STT
Pokok Anggur Jakarta
Silabus
Mata Kuliah :
Kurikulum Kontektual
Bobot :
3 sks
Pendidik : Dr. Eko B, M.Pd.K.
Waktu :
30Senin-27
Jumat September 2019
Penjelasan
Kuliah
ini menyajikan secara mendasar tentang persoalan-persoalan kurikum yang mencakup: Persoalan-persoalan Kurikulum Masa Kini; Definisi, Tujuan, Pentingnya dan Ruang Lingkupnya; Komponen
Kurikulum dengan Teori Taxanomi Bloom:
Kognitif, Afektif dan Psikomotoris; Komponen Kurikulum dengan nilai-nilai Alkitabiah
menuju Merumuskan Alkitab sebagai Bahan Kurikulum; Kurikulum Menjadi
Bahan Ajar; Teori-teori Kurikulum dalam Konteks Sejarah Indonesia; Teori-teori
Kurikulum dalam Berbagai Konteks; Pengembangan Kurikulum ; dan Merumuskan
Kurikulum dalam Konteks.
Tujuan Umum (Kompetensi Dasar)
Secara umum bahwa anak didik mampu mengenal, memahami,
mengaplikasi, mengsintesis dan mengevaluasi mengenai: Persoalan-persoalan
Kurikulum Masa Kini; Definisi,
Tujuan, Pentingnya dan Ruang Lingkupnya;
Komponen Kurikulum dengan Teori Taxanomi
Bloom: Kognitif, Afektif dan Psikomotoris; Komponen Kurikulum dengan
nilai-nilai Alkitabiah menuju Merumuskan Alkitab sebagai Bahan
Kurikulum ; Teori-teori Kurikulum dalam Konteks Sejarah Indonesia; Teori-teori
Kurikulum dalam Berbagai Konteks; Pengembangan Kurikulum; dan Merumuskan
Kurikulum dalam Konteks.
Tujuan Khusus (Hasil Belajar)
1.
Mampu mengenal Persoalan-persoalan Kurikulum Masa Kini.
2.
Mampu mengenal Definisi, Tujuan,
Pentingnya dan Ruang Lingkupnya.
3.
Mampu memahami Komponen Kurikulum
dengan Teori Taxanomi Bloom: Kognitif, Afektif dan Psikomotoris.
4.
Mampu memahami Komponen Kurikulum dengan nilai-nilai Alkitabiah
menuju Merumuskan Alkitab sebagai Bahan Kurikulum.
5.
Mampu merumuskan Kurikulum
Menjadi Bahan Ajar
6.
Mampu memahami Teori-teori Kurikulum dalam Konteks Sejarah Indonesia.
7.
Mampu mengaplikasi Teori-teori Kurikulum dalam Berbagai Konteks.
8.
Mampu mensintesis Teori-teori Kurikulum dalam Berbagai Konteks.
9.
Mampu mengevaluasi Pengembangan
Kurikulum .
10. Mampu
merumuskan dan mengevaluasi rumusan Kurikulum dalam Konteks.
Pokok-pokok Bahasan
1.
Silabus dan Pengantar: Persoalan-persoalan Kurikulum Masa Kini
2.
Pengenalan Kurikulum: Definisi, Tujuan, Pentingnya dan Ruang Lingkupnya
3.
Komponen Kurikulum dengan Teori Taxanomi Bloom: Kognitif, Afektif
dan Psikomotoris
4.
Komponen Kurikulum dengan
nilai-nilai Alkitabiah; Merumuskan Alkitab sebagai Bahan Kurikulum
5.
Kurikulum Menjadi Bahan Ajar
6.
Teori-teori Kurikulum dalam Konteks
Sejarah Indonesia
7.
Teori-teori Kurikulum dalam
Berbagai Konteks
8.
Pengembangan Kurikulum
9.
Merumuskan Kurikulum dalam
Konteks
Bahan Wajib
GP,
Harianto. 2015. Kurikulum Kontekstual.
Surabaya: STT Bethany.
Bahan Acuan Utama
Ali, Muhammad.
1992. Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Bandung: Sinar Baru.
Hasan, S. Hamid.
2009. Evaluasi Kurikulum. Bandung:
UPI-Remaja Rosdakarya.
Hasution, S.
2012. Kurikulum & Pengajaran.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Husain, Abdul Rajak. 1995. Penyelenggaraan
Pendidikan Nasional. Solo:
CV Aneka.
Karli, Hilda dan
Oditha R. Hutabarat. 2007. Implementasi KTSP dalam Model-model
Pembelajaran. Jakarta: Generasi Info Media.
Kunandar. 2013. Penilaian Autentik. Jakarta: Raja
Grafindo Rajawali.
Miller, Randolph
C. 1956. Education for Christian Living. New Jersey: Prentice Hall.
Napitupulu,
W.P. 1969. Dimensi-dimensi
Pendidikan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Nemiroff, Greta
Hofmann. 1992. Reconstructing
Education. New York: Bergin & Garvey.
Ornstein/Levine.
1989. Foundations of Education. Dallas: Houghton Mifflin Company.
Rukantri, C. dkk. 1996.
Pengembangan Program Pengajaran Mata Anak didikan PAK. Jakarta: BPK Gunung Mulia,1996.
Rusman. 2009. Manajemen Kurikulum. Jakarta: Raja
Grafindo Rajawali.
Rusmono. 2012. Strategi Pembelajaran dengan Problem Based
Learning itu Perlu. Bogor: Ghalia Indonesia.
Sanjaya, Wina.
2012. Strategi Pembelajaran Berorientasi
Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Sisimore, J.T. Pendidik dan Anak didik: Teman Sekerja. Bandung: LLB
Sudjana, Nana.
1988. Pembinaan dan Pengembangan
Kurikulum di Sekolah. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Sukmadinata,
Nana Syaodih. 2013. Pengembangan
Kurikulum. Bandung: Rosdakarya.
Tanya, Eli.
1999. Gereja dan Pendidikan Agama Kristen. Cipanas:
STT Cipanas.
Tyler, Ralph.
1970. Basic Principles of Curriculum and Instruction. Chicago-London:
The University of Chicago Press.
Vieth, Paul
H. 1951. The Church and Christian
Education. ST. Louis: Bethany Press.
Willis, Judy.
2010. Strategi Pembelajaran Efektif Berbasis Riset Otak. Yogyakarta: Mitra
Media.
Metode
Dalam mewujudkan tujuan khusus
atau hasil belajar di atas, kegiatan belajar mengajar ditempuh dengan
pendekatan berikut:
1.
Kuliah (penjelasan dari pendidik), diskusi dan tanya jawab
2.
Diskusi kelas dan kelompok yang dipresentasikan.
3.
Presentasi Tugas anak didik.
4.
Tugas-tugas pendalaman
Evaluasi dan Kriteria Penilaian
1.
Aktifitas dan interaksi = 10%:
2.
Book Review = 30%.
Pilih buku tentang kurikulum (buku yang
sudah disediakan). Susunannya: Ringkasan, Evaluasi Seluruh Buku dan
Evaluasi Bagian-bagian Tertentu Buku.
3.
Paper Riset = 60%.
Panjang paper 5--7 halaman (1
spasi) belum termasuk daftar isi dan daftar pustaka. Judul paper “Kurikulum Berbasis … yang Alkitabiah dan Penerapannya dalam Pelayanan di … (institusi). “ Susunan paper: Daftar
isi; Bab I Pendahuluan: berisi
masalah peranan pendidikan di lokasi
yang hendak diteliti (1 halaman); Bab II
Teori Kurikulum Berbasis … yang Alkitabiah (2 halaman Teori berdasarkan
Alkitab); Bab III data keadaan kurikulum
di institusi; Bab IV Kurikulum Berbasis
… yang Alkitabiah dan penerapannya dalam
Pelayanan di … (institusi); Bab V Kesimpulan dan saran-saran; Daftar
Pustaka.
Jadwal Kegiatan
Belajar
Senin, 22 Juni 2015
17.00
– 18.30 : Session1 ”Silabus dan Pengantar:
18.30 – 19.00 : Rehat
19.00
– 21.00 :
Session 2 Pemahaman
Kurikulum: Definisi, Tujuan, Pentingnya dan Ruang
Lingkupnya
Selasa, 23
Juni2015
17.00
– 18.30 : Session 3 Komponen
Kurikulum dengan Teori Taxanomi Bloom:
Kognitif,
Afektif dan
Psikomotoris
18.30 – 19.00 : Rehat
19.00
– 21.00 : Session 4 Komponen Kurikulum
dengan nilai-nilai Alkitabiah; Merumuskan
Alkitab sebagai Bahan
Kurikulum
Rabu, 24 Juni
2015
17.00
– 18.30 : Session 5 Kurikulum Menjadi
Bahan Ajar
18.30 – 19.00 : Rehat
19.00
– 21.00 : Session 6 Teori-teori
Kurikulum dalam Konteks Sejarah Indonesia
Kamis, 25 Juni
2015
17.00
– 18.30 : Session 7 Teori-teori
Kurikulum dalam Konteks Sejarah Indonesia
18.30 – 19.00 : Rehat
19.00
– 21.00 : Session 8 Teori-teori Kurikulum dalam Berbagai
Konteks
Jumat, 26 Juni
2015
17.00
– 18.30: Session 9 Pengembangan Kurikulum
18.30 – 19.00 : Rehat
19.00 – 21.00
: Session 10 Merumuskan Kurikulum dalam
Konteks
1. Pengantar
Tahun 2013 di
negeri Indonesia tercinta memberlakukan “Kurikulum 2013” yang menekankan pada
pendidikan Karakter. Pendidikan tersebut sebenarnya sudah dikumandangkan
pada tahun 2011 oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dalam peringatan Hardiknas-Harkitnas. Bapak
Presiden menegaskan bahwa ”ke depan kita menginginkan muncul dan berkembangnya
manusia-manusia Indonesia yang unggul. Mengapa Indonesia memerlukan
manusia-manusia unggul? Karena kita sebagai bangsa, di abad ke-21, ingin
menjadi negara maju”. Dalam hal ini,
ada dua hal tentang keunggulan manusia (human
excellent) adalah: pertama,
keunggulan dalam pemikiran; dan kedua, keunggulan dalam karakter. Kedua
jenis keunggulan manusia itu dapat dibangun, dibentuk dan dikembangkan melalui
pendidikan karakter.
Sekarang kalangan
akademisi dan masyarakat resah: mau
dibawa kemana pendidikan nasional? Bagaimanakah pendidikan karakter dapat
menjawab tujuan pendidikan nasional? Bagaimanakah bisa bahwa para alumninya
menjadi pemimpin bangsa: yang anti korupsi, anti suap, politikus yang
tidak merugikan Negara, pengusaha yang jujur, dan para profesional yang setia
dengan sumpahnya?
Kurikulum yang Ragu-ragu
Misalnya
dari tahun 1947 adalah kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan
bersifat politis: dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional
dengan asas pendidikan Pancasila, lalu tahun 1960 diganti dengan “Kurikulum Kewajiban Belajar Sekolah Dasar”.
Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Kurikulum 1964, yang berfokus pada
pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya dan moral (Pancawardhana). Tahun
1968 muncul kurikulum baru menekankan pada upaya untuk membentuk manusia
Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan
keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Kelahiran
Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Kurikulum 1964 yang dicitrakan
sebagai produk Orde Lama.
Pada
tahun 1970 muncul “Kurikulum Berhitung” tetapi tahun 1975 diganti dengan
“Kurikulum 1975″ yang menekankan pada pelajaran matematika, Pendidikan Moral
Pancasila dan Pendidikan Kewarnegaraan.
Selanjutnya, tahun 1984 menyempurnakan Kurikulum 1975 dengan “Cara
Belajar Siswa Aktif” (CBSA). Kurikulum
1984 mengusung process skill approach.
Tahun 1991 CBSA dihentikan lalu muncul “Kurikulum 1994″ dan “Suplemen Kurikulum
1999”. Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan antara Kurikulum
1975, Kurikulum 1984 dalam pendekatan proses. Kejatuhan rezim Soeharto pada
1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999.
Tahun
2004 dikenal “Kurikulum Berbasis Kompetensi” (KBK). Setiap pelajaran diuraikan
berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Hasilnya tak memuaskan.
Guru-guru pun tak paham betul apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat
kurikulum. Tahun 2006 muncul “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan” (KTSP).
Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian
target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak
perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol adalah guru
lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan
lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada.
Tahun 2013 merupakan uji coba
“Kurikulum Karakter” yang akan diterapkan di sekolah-sekolah. Sebenarnya
pemahaman dan pelaksanaan tentang
pendidikan berbasis karakter sudah dicanangkan dalam KTSP.
Alumni yang “Ragu-ragukah”?
Dalam
Pembukaan UUD 1945 dikatakan
bahwa tujuan pendidikan nasional adalah “meningkatkan keimanan dan ketakwaan
serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa” (Pasal 31 ayat
3). Pada dasarnya tujuan pendidikan nasional berkaitan dengan up-grade manusia menjadi manusia yang
seutuhnya baik dalam perspektif metafisika,
kognitif maupun psikomotoris.
Design pendidikan nasional adalah pendidikan manusia yang merubah manusia
menjadi yang mampu berkarya dan menyelesaikan segala tantangan yang di
hadapannya.
Tetapi
di lapangan ditemukan bahwa kurikulum tidak diselesaikan dalam waktu proses
pendidikan yang benar dan selalu dirubah-rubah maka tujuan pendidikan nasional
tidak pernah terwujud. Sejak Indonesia merdeka, 67 tahun, kurikulum nasional
tidak mempunyai alumni yang sesuai standar tujuan nasional. Kurikulum yang
selalu berubah-rubah cenderung melahirkan para ahli yang tidak siap menjawab
kebutuhan lapangan. Gambaran bahwa banyak lulusan SMU sederajat hingga sarjana
sederajat dalam posisi menganggur dan kalau mereka bekerja cenderung bekerja
dengan latar belakang akademiknya yang berbeda. Sungguh kualitas SDM yang
memprihatinkan. Gambaran para alumni yang ragu-ragu inilah dapat dilihat dan
dirasakan di seluruh kehidupan pelosok Indonesia. Jika dibandingkan dengan
Jepang, Korea, Pilipina, Malaysia, bahkan India, kualitas SDM Indonesia masih
tertinggal. Sementara tuntutan globalisasi cukup tinggi di mana kita tidak
hanya membutuhkan sumber daya manusia dengan latar belakang pendidikan formal
yang baik, tetapi juga diperlukan sumber daya manusia yang mempunyai latar
belakang pendidikan non formal.
Pendidikan Masa Depan
Meskipun ruang lingkup mengenai materinya berbeda
antara pendidikan karakter dan pendidikan kemanusiaan, tetapi mempunyai
keterkaitan yang signifikan. Karena itu Saya setuju dengan pendapat professor
Edgar Morin. Tahun 2005 ia diminta oleh Unesco untuk melempar isu pendidikan
yang diadakan lima tahun sekali oleh Unesco. Morin dalam bukunya “Tujuh Materi Penting bagi Dunia Pendidikan”
(Yogyakarta: Kanisius, 2005) mengatakan bahwa pendidikan masa depan harus
menjadi pendidikan universal, yang pertama-tama mengajarkan tentang kondisi
manusiawi. Semua orang harus menerima dirinya dengan kemanusiaannya yang wajar
dan menyadari keragaman budaya yang melekat dalam segala sesuatu yang
manusiawi. Cara mewujudkannya, menurut Morin, adalah dilakukan dari waktu ke
waktu secara menyeluruh: Pertama,
pendidikan berperan sebagai transformasi sejati di mana akan tercapai
jika semua itu saling mentransformasi hingga menghasilkan sebuah transformasi
global. Kedua, tuntutan kesatuan
seluas dunia. Kesatuan ini mensyaratkan kesadaran dan rasa saling memiliki yang
menghubungkan kita dengan bumi kita, kampung halaman kita yang pertama dan
terutama. Ketiga, misi spiritual
pendidikan yang sejati adalah
mengajarkan untuk memahami satu sama lain sebagai suatu syarat yang
sangat dibutuhkan dalam melindungi moral kemanusiaan dan solidaritas
intelektual.
Jadi, sebenarnya dunia sudah pembahas dan
menerapkan isu-isu pendidikan karakter ini lebih dari 10 tahun ke belakang dan
kita hendak memulai tahun depan. Ya, lebih baik terlambat daripada belum
memikirkan apalagi melakukannya. ***
Persoalan-persoalan yang dapat dicatat
mengenai kurikulum sebagai berikut:
Permasalahan
dalam implementasi KTSP di sekolah
Saat ini KTSP
sudah berjalan dan diimplementasikan di sekolah, dengan demikian ketentuan
perundangan sudah dilaksanakan dengan baik. Namun juga tidak dapat dipungkiri
adanya beberapa kekurangan dalam pelaksanaannya, yaitu dalam hal keterlibatan guru
dalam penyusunan KTSP, silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Selain itu
satu hal yang perlu dilihat ulang, karena sampai saat ini sekolah ternyata
masih sangat tergantung dengan model kurikulum dari Pusat
Kurikulum ataupun dari Direktorat Pembinaan TK/SD/
SMP/SMA/SMK. Harusnya dikembalikan ke jiwa semula bahwa yang ditentukan
oleh pusat (BSNP) adalah Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar
Proses dan Standar Penilaian, selain tentu saja standar-standar yang
lain. Namun pada kenyataannya KTSP di sekolah hanyalah modifikasi dari
model yang dikembangkan oleh direktorat terkait, dan yang menyedihkan
adalah pihak sekolah takut mengembangkan lebih lanjut walaupun sudah
memenuhi standar-standar dari BSNP, seharusnya pihak sekolah didorong untuk
mengembangkan KTSP sejauh memenuhi pedoman dan standar-standar yang telah
ditetapkan. Masalah modelnya, sekolah harusnya diberi kebebasan untuk
mengembangkan model yang sesuai bagi sekolahnya. Apabila hal ini dapat
dilaksanakan maka filosofi KTSP akan dapat diimplementasikan. Selanjutnya, khusus untuk SMK acuan untuk
program produktif mengambil dari SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional
Indonesia). Dengan demikian sekolah seharusnya boleh mengembangkan KTSP sejauh
mengambil SKKNI tersebut. Tetapi dengan adanya ketentuan spektrum SMK dengan
standar kompetensi yang harus diambil maka sebenarnya menjadikan ketidakbebasan
sekolah untuk mengambil standar kompetensi apa yang akan diajarkan kepada
siswa. Untuk ke depan maka KTSP harus dikembalikan kepada filosofi dan
semangat semula tentang otonomi pendidikan. Saat ini yang
perlu dilatihkan kepada guru di sekolah adalah bagaimana mengembangkan
pembelajaran yang menyenangkan dan dapat mencapai standar kompetensi yang
ditentukan dan bagaimana mengembangkan soal atau instrumen penilaian yang
akurat mengukur pencapaian kompetensi oleh siswa. dari beberapa pelatihan yang
penulis lakukan, terlihat kompetensi sebagian guru masih kurang dalam
mengembangkan model pembelajaran yang sesuai dan menyusun soal yang
tepat. Untuk mengatasi hal ini sekolah harus terus mendorong guru untuk
belajar dengan cara mendatangkan narasumber maupun memanfaatkan guru yang telah
memiliki kompetensi mumpuni dalam pengembangan pembelajaran dan penyusunan
instrumen penilaian proses dan hasil belajar.[1]
Sejumlah
Masalah dalam Kurikulum 2013
Permasalahan
mendasar Kurikulum 2013 adalah: Pertama,
tidak melalui riset dan evaluasi yang mendalam. Kedua, menitikberatkan siswa. Ketiga,
ketidaksiapan guru karena terkesan mendadak. Keempat,
tematik lebih cocok di kelas dasar. Kelima,
tidak memperhatikan konteks sosiologis keIndonesiaan. Lebih lanjut lagi bahwa: (1)
Kesadaran dan pentingnya memahami secara tuntas konsep yang mendasari
dikembangkannya kurikulum 2013, serta berbagai kekurangannya. Mari berhenti
menjadi loyalitas buta yang nantinya anak kita buta. (2) Pemahaman tentang
aspek yang akan berpotensi menimbulkan keraguan, kebingungan atau bahkan
kesalatan dalam proses belajar. (3) Pencarian alternatif-alternatif agar anak
didik tidak terkena dampak dari kebingungan, keragguan, atau bahkan
kesalahpahaman guru dan pemangku kepentingan lainnya. (4) Pemahaman akan
kebutuhan anak didik untuk hidup di abad 21 yang menuntut penjelasan-penjelasan
yang sementara beredar telah dicakup dalam dokumen.[2]
Lebih lanjut
dikatakan bahwa ada tiga masalah guru dalam implementasi kurikulum 2013 adalah:
(1) Salah satu pembeda kurikulum 2013
dengan kurikulum sebelumnya ialah scientific approach. Namun, masih banyak guru
yang merasa kesulitan menerapkan pendekatan tersebut dalam mengajar. (2) Para
guru masih kesulitan menerapkan scientific approach dalam kegiatan belajar
mengajar. (3) Membuat siswa aktif sebab, dalam kurikulum 2013, guru harus
pintar menjadi fasilitator agar siswa bertanya. Sayang, belum semua guru mampu
melaksanakannya.[3]
Pencabutan Kurikulum 2013:
Kembali Lagi ke KTSP 2006?
Pada tahun 2014
dengan adanya pemilu, Indonesia sudah melakukan pergantian presiden dan wakil
presiden Indonesia beserta kedudukan pemerintahan. Segenap menteri telah
tergantikan sejak kedudukan Ir. H. Joko Widodo sebagai presiden Indonesia dan
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla sebagai wakil presiden Indonesia, termasuk
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan yang dulu, Professor Muh. Nuh, menciptakan sebuah kurikulum baru
yaitu Kurikulum 2013 yang dirancang untuk menggantikan kurikulum yang dulu
yaitu Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP 2006).
Akan tetapi, Kurikulum 2013 banyak
menuai persoalan. Sejak pergantian seluruh kabinet pemerintahan, hal yang
paling menjadi objek sorotan adalah pencabutan Kurikulum 2013 dan digunakannya
kembali KTSP 2006. Kurikulum 2013 sendiri merupakan kurikulum baru yang
diterapkan oleh pemerintah untuk menggantikan KTSP 2006 yang telah berlaku
selama kurang lebih enam tahun. Kurikulum 2013 masuk dalam masa percobaan di
tahun 2013 dengan menjadikan beberapa sekolah menjadi sekolah percobaan. Pada
tahun 2014, Kurikulum
2013 sudah diterapkan di Kelas I, II, IV, dan V sedangkan untuk SMP Kelas
VII dan VIII dan SMA Kelas X dan XI. Kurikulum 2013 memiliki tiga aspek
penilaian, yaitu aspek pengetahuan, aspek keterampilan, dan aspek sikap dan
perilaku yang bertujuan agar siswa menjadi lebih aktif berperan dalam kegiatan
belajar mengajar. Penilaian dilakukan tidak hanya melalui teacher
assessment (guru), melainkan pula melalui peer assessment (teman
sekelas) karena pendidikan tidak lagi merupakan guru sebagai penengah namun
murid pun juga dapat menjadi penengah agar murid belajar secara efisien dan
menjadi lebih proaktif dalam bidang akademik.
Melalui Anies Baswedan sebagai
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) baru, pemerintahan Joko Widodo
melakukan pencabutan Kurikulum 2013. Dihentikannya Kurikulum 2013 tersebut
dikarenakan berbagai faktor dan banyaknya keluhan yang datang. Masalah mendasar
Kurikulum 2013 menurut Hartini Nara, M.Si, antara lain: Kurikulum 2013 tidak
melalui riset dan evaluasi yang mendalam, menitikberatkan siswa, ketidaksiapan
guru karena terkesan mendadak, tematik lebih cocok di kelas dasar, dan tidal
memperhatikan konteks sosiologis ke-Indonesiaan. Implementasi Kurikulum 2013
seharusnya difokuskan kepada 6.400 unit sekolah percontohan dahulu, kemudian feedback
dari sekolah itu dianalisa Kemendikbud. Tetapi yang terjadi adalah,
Kurikulum 2013 tahun ini dipaksakan diterapkan di 200 ribu lebih sekolah di
Indonesia. Implementasian Kurikulum 2013 juga dianggap tergesa-gesa dan belum
matang terlihat dari distribusi buku dan konten bahan ajar.
Selain dinilai
mengakibatkan masalah pada struktur kurikulum pendidikan di Indonesia,
perubahan kurikulum 2013 juga dinilai sebagai pemborosan sebab alokasi anggaran
mencapai Rp 2,4 triliun. Dikutip dari Waspada Online, Uchok Sky Khadafi
mengatakan bahwa terdapat beberapa kejanggalan dalam rencana penerapan
kurikulum baru 2013. Misalnya, di awal perencanaan program ini, tidak ada
anggaran pelatihan untuk para guru. Namun setelah publik mengkritisi, biaya
pelatihan guru dimasukkan pasca DPR menyetujui anggaran sebesar Rp 684 miliar
pada Desember 2012. Selain itu, pengadaan buku baru sebagai fasilitas pendukung
Kurikulum 2013 juga dinilai akan membuka celah korupsi dalam badan Kementrian.
Dalam teori kurikulum (Anita Lie,
2012), keberhasilan suatu kurikulum merupakan proses panjang, mulai dari
kristalisasi berbagai gagasan dan konsep ideal tentang pendidikan, perumusan
desain kurikulum, persiapan pendidik dan tenaga pendidikan, serta sarana dan
prasarana, tata kelola pelaksanaan kurikulum termasuk pembelajaran, dan
penilaian pembelajaran dari kurikulum. Struktur kurikulum dalam hal perumusan
desain kurikulum sangatlah penting, karena begitu struktur yang disiapkan tidak
mengarah sekaligus menopang pada apa yang ingin dicapai dalam kurikulum, maka
bisa dipastikan implementasinya pun akan kedodoran.
Pada tanggal 5
Desember 2014, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies
Baswedan mengumumkan hasil evaluasi Kurikulum 2013 setelah melakukan
proses pengkajian. Ada tiga keputusan yang diumumkan layaknya yang diberitakan
oleh republika.co.id. Pertama, menghentikan Kurikulum 2013 untuk sekolah yang
baru menyelenggarakannya selama satu semester dan kembali menggunakan KTSP
2006. Kedua, melanjutkan Kurikulum 2013 bagi sekolah yang telah melaksanakannya
selama dua atau tiga semester sebagai sekolah percontohan. Ketiga, Kurikulum
2013 diserahkan pada Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) serta Unit
Implementasi Kurikilum (UIK), dengan begitu perbaikan terhadap Kurikulum 2013
tidak berhenti namun diperbaiki dan akan dikembangan menjadi lebih baik lagi.[4]
Kembali ke KTSP juga menimbulkan
Masalah Baru
Menyikapi
dari berita terbaru tentang surat edaran kemendikbud pada hari ini yang telah
beredar dengan hal penghentian kurikulum 2013, bagi sekolah yang baru 1
semester melaksanakan kurikulum 2013. Dengan penghentian ini secara tidak
langsung juga memunculkan persoalan baru, terkait buku-buku pegangan guru dan
buku-buku pelajaran siswa. Kontrak kerja sama antara pemerintah tiap daerah dan
penerbit buku tentunya juga akan berubah. Bagaimana tanggapan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengenai keputusannya itu? "Kontrak
yang sudah ditanda-tangani, dituntaskan. (Lalu) bukunya disimpan di sekolah.
Kontrak yang belum ditanda-tangani, berhenti saja," kata Anies saat
ditemui di Gedung Kemendikbud, Jakarta, Sabtu (6/12/2014).
Anies
mengatakan, pemerintah daerah banyak yang belum membuat kontrak mengenai buku
mata pelajaran. Ia menganjurkan sekolah-sekolah itu tidak usah membuat kontrak
lagi.
Terkait
putusan pemberhentian kurikulum 2013, Anies menyatakan hal itu mulai berlaku
pada awal tahun depan. "Mulai semester genap. Tahun pelajaran 2014-2015,
mulai Januari. Pokoknya berhenti," ujar Anies. Ia menambahkan, sekolah
yang telah menggunakan kurikulum 2013 di atas 3 semester akan dijadikan tempat
menguji penerapan kurikulum tersebut. Sekolah itu tidak akan kembali ke
kurikulum 2006. Namun, jika sekolah merasa tidak siap dan merasa terbebani,
maka sekolah tersebut diberi kelonggaran untuk tidak meneruskan kurikulum baru.[5]
Masalah Kurikulum dalam Pendididkan
Pembahasan
mengenai pengertian ini penting karena ada dua alasan utama: (1) Seringkali
kurikulum diartikan dalam pengertian yang sempit dan teknis. Dalam kotak
pengertian ini maka definisi yang dikemukakan mengenai pengertian kurikulum
kebanyakan adalah mengenai komponen yang harus ada dalam suatu kurikulum. Untuk
itu berbagai definisi diajukan para ahli sesuai dengan pandangan teoritik atau
praktis yang dianutnya. Ini menyebabkan studi tentang kurikulum
dipenuhi dengan hutan definisi tentang arti kurikulum. (2) karena definisi yang digunakan akan
sangat berpengaruh terhadap apa yang akan dilakukan oleh para pengembang
kurikulum. Pengertian sempit atau teknis kurikulum yang digunakan untuk
mengembangkan kurikulum adalah sesuatu yang wajar dan merupakan sesuatu yang
harus dikerjakan oleh para pengembang kurikulum. Sayangnya, pengertian yang
sempit itu turut pula menyempitkan posisi kurikulum dalam pendidikan sehingga
peran pendidikan dalam pembangunan individu, masyarakat, dan bangsa menjadi
terbatas pula. (3) Pembahasan mengenai posisi kurikulum adalah penting
karena posisi itu akan memberikan pengaruh terhadap apa yang harus dilakukan
kurikulum dalam suatu proses pendidikan. Tidak seperti halnya dengan pengertian
kurikulum para akhli kurikulum tidak banyak berbeda dalam posisi kurikulum. Kebanyakan
mereka memiliki kesepakatan dalam menempatkan kurikulum di posisi sentral dalam
proses pendidikan. Kiranya bukanlah sesuatu yang berlebihan jika dikatakan
bahwa proses pendidikan dikendalikan, diatur, dan dinilai berdasarkan criteria
yang ada dalam kurikulum. Pengecualian dari ini adalah apabila proses
pendidikan itu menyangkut masalah administrasi di luar isi pendidikan. Meski
pun demikian terjadi perbedaan mengenai koordinat posisi sentral tersebut
dimana ruang lingkup setiap koordinat ditentukan oleh pengertian kurikulum yang
dianut. (4) Dalam banyak literature, kurikulum diartikan sebagai: suatu
dokumen atau rencana tertulis mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki
oleh peserta didik melalui suatu pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung
arti bahwa kurikulum harus tertuang dalam satu atau beberapa dokumen atau
rencana tertulis. Dokumen atau rencana tertulis itu berisikan pernyataan
mengenai kualitas yang harus dimiliki seorang peserta didik yang mengikuti
kurikulum tersebut. Pengertian kualitas pendidikan di sini mengandung makna
bahwa kurikulum sebagai dokumen merencanakan kualitas hasil belajar yang harus
dimiliki peserta didik, kualitas bahan/konten pendidikan yang harus dipelajari
peserta didik, kualitas proses pendidikan yang harus dialami peserta didik.
Kurikulum dalam bentuk fisik ini seringkali menjadi fokus utama dalam setiap
proses pengembangan kurikulum karena ia menggambarkan ide atau pemikiran para
pengambil keputusan yang digunakan sebagai dasar bagi pengembangan kurikulum
sebagai suatu pengalaman.
Aspek yang tidak
terungkap secara jelas tetapi tersirat dalam definisi kurikulum sebagai dokumen
adalah bahwa rencana yang dimaksudkan dikembangkan berdasarkan suatu pemikiran
tertentu tentang kualitas pendidikan yang diharapkan. Perbedaan pemikiran atau
ide akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam kurikulum yang dihasilkan, baik
sebagai dokumen mau pun sebagai pengalaman belajar. Oleh karena itu Oliva
mengatakan “Curriculum itself is a construct or concept, a verbalization of
an extremely complex idea or set of ideas”.
Selain kurikulum
diartikan sebagai dokumen, para akhli kurikulum mengemukakan berbagai definisi
kurikulum yang tentunya dianggap sesuai dengan konstruk kurikulum yang ada pada
dirinya. Perbedaan pendapat para ahli didasarkan pada isu berikut ini: (1) filosofi
kurikulum. (2) ruang lingkup komponen kurikulum. (3) polarisasi kurikulum –
kegiatan belajar. (4) posisi evaluasi dalam pengembangan kurikulum.
Pengaruh pandangan
filosofi terhadap pengertian kurikulum ditandai oleh pengertian kurikulum yang
dinyatakan sebagai “subject matter”, “content” atau bahkan “transfer
of culture”. Khusus yang mengatakan bahwa kurikulum sebagai “transfer
of culture” adalah dalam pengertian kelompok ahli yang memiliki pandangan
filosofi yang dinamakan perennialism. Filsafat ini memang memiliki
tujuan yang sama dengan essentialism dalam hal intelektualitas.
Seperti dikemukakan oleh Tanner dan Tanner
keduanya pandangan filosofi itu berpendapat bahwa adalah tugas kurikulum
untuk mengembangkan intelektualitas. Dalam istilah yang digunakan Tanner dan
Tanner perennialism mengembangkan kurikulum yang merupakan proses bagi
“cultivation of the rational powers: academic excellence” sedangkan essentialism
memandang kurikulum sebagai rencana untuk mengembangkan “academic
excellence dan cultivation of intellect”. Perbedaan antara keduanya adalah
menurut pandangan perenialism “the cultivation of the intellectual virtues
is accomplish only through permanent studies that constitute our intellectual inheritance”.
Permanent studies adalah konten kurikulum yang berdasarkan tradisi
Barat terdiri atas Great Books, reading, rhetoric, and logic, mathematics.
Sedangkan bagi essentialism beranggapan bahwa kurikulum haruslah
mengembangkan “modern needs through the fundamental academic disciplines of
English, mathematics, science, history, and modern languages.”
Perbedaan ruang
lingkup kurikulum juga menyebabkan berbagai perbedaan dalam definisi. Ada yang
berpendapat bahwa kurikulum adalah “statement of objectives” (McDonald;
Popham), ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rencana bagi guru untuk
mengembangkan proses pembelajaran atau instruction (Saylor, Alexander,dan
Lewis, 1981) Ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah dokumen tertulis yang
berisikan berbagai komponen sebagai dasar bagi guru untuk mengembangkan
kurikulum guru (Zais,1976:10). Ada juga pendapat resmi negara seperti yang
dinyatakan dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa
kurikulum adalah “seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan
bahan pelajaranserta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untukmencapai tujuan pendidikan tertentu” (pasal 1 ayat
19).
Definisi yang
dikemukakan terdahulu menggambarkan pengertian yang membedakan antara apa yang
direncanakan (kurikulum) dengan apa yang sesungguhnya terjadi di kelas
(instruction atau pengajaran). Memang banyak akhli kurikulum yang menentang
pemisahan ini tetapi banyak pula yang menganut pendapat adanya perbedaan antara
keduanya. Kelompok yang menyetujui pemisahan itu beranggapan bahwa kurikulum
adalah rencana yang mungkin saja terlaksana tapi mungkin juga tidak sedangkan
apa yang terjadi di sekolah/kelas adalah sesuatu yang benar-benar terjadi yang
mungkin berdasarkan rencana tetapi mungkin juga berbeda atau bahkan menyimpang
dari apa yang direncanakan. Perbedaan titik pandangan ini tidak sama dengan
perbedaan cara pandang antara kelompok akhli kurikulum dengan akhli teaching
(pangajaran). Baik akhli kurikulum mau pun pengajaran mempelajari fenomena
kegiatan kelas tetapi dengan latar belakang teoritik dan tujuan.[6]
2. PENGENALAN
KURIKULUM
Definisi Kurikulum
Kurikulum dalam
Arti Sempit.
Secara tradisional (arti sempit), istilah kurikulum diartikan sebagai rencana
tentang sejumlah mata pelajaran atau bahan ajaran yang ditawarkan oleh suatu
lembaga pendidikan untuk dipelajari oleh siswa dalam mengikuti pendidikan di
lembaga itu.[7] Dalam kamus “Webster’s New International
Dictionary” yang sudah memasukan istilah
kurikulum sejak tahun 1953, memberi arti kepada istilah kurikulum sebagai
berikut: (1) sebagai sejumlah pelajaran yang ditetapkan untuk dipelajari
oleh siswa di suatu sekolah atau perguruan tinggi, untuk memperoleh suatu
ijazah atau gelar. (2) keseluruhan mata pelajaran yang ditawarkan oleh suatu
lembaga pendidikan atau suatu departemen tertentu.
Memang
umumnya kurikulum dipahami orang sebagai bahan-bahan tercetak (buku, majalah)
berisikan pelajaran, petunjuk-petunjuk, gambar-gambar, soal-soal dan
sebagainya. Kata lain kurikulum sebagai
bahan pelajaran (subject matter).[8] Di sini kurikulum dalam arti sempit menunjuk
pada proses belajar mengajar yang
mencakup adalah: Pendidik, bahan ajar,
metode pembelajaran, media pembelajaran, anak didik dan evaluasi hasil belajar.
Kurikulum dalam
Arti Luas.
Sebelum abad ke-20, istilah kurikulum belum banyak digunakan dalam konteks
pendidikan. Konsep-konsep kurikulum
mulai berkembang sejak dipublikasikannya buku “The Curriculum” yang ditulis
oleh Franklin Bobbitt (1918). Di sini kurikulum mempunyai arti yang lebih
meluas. Kurikulum adalah suatu rencana yang menjadi panduan dalam
menyelenggarakan proses pendidikan.[9]
Melanjutkan
pemikiran di atas, maka Saylor,
Alexander dan Lewis merumuskan kurikulum sebagai berikut: pertama, kurikulum
sebagai rencana tentang mata pelajaran atau bahan-bahan pelajaran. Kedua,
kurikulum sebagai rencana tentang pengalaman belajar. Ketiga, kurikulum
sebagai rencana tentang tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Keempat,
kurikulum sebagai rencana tentang tempat belajar.[10] Tak heran bila Eli Tanya merumuskan kurikulum berarti “sepanjang hidup belajar,
meringkas segala pengalaman dan pengaruh-pengaruh yang terdapat di sekeliling
murid.[11]
International Council of Religious Education mendefinisikan kurikulum adalah
“pengalaman si pelajar di bawah bimbingan.”[12]
Dengan demikian kurikulum dalam arti luas menekankan pada institusi pendidikan
(Visi, Misi, tujuan dan kurikulum) menuju proses belajar mengajar
(Pendidik, bahan ajar, metode
pembelajaran, media pembelajaran, anak didik dan evaluasi hasil belajar).
Berkaitan
pemikiran di atas, maka Abdul Rajak Husain mengatakan kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan belajar-mengajar.[13]
Selanjutnya bahwa Engkoswara, guru besar Universitas Pendidikan Indonesia
Bandung telah membuat 4 (empat) rumus pengertian kurikulum, lengkap dengan
visualisasinya sebagai berikut: Pertama,
kurikulum adalah jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Kedua, kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran. Ketiga, kurikulum adalah sejumlah mata
pelajaran dan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan oleh peserta didik. Keempat, kurikulum adalah sejumlah mata
pelajaran dan kegiatan-kegiatan, serta segala sesuatu yang akan berpengaruh
dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Rumus ini
memudahkan kita untuk memahami pengertian kurikulum. Rumus ini sama sekali
tidak melenceng dari definisi yang telah dikemukakan para ahli, misalnya Hilda
Taba menjelaskan dengan amat singkat bahwa “curriculum
is a plan of learning”. Demikian juga bila dibandingkan dengan pengertian
kurikulum dalam Pasal 1 butir 19 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa “Kurikulum adalah seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara
yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu”.
Kurikulum Menggambarkan Dinamika
Pembangunan Pendidikan
Susungguhnya
kurikulum dapat menggambarkan dinamika pembangunan pendidikan yang
ujung-ujungnya berupaya untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Lebih luas
lagi juga menggambarkan dinamika pembangunan nasional.
Istilah
kurikulum memang belum lahir ketika pemimpin tertinggi negeri ini telah
berhasil mengumandangkan teks proklamasi ke seluruh penjuru dunia. Tetapi yang
patut kita banggakan, dua tahun sejak proklamasi, negeri ini telah memiliki
kurikulum sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Kurikulum ini dinamakan
dengan Rencana Pelajaran 1947.
Lebih
dari itu, sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia telah menetapkan tujuan yang
jelas kemana NKRI akan dibawa. Dasar negara telah ditetapkan sejak
prakemedekaan, yakni Pancasila, lengkap dengan lambang negara, motto, lagu
kebangsaan, dan bahkan konstitusi yang di dalamnya telah memuat empat tujuan
negara yang akan dicapai. Salah satu tujuan itu dirumuskan dengan sangat tepat,
yakni “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”.
Dinamika Pengembangan Kurikulum dan
Payung Hukumnya
Salah
satu faktor yang telah mendorong untuk mengembangkan kurikulum adalah amanat
Undang-Undang tentang Sitem Pendidikan Nasional. Kurikulum pertama di Indonesia
telah lahir sebagai penjabaran amanat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950
tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran, Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1954, UU Nomor 22 Tahun 1961, UU Nomor 2 Tahun 1989, dan akhirnya UU Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di samping itu, tuntutan
globalisasi, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknolgi juga ikut mendorong
terjadinya perbaikan dan pengembangan kurikulum. Sejak Indonesia merdeka sampai
dengan penerapan Kurikulum 2013, negeri ini telah memiliki sekian banyak
kurikulum, yakni: (1) Rencana Pelajaran 1947,
(2) Rencana Pendidikan 1950, (3) Rencana Pendidikan 1958, (4) Rencana
Pendidikan 1964, (5) Kurikulum 1968, (6) Kurikulum 1974, (7) Kurikulum 1978,
(8) Kurikulum 1984, (9) Kurikulum 1994, (10) Kurikulum 2004, Kurikulum 2006 dan (11) Kurikulum 2013.[14]
Kelahiran
Rencana Pelajaran 1947 memang menjadi kurikulum darurat karena belum ada amanat
dari payung hukum yang kuat, karena payung hukumnya baru lahir dengan UU Nomor
4 Tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran. Rencana Pelajaran
1950 sebenarnya merupakan reparasi dari Rencana Pelajaran 1947. Sedang Rencana
Pendidikan (?) 1958 telah lahir sebagai implementasi dari UU Nomor 14 Tahun
1954, dan Rencana Pendidikan 1964 merupakan perbaikan dari Rendana Pendidikan
1958, sekaligus sebagai implementasi UU
Nomor 22 Tahun 1961 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Rencana Pendidikan 1964 pun kemudian
disempurnakan menjadi Kurikulum 1968, sebagai kurikulum pertama yang
menggunakan pendekatan integrasi (inntegrated
curriculum) untuk menggantikan pendekatan kurikulum sebelumnya yang selama
ini menggunakan pendekatan terpisiah-pisah (separated
curriculum). Perbaikan di sana-sini kurikulum telah terjadi yang melahirkan
kurikulum, baik yang lahir prematur atau pun yang lahir memang sudah waktunya,
yakni Kurikulum 1974, Kurikulum 1978, dan kemudian lahir Kurikulum 1984, dan
terakhir Kurikulum KBK pada tahun 1994 yang kemudian menjadi KTSP (Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan), dan sekarang ini telah lahir lagi Kurikulum 2013,
yang meneruskan pendekaktan kurikulum terintegrasi atau kini menamakan diri
sebagai kurikulum yang menggunakan pendekatan pembelajaran tematik integratif
di satuan pendidikan Sekolah Dasar.
Konsep kurikulum
Konsep
terpenting yang perlu mendapatkan penjelasan dalam teori kurikulum adalah
konsep kurikulum. Ada tiga konsep tentang kurikulum adalah: kurikulum
sebagai substansi, sebagai sistem dan sebagai
bidang studi.
Konsep pertama, kurikulum sebagai suatu substansi
Suatu kurikulum,
dipandang orang sebagai suatu rencana kegiatan belajar bagi murid-murid di
sekolah, atau sebagai suatu perangkat tujuan yang ingin dicapai. Suatu
kurikulum juga dapat menunjuk kepada suatu dokumen yang berisi rumusan tentang
tujuan, bahan ajar, kegiatan belajar-mengajar, jadwal, dan evaluasi. Suatu
kurikulum juga dapat digambarkan sebagai dokumen tertulis sebagai hasil persetujuan
bersama antara para penyusun kurikulum dan pemegang kebijaksanaan pendidikan
dengan masyarakat. Suatu kurikulum juga dapat mencakup lingkup tertentu, suatu
sekolah, suatu kabupaten, propinsi, ataupun seluruh negara.
Kurikulum sebagai suatu sistem
Sistem kurikulum merupakan bagian dari sistem
persekolahan, sistem pendidikan, bahkan sistem masyarakat. Suatu sistem
kurikulum mencakup struktur personalia, dan prosedur kerja bagaimana cara menyusun
suatu kurikulum, melaksanakan, mengevaluasi, dan menyempurnakannya. Hasil dari
suatu sistem kurikulum adalah tersusunnya suatu kurikulum, dan fungsi dari
sistem kurikulum adalah bagaimana memelihara kurikulum agar tetap dinamis.
Kurikulum sebagai suatu bidang studi
Ini merupakan bidang kajian
para ahli kurikulum dan ahli pendidikan dan pengajaran. Tujuan kurikulum
sebagai bidang studi adalah mengembangkan ilmu tentang kurikulum dan sistem
kurikulum. Mereka yang mendalami bidang kurikulum mempelajari konsep-konsep
dasar tentang kurikulum. Melalui studi kepustakaan dan berbagai kegiatan
penelitian dan percobaan, mereka menemukan hal-hal barn yang dapat memperkaya
dan memperkuat bidang studi kurikulum.
Seperti halnya para ahli ilmu sosial lainnya, para ahli teori kurikulum
juga dituntut untuk:
(1) mengembangkan
definisi-definisi deskriptif dan preskriptif dari istilah-istilah teknis,
(2) mengadakan
klasifikasi tentang pengetahuan yang telah ada dalam pengetahuan-pengetahuan
baru,
(3) melakukan
penelitian inferensial dan prediktif,
(4) mengembangkan
subsubteori kurikulum, mengembangkan dan melaksanakan model-model kurikulum.
Keempat tuntutan tersebut menjadi kewajiban seorang ahli teori kurikulum.
Melalui pencapaian keempat hal tersebut baik sebagai subtansi, sebagai sistem,
maupun bidang studi kurikulum dapat bertahan dan dikembangkan.
Unsur-unsur Desain Kurikulum Arti Luas
W.P. Napitupulu merumuskan
bahwa komponen kurikulum sebagai berikut: guru – murid -- bahan pelajaran --
alat-alat pendidikan. Di sini guru memegang peran penting dan terberat. Keberhasilan proses belajar
ditentukan oleh seorang guru.[15] Sementara
Ornstein mengatakan bahwa proses
kurikulum antara caranya (metode proses
belajar-mengajar) dengan materinya (bahan pelajaran). Kedua merupakan proses
yang berjalan bersama-sama.[16] Tetapi
rumusan ini sudah tertinggal karena muncul rumusan yang dirangkum oleh Muhammad
Ali. Ia merumuskan komponen-komponen
kurikulum sebagai berikut: komponen tujuan, komponen isi atau materi, komponen
metode atau organisasi dan komponen evaluasi.[17] Uraian komponen-komponen
di atas sebagai berikut:
Komponen tujuan adalah arah atau sasaran yang hendak dituju oleh
proses penyelenggara pendidikan. Dalam
setiap kegiatan sepatutnya mempunyai tujuan, karena tujuan menuntun kepada apa
yang hendak dicapai, atau sebagai gambaran tentang hasil akhir dari suatu
kegiatan.
Penerapan konsep tujuan
kurikulum pertama kali dikemukakan oleh Franklin Bobbit. Prosedur yang
digunakan dalam pengembangan kurikulum dengan menerapkan konsep ini adalah
dengan merumuskan tujuan-tujuan.
Prosedur Bobbit ini selanjutnya oleh Ralp Tyler lebih dirinci yang pertama kali
dimunculkan tahun 1949. Tyler mengatakan bahwa prinsip-prinsip perencanaan
kurikulum dan pengajaran dengan mengajukan empat pertanyaan: “Tujuan apa yang
ingin dicapai? Pengalaman belajar apa yang perlu disiapkan untuk mencapai
tujuan itu? Bagaimana kegiatan-kegiatan belajar itu diorganisasi secara
efektif? Bagaimana menilai keberhasilan pencapaian tujuan?”[18]
Komponen isi kurikulum adalah materi
bahan belajar. Wujud isi kurikulum ada beberapa sebagai berikut: pertama,
“Uniform Lesson” (pelajaran seragam). Bahan
pelajaran yang sama ditujukan untuk semua golongan umur. Kedua,
“Group-graded Lesson” (pelajaran yang disesuaikan dengan kelompok). Bahan
pelajaran yang berbeda ditujukan untuk kelompok umur yang berlainan. Ketiga,
“Closely-graded Lesson” (pelajaran yang disesuaikan secara ketat). Misalnya
bahan pelajaran khusus untuk satu tahun saja. Kelima, buku-buku
pelajaran untuk sekolah. Di Indonesia ditujukan untuk pelajaran-pelajaran
tingkat SD, SMP, dan SMU. Keenam, bahan-bahan pelajaran lain.[19]
Wujud kurikulum (bahan
pelajaran) yang lainnya adalah: pertama, kurikulum denominasi di mana
yang diterbitkan oleh denominasi tertentu, untuk kalangan sendiri. Kedua,
kurikulum bukan denominasi di mana penerbitnya bukan denominasi, tetapi
komersial. Ketiga, kurikulum usaha
bersama di mana diterbitkan dari
beberapa denominasi bersama-sama. Keempat, kurikulum yang berpusatkan
isi (Content-centered Curriculum) di mana memusatkan pelajaran Alkitab,
membahas bagian-bagian Alkitab satu per satu. Kelima, kurikulum yang
berpusatkan pengalaman (Experience Centered Curriculum) di mana isinya
menitikberatkan pada pengalaman murid, kemudian menghubungkannya dengan Alkitab
atau imam Kristen. Keenam, kurikulum berdasarkan studi unit (Unit of
Study) di mana tujuannya adalah memberi pelajaran yang lebih luas, baik
pengalaman atau pokok pelajaran.[20]
Komponen metode atau organisasi adalah bagaimana isi kurikulum yang berupa bahan
pelajaran disampaikan kepada siswa. Komponen ini juga disebut kegiatan belajar
mengajar atau “administrasi kurikulum” (di luar negeri
disebut “Administration of the Instructional Program”). Kegiatan ini merupakan pusat dari semua
kegiatan-kegiatan sekolah. Semua mengaturan dan pengaturan mengenai: murid agar
dapat belajar dengan tenang, guru-guru supaya dapat mengajar dengan teratur,
tenang dan tertib pula; penggunaan alat pelajaran yang efektif dan efisien;
penggunaan waktu untu belajar, untuk rekreasi, untuk kegiatan co-curriculair;
untuk ulangan-ulangan dan ujian, dan
sebagainya. Semua itu bertujuan agar proses belajar mengajar semakin lancar.
Komponen evaluasi adalah bagian yang sangat penting di mana hasil evaluasi
dapat memberi petunjuk kepada sasaran yang ingin dituju dapat tercapai atau
tidak.
Prinsip-prinsip
Pengembangan Kurikulum
Prinsip-prinsip
kurikulum dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Prinsip
Relevansi. Dalam
Oxford Advanced Dictionary of Current English,
kata relevansi atau relevan mempunyai arti (closely) “connected with
what is bappening”, yakni kedekatan hubungan dengan apa yang terjadi.Apabila
dikaitkan dengan pendidikan, berati perlunya kesesuaian antara (program)
pendidikan dengan tuntunan kehidupan masyarakat (the needs of society). Pendidikan dikatakan relevan bila hasil yang
diperoleh akan berguna bagi kehidupan seseorang. Menurut Soetopo dan Soemanto
ia mengungkapkan relevansi sebagai berikut: (1) Relevansi pendidikan
dengan lingkungan anak didik.relevansi ini memiliki arti bahwa dalam
pengembangan kurikulum,termasuk dalam menentukan bahan pengajaran(subject
mattrs),hendaknya disesuaikan dengan kehidupan nyata anak didik.sebagai contoh
sekolah yang berada diperkotaan, anak didinya ditawarkan halyang aktual,seperti
polusi pabrik,arus perdagangan yang ramai, kematan lalu lintas,dan lain-lain.
Atausebaliknya anak-anak yang berada dipedesaan ditawarkan hal-hal yang
relevan,misalnya memperkenalkan pertanian kepada anak didik,karena daerah
tersebut merrupakandaerah pedesaan yang subur akan pertanian. (2) Relevansi
pendidikan dengan kehidupan yang akan datang. Materi atau bahan yang akan
diajarkan kepada anak didik hendaklah memberi manfaat untuk persipan masa depan
anak didik.Karenanya keberadaan kurikulum disini bersifat antisipasi dan
memiliki nilai prediksi secara tajam dan perhitungan. (3) Relevansi pendidikan
dengan dunia kerja.Semua orang tua
mengharapkan anaknya dapat bekerja sesuai dengan pengalaman pendidikan yang
dimilikinya .Begitu juga halnya dengan anak didik,ia berharapn agar dapat
mandiri dan memiliki sumber daya ekonomi yang pantas dengan modal ilmu
pengetahuannya.karenanya kurikulum dan proses pendidikan tersebut sedapat mungkin
dapat diorientasikan kedunia kerja,tentunya menurut jenis pendidikan, sehingga
nantinya pengetahuan teoritik dari bangku sekolah dapat diaplikasikandengan
baik dalam dunia kerja. (4) Relevansi pendidikan dengan ilmu
pengetahuan.Kemajuan ilmu pendidikan juga membuat maju ilmu pengetahuan dan
teknologi. Banyak negara tadinya miskin sekarang menjadi kaya.contohnya
Jepang,korea Selatan,Singapura,dan lain-lain.semua
ini berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi diharapakan kurikulum dapat
memberikan peluang pada anak didik untuk mengembangkan ilmu pengetahuandan
teknologi,selalu mengembangkanya dan tidak cepat puas.
2.
Prinsip Efektivitas. Prinsip
efektivitas yang dimaksudkan adalah sejauh mana perencanaan kurikulum dapat
dicapai sesuai dengan keinginan yang telah ditentukan. Dalam proses pendidikan,
efektivitasnya dapat dilihat dari sisi, yakni: (1) Efektivitas mengajar
pendidik berkaitan dengan sejauh mana kegiatan belajar mengajar yang telah
direncanakan dapat dilaksanakan dengan baik. (2) Efektivitas belajar anak
didik,berkaitan dengan sejauh mana tujuan-tujuan pelajaran yang diinginkan
telah dicapai melalui kegiatan belajar mengajar yang telah dilaksanakan.
3.
Prinsip Efisensi. Prinsip
efisiensi sering dikonotasikan dengan prinsip ekonomi,yang berbunyi: modal atau
biaya, tenaga dan waktu yang sekcil-kecilnya akan dicapai hasil yang
memuaskan.efesiensi proses belajar mengajar akan tercipta, apabila
usaha,biaya,waktu,dan tenaga yang digunakan untuk menyelesaikan program
pengajaran tersebtu sangat optimal dan hasilnya bisa seoptimalmungkin, tentunya
dengan pertimbangan yang rasional dan wajar.
4. Prinsip
Kesinambungan. Prinsip
kesinambungan dalam pengembangan kurikulum menunjukan adanya saling terkait
antara tingkat pendidikan, jenis program pendidikan, dan bidang studi. Hal
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Kesinambungan di antara berbagai
tingkat sekolah. (2) Kesinambungan diantara berbagai bidang studi. (3) Bahan
pelajaran yang diperlukan untuk belajar lebih lanjut pada tingkat pendidikan
yang lebih tinggi hendaknya sudah diajarkan pada tingkat pendidikan sebelumnya
atau dibawahnya. (4) Bahan pelajaran yang telah diajarkan pada tingkat
pendidikan yang lebih rendah tidak harus diajarkan lagi pada jenjang pendidikan
yang lebih tinggi,sehingga tertinggal dari tumpang tindih dalam pengaturan
bahan dalam proses belajar mengajar. (5) Kesinambungan di antara berbagai
bidang studi menujukan bahwa dalam pengembangan kurikulum harus memperhatikan
hubungan antara bidang studi yang satu dengan lain yang lainya. Misalnya untuk
mengubah angka temperatur dari skala celsius ke skala Fahreheit dalam IPA
diperlukan ketrampilan dalam pengalian pecahan.
5.
Prinsip Fleksibilitas (Keluwesan). Fleksibilitas
berarti tidak kaku, dan ada semacam ruang gerak yang memberikan kebebasan dalam
bertindak. Didalam kurikulum,fleksibilitas dapat dibagi menjadi dua macam
yakni: (1) Fleksibel dalam memilih program pendidikan. (2) Fleksibelitas dalam
pengembangan program pengajaran. Maksudnya adalah dalam bentuk memberikan
kesempatan kepada para pendidik dalam mengembangakan sendiri program-program
pengajaran dengan berpatok pada tujuan dan bahan pengajaran diidalam kurikulum
yang masih bersifat umum.
6.
Prinsip Berorientasi tujuan. Prinsip
berorientasi tujuan berarti bahwa sebelum bahan ditentukan, langkah yang perlu
dilakukan oleh seorang pendidik adalah menentukan tujuan terlebih dahulu. Hal
ini dilakukan agra semua jam dan aktivitasd pengajaran yang dilaksanakan oleh
pendidik maupun anak didik dapat betul-betul terarah kepada tercapainya tujuan
pendidikan yang telah ditetapkan.
7.
Prinsip dan Model Pengembangan Kurikulum. Prinsip ini
memiliki maksud bahwa harus ada pengembangan kurikulum secara bertahap dan
terus menerus, yakni dengan cara memperbaiki, memantapakan dan
mengembangakan lebih lanjut kurikulum yang sudah berjalan setelah ada
pelaksanaan dan sudah diketahui asilnya.
Pendekatan
Pengembangan Kurikulum
Para pengembang (developers) telah menemukan beberapa
pendekatan dalam pengembangan kurikulum. Yang dimaksudkan pendekatan adalah
cara kerja dengan menerapkan straegi dan metode yang tepat dengan mengikuti
langkah-langkah pengembangan yang sistimatis agar memperoleh kurikulum yang lebih
baik.Pendekatan-pendekatan yang dikembangkan para pengembang sebagai
berikut: (1) Pendekatan Bidang Studi
(Pendekatan Subjek atau Disiplin Ilmu. Pendekatan ini menggunkan bidang studi
atau matapelajaran sebagai dasar organisasi kurikulum, misalnya matematika, sains,
sejarah, IPA dan lainya. Pengembangan dimulai dengan mengidentifikasi secara
teliti pokok-pokok bahasan yang akan dibahas,kemudian poko-pokok bahasan
tersebut diperinci menjadi bahan-bahan pelajaran yang harus dikuasai,dan
akhirnya mengidentifikasi dan mengurutkan pengalaman belajar dan ketrampilan
–ketrampilan yang harus dilakukan anak didik. (2) Pendekatan berorentasi pada
tujuan. Pendekatan yang berorentasi tujuan ini menempatkan rumusan atau
penempatan tujuan yang hendak dicapai dalam posisi sentral, sebab tujuan adalah
pemberi arah dalam pelaksanaan proses belajar mengajar. Tujuan matematioka
misalnya sama dengan konsep dasar dan disiplinilmu matematika . Prioritas
pendekatan ini adalah penalaran Pengetahuan. (3) Kelebihan pendekatan pengembangan
kurikulum yang berorientasi pada tujuan adalah: (a) Tujuan yang ingin dicapai
jelas bagi penyusun kurikulum. (b) Tujuan yang jelas akan meberikan arahan yang
jelas pula didalam menerapkan materi pelajaran, metode, jenis kegiatan, dan
alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan. (c) Hasil penilaian yang terarah.
Asas-asas
Kurikulum
Dalam perkembangan
kurikulum, banyak hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan sebelum
mengambil suatu keputusan. Apapun jenis kurikulumnya pasti memerlukan asas-asas
yang harus dipegang, asas-asas tersebut cukup kompleks dan tidak jarang
memiliki hal-hal yang bertentangan, karena harus memerlukan seleks.
Perkembangan kurikulum pada suatu negara, baik di negara-negara
berkembang,negara terbelakang dan negara-negara maju,bisa dipastikan mempunyai
perbedaan-perbedaan yang mungkin mendasar,tetapi tetap ada persamaan. Falsafah
yang berlainan, bersifatotoriter, demokratis, sekuler atau religius, akan
memberi warna yang berbeda dengan kurikulum yang dimiliki oleh bangsa
bersangkutan. Begitu juga apabila dilihat dari masyarakat, organisasi bahan
yang digunakan, dan pilihan psikologi belajar dalam mengembangkan kurikulum
tersebut. Lebih lanjut akan diureaikan empat asas perkembangan kurikulum sebagai
berikut:
Asas Filosofi
Falsafah dalam
arti sebenarnya adalah cinta akan kebenaran yang merupakan rangkaian dua
pengertian, yakni philein (cinta) dan shopia(kebijakan). Dalam batasan modern,
filsafat diartikan sebagi ilmu yang berusaha memahami semua hal yang muncul di
dalam keseluruhan lingkup pengalaman manusia,yang berharap agar manusia dapat
mengertidan mempunyai pandangan menyeluruh dan sistematis mengenai alam semesta
dan tempat manusia didalamnya. Intinya manusia merupakan bagian dari dunia.
Asas
Sosiologis
Asas sosiologis
mempunyai peranan penting dalam mengembangkan kurikulum pendidikan pada
masyarakat dan bangsa dimuka bumi ini.Suatu
kurikulum pada prinsipnya mencerminkan keinginan, cita-citatertentu dan
kebutuhan mayarakat. Karena itu,sudah sewajarnya kalau pendidikan memerlukan aspirasimasyarakat.dan pendidikan mesti memberi
jawaban atas tekanan-tekanan yang datang dari kekuatan
sosio-politik-ekonomiyang dominan. Berbagai kesukaran juga akan muncul apabila
kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat, seperti militer, politik, agama,
swasta, dan lain-lain, mengajukan keinginanyang bertentangan dengan kepentingan
kelompok masing-masing. Dari sudut pandang sosiologis, dalam sisitem pendidikan
serta lembaga –lembaga pendidikan terdapat bahan yang memiliki beragam fungsi
bagi kepentingan mayarakat yakni: (1) Mengadakan revisi dan perubahan social.
(2) Mempertahankan kebebasan akademis dan kebebasan melaksanakan penelitian
ilmiah. (3) Mendukung dan turut memberi kontribusi kepada pembangunan. (4) Menyampaikan
kebudayaan dan nilai-nilai tradisional serta mempertahankan status quo. (5) Banyak
lagi aspek lain yang turut memberi pengaruh mengenai apa yang harus dimasukan
kedalam kurikulum, yakni yang menjadi kebutuhan masyarakat.antara lain. (6) Interaksi
yang kompleks antara kekuatan–kekuatran sosial, politik, ekonomi, militer,
industri, kultur masyarakat. (7) Berbagai kekuatan dominan,sebagaiman
diungkapkan diatas. (8) Pribadi pimpinandan tokoh yang memegang kekuasaan
formal. (9) Menganalisis masyarakat dimana sekolah berada. (10) Menganalisis
syarat dan tuntutan terhadap individu dalam ruang lingkup kepentingan
masyarakat.
Dalam mengambil
keputusan mengenai kurikulum, para pengembang mesti merujuk pada lingkungan
atau dunia dimana mereka tinggal, merespon berbagai kebutuhan yang dilontarkan
atau diusulkanoleh beragam golongan dalam masyarakat.
Asas Psikologis
Konstribusi
psikologis terhadap studi kurikulum memiliki dua bentuk, yaitu: (1) Model
konseptual dan informasi yang akan membangun perencanaan pendidikan. (2) Berisikan
berbagai metode yang diadaptasi untuk penelitian pendidikan. Dalam memilih
pengalaman belajar yang akurat, psikologi
secara umum sangat membantu. Teori-teori belajar, teori kognitif, pengembangan
emosional, dinamika group, perbedaan kemampuan individu, kepribadian model
formasi sikap dan perubahan dan mengetahui motivasi, semuanya sangat relevan
dalam merencanakan pengalaman-pengalaman.
Asas Organisator
Peranan asas
organisator dalam pengembangan kurikulum adalah mengorganisasikan bahan bagi keperluan
pengajaran, salah satu caranya adalah dengan mengorganisasikan bahan
berdasarkan topik, tema, kronogi, isu, logika, proses disiplin. Sebagai
konklusi dari uraian asas organisator tersebut ada 3 hal utama yang perlu
diperhatikan yakni: (1) Tujuan bahan pelajaran: Mengajarkan ketrampilan untuk
masa sekarang atau mengajarkan ketrampilan untuk masa depan,untuk membantu
sisiwa dalam memecahkan masalah,untuk mengembangkan nilai-nilai, untuk
mengembangkan ciri ilmiah, untuk memupuk jiwa warga negara yang baik. (2) Sasaran
bahan Pelajaran: Siapkah pelajar itu,apakah latar belakang pendidikan dan pengalamannya,
sampai dimana tingkat perkembangannya, bagaimana profil kepribadianya. (3) Pengorganisasian
bahan: Bagaimana bahan pelajaran diorganisasi: apakah berdasarkan topik, konsep,
kronologi dan lain-lain.[21]
Model-model
Kurikulum
Model- model kurikulum terdiri
dari empat macam yaitu:
Kurikulum Subjek
Akademis
Model kurikulum subjek akademis, yaitu model
kurikulum tertua dan sangat praktis mudah disusun, dan mudah digabungkan, serta .mengutamakan
isi (subject matter) yang merupakan kumpulan dari bahan ajar atau
rencana pembelajaran.
Isi pendidikan diambil dari setiap disiplin ilmu.
Sesuai dengan bidang disiplin para ahli, masing- masing telah mengembangkan
ilmu secara sisematis, logis dan solid. Para pengembang kurikulum tidak susah-
susah menyusun dan mengembangkan bahan sendiri. Mereka tinggal memilih bahan materi ilmu yang
telah dikembangkan para ahli displin ilmu, kemudian mengorganisasikan secara sistematis, sesuai
dengan tujuan pendidikan dan tahap perkembangan siswa yang akan
mempelajarinya. Berkaitan hal di atas, maka ditinjau dari isinya, Sukmadinata
mengklasifikasikan kurikulum model ini
menjadi empat kelompok besar sebagai berikut:
(1).
Correlated curriculum. Pola organisasi materi
atau konsep yang dipelajari dalam suatu peajaran dikorelasikan denga pelajaran
lainnya. (2) Unified atau concentrated
curriculum.
pola
organisasi bahan peajaran tersusun dalam tema-tema pelajaran tertentu, yang
mencakup materi dari berbagai pelajaran disiplin ilmu. (3) Integrated curriculum. Kalau dalam unified
masih tampak warna disiplin ilmunya, maka dalam pola yang integrated warna
disiplin ilmu tersebut sudah tidak kelihatan lagi. Bahan ajar diintegrasikan
dalam suatu persoalan, kegiatan atau segi kehidupan tertentu. (4) Problem solving curriculum. Pola
organisasi yang berisi topik pemecahan masalah sosial yang dihadapi dalam kehidupan dengan menggunakan pengetahuan dan
keterampian yang diperoleh dari berbagai mata pelajaran atau disiplin ilmu.[22][1]
Pada kurikulum model ini, guru cenderung lebih banyak
dimaknai sebagai
seseorang yang harus ”digugu” dan ”ditiru”. Menurut Idi, ada empat cara
dalam menyajikan pelajaran dari kurikulum model subjek akademis sebagai
berikut:
1.
Materi disampaikan secara hierarkhi naik, yaitu materi disampaikan dari
yang
lebih mudah hingga ke materi yang lebih sulit. Sebagai
contoh, dalam pengajaran pada jenjang kelas yang rendah diperlukan alat bantu
mengajar yang masih kongkret. Hal ini dilakukan guna membentuk konsep riil ke
konsep yang lebih abstrak pada jenjang berikutnya. Dalam Matematika, misalnya,
konsep penjumlahan selalu disampaikan terlebih dahulu sebelum konsep perkalian,
karena perkalian untuk bilangan bulat positif dapat dipandang sebagai penjumlahan berulang dari bilangan tersebut.
2.
Penyajian dilakukan berdasarkan prasyarat. Untuk memahami suatu
konseptertentu diperlukan pemahaman konsep lain yang telah diperoleh atau
dikuasai sebelumnya. Perhatikan 3 x 4, yang mempunyai makna 4 + 4 + 4.
Seseorang hanya bisa menghitung perkalian tersebut jika telah memahami dengan
baik makna dari penjumlahan. Dengan demikian penjumlahan merupakan prasyarat untuk
perkalian.
3.
Pendekatan yang digunakan cenderung induktif, yaitu disampaikan dari
hal-halyang bersifat umum menuju kepada bagian-bagian yang lebih spesifik.
4.
Urutan penyajian bersifat kronologis. Penyampaian materi selalu diawali
denganmenggunakan materi-materi terdahulu. Hal ini dilakukan agar sifat
kronologis/urutan materi tidak terputus.
Kurikulum
Humanistik
Aliran ini lebih memberikan
tempat utama kepada siswa. Bahwa anak itu memiliki potensi, punya kemampuan,
dan punya kekuatan untuk berkembang. Prioritas pendekatan ini adalah pengalaman
belajar yang diarahkan terhadap tanggapan
minat, kebutuhan, dan kemampuan siswa. Pendekatan ini berpusat pada siswa dan mengutamakan perkembangan unsur afeksi.
Pendidikan ini diarahkan kepada pembinaan manusia yang utuh, bukan saja segi
fisik dan intelektual, tetapi juga segi sosial dan afeksi (emosi, sikap,
perasaan, nilai, dan lain-lain). Hal ini menandakan bahwa pendekatan ini berpegang pada prinsip peserta didik
merupakan
satu kesatuan yang menyeluruh. Pendidikan lebih
menekankan bagaimana mengajar siswa
(mendorong siswa), dan bagaimana merasakan atau bersikap terhadap sesuatu. Penganut model kurikulum ini beranggapan bahwa siswa
merupakan subjek
utama yang mempunyai potensi, kemampuan dan kekuatan yang
bisa dikembangkan. Hal ini sejalan
dengan teori Gestalt yang mengatakan bahwa individu atau anak merupakan satu kesatuan yang menyeluruh. Pendidikan yang menggunakan kurikulum ini selalu
mengedepankan peran siswa di sekolah.
Dengan situasi seperti ini, anak diharapkan mampu mengembangkan segala potensi yang dimilikinya. Pendidikan
dianggap sebagai unit proses yang dinamis serta merupakan upaya yang mampu
mendorong siswa untuk bisa mengembangkan
potensi dirinya. Karena itu, seseorang yang telah mampu mengaktualisasikan diri adalah orang yang telah mencapai
keseimbangan
perkembangan dari aspek kognitif, estetika, dan moral. Dalam proses penerapan di kelas, kurikulum humanistik
menuntut hubungan
emosinal yang baik antara guru dan siswa. Guru harus bisa
memberikan layanan. yang membuat siswa
merasa aman sehingga memperlancar proses belajar mengajar. Guru tidak perlu memaksakan segala sesuatu jika murid
tidak menyukainya. Dengan rasa aman ini siswa akan lebih mudah menjalani proses
pengembangan dirinya. Kurikulum
humanistik merupakan kurikulum yang lebih mementingkan proses dari pada hasil. Sasaran utama kurikulum jenis ini
adalah bagaimana
memaksimalkan perkembangan anak supaya menjadi manusia
yang mandiri. Proses belajar yang baik
adalah aktivitas yang mampu memberikan pengalaman yang bisa membantu siswa untuk mengembangkan potensinya. Dalam
evaluasinya, guru lebih cenderung memberikan
penilaian yang bersifat subyektif.
Kurikulum
Rekontruksi Sosial
Kurikulum ini lebih memusatkan
pada problema-problema yang dihadapinya dalam
masyarakat. Kurikulum ini bersumber pada aliran pendidika internasional. Dalam
aliran ini kurikulum merupakan sebuah kerjasama.
Pandangan rekontruksi sosial di
dalam kurikulum dimulai sekitar
tahun1920-an. Harold Rug mulai melihat dan menyadarkan kawan-kawannya bahwa
selama ini terjadi kesenjangan kurikulum dengan masyarakat. Ia menginginkan para siswa dengan pengetahuan
dan konsep- konsep baru yang diperolehnya dapat mengidentifikasi dan memecahkan
masalah-masalah sosial. Setelah diharapkan dapat menciptakan masyarakat baru
yang lebih stabil.
Pada rekontruksionis tidak mau terlalu menekankan kebebasan
individu. Mereka ingin meyakinkan murid-murid bagaimana masyarakat membuat
warganya seperti yang ada sekarang dan bagaimana masyarakat memenuhi kebutuhan
pribadi warganya melalui konsesus sosial. Perubahan sosial tersebut harus
dicapai melaui prosedur demokrasi. Para rekontruksionis sosial menentang
intimidasi, menakut nakuti dan kompromi semu. Mereka mendorong agar para siswa
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah sosia yang mendesak (crusial) dan kerja sama atau bergotong
royong untuk memecahkannya.
·
Desain kurikulum Rekontruksi Sosial.Ada beberapa ciri
dari desain kurikulum ini
sebagai berikut:
(1) Asumsi. Tujuan utamanya
adalah menghadapkan para siswa pada tantangan, ancaman, hambatan-hambatan atau
gangguan- gangguan yang dihadapi manusia. (2) Masalah- masalah sosial yang mendesak. (3) Pola- pola organisasi. Pola
organisasi disusun seperti sebuah roda. Di tengah-tengah sebagai poros dipilih
suatu masalah yang menjadi tema utama yang dibahas secara pleno.
Topik- topik yang dibahas tersebut merupakan jari- jari. Semua kegiatan jari-
jari tersebut dirangkum menjadi satu kesatuan sebagai bingkai.
·
Komponen-komponen Kurikulum. Kurikuum rekontruksi sosial ini memiliki
komponen- komponen yang sama dengan model kurikulum lain, namun isi dan bentuk-
bentuknya berbeda sebagai berikut: (1) Tujuan dan isi kurikulum. Bahwa tujuan
serta isi kurikulum selalu mengalami perubahan setiap tahunnya hal ini
disebabkan demi mengikuti perkembangan jaman serta kecanggihan teknologi yang
ada. (2) Metode. Metode yang digunakan
mementingkan minat dan bakat alami yang dimiliki oleh siswanya. (3) Evaluasi. Dalam evaluasi siswa
dilibatkan. Keterlibatan mereka terutama dalam memilih, menyusun, dan menilai
bahan yang akan diujikan
KurikulumTeknologi
Terdapat korelasi yang positif antara ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perkembangan ilmu pengetahuan akan berdampak positif terhadap teknologi yang
dihasilkan. Demikian pula sebaliknya, kemajuan teknologi juga berpengaruh besar
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, dan juga terhadap perkembangan model
konsep kurikulum.
Penerapan teknologi dalam bidang pendidikan khususnya kurikulum adalah dalam dua bentuk, yaitu: bentuk perangkat
lunak (software) dan perangkat keras
(hardware) penerapan teknologi perangkat keras dalam pendidikan dikenal
sebagai teknologi alat (tools technologi), sedangkan
penerapan teknologi perangkat lunak disebut
juga teknologi sistem (system technologi).
Ciri-ciri
Kurikulum Teknologi
1.
Tujuannya diarahkan pada
penguasaan kompetensi, yang dirumuskan menjadi hasil belajar siswa. Tujuan yang
masih bersifat umum dijabarkan menjadi tujuan-tujuan yang bersifat khusus, yang
didalamnya terkandung aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
2.
Metode pengajarannya bersifat
individual, dimana setiap siswa mendapat tugasnya masing-masing sesuai dengan
kemampuan tingkat belajarnya. Siswa yang kecepatan belajarnya bagus, sedang maupun
lambat mendapat perhatian semua. Tetapi tak menutup kemungkinan para siswa
mendapat tugas yang bersifat kelompok untuk mengurangi rasa individual mereka
supaya merangsang rasa sosialisasi. Penyampaian materi pada umumnya hanya
penegasan kepada para siswa materi yang dipelajari, selanjutnya para siswa
belajar mandiri dengan buku-buku dan bahan ajar lainnya.
3.
Bahan ajar atau isi kurikulum
diambil dari disiplin ilmu, dengan diramu sedemikian rupa sehingga memudahkan
penguasaan suatu kompetensi. Bahan ajar yang besar disusun dari bahan ajar yang
kecil sesuai dengan urutannya. Penjabaran seperti ini memudahkan penyampaian
materi yang hendak dicapai. Sesuai dengan landasannya, kurikulum teknologi lebih ditekankan pada sifat ilmiah.
4. Evaluasi
dapat dilakukan kapan saja, setelah siswa mendapat topik pelajaran siswa dapat
mengajukan diri untuk dievaluasi. Fungsi evaluasi sebagai umpan balik untuk
mengetahui tingkat kemampuan siswa dalam menerima dan memahami topik yang telah
disampaikan. Bentuk evaluasi pada umumnya
obyektifitas.
5. Model
kurikulum ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Pengajaran yang menggunakan
alat-alat yang berhubungan dengan teknologi baru secara umum lebih
menyenangkan. Dari sisi pelaksanaanya model
pengajaran ini pengusaaan siswa jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
metode lain. Namun demikian, model pengajaran ini memiliki keterbatasan. Model
kurikulum ini kurang bias melayani siswa dengan bakat yang berbeda. Model
ini cenderung seragam dengan menggunakan
alat yang ada. Keberhasilan siswa tergantung pada teknologi dan juga perasaan
mereka terhadap hal tersebut, bila tanggapan siswa positif maka penguasaan
materi lebih cepat dan meningkat cepat pula.
6. Model
kurikulum teknologi disesuaikan dengan pemikiran pendidikan. Model ini sangat
mengutamakan penguasaan dan pembentukan kompetensi. Model kurikulum teknologi
berorientasi pada masa sekarang dan yang akan datang, kurikulum ini juga
menekankan pada isi kurikulum. Suatu kompetensi besar dijadikan kompetensi yang
lebih kecil sehingga perilaku-perilaku siswa dapat diamati atau diukur.
Jenis
Teknologi
1.
Teknologi cetak
2.
Teknologi Audio-video
3.
Teknologi berbasis komputer
4.
Teknologi
terpadu
Hubungan Kurikulum dan Rencana Kurikulum
Kurikulum bukan suatu yang
statis melainkan dinamis tetapi seseorang tidak dapat menawarkan sebuah
kurikulum yang mendapatkan hasil akhir sempurna. Yang ada adalah kurikulum yang
efektif dapat memaksimalkan hasil yang maksimal.[23] Karena itu, maka kurikulum terus berkembangan sesuai
dengan kebutuhan zaman karenanya kurikulum perlu mempunyai perencanaan.
Muhammad Ali menawarkan berbagai perencanaan kurikulum seperti: kurikulum
sebagai pengalaman belajar, kurikulum sebagai rencana belajar, kurikulum
humanistis, kurikulum sebagai rekonstruksi sosial, kurikulum sebagai teknologi,
kurikulum akademis, dan banyak lagi.[24]
Ketiga aspek atau
ranah kejiwaan itu erat sekali dan bahkan tidak mungkin dapat dilepaskan dari
kegiatan atau proses evaluasi hasil belajar. Benjamin S. Bloom dan
kawan-kawannya itu berpendapat bahwa pengelompokkan tujuan pendidikan itu harus
senantiasa mengacu kepada tiga jenis domain (daerah binaan atau ranah)
yang melekat pada diri peserta didik, yaitu: (1) Ranah proses berfikir (cognitive
domain). (2) Ranah nilai atau sikap (affective domain). (3) Ranah
keterampilan (psychomotor domain).
Taksonomi Bloom merujuk pada taksonomi yang dibuat untuk tujuan pendidikan. Taksonomi ini pertama kali disosialisasikan Benjamin S. Bloom pada tahun 1956. Dalam hal ini, tujuan pendidikan dibagi menjadi beberapa domain
(ranah, kawasan) dan setiap domain tersebut dibagi kembali ke dalam pembagian
yang lebih rinci berdasarkan hirarkinya. Taksonomi Bloom, mengatakan
bahwa tujuan pendidikan dibagi ke
dalam tiga domain, yaitu: (1) Cognitive Domain (Ranah Kognitif),
yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan,
pengertian, dan keterampilan berpikir. (2) Affective Domain (Ranah Afektif) berisi
perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan
cara penyesuaian diri. (3) Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi
perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan
tangan, mengetik, berenang,
dan mengoperasikan mesin.
Dari setiap ranah tersebut dibagi kembali menjadi
beberapa kategori dan subkategori yang berurutan secara hirarkis (bertingkat), mulai
dari tingkah laku yang sederhana sampai tingkah laku yang paling kompleks.
Tingkah laku dalam setiap tingkat diasumsikan menyertakan juga tingkah laku
dari tingkat yang lebih rendah, seperti misalnya dalam ranah kognitif, untuk
mencapai “pemahaman” yang berada di tingkatan kedua juga diperlukan
“pengetahuan” yang ada pada tingkatan pertama.
Domain Kognitif
Bloom membagi
domain kognisi ke dalam 6 tingkatan. Domain ini terdiri dari dua bagian: Bagian
pertama berupa Pengetahuan (kategori 1) dan bagian kedua berupa Kemampuan dan
Keterampilan Intelektual (kategori 2-6). Hal tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut: (1) Pengetahuan (Knowledge): Berisikan kemampuan untuk
mengenali dan mengingat peristilahan, definisi, fakta-fakta, gagasan, pola,
urutan, metodologi, prinsip dasar, dsb. Sebagai contoh, ketika diminta
menjelaskan manajemen kualitas, orang yg berada di level ini bisa menguraikan
dengan baik definisi dari kualitas, karakteristik produk yang berkualitas,
standar kualitas minimum untuk produk. (2) Pemahaman (Comprehension):
Berisikan kemampuan mendemonstrasikan fakta dan gagasan mengelompokkan
dengan mengorganisir, membandingkan, menerjemahkan, memaknai, memberi
deskripsi, dan menyatakan gagasan utama: Terjemahan, Pemaknaan dan
Ekstrapolasi. Pertanyaan seperti: Membandingkan manfaat mengkonsumsi apel dan
jeruk terhadap kesehatan. (3) Aplikasi (Application):
Di tingkat ini, seseorang memiliki kemampuan untuk menerapkan gagasan,
prosedur, metode, rumus, teori, dsb di dalam kondisi kerja. Sebagai contoh,
ketika diberi informasi tentang penyebab meningkatnya reject di produksi,
seseorang yg berada di tingkat aplikasi akan mampu merangkum dan menggambarkan
penyebab turunnya kualitas dalam bentuk fish bone diagram. (4) Analisis (Analysis): Di tingkat analisis,
seseorang akan mampu menganalisis informasi yang masuk dan membagi-bagi atau
menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola
atau hubungannya, dan mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan
akibat dari sebuah skenario yg rumit. Sebagai contoh, di level ini seseorang
akan mampu memilah-milah penyebab meningkatnya reject, membanding-bandingkan
tingkat keparahan dari setiap penyebab, dan menggolongkan setiap penyebab ke
dalam tingkat keparahan yg ditimbulkan. (5) Sintesis (Synthesis):
Satu tingkat di atas analisis, seseorang di tingkat sintesa akan mampu
menjelaskan struktur atau pola dari sebuah skenario yang sebelumnya tidak
terlihat, dan mampu mengenali data atau informasi yang harus didapat untuk
menghasilkan solusi yg dibutuhkan. Sebagai contoh, di tingkat ini seorang
manajer kualitas mampu memberikan solusi untuk menurunkan tingkat reject di
produksi berdasarkan pengamatannya terhadap semua penyebab turunnya kualitas
produk. (6) Evaluasi (Evaluation): Dikenali
dari kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, metodologi,
dsb dengan menggunakan kriteria yang cocok atau standar yg ada untuk memastikan
nilai efektivitas atau manfaatnya. Sebagai contoh, di tingkat ini seorang
manajer kualitas harus mampu menilai alternatif solusi yg sesuai untuk
dijalankan berdasarkan efektivitas, urgensi, nilai manfaat, nilai ekonomis,
dsb.
Kecakapan
Koqnitif
Upaya pengembangan fungsi koqnitif
akan berdampak positif bukan hanya terhadap koqnitif sendiri, melainkan terhadap
afektif dan psikomotor. Ada dua macam kecakapan koqnitif siswa yang perlu
dikembangkan secara khusu oleh guru yaitu: (1) Strategi belajar memahami isi materi
pelajaran. (2) Strategi menyakini arti penting isi materi pelajaran dan
aplikasinya serta menyerap pesan-pesan moral yang terkandung didalam materi
tersebut. Di sini bahwa strategi adalah prosedur mental yang berbentuk tatanan
tahapan yang memerlukan upaya yang bersifat koqnitif dan selalu dipengaruhi
oleh pilihan koqnitif atau kebiasaan belajar. Pilihan tersebut yaitu menghafal
prinsip yang ada dalam materi dana mengaplikasikan prinsip-prinsip tersebut.
Ada
Dua Prefensi Kognitif
1. Dorongan dari luar (motif
ekstrinsik) yang mengakibatkan siswa menggarap belajar hanya sebagai alat
pencegah ketidakstabilan atau ketidaknaikkan. Aspirasi yang dimilikinya bukan
ingin menguasai materi secara mendalam tetapi hanya sekedar lulus atau
naik kelas semata
2. Dorongan dari dalam (motif
Intrinsik), dalam arti siswa tertarik dan membutuhkan materi-materi yang disajikan
gurunya.
Guru dituntut untuk mengembangkan
dengan kecakapan koqnitif siswa dalam memecahkan masalah dengan pengetahuan
yang dimilikinya dan keyakinan terhadap pesan moral yang terkandung dan menyatu
dalam pengetahuan.
Kata
Kerja Operasional untuk Ramah Afektif
(C1-C6)
Pengetahuan (Cl) |
Pemahaman
(C2) |
Penerapan
(C3) |
Analisis
(C4) |
Sintesis
(C5) |
Penilaian
(C6) |
Mengutip |
Memperkirakan |
Menugaskan |
Menganalisis |
Mengabstraksi |
Membandingkan |
Menyebutkan |
Menjelaskan |
Mengurutkan |
Mengaudit |
Mengatur |
Menyimpulkan |
Menjelaskan |
Mengkategorikan |
Menentukan |
Memecahkan |
Menganimasi |
Menilai |
Menggambar |
Mencirikan |
Menerapkan |
Menegaskan |
Mengumpulkan |
Mengarahkan |
Membilang |
Merinci |
Menyesuaikan |
Mendeteksi |
Mengkategorikan |
Mengkritik |
Mengidentiflkasi |
Mengasosiasikan |
Mengkalkulasi |
Mendiagnosis |
Mengkode |
Menimbang |
Mendaftar |
Membandingkan |
Memodifikasi |
Menyeleksi |
Mengkombinasikan |
Memutuskan |
Menunjukkan |
Menghitung |
Mengklasifikasi |
Memerinci |
Menyusun |
Memisahkan |
Memberi label |
Mengkontrasikan |
Menghitung |
Menominasikan |
Mengarang |
Memprediksi |
Memberi indek |
Mengubah |
Membangun |
Mendiagramkan |
Membangun |
Memperjelas |
Memasangkan |
Mempertahankan |
Mengurutkan |
Mengkorelasikan |
Menanggulangi |
Menugaskan |
Menamai |
Menguraikan |
Membiasakan |
Merasionalkan |
Menghubungkan |
Menafsirkan |
Menandai |
Menjalin |
Mencegah |
Menguji |
Menciptakan |
Mempertahankan |
Membaca |
Membedakan |
Menentukan |
Mencerahkan |
Mengkreasikan |
Memerinci |
Menyadap |
Mendiskusikan |
Menggambarkan |
Menjelajah |
Mengoreksi |
Mengukur |
Menghafal |
Menggali |
Menggunakan |
Membagankan |
Merancang |
Merangkum |
Menim |
Mencontohkan |
Menilai |
Menyimpulkan |
Merencanakan |
Membuktikan |
Mencatat |
Menerangkan |
Melatih |
Menemukan |
Mendikte |
Memvalidasi |
Mengulang |
Mengemukakan |
Menggali |
Menelaah |
Meningkatkan |
Mengetes |
Mereproduksi |
Mempolakan |
Mengemukakan |
Memaksimalkan |
Memperjelas |
Mendukung |
Meninjau |
Memperluas |
Mengadaptasi |
Memerintahkan |
Memfasilitasi |
Memilih |
Memilih |
Menyimpulkan |
Menyelidiki |
Mengedit |
Membentuk |
Memproyeksikan |
Menyatakan |
Meramalkan |
Mengoperasikan |
Mengaitkan |
Merumuskan |
|
Mempelajari |
Merangkum |
Mempersoalkan |
Memilih |
Menggeneralisasi |
|
Mentabulasi |
Menjabarkan |
Mengkonsepkan |
Mengukur |
Menggabungkan |
|
Memberi kode |
Melaksanakan |
Melatih |
Memadukan |
||
Menelusuri |
Meramalkan |
Mentransfer |
Membatasi |
||
Menulis |
Memproduksi |
Mereparasi |
|||
Memproses |
|||||
Mengaitkan |
Menampilkan |
||||
Mensuimulasikan |
Menyiapkan |
||||
Memecahkan |
Memproduksi |
||||
Mel.akukan |
Merangkum |
||||
Mentabulasi |
Merekonstruksi |
||||
Menyusun |
|||||
Memproses |
|||||
meramalkan |
Dalam ranah kognitif itu terdapat
enam aspek atau jenjang proses berfikir, mulai dari jenjang terendah sampai
dengan jenjang yang paling tinggi. Keenam jenjang atau aspek yang dimaksud
adalah:
- Pengetahuan/hafalan/ingatan
(knowledge): Adalah kemampuan seseorang untuk mengingat-ingat
kembali (recall) atau mengenali kembali tentang nama, istilah, ide,
rumus-rumus, dan sebagainya, tanpa mengharapkan kemampuan untuk
menggunkannya. Pengetahuan atau ingatan adalah merupakan proses berpikir
yang paling rendah.
- Pemahaman
(comprehension): Adalah
kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu
itu diketahui dan diingat. Dengan kata lain, memahami adalah mengetahui
tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai segi. Seseorang
peserta didik dikatakan memahami sesuatu apabila ia dapat memberikan penjelasan
atau memberi uraian yang lebih rinci tentang hal itu dengan menggunakan
kata-katanya sendiri. Pemahaman merupakan jenjang kemampuan berfikir yang
setingkat lebih tinggi dari ingatan atau hafalan.
- Penerapan
(application): Adalah kesanggupan seseorang untuk menerapkan atau
menggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun metode-metode,
prinsip-prinsip, rumus-rumus, teori-teori dan sebagainya, dalam situasi
yang baru dan kongkret. Penerapan ini adalah merupakan proses berfikir
setingkat lebih tinggi ketimbang pemahaman.
- Analisis
(analysis): Adalah kemampuan seseorang untuk merinci atau
menguraikan suatu bahan atau keadaan menurut bagian-bagian yang lebih
kecil dan mampu memahami hubungan di antara bagian-bagian atau
faktor-faktor yang satu dengan faktor-faktor lainnya. Jenjang analisis
adalah setingkat lebih tinggi ketimbang jenjang aplikasi.
- Sintesis
(syntesis): Adalah kemampuan berfikir yang merupakan kebalikan dari
proses berfikir analisis. Sisntesis merupakan suatu proses yang memadukan
bagian-bagian atau unsur-unsur secara logis, sehingga menjelma menjadi
suatu pola yang yang berstruktur atau bebrbentuk pola baru. Jenjang
sintesis kedudukannya setingkat lebih tinggi daripada jenjang analisis.
- Penilaian/penghargaan/evaluasi
(evaluation): Adalah merupakan jenjang berpikir paling tinggi dalam
ranah kognitif dalam taksonomi Bloom. Penilian/evaluasi disini merupakan
kemampuan seseorang untuk membuat pertimbangan terhadap suatu kondisi,
nilai atau ide, misalkan jika seseorang dihadapkan pada beberapa pilihan
maka ia akan mampu memilih satu pilihan yang terbaik sesuai dengan
patokan-patokan atau kriteria yang ada.
Domain Afektif
Kecakapan
Afektif
Kebersihan pengembangan koqnitif
tidak hanya membuahkan kecakapan koqnitif akan tetapi membuahkan kecakapan
afektif. Pemahaman yang mendalam terhadap arti penting materi serta preferensi.
Koqnitif mementingkan aplikasi prinsip atau meningkatkan kecakapan afektif para
siswa. Peningkatan-peningkatan afektif ini antara lain, berupa kesadaran
beragama yang mantap
Kata
Kerja Operasional untuk Ramah Afektif (A1-A5)
Menerima (Al) |
Menanggapi
(A2) |
Menilai
(A3) |
Mengelola
(A4) |
Menghayati
(A5) |
Memilih |
Menjawab |
Mengasumsikan |
Menganut |
Mengubah prilaku |
Mempertanyakan |
Mem bantu |
Meyakini |
Mengubah |
Berakhlak mulia |
Mengikuti |
Mengajukan |
Melengkapi |
Menata |
Mempengaruhi |
Memberi |
Mengkompromikan |
Meyakinkan |
Mengklasifikasikan |
Mendengarkan |
Menganut |
Menyenangi |
Memperjelas |
Mengkombinasikan |
Mengkualifikasi |
Mematuhi |
Menyambut |
Memprakarsai |
Mempertahankan |
Melayani |
Meminati |
Mendukung |
Mengimani |
Membangun |
Menunjukkan |
Mendukung |
Mengundang |
Membentuk pendapat |
Membuktikan |
|
Menyetujui |
Menggabungkan |
Memadukan |
memecahkan |
|
Menampilkan |
Memperjelas |
Mengelola |
||
Melaporkan |
Mengusulkan |
Menegosiasi |
||
Memilih |
Menekankan |
Merembuk |
||
Mengatakan |
Menyumbang |
|||
Memilah |
||||
Menolak |
Menurut Krathwol
(1964) klasifikasi tujuan domain afektif terbagi lima kategori sebagai berikut:
1.
Penerimaan (recerving): Mengacu
kepada kemampuan memperhatikan dan memberikan respon terhadap sitimulasi yang
tepat. Penerimaan merupakan tingkat hasil belajar terendah dalam domain
afektif.
2.
Pemberian respon atau
partisipasi (responding): Satu tingkat di atas penerimaan. Dalam hal ini
siswa menjadi terlibat secara afektif, menjadi peserta dan tertarik.
3.
Penilaian atau penentuan sikap
(valung): Mengacu kepada nilai atau pentingnya kita menterikatkan diri pada
objek atau kejadian tertentu dengan reaksi-reaksi seperti menerima, menolak
atau tidak menghiraukan. Tujuan-tujuan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi
“sikap dan opresiasi”.
4.
Organisasi (organization): Mengacu
kepada penyatuan nilai, sikap-sikap yang berbeda yang membuat lebih konsisten
dapat menimbulkan konflik-konflik internal dan membentuk suatu sistem nilai
internal, mencakup tingkah laku yang tercermin dalam suatu filsafat hidup.
5.
Karakterisasi / pembentukan
pola hidup (characterization by a value or value complex): Mengacu kepada
karakter dan daya hidup sesorang. Nilai-nilai sangat berkembang nilai teratur
sehingga tingkah laku menjadi lebih konsisten dan lebih mudah diperkirakan.
Tujuan dalam kategori ini ada hubungannya dengan keteraturan pribadi, sosial
dan emosi jiwa
Domain Psikomotor
Rincian dalam
domain ini tidak dibuat oleh Bloom, tapi oleh ahli lain berdasarkan domain yang
dibuat Bloom sebagai berikut: (1) Persepsi (Perception): Penggunaan alat indera untuk
menjadi pegangan dalam membantu gerakan. (2) Kesiapan (Set):
Kesiapan fisik, mental, dan emosional untuk melakukan gerakan. (3) Guided Response (Respon Terpimpin); Tahap awal dalam
mempelajari keterampilan yang kompleks, termasuk di dalamnya imitasi dan
gerakan coba-coba. (4) Mekanisme (Mechanism); Membiasakan
gerakan-gerakan yang telah dipelajari sehingga tampil dengan meyakinkan dan
cakap. (5) Respon Tampak yang Kompleks (Complex
Overt Response): Gerakan motoris yang terampil yang di dalamnya
terdiri dari pola-pola gerakan yang kompleks. (6) Penyesuaian
(Adaptation); Keterampilan yang sudah berkembang sehingga dapat
disesuaikan dalam berbagai situasi. (7) Penciptaan (Origination):
Membuat pola gerakan baru yang disesuaikan dengan situasi, kondisi atau
permasalahan tertentu.
Kecakapan
Psikomotor
Keberhasilan pengembangan koqnitif
berdampak positif pada perkembangan psikomotor. Kecakapan psikomotor adalah
segala amal jasmaniah yang konkrit dan mudah diamati baik kuantitasnya maupun
kualitasnya. Kecakapan psikomotor merupakan manifestasi wawasan pengetahuan dan
kesadaran serta sikap mentalnya
Contoh
Kata Kerja Operasional untuk Ranah Psikomotor (P1-P4)
PENIRUAN (PI) |
MANIPULASI
(P2) |
KETETAPAN
(P3) |
ARTIKULASI
(P4) |
Mengaktifkan |
Mengoreksi |
Mengalihkan |
Mengalihkan |
Menyesuaikan |
Mendemonstrasikan |
Menggantikan |
Mempertajam |
Menggabungkan |
Merancang |
Memutar |
Membentuk |
Melamar |
Memilah |
Mengirim |
Memadankan |
Mengatur |
Melatih |
Memindahkan |
Menggunakan |
Mengumpulkan |
Memperbaiki |
Mendorong |
Memulai |
Menimbang |
Mengidentifikasikan |
Menarik |
Menyetir |
Memperkecil |
Mengisi |
Memproduksi |
Menjelaskan |
Membangun |
Menempatkan |
Mencampur |
Menempel |
Mengubah |
Membuat |
Mengoperasikan |
Menskestsa |
Membersihkan |
Memanipulasi |
Mengemas |
Mendengarkan |
Memposisikan |
Mereparasi |
Membungkus |
Menimbang |
Mengkonstruksi |
Mencampur |
Menurut Davc (1970) klasifikasi
tujuan domain psikomotor terbagi lima kategori sebagai berikut:
1.
Peniruan:
terjadi ketika siswa mengamati suatu
gerakan. Mulai memberi respons serupa dengan yang diamati. Mengurangi
koordinasi dan kontrol otot-otot saraf. Peniruan ini pada umumnya dalam bentuk
global dan tidak sempurna.
2.
Manipulasi:
Menekankan perkembangan kemampuan
mengikuti pengarahan, penampilan, gerakan-gerakan pilihan yang menetapkan suatu
penampilan melalui latihan. Pada tingkat ini siswa menampilkan sesuatu menurut
petunjuk-petunjuk tidak hanya meniru tingkah laku saja.
3.
Ketetapan:
memerlukan kecermatan, proporsi dan
kepastian yang lebih tinggi dalam penampilan. Respon-respon lebih terkoreksi
dan kesalahan-kesalahan dibatasi sampai pada tingkat minimum.
4.
Artikulasi:
Menekankan koordinasi suatu
rangkaian gerakan dengan membuat urutan yang tepat dan mencapai yang diharapkan
atau konsistensi internal di natara gerakan-gerakan yang berbeda.
5.
Pengalamiahan:
Menurut tingkah laku yang
ditampilkan dengan paling sedikit mengeluarkan energi fisik maupun psikis.
Gerakannya dilakukan secara rutin. Pengalamiahan merupakan tingkat kemampuan
tertinggi dalam domain psikomotorik
3. Alkitab sebagai Teks Buku Kurikulum
Suatu Kajian
Kontekstual antara Teori dan Praktek
Oleh Harianto GP
Bab I PENDAHULUAN
Munculnya
kebutuhan kurikulm untuk “the Sunday School” diawali pada permulaan abad
13. Karena dirasakan proses pengajaran
yang kurang begitu sistematis maka perlu disusun dalam kurikulumnya. Barulah
dua abad kemudian, kurikulum ditekankan pada pentingnya cara mengajar sebagai
faktor keberhasilan mengekspresikan kurikulum yang telah disiapkan oleh “the
Sunday School”. Selanjutnya pada tahun
1815 mulai dirasakan akan kebutuhan kurikulum untuk “catechism” pada Sunday
School di Amerika. Maka sejak saat itu,
muncul kesadaran bahwa kurikulum mesti berpusat kepada Alkitab tetapi
barulah pada tahun 1825, Professor James
Gill di Amerika mencoba meletakan dasar bahwa Alkitab sebagai jantung
kurikulum.[25]
Maka tak heran bila menjelang berjalanan
abad 19 Alkitab sudah
menjadi sebagai pusat
pengajaran di “church school”, tetapi masih sebatas Alkitab sebagai
sebuah pengetahuan. Kondisi ini yang membuat munculnya studi tentang Alkitab di
mana studi ini bukan saja mencari pengetahuan, tetapi juga menekankan kualitas dan menggunakan pendekatan yang alkitabiah, yaitu: kemampuan memahami dan
menggunakan Alkitab. Dengan demikian otoritas Alkitab mulai dipertanyakan,
diperdebatan bahkan semakin diakui kemutlakannya oleh dunia pendidikan.
Berkaitan
perkembangan kurikulum yang alkitabiah, maka Alkitab menjadi sebagai bahan riset untuk memahami
makna dari Alkitab itu sendiri. Ada dua cara riset Alkitab yang sedang
berkembang sebagai berikut: pertama,
pertemuan kenyataan dan logika yang
mendasar bekerja mencari nilai-nilai Alkitab dalam gereja (tidak hanya nilai
Alkitab itu sendiri tetapi juga mencari prinsip-prinsip Alkitab). Kedua, yang dituntut oleh para sarjana
biblika adalah tanggung jawab teologinya: berteologi dalam nilai-nilai Alkitab.
Kelompok ini hanya mengaplikasikan scientific
methods untuk studi literatur biblika dan sejarah.[26]
Tulisan ini bertujuan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: apakah yang dimaksud dengan pendekatan
yang kontekstual? Bagaimana keadaan
Alkitab dalam kurikulum? Bagaimana merumuskan Alkitab sebagai teks buku kurikulum suatu kajian
kontekstual antara teori dan praktek?
Bab II
pendekatan kontekstual YANG KONTEKSTUAL
Pengertian
Kontekstual
Teks
(meaning Firman Allah) dan konteks (form budaya: Alkitab, pemberita,
responden atau sasaran) merupakan bagian yang tidak dapat diabaikan dalam
mengkomunikasikan Injil. Teks dan konteks merupakan elemen-elemen utama sebagai
bahan kontekstualisasi. Memahami teks berarti memahami biblika teks secara
benar dan tidak dapat dirubah dari arti harafiahnya bahkan teks akan mengisi
dan merubah nilai-nilai untuk menghidupkan konteks yang biblika. Memahami
konteks berarti mempelajari budaya: Alkitab, pemberita, responden atau sasaran,
yang menghidupkan arti teks. Konteks tidak boleh menguasai arti teks tetapi
konteks merupakan sarana untuk memperjelas arti teks sehingga bila konteks
tidak sesuai dengan teks, maka konteks tersebut dapat disempurnakan atau
diganti dengan konteks yang lain.
Jadi,
ketika seseorang hendak mengkomunikasikan nilai-nilai Akitab (Injil) maka ia
wajib memahami konteks agar ia secara tepat dan semakin efektif memberitakan
nilai-nilai Allah tersebut (Injil) kepada komunikan. Tidak hanya itu, tetapi
dengan memahami konteks komunikator dapat memutuskan dan menggunakan pendekatan
bentuk kontekstualisasi secara tepat dan efektif agar manusia mempunyai: commitment to Jesus, growing relationship to
God and His people, and witness to those at the beginning of Commitment to
Jesus.[27]
Kontekstualisasi
bukan saja untuk responden (suku) terasing di berbagai pelosok tetapi juga
dapat untuk masyarakat perkotaan di kota-kota besar di Indonesia.
Teori Pendekatan
Donald A. McGavran sebagai berikut: Pertama, kekuatan untuk merubah seseorang menjadi Kristen
tergantung pada ukuran perubahahan yang
dimaksud oleh orang yang melakukan perubahan.[28] Maka, perlu dipersiapkan pattern of becoming Christian.[29]
Teori ini menekankan pada isi kurikulum yang bersifat doktrinal. Kedua, ada suatu kehidupan masyarakat di
sebuah kota yang terhalangi oleh sungai. Untuk melakukan perubahan dalam
masyarakat tersebut, maka perlu membangun jembatan dan menyeberanginya. “Find the bridges and use them is
excellent strategy for all who are impelled by the Holy Spirit to share
the good news”.[30]
Teori ini menekankan pada isi kurikulum yang bersifat perencanaan untuk bertindak
pada konteks.
Jadi, “pattern of becoming Christian” maupun “the bridges” adalah bukan saja suatu
kurikulum untuk mewujudkan visi misioner
Allah, tetapi juga memberi solusi yang tepat agar tidak terjadi kesenjangan
antara visi dengan hasilnya.
Teori
Kontekstualisasi
Komunikator akan berhasil menyampaikan
berita kepada pendengarnya, asal keduanya benar-benar berada dalam konteks yang
menyatu. Itulah ruang kebudayaan yang sama dan menyatu, antara pemberita di
satu pihak dan pendengar di pihak lainnya. Dalam ruang itulah, suatu berita
akan disampaikan lewat beragam cara, baik verbal mapun non-verbal, disampaikan
lewat beragam sarana dan media. Dengan demikian, responden atau pendengar
berkesempatan untuk memasuki kemungkinan, dan mereka dapat memahami dengan baik
berita yang sampaikan sehingga pendengar bisa memberikan feedback terhadap
berita yang didengarnya.
Proses komunikasi dalam budaya sebagai berikut: pertama, menggunakan materi budaya yang dapat diterima oleh budaya
audiences. Kedua, menggunakan konsep
bahasa yang dapat diterima oleh bahasa audiences. Ketiga,
melakukan kontekstualisasi: bentuk dan isi.
Kata
“kontektualisasi” berasal dari kata konteks
yang berarti tempat tertentu, lingkungan hidup secara utuh. Lesslie
Newbigin mengatakan bahwa
kontekstualisasi adalah pernyataan tentang bagaimana Injil itu “menjadi hidup”
di dalam konteks yang khusus.[31]
Kemudian Daniels J. Adams menambahkan “teologi kontekstualisasi adalah suatu
teologi yang mengutamakan keprihatinannya atas prinsip-prinsip penafsiran iman
Kristen dalam situasi lintas budaya dan dalam penafsiran itu setia pada
Alkitab.[32]
Lebih
dalam lagi, maka David J. Hesselgrave mengatakan, kontekstualisasi adalah
penerjemahan Injil Kerajaan yang tidak berubah ke dalam bentuk lintas yang bermakna
bagi bangsa-bangsa dalam budaya mereka dan dalam situasi ekstensial mereka.[33] Begitu juga David Royal Brougham menggambarkan kontekstualisasi sebagai proses menyampaikan
kebenaran-kebenaran mutlak Alkitab kepada pengalaman dan latar belakang sejarah-budaya
seseorang, struktur sosial, orientasinya, pemikirannya dan pandangannya
mengenai dunia.[34]
Memperlengkapi
pemikiran di atas, maka langkah-langkah kontekstualisasi dari Budiman R.L.
sebagai berikut. Kontekstualisasi
berupa kepercayaan lama (upacara-upacara adat, seni, musi, dan isu-isu
penting). Sikap ada tiga sebagai berikut: pertama, “tolak saja” (berarti menolak
kontekstualisasi) akibatnya (1) Injil menjadi asing dan (2) yang lama itu tetap
dilaksanakan tetapi secara tersembunyi (sinkretisme). Kedua, “pertimbangkan” (kontekstualisasi yang alkitabiah). Caranya:
(1) informasi tentang masalah yang diperoleh. (2) Pelajari arti kata
Alkitabiah. (3) Evaluasi unsur lama (memakai, mengubah, atau membuang) dari
sudut terang Alkitab, dibimbing oleh Roh kudus. (4) mencoba upacara-upacara,
seni, dan sebagainya lalu dampaknya dinilai lagi. (5) membuat rumusan
kontekstual yang alkitabiah yang perlu
dilakukan. Ketiga, “terima saja”
(kontekstualisasi – sikretisme yang alkitabiah).[35]
Teori Perubahan
Paradigma (Paradigm Shift)
Kata “paradigma”
berasal dari bahasa Yunani “paradeigma”, artinya “pola”, “model”, atau
“contoh”. Paradigma adalah seperangkat gabungan perkiraan dan cara kita
memahami kehidupan. Adam Smith mengatakan “power of the mind”. Paradigma sebagai “filter fisiologis”
sehingga kita melihat dunia ini semata-mata melalui paradigma kita. Jadi, paradigma adalah segala sesuatu yang
ada dalam dunia ini yang bersentuhan dengan kehidupan seseorang dan tidak
sesuai dengan paradigma ia akan mengalami penolakan, karena sangat sulit untuk
melalui “filter kita”. Tapi, kalau
sesuai dengan paradigma seseorang, maka langsung ia terima.
Paradigma
memperngaruhi pendapat seseorang. Paradigma mempengaruh keputusan seseorang.
Paradigma mempengaruh penerimaan seseorang. Paradigma juga mempengaruh masa
depan seseorang dan tujuan hidup seseorang.
Jadi, bila
seseorang akan merubah seseorang berarti ia harus merubah paradigma orang
tersebut. Berkaiatan hal tersebut, maka
model “Johari” diambil dari nama pertama dua psikolog bernama Joseph Luft dan
Harry Lingham. Mereka menekan ada empat perubahan dalam komunikasi
interpersonal sebagai berikut:
Known to selft Not
known to self
Known to others 1 OPEN 2 BLIND
Not known to others 3 HIDDEN 4 UNKNOWN
Terjadi
perubahan bila komunkator mengenal siapakah dirinya dan mengenal siapakah
komunikannya. Dengan demikian arah
perubahan yang diinginkan komunikator akan terjadi karena areal
komunikasi bersifat terbuka, tidak menyembunyikan sesuatu, tidak mencurigai,
tidak merasa dirugikan tetapi sebaliknya. Perubah terjadi karena areal
komunikasi terbuka karena kedua belah pihak merasa saling membutuhkan.
Teori Pendekatan
yang Kontekstual
Pendekatan
yang komunikator gunakan adalah mengintegrasikan teori-teori di atas dimana ia
perlu membuat “jembatan” (mendekati atau terlibat dalam kehidupan yang
bersangkutan) untuk mendekati seseorang atau kelompok melalui cara yang kontekstual. Untuk dapat terlibat dalam
kehidupan responden, maka komunikator
mencoba membuka pikiran responden
dengan pendekatan “paradigma shift”. Dengan demikian, maka diharapkan
bahwa pendekatan yang dilakukan komunikator dapat membuka diri responden akan kehadiran komunikator sehingga responden
dapat menerima dan membuka diri kehadiran komunikator. Dengan demikian
responden telah siap mengalami perubahan yang diinginkan komunikator.
Bab iII Alkitab dalam kurikulum
Sumber Otoritas Membangun Kurikulum
Sumber
otoritas untuk membangun kurikulum adalah Alkitab. Bagi Byrne
merumuskan bahwa sumber otoritas dalam membangun kurikulum dimulai dari:
(1) in the devine will, (2) in eternal
truth which is the humanistic position, (3) in science, dan (4) in society.[36] Di
sini Alkitab sebagai sumber utama dalam
membangun kurikulum. Otoritas Alkitab adalah tidak ada kesalahan, semua benar,
dan ditulis oleh Allah melalui nabi-nabinya dalam budaya yang berbeda. Berkaitan hal di atas, maka ada 10 alasan
untuk percaya Alkitab sebagai berikut: (1)
Alkitab sungguh jujur (2) ketahanannya, (3) Pernyataannya Mengenai Dirinya Sendiri, (4) Mukjizatnya, (5)
Kesatuannya, (6). Keakuratannya dari
Segi Sejaraj dan Geografi, (7).
Rekomendasi dari Kristus, (8).
Keakuratan Ramalannya, (9). Keberlangsungannya, (10). Kuasanya untuk Mengubah Hidup Manusia.[37] Berkaitan hal di atas, maka Homrighausen
mengatakan bahwa: Pertama, karena
manusia percaya sehingga Alkitab menjadi mutlak. Kedua, Alkitab adalah sebuah
kitab yang mutlak karena hanya kitab ini saja yang menyampaikan Injil Tuhan
Yesus Kristus, ialah kabar tentang Juruselamat yang masuk ke dunia menebus segala dosa manusia. Ketiga, Akitab menyatakan kepada manusia
bagaimana hubungan antara sesama manusia
dengan Allah.[38]
Bahkan Alkitab berkata: “Ingatlah juga bahwa
dari kecil engkau sudah mengenal
Kitab Suci yang dapat memberi hikmat
kepadamu dan menuntun engkau
kepada keselamatan oleh iman kepada
Kristus Yesus. Segala tulisan yang
diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk
mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” (2
Tim 3:15-16).
Prinsip-prinsip dalam Kurikulum
Studi
Lois E. LeBar mengenai kurikulum yang God-centered
meletakkan Firman Tuhan sebagai dasar
pusat kurikulum karena tidak ada buku yang dapat dibandingkan dengan Firman
Tuhan. [39] Berkaitan
di atas, maka Robert L. Woodruff
mengatakan bahan pengajaran
kurikulum berbasis God-centered dapat difokuskan dalam integrasi antara
matra spiritual, akademik (pengetahuan), dan ministry mission. “Spiritual formation (to be like Jesus),
mastering a body of knowledge (to know of high academic) and developing
professional skill in ministerial practice (to do proclaim of the Gospel)”.[40]
Lebih
tajam lagi James D. Smart menguraikan prinsip-prinsip sebagai berikut: Pertama, “fragmentariness” dimana
melihat Alkitab secara holistik tetapi tetap ada dalam batasannya. Jadi, studi
Alkitab berarti studi Alkitab secara menyeluruh dalam framenya, adalah Alkitab. Kedua, “historical framework and background” di mana sejarah dan
latar belakang Alkitab dibutuhkan untuk mengarti nilai-nilai Alkitab. Jadi,
belajar Alkitab harus belajar sejarah dan latar belakang Alkitab. Ketiga, “the veil
of moralism” dimana belajar Alkitab berarti belajar moral yang benar. Di
sini moral bukan hanya dipahami tetapi juga menjadi ekspresi seseorang yang
mempelajarinya. Keempat, “the
importance of grading” dimana
diasumsikan bahwa Alkitab adalah pengetahuan yang baik mengenai Allah dan
dunia sehingga yang baik ini diberikan
atau diajarkan kepada siapa saja termasuk kepada anak, remaja, pemuda hingga
dewasa. Jadi, sesuatu yang baik pasti dibutuhkan oleh setiap manusia. Kelima, “the variety of literary forms” dimana perlunya fleksibel dalam
mengajar kepada anak, remaja, atau orang dewasa. Bisa saja berbicara dengan menggunakan sarana dalam
bentuk: sejarah, lengeda, hymns, hikmat,
parable, khotbah, drama, Injil, atau
bentuk surat. Keenam, “the
strangeness of the thought forms” artinya
meskipun Alkitab diterjemahkan dari berbagai bahasa Ibrani, Aram, dan
Yunani tetapi cara berpikir seseorang dapat ditemukan dalam Alkitab. Ketujuh, “a revelation for now” artinya
hingga sekarang Allah dalam Alkitab tetap berkata kepada seseorang mengenai
hidup baik di surga maupun di dunia. Perkataan Allah dari dulu sampai sekarang
dalam Alkitab masih relevan dalam berbagai kehidupan manusia di dunia.[41]
Sarana
Alkitab sebagai Teks Buku
Kurikulum
James
D. Smart menguraikan sarana Alkitab
sebagai teks buku kurikulum sebagai berikut:
Pertama, “Preaching
biblical”. Sarana ini dikembangkan olah para sarjana biblika setelah abad 20
dimana mereka mencoba mengembangkan teks Alkitab dalam wilayah berkhotbah. Kedua,
kesaksian hidup setiap hari yang biblika. Dengan demikian ”church
school” bukan sekadar studi Alkitab tetapi hidup dalam pelayanan. Ketiga, Alkitab menjadi dasar iman yang
diekspresikan dalam segala pencobaan hidup. Jadi tanpa mengetahuan Alkitab maka
seseorang tidak mengerti dasar hidupnya.[42] Berkatan hal tersebut, maka Homrighausen mengatakan bahwa mengajar Alkitab
harus disesusiakan dengan umur murid dengan memakai cara-cara yang efektif.[43]
Jadi, studi Alkitab dengan pelayanan adalah suatu bagian yang tidak dapat
dipisahkan, bahkan studi Alkitab harus berorientasi kepada pelayanan.
Bab IV
merumuskan Alkitab sebagai
Teks Buku Kurikulum
Teks Alkitab “Yohanes 3:16; 14:6”
Yohanes
3: 16 “Karena begitu besar kasih Allah
akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya
setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan untuk menyelamatkannya
oleh Dia”.
Kebenaran
ayat tersebut lahir dari atas, yang
menekankan kontras antara “spirit” dengan rohani. Daging adalah kelemahan manusia sebagai
ciptaan dan “spirit” adalah kekuatan Allah di surga yang bekerja di dunia (Yes
31:1-3; Yoh 1:13).[44] Jadi
keinkarnasian Allah (spirit) menjadi
daging (Yesus) merupakan tindakan penyelamatan “kekal” bagi manusia yang
percaya kepada Dia.
Yohanes
14:6 “Akulah jalan dan kebenaran dan
hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku”.
Kebenaran
ayat tersebut menjelaskan bahwa pewahyuan Yesus yang menjadi ekspresi
Injil (bdk. 3:16). Ini adalah dasar dari
doktrin “salvation” yang berpusat kepada
Yesus, dengan tekanan adalah “the Way, the Truth, dan the Life”. Karena itu Yesus
mengatakan “tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui
Aku”.[45]
Jadi
bila disimpulkan pemahaman Yohanes 3:16; 14:6 bahwa adalah tidak ada jalan lain menuju surga (kehidupan
yang kekal). Hal itu karena Yesus adalah
cara hidup yang harus dijalani
secara disiplin oleh pengikut-Nya,
tempat penyangkalan diri dan ketaatan pengikut-Nya untuk berada dalam kebenaran-Nya daripada kebenaran dunia, dan
tempat penderita di dunia tetapi penderitaan yang dialami oleh pengikut-Nya
menjadi tugas Yesus untuk menolongnya. Dengan demikian bahwa Yesus
adalah Juru Selamat. Jadi, bila
seseorang percaya kepada Yesus sebagai Juru Selamatnya, maka ia mendapat
jaminan hidup yang kekal.
Teks Buku Kurikulum
Byrne
menegaskan bahwa bila hendak menjadi Alkitab sebagai teks buku kurikulum, maka
Alkitab perlu dirumuskan dalam kurikulum yang hendak disampaikan sebagai
berikut: Pertama, sifat-sifat dan
maksudnya: sejarah God’s revelation,
isi untuk studi, prinsip-prinsip
kebenaran dan berpikir Allah, mengintegrasikan
dan mengkorelasikan kurikulum secara menyeluruh. Kedua, Alkitab sebagai objek secara menyeluruh untuk guru dan murid
dalam proses belajar-mengajar: mempersiapkan murid memahami tentang struktur
sejarah dan teologi, mentraining murid
bagaimana cara belajar Alkitab, dan menyiapkan murid agar mampu
mengkorelasikan nilai-nilai Alkitab dalam mengatasi problema hidup yang dihadapinya.[46]
Pemikiran
di atas bukan berhenti pada ladasan teori saja tetapi akan menjadi berhasil dan
sangat bermanfaat bila saat ditanam, hidup dan bertumbuh dalam berbagai praktek
lapangan. Dengan demikian dibutuhkan benang pengikatnya adalah “kontekstualisasi”.
Jadi, agar teks dapat melakukan perubahan hidup
seseorang, maka teks itu sendiri yang adalah nilai-nilai Alkitab perlu
diletakan sebagai landasaran teks buku kurikulum. Bukan saja berbicara dalam proses pendidikan di gereja, tetapi juga di
keluarga maupun di kelas-kelas pendidikan formal maupun informal. Bukan saja
berbicara kepada orang-orang percaya tetapi juga kepada semua orang yang belum
percaya yang berada di seluruh pelosok dunia. Berkaitan di atas, teori dan
praktek dicoba untuk dikembangkan dalam berbagai perspektif sebagai berikut:
Teks Buku Kurikulum dalam Perspektif Biblika
“Yesus
adalah Juru Selamat untuk Hidup yang Kekal”
Tujuan
Tujuan teks buku
guna memenangkan sebanyak mungkin jiwa-jiwa yang tersesat kepada Yesus Kristus dalam perspektif biblika.
Ayat
Hafalan
Yohanes 14:6 “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang
datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku”.
Pedahuluan
Pelajaran
ini memberikan kepada kita gambaran keselamatan kekal melalui Yesus
Kristus.
Isi
Kurikulum
Jikalau
dosa manusia harus dihapuskan, maka haruslah ada seseorang yang tanpa berdosa
mengalami penghukuman untuk menggantikan orang-orang yang harus diselamatkan. Di sini keadilan Allah menuntut Anak manusia
(adalah Yesus) harus ditinggikan dengan jalan kematian-Nya di kayu salib. Namun
dalam penyalipan Yesus bukan muncul kebenaran Allah, tetapi di sana juga ditunjukan
kasih-Nya yang mengagumkan.
Hal
tersebut Allah bertujuan supaya orang-orang “tidak binasa”, melainkan hidup kekal seperti masa kehiduapn Adam dan
Hawa sebelum jatuh dalam dosa. Hidup yang kekal inilah yang ingin diberikan
Allah kepada setiap orang yang menjadi miliknya (1 Yoh 3:1). [47] Oleh
sebab itu setiap ketuerunan Adam, yaitu setiap orang berdosa, memerlukan
kebutuhan yang bersegi tiga: perdamaian,
penerangan dan kelahiran kembali.
Ketiga kebutuhan ini dapat dipenuhi seluruhnya oleh Yesus Krisus, Juruselamat
dunia. Ia adalah jalan kepada Bapa: Ia adalah Kebenaran yang menjelma dan Ia
adalah Hidup bagi semua orang yang percaya kepada-Nya.
Yesus Kristuslah adalah “satu-satunya” jalan kepada Allah.
Segala usaha itu sendiri tidak mungkin akan berkenan kepada Allah. Seperti yang
dikatakan dalam Alkitab: “Karena tidak ada seorang pun yang dapat meletakkan
dasar lain daripada dasar yang telah diletakan: “Dan keselamatan tidak ada di
dalam sispapun juga selain di dalam Dia, sebab dibawah kolong langit itu tidak
ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat
diselamatkan” (Kis 4:12).[48]
Teks Buku
Kurikulum dalam Perspektif Filosofis
“Yesus
adalah Juru Selamat untuk Hidup yang Kekal”
Tujuan
Tujuan teks buku
guna memenangkan sebanyak mungkin jiwa-jiwa yang tersesat kepada Yesus Kristus dalam perspektif filosofis.
Ayat
Hafalan
Yohanes 14:6 “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang
datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku”.
Pedahuluan
Pelajaran
ini memberikan kepada kita gambaran keselamatan kekal melalui Yesus
Kristus.
Isi
Kurikulum
Isi
kebenaran adalah tidak ada jalan lain
menuju surga (kehidupan yang kekal) selain melalui Yesus, karena Yesus
adalah Juru Selamat. Yesus
adalah kebenaran. Jadi, bila seseorang
percaya kepada Yesus sebagai Juru Selamatnya, maka ia mendapat jaminan hidup
yang kekal. Jadi bila Yesus yang ada di surga datang keduakalinya ke dunia,
maka ia yang percaya dalam keadaan meninggal maka akan dibangkitkan dan dibawa
ke surga, tetapi bila ia masih hidup maka Yesus akan mengangkatnya ke
surga. Orang yang percaya itu
bersama-sama dengan Yesus hidup selama-lamanya di surga.
Kebenaran
ayat tersebut menjelaskan bahwa pewahyuan Yesus yang menjadi ekspresi
Injil (bdk. 3:16). Ini adalah dasar dari
doktrin “salvation” yang berpusat kepada
Yesus, dengan tekanan adalah “the Way, the Truth, dan the Life”. Karena itu
Yesus mengatakan “tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak
melalui Aku”.[49]
Kata
“the Way” (jalan) menekankan pada tindakan untuk selalu disiplin kepada arah
yang dituju. Kalau ia berjalan dalam
“kebenaran” dan “hidup”, maka ia
harus melakukannya dengan penuh penyangkalan diri akan aturan nilai-nilai
kebenaran dan hidup itu sendiri.[50]
Kata
“the Truth” (kebenaran) menunjuk pada ada dua, yaitu: pertama, “imperative” untuk
percaya kepada seseorang. Kedua,
menunjuk kepada identitas dirinya sendiri
bahwa ia menyerahkan dirinya kepada orang yang dipercayai. Jadi, kalau
ia percaya kepada Allah berarti juga percaya kepada Yesus sehingga ada tindakan
untuk mempercayai.[51] Jadi kalau seseorang percaya dalam Kristus
berarti ia menyerahkan hidupnya kepada Kristus.
Kata
“the Life” (hidup) menunjuk pada
menderita karena dunia dimana seseorang sebagai manusia mengalami
berbagai pencobaan hidup saat mengikut Yesus. Di sini Yesus dipahami sebagai
“the light of the prologue to the Gospel” adalah inklusif, bukan eksklusif.
Semua itu, karena “All truth is God’s
truth, as all life is God’s life, but God’s truth and God’s life are incarnate
in Jesus”.
Teks Kurikulum dalam
Perspektif Doktrinal
“Yesus
adalah Juru Selamat untuk Hidup yang Kekal”
Tujuan
Tujuan teks buku
guna memenangkan sebanyak mungkin jiwa-jiwa yang tersesat kepada Yesus Kristus dalam perspektif doktrinal.
Ayat
Hafalan
Yohanes 14:6 “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang
datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku”.
Pedahuluan
Pelajaran
ini memberikan kepada kita gambaran keselamatan kekal melalui Yesus Kristus
secara doktrinal.
Isi
Kurikulum
Sebelum
Adam berbuat dosa, ia menikmati hak istimewa yang bersegi tiga dalam
hubungannya dengan Allah: ia berada di dalam persekutuan dengan Penciptanya; ia
mengenal Dia dan ia memiliki hidup yang rohani. Tetapi hubungan bersegi tiga
ini diputuskan ketika ia jatuh ke dalam dosa dengan tidak mentaati Allah. Ia
dipisahkan dari Allah dan menyembunyikan dirinya daripada Dia. Dengan percaya akan dusta Iblis, ia tidak
sanggup mengerti kebenaran. Hal ini dibuktikan dengan membuat pakaian dari daun
ara. Ia juga tidak lagi memiliki hidup rohani itu, karena Allah telah
berfirman: “Sebab pada hari engkau memakannya pastilah engkau mati.” Dan firman
Allah mau tidak mau harus jadi. Akibatnya semua keturunan Adam di dunia ini
mewarisi keadaan yang sama dengan keadaan Bapanya setelah kejatuhan itu.
Alkitab berkata: “Apa yang dilahirkan dari daging, adalah daging”. Orang tua
yang jatuh akan melahirkan anak yang jatuh juga.
Jadi,
tidak ada jalan lain menuju surga (kehidupan yang kekal) selain melalui Yesus,
karena Yesus adalah Juru Selamat. Yesus adalah
kebenaran. Jadi, bila seseorang percaya kepada Yesus sebagai Juru
Selamatnya, maka ia mendapat jaminan hidup yang kekal. Jadi bila Yesus yang ada
di surga datang keduakalinya ke dunia, maka ia yang percaya dalam keadaan
meninggal maka akan dibangkitkan dan dibawa ke surga, tetapi bila ia masih
hidup maka Yesus akan mengangkatnya ke surga.
Orang yang percaya itu bersama-sama dengan Yesus hidup selama-lamanya di
surga.
Jadi
bila Yesus yang ada di surga datang keduakalinya ke dunia, maka ia yang percaya
dalam keadaan meninggal maka akan dibangkitkan dan dibawa ke surga, tetapi bila
ia masih hidup maka Yesus akan mengangkatnya ke surga. Orang yang percaya itu
bersama-sama dengan Yesus hidup selama-lamanya di surga.
Teks Kurikulum
dalam Perspektif Budaya
“Yesus
adalah Juru Selamat untuk Hidup yang Kekal”
Tujuan
Tujuan teks buku
guna memenangkan sebanyak mungkin jiwa-jiwa yang tersesat kepada Yesus Kristus dalam perspektif budaya.
Ayat
Hafalan
Yohanes 14:6 “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang
datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku”.
Pedahuluan
Pelajaran
ini memberikan kepada kita gambaran keselamatan kekal melalui Yesus Kristus.
Isi
Kurikulum
Berita kebenaran bahwa tidak ada jalan lain menuju
surga (kehidupan yang kekal) selain melalui Yesus, karena Yesus
adalah Juru Selamat. Yesus
adalah kebenaran. Jadi, bila seseorang
percaya kepada Yesus sebagai Juru Selamatnya, maka ia mendapat jaminan hidup
yang kekal.
Ketika berita “Keselamatan Yesus” disampaikan leh
Paulus, maka Paulus dihadapkan pada Formnya
adalah religi dan budaya yang ada. Paulus berkomunikasi dengan cara verbal
komunikasi (oral communication) dan feedbacknya ada yang “menolak” dan ada yang
bertobat (Dionisius yang anggota majelis Areopagus dan Damaris seorang
wanita). Paulus (komunikator) menyampaikan pesan (Firman Allah) kepada pendengar (masyarakat Athena yang berada di
sekitar Areopagus).
Kontekstualisasi
Paulus menggunakan dialog “Allah yang tidak dikenal” (Kis 17: 16-34). Paulus menggunakan arti baru “Allah yang tidak dikenal”
bukanlah dewa bagi orang Athena tetapi Paulus menjelaskan bahwa allah itu tidak
jauh tetapi dekat. Ia adalah segala yang ada dan yang hidup (Kis 17:27, tak
bersemayam di dalam kuil-kuil pahatan, dan tidak dilayani oleh manusia,
sekan-akan serba terbatas. Sebalkiknya, Ia adalah pribadi yang hidup (Kis
17:25). Lalu, Paulus mengajak mereka bertobat (Kis 17:30). Selanjutnya, ia
mengungkapkan hal kebangkitan Yesus Kristus sebagai bukti semua manusia bakal
berdiri menghadapi pengadilan ilahi (Kis 17:31).
Bab V
kesimpulan
Pendekatan
yang kontekstual adalah pendekatan yang melakukan melalui jembatan khusus
kepada responden, melakukan
kontekstualisasi, dan merubah paradigman shift responden. Pendekatan tersebut
diarahkan kepada keterbukaan diri responden sehingga responden akan semakin
mudah dirubah.
Bagaimana
keadaan Alkitab dalam kurikulum? Alkitab
menjadi sumber otoritas yang tertinggi dalam buku teks kurikulum. Inti dari sumber
tertinggi adalah Allah menjadi center dari teks kurikulum yang kemudian Alkitab diletakan sebagai proses
belajar-mengajar. Alkitab menjadi bahan ajar yang dibaca, digali, diikuti
ajarannya dan merubahan hidup seseorang dari yang percaya menjadi semakin
beriman, dari orang yang semakin beriman menjadi melayani Tuhan dalam segala
tantangan yang ada, dan dari orang yang belum percaya menjadi orang yang
percaya.
Merumuskan
Alkitab sebagai teks buku kurikulum
dapat dilakukan dalam berbagai perspektif
seperti: biblika, filosofis, teologis, atau budaya, tetapi semua itu
perlu disesuaikan dengan keadaan responden. Hal tersebut dengan memperhatikan
bahwa Alkitab adalah teks yang berisi tentang nilai-nilai ajaran yang dapat diterima oleh konteks dengan benar
dan tepat. ***
Kurikulum Menjadi Bahan Ajar atau Diktat
Bahan
Ajar dimulai dari kurikulum dan tujuan yang telah diuraikan oleh institusi
pendidikan. Bila disusun hirakirnya
berdasarkan institusi pendidikan maka Kurikulum tersebut menjadi bahan ajar dengan mengikuti tujuan sebagai
berikut:
Visi – Misi – Tujuan – Kurikulum – Bahan Ajar
Bahan Ajar atau Diktat
1.
Panjang atau lamanya bahan Ajar
dibuat sesuai dengan jumlah pertemuan di kelas atau di tempat-tempat pertemuan
dimana bahan ajar hendak digunakan sebagai bahan pembelajaran.
2.
Isi bahan ajar mencakup
unsur-unsur Kognitif (Pengetahuan- mengenal, memahami,
mengaplikasi, mengsintesis dan mengevaluasi).
3.
Susunan bahan ajar sebagai
berikut: (1) silabus dan pengantar
(masalah-masalah yang actual saat itu); (2) Definisi, unsur-unsur, tujuan dan
pentingnya materi tersebut. (3) Isi
Bahan Ajar atau Dikatat (4) Isi Bahan
Ajar atau Diktat; (5) Rumusan …
PEMBUATAN
DIKTAT
Latar
Belakang
Penjaminan mutu
telah menjadi kata kunci dalam dunia pendidikan kita dewasa ini. Hal ini
menandakan mulai terjadinya kesadaran bersama akan pentingnya mutu dalam
layanan penyelenggaraan pendidikan formal maupun non-formal. Fenomena ini sudah
sepatutnya ditanggapi secara positif oleh lembaga-lembaga yang terkait dengan
upaya serius dan sistemik dalam peningkatan mutu pendidikan pada semua
aspeknya. Salah satu faktor yang sangat penting dalam upaya penjaminan mutu
pendidikan adalah memastikan bahwa para pendidik dan tenaga kependidikan
memenuhi standar kompetensi dan melakukan pengembangan profesional yang
berkelanjutan agar dari waktu ke waktu dapat meningkatkan mutu pembelajaran
bagi peserta didik. Pemelajaran peserta didik merupakan salah satu hal paling
penting dalam upaya peningkatan mutu pendidikan karena semua kegiatan
pendidikan harus bermuara pada terjadinya peningkatan mutu lulusan.
Lembaga diklat
formal dapat mempunyai peran cukup sentral untuk meningkatkan mutu para
pendidik dan tenaga kependidikan sejauh lembaga tersebut mau berbenah untuk
melakukan penjaminan mutu layanan diklatnya.
Adapun untuk
penjamin mutu pendidikan salah satunya dengan tercukupinya sumber belajar
berupa buku buku sumber bacaan, namun dengan semakin mahalnya buku pelajaran
dan literature yang berkualitas , tenaga fungsional yang bergerak dalam
jasa layanan diklat dituntut untuk merumuskan buku buku sebagai bahan ajar
Pengertian
Diktat
Pengertian
diktat menurut Purwadarminta dalam Kamus Besar Indonesia adalah
pegangan yang dibuat guru berupa ketikan maupun stensilan, pengertian lain
menurut Totok Djuroto Diktat adalah buku pelajaran yang termasuk kelompok
karangan ilmiah hanya saja dibuatnya bukan berdasarkan hasil penelitian,
tetapi materi pelajaraan atau mata kuliah dari suatu ilmu. Diktat biasanya
dibuat oleh guru , dosen atau widyaiswara untuk mata kuliah, mata
diklat yang diajarkannya, bisa jadi seorang guru, dosen dan
widyaiswara membuat buku pelajaran atau diktat yang tidak diajarkannya
Dalam bagian lain
diktat adalah unit terkecil dari suatu mata pelajaran yang dapat berdiri
sendiri dan dapat dipergunakan dalam proses belajar mengajar sebagai alat Bantu
diklat yang disusun secara sistematik dari yang mencakup tujuan dan uraian
materi.
Prinsip-prinsip
Pembuatan Diktat
Ada beberapa prinsip
yang perlu diperhatikan dalam penyusunan diktat antara lain prinsip
relevansi, konsistensi dan kecukupan
Prinsip relevansi artinya
keterkaitan, materi yang ditulis hendaknya relevan dengan pencapaian standar
kompetensi yang ingin dicapai
Prinsip konsistensi
artinya keajegan, jika kompetensi dasar yang harus dikuasai empat macam maka
bahasan yang ada pada diktat juga harus meliputi empat macam
Prinsip kecukupan artinya materi
yang diajarkan hendaknya mencukupi dalam membantu peserta diklat mengusai kompetensi
yang akan diajarkan, materi tidak boleh terlalu sedikit dan tidak boleh terlalu
banyak, jika terlalu sedikit akan kurang membantu mencapai kompetensi standar
sebaliknya jika terlalu banyak akan membuang buang waktu dan tenaga yang tidak
perlu untuk mempelajarinya.
Ketentuan-ketentuan
Pembuatan Diktat
Sampai saat ini
belum ada aturan baku tentang pembuatan diktat yang khusus, namum mengingat
diktat merupakan bagian kecil dari buku paket maka ketentuan
pembuatan diktat hampir sama dengan pembuatan buku paket, antara lain sebagai
berikut:
Persyaratan
yang Berkaitan dengan Format
1.
Memuat sekurang kurangya materi
minimal yang harus dikuasai peserta didik.
2.
Diktat relevan dengan tujuan dan
sesuai dengan kemampuan yang akan dicapai
3.
Sesuai dengan ilmu pengetahuan
yang bersangkutan
4.
Sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi
5.
Sesuai dengan jenjang dan sasaran
6.
Isi dan bahan mengacu pada
kompetensi dalam kurikulum
Persyaratan dengan cara penyajian
1.
Uraian teratur
2.
Saling memperkuat dengan bahan
lain
3.
Menarik minat dan perhatian
peserta
4.
Menangtang dan merangsang peserta
didik untuk mempelajari
5.
Mengacu pada aspek koginitif,
afektif dan psikomotor
6.
Hindari penyajian yang bertele
tele
Persyaratan
yang berkaitan dengan Bahasa
1.
Menggunakan bahasa Indonesia yang
benar
2.
Menggunakan kalimat yang sesuai
dengan kematangan dan perkembangan peserta
3.
Menggunakan istilah, kosakata,
symbol yang mempermudah pemahaman
4.
Menggunakan kata kata terjemahan
yang dibakukan
Persyaratan
yang berkaitan dengan Ilustrasi
1.
Relevan dengan bahan ajar
yang dibuat
2.
Tidak mengunakan kesinambungan
antar kalimat. Antar bagian dan antar paragraf.
3.
Merupakan bagian terpadu dari
bahan ajar
4.
Jelas, baik dan merupakan hal hal
esensial yang membantu memperjelas materi
Bagian
Bagian dari Diktat
Diktat sama
seperti buku terdiri dari tiga bagian yang mencakup sebagai berikut:
Bagian
Awal yang Berisi
1.
Halaman cover, bersisi tentang
judul, pengarang, gambar sampul, dan lingkup penggunaan diktat ( biasanya
digunakan untuk lingkungan sendiri ), nama departemen, tahun terbit.
2.
Halaman judul , berisi judul,
pengarang/penulis, gambar sampul, lingkup penggunaan, tahun terbit, nama
depertemen
3.
Daftar isi, yang membuat, judul
bab, sub bab, dan nomor halaman
4.
Daftar lain seperti : daftar
gambar, daftar table, daftar lampiran.
Bagian
Isi
Bagian ini berisi
pokok pokok bahasan yang menjadi inti naskah diktat dan memuat uraian
penjelasan, proses operasional atau langkah kerja dari setiap bab maupun sub
bab. Dengan demikian paragraf merupakan unit terkecil suatu pokok bahasan.
Paragraf tersebut harus saling mendukung dan merupakan suatu kesatuan yang
koheren. Apabila diperlukan penjelasan dan uraian dilengkapi dengan table,
bagan, gambar dan ilustrasi lain
Bagian
Akhir
Pada bagian akhir
diktat berisi antara lain sebagai
berikut:
1.
Lampiran, bila lampiran lebih dari
satu lembar harus diberi nomor urut arab
2.
Glosarium (jika ada), kata/istilah
yang berhubungan dengan uraian diktat sehingga memudahkan pemahaman pembanca
3.
Kepustakaan, ada beberapa cara
menuliskan kepustakaan, namun demi keseragaman dipilih satu dari sekian cara
tersebut, sengan ketentuan sebagai berikut: (1) Hendaknya digunakan buku acuan
yang relevan dengan bahan kajian yang akan ditulis, tidak ketinggalan
perkembangan teknologi dan sesuai dengan disiplin ilmu. (2) Kepustakaan disusun
dengan urutan abjad, urutannya sebagai berikut: Mulyasan,E, 2003, Kurikulum
Berbasis Kompetensi, Pt Remaja Rosda Karya, Bandung. (3) Indeks :
pencantuman indeks dimaksudkan sebagai petunjuk untuk mengetahui dengan
mudah uraian suatu teori, atau fakta yang terdapat pada halaman tertentu,
penulisan indeks dengan pengaturan sebagai berikut: (1) Entri disusun menurut
abjad dan tidak bernomor urut. (2) Entri diawali dengan huruf kecil , kecuali
berupa nama. (3) Entri diikuti dengan tanda koma dan nomor halaman tempat entri
berada.
.
Sistimatika
Penulisan Diktat
Penulisan diktat
hendaknya didahului dengan penyusunan kerangka penulisan. Kerangka penulisan
disusun berdasarkan kosep dasar ilmu yang bersangkutan, sesuai dengan tema dan judul
yang akan ditulis.
Penulis diktat
hendaknya berpedoman pada kerangka penulisan yang telah disusun , oleh karena
itu kerangka harus lengkap dan rinci untuk mempermudah penulisan, isi naskah
terdiri dari bab atau unit,setiap bab diberi nomor urut dengan angka romawi dan
dilengkapi dengan judul bab. Pecahan bab yang disebut subbab ditulis dengan
nomor huruf.
Penggunaan
Bahasa Indonesia dalam Penulisan Diktat
Penulisan diktat
hendaknya menggunakan bahasa jelas, tepat formal dan lugas. Kejelasan dan ketepatan
isi dapat diwujudkan dengan menggunakan kata dan istilah yang jelas`dan tepat,
kalimat yang tidak berbelit belit dan struktur alinea yang runtut,kelugasan dan
keformalan gaya bahasa digunakan dengan menggunakan kalimat fasif, hindarilah
pengunaan kata kata sepeti saya kami, kemudian tuliskan kegiatan yang
dilakukan penulis, seperti penulis atau peneliti tapi inipun hindari sesedikit mungkin.dalam menggunakan
bahasa Indonesia baku hendaknya memperhatikan sebagai berikut:
1.
Kaidah Bahasa Indonesia yang
digunakan adalah ejaan yang disempunakan (EYD)
2.
Penerapan kaidah Ejaan
3.
Pemakaian tanda baca
Pengetikan
Naskah Diktat
Dalam pengetikan
naskah diktat ada beberapa hal yang harus diperhatikan
Kertas yang digunakan adalah kertas
jenis HVS putih, ukuran kuarto atau polio tergantung selera tetapi umunya
ukuran kuarto, bidang pengetikan pun berjarak 4 cm dari tepi kiri, dan 3
cm tepi atas, tepi kanan dan tepi bawah, sebuah alinea tidak dimulai pada
bagian halaman yang hanya memuat kurang dari tiga baris.
Diktat ditulis
dengan computer yang baku baik jenis huruf maupun ukuran hurufnya, pengetikan
dengan menggunakan rata kanan dan tidak boleh mengorbankan aturan spasi
atarkata dalam teks.
Awal alinea
diketik pada ketukan keenam dari batas kiri bidang pengetikan . sesudah tanda
baca titik, titik dua, titik koma, dan koma hendaknya diberi satu ketikan
kosong. Istilah tertentu yang belum lazim ditulis digaris bawahi atau ditulis
dengan huruf miring. Dalam pengetikan juga harus diperhatkan antara lain sebagai
berikut:
1.
Jenis dan ukuran huruf
2.
Modus huruf
3.
Spasi
4.
Tablel dan gambar
Ilustrasi
dan Perwajahan
Diktat walaupun
dibuat oleh seorang guru, maupun widyaiswara yang pada zaman computer belum
banyak dipergunakan ilustrasi belum banyak digunakan, tetapi setelah computer banyak
digunakan karena fasilitas untuk pemakaian ilustrasi ada pada komputer ,
iluntrasi biasa ditulis dan diatur sendiri, karena pengeditan dan perancangan
wajah sudah ada fasilitasnya dalam hal ilisutrasi seorang penulis diktat haris
memperhatikan masalah masalah sebagai
berikut:
1.
Format diktat agar enak dibaca
2.
9.2 Tata letak untuk mempermudah
pemahaman isi buku dan mendapatkan kenyamanan membaca.
3.
Tipografi yang menyangkut nama dan
jenis huruf, panjang baris,
4.
Ilustrasi agar sajian visual yang
tidak mungkin disampaikan dengan kata dapat disajikan dengan gambar, ilustrasi
snagat menarik jika berupa foto foto yang berwarna..
Petunjuk
Teknis Penulisan Diktat
Untuk melakukan
penulisan diktat, dibawah ini ada beberapa petunjuk praktis
yang dapat dijadikan pedoman penulisan antara lain
Hal
hal yang harus Diperhatikan
1.
Berilah jarak 3 spasi antara table
atau gambar dengan teks sebelum dan sesudahnya
2.
Judul table atau gambar diketik
pada haaman yang sama dengan table atau gambarnya, penyebutan menggunakan table……atau
gambar
3.
Tepi kanan teks tdak harus rata ,
oleh karena itu kata pada akhir baris tidak harus dipotong. Jika terpaksa
dipotong tanda hubungnya ditulis setelah huruf akhir, tanpa disisipi spasi,
bukan diletakkan dibawahnya
4.
Tempatkan nomor halaman di pojok
kanan atas pada setiap halaman , kecuali pada halaman pertama setiap bab dan
halaman bagian awal.
5.
Semua nama pengarang dalam daftar
rujukan harus ditulis.
6.
Nama awal atau nama tengah dapat
disingkat asalkan dilakuan secara konsisten
Hal
Hal yang tidak Boleh Dilakukan
1.
Tidak boleh ada bagian yang kosong
pada akhir halaman kecuali jika halaman tersebut merupakan akhir bab
2.
Tidak boleh memotong table atau
gambar
3.
Tidak boleh memberi garis vertikal
antara kolom pada table kecuali terpaksa
4.
Tidak boleh memberi tanda apapun
sebagai tanda berakhirnya suatu bab
5.
Tidak boleh menempatkan sub judul
dan identitas table pada akhir halaman
6.
Rincian tidak boleh menggunakan
tanda hubung (-) tetapi menggunakan bullet (*) untuk penulisan yang dilakukan
dengan menggunakan komputer.
7.
Tidak boleh menambah spasi
antarkata dalam suatu baris yang bertujuan meratakan tepi kanan
8.
Daftar rujukan tidak boleh
diletakkan di kaki halaman atau akhir setiap bab, daftar rujukan hanya dapat
ditempatkan setelah bab akhir
Penutup
Demikian sedikit
informasi yang berkaitan dengan teknik pembuatan diktat, diharapkan para
widyaiswara mampu memotivasi diri untuk menuangkan ide idenya dalam bentuk
diktat yang dapat digunakan dalam pembelajaran, yang sudah barang tentu dapat
digunakan sebagai bahan perolehan angka kredit dalam pengembangan profesi.
Serta sebagai sumbangsih dalam meningkatkan kualitas pendidikan bangsa
Indonesia.***
Data dari Dikti:
Perbedaan Buku Teks, Buku Ajar
dan Buku Diktat[52]
Buku Ajar: Buku
ajar adalah buku pegangan untuk suatu matakuliah yang ditulis dan disusun oleh
pakar bidang terkait dan memenuhi kaidah buku teks serta diterbitkan secara
resmi dan disebar luaskan (Pedoman PAK Dosen 2009).
Buku teks atau buku
referensi: adalah suatu tulisan ilmiah dalam bentuk buku yang substansi
pembahasannya fokus pada satu bidang ilmu. Buku teks membahas topik yang cukup
luas (satu bidang ilmu). Urutan materi dan struktur buku teks disusun
berdasarkan logika bidang ilmu (content oriented), diterbit secara resmi untuk
dipasarkan (Panduan Penulisan Buku Teks).
Buku Diktat: Diktat
adalah bahan ajar untuk suatu matakuliah yang ditulis dan disusun oleh pengajar
matakuliah tersebut, mengikuti kaidah tulisan ilmiah dan disebar luaskan kepada
peserta kuliah (Pedoman PAK dosen 2009).
Perbedaan
Buku Ajar dan Buku Teks:
Buku Ajar
1. Berusaha menimbulkan minat baca
2. Dirancang & ditulis untuk mahasiswa
3. Menjelaskan tujuan instruksional
4. Dipergunakan oleh dosen dan mahasiswa dalam proses perkuliahan.
5. Disusun berdasar pola belajar yg fleksibel, sistematis dan terstruktur
berdasarkan kebutuhan mahasiswa dan kompetensi akhir yang ingin dicapai
6. Fokus pada pemberian kesempatan bagi mahasiswa untuk berlatih
7. Memberi rangkuman
8. Gaya penulisan komunikatif
9. Ada umpan balik
10. Mengakomodasi kesulitan belajar mahasiswa
11. Menjelaskan cara mempelajari bahan ajar
BUKU TEKS
1. Buku teks mengasumsikan minat dari pembaca
2. Untuk pembaca (guru, dosen, mahasiswa, peneliti, umum)
3. Belum tentu menjelaskan tujuan instruksional
4. Dirancang untuk dipasarkan secara luas
5. Disusun secara linear dan strukturnya berdasar logika bidang ilmu
6. Belum tentu memberikan latihan
7. Belum tentu memberi rangkuman
8. Gaya penulisan naratif, tidak komunikatif dan padat
9. Tidak ada mekanisme mengumpulkan umpan balik
10. Tidak mengakomodasi kesulitan belajar
11. Tidak menjelaskan ccara mempelajari buku teks
DIKTAT
Buku Diktat adalah :
• Bahan Ajar Untuk Suatu Mata Kuliah
• Ditulis oleh Pengajar Mata Kuliah Tersebut
• Mengikuti Kaidah Penulisan Ilmiah
• Disebarluaskan Kepada Peserta Kuliah
Angka kredit maksimal
untuk buku teks dan buku ajar 20 per buku dengan batas kepatutan 1 buku
pertahun, untuk buku Diktat Angka kredit maksimal 5 per buku dengan batas
kepatutuan 1 diktat per semester
Kriteria buku yang bisa diajukan untuk peroleh hibah buku teks dan buku
ajar silakan baca di:
Panduan hibah buku teks 2015
Panduan hibah buku ajar 2015
6. Teori-teori Kurikulum
Konteks
Sejarah Perkembangan
Kurikulum di Indonesia
Sejarah kurikulum pendidikan
di Indonesia kerap berubah setiap ada pergantian Menteri Pendidikan, sehingga
mutu pendidikan Indonesia hingga kini belum memenuhi standar mutu yang jelas
dan mantap. Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan
nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968,
1975, 1984, 1994, 2004, 2006 dan 2013. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi
logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan
iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai
seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan
tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional
dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945,
perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam
merealisasikannya.
Secara umum ada
beberapa pendekatan perkembangan kurikulum yang pernah diterapkan dalam
pengembangan kurikulum yang diterapkan dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Pendekatan tersebut sebagai berikut: (1) Dari awal kemerdekaan sampai
pertengahan tahun 1960-an pendekatan berbasis materi (content based
approach). (2) Akhir tahun 1960 –an sampai dengan pertengahan tahun1980-an
pendekatan berbasis kompetensi (competence based approach) dan
pendekatan belajar tuntas (mastery learning approach). (3) Akhir tahun
1980-an sampai dengan awal 1990-an pendekatan berbasis out come (outcome
based approach). (4) tengah tahun1990-an sampai dengan sekarang pendekatan
berbasis standar (standard based approach).
Melihat beberapa
pendekatan yang telah dilakukan dalam rangka pembenahan kurikulum tersebut
dapat ditarik benang merah bahwa penerapan kurikulum hanyalah perubahan disain
isi kurikulum tersebut. Dan inilah masalah yang timbul ketika kita akan
menerapkan kurikulum yang disesuaikan dengan tuntutan zaman.
Rencana
Pelajaran 1947
Awal kurikulum
terbentuk pada tahun 1947, yang diberi nama Rencana Pembelajaran 1947.
Kurikulum ini pada saat itu meneruskan kurikulum yang sudah digunakan oleh
Belanda karena pada saat itu masih dalam proses perjuangan merebut kemerdekaan.
Yang menjadi ciri utam kurikulum ini adalah lebih menekankan pada pembentukan
karakter manusia yang berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain.Kurikulum pertama
yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah leer plan. Dalam bahasa
Belanda, artinya rencana pelajaran, lebih popular ketimbang curriculum (bahasa
Inggris). Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersifat politis: dari orientasi
pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Asas pendidikan ditetapkan
Pancasila.
Rencana Pelajaran 1947 baru
dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah
perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua hal
pokok: daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, plus garis-garis besar
pengajaran. Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran. Yang
diutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi
pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian
dan pendidikan jasmani. Setelah rencana pembelajaran 1947, pada tahun 1952
kurikulum Indonesia mengalami penyempurnaan. Dengan berganti nama menjadi
Rentjana Pelajaran Terurai 1952.Yang menjadi ciri dalam kurikulum ini adalah setiap
pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan
sehari-hari.
Rencana
Pelajaran Terurai 1952 “Budaya dan Moral”
Kurikulum ini
lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai
1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata
pelajaran,” kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode
1991-1995. Ketika itu, di usia 16 tahun Djauzak adalah guru SD Tambelan dan
Tanjung Pinang, Riau.
Di penghujung era Presiden
Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada
pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana). Mata
pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan,
emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar
lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional prak tis.Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964
pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum pendidikan di indonesia.
Kali ini diberi nama dengan Rentjana Pendidikan 1964. Yang menjadi ciri dari
kurikulum ini pembelajaran dipusatkan pada program pancawardhana yaitu
pengembangan moral, kecerdasan, emosional, kerigelan dan jasmani.
Kurikulum
1968
Usai tahun 1952,
menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum di
Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran
kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah: bahwa pemerintah
mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan
pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana
(Hamalik, 2004), yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik,
keprigelan, dan jasmani.
Kurikulum 1968 merupakan
pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu dilakukannya perubahan struktur
kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila,
pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan
dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Dari segi tujuan pendidikan,
Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk
manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan
keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi
pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan,
serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.
Kelahiran
Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang
dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia
Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi
pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan
khusus. Jumlah pelajarannya 9.
Djauzak menyebut Kurikulum 1968
sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran pokok-pokok saja,”
katanya. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan
permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang
tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.
Kurikulum
1975 “memasukan bidang Manajemen”
Kurikulum 1975
sebagai pengganti kurikulum 1968 menekankan pada tujuan,Kurikulum 1975
menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang
melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO
(management by objective) yang terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi,
Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas.
Metode, materi,
dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional
(PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran
setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum,
tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan
belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru sibuk
menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
Kurikulum
1984 “psikomotor” – Anak Berbakat
Kurikulum 1984
mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi
faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975
yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari
mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini
disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
Tokoh penting
dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala
Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta —
sekarang Universitas Negeri Jakarta — periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok
secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan,
mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional.
Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah
suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada
tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah.
Penolakan CBSA bermunculan.
Kurikulum
1994 dan Suplemen Kurikulum 1999
Kurikulum 1994 bergulir
lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya ingin
mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara pendekatan
proses,” kata Mudjito menjelaskan.
Sayang, perpaduan
tujuan dan proses belum berhasil. Kritik bertebaran, lantaran beban belajar
siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal. Materi muatan
lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah
kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan
kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam
kurikulum. Walhasil,menjelma menjadi kurikulum super padat.Kejatuhan rezim
Soeharto pada 1998,diikuti kehadiran suplemen Kurikulum 1999.Tapi perubahannya
lebih pada menambah sejumlah materi. Kurikulum 1994 dibuat sebagai
penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan undang-undang no. 2
tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak pada sistem
pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem
caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi
tiga tahap diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima
materi pelajaran cukup banyak.
Terdapat ciri-ciri yang menonjol
dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya sebagai berikut:
1.
Pembagian tahapan pelajaran di
sekolah dengan sistem catur wulan.
2.
Pembelajaran di sekolah lebih
menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi
pelajaran/isi).
3.
Kurikulum 1994 bersifat populis,
yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua siswa di seluruh
Indonesia. Kurikulum ini bersifat kurikulum inti sehingga daerah yang khusus
dapat mengembangkan pengajaran sendiri disesuaikan dengan lingkungan dan
kebutuhan masyarakat sekitar.
4.
Dalam pelaksanaan kegiatan, guru
hendaknya memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan siswa aktif dalam
belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial. Dalam mengaktifkan siswa guru
dapat memberikan bentuk soal yang mengarah kepada jawaban konvergen, divergen
(terbuka, dimungkinkan lebih dari satu jawaban) dan penyelidikan.
5.
ü Dalam pengajaran suatu
mata pelajaran hendaknya disesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok bahasan dan
perkembangan berpikir siswa, sehingga diharapkan akan terdapat keserasian
antara pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang
menekankan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.
6.
Pengajaran dari hal yang konkrit
ke ha yang abstrak, dari hal yang mudah ke hal yang sulit dan dari hal yang
sederhana ke hal yang kompleks.
7.
Pengulangan-pengulangan materi
yang dianggap sulit perlu dilakukan untuk pemantapan pemahaman.
8.
Selama dilaksanakannya kurikulum
1994 muncul beberapa permasalahan, terutama sebagai akibat dari kecenderungan
kepada pendekatan penguasaan materi (content oriented), di antaranya sebagai
berikut :
9.
Beban belajar siswa terlalu berat
karena banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi/ substansi setiap mata
pelajaran.
10. Materi pelajaran dianggap terlalu sukar karena kurang relevan
dengan tingkat perkembangan berpikir siswa, dan kurang bermakna karena kurang
terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-hari.
Permasalahan di
atas saat berlangsungnya pelaksanaan kurikulum 1994. Hal ini mendorong para
pembuat kebijakan untuk menyempurnakan kurikulum tersebut. Salah satu upaya
penyempurnaan itu diberlakukannya suplemen kurikulum 1994. Penyempurnaan
tersebut dilakukan dengan tetap mempertimbangkan prinsip penyempurnaan
kurikulum, yaitu:
1.
Penyempurnaan kurikulum secara
terus menerus sebagai upaya menyesuaikan kurikulum dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan kebutuhan masyarakat.
2.
Penyempurnaan kurikulum dilakukan
untuk mendapatkan proporsi yang tepat antara tujuan yang ingin dicapai dengan
beban belajar, potensi siswa, dan keadaan lingkungan serta sarana pendukungnya.
3.
Penyempurnaan kurikulum dilakukan
untuk memperoleh kebenaran substansi materi pelajaran dan kesesuaian dengan
tingkat perkembangan siswa.
4.
Penyempurnaan kurikulum
mempertimbangkan brbagai aspek terkait, seperti tujuan materi pembelajaran,
evaluasi dan sarana-prasarana termasuk buku pelajaran.
5.
Penyempurnaan kurikulum tidak
mempersulit guru dalam mengimplementasikannya dan tetap dapat menggunakan buku
pelajaran dan sarana prasarana pendidikan lainnya yang tersedia di sekolah.
Penyempurnaan
kurikulum 1994 di pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan bertahap, yaitu
tahap penyempurnaan jangka pendek dan penyempurnaan jangka panjang.
Implementasi pendidikan di sekolah
mengacu pada seperangkat kurikulum. Salah satu bentuk invovasi yang
dikembangkan pemerintah guna meningkatkan mutu pendidikan adalah melakukan
inovasi di bidang kurikulum. Kurikulum 1994 disempurnakan lagi sebagai respon
terhadap perubahan struktural dalam pemerintahan dari sentralistik menjadi
disentralistik sebagai konsekuensi logis dilaksanakannya UU No. 22 dan 25
tentang otonomi daerah.
Pada era ini kurikulum yang
dikembangkan diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). KBK adalah
seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang
harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan
sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah (Depdiknas, 2002).
Kurikulum ini menitik beratkan pada pengembangan kemampuan melakukan
(kompetensi) tugas-tugas dengan standar performasi tertentu, sehingga hasilnya
dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap serangkat
kompetensi tertentu. KBK diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman,
kemampuan, nilai, sikap dan minat peserta didik, agar dapat melakukan sesuatu
dalam bentuk kemahiran, ketepatan dan keberhasilan dengan penuh tanggungjawab.
Adapun karakteristik KBK menurut
Depdiknas (2002) adalah sebagai berikut:
1.
Menekankan pada ketercapaian
kompetensi siswa baik secara individual maupu klasikal.
2.
Berorientasi pada hasil belajar
(learning outcomes) dan keberagaman.
3.
Penyampaian dalam pembelajaran
menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
4.
Sumber belajar bukan hanya guru,
tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
5.
Penilaian menekankan pada proses dan hasil
belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Kurikulum
2004
Bahasa kerennya
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar
kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila
dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah
maupun nasional masih berupa soal pilihan ganda. Bila target kompetensi yang
ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian
yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa.
Meski baru
diujicobakan, toh di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar
di luar Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya tak memuaskan. Guru-guru pun
tak paham betul apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum.
Kurikulum ini dikatakan sebagai
perbaikan dari KBK yang diberi nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
KTSP ini merupakan bentuk implementasi dari UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional yang dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan antara lain
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan.
Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan
delapan standar nasional pendidikan, yaitu: (1)standar isi, (2)standar proses,
(3)standar kompetensi lulusan, (4)standar pendidik dan tenaga kependidikan,
(5)standar sarana dan prasarana, (6)standar pengelolaan, standar pembiayaan,
dan (7)standar penilaian pendidikan.
Kurikulum dipahami sebagai
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu, maka dengan terbitnya Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, pemerintah telah menggiring pelaku pendidikan
untuk mengimplementasikan kurikulum dalam bentuk kurikulum tingkat satuan
pendidikan, yaitu kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di
setiap satuan pendidikan.
Secara substansial, pemberlakuan
(baca: penamaan) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) lebih kepada
mengimplementasikan regulasi yang ada, yaitu PP No. 19/2005. Akan tetapi,
esensi isi dan arah pengembangan pembelajarantetap masih bercirikan tercapainya
paket-paket kompetensi (dan bukan pada tuntas tidaknya sebuah subject matter),
yaitu:
1.
Menekankan pada ketercapaian
kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
2.
Berorientasi pada hasil belajar
(learning outcomes) dan keberagaman.
3.
Penyampaian dalam pembelajaran
menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
4.
Sumber belajar bukan hanya guru,
tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
5.
Penilaian menekankan pada proses
dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Terdapat perbedaan
mendasar dibandingkan dengan KBK tahun 2004 dengan KBK tahun 2006 (versi KTSP),
bahwa sekolah diberi kewenangan penuh dalam menyusun rencana pendidikannya
dengan mengacu pada standar-standar yang ditetapkan, mulai dari tujuan,
visi-misi, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan
hingga pengembangan silabusnya.
Kurikulum KTSP 2006
Awal 2006 ujicoba
KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pelajaran KTSP
masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi
pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan
Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan
untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa
serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan karangka dasar (KD), standar
kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap
mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen
Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus
dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah
koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota. (TIAR)
Kurikulum yang
terbaru adalah kurikulum 2006 KTSP yang merupakan perkembangan dari kurikulum
2004 KBK. Kurikulum 2006 yang digunakan pada saat ini merupakan kurikulum yang
memberikan otonomi kepada sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan yang
puncaknya tugas itu akan diemban oleh masing masing pengampu mata pelajaran
yaitu guru. Sehingga seorang guru disini menurut Okvina (2009) benar-benar
digerakkan menjadi manusia yang professional yang menuntuk kereatifitasan
seorang guru. Kurikulum yang kita pakai sekarang ini masih banyak kekurangan di
samping kelebihan yang ada. Kekurangannya tidak lain adalah (1) kurangnya
sumber manusia yang potensial dalam menjabarkan KTSP dengan kata lin masih
rendahnya kualitas seorang guru, karena dalam KTSP seorang guru dituntut untuk
lebihh kreatif dalam menjalankan pendidikan. (2) kurangnya sarana dan prasarana
yang dimillki oleh sekolah.
KTSP
KTSP
yang merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 2004 (KBK) adalah kurikulum
operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan
atau sekolah. Departemen Pendidikan Nasional mengharapkan paling lambat tahun
2009/2010, semua sekolah telah melaksanakan KTSP. Penyusunan KTSP yang
dipercayakan pada masing tingkat satuan pendidikan ini hampir senada dengan
prinsip implementasi KBK (Kurikulum 2004) yang disebut Pengelolaan Kurikulum
Berbasis Sekolah (KBS). Prinsip ini diimplementasikan untuk memberdayakan
daerah dan sekolah dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengelola serta
menilai pembelajaran sesuai dengan kondisi dan aspirasi mereka. Prinsip
Pengelolaan KBS ini mengacu pada “kesatuan dalam kebijaksanaan dan keberagaman
dalam pelaksanaan”.Yang dimaksud dengan “kesatuan dalam kebijaksanaan” ditandai
dengan sekolah-sekolah menggunakan perangkat dokumen KBK yang “sama”
dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Sedangkan “Keberagaman dalam
pelaksanaan” ditandai dengan keberagaman silabus yang akan dikembangkan oleh
sekolah masing-masing sesuai dengan karakteristik sekolahnya. KTSP atau Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan adalah sebuah kurikulum operasional pendidikan yang
disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan di Indonesia.
KTSP secara yuridis diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Penyusunan KTSP oleh sekolah
dimulai tahun ajaran 2007/2008 dengan mengacu pada Standar Isi (SI) dan Standar
Kompetensi Lulusan (SKL) untuk pendidikan dasar dan menengah sebagaimana yang
diterbitkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional masing-masing Nomor
22 Tahun 2006 dan Nomor 23 Tahun 2006, serta Panduan Pengembangan KTSP yang
dikeluarkan oleh BSNP. Pada prinsipnya, KTSP merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari SI, namun pengembangannya diserahkan kepada sekolah agar
sesuai dengan kebutuhan sekolah itu sendiri. KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan) terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur
dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan
silabus. Pelaksanaan KTSP mengacu pada Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaan SI dan SKL.
Struktur KTSP
No. |
Komponen |
Alokasi Waktu KTSP SD |
|||||
Kelas |
|||||||
Mata pelajaran |
1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
6 |
|
A. |
Mata pelajaran |
T |
|||||
1. |
Pendidikan |
E |
3 |
3 |
3 |
||
2. |
Pendidikan Kewarganegaraan |
P |
M |
2 |
2 |
2 |
|
3. |
B.Indonesia |
E |
A |
5 |
5 |
5 |
|
4. |
Matematika |
N |
T |
5 |
5 |
5 |
|
5. |
Ilmu Pengetahuan Alam |
D |
I |
4 |
4 |
4 |
|
6. |
Ilmu Pengetahuan Sosial |
E |
K |
3 |
3 |
3 |
|
7. |
Seni Budaya dan Keterampilan |
K |
4 |
4 |
4 |
||
8. |
Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesenian |
A |
4 |
4 |
4 |
||
T |
|||||||
B. |
Mutlok |
A |
|||||
a. Budaya Daerah |
N |
2 |
2 |
2 |
|||
b. Bahasa Inggris |
2 |
2 |
2 |
||||
c. ……………(disesuaikan) |
2 |
2 |
2 |
||||
C. |
Pengembangan Diri |
2*) |
2*) |
2*) |
|||
Jumlah |
26 |
27 |
28 |
36 |
36 |
36 |
Keterangan:
1.
1 (Satu) jam pelajaran alokasi
waktu 35 menit
2.
Kelas 1, 2 dan 3 pendekatan
Tematik, alokasi waktu per mata pelajaran di atur sendiri oleh SD/MI
3.
Kelas 4,5, dan 6 pendekatan mata
pelajaran
4.
Sekolah dapat memasukan
pendidikan yang berbasis keunggulan lokal dan global, yang merupakan bagian
dari mata pelajaran yang diunggulkan.
5.
Mengenal pembelajaran tematis
sekolah dapat menentukan alokasi waktu per-mata pelajaran sedangkan dalam PMB
menggunakan pendekatan tematis.
Kelebihan dan Kelemahan KTSP
Kelebihan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan)
1.
Mendorong terwujudnya otonomi
sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah
satu bentuk kegagalan pelaksanaan kurikulum di masa lalu adalah adanya
penyeragaman kurikulum di seluruh Indonesia, tidak melihat kepada situasi riil
di lapangan, dan kurang menghargai potensi keunggulan lokal.
2.
Mendorong para guru, kepala
sekolah, dan pihak manajemen sekolah untuk semakin meningkatkan kreativitasnya
dalam penyelenggaraan program-program pendidikan.
3.
KTSP sangat memungkinkan bagi
setiap sekolah untuk menitikberatkan dan mengembangkan mata pelajaran tertentu
yang akseptabel bagi kebutuhan anak didik. Sekolah dapat menitikberatkan pada
mata pelajaran tertentu yang dianggap paling dibutuhkan anak didiknya. Sebagai
contoh daerah kawasan wisata dapat mengembangkan kepariwisataan dan bahasa
inggris, sebagai keterampilan hidup.
4.
KTSP akan mengurangi beban
belajar anak didik yang sangat padat. Karena menurut ahli beban belajar yang
berat dapat mempengaruhi perkembangan jiwa anak didik.
5.
KTSP memberikan peluang yang
lebih luas kepada sekolah-sekolah plus untuk mengembangkan kurikulum sesuai
dengan kebutuhan.
6.
Guru sebagai pengajar,
pembimbing, pelatih dan pengembang kurikulum.
7.
Kurikulum sangat humanis, yaitu
memberikan kesempatan kepada guru untuk mengembangkan isi/konten kurikulum
sesuai dengan kondisi sekolah, kemampuan anak didik dan kondisi daerahnya
masing-masing.
8.
Menggunakan pendekatan kompetensi
yang menekankan pada pemahaman, kemampuan atau kompetensi terutama di sekolah
yang berkaitan dengan pekerjaan masyarakat sekitar.
9.
Standar kompetensi yang
memperhatikan kemampuan individu, baik kemampuan, kecakapan belajar, maupun
konteks sosial budaya.
10.
Berbasis kompetensi sehingga
peserta didik berada dalam proses perkembangan yang berkelanjutan dari seluruh
aspek kepribadian, sebagai pemekaran terhadap potensi-potensi bawaan sesuai
dengan kesempatan belajar yang ada dan diberikan oleh lingkungan.
11.
Pengembangan kurikulum di
laksanakan secara desentralisasi (pada satuan tingkat pendidikan) sehingga
pemerintah dan masyarakat bersama-sama menentukan standar pendidikan yang
dituangkan dalam kurikulum.
12.
Satuan pendidikan diberikan
keleluasaan untuk menyususun dan mengembangkan silabus mata pelajaran sehingga
dapat mengakomodasikan potensi sekolah kebutuhan dan kemampuan peserta didik,
serta kebutuhan masyarakat sekitar sekolah.
13.
Pendidik sebagai fasilitator yang
bertugas mengkondisikan lingkungan untuk memberikan kemudahan belajar anak
didik.
14.
Mengembangkan ranah pengetahuan,
sikap, dan keterampilan berdasarkan pemahaman yang akan membentuk kompetensi
individual.
15.
Pembelajaran yang dilakukan
mendorong terjadinya kerjasama antar sekolah, masyarakat, dan dunia kerja yang
membentuk kompetensi peserta didik.
16.
Evaluasi berbasis kelas yang
menekankan pada proses dan hasil belajar.
17.
Berpusat pada siswa.
18.
Menggunakan berbagai sumber
belajar.
19.
kegiatan pembelajaran lebih
bervariasi, dinamis dan menyenangkan
Sedangkan kelemahan dari kurikulum KTSP:
1.
Kurangnnya SDM yang diharapkan
mampu menjabarkan KTSP pada kebanyakan satuan pendidikan yang ada. Minimnya
kualitas guru dan sekolah.
2.
Kurangnya ketersediaan sarana dan
prasarana pendukung sebagai kelengkapan dari pelaksanaan KTSP .
3.
Masih banyak guru yang belum
memahami KTSP secara komprehensif baik kosepnya, penyusunannya,maupun
praktiknya di lapangan
4.
Penerapan KTSP yang
merekomendasikan pengurangan jam pelajaran akan berdampak berkurangnya
pendapatan guru. Sulit untuk memenuhi kewajiban mengajar 24 jam, sebagai syarat
sertifikasi guru untukmendapatkan tunjangan profesi.
Kurikulum
2013
Kurikulum
2013 ini merupakan Kurikulum yang sedang dalam tahap perencanaan oleh
Pemerintah, karena ini merupakan
perubahan dari struktur kurikulum KTSP. Perubahan ini dilakukan karena banyaknya
masalah dan salah satu upaya untuk memperbaiki kurikulum yang kurang tepat.
Pengembangan
Kurikulum 2013 dilakukan dalam empat tahap, yakni: (1) Penyusunan kurikulum di
lingkungan internal Kemdikbud dengan melibatkan sejumlah pakar dari berbagai
disiplin ilmu dan praktisi pendidikan. (2) Pemaparan desain Kurikulum 2013 di
depan Wakil Presiden selaku Ketua Komite Pendidikan yang telah dilaksanakan
pada 13 November 2012 serta di depan Komisi X DPR RI pada 22 November 2012. (3)
Pelaksanaan uji publik guna mendapatkan tanggapan dari berbagai elemen
masyarakat. Salah satu cara yang ditempuh selain melalui saluran daring
(on-line) pada laman http://kurikulum2013.kemdikbud.go.id , juga melalui media
massa cetak. (3) Dilakukan penyempurnaan untuk selanjutnya ditetapkan menjadi
Kurikulum 2013.
Mulai
tahun anak didikan ini (2013/2014), kurikulum SD/SMP/SMA/SMK mengalami
perubahan-perubahan antara lain mengenai proses pembelajaran, jumlah mata anak
didikan, dan jumlah jam anak didikan. Beberapa hal yang baru pada kurikulum
mendatang antara lain:
SD – MI (Sekolah Dasar Madrasah
Ibtidaiyah)
1. Kurikulum 2013 berbasis pada sains.
2. Kurikulum 2013 untuk SD, bersifat tematik integratif.
3. Kompetensi yang ingin dicapai adalah kompetensi yang berimbang
antara sikap, keterampilan, dan pengetahuan, disamping cara pembelajarannya
yang holistik dan menyenangkan.
4. Proses pembelajaran menekankan aspek kognitif, afektif,
psikomotorik melalui penilaian berbasis tes dan portofolio saling melengkapi.
5. Mata anak didika (MAPEL) SD diantaranya:
a. Pendidikan Agama
b. PPKn
c. Bahasa Indonesia
d. Matematika
e. IPA
f. IPS
g. Seni Budaya dan Prakarya (Muatan Lokal; Mulok)
h. Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan (Muatan Lokal;Mulok)
6. Alokasi waktu per jam pelajaran SD 35 menit
7. Banyak jam pelajaran per minggu Kelas I = 30 jam, kelas II= 32
jam, kelas III=34 jam, kelas IV, V,VI=36 jam
SMP – MTs (Sekolah Menengah Pertama –
Madrasah Tsanawiyah)
Mata pelajaran SMP MTs
kurikulum 2013 sebagai berikut:
- Mata
pelajaran:
a.
Pendidikan Agama
dan Budi Pekerti
b.
PPKn
c.
Bahasa Indonesia
d.
Matematika
e.
IPA
f.
IPS
g.
Bahasa Inggris
h.
Seni Budaya (Muatan
Lokal)
i.
Pendidikan Jasmani
Olahraga dan Kesehatan (Muatan Lokal)
j.
Prakarya (Muatan
Lokal)
- Alokasi
waktu per jam pelajaran SMP = 40 menit
- Banyak
jam pelajaran per minggu 38 jam
SMA – MA (Sekolah Menengah Atas –
Madrasah Aliyah)
1. Mata pelajaran SMA – MA kurikulum 2013 sebagai berikut:
- Pendidikan
Agama dan Budi Pekerti
- PPKn
- Bahasa
Indonesia
- Matematika
- Sejarah
Indonesia
- Bahasa
Inggris
- Seni
Budaya (Muatan Lokal)
- Pendidikan
Jasmani Olahraga dan Kesehatan (Muatan Lokal)
- Prakarya
dan Kewirausahaan (Muatan Lokal)
- Alokasi
waktu per jam pelajaran SMA = 45 menit
- Banyak
jam pelajaran per minggu SMA = 39 jam
Kelemahan dan Kelebihan Kurikulum 2013
Kelebihan Kurikulum 2013
1.
Kreatif dan inovatif
2.
Pendidikan karakter juga penting
yang nantinya terintegrasi menjadi satu. Misalnya, pendidikan budi pekerti dan
karakter harus diintegrasikan ke semua program studi. Di sini kurikulum itu
adalah tidak ada perbedaan antara anak desa atau kota. Anak di desa cenderung tidak
diberi kesempatan untuk memaksimalkan potensi mereka.
3.
Potensi anak didik perlu
dirangsang dari awal, misalnya melalui jenjang pendidikan anak usia dini.
4.
Kunci terpenting adalah kesiapan
pada guru.Guru harus terus dipacu kemampuannya melalui pelatihan-pelatihan dan
pendidikan calon guru untuk meningkatkan kecakapan profesionalisme secara terus
menerus.
Kelemahan Kurikulum 2013
1.
KTSP saja baru menuju uji coba
dan ada beberapa sekolah yang belum melaksanakannya. Bagaimana bisa, kurikulum
2013 ditetapkan tanpa ada evaluasi dari pelaksanaan kurikulum sebelumnya
2.
Pemerintah seolah melihat semua
guru dan siswa memiliki kapasitas yang sama dalam kurikulum 2013. Guru juga
tidak pernah dilibatkan langsung dalam proses pengembangan kurikulum 2013.
3.
Tak adanya keseimbangan antara
orientasi proses pembelajaran dan hasil dalam kurikulum 2013. Keseimbangan
sulit dicapai karena kebijakan ujian nasional (UN) masih diberlakukan. UN hanya
mendorong orientasi pendidikan pada hasil dan sama sekali tidak memperhatikan
proses pembelajaran. Hal ini berdampak pada dikesampingkannya mata pelajaran
yang tidak diujikan dalam UN. Padahal, mata pelajaran non-UN juga memberikan
kontribusi besar untuk mewujudkan tujuan pendidikan.
4.
Pengintegrasian mata pelajaran
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dalam mata
pelajaran Bahasa Indonesia untuk jenjang pendidikan dasar. Dewan Pendidikan DIY
menilai langkah ini tidak tepat karena rumpun ilmu mata pelajaran-mata
pelajaran itu berbeda.[53]
Perbedaan
Struktur Kurikulum KTSP dan Kurikulum 2013
1.
Struktur Kurikulum 2013 anak
didikannya lebih sedikit dari pada kurikulum KTSP yaitu yang semula berjumlah
11 mata anak didikan menjadi 7 atau 6
anak didikan. Ke tujuh mata pelajaran tersebut yaitu Pendidikan Agama,
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN), Bahasa Indonesia, Matematika, Pengetahuan
Umum, Kesenian, dan Pendidikan Jasmani dan Olahraga Kesehatan (PJOK).
2.
Kelas I-VI menggunakan metode belajar tematik.
3.
Penambahan waktu mata anak
pelajaran.
4.
Pemisahan mata pelajaran IPA dan
IPS.
Persamaan
Struktur Kurikulum KTSP dan Kurikulum 2013
1.
Dibuat dan dirancang oleh
Pemerintah tepatnya oleh Depdiknas.
2.
Beberapa mata pelajaran masih ada
yang sama seperti KTSP
7. Teori-teori Kurikulum dalam Berbagai Konteks
Teori kurikulum adalah suatu perangkat
pernyataan yang memberikan makna terhadap kurikulum sekolah, makna tersebut
terjadi karena adanya penegasan hubungan antara unsur-unsur kurikulum, karena
adanya petunjuk perkembangan/penggunaan dan evaluasi kurikulum.
Konsep terpenting
yang perlu mendapat penjelasan dalam teori kurikulum adalah konsep kurikulum.
Perkembangan teori kurikulum tidak dapat dilepaskan dari
sejarah perkembangannya. Perkembangan kurikulum telah dimulai pada tahun 1890
dengan tulisan Charles dan McMurry, tetapi secara definitif berawal pada hasil karya Franklin Babbit tahun
1918. Bobbit Bering dipandang sebagai ahli kurikulum yang pertama. Ia perintis
pengembangan praktik kurikulum. Bobbit adalah orang pertama yang mengadakan
analisis kecakapan atau pekerjaan sebagai cara penentuan keputusan dalam
penyusunan kurikulum. Dia jugalah yang menggunakan pendekatan ilmiah dalam
mengidentifikasi kecakapan pekerjaan dan kehidupan orang dewasa sebagai dasar
pengembangan kurikulum.
Menurut Bobbit, inti teori kurikulum itu sederhana, yaitu:
kehidupan manusia. Kehidupan manusia meskipun berbeda-beda pada dasarnya sama,
terbentuk oleh sejumah kecakapan pekerjaan. pendidikan berupaya mempersiapkan
kecakapan-kecakapan tersebut dengan teliti dan sempurna. Kecakapan-kecakapan
yang harus dikuasai untuk dapat terjun dalam kehidupan sangat bermacam-macam,
bergantung pada tingkatannya maupun jenis lingkungan. Setiap tingkatan dan
lingkungan kehidupan menuntut penguasaan pengetahuan, keterampilan, sikap,
kebiasaan, apresiasi tertentu. Hal-hal itu merupakan tujuan kurikulum. Untuk
mencapai hal-hal itu ada serentetan pengalaman yang harus dikuasai anak.
Seluruh tujuan beserta pengalaman-pengalaman tersebut itulah yang menjadi bahan
kajian teori kurikulum.
Werrett W. Charlters
(1923) setuju dengan konsep Bobbit tentang analisis kecakapan
atau pekerjaan sebagai dasar penyusunan kurikulum. Charters lebih
menekankan pada pendidikan vokasional.
Ada dua hal yang sama dari teori kurikulum, teori Bobbit
dan Charters adalah: Pertama, keduanya setuju atas penggunaan teknik
ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah kurikulum. Dalam hal ini mereka
dipengaruhi oleh gerakan ilmiah dalam pendidikan yang dipelopori oleh E.L.
Thorndike, Charles Judd, dan lain-lain. Kedua, keduanya bertolak pada
asumsi bahwa sekolah berfungsi mempersiapkan anak bagi kehidupan sebagai orang
dewasa. Untuk mencapai hal tersebut, perlu analisis tentang tugas-tugas dan
tuntutan dalam kurikulum disusun keterampilan, pengetahuan, sikap, nilai, dan
lain-lain yang diperlukan untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan orang
dewasa. Bertolak pada hal-hal tersebut mereka menyusun kurikulum secara lengkap
dalam bentuk yang sistematis.
1920: Pendidikan
Berpusat kepada Anak
Mulai tahun 1920, karena pengaruh pendidikan progresif,
berkembang gerakan pendidikan yang berpusat pada anak (child centered). Teori
kurikulum berubah dari yang menekankan pada organisasi isi yang diarahkan pada
kehidupan sebagai orang dewasa (Bobbit dan Charters) kepada kehidupan
psikologis anak pada saat ini. Anak menjadi pusat perhatian pendidikan. Isi
kurikulum harus didasarkan atas minat dan kebutuhan siswa. pendidikan
menekankan kepada aktivitas siswa, siswa belajar melalui pengalaman. Penyusunan
kurikulum harus melibatkan siswa.
Perkembangan teori kurikulum selanjutnya dibawakan oleh
Hollis Caswell. Dalam peranannya sebagai ketua divisi pengembang kurikulum di
beberapa negara bagian di Amerika Serikat (Tennessee, Alabama, Florida,
Virginia), is mengembangkan konsep kurikulum yang berpusat pada masyarakat atau
pekerjaan (society centered) maka Caswell mengembangkan kurikulum yang
bersifat interaktif. Dalam pengembangan kurikulumnya, Caswell menekankan pada
partisipasi guru-guru, berpartisipasi dalam menentukan kurikulum, menentukan
struktur organisasi dari penyusunan kurikulum, dalam merumuskan pengertian
kurikulum, merumuskan tujuan, memilih isi, menentukan kegiatan belajar, desain
kurikulum, menilai hasil, dan sebagainya.
1947: Tiga Tugas
Kurikulum
Pada tahun 1947 di Univeristas Chicago berlangsung
diskusi besar pertama tentang teori kurikulum. Sebagai hasil diskusi tersebut
dirumuskan tiga tugas utama teori kurikulum sebagai berikurt: (1) mengidentifikasi masalah-masalah penting yang
muncul dalam pengembangan kurikulum dan konsep-konsep yang mendasarinya. (2)
menentukan hubungan antara masalah-masalah tersebut dengan struktur yang
mendukungnya. (3) mencari atau meramalkan pendekatan-pendekatan pada masa yang
akan datang untuk memecahkan masalah tersebut.
1949: Empat Pertanyaan Pokok Inti Kajian Kurikulum
Ralph W. Tylor (1949) mengemukakan empat pertanyaan pokok yang menjadi inti
kajian kurikulum adalah: (1) Tujuan pendidikan yang manakah yang ingin dicapai
oleh sekolah? (2) pengalaman pendidikan yang bagaimanakah yang harus disediakan
untuk mencapai tujuan tersebut? (3) Bagaimana
mengorganisasikan pengalaman pendidikan tersebut secara efektif? (4) Bagaimana kita menentukan bahwa tujuan tersebut telah
tercapai?
Empat pertanyaan
pokok tentang kurikulum dari Tylor ini banyak dipakai oleh para pengembangan
kurikulum berikutnya. Dalam konferensi nasional perhimpunan pengembang dan
pengawas kurikulum tahun 1963 dibahas dua makalah penting dari George A.
Beauchamp dan Othanel Smith. Beauchamp menganalisis pendekatan ilmiah tentang
tugas-tugas pengembangan teori dalam kurikulum. Menurut Beauchamp, teori
kurikulum secara konseptual berhubungan erat dengan pengembangan teori dalam
ilmu-ilmu lain. Hal-hal yang penting dalam pengembangan teori kurikulum adalah
penggunaan istilah-istilah teknis yang tepat dan konsisten, analisis dan
klasifikasi pengetahuan, penggunaan penelitianpenelitian preckktif untuk
menambah konsep, generalisasi atau kaidahkaidah, sebagai prinsip-prinsip yang
menjadi pegangan dalam menjelaskan fenomena kurikulum. Berkaitan hal terebut,
maka Othanel Smith menguraikan peranan filsafat dalam pengembangan teori
kurikulum yang bersifat ilmiah. Menurut Smith, ada tiga sumbangan utama
filsafat terhadap teori kurikulum, yaitu dalam: (1) merumuskan dan mempertimbangan tujuan
pendidikan, (2) memilih dan menyusun bahan, dan (3) perluasan bahasa khusus
kurikulum.
1964: Teori Kurikulum dari Model Sistem
James B.
MacDonald (1964) melihat teori kurikulum dari model sistem. Ada empat sistem dalam
persekolahan yaitu: kurikulum,
pengajaran (instruction), mengajar (teaching), dan belajar. Interaksi dari empat sistem ini dapat digambarkan dengan
suatu diagram Venn. Melihat kurikulum sebagai suatu sistem dalam sistem yang
lebih besar yaitu persekolahan dapat memperjelas pemikiran tentang konsep
kurikulum. Penggunaan model sistem juga dapat membantu para ahli teori
kurikulum menentukan jenis dan lingkup konseptualisasi yang diperlukan dalam
teori kurikulum.
Beauchamp merangkumkan perkembangan teori kurikulum
antara tahun 1960 sampai dengan 1965. la mengidentifikasi adanya enam komponen
kurikulum sebagai bidang studi, yaitu: landasan kurikulum, isi kurikulum,
desain kurikulum, rekayasa kurikulum, evaluasi dan penelitian, dan pengembangan
teori.
1966: Analisis
Struktural Fungsional
Thomas L. Faix (1966) menggunakan analisis
struktural-fungsional yang berasal dari biologi, sosiologi, dan antropologi
untuk menjelaskan konsep kurikulum. Fungsi kurikulum dilukiskan sebagai proses
bagaimana memelihara dan mengembangkan strukturnya. Ada sejumlah pertanyaan
yang diajukan dalam analisis struktural-fungsional ini. Topik dan subtopik dari
pertanyaan ini menunjukkan fenomena-fenomena kurikulum. Pertanyaan-pertanyaan
itu menyangkut sebagai berikut: (1)
pertanyaan umum tentang fenomena kurikulum. (2) sistem kurikulum. (3) unit
analisis dan unsur-unsurnya. (4) struktur sistem kurikulum. (5) fungsi sistem
kurikulum. (6) proses kurikulum, dan (7) prosedur analisis
struktural-fungsional.
Empat Teori Kurikulum
Alizabeth S. Maccia. (1965) dari hasil
analisisnya menyimpulkan adanya empat teori kurikulum, yaitu:
(1)
teori kurikulum (curriculum theory),
(2)
teori kurikulum-formal (formal-curriculum theory),
(3)
teori kurikulum valuasional (valuational curriculum theory), dan
(4)
teori kurikulum praksiologi (praxiological curriculum theory).
Teori kurikulum (curriculum
Theory atau event theory) merupakan teori yang menguraikan
pemilihan dan pemisahan kejadian/peristiwa kurikulum atau yang berhubungan
dengan kurikulum dan yang bukan. Menurut Maccia, kurikulum merupakan bagian
dari pengajaran, teori kurikulum merupakan subteori pengajaran. Teori kurikulum formal memusatkan
perhatiannya pada struktur isi kurikulum. Teori
kurikulum valuasional mengkaji masalah-masalah pengajaran apa yang berguna/
berharga bagi keadaan sekarang. Teori kurikulum praksiologi merupakan suatu pengkajian tentang proses untuk mencapai tujuan-tujuan
kurikulum. Walaupun mungkin, kita tidak setuju dengan seluruh pendapat Maccia,
tetapi is telah berhasil menunjukkan sejumlah dimensi kurikulum yang cukup
berharga untuk menjelaskan teori kurikulum.
1967: perbedaan
antara Kurikulum dengan Proses Pengembangan Kurikulum
Mauritz Johnson (1967) membedakan antara kurikulum dengan
proses pengembangan kurikulum. Kurikulum merupakan basil dari sistem
pengembangan kurikulum, tetapi sistem pengembangan bukan kurikulum. Menurut
Johnson, kurikulum merupakan seperangkat tujuan belajar yang terstruktur. Jadi,
kurikulum berkenaan dengan tujuan dan bukan dengan kegiatan. Berdasarkan
rumusan kurikulum tersebut, pengalaman belajar anak menjadi bagian dari
pengajaran. Berkaitan hal tersebut, maka Johnson menganalisis enam unsur
kurikulum, yaitu:
1.
A curriculum is a structured
series of intended learning out comes.
2.
Selection is an essential aspect
of curriculum formulation.
3.
Structure is an essential
charactistic of curriculum.
4.
Curriculum guide instrcution
5.
Curriculum evaluation involeves
validation of both selection and structure.
6.
Curriculum is the criterion for
instructional evaluation.
1967: Tiga Unsur Dasar Kurikulum
Jack R. Frymier
(1967) mengemukakan tiga unsur dasar kurikulum, yaitu: aktor, artifak, dan pelaksanaan. Aktor
adalah orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan kurikulum. Artifak adalah
isi dan rancangan kurikulum. Pelaksanaan adalah proses interaksi antara aktor
yang melibatkan artifak. Studi kurikulum menurut Frymier meliputi tiga langkah:
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Ada beberapa
masalah atau isu substansial dalam pembahasan tentang teori kurikulum, yaitu
definisi kurikulum, sumber-sumber kebijaksanaan kurikulum, desain kurikulum,
rekayasa kurikulum, peranan nilai dalam pengembangan kurikulum, dan implikasi
teori kurikulum.
Semua rumusan
teori kurikulum diawali dengan definisi. Definisi di sini bukan sekadar
definisi istilah, melainkan definisi konsep, isi dan ruang lingkup, serta
struktur. Beberapa pertanyaan umum tentang karakteristik kurikulum sebagai
bidang studi yang perlu didefinisikan umpamanya, apakah kurikulum merupakan
suatu konsep dalam sistem persekolahan? Apakah kurikulum mencakup mengajar dan
pengajaran? Sampai sejauh mana kegiatan belajar siswa menjadi bagian kurikulum?
Apakah ruang lingkup kurikulum sebagai bidang studi? Beberapa pertanyaan yang
lebih khusus, yang lebih berkenaan dengan karakteristik desain kurikulum,
umpamanya apakah kurikulum harus memiliki serangkaian tujuan khusus? Apakah
kurikulum perlu memiliki sejumlah materi untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut?
Apakah kurikulum perlu mengadakan rumusan yang lebih spesifik tentang rencana
dan bahan pengajaran? Apakah perlu ada spesifikasi tentang makna perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi kurikulum?[54]
Tahun 1980:
Tahun 1990:
Tahun 2000:
Tahun 2010:
Tahun 2013:
Tahun 2015:
8. Pengembangan Kurikulum
Pengembangan
Kurikulum dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut:
1.
Pengembangan Kurikulum Nasional:
Visi, Misi bangsa – SD sampai Perguruan
Tinggi (Kurikulum Inti)
2.
Pengembangan Kurikulum Gereja:
Visi, Misi Gereja yang kemudian
dijabarkan dalam berbagai kegiatan ibadah (Kurikulum Ibadah Sekolah Minggu, Remaja-Pemuda, Ibadah
Umum, Kurikulum Persekutuan Doa, Kurikulum Persekutuan Wanita atau Pria,
Kurikulum Sekolah Orientasi Melayani dan
lainnya).
3.
Pengembangan Kurikulum
Berdasarkan Kebutuhan Akademis (Kurikulum Konsentrasi)
4.
Pengembangan Kurikulum
Institusional: Lembaga Institusi.
5.
Pengembangan Kurikulum
Ekstrakulekuler (Hidden Curriculum).
6.
Pengembangan Kurikulum
Berdasarkan Kebutuhan Pemakai (Lapangan Kerja).
7.
Pengembangan Kurikulum
Berdasarkan Masyarakat.
8.
Pengembangan Kurikulum
Berdasarkan Kompetensi Siswa.
9.
Pengembangan Kurikulum Keluarga.
10.
Pengembangan Kurikulum dalam
seminar, training dan workshop yang berkelanjutan.
11.
Pengembangan Kurikulum
Berbasis Kognitif
12.
Pengembangan Kurikulum Berbasis
Afektif
13.
Pengembangan kurikulum Berbasis
Psikomotris
14.
Pengembang Kurikulum Anak Usia Dini
Contoh:
Kurikulum Pendidikan Figur Keteladanan
Oleh Harianto GP
Proses
pendidikan di antara guru dan anak didik mulai menuai
gugatan dari orangtuanya. Para orangtua
mulai menggugat karena anaknya mengalami “pelecehan seks” (paedofil) atau bullying
di lembaga pendidikan tersebut. Guru yang “digugu lan ditiru” tidak mampu
memberi keteladan hidup terhadap anak
didik justru guru menjadi “momok” yang menekan anak didiknya.
Fenomena
tersebut terjadinya: Pertama, kasus-kasus “paedofil” di Jakarta Internasional School, Emon
(Sukabumi), Samai dan Sodikin (Tegal), Bali dan Batam. Dari hasil Studi PSKK UGM yang dimulai
pada 2001 menunjukkan selama kurun waktu delapan tahun (1996-2004) terdapat 25
paedofil asal Amerika Serikat, Australia, Inggris, Jerman, Perancis, dan
Belanda yang beroperasi di Bali. Selanjutnya bahwa tercatat bahwa sepanjang tahun 2013 Komnas Perlindungan
Anak menerima 3.023 pengaduan kasus kekerasan anak. Jumlah tersebut mengalami
peningkatan hingga 60 % dibanding tahun
sebelumnya yang hanya 1.383 kasus. Dari jumlah tersebut 58 % merupakan kasus
kejahatan seksual pada anak.
Kedua, sistem hukum maupun kebijakan di
Indonesia belum bisa memberikan perlindungan terhadap anak dari berbagai tindak
kekerasan dan ekspolitasi. Karena itu Rabu (14/5) Pemerintah telah mengadakan pertemuan dengan
berbagai kalangan pakar termasuk pendidik
yang membicarakan sanksi kasus
paedofil. Pemerintah berjanji
mengeluarkan Perpu terhadap hal tersebut.
Ketiga, kejahatan terhadap anak-anak telah terjadi di semua belahan dunia.
Pendidikan Singapura misalnya, diguncang skandal seksual yang melibatkan guru
perempuan berusia 32 tahun dan anak didik laki-laki berusia 15 tahun. Singapura juga diguncang kasus penggelapan uang universitas,
tindakan cabul, penggunaan narkoba dan skandal seks dengan anak didik. Paling
tidak sudah 10 kasus diproses pengadilan tahun ini. Di Amerika Utara, sekitar 15% - 25% wanita dan 5%-15% pria yang mengalami pelecehan
seksual saat mereka masih anak-anak. Sebagian besar pelaku pelecahan seksual
adalah orang yang dikenal oleh korban mereka adalah: 30% adalah keluarga dari si anak, paling
sering adalah saudara laki-laki, ayah, paman, atau sepupu; 60% adalah kenalan
lainnya seperti: teman dari keluarga, pengasuh, atau tetangga, orang asing;
dan 10% adalah pelanggaran dalam kasus
penyalahgunaan seksual anak. Sepanjang
tahun 2011, di Eropa ditangkap 184 anggota yang diduga keluar dari 670
orang yang diidentifikasi dari lingkaran paedofil dengan melibatkan 230
anak-anak sebagai korban.
Hancurnya Moral dan Prestasi
Anak Bangsa
Membangun bangsa berarti juga “mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya”
(Tujuan Pendidikan Nasional). Semuannya itu dimulai dari dini adalah menyiapkan anak sejak
kecil menuju manusia seutuhnya. Tetapi kenyataan di lapangan, saya melihat bila persoalan kejahatan
terhadap anak-anak tidak segera diatasi maka akan menghancukan peradaban bangsa
ini. Telah terjadi pengerusakan integritas moral dan prestasi belajar anak-anak
bangsa. Hasil studi yang dilakukan National
Youth Violence Prevention Resource Center Sanders (2009) menunjukkan bahwa bullying dapat membuat remaja merasa
cemas dan ketakutan, mempengaruhi konsentrasi belajar di sekolah dan menuntun
mereka untuk menghindari sekolah. Bila bullying
berlanjut dalam jangka waktu yang lama, dapat mempengaruhi self-esteem anak didik, meningkatkan isolasi sosial, memunculkan
perilaku menarik diri, menjadikan remaja rentan terhadap stress dan depreasi,
serta rasa tidak aman. Bahkan dalam kasus yang lebih ekstrim, bullying dapat mengakibatkan remaja
berbuat nekat dan bisa membunuh atau melakukan bunuh diri (commited suicide). Dengan demikian konsentrasi belajar terganggu
dan para anak didik terhalang untuk berprestasi.
Penelitian Banks (1993-2009)
menunjukkan bahwa perilaku bullying
berkontribusi terhadap rendahnya tingkat kehadiran, rendahnya prestasi akademik
anak didik, rendahnya self-esteem,
tingginya depresi, tingginya kenakalan remaja dan kejahatan orang dewasa.
Dampak negatif bullying juga tampak
pada penurunan skor tes kecerdasan (IQ) dan kemampuan analisis anak didik.
Berbagai penelitian juga menunjukkan hubungan antara bullying dengan meningkatnya depresi dan agresi.
Evaluasi
Prestasi Moral
Terjadinya
pengerusakan moral dan prestasi belajar anak-anak bangsa tidaklah tepat bila
disalahkan pada lembaga pendidikan atau guru tetapi persoalan ada pada moral
guru itu sendiri dan moral pelaku di luar guru – yang mereka cenderung gaya hidupnya abmoral. Bagi saya
adalah: Pertama, lembaga pendidikan termasuk guru tetap merupakan pelaku
utama yang tidak dapat ditolak untuk mendidik anak-anak kita. Meski akibat dari
kejahatan terhadap anak-anak membuat
kepercayaan orangtua anak didik terhadap fungsi lembaga pendidikan
tersebut jadi semakin merosot itu adalah tantangan meningkatkan kualitas
pendidikan. Lingkungan pendidikan belum optimal mampu untuk melahirkan moral
dan prestasi belajar anak-anak bangsa
ini sehingga semakin sulit berharap akan lahirnya para pemimpin yang dapat
menjadi teladan bagi rakyatnya.
Kedua, guru
bukanlah menjadi penghalang pertumbuh anak tetapi guru menyiapkan anak untuk
mampu melanjutkan jenjang pendidikan anak yang lebih tinggi lagi. Guru memang
mempunyai tugas yang mulia. Guru menjadi sangat penting bagi pendidikan
peradaban bangsa ini. Karena itu justru guru wajib memberantas penyebab
seseorang menjadi paedofil atau
kejahatan lainnya terhadap anak didik. Berkaitan hal ini sebuah studi yang didanai oleh USA
National Institute of Drug Abuse menemukan bahwa "Di antara lebih dari 1.400 perempuan
dewasa, pelecehan seksual masa kanak-kanak terkait dengan ketergantungan obat
terlarang, alkohol dan gangguan kejiwaan. Rasio keterkaitan itu sangat
menyolok: misalnya, perempuan yang mengalami pelecehan seksual non kelamin pada
masa kecil 2,83 kali lebih besar ketergantungan obat ketika dewasa dibandingkan
dengan perempuan normal." Dengan
demikian guru juga bertanggung jawab terhadap anak didiknya untuk tidak terlibat menjadi pemakai dan
pecandu obat terlarang (alkohol).
Ketiga, UU No.14 Tahun 2005 menyebutkan beberapa persyaratan menjadi guru
adalah: memiliki kualifikasi akademik (S1 Pendidikan), mempunyai kompetensi,
mempunyai sertifikat pendidik serta sehat jasmani-rohani dan mempunyai kemampuan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional. Tetapi bagi
saya semua itu perlu ditambah persyaratan “evaluasi
prestasi moral (social) kehidupan seorang guru”. Dengan latar mengetahui belakang prestasi
moral (sosial yang baik) maka ia dapat menjalankan tugas sebagai guru secara
optimal.
Pendidikan Figur Keteladanan
Membangun
peradaban bangsa ini dibutuhkan pendidikan figur keteladanan sebagai “Role
Model”. Sebenarnya pendidikan peradaban bangsa memang sudah diselesaikan dengan
pendidikan berkarakter moral. Seorang yang berkarakter berarti seseorang
memiliki adalah: Personal
Improvement, Social Skill, dan Comprehensive Problem Solving. Dengan demikian bahwa pendidikan
berkarakter moral sebagai proses transfer pengetahuan, perasaan,
penentuan sikap dan tindakan terhadap fenomena berdasarkan nilai atau aturan
universal sehingga peserta didik mempunyai kepribadian yang berintegritas
tinggi terhadap nilai atau aturan tersebut dan mampu melakukan hubungan sosial
yang harmonis tanpa mengesampingkan nilai atau aturan yang ia junjung tinggi
tersebut. Tetapi “karakter moral”
tersebut perlu dilanjutkan dalam muatan mata pelajaran baik di sekolah dasar
hingga perguruan tinggi dengan penekankan Pendidikan Figur Keteladanan sebagai Role Model.
Pendidikan
berkarakter moral memerlukan figur keteladanan sebagai role model
untuk menegakkan nilai atau aturan yang telah disepakati bersama. Di sinilah
peran pendidik khususnya guru, orang tua, masyarakat dan pemerintah sebagai
figur teladan agar peserta didik mampu melakukan imitasi terhadap perilaku
moral. Jadi persoalan-persoalan
kejahatan sekolah tidak cukup ditangani oleh persyaratan menjadi seorang guru,
tetapi juga melihatkan lembaga pendidikan itu sendiri, orangtua, masyarakat dan
pemerintah. Integrasi di antara semua itu perlu merumuskan Standard Operating Procedure (SOP) yang dikomandoi oleh
Pemerintah.
Contoh:
Pengembangan Kurikulum PAUD[55]
Kurikulum PAUD
adalah seperangkat rencana tentang tujuan pembelajaran anak usia dini yang
bekisar antara umur 0 sampai 6 tahun yang bermaksud untuk menumbuhkembangkan
potensi-potensi anak secara optimal. Di dalam kurikulum PAUD juga terdapat
manajemen yang bertujuan untuk mengelolah secara efektif dan efisien tentang
seperangkat pembelajaran yang harus dikuasai oleh peserta didik. Agar kurikulum
PAUD dapat dikelola secara efektif dan efisien, maka terdapat prinsip-prinsip
sebagai berikut:
1.
Besifat komprehensif. Bahwa
kurikulum pembelajaran di dalam PAUD harus secara menyeluruh mengembangkan
semua aspek yang ada di dalam diri peserta didik secara optimal.
2.
Sesuai dengan perkembangan peserta
didik. Bahwa kurikulum harus mampu melihat perkembangan anak secara usianya.
Jadi dapat membuat kegiatan-kegiatan sesuai dengan kematangan emosi dan sosial
peserta didik.
3.
Melibatkan orangtua. Karena
orangtua merupakan guru pertama bagi anak dan merupakan pendidik utamanya. Oleh
karena itu, peran orangtua sangat penting dalam pelaksanan pendidikan.
4.
Melihat kebutuhan anak. Kurikulum
harus dapat menampuang kebutuhan, kemampuan, dan minat para peserta didiknya.
5.
Merefleksikan kebutuhan dan
nilai-nilai masyarakat. Kurikulum juga harus mampu mengantarkan peserta didik
untuk mengenali nilai-nilai budaya yang ada di lingkungan sekitarnya.
Sebuah kurikulum
yang sudah teroganisir dengan baik, bisa saja berubah sewaktu-waktu sesuai
dengan perubahan-perubahan yang terjadi didalam prosesnya. Dengan demikian,
kurikulum dapat diubah dengan menambah, mengurangi dan memperbaiki kurikulum
secara berkala. Kurikulum yang sudah berjalan dengan baik akan mudah untuk
dievaluasi. Dari hasil evaluasi inilah akan muncul beberapa
pertimbangan-pertimbangan sebagai bahann acuan untuk mengembangkan kurikulum
PAUD.jika sebuah manajemen PAUD berpegang kepada prinsip-prinsip di atas, maka
akan sangat mudah juga untuk dikembangkan.
Pengembangan kurikulum
dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, yaitu:
1)
Model Pendekatan Proses Pematangan
Model ini
menganggap bahwa setiap kebutuhan anak dipengaruhi sejak bawaan lahirnya. Namun
dapat berubah sesuai dengan lingkungan pembentuk kepribadiannya. Terdapat
beberapa aspek dalam mengembangkan model ini, yaitu:
1.
Aspek administrative. Dalam aspek
ini mengatur tentang tata ruang, bagaimana ruang gerak sang anak dapat
berkembang sesuai dengan kebutuhannya yang didesain semenarik mungkin.
2.
Aspek Pendidikan. Pendidikan
peserta didik menggunakan tema-tema yang didasarkan kepada minat anak yang
diaplikasikan ke dalam beberapa permainan edukatif.
3.
Aspek evaluasi program. Pendekatan
proses pematangan ini dikategorikan berhasil jika peserta didik mengalami
kemajuan dalam hal perkembangan fisik, kognitif, sosial, moral dan spiritual.
2)
Model Pendekatan Tingkah Laku Lingkungan
Pendekatan model
ini menganggap bahwa setiap anak dilahirkan dengan membawa “satu batu tulis
kosong dan tingkah laku positif dibentuk oleh lingkungan sekitarnya.
Komponen-komponen pendekatan model ini adalah:
1.
Komponen Administratif. Konsep
tata ruang yang disegdiakan harus bisa menghindarkan peserta didik dari hal-hal
yang akan menganggunya ketika belajar. Model pembelajarannya sesuai dengan
sarana dan prasarana sebagaimana fungsinya.
2.
Komponen Pendidikan. Aktifitas
pembelajarannya berorientasi kepada pencapaian pembelajaran budaya secara
khusus. Berbagai aktivitas dirancang dan dihasilkan oleh guru secara langsung.
3.
Komponen Evaluasi Program. Model
pendekatan ini dianggap berhasil jika peserta didik telah mencapai hali belajar
sesuai dengan target yang diinginkan.
[1] Sulipan, “Permasalahan
dalam Implementasi KTSP di Sekolah”; http://sekolah.8k.com/rich_text_13.html (Diakaes 14 Juni 2015).
[2] “Sejumlah Masalah Dalam
Kurikulum 2013”; http://www.kompasiana.com/wijayalabs/sejumlah-masalah-dalam-kurikulum-2013_5520371c81331189709de667 (Diakses 15 Juni 2015).
[3]“
Tiga Masalah
Guru dalam Implementasi Kurikulum 2013”;
http://news.okezone.com/read/2014/10/16/65/1052959/tiga-masalah-guru-dalam-implementasi-kurikulum-2013 (Diakses 14 Juni 2015).
[4]“Pencabutan Kurikulum 2013:
Kembali Lagi ke KTSP 2006?”; http://www.kompasiana.com/rivaldojulian/pencabutan-kurikulum-2013-kembali-lagi-ke-ktsp-2006_54f3a6287455139d2b6c7b8c (Diakses 14 Juni 2015).
[5]“Kembali ke KTSP juha menimbulkan
Masalah Baru”; http://www.maribelajarbk.web.id/2014/12/kembali-ke-ktsp-juga-menimbulkan.html (Diakses 14 Juni 2015).
[6]Fadli, “Masalah Kurikulum dalam
Pendididkan”; https://fadlibae.wordpress.com/2010/03/24/masalah-kurikulum-dalam-pendidikan/ (Diakses 14 Juni 2015).
[7]Muhammad
Ali, Pengembangan Kurikulum di Sekolah (Bandung: Sinar Baru, 1992) 3.
[8]M.
Moh. Rifai, Administrasi dan Supervisi Pendidikan (Bandung: Jemmars, 1982)
115.
[9]Muhammad
Ali, Pengembangan Kurikulum di Sekolah, 2.
[10]Ibid.
2-3.
[11]Eli
Tanya, Gereja dan Pendidikan Agama Kristen (Cipanas: STT Cipanas,
1999) 27.
[12]Randolph
C. Miller, Education for Christian Living (New Jersey: Prentice Hall,
1956) 44.
[13]Abdul
Rajak Husain, Penyelenggaraan Pendidikan Nasional (Solo: CV Aneka, 1995)
34.
[14] Dalam hal ini,
dibandingkan negara-negara yang sudah maju yang pada umumnya masih mempunyai
kurikulum nasional atau kurikulum negara bagian, justru Indonesia telah lebih
dahulu melakukan lompatan yang demikian drastis, karena penyusunan kurikulum di
Indonesia telah diserahkan kepada satuan pendidikan sekolah (school-based curriculum) dengan
KTSP-nya, selaras dengan pelaksanaan manajemen berbasis sekolah (school-based curriculum). Dalam hal ini,
pemerintah cq Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hanya menyusun standar isi
kurikulum dan panduan penyusunan kurikulumnya. Sedangkan di Indonesia memang
sangat dinamis dalam proses pengembangan kurikulum. Pengelolaan dan
penyelenggaraan pendidikan memerlukan tiga komponen utama pendidikan, yakni:
siswa, guru, dan kurikulum. Di samping tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, pengembangan kurikulum baru seharusnya memerlukan payung hukum
yang kuat berupa Undang-Undang.
[15]W.P.
Napitupulu, Dimensi-dimensi Pendidikan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1969)
58.
[16]Ornstein/Levine, Foundations
of Education (Dallas: Houghton Mifflin Company, 1989) 528.
[17]Muhammad
Ali, Pengembangan Kurikulum di Sekolah, 52-60.
[18]Baca Ralph Tyler, Basic Principles
of Curriculum and Instruction (Chicago-London: The University of Chicago
Press, 1970).
[19]Paul H. Vieth, The Church and
Christian Education (ST. Louis: Bethany Press, 1951) 36-37.
[20]Eli Tanya, Gereja dan
Pendidikan Agama Kristen, 29.
[21]Fadli, “Masalah Kurikulum dalam
Pendididkan”; https://fadlibae.wordpress.com/2010/03/24/masalah-kurikulum-dalam-pendidikan/ (Diakses 14 Juni 2015).
[23]Greta Hofmann Nemiroff, Reconstructing
Education (New York: Bergin & Garvey, 1992) 143.
[24] Baca Muhammad Ali, Pengembangan
Kurikulum di Sekolah , 4-14.
[25]Werner C. Graendorf, Introduction to Biblical Christian Education (Chicago: Moody
Press, 1981) 283-284.
[26]James D. Smart, The Teaching Ministry of the Church
(Philadelphia: The Westminster Prees, Tp.th.) 138.
[27]Charles H. Kraft, Antropology for Christian Witness
(Maryknoll: Orbis Books, 1996) 454.
[28]Donald A. McGavran, “The Bridges
of God”, Perspectives on the World
Christian Movement, Revised Edition (1992) B-139.
[29]Ibid. B-156.
[30]Donald A. McGavran, Understanding Church Growth (Grand
Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 1990) 253.
[31]Lesslie Nenbigin, Injil dalam Masyarakat Majemuk (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1992) 54.
[32]Daniel J. Adam, Teologi Lintas Budaya (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1922) 84.
[33]David J. Hesselgrave, Kontekstualisasi (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1992) 54.
[34]D. Royal Brogham, Merencanakan Misi lewat Gereja-gereja Asia
(Malang: Gandum Mas, t.th.) 100.
[35]Budiman R.L., Pelayanan Lintas Buidaya dan
Kontekstualisasi (tp. kt.: tp. p., tp. th.)
47.
[36]H. W. Byrne, A Christian Approarch to Education: Educational Theory and Application
(Grand Rapids: Zondervan Publishing
House, 1981) 166.
[37] Artikel ini diambil dari: RBC Ministries. CD SABDA-Topik 27599.
[38]E.G. Homrighausen, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1997) 63.
[39]Lois E. LeBar, Education That is Christian (Wheaton:
Victor Books, 1989) 256.
[40]Robert L.
Woodruff, Education on Purpose: Model for
Education in World Areas (tp.k.: QUT Publications, 2001) 14.
[41] James D. Smart, The Teaching Ministry of the Church,
144-153.
[42]Ibid. 42.
[43]E.G. Homrighausen, Pendidikan Agama Kristen, 70.
[44]George R. Beasley-Murray, Word Biblical Commentary John (Waco:
Word Books, 1987) 49.
[45]Ibid. 252.
[46]H. W. Byrne, A Christian Approarch to Education: Educational Theory and Application,
237-238.
[47]Arthur W. Pink, Tafsir Injil Yohanes (Surabaya:
Yakin, tp. Th) 56-57.
[48]Ibid. 295.
[49]George R. Beasley-Murray, Word Biblical Commentary John, 252.
[50]Baca Leon Morris, Reflections on the Gospel John: The True Vine John 11-16 16 (Grand
Rapids: Baker Book House, 1988) 493.
[51] Leon Morris, Reflections on the Gospel John: The True
Vine John, 11-490.
[52] http://www.kopertis12.or.id/2012/09/22/perbedaan-buku-teks-buku-ajar-dan-buku-diktat%E2%80%8F.html (Diakses 15 Juni 2015).
[53] http://edukasi.kompas.com (Diambil
tanggal 15 April 2013).
[54] Heri Suhendri, “Teori Kurikulum”;
[55] Cahyaningtyas Rizky Soft,
“Pengembangan
Kurikulum PAUD”; http://www.kompasiana.com/cahyaningtyasrizky09/pengembangan-kurikulum-paud_54f704aba3331146228b4641 (Diakses 15
Juni 2015).
[56] Agus Dwianto ,”Model-model
Pengembangan Kurikulum”; http://www.academia.edu/8674640/Paper_Model-model_Pengembangan_Kurikulum (Diakses 12 Juni 2015).
[57] “UNESA”; http://www.unesa.ac.id/
(Diambil tanggal 18 April 2013).
[58] “Universitas Negeri Yogjakarta;
“http://pps.uny.ac.id/ilmu-pendidikan-s3” (Diambil tanggal 18 April 2013).
[59] Catatan: (1) Tersedia mata kuliah pilihan sebanyak 43 sks dan harus diambil minimal 15
sks. Bilamana mahasiswa menginginkan mengambil program
subkonsentrasi, minimal 9 kredit. (2) Mata kuliah bertanda *) dilaksanakan
dalam bentuk individual independent study. (3) Mata kuliah bertanda
**) dilaksanakan dalam bentuk groupindependent study. (4)
Pengambilan mata kuliah pilihan akan diatur dalam pedoman tersendiri.
[60]http://id.wikipedia.org/wiki/Universitas_Negeri_Jakarta#Fakultas_Ilmu_Pendidikan (diakses 12 Juni 2015).
[61]“Universitas Pendidikan
Indonesia”; http://www.upi.edu/akademik/kurikulum/struktur (Diakses tanggal 18
April 2013).
[62] Pascasarjana “Universitas Negeri
malang”; http://pasca.um.ac.id/?page_id=18( Diakses tanggal 19 April 2013).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar