandang manusia
7.
Pandangan
Allah terhadap institusionalisasi ini adalah hal tersebut adalah dosa.
Pendidikan
Kristen pada Tingkatan Universitas
Menanggapi semua
perkembangan di atas, pemikiran terhadap pendidikan tingkat Universitas harus
dilakukan untuk melihat bagiamana pengaruh Kristen dapat dirasakan pada tingkat
pendidikan ini. Akan ada banyak kritikan dan keberatan dari universitas yang
telah berdiri sekian lama. Untuk universitas-universitas tersebut, dirasakan
akan terjadi banyak pertentangan jika harus membongkar ulang nilai-nilai
sekulernya dan memasuki nilai-nilai Kristen. Akan tetapi hal tersebut perlu
dimulai seberapapun kesanggupan dari setiap universitas.
Pendidikan Kristen
harus tampak dalam setiap universitas untuk memberikan warna dan dasar yang
benar bagi mahasiswanya. Nilai kekristenan yang telah luntur dari masyarakat
harus dekembalikan, atau minimal diusahakan untuk dikembalikan, dengan cara
mempengaruhi pemikir-pemikir masa depan. Menempatkan pengajar dan orang-orang
Kristen yang berpengaruh tidak akan memperbaiki hal ini, akan tetapi, minimal,
akan memulai proses pemberian nilai Kristiani pada universitas-universitas
kita.
Menanggapi hal ini
kita harus berusaha untuk membuat pendidikan bercirikan Kristen. Kita harus
mengarahkan agar pendidikan yang kita lakukan berguna bagi Tubuh Kristus. Dalam
hal ini, kita harus meletakkan Firman Tuhan sebagai pusat pendidikan kita.
Tidak perlu teologi, apa lagi filsafat, dijadikan sebagai dasar pendidikan karena
mereka memiliki unsur pemikiran manusiawi yang terlalu kuat.
Jadikan kritisisme
sebagai dasar dari pendidikan kita. Kritisisme yang dimaksuda adalah agar kita
selalu mengkritisi segala sesuatu menggunakan dasari Alkitab sebagai pijakan
kita. Dengan kemurahan Allah kita dapat bergerak ke arah itu. Yang saya
sarankan adalah kita menyusun topic-topik yang perlu kita kritisi dalam
pelaksanaan pendidikan kita. Topik tersebut dapat disusun dalam kawasan-kawasan
seperti berikut:
1.
Kritik
terhadap filsafat
2.
Kritik
terhadap tren pemikiran kontemporer
3.
Kritik
terhadap seni
4.
Kritik
terhadap ilmu pengetahuan
5.
Apologetika
6.
Kritik
terhadap dosa yang sering tampak dalam kehidupan sehari-hari
7.
Kritik
terhadap ajaran-ajaran sesat
Untuk mencapai
sasaran-sasaran tersebut, perlu dipertimbangkan rancangan pendidikan yang
mungkin dapat dilakukan. Pendidikan yang dilakukan harus disusun untuk
melibatkan para mahasiswa untuk melakukan pelayanan. Gabungkan teori dan
praktek, yaitu belajar dan pelayanan. Hal yang perlu diukur bukan hanya kinerja
akademis.
Langkah-langkah
praktis yang dapat diambil, dapat mengukuti perkembangan tahapan seperti yang
saya usulkan sebagai berikut:
1.
Tahap
pertama: berikan pendidikan dasar bagi semua mahasiswa di semua jurusan
2.
Tahap
kedua: pendidikan teologia untuk semua
3.
Tahap
ketiga: pelatihan para pengajar untuk menjadi pengaruh yang baik
4.
Tahap
keempat: peluasan program (seperti ilmu alam, kedokteran dan lainnya)
Alkitab
dan Manusia Modern
Alkitab dengan
sendirinya tidak berubah dari masa ke masa. Perubahan terjadi kepada manusia
dan peradabannya. Dengan demikian apakah kedudukan Alkitab berubah?
Perubahan-perubahan ini terjadi karena perkembangan pemikiran-pemikiran jaman
yang mempengaruhi bagaimana seseorang itu berpikir.
Bagi manusia
modern, membaca Alkitab sekalipun diperlukan cara yang modern juga yang
mengikut arus pemikiran jaman. Hal ini merupakan perkembangan jaman yang tak
terelakkan. Seperti pandangan manusia modern bahwa mujizat itu merupakan suatu
mitos belaka walaupun terdapat di dalam Alkitab – yang dianggapnya sebagai
suatu hal yang kuno dan tidak relevan pada hari ini. Walaupun demikian, manusia
modern di dunia modern juga tetap melakukan kebiasaan-kebiasaan yang
tergolongkan hal-hal mistis. Mereka justru senang akan ramalan dan horoskop,
dan hal-hal serupa.
Apakah Alkitab
masih relevan bagi manusia modern seperti itu? Alkitab telah membicarakan
mengenai kehidupan yang dijalani oleh manusia modern ini. Masyarakat cepat
bosan dideskripsikan oleh Pengkhotbah sebagai “usaha menjaring angin.”
Generasi-genarasi, pada esensinya, tidak berubah, mereka hanya hidup demi
kesenangan belaka. Hal ini pun dikemukakan oleh Alkitab ketika Yesus berkata:
"Sebab sebagaimana halnya pada zaman
Nuh, demikian pula halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia. Sebab sebagaimana
mereka pada zaman sebelum air bah itu makan dan minum, kawin dan mengawinkan,
sampai kepada hari Nuh masuk ke dalam bahtera, dan mereka tidak tahu akan
sesuatu, sebelum air bah itu datang dan melenyapkan mereka semua, demikian
pulalah halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia” (Mat. 24:37-39).
Gambaran
masyarakat modern ini mirip sekali dengan gambaran Alkitab mengenai para
antikristus. Inilah tanda-tanda akhir jaman. Manusia telah mengkondisikan
dirinya untuk hidup seperti dan sebagai antikristus tanpa disadarinya.
Kebiasaan-kebiasaan manusia modern memiliki kesamaan yang luar biasa dari
deskripsi Alkitab, akan tetapi manusia modern tetap saja tidak menghiraukan
tanda-tanda tersebut dan bergerak menuju akhir jaman untuk mendapatkan
penghakiman dan penderitaan seperti yang Alkitab sendiri telah peringatkan.
Bagian
II: Studi Teologi Kritik Sejarah
Dasar-dasar dari
kritik sejarah dapat diketahu dengan memahami beberapa prinsip berikut:
Prinsip yang
pertama adalah anggapan bahwa Teologi adalah sebuah ilmu pengetahuan (science).
Dalam hal ini ada beberapa asumsi sebagai berikut: (1) Alkitab diteliti seolah
Allah itu tidak ada. (2) Relativias Alkitab – dengan arti bahwa kedudukan
Alkitab itu sama seperti kedudkan kitab-kitab lainnya dari agama-agama lain.
Alkitab dianggap sebagai buku biasa dan bukan Firman Tuhan. Inspirasi Allah
bagi para penulis juga dianggap tidak berlaku. Oleh karena itu pengukuran atau
kanonisasi harus dilakukan terhadap kanonisasi Alkitab. (3) Alkitab diangap
sebagai teks biasa. Dengan demikian keberadannya dapat dianalisa sesuai denga
metode yang baku hasil dari pemikiran sendiri. (4) Penalaran kritis dianggap
sebagai kebenaran yang paling tinggi. Presuposisi metode historis kritis ini
menganggap bahwa metodenya menolong manusia untuk mengerti Alkitab karena
peninjauannya yang objektif. (5) Kebenaran itu subjektif, sesuai dengan
kebutuhan teolog.
Prinsip yang kedua
berkaitan dengan “Praktek Teologi Kritik Sejarah” sebagai berikut: (1) Critical
Historiography. Konsep ini menggunakan temuan-temuan kuno dan bukti-bukti
bahasa sebagai sumber informasi mengenai jaman Alkitab. Penentuan masa
penemuan-penemuan kuno ini akan berperan penting dalam pembentukan hipotesis.
(2) Asumsi dan fakta. Dalam metode ini, asumsi yang sudah “dibuktikan” akan
dianggap sebagai fakta. Dan sebagai peraturan, fakta tersebut harus diterima
sebagai benar dan tidak dipertanyakan lagi bagaimana proses yang sudah terjadi
sampai dengan kesimpulan tersebut. Hanya hal-hal yang belum terbukti perlu
dipikirkan dan diselidiki. (3) Sosialisasi dan konformitas. Bagi mereka yang
teribat dalam kelompok pengguna metode ini, harus menerima apa yang dikemukakan
oleh pengajarnya sebagai bagian dari kewajiban dirinya terhadap Allah. (4) Kata-kata
dan arti. Bagi praktisi kritik sejarah, metode yang digunakan adalah pseudomorphosis, yaitu pengosongan arti
dari suatu konsep, dan membangunnya kembali dengan kata-kata lain untuk
mengemukakan prinsip yang sama.
Konsekuensi yang
harus diwaspadai dari seseorang yang akan menggunakan metode kritik sejarah ini
adalah suatu hal yang perlu dipertimbangkan. Mereka harus sadar bahwa untuk
melayani Tuhan sesuai dengan panggilannya, mereka tidak perlu mengetahui
bagaimana melakukan metode kritik sejarah ini. Penguasaan akan metode ini tidak
akan membantu, bahkan dapat merubah panggilan Tuhan tersebut. Metode ini bukan
diperuntukkan bagi semua orang Kristen yang ingin menjadi Kristen.
Iman
dari Teologi dan Teologi dari Iman
Studi ilmiah,
perlu diketahui, adalah sebuah proses dimana pikiran kita didisiplin. Langkah
pertama, kegiatan berfikir dipisahkan dari pengaruh pribadi si pemikir. Kedua,
pengetahuan kita diasah agar siap dipakai. Keiga, pelajar belajar untuk
mendapatkan berbagai macam data dan konsep dalam kerangka berfikir yang sudah
diberikan oleh disiplin ilmu itu sendiri. Kemudian praktisi metode ini diberi
pelatihan untuk mengemukakan pandangannya terlepas dari pemikiran-pemikiran
yang ada. Praktisi metode kritik sejarah dilatih dan dibiasakan untuk berfikir
seperti ini setiap harinya.
Mereka yang akan
melakukan studi semacam ini, dihruskan untuk melakukan pendekatan studi teologi
tanpa presuposisi apapun juga, agar mereka dapat melihat kebenaran tanpa ada
halangan. Semua pengalaman iman yang telah dialami dan semua pelajaran iman
harus dikesampingkan untuk mencapai tujuan tersebut. Walaupun demikian, tetap
saja seseorang tidak bisa melakuakan pendekatan dalam belajar Alkitab tanpa
presuposisi apapun juga, kerena mereka mempelajarinya dengan presuposisi lain
yang sudah melekat kepad bagian yang mereka pelajari itu.
Seharusnya,
pendekatan yang dilakukan adalah teologi tentang iman, yaitu bahwa iman
orang-orang percaya harus diletakkan kepada dasar Alkitab sebagai Firman Tuhan.
Allah dapat menggunakan siapa saja untuk menjadi penyampai pesan-Nya. Bukan
hanya mereka yang dapat menemukan “kebenaran” melalui metode kritik sejarah
saja. Iman terhadap kedaulatan Allah diperlukan dalam berteologi, dan bukan
sebaliknya.
Kecenderungan
Pemikiran Teologi Kritik Sejarah
Mereka yang
menggunakan metode kritik sejarah, diarahkan untuk percaya bahwa seseorang
harus percaya “kebenaran” dalam Alkitab KARENA itu adalah hasil dari penelitian
ilmiah. Fakta hasil dari penemuan tadi, digunakan untuk membangun penemuan lain
untuk menyimpilkan fakta lainnya. Dengan demikian praktisi kritik sejarah akan
terjebak dalam jaringan kebohongan.
Segala susah payah
yang harus dilakukan seseorang dalam melakukan metode ini adalah untuk
memperoleh pengakuan bahwa pemikiran yang dilakukan bebas dari presuposisi
lainnya. Dalam hal ini seseorang harus mampu membaca Alkitab tanpa dogma dan
pengaruh apapun. Jika dia terbebas dari dogma, dia telah membaca Alkitab secara
kritik sejarah.
Seperti yang sudah
dikemukakan pada bagian sebelumnya, manusia memiliki peran yang terlalu besar
dalam menentukan kebenaran Alkitab. Metode kritik sejarah ini menempa “aku”
sebagai penentu kebenaran yang terdapat dalam Alkitab. Diri manusia adalah
ukuran dari segala kebenaran.
Teologi
Kritik Sejarah dan Teologi Injili
Ilmu pengetahuan
memiliki struktur yang kaku. Ilmu pengetahuan adalah sistem dari realisasi diri
dan konfirmasi yang terus berputar. Ilmu pengetahuan membanggakan diri dengan
system penelitian dan penemuannya. Tidak berbeda dengan hal itu, kritik sejarah
juga menempatkan ilmu pengetahuan dan metodologinya pada posisi yang tinggi,
karna dianggap bebas dari dogma tertentu.
Bebeda halnya
dengan teologi injili. Teologi injili tidak dapat dikatakan sebagai ilmu pasti
dalam menafsirkan Alkitab. Jika dalam berteologi, metode ilmiah digunakan, maka
ciri khas injilinya akan hilang. Beda halnya dengan penggunaan ilmu pengetahuan
sebagai sarana penjelasan. Jika ilmu pengetahuan digunakan untuk menjelaskan
kebenaran Alkitab. Hal itu dapat menolong penguatan sikap teologis. Akan tetapi
tidak boleh sebaliknya!
Firman
Allah
Sikap yang benar
perlu dimiliki oleh kita sebagai orang percaya. Mengenai Alkitab, Firman Tuhan,
kita perlu mengetahui bahwa ada beberapa hal yang perlu kita yakini. Kita perlu
tahu bahwa Alkitab adalah perkataan Allah yang diinspirasikan melalui inspirasi
verbal maupun pribadi. Alkitab juga terbebas dari kesalahan karena kita tahu
bahwa Allah sendiri yang ikut campur dalam penulisannya. Kita perlu meyakini
bahwa Alkitab adalah Firman Allah yang memiliki pesan yang seragam dan adalah
perkataan Allah sendiri dalam keseluruhanya.
Firman Allah juga selau konsisten, tidak
menyangkal satu bagian dengan bagian lainnya. Firman Allah diwahyukan kepada
umatnya melalui proses yang pasti dan penuh dengan maksud dan tujuan dari
Allah. Firman Allah sudah cukup, sudah lengkap dan dapat mencukupi semua orang.
Firman Allah efektif jika kita menggunakannya sebagaimana mustinya digunakan,
bukan sebagaimana mustinya kita. Dan, Firman Allah adalah cerminan dari Allah,
kita dapat melihat sifat-sifat dan kebiasaan-kebiasaan Allah dalam
situasi-situasi tertentu.
Evaluasi
secara Keseluruhan
Secara umum memang
Eta Linnemann telah mengungkapkan isi pemikirannya dan isi hatinya terhadap
metode kritik sejarah. Kegiatan yang pernah ia dalaminya ini ternyata tidak
membawa kepuasannya, baik dalam pemikirannya apalagi dalam kepuasan rohaninya.
Dengan demikian, ia telah mengungkapkan dengan banyak pertimbangan kelemahan
dan “kesesatan” dari metode kritik sejarah ini.
Pendiriannya
sangat jelas, menentang dan menantang metode ini. Eta juga telah memberikan
masukkannya untuk digunakan sebagai alternative dari berbagai kelemahan dari
metode kritik sejarah ini. Buku ini terkesan sangat tulus dan pribadi
dikemukakan oleh Eta sebagai upaya “penebusan” kesalahannya (bahkan “dosa”)
yang selama ini telah dia geluti. Saya rasa tujuan penulisannya telah tercapai,
untuk menolong membukakan mata dari banyak orang mengenai kritik sejarah yang
dapat menimbulkan “kesesatan” itu.
Penutup
Gerald Bray, Biblical Interpretation: Past & Present. Downers Grove:
InterVarsity Press, 1996.
EVALUASI BUKU Gerald Bray
Pendahuluan
Dua karakter agama
adalah: monotheistic (satu Allah yang Pencipta bumi dan isinya) dan scriptural
dimana Allah yang menyatakan dirinya dan
tujuannya dalam tulisannya yang dapat dibaca, dipelajari serta diaplikasi dalam
diri orang-orang percaya. Di sini orang percaya menggunakan Alkitab sebagai
tuntunan dirinya mengenal tujuan Allah. Jadi inilah
doktrin Allah menekan hubungan pribadi orang-orang percaya dengan Allah.
Sifat alamiah Alkitab
sebagai berikut: (1) Alkitab adalah kumpulan dokumen-dokumen tulisan mengenai
manusia pada waktu berbeda yang
mengambarkan pengalamannya bersama Allah. (2) Alkitab adalah suatu
record manusia meresponi apa yang dikatakan Allah. (3) Alkitab adalah
Firman Allah yang diberikan kepada manusia.
Kanon PL berisi buku-buku
yang isinya dipersiapkan untuk merelasikan waktu Yesus yang ada datang. Kanon PB berisi
cerita Yesus yang sudah dipersiapkan dalam buku-buku dalam PL hingga Yesus mati
di kayu salib, dan kemudian terbentuknya gereja yang merupakan pelestarian
pekerjaan Yesus.
Sebelum Kritik Sejarah
Sebelum abad ke-19 ada usaha mencoba
melakukan pendekatan pengetahuan sosial (kemasyarakatan) dan budaya sebagai
sarana untuk mengerti tentang teks Alkitab. Bahkan studi pendekatan Ibrani ,
khususnya akar tradisi Ibrani secara umum mencoba memahami gereja, dan juga
studi pendekatan Yunani untuk mengenal tentang kekristenan. Di sini bukan saja
budaya yang dijadikan pendekatan untuk memahami teks Alkitab, tetapi juga bahasa untuk studi
kekristenan.
Dimulai dengan Mentafsir Biblika
Tafsir biblika dimulai dari periode perjanjian. Tulisan-tulisan kitab di PL menjadi pembicaraan tafsir bersamaan pembahasan
kanon PL. Kitab Ulangan dicoba didekati
dengan tradisi tetapi tidak mengurangi kewibawaan kitab tersebut (400 BC).
Farisi: bekerja dalam group Yahudi untuk melawan Yesus. Jadi pekerjaan
biblika mereka tujuannya menjatuhkan
Yesus. Pendekatan mereka pendekatan tradisi (Mishnah, Tosephta, Gemaras,
Midrashim dan Tamudim)
Sadduki (lebih
daripada arititeles dan Farisi): mereka juga melakukan pendekatan tradisi
dengan menolak konsep kebangkitan Yesus (Mrk. 12: 18-23).
The essenes and
Qumran: group yang dihidupkan oleh masyarakat Yahudi, yang menekan pada
pembahasan peristiwa-peristwa yang terjadi.
Samarian: group
yang Yudaisme, dimana mereka menggunakan kuil-kuil Yudaisme sebagai tempat
pembahasan agama Israel.
Yahudi
diaspora: kegagalan Yerusalem (586 BC)
di mana bangsa Yahudi tersebar di seluruh dunia, termasuk sekitar Palestina.
Mereka berkumpul membahas Yahudi masa kejayaan.
Josephus: seorang
anti Yesus yang menyebarkan pengajaran pengetahuan tingkah laku orang-orang
Yahudi dalam tradisi PL pada waktu PB.
Isu: dibutuhkan menguraikan bahwa teks sebagai
hukum yang tertinggi dalam masyarakat Yahudi, pemahaman tentang kehidupan
(tradisi) Yudasime, tempat tradisi yang
berkaitan dengan Alkitab, dan dibutuhkan jawaban apakah perjanjian PL (Allah
dengan Israel) dapat digenapi pada masa akan datang.
Metodologi: Scribal (mainly
Pharisaic), Qumranic, Samaritan, Jesus, dan Christian (early church).
Penafsiran ”Patristic”
Periode bapa-bapa
gereja yang mengembangkan dasar doktrin kekristenan (AD 100- Council of
Chalcedon, 451). Masa ini dimulai pekerjaan yang sifatnya eksegese yang
dilakukan oleh Pope Gregory (604) yang pendekatan budaya dan teologi,
menekankan tentang Trinitas dan pribadi
Kristus. Ada dua tradisi yang ditekankan: Yunani dan tradisi Western (Latin).
Para Penafsir. Sebelum AD 200: Marsion, Gnostics, Melito of Sardis, Irenaeus, Tertullian,
200-325: Hippolytus; Philo Judaeus of
Alexandria, Clement of Alexandria, Origen, Dionysius of Alexandria. 325-451: Arius,
Athanasius of Alexandria, Didymus the Blind, Cyril of Alexandria, Evagrius Ponticus, Gregory of Nyssa. Eusebius
of Caesarea, Diodore of Tarsus, Theo of Mopsuestia, John Chrysostom, Theodoret
of Cyrrhus, Basil of Caesarea, Ambrosiaster, Tyconius, Jerome, Pelagius,
Auggustine of Hippo. 451-604: Gregory of
Agrigentum, Oecumenius, Andrew of Caesarea, Hadrianus, Procopius of Gaza.
Isu:
dibutuhkan perbedaan orang Kristen dengan Yudaisme, dibutuhkan perbedaan
orang-orang Kristen yang menyembah berhala dengan orang-orang yang menganut
filsafat Hellenistic, dibutuhkan pemahaman Alahnya orang Kristen dengan
kealamiaan Kristus, dibutuhkan demontrasi kepada mereka bahan bagaimana biblika
dapat diaplikasikan ke dalam kehidupan orang-orang Kristen, dibutuhkan
pemahaman kesatuan gereja, kesaksian, dan kebenran dalam Kristus.
Metodologi:
Alexandrian exegesis, Antiochene exegesis, dan Western (latin) exegesis.
Penafsiran
”Medieval”
Periode
pertengahan biblika dikembangkan oleh
para sarjana teologi dan sarjana biblika. Para sarjana Protestan menggunakan eksegese sebagai sarana mencari makna
teks dalam Alkitab. Proses dimulai dari
masa Pemerintahan Romawi di Barat (476),
tetapi akhir abad 19 sudah dimulai di Mesir, Afrika, Siriadan Spanyol yang
dikuasai oleh Islam.
Para Penafsir. Sebelum 800: John
Cassian, Junilius, Isidore of Seville, Maximus the Confessor, Ambrose Autpert,
Beatus of Liebana, Aldhelm of Malmesbury, dan Bede. 800-1150:
Alcuin of York, Claudius of Turin, Haimo of Auxerre, Rabanus Maurus,
Paschasius Radbertus, John Scotus Eriugena, Remigius of Auxerre, Fulbertof
Chartres, Bruno of Wurzburg, Peter Dismisn, Othlo of St Emmeran, Berengar of
Tours, Bruno of Tours, Bruno the Carthusian, Anselm and Ralph of Laon, Bruno of
Asti or Segni, Guibert of Nogent, Rupert of Deutz, Hugh of St Victor, Peter
Abelard, William of St Thierry, Zachary of Besancom, Bernard of Chairvaux,
Gilbert de la Porree, Peter Lombard, Robert of Melun, Medieval Jewish exegetes,
dan lainnya.
1150-1350: Joachim of Fiore, Thomas
of Chobham, William of Auvergne, Hugh of St. Cher, Robert Grosseteste, Thomas
Aquinas, Bonaventure, Roger Bacon, Meistter Johannes Eckhart, Nicholas of Lyra,
Robert Holcot.350-1500: John Wycliffe, Jean Gerson, paul of Burgos, John of
Ragusa.
Isu: kebutuhan pencarian makna teks Alkitab dan
bagaimana mentafsirkan, dibutuhkannya bahan-bahan perdebatan tenang authoritas,
dibutuhkan perbaikan gereja dengan pengajaran yang biblika, dibutuhkan
menghubungan pengajaran biblika dengan pengetahuan.
Metodologi:
general observations.
The Renaissance
and Reformasi
Dimulai pada tahun
1450di Eropa Barat oleh para sarjana Yunani yang menekankan tentang
perkembangan dan pertumbuhan kerohanian seseorang di gereja. Hal tersebut
sampai tahun 1500 berkembang di Antwerp, Paris, dan London.
Para Penafsir. The humanists: Lorenzo Valla, Marsilio
Ficino, Desiderius Erasnus of Rotterdam, Jacques Lefevre d’Etaples, Johaan Eck,
Johannes Reuchlin, John Colet, Guillaume Bude, Sebastiano Castello.
The Lutheran
Reformes: Martin Luther, Francois Lambert, Andreas Althamer, Andreas Bodenstein
von Karlstadt, Johann Bugenhagen, Philipp Melanchthon, Andreas Osiander,
Johannes Brenz.
Reformers
influenced by Luther: Wolfgang Capito, Martin Bucer, William Tyndale, Miles Coverdale.
The Swiss
Reformers: Ulrich Zwingli, Johannes Oecolampadius, Conrad Pelican, Peter Martr
Vermigli, Wolfgang Musculus, Theodor Bibliander, Johainn Heinrich Bullinger,
Jean Bellarmine, Leonard Lessius,
Cornelius a LiVio, Francis Titelmans, Jacopo Sadoleto, Jean de Gagny, Claude
Guilliaud, Ambrosius Catharinus Politus, Jean Arboreus, Sixtus of Sien, Andreas
Masius, Alfonso Salmeron, Benito Arias Montano, Juan Maldonado, Francisco
Toleto, Francisco Ribera, bento Pereira, Willem Hessels van Est, Robert Bellarmine,
Leonard Lessius, Cornelius a Lapide, Jacques Bonfrere.
The Defenders of
Protestan Orthodoxy: Joachim Camerarius, Matthias Flacius, Kasper Olevianus,
Girolamo Zanchi, Robert Rollock, Niels Hemmingsen, Giles Hunnius, Theodore de Beze, Thomas Brightman, Robert
Boyd, Johann Gerhard, Johann Heinrich Alsted, Joseph Mede, Constantjin
L’Empereur, dan lainnya.
Isu: dibutuhkan penemuan prinsip-prinsip
autoritas iman Kristen dan pengalaman dalam pertumbuhan spiritual seseorang,
dibutuhkan nilai-nilai biblika untuk menjelaskan kebenaran di atas, dibutuhkan
dasar-dasar posisi teologi terhadap pengajaran Alkitab.
Metodologi: Sola Scriptura, pengilhaman Alkitab,
hermeneutik Luther, hermeneutik Tyndale, hermeneutik Calvin, pencarian
hermeneutik yang biblika sebagai perkembangan teologi.
Metode
Kritik Sejarah
Dimulai dengan Metode Kritik Sejarah
Pendekatan kritik sejarah mulai
muncul pada periode ini – yang disebut ”Age of Reason” (1648). Di sini filsafat
digunakan sebagai pendektan teologi. Gerakan ini seolah-olah menjadi gerakan
sesudah zaman pencerahan Luther. Para
sarjana sejarah mencoba memahami Alkitab dengan keilmuannya.
Para Penafsir. British: Thomas Hobbes, John Wilkins, John
Lightfoot, John Spencer, John Locke, John Mill, Isaac Newton, The English
Deists, Herbeerbert of Cherbury, Charles
Blount, John Toland, Anthony Collins, Matthew Tindal, Thomas Woolston, Thomas
Morgan, Thomas Chubb, Peter Annet, Opponents of the Deists, the Cambrige
Platonists dan lain-lain.
Ducth: Konrad von
der Vorst, Hugo de Groot, Gerhard Jan Vossius, Isaak Vossius, Bruch Spinoza,
dan Campegius Vitringa.
French: Issac de la Peyrere, Pierre Bayle, Pierre Jurieu, Richard Simon,
dan lainnya.
Italian: Giovani Bernardo de Rosi. German: Philipp Jakob Spenser, August Hermann Francke, Johann Jakob Rambach
dan lainnya.
Isu: dibutuhkan penjelasan bagaimana kebenaran dapat diketahui
dan apakah aturan Alkitab dapat
dijalankan, dibutuhkan ketergantungan yang alamiah dan kebutuhan agama, dan
bagaimana Alkitab menjawabnya.
Metodologi: pendekatan rasional, kritik teks, efek romanticism, syntheis,
Abad 19 (1800-1918)
Periode ini telah terjadi perkembangan pada dunia sosial, politik dan
pengetahuan di mana hal itu terjadi sesudah revolusi Perancis dan Napoleon (
1789-1815) dalam masyarakat Eropa. Terjadi masa ekspansi perdagangan dan agama (misi Protestan) ke
Afrika dan Asia. Di sini sarjana biblika didominasi oleh orang-orang dan organisasi akademik Jerman seperti di Berlin, Bonn, Breslau, Erlangen,
Giessen, Gottingen, Greifswald, Halle, Tubingen, Jena, Kiel, Konigsberg,
Leipzing, Marburg, Rostock, dan Wurzburg.
PL dari De Wette
to Wellhausen
Era baru dibuka
oleh W.M.L. De Wette (1780-1849) seorang sarjana biblika yang mulai menyentuh
PL, dengan mencoba melakukan pendekatan
kritik teks dan sejarah pada Kitab-kitab
Pentateukh.
Para Penafsir. German: Wilhelm Martin, Wilhelm Gesenius,
Carl Peter Gramberg, Friedrich Bleek, Christian Carl J, dan lainnya. The
English-Speaking world: Adam Clarke, Hugh James Rose, Thomas Arnold, Moses
Stuart, dan lainnya.
Isu: dibutuhkan pembenaran hubungan PL dengan
sejarah sekuler, dibutuhkan menjelaskan sifat-sifat Israel yang alamiah dan
perkembangan sejarahnya, dibutuhkan hubungan perkembangan Israel sebagai bangsa
yang bangkit, dibutuhkan hubungan PL dengan PB.
Metodologi: kritik PL, kritik Pentateukh, eksegese non Kritik.
PB dari Schleiermacher to Schweitzer
Studi kritik sejarah PB yang
berhubungan dengan gereja yang berakar dalam PL, sebab PB merupakan pusat
tempat orang-orang yang merubah statusnya – dari masyarakat lama menjadi masyarakat Kristen. Pendekatan kritik
sejarah mencoba mengungkapkan makna yang ada pada teks-teks PB.
Para Penafsir. The German sphere: the forerunners of
Baur: Friedrich Daniel E. Schleiermacher, Hermann Heimart Cludius, Hermann
Olshausen, Johann Leonhard Hug dan lainnya. The German sphere: Baur and his
legacy: Ferdinand Christian Baur, Albert Schwegler, dan lainnya. The
German sphere: the history of religions
school and after: Hermann Usener, Otto Pfleidere, Adolf Hausrath, William
Wrede, dan lainnya. The English-speaking
world: Joseph Stevens Buckminster,
Samuel Taylor Coleridge, Charles Simeon, Herbert Marsh, Robert Haldane,
dan lainnya. French-speaking Writers: Michel Nicolas, Edmond Scherer, Ernest
Renan, Frederic Godet, dan lainnya.
Isu: dibutuhkan hubungan antara PB dengan fakta
sejarah, dibutuhkan jawaban apakah
teologi PB, dibutuhkan keberadaan akurat teks dari dimana untuk bekerja.
Metodologi:
perbandingan dengan PL, the grammatico-historical method, the Tubingen School, the demolition of the Tubingen approach, the
history of religions approach: first phase,
the history of religion approach: second phase, eschatology.
Pertengahan Abad
20 (1918-75)
Perang Dunia I (1914-18) merupakan koreksi yang paling penting dalam dunia
Barat. Setelah perang tersebut muncul trend liberal dengan mengembangkan pendekatn kritik biblikanya seperti Adolf von Harnack
melawan Karl Barth. Tetapi Barth lebih cenderung mengembangkan biblical
preaching daripada kritik teks tersebut. Setelah Perang Dunia II (1939-45)
muncul perkembangan studi biblika, yang kemudian didominansi oleh metode kritik
sejarah, bahkan selanjutnya berkembang studi biblika dan arkeologi.
Kritik PL sesudah Wellhausen
Sebelum 1900 arkeologi dijadikan teori untuk melakukan pendekatn kritik PL.
Pekerjaan ini berkembang pada periode ini dimana para sarjana melakukan
pendekatan yang sifatnya tradisi (pendekatan tradisi) seperti yang dilakukan
oleh De Ette. Jadi, kritik sejarah
(historis) lebih tajam dikembangkan lagi oleh Friedrich Delitzsch (1902), dan
Hermann Gunkel.
Para Penafsir. The Heralds of a New approach: Edward
Burnett Tylor, Emile Durkheim, Wilhelm Wundt, Albert Eickhorn dan lainnya. Gunkel and his followers in Germany: Hermann
Gunkel, Justus Koberle, Hugo Gressmann, Albrecht Alt, dan lainnya. Other German
Scholars: Walther Eichrodt, Walter Zimmerli, dan lainnya. The Scandinavians:
Aage Bentzen, Ivan Engnell, Sigmund Mowinckel. The English-speaking World:
Henry Wheeler Robinson, James Alan
Montgomery, dan lainnya.
Isu: dibutuhkan identitas jenis literatur apa untuk PL, dibutuhkan
arkeologi tempat nabi-nabi dengan studi
PL, dibutuhkan hubungan teks PL dengan agama PL.
Metodologi: kritik bentuk
(Gattungsgeschichte), pengaruh arkeologi, kritik redaksi dan teologi PL.
Kritik PB sesudah Schweitzer
Kritik PL berkembang setelah Perang Dunia I yang dikembangkan oleh Karl
Barth, seorang neo-orthodox (1886-1968), muridnya A. von Harnack seorang ahli
teori liberal di Berlin. Barth meletakan
filsafat sebagai akar teologi sistematika.
Para Penafsir. The German sphere: Paul Billerbeck, Hans Windisch, Rudolf Otto, Hans Lietzmann, Hans Freiherr von Soden,
Friedrich Buchsed dan lainnya. The English-speaking world: John Martin Creed, Shailer
Mathews, James Moffatt, Kirsopp Lake, dan lainnya.
Isu:
dibutuhkan hubungan antara Yesus dengan gereja orang-orang Kristen, dibutuhkan
hubungan antara gereja orang-orang Kristen dengan orang-orang Yudais,
dibutuhkan jawaban apakah teologi Kristen
sebagai akar PB, dibutuhkan pendekatan akrealogi dalam studi PB.
Metodologi: kritik bentuk,
kritik redaksi, pertanyaan-pertanyaan sejarah, Judaism, kritik sejarah untuk
studi PB.
Pandangan
Masa Kini: The Contemporary Scene
Akhir abad 19 sampai 1970 terjadi perkembangan pendektan penafsiran.
Penafsiran teks tidak hanya dimiliki oleh pendekatan kritik historical saja
dalam studi biblika, tetapi muncul beberapa pendekatan yang lain (pendekatan
itu ditolak oleh kaum fundamentalists dan traditionalists) juga dapat dilihat
dalam pendekatan sosial atau politik. Tahun 1950 muncul conservative
evangelicalism (Protestantism) dengan
pendekatan doktrinal untuk studi biblika.
Bersama itu berkembang juga pendekatan
kritik redaksi, kritik bentuk, analisa literal, pendekatan antropologi-culture, dan feminism.
Trend-trend Akademik
dalam Tafsir
Para sarjana biblika ini
mengembangkan pendekatan kritik sejarah tradisi yang menempatkan dirinya
sebagai ”fundamentalists”.
Para Penafsir. Literary critis and philosophers: Erich
Auerbach, Clive Staples Lewis,
Martin Heidegger, Ernst Fuchs, Hans Wilhemlm Frei, Northrop,
Amos Niven Wilder, Hans George Gadamer, Gerhard Ebeling, Paul Ricour.
Professional biblical sholars: Joseph
Augustine Fitzmyer, William Farmer, Deniis Nineham, krister Stendahl dan
lainnya.
Isu: dibutuhkan studi Alkitab dengan cara pandang satu sisi
teologi, kebutuhan mengintegrasikan studi kritik tradisi dengan disiplin yang
lain, menyatukan atau integrasi studi biblika sebagai suatu disiplin ilmu.
Metodologi: kritik sejarah sejak 1975,
conservative, kritik kanon,
kritik literary baru,
structuralism, the new hermeneutic.
Trend-trend Sosial
dalam Tafsir
Periode ini munculnya penafsiran biblical kontemporer dengan pendekatan
sosial dan politik. Pendekatan ini
meletakan diri pada posisi orthodoxy, artinya meletakan teologi untuk bekerja
secara praktikal yang diwujudkan dalam ”the kingdom of God”, khususnya ke
dunia. Tradisi gereja harus dapat mengatasi keadaan sosial. Jadi gereja
diletakan pada keseimbangan sosial dan politik lokal, nasional maupun
internasional. Jadi, gereja yang berpihak pada perbaikan sosial dan berpolitik.
Para Penafsir.Jacques Ellul, Jose Miguez Bonino,
Juan uis Segundo, Norman Karol Gottwald, Gustavo Gutierrez, Peter Berger,
Abraham Johannes Malherbe, dan lainnya.
Isu: menggunakan teks biblika untuk menyelesaikan persoalan sosial,
ekonomi dan problem politik, menemukan prinsip-prinsip hermeneutik tunggal
terhadap Alkitab yang dapat diaplikasikan pada segala situasi, menghubungkan
jenis hermeneutik tradisi ke peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Metodologi: Sociological theory, liberation
theology, dan feminist theology.
Trend-trend
Evangelical dalam Tafsir
Periode ini
memunculkan penafsiran biblika kontemporer dari kaum conservative
evangelicalism. Kaum ini didukung oleh gereja-gereja Protestant, yang mengembangkan teologi
reformation: Lutherans, Calvinists,
Arminians, Baptis, Episcopal dan Presbyterians.
Para Penafsir. The forerunners: James Orr, James Denney,
John Davis, Robert Dick Wilson, John Gresham Machen, Geerhardus Vos, dan
lainnya. The new generation: Ned Bernard Stonehouse, Edward John Young, David Martyn Lloyd-Jones, George Eldon Ladd,
dan lainnya. The inheritors: Peter
Craigie, Gerhard Maier, Edwin Masao Yamauchi, dan lainnya.
Isu: dibutuhkan secara akademik para sarjana
dapat menempatkan posisi teologinya sebagai orthodox evangelical, mampu
meletakan dasar-dasar orthodox yang
dapat dikembangkan oleh orang-orang Kristen, akademik dan gereja dapat bekerja
sama, mempunyai komitmen sebagai orang evangelistically, dan evagelistically
dapat melakukan perdebatan hermeneutik
terhadap teologi modern.
Metodologi:
The Warfield (Old Princeton)
approach.
Evaluasi secara Keseluruhan
Buku ini bukan merupakan pembukti sebuah hipotesa yang
dianalisa, melainkan lebih cenderung pada pekerjaan pendokumetasian, seperti
mengerjakan ensiklopedia. Buku ini merupakan pekerjaan pendokumentasian ”sejarah hermeneutik”. Dan sebagai pekerjaan
pendokumentasian, maka buku ini sangat bagus dan sangat bermanfaat guna membuka
nuansa perkembangan hermeneutika.
Lahirnya pendekatan-pendekatan kritik pada teks Alkitab tergantung pada
kebutuhan zamannya, sehingga setiap munculnya persoalan biblika (yang menganggu
kewibawaan teks atau yang membutuhkan teks sebagai jawaban) maka para sarjana
mulai mencari pendekatan “baru” (mungkin sesuai dengan disiplin ilmnya) untuk
dapat mengeluarkan makna teks Alkitab.
Belajar dari sejarah hermeneutik dimana pendekatan
ilmu pengetahuan, sosial, politik, kritik sejarah, kritik liberal dan sejenis
yang mencoba membuka makna teks Alkitab merupakan upaya yang panjang dan
membawa dampak keraguan akan wibawa Alkitab cukup dapat dirasakan.
Pendekatan tersebut perlu diluruskan
dengan pendekatan tafsir yang menghargai Allah adalah penulis Firman-Nya
(Alkitab), Firman-Nya tidak salah, dan teks mempunyai kewibawaan Allah.
Begitu banyak pendekatan tafsir yang kadang-kadang
sulit dilihat latar belakang kelahirannya (apakah pendekatan tersebut
menempatkan teks adalah buku atau teks adalah karya Allah), maka perlunya kaum
Injil berani merumuskan pendekatan tafsir teks yang berada dalam kehendak
Allah.
Penutup
Gordon D. Fee. New Testament Exegesis: A Handbook for
Students and Pastors. Lousville: Westminster/ John Knox Press, 1993.
Evaluasi Buku Gordon D. Fee
New Testament Exegesis, Third
Edition
Penulis berangkat dari adanya sikap yang kurang tepat dalam melakukan
proses eksegesis Perjanjian Baru. Eksegesis Alkitab Perjanjian Baru dilakukan
dengan tidak memperhatikan hal-hal yang bersifat sejarah ke dalam makna teks
Alkitab. Olehkarenaitu, penulis
menyarankan dalam melakukan kegiatan “eksegesis” denganmenjawabpertanyaan,
apakahmaksuddaripenulisAlkitab? Hal iniberkaitandenganapa yang
penulistelahkatakan (berkaitandenganisinya)
danmengapapenulismengatakanhaltersebut (berbicaratentangkontekssastranyayakni,
berkaitandenganadanyaperbedaanwaktu, bahasadanbudayadenganpembacapadamasakini).
Secararingkas, eksegesisterutamamemberikanperhatiansecarasengajapada: apa yang
penulisinginkandariparapembacamula-mulauntukdipahami.
Penulismemberikanpenekanan yang utamapada “langkah-langkah”
untukmelakukaneksegesis.Sehinggatujuan yang
segeraterjadiadalahparapembacabukuinimampuuntukmemahamiteksAlkitabitusendiri.Namundemikiantidakcukuphanyasampaidisitusaja,
harapan lain
parapembacamampumengaplikasikanmaknatekstersebutkepadagerejadanduniamasakini.
Sehinggaadakecenderungandalambukuiniuntukmengalihkan “tekskepadakotbah”.
Bukuinipentinguntukdipelajaridandipahamidenganmaksuduntukmenolongparapelayan-pelayanTuhanmemahamiteksAlkitabdenganbenardanmaumelakukaneksegesisatasseluruhkitab.Karenapadakenyataannya,
banyakparapelayangerejamelakukaneksegesishanyauntukpengajaran yang
bersifatsementaraatauhanyauntukmaksudberkotbahsaja. Ada juga yang melakukan proses
eksegesishanyauntukmemecahkan “Persoalanteks” yang
menjadibahanperbincanganataumemerlukanpenyelidikanlebihmendalam.
Evaluasi secara Keseluruhan Buku
Penulisan
buku ini bertujuan
untuk menolong mahasiswa
dan
Para
pelayanTuhandalammelakukan proses eksegesisAlkitabPerjanjianBaru.
Untukdapatmelakukanhaltersebut, penulismemberikanempatbagianbesar yang
pentinguntukdibicarakanyaitupertama, sebuahbimbinganuntukmelakukan proses
eksegesis. Kedua, bagaimanamelakukan proses eksegesis yang
berkaitandenganteksasli. Ketiga,
bimbingansingkatbagaimanamenerapkanhasileksegesiskedalamkotbah.Akhirnya,
penulismenekankanpentingnyamemahamialat-alatbantudansumber-sumberuntukmelakukan
proses eksegesis.
Untuk dapat melakukan proses eksegesis Alkitab Perjanjian Baru, penulis
memberikan langkah-langkah yang diawali dengan memperhatikan hal-hal umum
sesuai dengan tipe sastra (genre) dari kitab yang akan di eksegesis. Namun
demikian, penting untuk diingat bahwa masing-masing tipe tersebut memiliki
persoalan-persoalan eksegesis khusus serta “peraturan-peraturan” tersendiri.
Karena itu dalam pasal 1 penulis memberikan pedoman eksegesis ke dalam empat
bagian yaitu: pertama, beberapa langkah permulaan yang umum untuk semua tipe
sastra. Kedua, langkah-langkah khusus yang khas untuk masing-masing tipe
sastra. Ketiga, langkah-langkah lebih lanjut yang sifatnya umum untuk semua
tipe sastra dan akhirnya, sejumlah kesimpulan mengenai penerapan.
Selanjutnya pada pasal 2 penulis memberikan langkah-langkah untuk melakukan
proses eksegesis yang berkaitan dengan teks aslinya. Melalui enam langkah utama
yaitu: menganalisa susunan kalimat, membangun teks, menganalisa tata bahasa,
menganalisa kata-kata, menganalisa latar belakang sejarah-budaya dan akhirnya
menganalisa sebuah perikop.
Berikutnya, agar para hamba-hamba Tuhan, mahasiswa teologi dan jemaat dapat
menyampaikan kebenaran Firman Tuhan dengan tepat dalam berkotbah maka penulis
memberikan bimbingan singkat untuk melakukan eksegesis kotbah. Proses ini
dilakukan dalam dua langkah yaitu pada saat melakukan tugas eksegesis dan
mengalihkan hasil eksegesis kepada kotbah. Eksegesis dilakukan dengan
memperhatikan enam langkah utama yaitu persiapan awal, hal-hal yang berkaitan
dengan isi, persoalan-persoalan kontekstual, literatur tambahan yang
diperlukan, konteks Alkitab Teologi dan akhirnya bagaimana menerapkannya dengan
benar. Pada bagian berikutnya adalah langkah-langkah mengalihkan hasil
eksegesis kepada kotbah dengan cara meluangkan waktu untuk merenungkan teks,
memulai dengan satu maksud, memutuskan pendahuluan dan kesimpulan, membuat
sebuah garis besar dan akhirnya membuat kotbah.
Langkah yang terakhir untuk melakukan proses eksegesis Alkitab Perjanjian
Baru adalah dengan memperhatikan alat-alat bantu dan sumber-sumber untuk langkah-langkah
eksegesis.
Evaluasi Bagian-bagian Tertentu
Bimbingan untuk Eksegesis
Bimbingan untuk eksegesis maksudnya adalah
bimbingan untuk melakukan proses eksegesis secara khusus
dalam Alkitab Perjanjian
Baru. Bimbingan ini
memberikan langkah dasar
untuk melakukan eksegesis
keseluruhan genre dalam Perjanjian
Baru. Agar langkah eksegesis ini benar maka penulis menyarakan
dalam delapan langkahya itu: menyelidiki konteks sejarah secara umum,
menegaskan batasan teks, menjadi lebih akrab dengan paragraf atau perikop,
menganalisa susunan kalimat dan hubungan sintaksisnya, membangun teks,
menganalisa tata bahasa, menganalisa kata-kata penting dan akhirnya menyelidiki
latar belakang sejarah-budaya.
Selanjutnya, untuk mengeksegesis kitab yang berbentuk surat-surat ditambahkan
tiga langkah berikutnyaya itu: menentukan sifat formal darisurat, memeriksa konteks
sejarah dalam kekhususannya dan menentukan konteks sastranya. Sedangkan dalam mengeksegesis
kitab-kitab injil penulis menambahkan tiga langkah berikutnya yakni, menentukan
sifat formal perikop atau kata-kata, menganalisa perikop dalam synopsis injil dan
akhirnya menganalisa perikop dalam konteks ceritanya.KitabKisah Para Rasul memiliki
kekhususan dengan menambahkan dua langkah selanjutnya yaitu: menyelidiki persoalan-persoalan
sejarah dan menentukan konteks sastra. Akhirnya, untuk kitabWahyu penulis memberikan
tiga langkah lanjutanya ini: memahamI ciri formal dari kitab Wahyu, menentukan konteks
sejarah dan akhirnya menentukan konteks sastra.
Proses eksegesis akan semakin lengkap apabila setelah melewati tahapan dasar
maupunkhusus dilengkapi dengan empat tahapan
penyempurnaanya itu: mempertimbangkan konteks
teologi dan Alkitab secara luas, memeriksa keberadaan buku-buku tambahan yang
berkaitan, menyiapkan terjemahan akhir, dan menuliskan hasil eksegesa.
Eksegesis dan Teks Asli
Proses eksegesis Alkitab
Perjanjian Baru dipandang sebagian orang mudah, namun bagi sebagian lainnya
merupakan proses yang sulit. Kendala terbesar dalam melakukan proses eksegesis
teks asli disebabkan tidak memiliki pengetahuan bahasa Yunani. Untuk itu
penulis buku membaginya dalam dua langkah yaitu langkah untuk mereka yang
memiliki pengetahuan bahasa Yunani dan selanjutnya bagi mereka yang tidak
memiliki pengetahuan bahasa Yunani.
Ada beberapa langkah
penting untuk mengeksegis teks asli yakni: pertama, analisa susunan kalimat.
Bagian ini memeriksa persoalan-persoalan tata bahasa yang berhubungan dengan
bentuk kata (morfologi), pentingnya kasus, tensa dll. Kedua, membangun sebuah
teks. Hal yang menjadi perhatian adalah penyelidikan yang berkaitan dengan
persoalan teks asli. Mana dari variasi-variasi, yang ditemukan dalam tradisi
manuskrip, yang paling mirip mewakili kata-kata sebenarnya dari penulis
Alkitab. Untuk itu diperlukan untuk membaca bagaimana catatan-catatan kaki
dalam dua edisi dasar PB bahasa Yunani dan langkah-langkah untuk membuat
keputusan tekstual. Ketiga, analisa tata bahasa. Analisa ini berkaitan dengan semua
unsur-unsur dasar bagi pemahaman hubungan-hubungan kata-kata dan
kelompok-kelompok kata dalam sebuah bahasa. Keempat, analisa
kata-kata. Dalam eksegesis mengingat fungsi kata-kata dalam suatu teksmerupakan
bagian yang sangat penting. Oleh karena itu, perlu memahami setepat mungkin apa
yang sedang disampaikan penulis dengan menggunakan kata tertentu. Kelima,
bagian yang mempelajari latar belakang sejarah-budaya. Pembelajaran pada bagian
ini dimaksudkan agar para pembaca memiliki kesadaran akan apa yang perlu
diselidiki, untuk menngatasi asumsi mengenai apa yang sedang dikatakan
penulis-penulis PB. Keenam, analisa perikop. Analisa ini merupakan penyelidikan
perkataan atau cerita dalam injil yang berangkat dari tiga pertanyaan dasar
yaitu apakah ada signifikansi yang nyata dari perkataan atau yang ditemukan
dalam Injil yang sedang dieksegesis. Apakah ada perbedaan-perbedaan dalam
bahasa atau urutan kata antara Injil tersebut dengan Injil yang lain, yang
signifikan dalam makna perikop tersebut dalam Injil yang sedang di eksegesis
dan akhirnya pertanyaan apakah signifikan bagi ketepatan pemuatannya ditempat
tersebut (mengenai konteks sastra).
Bimbingan Singkat untuk Eksegesis Khotbah
Penulis melihat bahwa
kebanyakan para pelayan gerejawi yang sudah mengecap pendidikan teologi, tidak
terlatih untuk menerapkan semua kemahiran eksegesis untuk tugas yang lebih umum
dalam mempersiapkan kotbah. Untuk itu penulis, berusaha memenuhi kekosongan
tersebut dengan menyediakan sebuah bentuk berguna yang dapat diikuti untuk mengeksegesis
sebuah teks PB, dengan tujuan untuk mengkotbahkan teks itu.
Proses eksegesis kotbah
ini terbagi menjadi dua bagian yaitu: bimbingan untuk proses eksegesis dan
sejumlah saran singkat tentang bagaimana mengalihkan teks kepada kotbah.
Panduan ini disesuaikan untuk para pelayan gereja yang memiliki sepuluh jam
atau lebih setiap minggunya.
Alat-alat Bantu dan Sumber-sumber untuk
Langkah-Langkah Eksegesis
Tujuan dalam pasal ini
adalah memperhatikan berbagai sumber bagi eksegesis Perjanjian Baru. Penulis
memberi masukan berkaitan dengan berbagai sumber dengan harapan para mahasiswa
menjadi lebih nyaman dengan adanya bantuan tersebut. Sumber-sumber tersebut
dapat berupa buku atau sarana penyelidikan dengan bantuan komputer.
Penutup
Proses eksegesis Alkitab Perjanjian
Baru bukanlah
hal mudah namun
bukan berarti tidak
dapat dilakukan.
Proses ini
membutuhkan kesabaran,
ketekunan
dan latihan yang
terus
menerus. Hal ini akan
semakin menolong kita
untuk memahami teks
Alkitab sebagai mana
dimaksudkan oleh penulis
kepada pembaca pada
masa itu. Serta
mampu
menyampaikan maknanya secara
tepat pada pembaca masa kini dalam bentuk khotbah. Perlunya belajar bahasa asli dalam Alkitab akan menolong kita lebih memahami makna teks dengan benar. Akhirnya, jangan pernah
lelah dan berhenti
dalam melakukan proses eksegesis.
Jadikan
itu bagian hidup yang penting sebagai seorang
pelayan Tuhan.
Kevin J.
Vanhoozer, Is There A Meaning in the
Text? Grand Rapids: Zondervan,
EVALUASI BUKU
KEVIN J. VANHOOZER
“ IS THERE
A MEANING IN
THIS TEXT?”
Pendahuluan
Alkitab telah ditafsirkan dengan
berbagai cara. Kadang-kadang Alkitab, ditafsikan oleh kelompok tertentu dengan
caranya sendiri untuk meligitimasi suatu tujuan tertentu. Misalnya penafisrna
kaum Feminist, yang berusaha untuk menafsirkan Alkitab ke dalam paham mereka.
ada unsur pemaksaan teks, sehingga teks yang diteliti diupayakan sedemikian
rupa supaya cocok dengan pandangan mereka. ada juga kritik historis, yang berusaha
untuk meneliti keaslian suatu teks, sementara para pendukung usaha ini sendiri
tidak memiliki teks yang asli itu seperti apa. Jika apa yang mereka harapkan
tidak diperoleh, maka kesimpulannya adalah bahwa teks itu tidak asli. Karena
teks tidak asli maka tentu isinya pun patut dipertanyakan. Selain itu, masih
banyak bentuk pendekatan-penedekatan lain yang dipakai sehingga cenderung
mengaburkan makna dari sebuah teks
Pemahaman manusia
terbatas, karena itu manusia tidak mungkin dapat menyelami semua kebenaran dari
teks-teks yang ada dalam Alkitab. Memang teks dalam Alkitab adalah tulisan
manusia, namun haruslah dipahami bahwa Alkitab itu hanya tulisan manusia semata
dan terisolasi dalam batas-batas kaa-kata manusia. Alkitab adalah firman Allah
yang ditulis dalam bahasa manusia. Sebagai bahasa manusia, tentu dapat
dipelajari, tetapi sebagai firman Allah, maka dasar untuk memahaminya adalah
iman. Itulah sebabnya, Agustinus berkata: “Credo ut intelligam” (saya mengerti
karena saya percaya). Ungkapan ini seharusnya menjadi suatu motivasi bagi setiap orang untuk
mempelajari Alkitab.
Semua konsep
manusia dipengaruhi oleh bahasa. Manusia tidak dapat melakukan sesuatu di luar
pengaruh bahasa. Karena itu, apapun bentuk teks dari sebuah kitab, bahasa yang dipakai
pasti memiliki makna tertentu yang perlu diselidiki untuk menemukan
kebenaran-kebenaran di dalam teks itu.
Pemahaman terhadap
Alkitab juga harusnya bersumber atau berasal dari dalam Alkitab sendiri dan
bukannya sumber dari luar Alkitab. Vanhoozer, mengatakan: “saya pempertahankan
iman bahwa kita dapat mengetahui sesuatu
lebih dari pada mengetahui diri sendiri ketika kita memandang ke dalam cermin
dari teks.” Semua orang dipanggil untuk meneliti dan menemukan kebenaran supaya
dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat.
Makna suatu teks
tidak sekedar sama seperti sebuah biji yang tersembunyi di dalam kulitnya,
tetapi makna suatu teks adalah apa yang menarik perhatian kita terhadap sebuah
teks. Artinya teks itu mengandung makna yang menantang kita untuk menemukannya.
Untuk dapat
menemukan makna dari suatu teks tententu, maka diperlukan penafsiran terhadap
teks itu. Pekerjaan ini bukanlah pekerjaan yang mudah, karena itu membutuhkan
ketekunan. Pemahaman manusia tidaklah memadai untuk memahami suatu eks tertentu
jika hanya megandalkan rasio semata. Dengan kesadaran yang demikian, maka
tepatlah apa yang dikatakan oleh Agustinus, sebagaimana yang dikutip di atas.
Alkitab bukanlah hanya sekedar kumpulan teks-teks atau tulisan-tulisan manusia
belaka. Alkitab adalah firman Allah yanag ditulis dalam bahasa manusia.
Alkitab yang
ditulis dalam bahasa manusia memang haruslah diselidiki untuk menemukan makna
suatu teks tertentu sebagaimana teks itu ditulis. Untuk dapat memahami hal ini
maka dibutuhkan logika.Tetapi sebagai firman Allah, maka iman haruslah menjadi
dasar atau landasan di dalam melakukan penafsiran terhadap Alkitab itu
Dalam kaitan
antara penafsiran dan teks, haruslah dipahami bahwa penafsiran haruslah
disesuaikan dengan teks dan bukannya teks disesuaikan dengan penafsiran. Hal
itu berarti bahwa para di dalam sebuah penafsiran yang baik haruslah
diperhatikan bentuk teks yang ada. Teks-teks yang ada dalam Alkitab beraneka
ragam. Ada teks yang berbentuk sejarah, ada yang berbentuk syair, ada yang
berbentuk ungkapan kebijaksanaan, ada yang berbentuk perumpamaan dan
bentuk-bentuk lainnya
Di dalam sejarah
penafsiran, ada berbagai bentuk penafsiran yang dipakai sesuai dengan
kepentingan penafsir itu. Di dalam buku ini Vanhoozer, kelihatannya lebih
cenderung kepada bentuk penadsiran Trinitarian. Menurut Vanhoozer, ada beberapa
alasan mengapa bentuk penafsiran ini dipilih sebagai berikut:
Hal yang pertama
dan paling penting adalah bahwa ortodoksi Kristen percaya bahwa secara essensi,
Allah sendiri yang mengkomunikasikan Diri-Nya sendiri kepada orang lain dengan
cara Trinitarian. Dalam teologi Trinitarian tentang firman Allah, memahami bahwa Allah sebagai penulis, pemberi
pesan, sebagai yang berkuasa, sejak
awal adalah Allah yang komunikatif.
Allah dalam Yesus Kristus adalah pribadi yang merepresentasikan Allah.
Dengan demikian Allah dapat dipahami melalui Yesus Kristus.
Ada suatu
metodologi analogi antara teologi dan teori literal, yang berlandaskan kepada
transendensi Allah dan transendensi bahasa (makna)
Dalam hubungannya
dengan pluralisme, kita harus mencatat
berdasarkan suatu paralel. Setiap Pribadi dari Tritunggal memberikan
sudut pandang yang berbeda tentang satu
Allah yang benar. Karena itu ada keterbatasan perspektif dalam pluralilitas.
Pluralisme yang
dipahami di sini bukalah dalam arti pluralisme keanekaragaman masyarakat dengan
kepercayaan dan kebudayaannya dalam suatu lingkup kehidupan tertentu, tetapi
yang dimaksud adalah bahwa ketiga pribadi Tritunggal itu memiliki peran-Nya
masing-masing sekalipun tetap dalam suatu kesatuan yang tak terpisahkan satu
dengan lainnya. Allah yang komunikaif itu berkomunikasi dengan manusia dalam
berbagai cara sebagaimana diungkap dalam Ibrani 1:1. Untuk itu, firman Allah
tidak dapat dipahami atau dipahami hanya dalam lingkup yang terbatas. Firman
Tuhan dapat dipahami berdasarkan konteks yang dipakai Allah di dalam
mengkomunikasikan kebenaran-Nya kepada manusia. Di sinilah letak makna
pluralisme cara Allah mengkomunikasikan kebenaran-kebenaran itu
Di dalam
menafsirkan firman Allah, penting juga
diperhatikan hubungan antar teks. Misalnya
di dalam menafsirkan perumpamaan. Memang setiap perumpamaan memiliki
maknanya sendiri, namun perumpamaan itu harus dikelompokkan bersama dan
sehingga dapat memberikan pola penafsiran dan pengertian yang sama. Hal itu
dapat dilihat dalam penggunaan perumpamaan di dalam injil-injil. Sebagian besar
perumpamaan itu berhubungan dengan pemberitaan Yesus tentang kehadiran Kerajaan
Allah. Untuk itu, perumpamaan itu haruslah ditafsirkan dalam perspektif itu
Hal yang sama juga
berlaku bagi penafsiran Alkitab secara keseluruhan. Misalnya di dala
menafsirkan bagian-bagian tertentu di dalam Perjanjian Baru, haruslah dilihat
hubungan teks itu dengan Perjanjian Lama. Demikian juga di dalam menafsirkan
Perjanjian Lama, kadang-kadang teks dalam Perjanjian Lama itu memiliki hubungan
dengan bagian-bagian tertentu dengan Perjanjian Baru dan bahkan memberikan
penjelasan yang lebih jelas bagi teks itu
Di dalam
mengerjakan penafsiran teks, ada juga beberapa hal yang sangat mempengaruhi
pemahaman seorang penafsir terhadap teks tertentu. Hal-hal itu meliputi sebagai
berikut:
Identifikasi
pembaca teks. Di dalam menafsirkan bagaimana teks itu menghasilkan suatu efek
atau akibat, maka pembaca teks itu perlu didentifikasikan. Studi ini dapat
menolong untuk melihat bagaimana teks ini diperlakukan oleh para pembaca dan
memiliki dampak bagi mereka baik di masa lalu maupun di masa kini
Tempat para
pembaca. Setiap pembaca biasanya memiliki tempat , kebudayaan, waktu dan tradisinya
masing-masing. Melalui hal ini, para pembaca memiliki gambaran bagaimana ia
melihat posisi suatu masyarakat sosial, tempat dan waktu yang berbeda
dengannya. Membaca adalah sama dengan
dialog antara teks dan pembaca, hubungan antara penjelasan teks dan
orang-orang yang hidup dalam budaya tertentu.
Apakah ada pembaca
dalam teks? Mereka ini adalah para pembaca pertama yang memberikan respon
sebagai orang-orang konservatif, pembaca teks yang sesungguhnya.
Berdasarkan
beberapa hal di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa tidaklah cukup hanya
membaca sebuah teks, tetapi bagaimana teks itu memiliki efek atau dampak bagi
orang-orang yang berhubungan dengan teks itu maupun para pembacanya
Untuk menemukan
memahami kebenaran yang terkandung di
dalam Alkitab, maka dibutuhkan hikmat di dalam menafsirkan Alkitab. Seorang
penafsir yang baik, harus benar-benar memperhatikan bagaimana mengikuti teks
dan memperlakukan teks secara benar. Sebelum seseorang memutuskan untuk melihat
lebih dekat kepada bagian teks tertentu, hal pertama yang harus ia lakukan
adalah menerima dan mengakui akan kewibawaan teks itu. Penafsir harus
benar-benar memberikan konsentrasi kepada teks dan melihat dengan jelas apa
yang terkandung di dalam teks itu
Memberikan
penghormatan kepada teks merupakan suatu tindakan yang sangat bermoral bagi
seorang penafsir. Artinya, seorang penafsir haruslah memiliki motivasi yang
benar-benar didasarkan kepada hati yang
tulus untuk memahami, sehingga ia dapat menemukan makna yang sesungguhnya dari
suatu teks tertentu
Di dalam usaha
menafsir dan memahami bagian teks tertentu, ada beberapa kaidah yang perlu
diperhatikan oleh seorang penafsir, yaitu:
Ia haruslah orang yang beriman. Menemukan makna
sebuah teks bukanlah pekerjaan yang serampangan. Untuk itu, seorang penafsir
dapat menemukan kebenaran yang sesungguhnya dari suatu teks, jika ia memiliki
iman. Iman itulah yang akan membimbing penafsir itu kepada kebenaran-kebenaran
rohani yang tidak dapat dipahami dengan benar jika mengandalkan akal semata. Perkara
rohani hanya dapat dipahami melalui hubungan yang benar dengan pemberi
kebenaran itu, yaitu Allah melalui iman
Selalu berharap. Selain itu, seorang penafsir juga
haruslah orang yang selalu berharap. Selalu berharap di sini artinya penafsir
berusaha untuk menemukan kebenaan apa yang terkandung di dalam teks yang sedang
dipelajari, dan bukannya apa yan akan ia katakan tentang teks itu. Dengan
adanya harapan ini, maka penafsir membiarkan dirinya diarahkan oleh teks dan
bukannya ia mengarahkan teks
Memiliki kecintaan terhadap Hermeneutik. Seorang penafsir
yang baik juga harus memiliki kecintaan kepada hermeneutika yang benar. Berdasarkan hukum hermeneutika
yang benar, seorang penafsir tidaklah serampangan di dalam memperlakukan teks
sesuai dengan apa yang ia harapkan. Ada langkah-langkah yang harus diikuti
untuk menemukan kebenaran-kebenaran di dalam bagian teks tertentu. Melalui
prosedur yang benar di dalam penafsiran terhadap bagian teks tertentu,
seseorang terhindar dari kesmpulan yan terburu-buru dan sewenang-wenang, yang
akhirnya menyesatkan.
Memiliki kejujuran. Artinya harus memiliki komitmen dan pemahaman pendahuluan, bahwa
teks tidak boleh diperlakukan dengan tidak jujur atau dimanipulasi dengan
praduga-praduga yang sesungguhnya tidak sesuai dengan teks
Memiliki keterbukaan. Artinya memiliki
keterbukaan dan kerinduan untuk mendengar dan mempertimbangkan pikiran-pikiran
orang lain, termasuk mereka-mereka yang tidak sepakat dengan penafsir itu
Memiliki fokus yang jelas. Artinya,
berkosentrasi kepada teks yang hendak diselidiki dengan sabar, dan
sungguh-sungguh mengarahkan kemampuan untuk teks yang diselidiki
Evaluasi
secara Keseluruhan
Sebagai akhir dari
evaluasi terhadap buku ini, maka ada beberapa komentar yang hendak disampaikan
sebagai berikut:
Pembahasan dalam
buku ini sangat dalam dan menuntut konsentrasi yang penuh agar dapat dipahami
mengenai persoalan makna teks.
Buku ini
membuktikan bahwa tidak ada satu bagian pun dari teks dalam kitab yang kanonik
yang tidak memiliki makna. Kalau hal itu terjadi maka yang salah bukan teksnya,
tetapi pembaca atau penafsirnya.
Karena kitab suci
adalah inspirasi dari Allah, maka untuk memahaminya dituntut suatu hubungan
yang benar dengan pemberi kebenaran itu, yaitu Allah sendiri sebagai pemilik
kebenaran itu. Karena teks tidak hanya semata-mata tulisan manusia melainkan
juga adalah firman Allah, maka seorang penafsir yang baik adalah orang yang
memiliki kehidupan kerohanian yang benar.
Untuk dapat
memahami teks sebagaimana itu berbicara, maka ada kaidah-kaidah yang harus
dimiliki dan dilakukan oleh seorang penafsir, sebagaimana yang telah dijelaskan
di atas.
Penutup
7. Rancang Bangun Teologi Biblika
Rancang
Bangun dalam Kata
Teologi
“Kejujuran” dalam Kejadian sebagai Bahan Ajar dalam
Pembinaan
Family Altar di Gereja Bethany Indonesia / suatu Apolegetika terhadap Doktrin Kekudusan menurut John
Calvin
Bab I Pendahuluan
Masalah-masalah/
isu-isu ajaran kejujuran yang berkembang masa kini (FA/Perwalian STT Bethany/ PA).
Hasil-hasil
penelitian
Paper ini bertujuan untuk mencari jawaban sebagai berikut: Apakah
nilai-nilai Teologi Kejujuran? Bagaimanakah
doktrin Kejujuran menurut John Calvin? Bagaimanakah evaluasi Teologi kejujuran terhadap
doktrin Kejujuran John Calvin?
BAB
II TEOLOGI KEJUJURAN MENURUT KITAB KEJADIAN
Pengertian
Kejujuran
Kata “kejujuran” menggunakan bahasa Ibrani צְדָקָה (tsed-aw-kaw) artinya honesty sedangkan bahasa Yunani
…… artinya … [38] Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dikatakan bahwa jujur adalah lurus hati; tidak berbohong; tidak curang;
tulus; ikhlas. Sedangkan kejujuran (noun) adalah sifat (keadaan) jujur; ketulusan
(hati); kelurusan (hati).[39] Selanjutnya dalam KJV (1611) menggunakan
kejujruan (honesty) sementara NRSV dan
REB memilih “virtous” (kebajikan). Tetapi kejujuran dalam Kejadian 30:33 diberi
oleh NRSV dan TB-Lai arti modern adalah “kebenaran” .[40] Selanjutnya, bahwa jujur mengarakan kepada
seseorang di mana dalam Yosua 10:13 dan 2 Samuel 1:18 disebut orang jujur.
Ucapan-ucapan Raja Salomo dalam 1 Raja 8:12-13 menurut LXX, yang menempatkan
kata-kata itu sesudah 8:53, terdapat dalam “kitab nyanyian”. Karena “nyanyian”,
syir mirip sekali dengan ysyr, barangkali kedua kitab itu sama.[41] Jadi
kejujuran adalah sifat yang ada di dalam diri seseorang yang diungkapkan dengan
apa adanya sesuai nilai-nilai kebenaran
alkitabiah.
Kejujuran
berlandasarkan Kebenaran (ditambahin buku komentari)
Genesis 30:33 וְעָֽנְתָה־בִּ֤י
צִדְקָתִי֙ בְּי֣וֹם מָחָ֔ר כִּֽי־תָב֥וֹא עַל־שְׂכָרִ֖י לְפָנֶ֑יךָ כֹּ֣ל
אֲשֶׁר־אֵינֶנּוּ֩ נָקֹ֙ד וְטָל֜וּא בָּֽעִזִּ֗ים וְחוּם֙ בַּכְּשָׂבִ֔ים גָּנ֥וּב
ה֖וּא אִתִּֽי׃
Dan kejujuranku
akan terbukti di kemudian hari, apabila engkau datang memeriksa upahku: Segala
yang tidak berbintik-bintik atau berbelang-belang di antara kambing-kambing dan
yang tidak hitam di antara domba-domba, anggaplah itu tercuri olehku."
Kata
“kejujuran” diterjemahkan oleh KJV
“righteousness” tetapi oleh NAS, RSV dan NIV diterjemahkan
“honesty”. Kata “righteousness”
menekankan pada kebenaran sedang penggunaan honesty menekankan pada kejujuran. Jadi kata צִדְקָתִי (cidqätî)
berarti menekankan pada kejujuran
yang dilandasarkan pada kebenaran. Dari perbedaan terjemahan maka penulis
menggunakan terjemahan “kejujuran” berarti “honesty”. Kata “Kejujuran”
(honesty) menggunakan bahasa Ibrani צִדְקָתִי (cidqätî) berasal dari kata צְדָקָה
(tsed-aw-kaw) adalah: noun common feminine singular construct
suffix 1st person common singular. Kata צְדָקָה
(tsed-aw-kaw) adalah noun (kata benda)
yang berpoisi sebagai subyek – yang sekaligus mempin ayat yang bersangkut. Karena צְדָקָה
(tsed-aw-kaw) menggunakan tunggal
berarti צְדָקָה (tsed-aw-kaw) berkaitan dengan hanya yang bersangkutan.
Jadi tidak ada yang lain terlibat dalam konteks kejujuran. Jadi kejujuran
tersebut hanya dimiliki oleh orang yang bersangkutan (“ku” 1st
person). Karena kejujuran itu “feminine”
yang menunjuk kepada kewanitaan maka sifatnya (ciri
khas yg ada pd sesuatu) adalah feminine.Jadi kejujuran didominasi oleh ciri
khas yang feminine. Jadi dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ayat
ini menekan pada kejujuran yang berlandaskan kebenaran yang hanya dimiliki oleh
subyek (seseorang) yang bersifat feminine.
Sub Judul 3 (ditambahin
buku komentari)
Kejadian 34
34:12 walaupun
kamu bebankan kepadaku uang jujuran dan uang mahar seberapa banyakpun, aku akan
memberikan apa yang kamu minta; tetapi berilah gadis itu kepadaku menjadi
isteriku."
Kesimpulan:
----
Sub Judul 4 (ditambahin
buku komentari)
Kejadian 42
42:11 Kami ini
sekalian anak dari satu ayah; kami ini orang jujur; hamba-hambamu ini bukanlah
pengintai."
Sub Judul 5 (ditambahin
buku komentari)
Kejadian 42
42:19 Jika kamu
orang jujur, biarkanlah dari kamu bersaudara tinggal seorang terkurung dalam
rumah tahanan, tetapi pergilah kamu, bawalah gandum untuk meredakan lapar seisi
rumahmu.
Kesimpulan:
----
Sub Judul 6 (ditambahin
buku komentari)
Kejadian 42
42:31 Tetapi kata
kami kepadanya: Kami orang jujur, kami bukan pengintai.
Sub Judul 7 (ditambahin
buku komentari)
Kesimpulan:
----
Sub Judul 8 (ditambahin
buku komentari)
Kejadian 42
42:33 Lalu kata
orang itu, yakni yang menjadi tuan atas negeri itu, kepada kami: Dari hal ini
aku akan tahu, apakah kamu orang jujur: dari kamu bersaudara haruslah kamu
tinggalkan seorang padaku; kemudian bawalah gandum untuk meredakan lapar seisi
rumahmu dan pergilah;
Kesimpulan:
----
Sub Judul 9 (ditambahin
buku komentari)
Kejadian 42
42:34 lalu bawalah
kepadaku saudaramu yang bungsu itu, maka aku akan tahu, bahwa kamu bukan
pengintai, tetapi orang jujur; dan aku akan mengembalikan saudaramu itu kepadamu,
dan bolehlah kamu menjalani negeri ini dengan bebas."
Kesimpulan:
----
BAB III KeJUJURAN menurut John Calvin
BAB IV evaluasi Teologi kejujuran terhadap
doktrin Kejujuran John Calvin
BAB V KESIMPULAN
Dari urian
beberapa kata di atas dapat ditarik kesimpulan teologi sebagai berikut:
Kejujuran selalu
berlandaskan kebenaran (diambil dari
kesimpulan Kej. 30:33) = menjadi sub judul
…. (diambil dari
kesimpulan Kej. 34:12) = menjadi sub judul
…. (diambil dari
kesimpulan Kej. 42: 11) = menjadi sub judul
…. (diambil dari
kesimpulan Kej. 42:19) = menjadi sub judul
…. (diambil dari kesimpulan Kej. 42:33) = menjadi sub
judul
…. (diambil dari
kesimpulan Kej. 42: 34) = menjadi sub judul
Catatan:
Kalau
bagian-bagian di atas hasil kesimpulannya sama langsung digabung dalam satu sub
judul, dan jangan dibuat sub judul tersendiri.
Untuk menjadi
uraian sub judul yang mendalam dan tajam
maka perlu dukungan footnote dari buku-buku.
Karena materi ini
dikerjakan oleh mahasiswa doctoral, maka disarankan yang lebih baik bahwa
mengambil buku untuk footnote yang ditulis oleh para doctor, bukan lulusan S-2
apalagi S-1.
Tolong ikuti penulisan footnote dari Turabian yang
sudah disertakan di bagian akhir diktat ini.
Rancang
Bangun dalam Paper
Rancang Bangun
Pendidikan Multikultural
berdasarkan
“Berbuat Baik” menurut Perjanjian Lama
Oleh:
Harianto GP
Bab 1 Pendahuluan
Kata “berbuat baik”
berarti mengerjakan (melakukan)
sesuatu: elok; patut; teratur (apik,
rapi, tidak ada celanya), tidak jahat (
kelakuan, budi pekerti, keturunan, dan sebagainya); jujur; kebaikan; kebajikan: hati berbudi baik; kepada sesama manusia.[42] Berbuat baik adalah universal di mana semua
orang dengan berbagai latar belakang agama, etnik dan lainnya pastilah dengan
senang untuk berbuat baik. Justru kalau mereka tidak berbuat baik
(berbuat jahat) maka akan tercap sebagai
“orang yang melanggar hukum” bahkan ada yang menyebut “terkutuklah” orang yang
berbuat jahat. Misalnya “pemboman yang diterjadi di New York, Bali dan dan di
Negara-negara dunia, maka semua orang mengatakan “terkutuklah mereka ”. Mereka
dikutuk oleh mata dunia. Begitu juga yang dilakukan oleh orang-orang yang
membakar tempat-tempat ibadah maka
“terkutuklah mereka”. Semua mata dunia mengutuk mereka tanpa melihat latar
belakang etnik maupun religi.
Pastilah semua orang dapat menerima dan senang melihat manusia dapat
berbuat baik. Bahkan orang bilang bahwa
berbuat baik berakibat sebagai berikut: (1) Ia disukai orang. (2) Ia dihargai
orang. (3) Ia dibutuhkan orang. (4) Ia menjadi contoh hidup orang lain. Berkaitan hal tersebut, maka hasil penelitian Fakultas Psikologi The University of Michigan,
AS, beberapa waktu lalu, menunjukkan bahwa berbuat
baik ternyata memperpanjang umur! Seseorang yang melakukan perbuatan baik,
hatinya akan tenang. Orang yang hatinya tenang, hormon baik dalam tubuhnya akan
berkembang. Terbentuklah tubuh yang sehat. Seperti itulah hubungan
sederhananya. Berangkat dari kepuasan batin, kesehatan jasmani seseorang bisa
dibentuk. Ini karunia yang tiada tara nilainya dan sepantasnya setiap
manusia menjalankan sebaik-baiknya.
Berbuat baik itu bisa dilakukan dengan cara apa saja. Tersenyum, memberi jalan
bagi orang yang terburu-buru, atau mengucapkan terima kasih adalah cara berbuat
baik yang sederhana. Pasti bisa dilakukan oleh siapa saja. Apa sulitnya
menyapa, menyalami dan menerima orang dengan senyum ramah? Apa sulitnya memperlakukan
semua orang dengan kasih, kemurahan, dan rasa hormat?[43]
Sebuah penelitian yang dlakukan oleh University of British
Columbia menemukan efek dari berbuat baik kepada orang lain meredakan despresi yang sedang dialaminya.[44]
Selanjutnya dikatakan bahwa ketika melakukan perbuatan baik dengan sadar, otaknya
terbuka dan terjadi aliran energi semesta ke dirinya. Semua organ tubuh bekerja
dengan normal. Bahkan lebih baik. 70 persen dari tubuh terdiri dari air.
Menurut penelitian Masaru Emoto, bahwa air memiliki daya rekam tinggi. Saat
berbuat baik berarti cairan tubuh manusia
merekam kebajikan. Dan hasilnya pikiran dan tubuh normal dan bahkan
optimal kinerjanya. Hal tersebut, didukung oleh peneliti yang juga seorang Jepang, Hiromi Shinya, melakukan
penelitian tentang manfaat enzym. Kesimpulannya juga sangat mirip dengan hasil
penelitian Masaru Emoto. Pikiran baik dan selalu bersyukur mengakibatkan
produksi enzym berjalan dengan baik. Enzym adalah zat berupa cairan yang sangat
membantu metabolisme tubuh. Adalah Shigeo Haruyama yang membuktikan
keajaiban endorphin. Dalam
penelitiannya terbukti bahwa pikiran yang murni baik akan menghasilkan beta
endorphin yang memberikan efek bagi peningkatan kesehatan bagi tubuh manusia.[45]
Paper ini bertujuan untuk mencari jawaban sebagai berikut: Apakah nilai-nilai berbuat baik menurut
Alkitab? Bagaimanakah tantangan “berbuat baik” menurut dimensi Teologi
Multikultural? Bagaimanakah implementasi pendidikan Teologi Multikultural
mengenai berbuat baik ke dalam pelayanan Kristen?
Bab II NIlai-nilai Berbuat Baik”
Pengertian
“Berbuat Baik”
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa baik
mempunyai beberapa makna sebagai berikut: (1)
elok; patut; teratur (apik, rapi, tidak ada celanya, dsb.). (2) mujur;
beruntung (tt nasib); menguntungkan (tt kedudukan dsb). (3) berguna; manjur (tt
obat dsb.). (4) tidak jahat (tt kelakuan, budi pekerti, keturunan, dsb); jujur.
(5) sembuh; pulih (tt luka, barang yg rusak, dsb.). (6) selamat (tidak kurang
suatu apa). (7) selayaknya; sepatutnya. (8) (untuk menyatakan) entah ... entah.
(9) ya (untuk menyatakan setuju). (10) kebaikan; kebajikan: hati berbudi baik.[46]
Lebih khusus lagi
bahwa “Kebaikan” (Ibrani tov) menunjuk kepada sesuatu yang menyenangkan,
menggembirakan atau ramah. Sesuatu yang memberi kebahagiaan atau kepuasan yang
mendampakkan kepuasan estetika atau moral. Dalam LXX menerjemahkan tov dengan “agathos”, kata Yunani biasa
untuk menerangkan gagasan yang baik sebagai kualitas jasmani atau moral, dan
kadang-kadang menerjemahkannya dengan kalos (harfiah 'cantik'; jadi baik dalam
bahasa Yunani klasik maupun dalam Alkitab, bahwa perbuatan baik disebut tindakan
yang “mulia'” “yang terhormat”,“mengagumkan” dan “patut” dipuji”.[47]
Perbuatan
Baik adalah Proses
Perbuatan baik adalah proses dan
tidak dapat dilakukan sekali dalam umur manusia melainkan terus menerus secara
aktif. Dalam Kejadian 4: 7 berbunyi:
“Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik? Tetapi jika
engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat
menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya." Kata “berbuat
baik” menggunakan Ibrani תֵּיטִיב (tetib) berarti “to be
good”. Tetapi yang menarik יטב
adalah verb hiphil imperfect 2nd person masculine singular, berarti “berbuat baik” secara terus-terus, proses
reflektif yang menjadi baik . Jadi “berbuat baik” adalah suatu proses
yang dilakukan oleh seseorang untuk menjadi “lebih baik. Sebaliknya, kalau ia tidak melakukan proses
menjadi baik atau berbuat jahat (Ayb. 24:21; Mzm. 14:3; 36:3), maka ia adalah
seorang yang berdosa. Teks di atas
menegaskan bahwa seseorang harus memilih berbuat baik dikehendak oleh Tuhan dan
berbuat jahat adalah dosa. Bahkan Allah
sendiri berbuat baik (Kel. 1:20; Hak.17:13; 1 Sam. 25:31). Hal itu dilakukan
Allah karena “Sesungguhnya, di
bumi tidak ada orang yang saleh: yang berbuat
baik dan tak pernah berbuat dosa!” (Pkh. 7:20).
Lebih dalam lagi
dalam PB dikatakan bahwa: “ Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik” (Gal. 6:9; Tit.
6: 18; Yak. 4:17), Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah
kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita
seiman (Gal. 6:10), dan dalam Ibrani 13:16
dikatakan: “janganlah kamu lupa berbuat baik dan memberi bantuan, sebab
korban-korban yang demikianlah yang berkenan kepada Allah”.
Unsur
Berbuat Baik
Unsur
berbuat baik adalah “berkenan di
hadapan Tuhan”. Kata “berkenan” menunjuk
kepada nilai yang dikandung oleh sesuatu. Misalnya adalah “berguna”, seperti
garam (Mat. 5:13; Luk. 14:34), “bermutu
tinggi” seperti emas (Kej. 2:12), “ternak” (Kej. 41:26), “produktif”
seperti pohon (Mat. 7:17), “tanah” (Luk. 8:8). Tapi pengertian
Alkitab tentang kebaikan moral dan spiritual adalah benar-benar teologis, dan
sangat bertentangan dengan pandangan yang berpusat kepada manusia
(antroposentris) tentang kebaikan yang dikembangkan oleh orang Yunani dan para
ahli pikir tradisi mereka yang kemudian. Pengertian Alkitab dapat diuraikan
sebagai berikut: (1) Allah adalah baik, karena secara moral adalah Dia adalah sempurna dan maha agung
dalam kemurahan hati. Pengakuan bahwa Allah baik, adalah alas dasar dari semua
pemikiran alkitabiah tentang kebaikan moral. Kata “Baik” dalam Alkitab bukanlah
kualitas abstrak, juga bukan cita-cita manusia sekuler; “baik” pertama-tama dan
terutama berarti apa Allah itu (“Ia adalah baik”, Mzm. 100:5). (2)
Perbuatan-perbuatan Allah adalah baik, karena perbuatan-perbuatan-Nya itu
menyatakan sifat-sifat kebijaksanaan dan kuasa-Nya (Mzm. 104:24-31), dan adalah
berkenan kepada Dia sendiri. Ketika perbuatan penciptaan selesai, “Allah
melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik” -- wetob (Kej. 1:31; bdk. ay. 4, 10, 12, 18, 21,
25).
(3) Pemberian-pemberian Allah adalah baik, karena pemberian-pemberian itu
mengungkapkan kemurahan hati-Nya, dan diuntukkan bagi kesejahteraan dan
keselamatan si penerima. Kata seperti “Bermanfaat”, “berguna”, “menguntungkan”
adalah beberapa di antara pengertian sekuler tentang “baik” sebagai kata sifat,
sedangkan “kemakmuran” dan
“kesejahteraan” adalah kata bendanya. Alkitab menggabungkan keduanya
dalam teologinya dengan mengajarkan, bahwa bukan saja segala pemberian Allah
adalah baik dalam tujuan maupun dampak-dampaknya, tetapi juga bahwa segala yang
baik pada hakikatnya adalah pemberian Allah (Yak. 1:17; Mzm. 4:6). (5) Ketaatan
kepada perintah-perintah Allah adalah baik, karena Allah berkenan dan menerima
hal itu (1Tim. 2:3), dan mereka yang
melakukan ketaatan itu akan memperoleh keuntungan daripadanya (Tit. 3:8).[48]
Akibat Berbuat Baik
“Berbuat baik” bukan hanya perintah dari Tuhan tetapi bila seseorang
berbuat baik, maka ia akan berakibat sebagai berikut: diberkati Tuhan (Kej. 26:29), menjadikan keturunanmu sebagai pasir di laut,
yang karena banyaknya tidak dapat dihitung (Kej. 32: 12), Tuhan berbuat baik
kepada hidup kita (Bil. 10:29). Tuhan bergirang (Ul. 28:63; Yer. 32:41), anak-anakmu
akan duduk di atas takhta Israel sampai keturunan yang keempat (2Raj. 10:30),
menjadi tenang (Mzm. 116:7), orang benar mengelilingnya (Mzm. 142:7), Aku mau
menyanyi untuk TUHAN (Mzm. 13:6), memuji nama-Mu (Mzm. 142:7), berbuat baik
kepada dirinya sendiri (Ams. 11:17), dan ia takut akan Tuhan (Yer. 32:40).
Berbuat baik bukan
karena disuap tetapi memang wajib melakukannya (Bil. 24:13) kerannya bahwa
Allah mengajarkan dan memberi contoh seseorang untuk untuk berbuat baik (Ul.
8:16). Kalau seseorang berbuat baik maka
berakibat bahwa orang lain juga berbuat baik kepadanya (Ul.30:5).
Bab III Tantangan “berbuat Baik”
dalam Dimensi Teologi
Multikultural
Tantangan “Berbuat
Baik” dalam Teosentris
Pernyataan umum Allah hadir untuk semua orang.
Pernyataan umum adalah tindakan Allah
menyatakan diri-Nya melalui alam semesta, sejarah, dan hati nurani manusia. Allah adalah sesuatu yang disembah
oleh manusia. Allah telah menyatakan diri-Nya kepada manusia secara lengkap.
Hal itu bisa dilihat dari nama-nama yang Allah miliki. Nama Allah selalu digunakan secara
bersetaraan dengan kesempurnaan misalnya setia (Yes. 49:9), kasih karunia (Mzm.
23:3), kemuliaan (Mzm. 79:9). Nama-nama Allah mempunyai informasi yang
berotoritas mengenai sifat-sifat, pikiran atau rancangan Allah.
Sementara natur manusia adalah mereka yang sedang
menikmati hidup sehari-hari, bekerja,
berolahraga, berlibur,
bersekolah, dan sebagainya. Di sini bahwa natur manusia dalam Kejadian 1:26-27, dijelaskan bahwa manusia diciptakan menurut “gambar” dan
”rupa” Allah. Kata “gambar” dan “rupa” tidak menunjukkan dua hal yang berbeda,
tetapi mengandung kesamaan. Kesamaan ini
menekankan akan kesamaan ilahi -- bukan
kesamaan secara fisik -- antara Allah dengan ciptaan-Nya, yaitu: manusia. Tapi, karena manusia jatuh dalam dosa, maka
kesamaan illahi ini rusak.[49]
Berkaitan hal di atas, maka tantangan “berbuat baik” dalam Teosentris
(umum) adalah mandat budaya (diberikan Allah kepada semua manusia –
penatalayanan bersama dan tanggung jawab bersama), Natur Manusia (manusia
sebagai dengan rupa Allah – Imago Dei
dan Similitude Dei), Kedaulatan Allah
(manusia merupakan bagian dari kehendaknya guna mencapai tujuan yang kekal),
Providensia Allah (setiap manusia mempunyai hak untuk hidup sebagaimana yang
telah disediakan oleh Allah), keadilan Allah (sebagai hakim Allah meminta
pertanggungjawaban apa yang telah dilakukan oleh manusia. Allah menghendaki
manusia berlaku adil terhadap siapa saja sesuai apa yang menjadi haknya),
kekudusan Allah (setiap orang percaya memiliki tanggung jawab untuk
mempresentasikan kekudusan Allah di tengah-tengah orang lain yang beda suku dan
agamanya).[50]
Allah adalah
segala-galanya. Dengan mengenal Allah semakin hari semakin dalam berarti
manusia sudah mengenal din sendiri. Karena segala sesuatu itu berasal dan ada
dalam Allah.Ia ada di dalam-Nya. Segala kehidupan ada di dalam dan dari Allah,
entah itu merupakan bentuk kehidupan yang terendah yang tidak disadari atau
kehidupan tertinggi yang sangat pintar dan sadar akan dirinya sendiri.
Dan apa yang perlu
manusia ketahui tentang Allah? Tak lain adalah sifat keilahian-Nya, keberadaan-Nya,
kekekalan-Nya, ketidakterbatasan-Nya, ketidakberubahan-Nya, kemahatahuan-Nya,
hikmat-Nya, kemahakuasaan-Nya, kemahatinggian-Nya, kesetiaan-Nya, kebaikan-Nya,
keadilan-Nya, belas kasih-Nya, kasih karuniah-Nya, kekudusan-Nya,
kedaulatan-Nya, dan masih banyak lagi. Tetapi, karena kesempurnaan Allah, maka
manusia yang berdosa tidak bisa melihat dan mengenal Allah secara sempurna
pula. Bahkan bagi orang yang tidak percaya kepada-Nya, susah untuk bisa melihat
kepribadian Allah. Di sini, Allah berharap bahwa semua manusia di bumi ini
percaya kepada-Nya tetapi mereka menolak. Karena itu, kunci mengenal
pribadi-Nya, pada orang yang percaya kepada-Nya. Dengan cara apa orang yang
percaya kepada-Nya lihat pribadi Allah? Tak lain, dengan iman dan kasih kita bisa
melihat Dia secara sepintas.[51]
Jadi tantangan
“berbuat baik” dilakukan seseorang (manusia) dengan manusia lainnya tanpa
melihat latar belakang agama atau etnis, ekonomi, social dan lainnya. Semua
manusia mempunyai kedudukan sama adalah manusia ciptaan Allah dan mereka, satu
dengan yang lain, mempunyai hak untuk saling berbuat baik, saling tolong
menolong dan saling bergandengan hidup
bersama di muka bumi.
Tantangan “Berbuat
Baik” dalam Kristosentris
Pernyataan khusus Allah adalah untuk orang yang percaya Alkitab sebagai
Firman Allah. Pernyataan khusus adalah
wahyu yang diberikan Allah melalui karya penebusan Yesus Kristus dalam sejarah,
dan wahyu ini hanya terdapat di dalam Alkitab.
Misalnya: seseorang selamat karena percaya kepada Yesus, mendapatkan Roh
Kudus tiap-tiap hari, Roh Kudus tinggal di dalam kita, mendapat kerajaan Allah,
janji pengampunan, janji berkat, dan sebagainya.
Dalam konteks penyataan khusus Allah (dalam kehidupan orang percaya), maka
tantangan orang percaya “berbuat baik”
terhadap sesamanya wajib dilakukan. Tantangan ”berbuat baik” dalam Kristosentris (kekristenan) adalah inkarnasi (Allah menjadi manusia menujukan
solidaritas dan identifikasi diri), universalitas Soteriologi (Yesus sebagai
Juruselamat bagi semua orang yang menerima Dia sebagai juruselmatnya),
Teokrasi-Presentis menunjuk pada masa
kini (Kristus memerintah berdasarkan berkuasa mengatur ciptan-Nya),
universalitas Karya Roh Kudus (Roh Kudus melakukan segala sesuai sesuai dengan
perintah Kritus), naturalitas gereja (Gereja sebagai tubuh Kristus adalah
gereja harus kreatif melayani di tengah dunia) dan multikultural kekekalan
(Gereja akan terus berlanjut hingga kekekalan).[52]
Prinsip Inkarnasi
Titik ini ”berbuat baik” antara orang percaya dimulai dari inkarnasi Yesus
ke bumi. Hal
tersebut dimulai setelah manusia pertama Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa,
menyebabkan semua keturunannya berdosa. Semua manusia
tidak ada yang benar, seorang pun tidak (Rm. 3:10). Semua manusia telah berbuat
dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah (Rm. 3:23). Dan sebagai upahnya
adalah maut (Rm. 6:23). Karena manusia telah berdosa, maka hubungan antara
Allah dan manusia menjadi terputus, manusia tidak dapat sampai kepada Allah.
Segala yang dilakukan manusia untuk mencapai keselamatan adalah sia-sia, entah
itu dengan melakukan perbuatan baik atau amal, sebab segala perbuatan baik
manusia hanyalah merupakan kain kotor saja di hadapan Tuhan (Yes. 64:6).
Setelah semua cara yang sebelumnya dipakai untuk mendapatkan keselamatan
sia-sia, akhirnya sang Juruselamat sendiri yang datang. Tuhan mengetahui bahwa
manusia tidak mungkin dapat memperoleh keselamatan hanya dengan usahanya
sendiri, karena manusia tidak ada yang sempurna.
Prinsip Keselamatan
Perbuatan baik Allah dinyatakan melalui kasih Allah dengan cara adalah dinyatakan melalui Anak-Nya supaya manusia
hidup (1Yoh. 4:9), tetapi Allah menujukkan kasih-Nya kepada manusia melalui
kematian Kristrus di kayu salib ketika kita masih berdosa (Rm. 5:8). Ini
disebabkan karena begitu besar kasih Allah kepada manusia meski manusia
hidupnya selalu memberontak Allah (Yoh. 3:16). Bahkan dasar Allah menyelamatkan
manusia adalah kasih. Mazmur 33: 5b
mengatakan bahwa sifat kasih Allah adalah setia, tidak meninggalkan orang yang
dikasihi. Ia masih tetap mengasihi manusia meskipun kita sering tidak mengasihi
Allah.
Kasih adalah anugerah (pemberian) Allah kepada
manusia. Dikatakan satu anugerah, karena manusia tidak membayar kembali kasih Allah tersebut
(Yoh. 3:16). Persoalannya: bagaimana manusia
meresponi kasih Allah? Manusia harus menuruti perintah-perintah-Nya. Wujudnya
kasih harus diwujudkan dalam perbuatan manusia sehari-hari. Tetapi, manusia
sering mengalami hambatan bahwa manusia
tidak bisa mengasihi musuh-musuhnya sedangkan Allah bisa mengasihi manusia yang
pemberontak Dia. Implikasi kasih bagi manusia adalah manusia mesti hidup
”berbuat baik” kepada Tuhan dan sesamanya.
Apa yang diberikan Yesus
kepada manusia, yaitu keselamatan dapat diperoleh manusia melalui jalan
anugerah. Melalui Roh Kudus, Allah menarik dan mengajak orang kepada Yesus
Kristus dan pertobatan. Kemudian Allah membawa orang itu kepada pilihan untuk
memutuskan kehendaknya, apakah ia mau bertobat dan menyambut Tuhan Yesus
sebagai Juruselamatnya. Demikian pula pilihan terakhir harus dari kehendak
manusia. Allah menghendaki agar semua orang tidak binasa (2 Ptr. 3:9).
Prinsip Roh Kudus
Dalam konteks ini bahwa Roh Kudus mempunyai peran menggantikan Yesus Kristus
sesudah Yesus bangkit ke surga. Mengapa Tuhan Yesus harus pergi (Yoh. 16:7-11)?
Selama Tuhan Yesus masih ada di dunia, Roh Kudus belum bisa datang. Roh Kudus
sebagai pengganti Tuhan Yesus datang sebagai penolong dan akan mendampingi kita
selama-lamanya. Roh Kudus hadir ke dalam diri orang percaya, bukan hadir ke
dalam diri orang tidak percaya.
Roh Kudus sebagai dinamika dalam pekerjaan misi.
Roh Kudus disebut lebih dari 250 kali dalam Perjanjian Baru.[53] Roh Kudus dalam bahasa Yunani
“parakletos” berarti “sebagai
penghibur”. Dalam bentuk pasif artinya “seorang yang dipanggil ke samping”
untuk menolong. Bentuk kata dasar dari kata “parakalein” dan “parakletoi”.
“Parakalein” digunakan khususnya untuk mendorong orang-orang, memberikan
semangat agar mereka menghasilkan perbuatan-perbuatan yang benar dan
pikiran-pikiran yang mulia. Kata “parakalein” digunakan dalam kaitannya dengan
pertempuran. “Parakletoi” atau pendorong-pendorong adalah veteran-veteran yang mendorong
para serdadu sebelum dan selama
pertemuan.[54]
“Parakletos” mempunyai latar belakang Septuaginta
yang menyatakan sejenis ketenangan dan
penghiburan dalam penderitaan yang menjaga seseorang untuk tetap berdiri di
atas kakinya, yang kalau orang tersebut dibiarkan, ia akan jatuh. Ketenangan inilah yang memungkinkan seorang untuk
melewati saat kritis dan tidak jatuh.[55]
“Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus
oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu
dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu” (Yoh 14:
26).
“Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus
turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh
Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi” ((Kis 1:8).
Dengan demikian, maka fungsi Roh Kudus adalah: (1) bukan hanya
menginsyafkan, tetapi juga menggerakkan manusia untuk melakukan sesuatu dan
membawa manusia kepada Kristus. Roh Kudus menginsyafkan akan dosa secara terus
menerus. Dosa di sini berarti mempunyai “penyakit” dan tidak mengurus
“penyakitnya”, tidak berusaha untuk sembuh dari “penyakitnya”. Misal: mencuri,
berjinah, iri hati, memfitnah, dan lainnya. Berarti dosa tetap tinggal di dalam
perbuatan yang tidak berkenan kepada Allah. Roh Kudus menginsyafkan manusia
akan dosanya sehingga dia menjadi manusia baru. (2) Roh Kudus menginsyafkan
akan kebenaran bahwa Yesus pergi kepada Bapa dan manusia tidak melihat-Nya
lagi. Pada saatnya Yesus datang
keduakalinya untuk menghakim manusia di bumi. (3) Roh Kudus menginsyafkan akan menghakiman karena penguasa dunia (Iblis) telah dihukun,
berarti kuasanya terbatas. Sehingga Iblis tidak bisa (tidak berhak) menunduh
anak-anak Tuhan karena telah diselamatkan oleh salib Kristus. Iblis tidak bisa
menghalangi, meniadakan, menghancurkan pemberitaan Injil. Anak-anak Allah
menang atas usaha Iblis. Iblis diberi kesempatan untuk berbuat jahat kepada
manusia tetapi manusia diberi kuasa untuk melawannya, sehingga kejahatan Iblis
berubah menjadi berkat bagi anak-anak Allah.
Jadi pekerjaan
“berbuat baik” yang dilakukan oleh orang percaya mendapat dukungan dari Roh
Kudus hingga pekerjaan tersebut menjadi sukses. Roh Kudus membimbing orang
percaya untuk mampu berbuat baik, berbuat baik dan selalu berbuta baik.
Prinsip Naturalitas Gereja
Pekerjaan Missio Dei, Missio Christi dan Roh
Kudus diembankan kepada gereja Tuhan.
Gereja Tuhan itu adalah Kerajaan Allah dimana Tuhan sendiri memulai pelayanannya memberitakan Kerajaan Allah. Markus
mengatakan: “Waktunya telah genap, Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan
percayalah kepada Injil!” (Mrk 1:14-15).
Berita mengenai kerajaan itu terus menjadi berita utama dalam
pelayanan-Nya; dan seperti yang
diberitahukan Lukas kepada kita, bahwa sesudah bangkit, Dia terus berbicara kepada para rasul “tentang Kerajaan
Allah”. Jadi, berita Kerajaan Allah itu merupakan satu fokus, dan bahkan
sesuatu hal yang penting, penekanan dari pelayanan Kristus ketika
memberikan pengajaran.[56]
Kata “Gereja” berasal dari bahasa Portugis “Igreja”, yang
berarti sama dengan Eklesia (bahasa Yunani), artinya: “dipanggil keluar”
menjadi milik Tuhan Yesus. Kata “Eklesia” menekankan pada 3 hal: sidang
(himpunan orang banyak), jemaat (bahasa Arab berarti: himpunan, rombongan atau
pertemuan orang-orang), dan gedung gereja.
Gereja mempunyai tiga arti sebagai berikut: (1)
orang-orang yang dipanggil keluar dan dipersatukan menjadi anggota “Tubuh
Kristus” (Ef. 2:13,19; 4:15-16); (2) gedung atau tempat kebaktian (beribadah)
dari bahasa Yunani “Kurakion”, berarti: rumah Tuhan (bahasa Belanda “Kerk”),
dan (3) denominasi (aliran sesuatu gereja yang terdiri dari beberapa
jemaat). Dalam PL: Bahasa Ibrani qahal
(77 kali dalam PL), yang disalin menjadi ekklesia, artinya “orang-orang Kudus”. Qahal dipakai dalam kaitan dengan suatu perkumpulan
atau pertemuan tertentu di suatu tempat, sebagai suatu kumpulan jasmani dan
tidak pernah digunakan untuk menyampaikan bahasan mengenai gabungan mistik para
orang kudus sebagai kumpulan rohani dari orang-orang yang terpisah secara
geografis.[57]
Dalam PB: Ekklesia; jemaat; perkumpulan orang-orang kudus; orang-orang Kristen.
Memang konsep
tentang Kerajaan Allah hampir-hampir tidak jelas dalam pelayanan 12
murid. Dalam khotbah-khotbah yang dicatat Alkitab, Petrus tidak memakai konsep
itu, tetapi Surat-surat II Petrus 1:1 adalah
satu-satunya penyebutan konsep mengenai “Kerajaan kekal, yaitu Kerajaan
Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus”. Mirip dengan hal itu, Yakobus hanya
menulis sekali mengenai “Kerajaan yang telah dijanjikan-Nya kepada barangsiapa
yang mengasihi Dia” (Yak. 2:5). Konsep itu tidak ditemukan dalam ketiga surat
Yohanes, dan hanya dikemukakan dalam Injilnya saat dia secara langsung mengutip
Sang Guru (Yoh. 3:3,5; 18:36).
Paulus
yang mengembangkan “Kerajaan Allah” dan ia memberitakan mengenai Kerajaan Allah
(Kis. 14:22; 19:8; 28:23;31). Dalam surat-suratnya dia menguraikan, bahwa kini
kenyataan rohani dari kerajaan itu bukan soal makanan dan minuman, melainkan
“soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus” (Rm. 14:17).
Sifat moralnya, aspek-aspek keduniawian lainnya mengenai nilai-nilai, alam,
tujuan, dan realisasinya dinyatakan tegas dalam 1 Korintus 6: 9-10; 15:50;
Galatia 5:21; Efesus 5:5; dan II Timotius 4:18. Di sini, bahwa: pertama, kerajaan itu akan segera
dinyatakan. Kedua, kerajaan itu
mempunyai ciri yang rumit yang sulit didefinisikan. Ketiga, muncul ciri khas dari kerajaan itu sepanjang zaman yang
berlaku universal dan bersifat kualitatif – satu fakta yang makin menyulitkan
dilakukan pembedaan-pembedaan secara tajam.[58]
Jadi gereja berfungsi sebagai pemberita orang
percaya untuk berbuat baik. Hamba-hamba Tuhan bukan saja menyampaikan khotbah,
mengajar dan sharing mengenai berbuat
baik, tetapi juga menjadi teladan berbuat baik. Dengan demikian jemaat mendapat
gambar kehidupan berbuat baik. Tentu saja perlahan-lahan jemaat menjadi hidup
berbuat baik kepada manusia siapa saja. Jadi ”berbuat baik” merupakan model
teladan bagi kehidupan manusia.
Tantangan “Berbuat
Baik” dari Teosentris ke Kristosentris”
“Berbuat baik”
mempunyai nilai yang universal di mana setiap manusia ingin melakukannya dengan
sebaik-baiknya dalam hidupnya. Allah
mengajarkan untuk berbuat baik. Dari “berbuat baik” setiap orang akan
dapat dengan bebas berbicara bahkan
bekerja sama dalam lingkup Teosentris.
Dari teosentris tersebut maka tidaklah sulit memasuki konsep Kristosentris di mana seseorang dapat diajak sharing mengenai Injil yang menawarkan keselamatan kekal melalui Yesus
Kristus.
BAB IV. Implementasi
Pendidikan
“Berbuat Baik” ke dalam Pelayanan Kristen
Bahan Pengajaran
“Berbuat Baik”
“Berbuat baik”
menjadi bahan pengajaran yang mesti diterapkan dalam kehidupan manusia (bukan
saja orang Kristen tetapi non-Kristen juga). Berbuat baik adalah bahan
pengajaran yang universal. Karena itu, jal tersebut sangatlah efektif bila
digunakan sebagai alat komunikasi baik dalam sharing maupun tingkat yang lebih akrab lagi adalah dalam bekerja
sama di tengah masyarakat majemuk.
Berkaitan
hal di atas, maka Alkitab menjabarkan sebagai berikut: Engkau baik dan berbuat baik; ajarkanlah
ketetapan-ketetapan-Mu kepadaku (Mzm. 119: 68), “belajarlah berbuat baik (Yes. 1:17), karena mereka tidak
tahu berbuat baik (Yer. 4:22), ketentuan Tuhan (Yer. 36:11; Zkh. 8:15).
Selanjutnya dalam PB juga ditajamkan bahwa “jadikanlah dirimu sendiri suatu
teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam
pengajaranmu” (Tit. 2:7). Jadi “berbuat bait” dapat menjadi bahan mengajar yang
mengerucut kepada keteladan hidup seseorang. Tentu saja semua itu harus dimulai
dalam dirinya sendiri baru dapat diekspresikan ke luar. Bagaimanakah seseorang
ingin menjadi teladan berbuat baik di tengah masyarakatnya tetapi ia sendiri
tidak dapat menghargai berbuat baik dalam dirinya sendiri? Bukankah “berbuat
baik” selalu dimulai dari dalam dirinya sendiri baru keluar?
Teologi Berbuat
Baik dalam Kerangka Teokrasi Ke Kristosentris
Teologi “berbuat
baik” dalam kerangka epistemology Teokrasi ke Kristosentris yang menjadi
wilayah doktrinal. Berbicara doktrinal berarti tidak lepas dengan pertumbuhan
iman Kristen dan tugas missioner yang diberikan Allah kepada umat-Nya. Sebagai
iman selalu berpusat kepada Yesus dan sebagai missioner berupaya memenangkan
jiwa-jiwa yang tersesat (hilang).
Karena sifatnya
doktrinal maka diupayakan bahwa konsep-konsep “berbuat baik” itu didialogkan
sebagai sapaan konsep di tingkat kemajemukan agama-agama. Dialog tersebut
adalah sharing mengenai berbuat baik. Bagi
orang Kristen berbuat baik adalah ajaran
Alkitab itu sendiri. Rom 2:12:
“Semua orang yang berdosa tanpa hukum taurat akan binasa tanpa hukum taurat;
dan semua orang yang berdosa di bawah hukum Taurat akan dihakimi oleh hukum
taurat.” Dalam Yoh 18: 37 dikatakan bahwa Yesus datang ke dalam dunia ini supaya Dia bersaksi tentang
kebenaran berbuat baik.
Perbuatan baik Allah adalah
kebenaran yang dilandaskan keselamatan manusia, dan hanya melalui Yesus Kristus – manusia percaya
kepada-Nya sebagai Juru Selamat – maka manusia itu hidup dalam kebenaran yang
sesungguhnya. Apa yang dikatakan Alkitab
itulah kebenaran Allah, sebab perbuatan baik
itu adalah Allah itu sendiri, dan perbuatan baik itu adalah ketaatan.
Begitu juga Yesus adalah perbuatan baik itu sendiri karena Yesus itu adalah Allah
sendiri. Jadi, kalau Allah mendemotrasikan
perbuatan baik-Nya kepada manusia melalui Yesus
berarti Allah itu juga memberikan perbuatan baik itu dalam Yesus. Perbuatan baik Yesus adalah Dia datang menjadi saksi
kebenaran Allah. Yoh 1:18: “Tidak seorang pun yang pernah melihat Allah; tetapi
Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya.” Di
sini, Yesus tidak hanya dikomunikasikan Firman Allah secara langsung,
tetapi Dia adalah Firman Allah itu
sendiri. Dia adalah iman orang Kristen.
Jadi, dialog “perbuatan baik” akhirnya menjadi tidak kompromis. Ketika
dialog selesai maka kelanjutannya adalah patner dialog itu akan “menerima” atau
“menolak”. “Menerima” berarti Yesus Kristus menjadi Juru Selamatnya dan ia
mendapat jaminan hidup kekal, tetapi bila ia “menolak” berarti seseorang sudah mendengar kesaksian
keselamatan melalui Kristus.
Teologi Berbuat
Baik yang Holistik
Teologi Berbuat
Baik yang holistik menjadi wilayah etika.
Perbuatan baik adalah apa yang diajarkan
Yesus bahwa orang percaya harus hidup di tengah masyarakat, berkomunikasi
dengan masyarakat, bahkan menolong atau membagi kasih Allah kepada siapa saja.
Di sini, orang Kristen berbuat baik kepada semua orang dan apa pun agamanya.
Yesus mengajarkan kita agar kita berbuat
baik kepada sesama manusia. Orang
percaya berbuat baik kepada orang-orang agama lain Kasih yang diberikan
Allah kepada orang percaya dalam Kristus memanggilnya menerima tetangganya
dan mengajak mengenal “berbuat baik” Allah yang luar biasa.
Proses pengenalan perbuatan baik
bukan berarti seseorang harus berpakaian sama seperti orang Kristen,
merubah nama menjadi ciri nama orang Kristen, atau mengikuti irama keagamaan orang Kristen. Karena perubahan
bukan berarti memanipulasi pemikiran manusia menjadi evagelism misalnya. Evangelism adalah cara hidup dan pemberitaan
Firman, tetapi perubahan[59]
adalah cara respon terhadap Firman Allah dalam pribadinya yang membuat
seseorang itu mempunyai pendirian (sikap) yang nyata bersekutu yang benar
dengan Allah.
Jadi, ”perbuatan baik” bisa kompromis selama etika yang dirumuskan
bersama -- antara umat beragama – sesuai dengan kebenaran Alkitabiah. “Perbuatan
baik ” ini membuat orang Kristen mau bekerja sama dengan siapa saja dan tidak
melihat agama apa saja untuk melakukan hal-hal yang baik – menolong orang
miskin, menjadi warga negara yang baik, membangun moral negara, ikut berperang
bila negara memintanya, menjaga keamanan lingkungan, menjaga kebersihan
lingkungan dan sebagainya. Dalam “berbuat baik”, orang Kristen hanya mempunyai
tugas melakukan nilai-nilai kebenaran Allah
dengan sebenar-benarnya dan nilai-nilai “perbuatan baik”
seteladan-teladannya seperti apa yang telah dilakukan Yesus sebagai teladan
hidup baik dalam doktrin maupun
etika. Berkaitan hal tersebut, Lumintang
mengatakan bahwa “berbuat baik”
(kebenaran Allah) yang benar adalah bersumber dari Allah melalui
penyataan umum. Kebenaran tersebut
bukanlah kebenaran yang membawa manusia mengenal Allah dan bukanlah kebenaran
yang menyelamatkan, melainkan kebenaran yang menolong manusia untuk hidup
bijaksana dan bermoral.[60]
Perbuatan Baik adalah
Misi Amanat Agung
Meskipun orang
Kristen mau bekerja sama dengan siapa saja tidak memandang agama apa saja
tetapi ia tetap hidup dalam kerangka misi Amanat Agung -- dalam PL Allah mengharapkan bangsa Israel
menjadi teladan ketaatan Allah sehingga bangsa-bangsa lain datang kepada-Nya
(Mzm. 96: 2-3,10; 67: 2-5) sedangkan dalam PB orang Kristen sebagai saksi Allah dan pemberita Injil ke seluruh dunia
(Mat. 28: 18-20; Mrk. 16: 15-18; Luk. 24: 46-49; Kis. 1:7-9; Yoh. 20: 11-23;
Kis. 1:8).
Bab V Kesimpulan
Perbuatan Baik adalah perintah yang
diberikah oleh Tuhan kepada umat-Nya. Kalau manusia itu mau dikatakan baik maka
ia wajib berbuat baik. Karena perbuatan baik mempunyai sifat yang universal di
mana agama apapun dan kepercayaan apapun pasti mengajarkan pengikutnya untuk berbuat
baik. Karena sifatnya yang universal,
maka “perbuatan baik” sangatlah tepat digunakan dalam rancang bangun teologi
multikultural.
Teologi Multikultural mengenai
“berbuat baik” menjadi implementasi yang sangat berpengaruh untuk mengiring
seseorang memasuki konsep Teokrasi yang kemudian ditajamkan ke Kristosentris.
Di sini nilai Amanat Agung Yesus Kristus
untuk memenangkan orang menjadi nyata dan dapat dilaksanakan dengan
baik. Tetapi, tentu saja, pekerjaan Roh Kudus dalam diri orang percaya sangat
menentukan keberhasilan misi Amanat Agung tersebut.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………..
ii
Bab 1 Pendahuluan ………………………………………………………..
1
Bab II NIlai-nilai Berbuat Baik” ………………………………………..
4
Pengertian
“Berbuat Baik” ……………………………………………….. 4
Perbuatan Baik
adalah Proses ……………………………………………… 5
Unsur-unsur
Berbuat Baik ………………………………………………… 6
Akibat Berbuat Baik ………………………………………………………….7
Bab III Tantangan “berbuat Baik”
dalam
Dimensi Teologi Multikultural ……………..… 8
Tantangan “Berbuat
Baik” dalam Teosentris ………………….…………….8
Tantangan “Berbuat
Baik” dalam Kristosentris ……………….……………10
Tantangan “Berbuat
Baik” dari Teosentris ke Kristosentris” ……………… 17
BAB IV. Implementasi
Pendidikan
“Berbuat Baik” ke
dalam Pelayanan Kristen ……….20
Bahan Pengajaran
“Berbuat Baik” ………..…………………………….. 20
Teologi Berbuat
Baik yang Holistik ……………………………………… 21
Perbuatan Baik adalah
Misi Amanat Agung ……………………………… 23
Bab V Kesimpulan ……………………………………………………... 24
-
Lampiran
ABBREVIATIONS AND
SYMNOLS:
Barbara Friberg,
Timothy Friberg, Kurt Aland, Carlo M. Martini, Bruce M. Metzger, and Allen
Wikgren (eds), Analytical Greek New
Testament (Grand Rapids: Baker Book House, t.th).
NOUN
N (noun; kata
benda):
P (pronoun; kata
ganti):
N (nominative;
kasus nominatif; berfungsi sebagai kata benda; subyek). Analysis:
sebuah kata; a word
G (genitive;
kasus; bisa berfungsi kata benda atau kata sifat; yang dinyatakan sebagai suatu
kepunyaan; dipkai menyatakan “perpisahan dari”. Contoh:+ genetif yang
berarti “dari” / “pergi dari sebelah”; +genetive yang berarti “dari”/
“keluar dari”). Analysis: (dari/milik sebuah kata; kepunyaan); of a word
D (dative; bisa
kata benda bisa kata sifat; pelengkap penyerta, yaitu orang yang kepadanya atau
baginya dilakukan sesuatu. Contoh: “ke” / “kepada”; dipkai untuk menyatakan
tempat (lokatif), yaitu keadaan sesuatu tidak bergerak. Contoh: = datif
artinya “di”/ “di dalam”; menyatakan
“alat” (instrument) yang dipakai untuk melakukan sesuatu). Analysis: (pada
atau bagi sebuah kata); to or for a word
A (accusative;
pelengkap penderita; kasus keempat; obyek; juga dipakai untuk menyatakan
gerekan/ ke arah sesuatu. Contoh: +akusatif yang berarti “kepada” atau “ke
arah”; + akusatif yang berarti “kepada” atau “ke dalam”). Analysis:
(sebuah kata; obyek); a word
V (vocative; kata
benda; bentuknya penyeru yang dipakai kepada benda atau kepada orang: O, Tuhan,
engkau menyelamatkanku!). Analysis: (o kata; kata seru); o word
M (masculine; )
F (feminine; )
N (neuter; )
X (first person; )
Y (second person)
Z (third person; )
S (singular; )
P (plural; )
VERB
V (verb)
I (indicative; )
S (subjunctive; )
O (optative; )
M (imperative; )
N (infinitive; )
P (pasticiple; )
R (participle
[imperative sense]; )
P (present; )
I (imperfect; )
F (future; )
A (aorist; )
R (perfect; )
L (pluperfect; )
A (active; )
M (middle; )
P (passive; )
E (either middle
or passive; )
D (middle
deponent; )
O (passive
deponent; )
N (middle or
passive deponent; )
N (nominative)
G (genitive)
D (dative)
A (accusative)
V (vocative)
M (masculine)
F (feminine)
N (neuter)
X (first person)
Y (second person)
Z (third person)
S (singular)
P (plural)
ADJECTIVE
A (adjective)
P (pronominal)
B (adverb)
C (cardinal; )
O (ordinal; )
R (relative; )
I (indefinite; )
T (interrogative;
)
D (demonstrative;
)
M
(comparative; )
S (superlative; )
N (nominative)
G (genitive)
D (dative)
A (accusative)
V (vocative)
M (masculine)
F (feminine)
N (neuter)
X (first person)
Y (second person)
S (singular)
P (plural)
DETERMINER (definite article)
D (determiner;
definite article)
N (nominative)
G (genitive)
D (dative)
A (accusative)
V (vocative)
M (masculine)
F (feminine)
N (neuter)
S (singular)
P (plural)
PREPOSITION
P (preposition)
G (genitive)
D (dative)
A (accusative)
CONJUNCTION
C (conjunction)
S (subordinating)
C (coordinating)
H (superordinating;
hyperordinating)
PARTICLE
Q (particle)
S (sentential)
T (interrogative)
V (verbal)
A Manual for Writers of Research Papers, Theses, and Dissertations Turabian Quick Guide
KATE
L. TURABIAN |
||
A Manual for Writers of Research Papers, Theses, and
Dissertations Turabian Quick Guide Kate L. Turabian’s Manual for
Writers of Research Papers, Theses, and Dissertationspresents two basic
documentation systems: notes-bibliography style (or simply bibliography
style) and author-date style (sometimes called reference list style). These
styles are essentially the same as those presented in The Chicago
Manual of Style, sixteenth edition, with slight modifications for the
needs of student writers. Bibliography style is used widely in
literature, history, and the arts. This style presents bibliographic
information in footnotes or endnotes and, usually, a bibliography. The more concise author-date style has
long been used in the physical, natural, and social sciences. In this system,
sources are briefly cited in parentheses in the text by author’s last name
and date of publication. The parenthetical citations are amplified in a list
of references, where full bibliographic information is provided. Aside from the use of notes versus
parenthetical references in the text, the two systems share a similar style.
Click on the tabs below to see some common examples of materials cited in
each style. For a more detailed description of the styles and numerous
specific examples, see chapters 16 and 17 of the 8th edition of Turabian for
bibliography style and chapters 18 and 19 for author-date style. If you are
uncertain which style to use in a paper, consult your instructor. notes-bibliography style: sample
citations The following examples illustrate
citations using notes-bibliography style. Examples of notes are followed by
shortened versions of citations to the same source. For more details and many
more examples, see chapters 16 and 17 of Turabian. For examples of the same
citations using the author-date system, click on the Author-Date tab above. Book One author 1. Malcolm Gladwell, The
Tipping Point: How Little Things Can Make a Big Difference (Boston:
Little, Brown, 2000), 64–65. 2. Gladwell, Tipping Point,
71. Gladwell, Malcolm. The Tipping
Point: How Little Things Can Make a Big Difference. Boston: Little,
Brown, 2000. Two or more authors 1. Peter Morey and Amina Yaqin, Framing
Muslims: Stereotyping and Representation after 9/11 (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2011), 52. 2. Morey and Yaqin, Framing
Muslims, 60–61. Morey, Peter, and Amina Yaqin. Framing
Muslims: Stereotyping and Representation after 9/11. Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2011. For four or more authors, list all of
the authors in the bibliography; in the note, list only the first author,
followed by “et al.” (“and others”): 1. Jay M. Bernstein et al., Art
and Aesthetics after Adorno (Berkeley: University of California
Press, 2010), 276. 2. Bernstein et al., Art and
Aesthetics, 18. Bernstein, Jay M., Claudia Brodsky,
Anthony J. Cascardi, Thierry de Duve, Aleš Erjavec, Robert Kaufman, and Fred
Rush. Art and Aesthetics after Adorno. Berkeley: University of
California Press, 2010. Editor or translator instead of author 1. Richmond Lattimore, trans., The
Iliad of Homer (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 91–92. 2. Lattimore, Iliad, 24. Lattimore, Richmond, trans. The
Iliad of Homer. Chicago: University of Chicago Press, 1951. Editor or translator in addition to
author 1. Jane Austen, Persuasion: An
Annotated Edition, ed. Robert Morrison (Cambridge, MA: Belknap Press of
Harvard University Press, 2011), 311–12. 2. Austen, Persuasion, 315. Austen, Jane. Persuasion: An
Annotated Edition. Edited by Robert Morrison. Cambridge, MA: Belknap
Press of Harvard University Press, 2011. Chapter or other part of a book 1. Ángeles Ramírez, “Muslim Women in
the Spanish Press: The Persistence of Subaltern Images,” in Muslim
Women in War and Crisis: Representation and Reality, ed. Faegheh Shirazi
(Austin: University of Texas Press, 2010), 231. 2. Ramírez, “Muslim Women,” 239–40. Ramírez, Ángeles. “Muslim Women in the
Spanish Press: The Persistence of Subaltern Images.” In Muslim Women
in War and Crisis: Representation and Reality, edited by Faegheh Shirazi,
227–44. Austin: University of Texas Press, 2010. Preface, foreword, introduction, or
similar part of a book 1. William Cronon, foreword to The
Republic of Nature, by Mark Fiege (Seattle: University of Washington
Press, 2012), ix. 2. Cronon, foreword, x–xi. Cronon, William. Foreword to The
Republic of Nature, by Mark Fiege, ix–xii. Seattle: University of
Washington Press, 2012. Book published electronically If a book is available in more than one
format, cite the version you consulted. For books consulted online, include
an access date and a URL. If you consulted the book in a library or
commercial database, you may give the name of the database instead of a URL.
If no fixed page numbers are available, you can include a section title or a
chapter or other number. 1. Isabel Wilkerson, The Warmth
of Other Suns: The Epic Story of America’s Great Migration (New
York: Vintage, 2010), 183–84, Kindle. 2. Philip B. Kurland and Ralph Lerner,
eds., The Founders’ Constitution (Chicago: University of
Chicago Press, 1987), chap. 10, doc. 19, accessed October 15, 2011,
http://press-pubs.uchicago.edu/founders/. 3. Joseph P. Quinlan, The Last
Economic Superpower: The Retreat of Globalization, the End of American
Dominance, and What We Can Do about It (New York: McGraw-Hill,
2010), 211, accessed December 8, 2012, ProQuest Ebrary. 4. Wilkerson, Warmth of Other
Suns, 401. 5. Kurland and Lerner, Founders’
Constitution. 6. Quinlan, Last Economic
Superpower, 88. Wilkerson, Isabel. The Warmth
of Other Suns: The Epic Story of America’s Great Migration. New York:
Vintage, 2010. Kindle. Kurland, Philip B., and Ralph Lerner,
eds. The Founders’ Constitution. Chicago: University of Chicago
Press, 1987. Accessed October 15, 2011.
http://press-pubs.uchicago.edu/founders/. Quinlan, Joseph P. The Last
Economic Superpower: The Retreat of Globalization, the End of American
Dominance, and What We Can Do about It. New York: McGraw-Hill, 2010.
Accessed December 8, 2012. ProQuest Ebrary. Journal article In a note, list the specific page
numbers consulted, if any. In the bibliography, list the page range for the
whole article. Article in a print journal 1. Alexandra Bogren, “Gender and
Alcohol: The Swedish Press Debate,” Journal of Gender Studies 20,
no. 2 (June 2011): 156. 2. Bogren, “Gender and Alcohol,” 157. Bogren, Alexandra. “Gender and Alcohol:
The Swedish Press Debate.” Journal of Gender Studies 20, no.
2 (June 2011): 155–69. Article in an online journal For a journal article consulted online,
include an access date and a URL. For articles that include a DOI, form the
URL by appending the DOI to http://dx.doi.org/ rather than using the URL in
your address bar. The DOI for the article in the Brown example below is
10.1086/660696. If you consulted the article in a library or commercial
database, you may give the name of the database instead. 1. Campbell Brown, “Consequentialize
This,” Ethics 121, no. 4 (July 2011): 752, accessed December
1, 2012, http://dx.doi.org/10.1086/660696. 2. Anastacia Kurylo, “Linsanity: The
Construction of (Asian) Identity in an Online New York Knicks Basketball
Forum,” China Media Research 8, no. 4 (October 2012): 16,
accessed March 9, 2013, Academic OneFile. 3. Brown, “Consequentialize This,” 761. 4. Kurylo, “Linsanity,” 18–19. Brown, Campbell. “Consequentialize
This.” Ethics 121, no. 4 (July 2011): 749–71. Accessed
December 1, 2012. http://dx.doi.org/10.1086/660696. Kurylo, Anastacia. “Linsanity: The
Construction of (Asian) Identity in an Online New York Knicks Basketball
Forum.” China Media Research 8, no. 4 (October 2012): 15–28.
Accessed March 9, 2013. Academic OneFile. Magazine article 1. Jill Lepore, “Dickens in
Eden,” New Yorker, August 29, 2011, 52. 2. Lepore, “Dickens in Eden,” 54–55. Lepore, Jill. “Dickens in Eden.” New
Yorker, August 29, 2011. Newspaper article Newspaper articles may be cited in
running text (“As Elisabeth Bumiller and Thom Shanker noted in a New
York Times article on January 23, 2013, . . .”) instead of
in a note, and they are commonly omitted from a bibliography. The following
examples show the more formal versions of the citations. 1. Elisabeth Bumiller and Thom Shanker,
“Pentagon Lifts Ban on Women in Combat,”New York Times, January 23,
2013, accessed January 24, 2013,
http://www.nytimes.com/2013/01/24/us/pentagon-says-it-is-lifting-ban-on-women-in-combat.html. 2. Bumiller and Shanker, “Pentagon
Lifts Ban.” Bumiller, Elisabeth, and Thom Shanker.
“Pentagon Lifts Ban on Women in Combat.” New York Times, January
23, 2013. Accessed January 24, 2013. http://www.nytimes.com/2013/01/24/us/pentagon-says-it-is-lifting-ban-on-women-in-combat.html. Book review 1. Joel Mokyr, review of Natural
Experiments of History, ed. Jared Diamond and James A. Robinson, American
Historical Review 116, no. 3 (June 2011): 754, accessed December 9,
2011, http://dx.doi.org/10.1086/ahr.116.3.752. 2. Mokyr, review of Natural
Experiments of History,752. Mokyr, Joel. Review of Natural
Experiments of History, edited by Jared Diamond and James A.
Robinson. American Historical Review 116, no. 3 (June 2011):
752–55. Accessed December 9, 2011. http://dx.doi.org/10.1086/ahr.116.3.752. Thesis or dissertation 1. Dana S. Levin, “Let’s Talk about Sex
. . . Education: Exploring Youth Perspectives, Implicit Messages,
and Unexamined Implications of Sex Education in Schools” (PhD diss.,
University of Michigan, 2010), 101–2. 2. Levin, “Let’s Talk about Sex,” 98. Levin, Dana S. “Let’s Talk about Sex
. . . Education: Exploring Youth Perspectives, Implicit Messages,
and Unexamined Implications of Sex Education in Schools.” PhD diss., University
of Michigan, 2010. Paper presented at a meeting or
conference 1. Rachel Adelman, “ ‘Such Stuff
as Dreams Are Made On’: God’s Footstool in the Aramaic Targumim and Midrashic
Tradition” (paper presented at the annual meeting for the Society of Biblical
Literature, New Orleans, Louisiana, November 21–24, 2009). 2. Adelman, “Such Stuff as Dreams.” Adelman, Rachel. “ ‘Such Stuff as
Dreams Are Made On’: God’s Footstool in the Aramaic Targumim and Midrashic
Tradition.” Paper presented at the annual meeting for the Society of Biblical
Literature, New Orleans, Louisiana, November 21–24, 2009. Website A citation to website content can often
be limited to a mention in the text or in a note (“As of July 27, 2012,
Google’s privacy policy had been updated to include . . .”). If a
more formal citation is desired, it may be styled as in the examples below.
Because such content is subject to change, include an access date and, if
available, a date that the site was last modified. 1. “Privacy Policy,” Google Policies &
Principles, last modified July 27, 2012, accessed January 3, 2013,
http://www.google.com/policies/privacy/. 2. Google, “Privacy Policy.” Google. “Privacy Policy.” Google
Policies & Principles. Last modified July 27, 2012. Accessed January 3,
2013. http://www.google.com/policies/privacy/. Blog entry or comment Blog entries or comments may be cited
in running text (“In a comment posted to The Becker-Posner Blog on
February 16, 2012, . . .”) instead of in a note, and they are
commonly omitted from a bibliography. The following examples show the more
formal versions of the citations. 1. Gary Becker, “Is Capitalism in
Crisis?,” The Becker-Posner Blog, February 12, 2012, accessed
February 16, 2012, http://www.becker-posner-blog.com/2012/02/is-capitalism-in-crisis-becker.html. 2. Becker, “Is Capitalism in Crisis?” Becker, Gary. “Is Capitalism in
Crisis?” The Becker-Posner Blog, February 12, 2012. Accessed
February 16, 2012.
http://www.becker-posner-blog.com/2012/02/is-capitalism-in-crisis-becker.html. E-mail or text message E-mail and text messages may be cited
in running text (“In a text message to the author on July 21, 2012, John Doe
revealed . . .”) instead of in a note, and they are rarely listed
in a bibliography. The following example shows the more formal version of a
note. 1. John Doe, e-mail message to author,
July 21, 2012. |
||
[1]B.F. Drewes & Julianus Mojau, Apa itu Teologi? (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2010) 17.
[2]Bandingkan dengan Teologi
Sistematika adalah berhubungan dengan kata “system”, yaitu perangkat unsur yang
secara teratur saling berkaiatan sehingga membentuk totalitas. Materi pokok
yang dipelajari dalam bidang ini adalah makna Firman Allah dalam kehidupan atau
konteks kita ini.
1Gerhard F. Hasel, Teologia
Perjanjian Lama (Malang: Gandum Mas,
2006), hal. 1.
2Ibid. 24.
3Merk, Biblische Theologie, 210-214.
41Gerhard F. Hasel, Teologia
Perjanjian Lama, 30.
5Clements. OT Theology, 91.
6W.Eichdrodt TOT I,
31.
7Fohrer, “Das AT und das Thema
“Christolkogie”, 295.
8Gese, “Tradition and Biblical
Theology”, 322.
[3]F.F Bruce, Bible,
dalam New Bible Dictionary , J.D.
Douglas, organizing editor (Grand
Rapids, Michigan: WM. B. Eerdmans
Publishing Co, 1979), 148.
[4]Ibid.
[5]Henrietta Mears, What
the Bible is all about (Minneapolis,
Minnesota: The Billy Graham Evangelistic
Association, 1966), 1
[6]Orville J. Nave, Nave’s
Topical Bible (Chicago: Moody Press),
1416.
[7]F.F. Bruce, The
Canon of Scripture (Downers Grove,
Illinois: Intervarsity Press, 1988), 29.
[8]Mears, 1.
[9]Ibid, 1
[10]Steven Barabas, Bible, dalam “The New International
Dictionary Of The Bible,” J.D. Douglas & Merrll C. Tenney, editor (Grand Rapids, MI, USA: Regency Reference Library, 1987), 147.
[11]R.K. Harrison, Introduction
to the Old Testament (USA: Intervarsity Press, 1975), 201.
[12]Ibid.
[13]Ibid., 201-10.
[14]Barabas,” Bible”, dalam “The New International Dictionary of
the Bible,” 147.
[15]Millard J. Erickson, Teologi
Kristen, vol. 1 (Malang: Yayasan Penerbit Gandum Mas, 1999), 255.
[16]Harrison, 211.
[17]E.W. Tuibstra dan I.W.J.
Hendriks, Naskah-Naskah dari Laut Mati
(Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1978), 31.
[18]Millar Burrows., The
Dead Sea Scroll (New York: The Viking Press, 1956), xxii.
[19]Merrill C. Tenney, Survey
Perjanjian Baru (Malang: Penerbit Gandum Mas, 1992), 123.
[20]Ibid., 124.
[21]Ibid., 126.
[22]Tuinstra dan Hendriks, Naskah-Naskah dari Laut Mati, 58.
[23]Tenney, 67.
[24]Ibid.
[25]Bruce M. Metzger. The
New Testament its Background, Growth and Content (Nashville, Tennessee: Abingdon Press, 1965), 32.
[26]Ibid.
[27]Walter M. Dunnett.
Pengantar Perjanjian Baru (Malang:
Penerbit Gandum Mas, 1963), 8.
[28]Ibid., 9.
[29]J.N.Birdshall, “Language of the New
Testamen,” dalam “The New Bible Dictionary”, editor
J.D.Douglas. (Grand Rapids,
Michigan: WM.B. Eerdmans Publishing Co, 1979), 713-14.
[30]William D. Monunce. Basics
of Biblical Greek (Grand Rapids
Michigan: Zondervan, 2003), 1.
[31]Tenney, Survery Perjanjian Baru,
159.
[32]Ibid., 159-72.
[33]Steven Barabas, 147.
[34]Walter A. Elwell dan Robert W.
Yarbrough. Encountering The New Testament
(Grand rapis, Michuigan: Baker
House Co, 1984), 26-27.
[35] Walter Kaiser, JR. Toward and Exegetical Theology, Grand
Rapids, Michigan, 1994, hal. 17
[36] Ibid. 18.
[37] Perdebatan antara J.A. Ernesti dan
J.S. Semler, 24.
[38]
Diberi footnote
[39]
Jujur; KBBI Offline. Versi 1.3.
[40]W.R.F.
Browning, Kamus Alkitab (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2011), 184.
[41]J.D.
Douglas (Peny. Um.), Ensiklopedia
Alkitab Masa Kini. Jilid 1 A-L
(Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina kasih/OMF, 2008), 488-489.
[42]“Baik”; KBBI. Versi 1.1. CD-Rom.
[43]“Berbuat Baik Setiap Hari”; http://kolom.abatasa.co.id/kolom/detail/motivation/672/berbuat-baik-setiap-hari.html
(Diakses 20 April
2014).
[44] “berbuat Baik Bisa redakan
Despresi”; http://palingseru.com/19943/berbuat-baik-bisa-redakan-depresi (Diakses 20 April 2014).
[45]
“Pengadilan Tuhan Tidak Mesti Menunggu Kiamat…”; http://hiburan.kompasiana.com/humor/2013/11/26/pengadilan-tuhan-tidak-mesti-menunggu-saat-kiamat-614222.html (Diakses
14 April 2014).
[46]“Baik”. KBBI Offline 1.3.CD-ROM.
[47]Baik; kebaiakan”; Ensiklopedia
SABDA; http://alkitab.sabda.org/dictionary.php?word=BAIK,%20KEBAIKAN (Diakses 14 April 2014). Dalam
ensiklopedia tersebut dikatakan bahwa
dalam PB mengembangkan pemakaian kata ini dengan menggunakan kedua kata
sifat di atas secara bergantian (bnd mis Rm. 7:12-21). Paulus, mengikuti LXX,
menggunakan kata benda agathosyne untuk menggambarkan kebaikan Kristen, dengan
penekanan utama pada kemurahan hati (Rm. 15:14; Gal. 5:22; Ef. 5:9; 2 Tes. 1:11; mengenai terjemahannya, lih
tafsiran kitab-kitab ini). la juga memakai kata chrestotes (“kebaikan”,
“kemurahan”) untuk kemurahan hati Allah yg mengasihani (Rm. 2:4; 11:22).
[48]Baik; kebaiakan”; Ensiklopedia
SABDA; http://alkitab.sabda.org/dictionary.php?word=BAIK,%20KEBAIKAN (Diakses 14 April 2014).
[49] Elohim (Allah) menciptakan manusia
dalam gambar-Nya seperti ayat 26. Dalam hal ini, Gambar
dan rupa Allah dikaitkan dengan hakekat manusia. Dalam manusia seperti inilah
Allah menghembuskan nafas hidup (Kej. 2:7). Dengan demikian, manusia memiliki
sebagai berikut: (1) Norma
moral. (2) Kesadaran akan kematian dan kemungkinan adanya kehidupan
setelah mati. (3) Kesadaran akan adanya kodrat yang lebih tinggi. (4) Kemampuan untuk
mengungkapkan kebenaran yang mutlak atau yang paling dasar.
[50]G. Sudarmanto, Teologi Multikultural (Batu: YPPII, 2014) 101-123.
[51] A. W.
Tozer, Mengenal yang Mahakudus (Bandung: Kalam Kudus, t.t.) 40.
[52]Ibid. 124-152.
[53]George W. Peters, Teologi Pertumbuhan Gereja (Malang:
Gandum Mas, 2002) 43.
[54]Alton Clark Scanion, Asas-asas Misiologia Alkitabiah dan untuk
Masa Kini (Semarang: STBI, 1991) 31-32.
[55]William Barclay, More New Testament Words (London: SCM
Press, 1958) 134.
[56]Harianto GP, Pengantar Misiologi (Yogjakarta: Abdi, 2013) 32.
[57]John F. Walvoord, Gereja dalam Nubuatan (Surabaya: Yakin,
1984) 15.
[58]George W. Peters, Teologi Pertumbuhan Gereja (Malang:
Gandum Mas, 2002) 47.
[59]Ada dua tahap perubahan sebagai berikut: Tahap pertama,
dalam perubahan dimulai dari persektuan yang benar dengan Allah. Perubahan ini terjadi karena undangan
Allah. Di sini, orang Kristen berfungsi
sebagai pendemo kasih Allah (1Kor. 3:5).
Tahap kedua, Allah yang bekerja dalam
diri seseorang untuk dirubahkan.
Meskipun Allah yang mengundang seseorang untuk berubah tetapi sedikit
orang Kristen yang mau menjadi pekerja Allah. Padahal kini sudah waktu orang Kristen
mengambil hasilnya (memanen). Karena itu, sebelum orang Kristen melakukan
pekerjaan Allah, ia diminta untuk berdoa terhadap kerjaan itu (Luk. 10:2).
Orang Kristen itu bukan mendoakan seseorang yang akan dipanen tetapi berdoa
untuk pekerja yang jumlahnya masih sedikit (Yoh. 4: 35, 37). Memanen dan
mencari pekerja bukanlah suatu kegiatan
sekali kerja tetapi proses yang panjang, yang harus dilakukan terus menerus.
[60] Stevri I.
Lumintang, Keunikan Theologia Kristen di Tengah Kepalsuan (Batu: YPPI, 2010)
204.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar