SEKOLAH TINGGI TEOLOGI BETHANY
SURABAYA
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN
SILABUS
Jurusan : Pendidikan
Agama Kristen
Mata
Kuliah :
Filsafat dan Sejarah PAK
Bobot : 2 SKS
Program : S1- PAK
Standar Kompetensi :
Mahasiswa mampu memahami hakekat, Tujuan dan
Sejarah PAK
Mahasiswa
mampu Mengenal PAK dalam tinjuan Filsafat Kristen
Dosen Pengampu :
Eko Basuki,M.Pd.K
Kompetensi Dasar |
Indikator |
Pengalaman Belajar |
Materi Pokok |
Alokasi Waktu |
Sumber/Bahan/Alat |
Penilaian |
1.
Mendefinisikan arti Pendidikan agama Kristen, Hakekat Pendidikan agama
Kristen dan tujuan Pendidikan Agama Kristen |
a.
menjelaskan arti pendidikan Agama Kristen b.
menguraikan hakekat Pendidikan agama Kristen c.
menyebutkan Tujuan pendidikan Agama Krtisten - M |
a.
penjelasan dari kelas b.
diskusi antar teman c.
Tanya jawab dosen dengan mahasiswa |
a. arti
pendidikan Agama Kristen (PAK) b. Hakekat
Pendidikan Agama Kristen (PAK) c. Tujuan
Pendidikan Agama Kristen (PAK) |
1x100 menit |
Diktat perkuliahan
literature yang terkait, internet dan Alkitab |
Tes
Lisan, tes subyektif (uraian) |
2.
Menjelaskan Pendidkan Agama Kristen (PAK) dalam Perjanjian LAma |
a.
Menjelaskan Prinsip-prinsip Pendidkan Agama Kristen dalam Ulangan 6 b.
Menjelaskan Estafet Rohani Pendidikan Agama Kristen menurut Mazmur 78 c.
menjelaskan prinsip pengajaran dalam Pengkhotbah 11 dan 12 |
a. penjelasan dari kelas belajar b. Diskusi antar teman satu meja c. Tanya Jawab dosen dengan mahasiswa |
a. Prinsip
Pendidikan Agama Kristen menurut Ulangan 6:1 b. Tujuan
Pendidikan Agama Kristen dalam Ulangan 6:2-3 c.
Langkah-langkah mengajaran Pendidikan Agama Kristen menurut Ulangan 6:6-9 d. pengajaran
estafet rohani Pendidikan Agama Kristen menuju Mzm 78 |
1x100 menit |
Diktat
Perkuliahan, Literatur yang terkait, internet dan alkitab |
Lisan
& subyektif |
3.
menjelaskan Pendidikan Agama Kristen (PAK) dalam Perjanjian Baru |
a.
Menguraikan prinsip-prinsip
pengajaran Tuhan Yesus b.
Mjelaskan pengajaran Tuhan
Yesus kepada Anak c.
Menyebutkan Tanggung jawab
orang tua kepada anak d.
Menjelaskan makna anak adalah
berkat Allah |
a.
Penjelasan dari kelas belajar b.
Tanya jawab dalam kelas |
a.
Prinsip-prinsip pengajaran
Tuhan Yesus b.
Pengajaran Tuhan Yesus kepada
anak. c.
Tanggung jawab orang tua kepasa
anak. d.
Makna anak adalah berkat Allah |
1x100 menit |
Literatur
Diktat, buku Boehkle, R., Sejarah Perkembangan Pemikiran dan Praktek
pendidikan agama Kristen 1 & 2 |
Lisan Tugas
Individu |
4.
Menjelaskan PAK dalam sejarah Gereja: Yunani – Romawi, dan Periode Perjanjian
Baru |
a. Menguraikan PAK dalam Sejarah Gereja
periode Yunani-Romawi b.
Menjelaskan PAK dalam Perjanjian Baru: pengajaran berpusat kepada Kristus |
a. Penjelasan dari kelas belajar. b.mengadakan
riset kepustakaan c.diskusi-diskusi
kelas (presentasi kelas) |
a.
PAK pada Periode ·
Plato ·
Aristoteles ·
Quantilian |
1x100 menit |
Diktat
perkuliahan, literature yang terkait, internet. Buku sejarah
perkembangan pemikiran dan praktek pendidikan agama Kristen dari Plato sampai
Ign. Loyola |
Tes
Perbuatan (presentasi) keaktifan |
5.
Menguraikan PAKdalam Gereja Purba. |
Mendiskusikan
PAK pada periode Gereja Purba: ·
Clementus ·
Origenes ·
Hieronimus ·
Yohanes Chrysostomus ·
Agustinus |
a.
Penjelasan dari kelas belajar b.
Diskusi kelas c.
Melaporkan hasil diskusi kelas (presentasi) |
a.
Prinsip-prinsip Pendidikan
Agama Kristen menurut Clementus b.
Prinsip-prinsip Agama Kristen
menurut Origenes c.
Prinsip-prinsip Agama Kristen
menurut Heironimus d.
Prinsip-prinsip Agama Kristen
Menurut Yohanes Chrysostomus e.
Prinsip-prinsip Agama Kristen
menurut Agustinus |
1x100 menit |
Diktat perkuliahan,
literature yang terkait, internet. Buku sejarah
perkembangan pemikiran dan praktek pendidikan agama Kristen dari Plato sampai
Ign. Loyola |
Tes
Perbuatan (Prtesentasi) Keaktifan |
6. Menguraikan PAK dalam periode Abad pertengahan |
a.
mendiskusikan PAK dalam abad pertengahan pada masa: Ø Karel Agung Ø Alfred Agung Ø Rabanus Maurus Ø Petrus Abelradus Ø Santo Thomas Aquino Ø Jean Charlierde Gerson |
a.
Penjelasan dari kelas belajar b.
Diskusi kelas c.
Presentasi kelas (hasil
diskusi) |
a.
Prinsip-prinsip pendidikan
Agama Kristen Menurut Karel Agung. b.
Prinsip-prinsip pendidikan
Agama Kristen menurut Alfred Agung c.
Prinsip-prinsip Pendidikan
Agama Kristen Menurut Rabanus Maurus d.
Prinsip-prinsip Pendidiakn
agama Kristen Menurut Petrus abelradus e.
Prinsip-prinsip agama Kristen
menurut Santo Tomas Aquino f.
Prinsip-prinsip Agama Kristen
Menurut Jean Charlierde Gerson |
1x100 menit |
Diktat
perkuliahan, literature yang terkait, internet. Buku sejarah
perkembangan pemikiran dan praktek pendidikan agama Kristen dari Plato sampai
Ign. Loyola |
Tes
perbuatan (Presentasi) Keaktifan |
7. menguraikan PAK pada masa Reformasi |
a.
mendiskusikan Pak pada periode Reformasi dalam masa : Ø Marthen Luther Ø Yoh. Calvin |
a.penjelasan dari kelas belajar b.
diskusi kelas c.
Presentasi kelas |
a.
Prinsip-prinsipn Pendidikan
Agama Kristen pada masa Marthin Luther b.
Prinsip-prinsip Pendidikan
agama Kristen pada masa Yoh. calvin |
1x100 menit |
Diktat
perkuliahan, literature yang terkait, internet. Buku sejarah
perkembangan pemikiran dan praktek pendidikan agama Kristen dari Plato sampai
Ign. Loyola |
Tes keaktifan |
8. Menguraikan PAK dalam Periode Ignatius Loyola |
a.
mendiskusikan PAK
dalam periode Reformasi pada masa : Ignatius Loyola b.
Mendiskusikan PAK dalam pendidikan Sekolah Minggu (Robert Raikes) |
a.
penjelasan dari Kelas belajar b.Diskusi
kelas c.Presentasi
kelas |
a.
Prinsip-prinsip pendidikan Agama Kristen menurut Ignatius Loyola b.
Perkembangan Sekolah Minggu dengan pendirinya (Robert
Raikes) |
1x100 menit |
Diktat
perkuliahan, literature yang terkait, internet. Buku sejarah
perkembangan pemikiran dan praktek pendidikan agama Kristen dari Plato sampai
Ign. Loyola |
Tes
perbuatan dan keaktifan (presentasi) |
9.UTS |
|
QUIS |
|
1x100
menit |
|
|
10.
Menguraikan Setting Pendidikan Agama Kristen
(PAK) |
a.
Menjelaskan peran PAK bagi bayi dalam kandungan 6.
menjelaskan Makna anaksebagai berkat Tuhan |
a.
penjelasan dari kelas belajar b.diskusi
antar teman satu meja c.
Tanya jawab dosen dengan Mahasiswa penjelasan dari kelas belajar. |
a. Peran PAK
bagi Bayi dalam kandungan |
1x100 menit |
Diktat perkuliahan,
literature yang terkait, |
Subyektif
, Keaktifan |
11. Menguraikan Setting Pendidikan Agama Kristen (PAK) |
a.
menguraikan pentingnya PAK bagi perkembangan Remaja/Pemuda b.
Menguraikan peran PAK bagi Orang Dewasa |
a. penjelasan dari kelas belajar b.Diskusi
Kelas |
a. Pentingnya
PAK bagi Remaja Pemuda b.pentingnya
PAK bagi Orang Dewasa |
1x100 menit |
Diktat
perkuliahan, literature yang terkait, |
|
12. Menjelaskan filsafat pendidikan kristen |
a. Memberi penjelasan tentang filsafat pendidikan b.Memahami bagaimana metafisika pendidikan kristen
berpusat pada Allah c.Menjelaskan tentang etimologi pendidikan kristen
berpusat pada pernyataan wahyu Allah |
a.Mahasiswa mendengarkan penjelasan dan menulis catatan penting tentang filsafat
pendidikan b.Mahasiswa menulis
poin-poin penitng mengenai filsafat pendidikan |
Belajar filsafat pendidikan kristen dan menganalistis
filsafat pendidikan kristen |
1x100 menit |
Diktat
perkuliahan, literature yang terkait, |
Sikap
di kelas |
13. Menguraikan ruang lingkup Pendidikan Agama Kristen
(PAK) |
a.
Menjelaskan Pendidikan Agama Kristen (PAK) di sekolah b.Menjelskan
pendidikan Agama Kristen di Gereja |
a.
Mahasiswa mampu mempresentasikan tujuan pendidikan
kristen b.
Mahasiswa
menyimak penjelasan dosen |
a.
PAK dalam Proses Pembelajaran b.
c.
Peran persekutuan Siswa Kristen
|
1x100 menit |
Diktat
perkuliahan, literature yang terkait, |
|
14. mengidentifikasikan Alat peraga dan metode
Pendidikan Agama Kristen |
a.
menyebutkan jenis alat peraga b.mengidentifikasikan
alat peraga dalam Alkitab d.menyebutkan
macam-macam metode yang efektif dalam proses pembelajaran PAK |
a.
Ceramah dan Tanya jawab kelas b.
Menggali Alkitab c.
Diskusi |
a.
Macam Alat peraga secara umum b.
Macam alat peraga dalam Alkitab c.
Macam-macam metode yang efektif
dalam proses pembelajaran PAK |
1x100 menit |
Diktat
perkuliahan, literature yang terkait, |
Aktif
di kelas |
15. menjelasakn Alkitab suber utama Pembelajaran
Pendidikan Agama kristen |
a.
menguraikan peran Roh Kudus dalam belajar Firman Allah b.
Menguraikan peran Roh Kudus bagi anak didik |
a.
Ceramah dan Tanya Jawab di kelas b.Menggali
Alkitab c.Diskusi |
a. Peran Roh
Kudus dalam belajar Firman Allah b. Peran Roh
Kudus bagi anak didik c. peran Roh
Kudus bagi guru/pendidik |
1x100 menit |
Diktat
perkuliahan, literature yang terkait, |
uraian |
16. Menjelaskan kurikulum berpusat pada Alkitab |
- Menjelaskan apa yang dimaksud kurikulum berpusat pada
Alkitab - Menjelaskan metodologi berpusat pada interaksi |
- Mahasiswa menulis poin-poin penting mengenai
kurikulum yang berpusat pada Alkitab - Mahasiswa mengemukakan pendapatnya tentang metodologi
berpusat pada interaksi |
Menjelaskan pusat kurikulum yaitu Alkitab |
1x100 menit |
Diktat
perkuliahan, literature yang terkait, Alkitab |
Tes
subjyektif (uraian) |
17.
menguraikan fungsi proses pembelajaran Pendidkan Agama Kristen |
a.
menjelaskan fungsi Pendidkan Agama Kristen dalam mengajar anak didik percaya
Yesus (Lahir Baru) b.Menjelaskan
fungsi Pendidikan Agama Kristen dalam membentuk Karakter anak didik (Hidup
baru) c.Menguraikan
fungsi Peniddikan dalam menanamkan misi (penginjilan & pelayanan) |
a.
Ceramah dan tanaya jawab di kelas b.Menggali
Alkitab c.Diskusi |
a. Fungsi
Pendidikan Agama Kristen dalam mengantar anak didik untuk percaya Yesus b.Fungsi
Pendidikan Agama Kristen dalam membentuk karakter anak didik (Hidup Baru) c. Fungsi
Pendidikan Agama Kristen dalam menenamkan misi (penginjilan & pelayanan) |
1x100
menit |
Diktat
perkuliahan, literature yang terkait, Alkitab |
|
18.
Evaluasi Materi Pelajaran dari awal perkulihaan |
|
UTS |
|
|
|
UTS |
Buku Sumber: 1. Bahan Ajar Filsafat dan
Sejarah PAK
Sekolah Tinggi
Teologi Bethany
Silabus
Mata Kuliah : Filsafat PAK
Bobot : 2 sks
Dosen : Eko Basuki
Waktu : 19-23 Januari 2016
Penjelasan
Seminar ini membicarakan ruang lingkup dan metode filsafat pendidikan sebagai berikut:
perbendaharaan kata dan persoalan Filsafat Pendidikan (Ontologi, Epistemologi,
Axiologi), Proses Pendidikan: In put,
Institusi Pendidikan, Proses belajar mengajar
ada lima komponen proses (Guru, Kurikulum (Bahan Ajar), Metode
Pembelajaran, Media pembelajaran, Anak Didik (Murid) dan Evaluasi Hasil Akhir), Out Put dan income; teori tentang Kebenaran,
konflik antara etika dan estetika,
yang berkaitan dengan berbagai
pandangan Filsafat yang mempengaruhi Pendidikan: (1) Traditional Philosophies of Education: Idealism, Realism, Materialisme dan
Naturalism, Tradisionalis (Neo-Thomism);
(2) Modern Philosophies of Education: Pragmatism (Experimentalism),
Eksistensialisme; (3) Contemporary Theories
of Education: Progresivisme, Perenialisme,
Esensialisme dan Rekonstruksionisme.
Tujuan Umum
(Kompetensi Dasar)
Melalui keseluruhan studi ini diharapkan setiap
peserta dapat: menjelaskan pengertian
konsep-konsep filsafat pendidikan (Ontology, Epistemologi, Axiology; Idealism,
Realism, Neo Thomisme, Pragmatisme, dan Existentialism) antara istilah dan
problemanya yang dihadapinya dalam kerangka input
– instiusi pendidikan -- Proses Belajar Mengajar – Output -- income.
Tujuan Khusus (Hasil Belajar)
1. Mahasiswa mampu
menjelaskan arti, ruanglingkup dan kajian filsafat dan filsafat pendidikan.
2. Mahasiswa mampu
mengemukakan peran filsafat dalam pendidikan kristiani, serta aspek metafisika,
epistemologi dan aksiologi dalam praktek pendidikan kristian.
3. Mahasiswa mampu
menjelaskan istilah seperti: ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
4. Mahasiswa
mengidentifikasi aliran-aliran filsafat pendidikan seperti: idealism, realism
pragmatism, existentialsm, perenialisme, progresivisme dan
konstruksionisme.
5. Mahasiswa mampu
mengidentifikasikan corak filsafat pendidikan yang mewarnai pendidikan nasional
di Indonesia dan inplikasinya bagi PAK di sekolah dan perguruan tinggi.
6. Mahasiswa mampu
merumuskan pemahamannya sendiri dalam bentuk sebuah tulisan ilmiah, tentang
filsafat pendididkan kristiani dalam konteks pelayanan yang tengah dan akan
dikerjakannya.
Pokok-pokok Bahasan
- Silabus
- Perbendaharaan Kata Filsafat
Pendidikan
- Identitas Tiga Problem Dasar
dalam Filsafat Pendidikan: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
- Proses Pendidikan: input – instiusi
pendidikan -- Proses Belajar Mengajar – Output -- income.
- Hubungan Filsafat Pendidikan dengan Agama dan Sekuler
- Teori Kebenaran: Konsisten, Koresponden dan
Pragmatis
- Konflik antara Etika dan
Estetika
- Aliran-aliran Filsafat
yang Mempengaruhi Pendidikan: (1) Traditional Philosophies of Education: Idealism, Realism, Materialisme dan
Naturalism, Tradisionalis
(Neo-Thomism); (2) Modern
Philosophies of Education:
Pragmatism (Experimentalism), Eksistensialisme; (3) Contemporary Theories of Education:
Progresivisme, Perenialisme,
Esensialisme dan Rekonstruksionisme
- Formulasi Filsafat Pendidikan Pribadi: Mahasiswa mengembangkan
filsafat pendidikan secara perorangan dalam satu paper.
Bahan Utama
Harianto
GP. 2015. Diktat
Filsafat Pendidikan Agama Kristen. Surabaya: STT Bethany.
Bahan Acuan Utama
Astley, Jeff. 1994. The
Philosophy of Christian Religious Education. Birmingham: Religious
Education Press.
Bayles, Ernest
E. 1996. Pragmatism in Education. New York: Harper & Row.
Bernadib, Imam.
2002. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Adicita karya Nusa.
Boehlke, Robert.
1997. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Agama Kristen. Jilid II.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Boehlke, Robert.
1991. Sejarah Perkembangan Pikiran dan
Praktek Agama Kristen. Jilid 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Butle, J.Donald.
1966. Idealism in Education. New York: Harper & Row.
Butler, J. Donald.
1957. Four Philosophies. New York: Harper & Brothers Publisher.
Daniels, Norman and
Keith Lehrer (eds.). 1995. Philosophy of Education. Colorado:
Westview Press, Inc.
Geisler, Norman L.
& Paul D. Feinberg. 2002. Filsafat
dari Perspektif Kristiani. Malang: Gandum Mas.
Gutek, Gerald L.
1997. Historical and Philosophical Fourdations of Education. New Jersey:
Prentice-Hall, Inc.
Henry, Nelson B.
(ed.). 1955. Modern Philosophies and
Education. Part 1. Chicago: University of Chicago Press.
Kneller, George F.
1971. Introduction to the Philosophy of
Education. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Knight, Goerge R.
1980. Philosophy and Education.
Berrien Springs: Andrews University Press.
Martin, WM. Oliver.
1969. Realism in Education. New York: Harper & Row.
Morris, Van Cleve.
1966. Existentialism in Education. New York: Harper & Row.
Mudyahardjo, Redja.
2004. Filsafat Ilmu Pendidikan.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Ozmon, Howard A.
and Samuel M. Craver. 1995. Philosophical
Foundations of Education. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Peterson,
Michael L. 1986. Philosophy of Education. Downers Grove: InterVarsity Press.
Sadulloh, Uyoh. 2003.
Pengantar Filsafat Pendidikan.
Bandung: CV Alfabeta.
Suparno, Paul.
1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Metode
Dalam mewujudkan tujuan khusus atau hasil belajar di
atas, kegiatan belajar mengajar ditempuh dengan pendekatan berikut:
1. Ceramah (penjelasan
dari dosen), diskusi dan tanya jawab
2. Inquiry, Solving
Problem
3. Presentasi
4. Diskusi
5. Tugas-tugas
pendalaman
Evaluasi dan Kriteria Penilaian
1.
Aktifitas dan kehadiran = 10%
2.
Tugas UTS =
40%. Pembuatan Rumusan Filsafat Pendidikan (Ontologi, Epistemologi dan
Aksiologi) berdasarkan Nilai-nilai Alkitab. Bagian ini mahasiswa hanya
mengumpulkan ayat-ayat Alkitab dan memberi tafsiran. Setiap mahasiswa merumuskan nilai-nilai
Alkitab dari 3 kitab.
3.
Tugas UAS = 50% Judul paper “Evaluasi di antara Ontologi (pilih Ontologi, Epistemologi atau Aksiologi) berdasarkan Kitab Daniel (pilih 1 Kitab) dengan Pragmatisme (pilih 1
model Filsafat pendidikan) dan penerapannya di Sekolah Minggu Gereja Bethany Nginden Surabaya”. Fisafat Pendidikan
pilih dari Ontologi, Epistemologi atau Aksiologi) berdasarkan Nilai-nilai
Alkitab. Bagian ini terdiri dari 5 bab adalah: Bab I Pendahuluan, Bab II
Filsafat Pendidikan Berdasarkan Kitab …; Bab III memilih satu model filsafat
pendidikan yang Saudara sukai, Bab IV
Evaluasi di antara Filsafat pendidikan berdasarkan Kitab …. (1 Kitab) dengan
model Filsafat pendidikan (1 model saja) dan penerapannya terhadap instiusi
pendidikan di Indonesia; Bab V Kesimpulan dan saran.
Jadwal Kegiatan Belajar
Selasa, 19 Januari 2016
1.
Session 1 Silabus, Perbendaharaan Kata Filsafat
Pendidikan, dan Identitas Tiga Problem Dasar
dalam Filsafat Pendidikan: Ontology,
Epistemologi, dan Axiology
2.
Session 2 Lima Komponen Dasar dalam Proses
Filsafat Pendidikan: Guru, Murid,
Kurikulum, Metode dan Hasil Akhir, Hubungan Filsafat Pendidikan dengan Agama dan Sekuler dan Teori Kebenaran: Konsisten, Koresponden dan Pragmatis
Rabu, 20 Januari 2016
1.
Session 3 Konflik antara Etika dan Estetika, Idealism; Presentasi 1- Realism
2.
Session 4
Presentasi 2-Materialisme; Presentasi 3-Tradisionalis (Neo-Thomism)
Kamis, 21 Januari 2016
1. Session 5 Presentasi 4-
Pragmatism (Experimentalism)
2. Session 6 Presentasi 5 - Eksistensialisme
Jumat, 22 Januari 2016
1. Session 7 Presentasi 6 -
Progresivisme
2.
Session 8 Presentasi 7 - Perenialisme
Sabtu, 23 Januari 2016
1. Session 9
Presentasi 8 - Esensialisme
2.
Session 10 Presentasi 9 - Rekonstruksionisme dan Pendalaman Tugas Paper
I. PERBENDAHARAAN
KATA FILSAFAT PENDIDIKAN
Pengertian Filsafat
Filsafat berasal dari dua istilah Yunani “philos” dan “sophia”, yang
berarti “cinta kebijaksanaan”; “cinta akan hikmat”; “cinta akan pengetahuan”.
Seorang “filsuf” adalah seorang “pencinta”, “pencari” (philos) hikmat atau pengetahuan (sophia).[1]
Karena kecintaan, keinginan atau kerinduannya orang berupaya mencari, menggali
dan merumuskan kebenaran. Kebenaran hal ini menyangkut pertanyaan-pertanyaan
tentang makna dan tujuan hidup yang paling hakiki (the quest of life).[2]
Selanjutnya dengan kehidupan atau perkembangan peradaban manusia dan problema
kehidupan yang dihadapinya, maka pengertian yang bersifat teoris seperti yang dilahirkan filsafat Yunani di atas
kehilangan kemampuannya untuk memberi jawaban yang layak tentang kebenaran itu.
Peradaban itu telah menyebabkan manusia melakukan loncatan besar dalam bidang
sains, teknologi, kedokteran dan pendidikan.[3]
Misalnya peradaban manusia Eropa pada abad pertengahan hidup dalam
kesadaran bahwa kenyataan bersifat
sakramental, artinya merupakan tanda dan lambang mengenai kenyataan ilahi. Itulah
pengalaman hidupnya. Berbeda dengan waktu Renaissance timbullah pengalaman
bahwa kenyataan itu merupakan dunia kebendaan, materi, yang hakekatnya bersifat
matematis, dapat digariskan, dipatoki dengan jelas dan cermat.[4]
Dari sini filsafat menjadi pengalaman kehidupan sehari-hari. Filsafat dapat
“mengkodratkan” pengalaman dan menjadikannya kesadaran dalam satu sistem.[5]
Berkaitan dengan konsep filsafat di atas, maka George Knight menjabarkan
lebih jelas. Ia merumuskan bahwa filsafat memiliki tiga dimensi sebagai
berikut: pertama, sebagai “subject matter” atau konsep: filsafat
mempelajari masalah-masalah metafisika
(apa yang nyata), epistemology (pengetahuan dan bagaimana mengetahui), dan
aksiologi (nilai, etika dan keindahan). Kedua,
sebagai kegiatan: filsafat menempuh langkah-langkah analisis, sintesis,
spekulatif dan preskriptif. Ketiga, filsafat melibatkan sikap (attitude): kesadaran diri, penetratif, komprehensif, dan
fleksibilitas.[6] Jadi,
filsafat adalah kegiatan yang senantiasa bertujuan untuk membentuk atau
merumuskan “pandangan dunia” (worldview)
dalam rangka mencari hikmat atau pengetahuan.
Metode Filsafat
Filsafat
mempergunakan banyak cara, berbagai metode, dan multi metode. Metode berasal
dari perkataan Yunani “Methodos”, yang artinya: (1) sesuatu prosedur yang
dipakai untuk mencapai sesuatu tujuan; (2) sesuatu teknik mengetahui yang
dipakai dalam proses mencari ilmu pengetahuan dari sesuatu materi tertentu; (3)
sesuatu ilmu yang merumuskan aturan-aturan dari suatu prosedur.[7]
Mohammad Noor Syam mengatakan ada beberapa metode filsafat sebagai berikut: pertama, contemplative (perenungan). Merenung berarti memikirkan sesuatu,
atau segala sesuatu, tanpa keharusan adanya kontak langsung dengan obyeknya.
Obyek perenungan dapat berupa apa saja, misalnya tentang makna hidup, mati,
kebenaran, keadilan, keindahan dan sebagainya.
Hal ini cara filsafat untuk memikirkan segalanya secara mendalam. Kedua,
speculative (perenungan atau merenung). Merenung lebih mendalam untuk
mencari hakekat ilmu dengan pikiran yang tenang, kritis, pikiran murni dan
cenderung menganalisa, menghubungkan antara masalah, dan berulang-ulang sampai
mantap. Ketiga, deductive. Metode deductive adalah berpikir dan
penyelidikan ilmiah umumnya menggunakan metode induktif. Proses induktif adalah
penyelidikan berdasarkan eksperimen yang dimulai dari obyek yang khusus untuk
mendapat kesimpulan yang bersifat umum.[8]
Ruang Lingkup Kajian
Filsafat
Dari definisi “filsafat” di atas, maka ruang lingkup kajian filsafat dapat
diartikan sebagai aktifitas pikiran teratur
yang membentuk worldview seseorang sebagai jalan untuk mengatur,
menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan.
Jadi, filsafat menggambarkan satu aspek dari aspek-aspek
pelaksanaan falsafah umum dan menitikberatkan kepada pelaksanaan prinsip dan
kepercayaan yang menjadi dasar dari filsafat umum dalam upaya memecahkan
persoalan pendidikan secara praktis.
Bila diberi contoh kaitannya dengan pendidikan, maka Donald Butler
mengatakan bahwa filsafat memberikan arah dan metodologi terhadap praktek
pendidikan, sedangkan praktek pendidikan memberikan bahan-bahan bagi
pertimbangan-pertimbangan filosofis. Keduanya sangat berkaitan erat.[9] Berkaitan dengan hal tersebut, maka John
Dewey mengatakan filsafat merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang
fundamental, baik menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan
(emosional), menuju ke arah karakter manusia, maka filsafat bisa juga diartikan
“sebagai teori umum pendidikan”.[10]
Metode Filsafat
Pendidikan
Dalam dunia pendidikan dikenal istilah “paedagogie” artinya “pendidikan”
dan istilah “paedagogiek” artinya ilmu pendidikan. Pedagogik atau ilmu
pendidikan ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki, merenungkan tentang
gejala-gejala perbuatan mendidik.
Pedagogik berasal dari kata Yunani “paedagogia” yang berarti “pergaulan
dengan anak-anak”. Paedagogos (paedos
“anak”; agoge “saya membimbing, memimpin”) ialah seorang pelayan dalam zaman
Yunani kuno, yang pekerjaannya mengantar dan menjemput anak-anak ke dan dari
sekolah. Juga di rumahnya, anak-anak
tersebut selalu dalam pengawasan dan penjagaan
dari para paedagogos itu. Jadi
nyatalah bahwa pendidikan anak-anak Yunani kuno sebagian dibesar dan diserahkan
kepada paedagogos.[11] Sedangkan dalam kata Latin terdiri dari kata “educare” artinya “merawat, memperlengkapi dengan gizi,
agar sehat dan kuat” dan kata “educere” artinya “membimbing keluar dari”.
Secara historis filsafat pendidikan dikembangkan oleh Aristoteles,
Augustinus, dan John Locke adalah filsafat tentang proses pendidikan sebagai bagian dari sistem
filsafat mereka dalam konteks teori-teori etika, politik, epistemologi, dan
metafisika yang mereka anut. Sedangkan
filsafat pendidikan yang dikembangkan akhir-akhir ini, oleh pengaruh filsafat
analitik, merupakan filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan dalam konteks
dasar-dasar pendidikan (foundations of education) yang dihubungkan
dengan bagian-bagian lain dalam disiplin
ilmu pendidikan, yaitu sejarah pendidikan, psikologi pendidikan, dan sosiologi
pendidikan.[12] Berkaitan
di atas, maka Donald Butler mengatakan bahwa filsafat memberikan arah dan
metodologi terhadap praktek pendidikan, sedangkan praktek pendidikan memberikan
bahan-bahan bagi pertimbangan-pertimbangan filosofis. Keduanya sangat berkaitan
erat.[13]
John Dewey mengatakan filsafat pendidikan merupakan suatu pembentukan
kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut daya pikir (intelektual)
maupun daya perasaan (emosional), menuju ke arah karakter manusia, maka
filsafat bisa juga diartikan “sebagai teori umum pendidikan”.[14] Sedangkan
Barnadib mengatakan bahwa filsaat pendidikan ialah ilmu yang pada hakikatnya
merupakan “jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam bidang pendidikan”.
Karenanya, dengan bersifat filosofi maka filsafat pendidikan merupakan “aplikasi
sesuatu filosofis terhadap bidang pendidikan”.[15]
Brubachen mengatakan bahwa filsafat dipandang sebagai bunga, bukan sebagai akar
tunggal pendidikan. Filsafat pendidikan berdiri secara bebas dengan memperoleh keuntungan karena
mempunyai kaitan dengan ilmu umum, meskipun demikian tidak penting tetapi yang
terjadi ialah sesuatu keterpaduan antara pandangan filosofis dengan filsafat
pendidikan. Hal itu terjadi karena filsafat sering diartikan sebagai teori
pendidikan dalam segala tahap.[16] Sedangkan
Jan Hendrik Rapar mengatakan bahwa filsafat pendidikan adalah
pemikiran-pemikiran filsafati tentang pendidikan atau pemikiran-pemikiran
filsafat tentang proses pendidikan.[17]
Dalam Ensiklopedi Pendidikan (1982) secara umum pendidikan
dapat diartikan sebagai “semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk
mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya, serta keterampilannya
kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi
hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah”.
Penegasan itu menyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha atau upaya
sadar tujuan, atau bersahaja, dan karena itu, ia menuntut perencanaan, strategi
atau pendekatan.[18]
Berkaitan di atas, B.S. Mardiaatmadja
mengatakan bahwa pendidikan adalah suatu usaha bersama dalam proses terpadu-terorganisir untuk membantu
manusia mengembangkan diri dan menyiapkan diri
guna mengambil tempat semestinya dalam pengembangan masyarakat dan
dunianya di hadapan Sang Pencita.[19]
Ngalim Purwanto juga mendefinisikan bahwa pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya
dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah
kedewasaan atau agar berguna bagi diri sendiri dan bagi masyarakat.[20] Poerbakawatja juga sependapat dengan definisi
pendidikan yang sebelumnya adalah usaha secara sengaja dari orang dewasa yang
mana dengan pengaruhnya meningkatkan kedewasaan dari anak yang selalu diartikan
kemampuan untuk memikul tanggung jawab moril dari segala perbuatannya.[21]
Jadi, pendidikan secara menyeluruh menyangkut segala segi hidup manusia. John
Dewey mengatakan bahwa pendidikan adalah sebagai proses pembentukan kemampuan
dasar yang fundamental, yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya
rasa (emosi) manusia.[22] Jadi dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa filsafat pendidikan adalah
aktifitas pikiran teratur yang membentuk wolrdview seseorang sebagai jalan
untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan.
Karena sifat filsafat pendidikan begitu luas maka
filsafat pendidikan tidak berdiri pada satu sisi lingkup saja melainkan
mempunyai berbagai ruang yang menjadi kajiannya. Brubacher mengatakan bahwa
sifat filsafat pendidikan sebagai berikut: Pertama,
spekulatif (sinoptik maupun sintesis) di mana dengan
prinsip ini seseorang berpikir secara menyeluruh, komprehensif dan integrative;
berpikir tentang sesuatu dari berbagai sudut pandang. Kedua, normative di mana
ada sesuatu yang dianggap ideal atau standar, yang dijadikan sebagai titik
tolak ataupun patokan, serta kriteria penilaian. Ketiga, kritis (critical)
di mana seseorang mampu memberi penjelasan terhadap makna dari istilah atau
konsep yang digunakan.[23]
Berkaitan dengan sifat filsafat pendidikan (spekulatif, normative, dan
critical), maka John Verhaar memperlihatkannya
bagaimana kerjanya dalam pendidikan akademis. Verhaar merumuskan dalam
tiga taraf, yaitu: instruksi, edukasi, dan formasi. Pada tataran
instruksi yang disajikan kepada para mahasiswa ialah informasi, bukan pendapat;
atau sejumlah pendapat tentang sesuatu masalah, tetapi hanya sebagai inventaris
pendapat. Taraf instruksi dibedakan dari
taraf edukasi atau formasi. Taraf
edukasi dan formasi perlu refleksi,
introspeksi, mawas diri. Pada tataran edukasi terlaksanalah hal-hal yang perlu
untuk integrasi intelektual dari data-data
termasuk informasi dari tataran instruksi. Pada umumnya di tataran
edukasi itu dikembangkan kemampuan untuk berpikir secara kritis, dengan suatu
metode yang konsekuen dan untuk membangun sesuatu teori. Pada tataran formasi
ialah penyadaran tentang dirinya sebagai “person” yang mempunyai banyak
keterbatasannya-keterbatasannya dalam pergaulan dengan orang lain.[24] Sedangkan Harry Hamersma membagi
menjadi empat bidang besar sebagai berikut: Pertama,
filsafat tentang pengetahuan: epistemology, logika, dan kritik ilmu-ilmu. Kedua, filsafat tentang keseluruhan
kenyataan: metafisika umum (atau ontology) dan metafisika khusus (teori
metafisika, antropologi, dan kosmologi). Ketiga, filsafat tentang tindakan: etika dan estetika. Keempat, sejarah filsafat.[25]
Lebih dalam, maka Jalaluddin dan Idi merumuskan bahwa ruang lingkup
filsafat pendidikan terbagi menjadi dua bagian sebagai berikut: secara makro
(umum) apa yang menjadi obyek pemikiran filsafat dan obyek pemikiran filsafat
pendidikan, yaitu: dalam ruang lingkup yang menjangkau permasalahan kehidupan
manusia, alam semesta dan alam sekitarnya.
Secara mikro (khusus) meliputi: Pertama,
merumuskan secara tegas sifat hakikat pendidikan (the nature of education). Kedua,
merumuskan sifat hakikat manusia, sebagai subyek dan obyek pendidikan (the nature of man). Ketiga, merumuskan secara tegas hubungan antara filsafat, filsafat
pendidikan, agama dan kebudayaan. Keempat,
merumuskan hubungan antara filsafat,
filsafat pendidikan dan teori pendidikan. Kelima,
merumuskan hubungan antara filsafat Negara (ideologi), filsafat pendidikan dan
politik pendidikan (sistem pendidikan). Keenam,
merumuskan sistem nilai-norma atau isi moral pendidikan yang merupakan tujuan
pendidikan.[26]
II.
Identitas Tiga Problem Dasar
dalam
Filsafat Pendidikan
Identitas tiga probem dasar dalam filsafat pendidikan adalah menekankan
pada ontology (metafisika), epistemology
dan aksiologi. Ketiga hal tersebut
adalah dasar atau pintu filsafat pendidikan.
Makna Ontologi (Metafisika)
Metafisika berasal dari bahasa Yunani Kuno, yang terdiri dari dua kata
“meta” dan “fisika”. Meta berarti “sesudah di belakang”, atau “melampaui”, dan
“fisika” berarti alam nyata. Istilah metafisika merupakan judul yang diberikan
oleh Andronikos dari Rhodes terhadap empat belas buku yang ditulis oleh
Aristoteles, yang ditempatkan sesudah fisika yang terdiri dari delapan buku.
Aristoteles sendiri tidak menggunakan istilah metafisika dan fisika, melainkan
“filsafat pertama untuk metafisika” dan “filsafat kedua untuk fisika”.[27]
Kata “metafisika” itu saat ini memiliki berbagai arti. Metafisika bisa
berarti upaya untuk mengkarakterisasi eksistensi atau realitas sebagai suatu
keseluruhan, atau berarti sebagai usaha untuk menyelidiki alam yang berada di
luar pengalaman atau menyelidiki apakah hakikat yang berada di balik realitas.
Tetapi secara umum, metafisika menunjuk pada arti suatu pembahasan filsafati
yang komprehensif mengenai seluruh realitas atau tentang segala sesuatu yang
ada.
Metafisika dibagi menjadi dua sebagai berikut: metafisika umum (ontologi)
dan metafisika khusus (kosmologi, teologi metafisik, dan filsafat antropologi).[28] Ontolongi membahas tentang teori umum
mengenai semua hal, sedangkan metafisika khusus membahas esensi dari yang ada,
hakikat dari segala wujud yang ada: siapa manusia, dari mana asal usulnya, apa
yang dituju manusia, dan untuk apa hidup di dunia ini.[29]
Pembahasan ontologi dilakukan dengan membedakan dan
memisahkan eksistensi “dari segala sesuatu”. Pertanyaan-pertanyaan ontologi
yang utama dan paling sering diajukan adalah sebagai berikut: apakah suatu
realitas itu beraneka ragam dan berbeda-beda? Apakah hakekatnya satu atau
tidak? Apabila memang benar satu, apakah
realitas yang satu itu.apakah eksistensi yang sesungguhnya dari segala sesuatu
yang ada itu merupakan realitas yang tampak atau tidak?
Ada tiga teori ontologis[30]
antara lain: Pertama, idealisme,
teori ini mengajarkan bahwa ada yang sesungguhnya berada di dunia ide. Segala
sesuatu yang tampak dan mewujudkan nyata dalam alam indrawi hanya merupakan
gambaran atau bayangan dari yang sesungguhnya yang berada di dunia ide. Kedua, materialisme menolak hal-hal
yang tidak kelihatan. Bagi materialisme, ada yang sesungguhnya adalah yang
keberadaannya semata-mata bersifat material atau sama sekali tidak bergantung
pada material. Jadi realitas sesungguhnya adalah alam kebendaan dan segala
sesuatu yang mengatasi alam kebendaan itu haruslah dikesampingkan.[31] Ketiga,
dualisme mengajarkan bahwa substansi individual terdiri dari dua fundamental
yang berbeda dan tak dapat direduksikan kepada yang lainnya. Kedua tipe
fundamentalis dari substansional itu ialah material dan mental.[32]
Dengan demikian dualisme mengakui bahwa realitas terdiri dari materi atau yang
ada secara fisis dan mental atau yang beradanya tidak kelihatan secara fisis.
Dualisme harus dibedakan dari monisme dan pluralisme. Monisme dan Pluralisme
adalah teori tentang jumlah substansi dan bukan mempersoalkan tipe fundamental
dari substansi itu.
Epistemologi
Istilah “epistemologi” berasal dari bahasa Yunani Kuno, dengan asal kata
“episteme” yang berarti “pengetahuan” dan “logos” (kata, pikiran, percakapan
atau ilmu), yang berarti “teori”. Secara etimologi, epistemologi berarti teori
pengetahuan. Epistemologi membahas atau mengkaji tentang asal, struktur,
metoda, serta keabsahan pengetahuan.[33]
Epistemologi adalah suatu cabang
filsafat yang bersangkut paut dengan teori pengetahuan.[34] Istilah epistemologi berasal dari bahasa
Yunani, yang terdiri dari dua kata
“Episteme” (pengetahuan) dan “logos”
(kata; pikiran; ilmu). Jadi jikalau disimpulkan maknanya, maka istilah
epistemologi berarti “kata, pikiran, percakapan tentang pengetahuan atau ilmu
pengetahuan”. [35]
Sedangkan, secara tradisional yang menjadi pokok persoalan epistemologi
ialah sumber, asal-usul, sifat dasar pengetahuan; bidang, batas, dan jangkauan
pengetahuan; serta validitas dan
reliabilitas (reability) dari
berbagai klaim pengetahuan. Oleh sebab itu, rangkaian pertanyaan yang biasa
diajukan untuk mendalami permasalahan yang dipersoalkan dalam epistemologi
adalah sebagai berikut: Apa pengetahuan
itu? Apakah yang menjadi sumber dan dasar pengetahuan itu? Apakah pengetahuan itu
berasal dari pengamatan, pengalaman, atau akal budi? Apakah pengetahuan itu
adalah kebenaran yang pasti ataukah hanya merupakan dugaan?[36]
Jika
dikatakan bahwa seseorang mengetahui sesuatu, itu berarti ia memiliki
pengetahuan tentang sesuatu itu. Dengan
demikian, pengetahuan adalah suatu kata
yang digunakan untuk menunjuk kepada apa yang diketahui oleh seseorang tentang
sesuatu. Pengetahuan memiliki subyek yaitu yang mengetahui, karena tanpa ada
yang mengetahui tidak mungkin ada pengetahuan. Jika ada subyek, pasti ada
obyeknya, yakni sesuatu hal yang
seseorang ketahui atau dihendaki untuk diketahui.
Pengetahuan dibagi dalam tiga jenis
yaitu: Pertama, pengetahuan biasa (ordinary knowledge). Kedua,
pengetahuan ilmiah (scientific knowledge).
Ketiga, pengetahuan filsafat (philosophical
knowledge). [37]
Berkaitan hal tersebut, maka sumber utama pengetahuan bisa bersumber dari akal
budi atau rasio.[38]
Aksiologi
Secara etimologi, istilah “aksiologi” berasal dari bahasa Yunani Kuno,
terdiri dari kata “aksios” yang berarti “nilai” dan kata “logos” yang berarti “teori”. Aksiologi mempelajari
nilai. Jadi, aksiologi adalah teori nilai yang membahas hekikat nilai, tipe
nilai, kriteria nilai, dan status metafisika nilai.[39]
Aksiologi menunjuk pada suatu nilai tertentu. Nilai suatu obyek sangat dipengaruhi nilai
subyek yang ada. Manusia memiliki nilai,
sehingga nilai seseorang dari apa yang diungkapkan maupun dilakukan.
Nilai-nilai sangat relative, tetapi ada nilai yang jauh lebih mutlak dan
ditempat tinggi dibanding dengan nilai-nilai relative yang dibawah. Manusia
berbuat baik karena mengetahui nilai yang ada pada dirinya. Pada aksiologi yang
mengarah suatu kebaikan yang tertinggi berupa kebahagiaan dan cinta kasih
Tuhan.[40]
Bagi Louis Kattsoff bahwa nilai merupakan kualitas empiris yang tidak dapat
didefinisikan dan sebagai obyek suatu kepentingan.[41]
Meskipun begitu, nilai mempunyai macam makna sebagai berikut: (1) mengandung
nilai (artinya, berguna); (2) merupakan nilai (artinya, “baik” atau “benar”
atau “indah”); (3) mempunyai nilai (artinya, merupakan obyek keinginan,
mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan orang mengambil sikap “menyetujui”,
atau mempunyai sifat nilai tertentu); (4) memberi nilai (artinya, menanggapi
sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai
tertentu).[42]
Berkaitan dengan makna nilai, maka timbul beberapa pertanyaan: Apakah yang
dinamakan nilai itu? Apakah yang menyebabkan bahwa suatu obyek atau perbuatan
bernilai, dan bagaimanakah cara mengetahui? Bilamanakah sebutan nilai dapat
diterapkan? Proses kejiwaan apakah yang tersangkut dalam tanggapan-tanggapan
penilaian? Bagaimanakah cara menentukan makna-makna yang dikandungnya serta
verifikasi yang dapat dilakukan terhadapnya?
Nilai suatu obyek sangat dipengaruhi
oleh nilai subyek yang ada. Manusia
memiliki nilai, sehingga nilai seseorang dari apa yang diungkapkan maupun
dilakukan. Nilai-nilai sangat relative, tetapi ada nilai yang jauh lebih mutlak
dan ditempat tinggi dibanding dengan nilai-nilai relative yang dibawah. Manusia
berbuat baik karena mengetahui nilai yang ada pada dirinya. Pada aksiologi yang
mengarah suatu kebaikan yang tertinggi berupa kebahagiaan dan cinta kasih
Tuhan.[43]
III. Lima Komponen Dasar
dalam Proses Filsafat Pendidikan
Lima komponen dasar dalam proses filsafat pendidikan mengidentifikasikan: Kurikulum, Guru, Metode, Murid dan
Hasil Akhir dalam proses Filsafat Pendidikan. Tetapi, S. Nasution mengatakan ada empat elemen filsafat
pendidikan sebagai berikut: tujuan
pendidikan, mata pelajaran, proses belajar-mengajar, dan evaluasi hasil akhir.[44] Pemahaman
di atas diuraikan sebagai berikut:
Visi ke Tujuan Pendidikan
Pemahaman tujuan pendidikan dilihat dari scholastisisme dan empirisme.
Secara “scholastisisme” di mana Thoma
Aquinus dan kawan-kawan mengatakan bahwa tujuan-tujuan pendidikan adalah: Pertama, tidak
semata-mata ditujukan untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia, tetapi
terutama untuk mencapai kebahagiaan hidup di akhirat dalam pengenalan jiwa
dengan Tuhan. Kedua, untuk mencapai tujuan tersebut pendidikan
harus tertuju pada pengembangan keseluruhan potensi manusia yang mencakup: intelektual, fisik (jasmaniah), volitional (kemauan), dan vokasional
(bekerja).[45]
Sedangkan secara “empirisme”, maka
John Locke dan kawan-kawan mengatakan
bahwa bertujuan adalah: Pertama,
membentuk manusia yang berwatak atau berkebajikan (gentlemen; gentlewoman)
yaitu, manusia yang dapat mengendalikan segala perasaan kecenderungan dan
berbuat semata-mata berdasarkan pikiran sehat. Kedua, manusia berwatak
mempunyai ciri-ciri: bijaksana dalam mengambil keputusan, cermat dalan berbuat, dan sungguh-sungguh
dalam berpikir.[46]
Bila dikaitan dengan pendidikan maka tujuan-tujuan di atas bermula dari
sebuah visi. Visi menjabarkan tujuan-tujuan. Visi merupakan perwujudan proses
pendidikan. Visi adalah rumusan konsep permulaan untuk diwujudkan dalam bentuk-bentuk aktifitas (misi) dalam proses
pendidikan. Berkaitan dengan visi maka
J.E. Sahetapy mengatakan bahwa “tanpa
visi maka hidup seseorang akan terombang-ambing. Ia seperti kehilangan kompas bila berada di lautan
kehidupan bergelombang ganas di malam gelap.
Tanpa misi hidup seseorang akan steril, tak berbuah, tidak berbunga dan
tak berkembang”.[47]
W. Gulo berpendapat bahwa ada dua dimensi yang menyatu dalam visi, yaitu
dimensi “atas-bawah” dan dimensi “akan-kini”. Dimensi atas-bawah itu tidak lain
dari pernyataan Allah yang mengandung nilai-nilai yang ingin diwujudkan dalam
situasi yang konkrit seperti: kasih, keadilan, dan kebenaran. Dimensi akan-kini
menunjukkan hubungan antara realitas dan idealis. Menurut Gulo, visi dibangun
di atas kenyataan yang ada, dimana pemahaman di atas kenyataan yang ada itu
dihadirkan yang ideal, yaitu pernyataan Allah.[48] Visi seperti inilah yang
diharapkan menjadi landasan konseptual bagi pengelola pendidikan baik secara
formal maupun nonformal yang sebagai dasar untuk menjabarkan tujuan. Apabila
visi adalah pendorong atau pedoman konseptual, maka tujuan adalah sasaran
operasional, dimana untuk mencapai tujuan dimaksud maka perlu untuk menetapkan
misinya. Misi ini adalah landasan bagi tatalaksana operasional dari lembaga
pendidikan (Sekolah Alkitab atau Teologi) itu, dimana untuk melaksanakan
misinya, setiap lembaga pendidikan perlu menetapkan kurikulum pengajaran.[49]
Dengan demikian, maka adanya tujuan yang dinyatakan dari visi dalam
proses pendidikan sangatlah penting. Kalau tanpa visi segala kegiatan adalah
liar, maka proses pendidikan tanpa tujuan adalah sia-sia.
Mata Pelajaran (Kurikulum)
Bahan pelajaran adalah bahan yang diajarkan kepada peserta didik. Bahan
pelajaran dalam arti sempit disebut “kurikulum” (arti luas kurikulum: tujuan
pendidikan, bahan pelajaran, proses belajar-mengajar “pendidik dan peserta
didik, dan evaluasi hasil akhir).
Kurikulum dalam Arti Sempit
Secara tradisional (arti sempit), istilah kurikulum diartikan sebagai
rencana tentang sejumlah mata pelajaran atau bahan ajaran yang ditawarkan oleh
suatu lembaga pendidikan untuk dipelajari oleh siswa dalam mengikuti pendidikan
di lembaga itu.[50] Dalam kamus “Webster’s New International
Dictionary” yang sudah memasukan istilah
kurikulum sejak tahun 1953, memberi arti kepada istilah kurikulum sebagai
berikut: 1) sebagai sejumlah pelajaran yang ditetapkan untuk dipelajari
oleh siswa di suatu sekolah atau perguruan tinggi, untuk memperoleh suatu
ijazah atau gelar. 2) keseluruhan mata pelajaran yang ditawarkan oleh suatu
lembaga pendidikan atau suatu departemen tertentu.
Memang umumnya kurikulum dipahami orang sebagai bahan-bahan tercetak (buku,
majalah) berisikan pelajaran, petunjuk-petunjuk, gambar-gambar, soal-soal dan
sebagainya. Kata lain kurikulum sebagai
bahan pelajaran (subject matter).[51]
Kurikulum dalam Arti Luas
Sebelum abad ke-20, istilah kurikulum belum banyak digunakan dalam konteks pendidikan. Konsep-konsep kurikulum mulai berkembang
sejak dipublikasikannya buku “The Curriculum” yang ditulis oleh Franklin
Bobbitt (1918). Di sini kurikulum mempunyai arti yang lebih meluas. Kurikulum
adalah suatu rencana yang menjadi panduan dalam menyelenggarakan proses
pendidikan.[52]
Melanjutkan pemikiran di atas, maka
Saylor, Alexander dan Lewis merumuskan kurikulum sebagai berikut: pertama,
kurikulum sebagai rencana tentang mata pelajaran atau bahan-bahan pelajaran. Kedua,
kurikulum sebagai rencana tentang pengalaman belajar. Ketiga, kurikulum
sebagai rencana tentang tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Keempat,
kurikulum sebagai rencana tentang tempat belajar.[53] Tak heran bila Eli Tanya merumuskan kurikulum berarti “sepanjang hidup belajar,
meringkas segala pengalaman dan pengaruh-pengaruh yang terdapat di sekeliling
murid.[54]
International Council of Religious Education mendefinisikan kurikulum adalah
“pengalaman si pelajar di bawah bimbingan.”[55]
Abdul Rajak Husain mengatakan kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar.[56]
Unsur-unsur
Design Kurikulum Arti Luas
W.P. Napitupulu merumuskan bahwa komponen kurikulum
sebagai berikut: guru – murid -- bahan pelajaran
-- alat-alat pendidikan.
Di sini guru memegang peran penting dan
terberat. Keberhasilan proses belajar ditentukan oleh seorang guru.[57] Sementara Ornstein
mengatakan bahwa proses kurikulum antara caranya (metode proses belajar-mengajar) dengan materinya
(bahan pelajaran). Kedua merupakan proses yang berjalan bersama-sama.[58] Tetapi rumusan ini sudah tertinggal karena
muncul rumusan yang dirangkum oleh Muhammad Ali. Ia merumuskan komponen-komponen kurikulum
sebagai berikut: komponen tujuan, komponen isi atau materi, komponen metode atau
organisasi, dan komponen evaluasi.[59] Uraian komponen-komponen di atas sebagai
berikut:
Komponen Tujuan
Komponen tujuan adalah arah atau sasaran yang hendak dituju
oleh proses penyelenggara pendidikan.
Dalam setiap kegiatan sepatutnya mempunyai tujuan, karena tujuan
menuntun kepada apa yang hendak dicapai, atau sebagai gambaran tentang hasil
akhir dari suatu kegiatan.
Penerapan konsep tujuan kurikulum pertama kali dikemukakan oleh Franklin
Bobbit. Prosedur yang digunakan dalam pengembangan kurikulum dengan menerapkan
konsep ini adalah dengan merumuskan
tujuan-tujuan. Prosedur Bobbit ini selanjutnya oleh Ralp Tyler lebih dirinci
yang pertama kali dimunculkan tahun 1949. Tyler mengatakan bahwa
prinsip-prinsip perencanaan kurikulum dan pengajaran dengan mengajukan empat
pertanyaan: “Tujuan apa yang ingin dicapai? Pengalaman belajar apa yang perlu
disiapkan untuk mencapai tujuan itu? Bagaimana kegiatan-kegiatan belajar itu
diorganisasi secara efektif? Bagaimana menilai keberhasilan pencapaian tujuan?”[60]
Komponen Isi Kurikulum
Komponen isi kurikulum adalah materi bahan belajar. Wujud
isi kurikulum ada beberapa sebagai berikut: pertama, “Uniform Lesson”
(pelajaran seragam). Bahan pelajaran
yang sama ditujukan untuk semua golongan umur. Kedua, “Group-graded
Lesson” (pelajaran yang disesuaikan dengan kelompok). Bahan pelajaran yang
berbeda ditujukan untuk kelompok umur yang berlainan. Ketiga,
“Closely-graded Lesson” (pelajaran yang disesuaikan secara ketat). Misalnya
bahan pelajaran khusus untuk satu tahun saja. Keempat, buku-buku
pelajaran untuk sekolah. Di Indonesia ditujukan untuk pelajaran-pelajaran
tingkat SD, SMP, dan SMU. Kelima, bahan-bahan pelajaran lain.[61]
Wujud kurikulum (bahan pelajaran) yang lainnya adalah: pertama,
kurikulum denominasi di mana yang diterbitkan oleh denominasi tertentu, untuk
kalangan sendiri. Kedua, kurikulum bukan denominasi di mana penerbitnya
bukan denominasi, tetapi komersial. Ketiga, kurikulum usaha bersama di
mana diterbitkan dari beberapa
denominasi bersama-sama. Keempat, kurikulum yang berpusatkan isi (Content-centered
Curriculum) di mana memusatkan pelajaran Alkitab, membahas bagian-bagian
Alkitab satu per satu. Kelima, kurikulum yang berpusatkan pengalaman (Experience
Centered Curriculum) di mana isinya menitikberatkan pada pengalaman murid,
kemudian menghubungkannya dengan Alkitab atau imam Kristen. Keenam,
kurikulum berdasarkan studi unit (Unit of Study) di mana tujuannya
adalah memberi pelajaran yang lebih luas, baik pengalaman atau pokok pelajaran.[62]
Komponen Metode
Komponen metode atau organisasi adalah bagaimana isi kurikulum
yang berupa bahan pelajaran disampaikan kepada siswa. Komponen ini juga disebut
kegiatan belajar mengajar atau “administrasi kurikulum” (di luar negeri disebut
“Administration of the Instructional Program”).
Kegiatan ini merupakan pusat dari semua kegiatan-kegiatan sekolah. Semua
mengaturan dan pengaturan mengenai: murid agar dapat belajar dengan tenang,
guru-guru supaya dapat mengajar dengan teratur, tenang dan tertib pula;
penggunaan alat pelajaran yang efektif dan efisien; penggunaan waktu untu
belajar, untuk rekreasi, untuk kegiatan co-curriculair; untuk
ulangan-ulangan dan ujian, dan
sebagainya. Semua itu bertujuan agar proses belajar mengajar semakin lancar.
Komponen Evaluasi
Komponen evaluasi adalah bagian yang sangat penting di mana hasil evaluasi dapat memberi
petunjuk kepada sasaran yang ingin dituju dapat tercapai atau tidak.
Hubungan
Kurikulum dan Rencana Kurikulum
Kurikulum bukan suatu yang statis melainkan dinamis tetapi seseorang tidak
dapat menawarkan sebuah kurikulum yang mendapatkan hasil akhir sempurna.[63] Yang ada adalah kurikulum yang
efektif dapat memaksimalkan hasil yang maksimal.[64] Karena itu, maka kurikulum terus
berkembangan sesuai dengan kebutuhan zaman karenanya kurikulum perlu mempunyai
perencanaan. Muhammad Ali menawarkan berbagai perencanaan kurikulum seperti: kurikulum sebagai pengalaman belajar,
kurikulum sebagai rencana belajar, kurikulum humanistis, kurikulum sebagai
rekonstruksi sosial, kurikulum sebagai teknologi, kurikulum akademis, dan banyak lagi.[65]
Kurikulum Sentral Proses Pendidikan
Kurikulum mempunyai kedudukan
sentral dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk
aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan pendidikan.[66] Kurikulum adalah tak peduli bagaimana rancangan detailnya,
terdiri atas unsur-unsur tertentu. Suatu kurikulum biasanya mengandung suatu
kenyataan mengenai maksud dan tujuan tertentu. Kurikulum memberi petunjuk tentang
beberapa pilihan dan susunan isinya. Kurikulum menyuratkan pola-pola belajar
dan mengajar tertentu, baik karena dikehendaki oleh tujuannya maupun oleh
susunan isinya. Akibatnya kurikulum memerlukan suatu program pengevaluasian
hasil-hasilnya.[67] Jadi, ruang lingkup filsafat
pendidikan berbicara menjawab segala persoalan pendidikan (termasuk kurikulum) baik yang berorientasi
kepada nilai-nilai agama[68] atau pengetahuan (duniawi).[69]
Relasi
Visi dengan Kurikulum
Dari pemahaman “visi” dan “kurikulum” dapat direlasikan bahwa keduanya mempunyai keterkaitan satu dengan
yang lain. Visi adalah perumusan apa
yang mau dicapai sedangkan kurikulum (misi) adalah proses bekerja untuk mewujudkan visi. Jadi,
kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan dan selalu menjadi satu kesatuan
dalam filsafat pendidikan. Relasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Falsafah hidup (worldview)
(Visi)
filsafat pendidikan
(frame dan isi
“pendidikan”)
Ruang lingkup filsafat pendidikan
yang berbentuk kurikulum
(tujuan, bahan
pelajaran,
proses
belajar-mengajar, dan evaluasi)
Alumni di lapangan
(hasil proses
pendidikan )
Semula seseorang (pengelola pendidikan) mempunyai falsafah hidup
(worldview). Dalam mengisi hidupnya, misalnya ia mempunyai visi “memberitakan
Injil”. Untuk mewujudkan visi itu maka ia mendirikan “lembaga pendidikan
formal”. Visi itu mewarnai frame (filsafat)
dan isi (pendidikan). Visi “memberitakan Injil”
mengisi kerja ruang lingkup filsafat pendidikan (elemen-elemen
kurikulum). Memang isi kurikulum tunduk terhadap visi tetapi elemen-elemen
kurikukum tergantung kepada filsafat pendidikan (tujuan, bahan pelajaran,
proses belajar-mengajar, dan evaluasi).
Dari visi dirumuskanlah tujuan pendidikan, lalu menyusun bahan
pelajaran yang sesuai dengan tujuan
pendidikan, mengembangkan strategi proses belajar-mengajar dan memberi
penilaian yang berorentasi kepada visi.
Hasil dari kurikulum (proses pendidikan) adalah alumni di lapangan (praktek).
Proses Kurikulum
Proses kurikulum merupakan cerminan suatu visi. Kegagalan menterjemahkan visi dalam kurikulum adalah
menghasilkan kesenjangan antara teori dengan prakteknya. Karena itu, setiap
komponen kurikulum haruslah saling kait mengkait dengan tujuan, bahan
pelajaran, proses belajar-mengajar, dan penilaian. Jadi, agar kesenjangan teori
dan praktek tidak begitu melebar, maka perlu membuat rumusan tujuan pendidikan. Berhasil tidaknya visi tergantung pada tujuan
pendidikan yang dirumuskannya. Tujuan
pendidikan berdasarkan pada visi. Bejamin Bloom, dkk, membagi tujuan pendidikan menjadi tiga bagian sebagai
berikut: Pertama, tujuan kognitif meliputi segi intelektual (mengetahui,
memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi). Kedua, tujuan afektif meliputi kesadaran akan sesuatu, perasaan,
dan penilaian sesuatu (memperhatikan, merespon, menghargai, mengorganisasi, dan
mengkarakterisasi nilai-nilai). Ketiga,
tujuan psikomotor meliputi tingkat kegiatan (melakukan gerakan fisik, menunjukan
kemampuan perseptual, memperlihatkan kemampuan fisik yang mengandung ketahanan kekuatan, melakukan gerakan yang
terampil, dan mengadakan komunikasi).[70]
Untuk mentransmisi bahan pelajaran yang berpusat kepada visi membawa transformasi maka dibutuhkan proses
belajar-mengajar (pendidik dan yang dididik) yang relevan. Proses tersebut tidak saja dipahami
adalah metode menyampaikan bahan pelajaran kepada peserta didik di kelas tetapi
kehidupan pengajar itu sendiri adalah metode yang efektif dalam mengajar.
Kurikulum yang menghasilkan transformasi seperti di atas dapat mengikuti
teori “Holland’s Two-Track Analogy Adapted Model” yang diadaptasi oleh J. Robert Clinton dari disertasi Fred Holland di Fuller
Theological Seminary sangat kuat
mempengaruhi pada kehidupan mahasiswanya.
Teori ini mengatakan ada empat elemen sebagai berikut: pertama, input (bahan pengajaran atau
kuliah yang disampaikan oleh pendidik). Kedua,
pengalaman pelayanan (peluang para mahasiswa untuk mempraktekan bahan yang
telah diterimanya dalam pertemuan berkala baik yang terstruktur maupun tidak
terstruktur di dalam kehidupan nyata). Ketiga,
refleksi dinamis (pertemuan berkala yang wujudnya bisa pertemuan kelas, diskusi
berkala ataupun tutorial). Keempat,
pembinaan rohani (segala kegiatan yang difasilitasi lembaga pendidikan untuk
membina dan meningkatkan kualitas kerohanian mahasiswanya).[71]
Untuk menentukan keberhasilan proses belajar-mengajar di atas, maka
diperlukan alat penilaian atau evaluasi.
Tentu saja dinyatakan bahwa proses pendidikan berhasil bila alumni di lapangan
melayani sesuai dengan visi yang sudah dirumuskan oleh tujuan pendidikan.
Misalnya bila visi suatu lembaga pendidikan adalah dalam bidang pastoral maka
proses pendidikan menghasilkan alumni-alumni yang melayani bidang pastoral.
Juga bila visinya adalah missioner (pemberita Injil) maka alumni dari proses pendidikan tersebut
pelayanan bidang pemberitaan Injil. Tetapi, proses pendidikan dinyatakan kurang
begitu berhasil bila antara visi tidak
dijawab oleh praktek.
Proses Belajar Mengajar
Proses belajar mengajar terdiri dari pendidik (guru) dan peserta didik
(murid).Tentu saja agar pengajaran menjadi efektif, maka perlu dikembangan
metode mengajar (ceramah, tanya-jawab, kombinasi keduanya, atau yang lainnya). Berkaitan hal tersebut, maka filsafat pendidikan (dalam arti
luas) ialah pemikiran-pemikiran fisafati tentang pendidikan, atau filsafat
tentang proses pendidikan, atau filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan (the philosophy of the discipline of
education). Filsafat tentang proses pendidikan bersangkut-paut dengan
cita-cita, bentuk, metode, atau hasil dari proses pendidikan.[72] Secara sejarah, proses filsafat pendidikan dikembangkan oleh
para filsuf seperti Aristoteles, Augustinus dan Locke sebagai bagian dari sistem filsafat mereka dalam konteks teori-teori
etika, politik, epistemologi, dan metafisika yang mereka anut.[73]
Filsafat pendidikan dapat
dibedakan menjadi dua bagian adalah filsafat pendidikan praktek dan filsafat
ilmu pendidikan. Filsafat pendidikan praktek
adalah analisis kritis dan komprehensif tentang bagaimana seharusnya
pendidikan diselenggarakan dan dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Filsafat
praktek pendidikan dapat dibedakan menjadi: filsafat proses pendidikan (biasa
disebut “filsafat pendidikan”) dan filsafat sosial pendidikan. Filsafat proses
pendidikan adalah analisis kritis dan komprehensif tentang bagaimana seharusnya kegiatan dilaksanakan
dalam kehidupan manusia. Filsafat proses
pendidikan biasanya membahas tiga masalah pokok, yaitu: Apakah sebenarnya
pendidikan itu? Apakah tujuan pendidikan itu sebenarnya? Bagaimana cara
mencapai tujuan pendidikan?[74]
Hubungan
Guru-Murid
Istilah “hubungan guru–murid”
adalah “interpersonal relationship”
atau hubungan pribadi demi pribadi.[75] Pada pengertian ini, hubungan itu menempatkan
guru maupun murid sebagai dua pihak yang menjalin relasi sejajar melalui
sesuatu yang dapat mengikat mereka.
Pengikatan hubungan tersebut terjadi melalui periode tertentu. Penopang
hubungan guru-murid adalah penggunaan waktunya, demikian keyakinan Howard
Mayes. Hubungan adalah suatu keadaan relasi yang sangat berharga dan yang
memerlukan waktu untuk menciptakannya.[76] Hubungan guru-murid adalah hubungan antara
dua pihak oleh karena suatu ikatan, dan memerlukan waktu untuk menumbuhkannya.
Dalam buku Teknik Mengajar,
Benson mengemukakan mengatakan bahwa “Faktor yang juga menentukan keberhasilan
seorang guru ialah sifat hubungan guru dengan anak didiknya. Mengajar meliputi hubungan pribadi dan
persahabatan yang akrab antara pengajar dan muridnya. Kasih seorang guru masih dikenang setelah
fakta yang diajarkannya sudah lama terlupakan.”[77]
Hubungan pribadi guru-murid adalah bagian penting dari proses
pengajaran. Baik buruknya hubungan
antara pembimbing dan yang dibimbing merupakan unsur yang amat penting dalam
menentukan berhasil atau tidaknya bimbingan yang diberikan.[78] Hubungan guru-murid memiliki berperan penting
bagi pengajaran.
Model–Model Hubungan
Model-Model hubungan berikut ini berdasarkan kesimpulan dari tindakan dan
perilaku dari tokoh atau kelompok orang dalam masanya, seperti dikisahkan
Alkitab. Tokoh, orang atau kelompok yang
diambil adalah yang menampakkan pola tertentu dalam praktik mengajarnya.
Hubungan
Model Perjanjian Lama
Proses pendidikan pada masa Perjanjian Lama memiliki cakupan sangat luas
karena menyangkut berbagai aspek kehidupan.
Metode yang digunakan lebih bersifat indoktrinasi yang dilakukan oleh
pihak guru, yaitu orang tua, nabi, atau orang yang dipercaya mengajar. Usaha indoktrinasi dilakukan untuk menjaga
iman secara turun-temurun.[79] Edward L.
Hayes menyakini bahwa kata “Lamath”
adalah yang paling sering digunakan untuk maksud mengajar. Kata itu sendiri berarti “mengajar”, yang secara harfiah berarti “memukul dengan tongkat”. Maksud mengajar di sini adalah mendorong
murid untuk peniruan atau latihan.[80] Hubungan guru-murid pada masa itu, dapat
disimpulkan dari cara guru mengajar yang otoriter itu. Tindakan indoktrinasi dan otoriter itu untuk
suatu tujuan yang jelas dan benar yaitu menengakkan iman dan pengabdian kepada
Allah.[81] Tepatlah bila hubungan guru-murid pada masa
itu disebut model “hubungan otoriter
bertujuan”.
Hubungan
Model Yesus
Yesus sebagai guru telah mengajar berdasarkan otoritas, wibawa atau
kuasa. Orang yang mendengar
pengajaran-Nya menjadi takjub, terpukau, dan kemudian memberi respon positif
(Matius 7:28-29). Murid-murid dan orang
banyak memanggil Dia sebagai “Rabi”,
artinya “Yang Agung” (Matius
26:25,49; Markus 9:5; 11:21; Yohanes 1:38,49; 3:2; 4:31).[82] J.M. Price dalam buku Yesus Guru Agung juga menyatakan bahwa Yesus menekankan hubungan
perseorangan dalam pengajaran-Nya.
Sebagian besar waktu-Nya dihabiskan bersama dengan pribadi-pribadi atau
kelompok kecil. Yesus menaruh simpati,
berbicara, memberi makan dan menyembuhkan mereka.[83] Yesus meneladankan sebuah model hubungan yang
baik, berwibawa tetapi bersahabat.
Hubungan yang dikembangkan-Nya adalah “hubungan kewibawaan yang bersahabat”.
Hubungan Model Paulus
Paulus mengajar dengan menggunakan pendekatan dialogis, tanya jawab dan
diskusi.[84] Pendapat itu dilengkapi dengan informasi dari
William Barclay bahwa Paulus adalah seorang rabi, yang pada masa kini setara
dengan guru besar. Ia memiliki kemahiran
dan kepandaian dalam bidangnya.[85] Kecakapan Paulus dalam mengajar sangat
mengagumkan pendengarnya. Ia dapat
mengelola proses belajar dengan menempatkan dirinya sebagai otoritas namun
tidak berlaku secara otoritatif.[86] Hubungan guru-murid yang dikembangkan oleh
Paulus adalah “hubungan kewibawaan yang
dialogis”.
Hubungan
Model Jemaat Mula-Mula
Edward L. Hayes berpendapat, bahwa kehidupan orang Kristen mula-mula
menyatu dalam wujud ibadah, persekutuan, dan belajar.[87] Di antara jemaat ada semangat untuk saling
mengajar dalam rangka penumbuhan iman. Paulus, seperti yang dikisahkan dalam
Kolose 3:16 dan 1 Korintus 14:26, berperan memberi dorongan agar mereka saling
mengajar dalam suasana terbuka, bebas mengemukakan pendapat, serta berdiskusi
untuk menanggapi firman Tuhan.[88] Hubungan guru-murid yang terbentuk dapat
dibayangkan melalui suasana belajar mereka.
“Hubungan kebersamaan dan saling
menumbuhkan” tampaknya dapat ditetapkan sebagai sebutan bagi model hubungan
guru-murid yang terjadi pada waktu itu.
Penerapan Model Hubungan
Model hubungan guru-murid yang diciptakan oleh seorang guru sesungguhnya
tidak ekstrem. Guru-guru Kristen akan
menerapkan unsur hubungan dengan variasi dan kombinasi-kombinasi. Guru yang berdisiplin, ternyata juga
mengusahakan hubungan akrab dengan murid-muridnya. Sebaliknya, guru yang sangat akrab dengan
murid, sesungguhnya memperhatikan disiplin di kelas juga. Ada relatifitas
pilihan guru dalam menciptakan hubungan dan gaya kepemimpinan. Ada titik-titik koordinat yang adalah titik
temu antara satu ektrem dengan ekstrem yang lain atau bagian kecil suatu
ekstrem dengan bagian besar ekstrem lainnya.[89] Ada aspek-aspek yang belum diusahakan dengan
baik oleh guru bagi hubungan guru-murid yang efektif. Secara faktual model suatu hubungan tidak
diterapkan sepenuhnya oleh guru dalam membina hubungan dengan murid, tetapi
secara ideal dan untuk efektivitas pengajaran ternyata guru juga belum
mengusahakannya dengan baik.
Hubungan guru-murid yang efektif bagi proses pengajaran ditentukan oleh
beragam faktor. Berdasarkan
pendapat-pendapat beberapa ahli pendidikan, hal-hal yang perlu diteliti
berkaitan dengan hal ini adalah filsafat guru, kerohanian guru, kepribadian guru,
kebijakan pengelolaan pengajaran khususnya pemilihan metode, kebijakan memimpin
kelas, hubungan pribadi dengan murid, dan cara berkomunikasi.
Faktor Keadaan Diri Guru
Pemahaman tentang keadaan diri guru adalah hal penting yang perlu diteliti
berkaitan dengan hubungan guru-murid, sebab guru adalah penentu kualitas
hubungan tersebut. Aspek atau faktor
pada diri guru sangat beragam. Ada beberapa aspek di bawah ini yang relevan
dengan persoalan ini.
Faktor-Faktor
Pendorong
Filsafat pendidikan yang dipahami akan turut memberi dampak terhadap
pemikiran tentang kebijakan serta pelaksanaan pendidikan.[90]
Pandangan hidup yang dimiliki seorang guru mendasari kualitas guru.[91] Pandangan hidup guru menjadi titik tolak
bagaimana guru akan mengajar dan menjalin hubungan dengan murid.
Guru Kristen perlu termotivasi mengajar oleh karena panggilannya menjadi
guru adalah rahmat Allah. Berdasarkan Efesus 4:11-12 dan Roma 12:7, karunia guru dan keguruan yang
diberikan Allah adalah karunia yang sejajar dengan karunia lainnya. Itulah
motivasi yang baik bagi seorang guru.
Tugas guru sangat penting, dan tanggung jawabnya berat. Di dalam pekerjannya ia menghadapi jiwa
manusia yang besar nilainya di hadapan Allah.[92] Motivasi itu akan memberi dorongan yang baik
untuk menjalankan tugas pengajaran, termasuk bagaimana membangun hubungan
dengan murid sebagai bagian dari proses pengajaran itu sendiri.
Motivasi yang baik harus disertai tujuan yang baik. Sasaran akhir seluruh upaya mengajarkan iman
Kristen mestinya membimbing, menuntun, memberi pengarahan, dan dorongan bagi
individu dan kelompok sedemikian rupa sehingga mereka menyadari dan menjalani
panggilan hidupnya dalam kerangka menjadi murid Kristus (Mat. 28:19-20).[93] Tujuan guru yang baik adalah membawa ajaran
sehat dan jujur (Tit. 1:9; 2:7), yang berakar di dalam ajaran Kitab Suci (2Tim.
3:16), yang perlu terus ditekuni (2Tes. 2:15; Kol. 2:7). Tujuan pemuridan adalah tujuan tertinggi yang
harus disimak oleh guru dalam menjalankan tugasnya. Sebab dalam kerangka menjadi murid Yesus-lah
individu dan kelompok akan semakin mengenal jati dirinya dan akan semakin
mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan perbuatan (Mat.
22:37-39). Tujuan tertinggi dari setiap
kegiatan belajar mengajar yang dikelola haruslah membawa dan mendorong peserta
didik untuk lebih banyak belajar mengenal Allah.
Iman
dan Kerohanian
Iman dan kerohanian seorang guru sangat berperan dalam proses pendidikan
dan pengajaran. Hubungan guru-murid
sebagai faktor penting keberhasilan pengajaran, ditentukan juga oleh kualitas
iman dan kerohanian guru.[94] Iman dan kerohanian seorang guru harus
sungguh bermutu.
Benson menguraikan kualitas iman itu sebagai kualitas iman kepada Allah,
kepada Alkitab dan kepada panggilan Allah.
Iman seorang guru Kristen yang efektif haruslah iman yang aktif, iman
yang tergetar akan keajaiban Alkitab dan iman yang sadar secara mendalam akan
panggilan mengajar.[95] Pemikiran itu serupa dengan pendapat Sijabat
bahwa kualitas guru memang menyangkut kualitas iman guru itu, yang terdiri atas
iman tentang kedududukannya dalam Kristus, tentang panggilan dan tentang
penyerahan hidup.[96] Guru yang dapat menciptakan hubungan efektif
dengan murid adalah yang memiliki iman berkualitas.
Seorang guru harus mempunyai pengalaman rohani, demikian dikatakan
Homrighausen dan Enklaar.[97] Ia harus mengenal Tuhan Yesus dan hatinya
dijamah oleh Roh Kudus. Tuntutan dasar bagi kerohanian seorang guru adalah
sudah dilahirkan kembali. Kelahiran
kembali adalah suatu perubahan menyeluruh secara terpadu dan dramatis yang
dapat disamakan dengan kelahiran, kejadian, kembali atau kebangkitan.[98] Seseorang yang sudah dilahirkan kembali pasti
sudah mengalami: pengakuan dosa (Rm. 3:23), kesadaran akan akibat dosa (Rm.
6:23), pertobatan yang benar (Luk. 13 :5), kesadaran akan perlunya Tuhan dan
Juru Selamat (Kis. 4:12), dan percaya kepada Tuhan Yesus (Yoh. 1:12-13). Karena itu, dalam diri seorang guru yang
sudah dilahirkan kembali terlihat: imannya nyata (Yak. 2:26), membenci dosa
(1Yoh. 3:9; 5:18); mengalahkan keduniawian (1Yoh. 5:4); memiliki pengetahuan
yang benar tentang Allah (Kol. 3:10); tampak serupa dengan pribadi Allah (Ef.
4:24; Kol. 3 :10); tampak serupa dengan Kristus (Rm. 8:29; 1Yoh. 3;2); serta
menyukai hukum Allah (Rm. 7:22).[99] Kelahiran kembali adalah faktor kerohanian
yang sangat perlu dimiliki guru dalam proses pengajaran.
Kepribadian
Guru
Benson juga menyebutkan bahwa aspek kepribadian guru turut mempengaruhi
hubungan guru tersebut dengan orang-orang lain.[100] Aspek kepribadian yang sangat penting bagi
hubungan guru dengan orang lain, dalam hal ini murid, ditegaskan Benson dengan
mengatakan:
“Setiap orang (khususnya murid)
yang berhubungan dengan dia (guru) terpengaruh oleh kehidupannya karena kuasa
Roh kudus sangat nyata di dalam dirinya.
Setiap guru Kristen perlu bertumbuh menuju kepribadian matang yang
seperti Kristus”.[101]
Kepribadian yang matang dapat diawali dengan adanya konsep diri positif dan
profesionalisme pada diri guru.[102] Aspek kepribadian itu bersangkut paut dengan
aspek fisik, pikiran, temperamen, dan spiritual.[103] Sesungguhnya dapat dipahami bahwa kepribadian
guru, yakni keberadaan hati, watak, perilaku dan akal budi perlu berkualitas
baik. Hal itu sesuai dengan Firman Tuhan
dalam Markus 12:30 agar manusia mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati, jiwa
dan akal budi.
Pada segi lain, hati seorang guru seharusnya penuh kasih. Guru harus mengasihi Allah (Mzm. 97:10), taat
kepada Allah (1Yoh. 5:3), bersukacita (Mzm. 5:12), mengasihi murid-muridnya,
dan mengasihi firman Tuhan. Dalam 1
Korintus 13 disebutkan bahwa kasih itu sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak
sombong, sopan, tidak egois, tidak pemarah, tidak mendendam, dan tidak suka
ketidakadilan. Pestalozzi yang diakui
sebagai pendiri Sekolah Dasar Modern, mengatakan:
“guru harus memiliki kasih yang
menjadi dasar bagi hubungan antara orang, ketertiban yang berlaku dalam ruang
kelas dan kemampuan mengendalikan diri yang dihargai lebih tinggi ketimbang
kepintaran…”[104]
Perilaku guru yang berkualitas tampak dari watak yang baik pula. Guru yang
baik dengan karakter dasar apapun akan tampak penuh kasih, pengabdian,
bijaksana, dan adil.[105] Pengabdiannya diberikan dengan semangat
kerelaan.[106] Watak, sifat dan yang tampak dalam perilaku
guru yang baik menjadi tanda adanya komitmen penyerahan hidup yang benar.[107]
Faktor Kepemimpinan Instruksional
Hubungan guru-murid yang terjadi di kelas ditentukan melalui peranan
guru. Kepemimpinan guru di kelas
merupakan bentuk nyata dari peran guru di kelas.
Peran
Guru
Homrighausen dan Enklaar berpendapat bahwa guru adalah penafsir iman,
seorang gembala bagi murid-muridnya, pedoman dan pemimpin, dan seorang
penginjil.[108] Sijabat menambahkan, peranan guru juga
sebagai seorang ahli, motivator, fasilitator, pemimpin, komunikator, agen
sosialisasi, dan pelajar. Guru yang
memiliki ragam peran dalam proses pengajaran itu pasti tidak akan terpisah dari
persoalan interaksi dengan murid. Pada
seluruh peranan tersebut, guru menjadi pusat interaksi dalam menjalankan setiap
peranan tersebut. Tugas dan peran guru
penting dan tanggung jawabnya sangat berat, termasuk ketika berinteraksi dengan
muridnya.[109]
Tugas dan perannya yang sangat penting membuat guru layak disebut sebagai “Arsitek Jiwa”, demikian Stephen Tong
memberikan sebutan bagi guru. Guru bukan
sekedar tukang batu yang sedang membangun rumah. Guru adalah seorang perancang total yang
meliputi segala aspek.[110] Satu aspek yang penting adalah peran guru
sebagai “a center of constantly changing
relationship”, demikian dinyatakan Wayne R. Rood, dalam buku The Art of Teaching Christianity. Guru adalah pusat perubahan dari
hubungan-hubungan, termasuk hubungan guru-murid. Sikap, kebijakan dan perilaku guru di kelas
adalah yang menentukan bagaimana hubungannya dengan murid berubah lebih baik
atau buruk.[111] Jelaslah, peran guru sangat penting dalam
proses pengajaran, terutama dalam menciptakan keberadaan suatu hubungan
guru-murid.
Mendisain
Pengajaran
Seperti yang dikatakan Sijabat, bahwa filsafat seseorang akan mempengaruhi
kebijakan pelaksanaan pengajarannya di kelas.
Karena itu, filsafat dan keyakinan guru menentukan cara guru
merencanakan pengajarannya, termasuk dalam memilih metode mengajar.
Guru yang berkomitmen untuk memiliki hubungan baik dengan murid serta
mengajar dengan baik akan melakukan perencanaan dan persiapan mengajar dengan
baik pula. Persiapan mengajar adalah hal
yang perlu dan baik untuk dilakukan.
John T. Sisemore memberikan alasan tentang perlunya perencanaan, yaitu
bahwa Alkitab mengutamakan perencanaan pengajaran yang: terencana (2Tim. 2:15),
dan teratur (2Tim. 3:16). Roh Kudus
menghormati perencanaan, karena dapat: menolong guru (1Kor. 2:12), dan memberi
kekuatan (Yoh. 14:26).[112] Perencanaan yang baik membuat guru siap,
yakin, kuat dan mantap dalam mengajar.
Keadaan baik dari guru ini membuat proses mengajar berjalan baik, dan
murid dilayani dengan baik. Perencanaan
sangat penting dilakukan guru untuk mengawali terciptanya hubungan yang baik.
Perihal pemilihan metode juga menentukan kualitas hubungan guru-murid. Sijabat menyatakan bahwa pemilihan metode
mengajar akan mempengaruhi kualitas interaksi guru-murid.[113] Pendapat tersebut yang didasarkan juga kepada
pendapat ahli lainnya, yakni Lawrense O. Richards dan Jim Wilhoit, menandakan
bahwa pemilihan metode mempengaruhi interaksi dan hubungan guru-murid.
Kebijakan
Pengelolaan Kelas
Guru yang memimpin dan mengelola kelas mempunyai berbagai
kebijakan-kebijakan. Sijabat mengusulkan
ada tiga hal penting, yaitu mengaturan lingkungan kelas, pengaturan disiplin
yang berhubungan dengan peraturan dan pembinaan motivasi. Dua di antaranya, yakni penentuan peraturan
dan bimbingan motivasi adalah yang menentukan penciptaan hubungan guru-murid. Sijabat memberikan penegasan bahwa
pengelolaan peraturan harus dilakukan dalam suasana hubungan antar pribadi yang
tulus dan terbuka.[114] Sedangkan untuk menimbulkan motivasi yang
baik, seorang guru perlu menghargai murid dan membina hubungan persahabatan. Kecermatan pengambilan kebijakan guru dalam
mengelola kelas sangat menentukan keadaan hubungan guru-murid yang terjadi.
Pengelolaan kelas yang didasari persahabatan akan menjadi landasan bagi
guru untuk memiliki kebijakan pengelolaan kelas yang tepat. Benson menekankan, bahwa keterlibatan murid
dalam pengajaran adalah penting bagi hubungan yang hangat dan saling menerima
antara guru-murid. Situasi itu akan
berguna sekali untuk memecahkan masalah disiplin, dan kelakuan yang berkaitan
dengan peraturan dan kebijakan di kelas.[115] Guru disarankan memelihara situasi agar murid
merasa terlindungi, baik hak dan harga dirinya dalam setiap kesempatan
interaksi.[116] Guru juga disarankan mengembangkan suasana
humor tanpa sarkastik terhadap murid.
Guru mengajak murid menertawakan diri sendiri agar merasa aman dan tidak
dijadikan lelucon.[117] Pengelolaan kelas efektif adalah yang
melibatkan murid, ada keakraban, dan ada kerjasama guru-murid.
Kerjasama dan keakraban dengan murid-murid di kelas dapat mendukung suasana
nyaman dalam belajar. Guru dan murid
yang dapat mengusahakan suasana demikian telah menciptakan pola saling
membangun, seperti yang dikatakan dalam Roma 14:19, “Sebab itu marilah kita
mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera dan yang berguna untuk saling
membangun.” Situasi kelas, di mana guru
dan murid-murid saling bekerjasama dan bersahabat merupakan simpul hubungan
guru-murid yang efektif.
Berkomunikasi
di Kelas
Hukum penting dalam pengajaran yang dinamis adalah
komunikasi yang jernih. Hukum yang
berdasarkan 1 Korintus 2:4; 14:9 itu menuntut guru untuk menggunakan kata dan
konsep yang mudah dipahami. Agar
komunikasi dapat jernih disarankan guru menurunkan ketegangan, membuang
istilah–istilah, menggunakan kata yang jelas dan menggunakan bermacam
pendekatan indera.[118] Cara berkomunikasi sangat perlu diatur oleh
guru supaya proses pengajaran dan interaksi guru-murid lebih lancar.
Kualitas isi perkataan guru adalah penting. Guru harus tahu bahwa perkataan yang
diucapkannya senantiasa “memiliki kuasa”
apakah untuk membangun atau sebaliknya meruntuhkan semangat. Menurut Efesus 4:29 “Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah
perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu supaya mereka yang
mendengarnya beroleh kasih karunia.”
Guru harus belajar menetapkan sikapnya agar senantiasa dapat
mengeluarkan perkataan yang membangun dan memberi harapan.[119] Pengendalian kualitas isi komunikasi bicara
sangat mendukung kualitas hubungan dengan muridnya.
Guru yang baik, saat mengajar matanya melihat seluruh pendengar, dan
menggunakan sorotan mata untuk bisa menguasai setiap pendengar, sehingga
jiwa-jiwa itu terpaku kepadanya.[120] John M.Gregory, menyatakan, “gerakan tangan seorang penceramah, cahaya
mukanya yang tersenyum dan penuh semangat,..sering kali lebih banyak menarik
perhatian pendengar daripada isinya.”[121]
Pengaturan ekspresi wajah berperan penting dalam komunikasi antara
guru-murid. Pandangan mata, dan cahaya
muka turut menentukan efektivitas komunikasi tanpa bahasa. Gerakan tangan, kaki dan keseluruhan badan
akan melengkapi peran komunikasi non-verbal selama proses pengajaran.
Ekspresi wajah yang baik memang diharapkan ada pada seorang guru. Penulis kitab Pengkotbah menyatakan, “..Hikmat manusia menjadikan wajahnya
bercahaya dan berubahlah kekerasan wajahnya.” (Pkh. 8:1). Ini menguatkan keyakinan bahwa guru yang
wajahnya berseri bercahaya menandakan pada dirinya terdapat hikmat. Sedangkan guru yang berhikmat mengasihi murid
dan selalu mengusahakan hubungan yang baik dengan murid.
Faktor Kepemimpinan Edukasional
Kepemimpinan guru kepada murid adalah praktek guru sebagai pemimpin yang
berperan menciptakan hubungan-hubungan yang bersifat pribadi atau perseorangan
kepada setiap murid. Seorang guru perlu
mengenal, menjalin hubungan, membimbing dan memimpin murid secara
perorangan. Hubungan guru-murid secara
perorangan ini setidaknya berkaitan dengan hubungan pribadi guru-murid, serta
bagaimana penerapkan disiplin dan penghargaan.[122]
Hubungan
Pribadi Guru-Murid
Hubungan pribadi guru-murid perlu ditumbuhkan. Jika setiap murid dipandang
sebagai oknum pribadi demi pribadi maka dengan sendirinya guru telah menyatakan
kehangatan “interpersonal-relationship”. Di dalamnya ada keprihatinan, kesabaran,
kehangatan, perhatian, dan ketekunan yang sungguh-sungguh.[123] Hubungan guru-murid memang meliputi usaha
guru memiliki hubungan pribadi yang akrab dengan murid.[124] Pendapat tersebut diatas berdasarkan refleksi
hubungan Tuhan Allah dengan manusia yang diikat oleh karena ikatan yang unggul,
yakni kasih.
Menurut Edward dan F. Simpson, salah satu dari sepuluh hukum mengajar
adalah terjalinnya “Relationship of love”,
yakni “hubungan dalam kasih” antara pribadi guru dan murid. Pendapat mereka berdasarkan Galatia 5:22,
yang mendorong guru untuk menyatakan kasih kepada muridnya.[125] Kasih perlu melandasi guru dalam
berkomunikasi antar pribadi dengan murid.
Hubungan pribadi yang didasari kasih jika dijalankan dengan benar akan
menghasilkan ikatan dan kontak yang sangat dalam. Stepen Tong menyebutnya
sebagai kontak dari jiwa ke jiwa, dari hati ke hati, dari pikiran ke pikiran,
dari emosi ke emosi.[126] Sebuah hubungan pribadi yang mendalam seperti
Paulus menyebut Timotius sebagai “anakku
yang terkasih” (2Tim. 1:2). Hubungan
pribadi yang begitu dalam pasti memberi jaminan kualitas hubungan guru-murid.
Hubungan pribadi guru-murid adalah interaksi antar pribadi yang nyata dalam
hal praktis. Guru harus mengetahui
perkembangan jiwa murid dan masalah pribadi mereka. Mengerti guru-murid
adalah syarat utama dalam komunikasi timbal-balik. Komunikasi yang baik dapat membuat penyaluran
pengetahuan menjadi lebih efektif.[127]
Hubungan pribadi yang semakin akrab antara guru dan murid turut membangun
komunikasi yang baik. Interaksi positif
antar pribadi akan menciptakan hubungan guru-murid yang baik.
Penerapan
Disiplin, Kebebasan, dan Penghargaan
Guru harus terlibat dalam tugas kedisiplinan, seperti yang diteladankan
Allah kepada manusia dalam Ibrani 12:5-10.[128] Kedisiplinan yang dimaksud di sini meliputi
penetapan dan penegakan peraturan, bimbingan untuk pencapaian tugas belajar,
teguran-teguran, dan hukuman-hukuman.
Pelaksanaannya perlu bijaksana, tetapi tetap terjaga dan efektif. Jika seorang guru memiliki kasih yang
berlimpah, namun tidak memiliki ketegasan dan keadilan, keberanian dan wibawa
untuk menghadapi dosa, ia akan menjadi guru yang tidak berotoritas.[129] Kedisiplinan bukan suatu pilihan bagi guru,
tetapi tugas yang harus dilakukannya agar hubungan dengan murid terjaga,
sehingga proses pengajaran berjalan baik.
Ada segi lainnya yang perlu mendasari dan menjadi penyeimbang dalam
pelaksanaan pengajaran, khususnya dalam membina hubungan, yakni kasih. Stephen Tong menyatakan:
“guru yang memiliki keadilan,
kekerasan, disiplin yang kuat sekali, tanpa mempunyai cinta kasih, akhirnya
akan menjadikan dia seorang yang kejam dan tidak berperikemanusiaan yang cukup,
dan akan lebih banyak menyakiti daripada membangun, lebih banyak meruntuhkan
daripada mendirikan, dan mendatangkan rendah diri (inferiority) yang hebat lebih daripada memberikan keyakinan diri (confidence) orang yang dididik.”[130]
Kasih hraus mendasari dan menjadi fokus penting. Jika murid menanggapi dengan kurang tepat,
sikap guru yang baik hanyalah “menghargai”-nya. Selajalan dengan Roma 14:1-2, guru hendaknya
memberi penghargaan dulu kepada murid yang telah berpendapat, lalu guru
mengoreksi secara positif untuk membimbing kepada usulan perbaikan pemikiran.[131] Pemberian penghargaan kepada murid adalah
tindakan positif yang dapat mendukung hubungan yang efektif.
Selain penghargaan dalam bentuk tindakan, penghargaan dalam bentuk pujian
perlu dilakukan pula. Murid yang memang
patut memperoleh pujian dapat diberikan hadiah, ucapan, kata-kata atau nilai
yang membangun semangat.
Penghargaan-penghargaan itu dapat turut membangun semangat murid dalam
belajar. Tindakan itu sejalan dengan
firman Tuhan, “Kita yang kuat, wajib
menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan
kita sendiri. Setiap orang di antara
kita harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikan untuk membangunnya”
(Rm. 15:1-2). Pemberian pujian kepada murid adalah untuk kebaikan murid, kelas,
dan juga untuk membangun hubungan guru-murid yang baik
Kedisiplinan adalah hal penting, demikian juga penerapan kasih. Agar dapat menerapkan dengan tepat, sifat
dasar dari Allah adalah rujukannya. Allah adalah adil dan disiplin, tetapi juga
penuh dengan cinta kasih. Kedua sifat
itu harus diseimbangkan dan diharmoniskan di dalam jiwa seorang guru. Kekerasan dan ketegasan dari Allah
diharmoniskan dengan cinta kasih dan kelembutan Allah di dalam diri seorang
guru, sehingga ia mempunyai otoritas yang luar biasa.[132] Firman Tuhan di dalam Amsal 23:13 dan Amsal
13:24, memang mengijinkan pendidikan secara keras tetapi, bagian lain firman
Tuhan berkata: “..janganlah bangkitkan
amarah anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan”
(Ef. 6:4). Kebijaksanaan dan
keseimbangan dalam menerapkan disiplin dan kasih sangat diharapkan untuk
dilakukan oleh seorang guru.
Secara praktis konsep teologis itu menganjurkan guru untuk selalu membina
persahabatan dengan murid tanpa mengorbankan tujuan disiplin.[133] Guru hendaknya tidak melemahkan disiplin
terhadap murid karena persahabatan, atau menjaga jarak untuk melemahkan
persahabatan demi disiplin. Guru
hendaknya lebih pandai dalam membawa diri agar dapat menghadapi tugas yang
menuntut pencapaian tujuan, namun sekaligus membina persahabatan yang terbuka
dan tegas.
Metode Mengajar
Kata “mengajar” (verb) berarti
“memberi pelajaran (guru – murid), melatih, memarahi (memukuli, menghukum, dsb)
supaya jera.[134] : ia –
berenang. Mengajar adalah peristiwa bertujuan, terarah pada tujuan dan
dilaksanakan khusus untuk mencapai tujuan itu. Apabila yang dituju atau yang
akan dicapai titik C, maka dengan sendirinya proses mengajar belum dapat
dianggap selesai apabila yang dicapai di dalam kenyataan barulah titik A atau
B.[135] Dengan demikian, taraf pencapaian tujuan
pengajaran merupakan petujuk praktis tentang sejauh manakah interaksi edukatif
itu harus di bawa untuk mencapai tujuan yang terakhir. Linda J. Vogel
mengatakan bahwa mengajar memberi kuliah atau berceramah.[136]
Kekuatan
dan Kelemahan
Kekuatan mengajar ditentukan oleh tiga faktor sebagai berikut: Pertama, gaya pribadi si pengajar dan
bentuk pengajaran yang digunakan. Kedua,
mata kuliah atau mata pelajaran yang diajarkan. Ketiga, keterampilan
mengajar yang digunakan. Faktor pertama dan kedua merupakan hal yang sudah pasti serta tak bisa diubah. Artinya, hal
tersebut sudah jelas, pasti pada saat memilih seorang pengajar tertentu untuk
suatu vak tertentu. Tetapi, faktor
ketiga, yaitu keterampilan mengajar merupakan
hal yang bisa diubah atau diperbaiki dengan cara: persiapan jam
pelajaran atau jam kuliah, pelaksanaan, dan umpan balik.[137]
Tetapi sebaliknya, bila mengajar akan menjadi lemah kalau tidak memperhatikan
ketiga faktor tersebut.
Guru
yang Terbaik dan Guru yang Terjelek
Tiga guru yang terbaik sebagai berikut: pertama, guru secara aktif
harus dapat menterjemahkan sendiri jiwa tujuan umum dalam bentuk-bentuk yang
khusus, yang dikaitkan dengan tujuan akhir. Tujuan akhir adalah agar dengan
pengetahuan membaca itu anak-anak dapat mendalami tata susila, ilmu
kebijaksanaan di dalam berbagai hasil kebudayaan (buku dan lain-lain). Kedua,
setiap guru bertolak dari suatu filsafat. Artinya, seorang guru mendapat
kepercayaan dan kehormatan mengajar, kepadanya juga dipercayakan kemampuan
untuk mengambil keputusan yang bersifat normative; keputusan-keputusan
dipandang sebagai “penjelmaan filsafat hidup” yang dianutnya. Filsafat guru
berwujud dalam perumusan tujuan pendidikan. Tujuan pendididikan memberi arah
yang umum pada filsafat yang mendasari segala kegiatan pendidikan. Ketiga,
metode guru mengajar berpedoman pada tujuan pendidikan artinya memilih
metoda yang wajar harus antara lain
berpedoman pada tujuan khusus yang akan dicapainya. Hakekat tujuan inilah yang
dipakai oleh guru sebagai petunjuk untuk memilih satu atau serangkaian metoda
yang efektif.[138]
Tiga guru yang terjelek sebagai berikut: bila guru itu tidak cakap dan tidak mempunyai filosofi pengetahuan dasar
sebagai seorang guru di mana guru: tidak mengenal setiap muridnya yang
dipercayakan kepadanya, tidak memiliki
kecakapan memberi bimbingan, tidak
memiliki dasar pengetahuan yang luas tentang tujuan pendidikan, dan ia tidak
memiliki pengetahuan yang bulat dan baru mengenal ilmu yang diajarkan.[139]
Belajar
Gage mengatakan bahwa belajar sebagai
suatu proses dimana suatu organisma berubah perilakunya sebagai akibat
pengalaman.[140] Pengertian belajar mengandung
makna adanya perubahan perilaku, perilaku terbuka, belajar dan pengalaman,
belajar dan kematangan. Selanjutnya, perubahan perilaku yang ada pada anak
didik setelah belajar merupakan hasil yang harus dicapai dalam pendidikan.
Perubahan yang menyeluruh dalam segala aspek belajar, misalnya aspek
pengetahuan (kognitif) harus ada perubahan dari yang belum tahu menjadi tahu.
Perubahan aspek sikap (afektif), anak didik setelah belajar ada perubahan dari
yang tidak baik menjadi baik, buruk menjadi baik. Hal tersebut misalnya seorang
jahat menjadi orang yang jujur atau ramah dan suka menolong. Selanjutnya
menurut Gage juga mengatakan bahwa anak didik dalam belajar ada perubahan
secara aspek ketrampilan (Psikomotor).
Aspek ketrampilan ini diharapkan anak didik setelah belajar dari tidak
trampil menjadi trampil.
Berkaitan di atas, Muhahibin
mengatakan bahwa pendidikan adalah belajar menekankan tercapainya pemahaman
yang lebih luas dan mendalam terhadap apa yang dipelajari. [141]
Jadi, belajar semata-mata mengumpulkan atau menghafalkan yang tersaji
dalam bentuk informasi atau materi pelajaran.
Skinner berpendapat bahwa belajar
adalah suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung
secara progresif. Timbulnya tingkah laku
itu lantaran adanya hubungan antara “stimulus” atau “rangsangan” (S) dengan
“respon” atau “tanggapan, reaksi” ( R ). Berkaitan dengan sebelumnya, maka
Caplin berpendapat belajar sebagai pusat latihan dan pengalaman. Begitu juga
Hintsman menekankan adanya belajar apabila mempengaruhi organisme lain (manusia
lain), sedang Wittig berpendapat belajar lebih bersifat perubahan yang reltif
tetap yang terjadi dalam segala macam atau keseluruhan tingkah laku suatu
organisme sebagai hasil pengalaman.[142] Jadi, belajar berarti perubahan semua aspek tingkah
laku, yang didapatkan dari latihan dan pengalaman.
Belajar Imitasi dan Observasi
Prosedur lain yang juga penting dan
menjadi bagian yang integral (menyatu) dengan prosedur-prosedur belajar menurut
teori social learning, ialah proses
imitasi atau peniruan. Dalam hal ini,
seorang guru dan orang tua harus menjadi “model”, figur atau tokoh yang
dijadikan contoh perilaku sosial yang sangat mempengaruhi kehidupan yang
merupakan hasil belajar anak.
Rate Penerimaan Belajar
Penerimaan Belajar dan Penemuan
Belajar
Klasifikasi
Perubahan dalam Belajar
Jika dalam mengajar dipahami sebagai
upaya menciptakan terjadinya peristiwa belajar, sudah tentu kegiatan belajar
mengajar merupakan perbuatan yang tidak terpisahkan satu sama lain. Karena itu konsep mengajar harus terlebih
dahulu kita tinjau dari segi pengertian belajar. Belajar dapat diartikan sebagai proses
perubahan yang dialami seseorang, yang melibatkan salah satu atau keseluruhan
dimensi kepribadiannya.
Menurut Sidjabat perubahan dalam
belajar harus mencakup tiga aspek belajar. Tiga aspek belajar yang dimaksud
yaitu aspek kognitif (pengetahuan), aspek afektif (sikap), dan aspek psikomotor
(ketrampilan). Anak belajar ada
perubahan dari belum tahu menjadi tahu (perubahan pengetahuan), perubahan
belajar dari perilaku yang buruk berubah menjadi perilaku yang baik (perubahan
sikap), dan perubahan belajar dari tidak
bisa menjadi bisa (mampu) ada perubahan ketrampilan.[143]
Jadi dalam proses belajar maka
seharusnyalah terjadi perubahan setelah belajar. Perubahan dapat terjadi dari
segi intelek atau kemampuan berpikir.
Perubahan dapat pula terjadi dengan melibatkan segi rohani,
emosi,tingkah laku, ketrampilan dan segi-segi fisik. Perubahan sebagai hasil peristiwa belajar
senantiasa menghasilkan hal-hal dn keadaan baru dalam diri peserta didik.
Klasifikasi
dan Definisi Empat bidang Hasil Belajar
Empat hasil belajar sebagai berikut: pertama, pengetahuan, yaitu dalam bentuk bahan informasi, fakta, gagasan,
keyakinan, prosedur, hukum, kaidah, standar dan konsep lainnya. Kedua, kemampuan, yaitu dalam bentuk kemampuan
untuk menganalisis, mereproduksi, mencipta, mengatur, merangkumkan, membuat
generalisasi, berpikir rasional dan menyesuaikan. Ketiga, kebiasaan dan keterampilan, yaitu
dalam bentuk kebiasaan perilaku dan
keterampilan dalam menggunakan semua kemampuan. Keempat, sikap, yaitu dalam bentuk apresiasi,
minat, pertimbangan dan selera.[144]
Kesiapan
untuk Belajar
Arti Kesiapan untuk Belajar
Hasil studi terakhir menunjukkan
bahwa orang dewasa mempunyai masa kesiapan untuk belajar dibandingkan dengan
anak-anak. Masa ini sebagai akibat dari peranan sosialnya. Berkaitan hal
tersebut, maka Robert J. Havighurst
membagi masa dewasa itu atas beberapa fase dan
mengidentifikasikan 10 peranan sosial dalam masa dewasa. Ketiga fase
masa dewasa itu adalah masa dewasa pertengahan umur antara 30-45 tahun dan masa
dewasa akhir berumur 55 tahun lebih. Sedangkan kesepuluh peran sosial pada masa
dewasa adalah sebagai: pekerja, kawan, orangtua kepala rumah tangga, anak dari
orang tua yang sudah berumur, warga negara, anggota organisasi, kawan sekerja,
anggota keagamaan dan pemakai waktu luang.
Melengkapi hal tersebut, maka Havighurst mengatakan bahwa, penampilan
orang dewasa dalam melaksanakan peranan sosialnya berubah sejalan dengan
perubahan dari ketiga fase masa dewasa itu, sehingga hal ini mengakibatkan pula
perubahan dalam kesiapan belajar.[145]
Kesiapan belajar bagi orang dewasa dengan anak-anak berbeda. Anak-anak
cenderung mempunyai perspektif untuk menunda aplikasi apa yang ia pelajari.
Bagi anak-anak, pendidikan dipandang sebagai suatu proses penumpukan pengetahuan dan keterampilan, yang
nantinya diharapkan akan dapat bermanfaat dalam kehidupannya kelas. Sebaliknya,
bagi orang dewasa, mereka cenderung untuk mempunyai perspektif untuk secepatnya
mengaplikasikan apa yang mereka pelajari. Mereka terlibat dalam kegiatan
belajar, sebagian besar karena adanya respon terhadap apa yang dirasakan dalam
kehidupannya sekarang. Karenanya, pendidikan bagi orang dewasa dipandang
sebagai suatu proses untuk meningkatkan kemampuannya dalam memecahkan masalah
hidup yang ia hadapi.[146]
Praktek yang Bertentangan dengan
Maksud Kesiapan belajar
Praktek yang bertentangan dengan maksud
kesiapan belajar sebagai berikut:
Pertama, para pendidik orang dewasa
dianggap berperan sebagai seorang guru yang mengajarkan mata pelajaran
tertentu. Memang kesehariannya begitu,
tetapi fungsi pendidik sebenarnya bukan begitu, melainkan pendidik berperan sebagai pemberi bantuan
kepada orang yang belajar. Akibatnya, tingkat belajar menjadi tinggi bila
pendidik dapat memuaskan kebutuhannya. Kedua,
peserta didik belajar dengan materi yang tidak dibutuhkan dalam perencanaan
hidupnya atau kebutuhan untuk ingin menjadi ahli (salah jurusan). Akibatnya,
kesiapan belajar jadi merosot dan belajar tidak secara maksimal. Ketiga,
pendapat E.L. Thorndike yang mengatakan bahwa kemampunan untuk belajar seseorang menurun secara
perlahan sesudah umur 20 tahun. Memang hal itu tidak salah tetapi banyak orang
salah mengartikan “kemampuan belajar yang menurun” dianggap sebagai kekuatan
inteleknya tidak (kurang) mampu belajar. Irving Lorge meneliti hal tersebut dan hasilnya bahwa “menurunya
itu” hanya dalam kecepatan belajarnya dan bukan dalam kekuatan inteleknya.[147]
Mengevaluasi Variabel Anak Didik
yang Menentukan Kesiapannya
Belajar sebagai proses perubahan
tingkah laku merupakan proses yang terjadi di dalam satu situasi, bukan di
dalam satu ruang hampa. Situasi belajar ditandai dengan adanya motif-motif
yang ditetapkan atau diterima oleh
murid.[148] Kesulitan yang ada pada umumnya
dihadapi oleh orang yang belajar adalah tidak cukupnya pengetahuan mereka
mengenai cara-cara belajar.
Dalam proses belajar murid memerlukan
kesiapan. Beberapa faktor yang mempengaruhi kesiapan belajar adalah: pertama, kurang dapat memusatkan perhatian kepada
pelajaran yang sedang dihadapi. Kedua, tidak dapat menguasai kaidah yang
berkaitan sehingga tidak dapat memahami pelajaran. Ketiga, lambat
membaca sehingga tidak dapat membaca bahan yang seharusnya dibaca.[149] Karena itu, perlunya motivasi
dalam diri murid untuk belajar. Motivasi belajar adalah jantung kegiatan
belajar dan suatu pendorong yang membuat
seseorang belajar.[150] Jadi, keras tidaknya usaha
belajar dilakukan seseorang bergantung
kepada besar tidaknya motivasi belajar.
Evaluasi akhir terhadap anak didik adalah apabila usaha murid telah
menghasilkan pola tingkah laku yang dituju semula di mana proses belajar dapat
dikatakan mencapai titik akhir sementara.
Hasil utama adalah “tambahan“ perubahan tingkah laku. Dengan demikian,
akhirnya terdapat satu kesatuan yang menyeluruh (kebulatan tingkah laku).[151]
Hubungan
Guru dengan Anak Didik
Hubungan antara keberhasilan pengajaran dan sifat Guru dalam Domain
Kognitif. Seorang pendidik harus banyak membaca dan selalu mengikuti
perkembangan informasi yang terjadi dalam masyarakat. Keterbukaan seorang guru
dalam menerima segala informasi dari luar sangat mempengaruhi pengetahuan
seorang anak didik yang diajar. Dengan demikian, maka:
1.
Guru dihadapan siswa sebagai sumber informasi.
Dengan banyaknya pengetahuan dan wawasan guru, maka keberhasilan dalam mengajar
dapat dirasakan bagi siswa yang diajar.[152]
2.
Hubungan antara keberhasilan pengajaran dan sifat
dalam Domain Affektif. Seorang guru harus menjadi teladan hidup bagi anak
didiknya. Sikap guru yang baik akan
sangat menolong siswa berinteraksi
dengan baik kepada gurunya. Seorang guru harus menjaga hubungan yang
harmonis dengan anak didiknya. Dengan menjaga hubungan baik, maka anak didik
merasa tenang dan nyaman. Dengan demikian proses belajar pun akan berjalan
dengan lancar. Sebaliknya jika seorang
guru memiliki karakter yang kurang baik, interaksi dengan anak didik pun merasa
tidak harmonis sehingga menimbulkan ketidaktenangan.[153]
3.
Guru yang memiliki sifat otoriter, yaitu seorang
guru menyampaikan materi dalam proses
belajar mengajar memiliki sifat menguasa kepada anak didik. Siswa harus
mengikuti apa yang guru kehendaki. Siswa tidak ada kesempatan untuk bertanya
atau memberikan usulan saat terjadi proses belajar mengajar. Hal ini disebabkan
kurangnya pemahaman seorang guru dalam mengajar tidak memperhatikan pentingnya
mengembangkan keaktifan siswa. Dengan demikian secara tidak langsung membentuk anak
didik menjadi seorang yang berjiwa melawan atau menentang.
4.
Proses pembelajaran guru memberi kesempatan kepada
anak didik untuk bersama-sama menciptakan suasana kekeluargaan dan suasana
demokratis. Guru dan siswa saling menghargai satu dengan yang lain. Dengan
demikian proses belajar dapat berjalan dengan baik sesuai yang diharapakan
dalam tujuan pembelajaran.
Dengan uraian di atas, maka dapat dilihat bahwa seorang guru wajib memberi
kesempatan kepada siswa untuk berhasil dan guru pun sangat membuka diri untuk menerima
masukan-masukan dari siswa jika hal itu dirasa perlu.
Bagaimana
Belajar itu Terjadi?
Definisi
“Piramid Pengalaman Belajar”
“Kerucut Pengalaman” belajar dari Edgar Dale memperhatikan hubungan bahan
dan sarana belajar sebagai berikut: Pertama, buku teks. Buku merupakan
modal dalam belajar. Buku merupakan sumber belajar apabila oleh peserta
dipergunaan untuk memperoleh informasi yang diperlukan. Pengajaran yang
berpusat pada buku-buku teks biasanya peserta disuruh membaca buku itu,
selanjutnya mengulang isinya dan yang terakhir mengevaluasi apa yang telah
diperoleh dari buku tersebut. Kedua, bahan belajar yang dibuat sendiri
oleh fasilitator. Apabila buku teks tidak ada untuk keperluan kegiatan belajar,
maka fasilitator dapat membuat sendiri bahan belajar tersebut sesuai dengan
kebutuhan peserta selanjutnya didistribusikan kepada peserta. Ketiga,
alat pandang dengar. Dalam menggunakan alat pandang dengar, ada beberapa
langkah yang perlu diperhatikan, di antaranya: (1) perencanaan pemakaian alat
pandang dengar harus direncanakan oleh fasilitator dan perseta sesuai dengan
teknik dan isi satuan pelajaran. (2) seleksi alat pandang, (3) mempersiapkan peralatan, (4) mempersiapkan
peserta, (5) meringkaskan informasi, dan (6) mendiskusikan informasi.[154]
Contoh pengalaman yang dinyatakan “Pyramid Pengalaman Belajar”. Dalam belajar melibatkan keseluruhan dimensi
dari individu karena manusia adalah makhluk utuh yang memiliki dimensi:
lahiriah, jasmaniah, pribadi dan sosial.
Setiap individu memiliki pancaindra. Karena alasan itulah proses belajar
yang baik melibatkan keseluruhan panca indera semaksimal mungkin.
Melibatkan pancaindera dalam
kegiatan belajar:
1. Dengar-à
2. Lihat-à 3. Bicara-à 4.Berbuat-à dan 5. Berbicara dan Berbuat[155]
Belajar harus mengaktifkan pendengaran, penglihatan, perasaan, penciuman,
perabaan dan pengalaman bahkan gerak. Berkaitan hal itu, maka H.R Mill dalam piramid belajar, mengatakan
dari segi pengembangan pengetahuan bahwa seseorang untuk memperoleh
pengetahuan biasanya seseorang lebih banyak belajar melalui: penglihatan (75%)
daripada pendengaran (25%). Selanjutnya pandangan belajar dari segi
pengembangan ketrampilan, yaitu: seseorang meningkatkan ketrampilan, maka
seseorang belajar melalui praktek (65%) daripada penglihatan (25%) dan
pendengaran (10%).[156]
Berkaitan dengan pemahaman belajar,
maka David Kolb mengatakan bahwa ada
empat Styles of Learning Inventory (pengalaman belajar)[157] sebagai berikut: Pertama, “tipe converger”, yaitu
belajar melalui proses konseptualisasi abstrak (berpikir) dan eksperimentasi
(berbuat). Kedua, tipe diverger, yaitu belajar melalui
pengalaman-pengalamaan konkret (perasaan) dan observasi reflektif (pengamatan).
Dengan tipe ini anak didik lebih
didominasi oleh intuisi, perasaan, dan sensitivitas. Ketiga, tipe
assimilator, belajar melalui konseptualisasi abstrak (kuat dalam berpikir)
dengan observasi reflektif (pengamatan).
Keempat, tipe accomodator yaitu belajar melalui pengalaman
konkret (perasaan dan ekperimental aktif (berbuat).
Murid (Peserta Didik)
Mengenal peserta didik berarti perlu mengenal sifat-sifat positif maupun
negatif anak didik sebagai berikut:
Sifat-sifat Positif Anak Didik
Sifat Anak Didik
Berkembang Inteligensinya
Inteligensi merupakan sifat dasar
anak didik yang sifatnya berkembang. Oleh karena itu, maka pendidikan
memberikan kesempatan kepada anak didik untuk intelektualnya berkembang secara
maksimal. Ada beberapa tokoh psikologi yang mendefinisikan inteligensi
sebagai berikut: (1) Terma:
Inteligensi adalah kemampuan untuk melakukan berpikir abstrak. Dengan
memanipulasi simbol-simbol, terutama kata-kata. Tindakan yang intelligent
meliputi: pengarahan, penyesuaian dan kritik terhadap diri sendiri dalam
adaptasi mental. (2) Thorndike: Inteligensi adalah kemampuan
melakukan respons yang baik dan diperlihatkannya dengan kecakapannya untuk
berhubungan secara efektif dengan situasi-situasi yang baru, baik situasi
abstrak, mekanis maupun sosial. (3) Stoddart:
Inteligensi adalah kemampuan untuk memahami masalah-masalah yang ditandai
dengan adanya: (a) kesulitan, (b) kompleksitas, (c) keabstrakan, (d) ekonomi,
(e) kesesuaian terhadap tujuan, (f) nilai sosal, dan (g) originalitas. (4) Wechsler: Inteligensi adalah kecakapan global
dari individu untuk bertindak secara
bertujuan, berpikir secara rasional dan berhubungan dengan lingkungan secara
efektif.
Dari uraian definisi di atas
maka dapat disimpulkan bahwa Inteligensi adalah kemampuan untuk
memudahkan penyesuaian secara tepat terhadap berbagai segi dari keseluruhan
lingkungan seseorang.
Fungsi Intelingensi
Fungsi inteligensi adalah:
1.
untuk memahami situasi-situasi yang beraneka ragam,
2.
untuk belajar memahami dan membandingkan fakta-fakta
yang luas, halus, abstrak dengan cepat dan tepat,
3.
memusatkan proses mental terhadap masalah-masalah
4.
menunjukkan fleksibelitas dan kecerdikan dalam upaya
mencari cara-cara penyelesaian
Pertumbuhan
Secara teoritis pertumbuhan atau perkembangan intelektual berhenti pada
usia 20 atau 25 tahun. Bagi orang yang
lebih inteligen pertumbuhan berlangsung lebih cepat dan terus berlangsung dalam
waktu yang lebih lama. Sebaliknya orang yang kurang inteligen berkembang lebih
lambat dan pertumbuhan ini akan berhenti lebih awal.
Berbeda dengan kemampuan mental. Menurut Wechsler, kemajuan kemampuan
mental seseorang bisa berlangsung hingga usia 30 tahun dan sedikit menurun
sampai usia 60 tahun. Menurut Hereditas, bahwa potensi untuk perkembangan
inteligensi diwariskan melalui orang tua.
Menurut Bernard, berdasarkan hasil
penelitiannya dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menunjang perkembangan
intelektual yang optimal adalah: (a) Orang tua yang menaruh minat terhadap
anak-anak: menyediakan waktu untuk bercengkerama dengan mereka, menjawab pertanyaan-pertanyaan
mereka. (b) Faktor-faktor cinta dan kasih sayang, penerimaann terhadap anak,
perlakuan konsisten yang menunjang kesehatan mental. (c) Meninjau tempat-tempat
penting seperti museum, kebun binatang, perpustakaan, konser, teater dan taman.
Salah satu bukti bahwa inteligensi
anak didik berkembang dapat kita ketahui
di sekolah bahwa di antara mereka ada: anak yang cerdas dan ada anak yang lamban.
Bagi
anak yang cerdas, ciri-cirinya: ia mempunyai energi yang lebih besar,
dorongan ingin tahu lebih besar, sikap sosialnya lebih baik, aktif, lebih mampu
melakukan abstraksi, lebih cepat dan lebih jelas menghayati hubungan-hubungan
bekerja atas dasar rencana dan inisiatif sendiri, suka menyelidiki sesuatu yang
baru dan lebih luas, lebih mantap dengan tugas-tugas rutin yang sederhana,
lebih cepat mempelajari proses-proses mekanis, tidak menyukai tugas-tugas yang
belum dimengertti, tidak suka menggunakan
cara hafalan dengan ingatan, malas mempelajari hal-hal yang tidak menarik minatnya. Selain
itu, ia dapat menempatkan dan mengatur bahan-bahan, menemukan dan merumuskan
hubungan-hubungan dan kesimpulan-kesimpulan, membaca bahan-bahan yang lebih
sulit. Ia dapat membantu anak-anak yang lebih rendah. Ia dapat diberi tugas
yang lebih luas dan lebih rumit.
Bagi
anak yang lamban, ciri-cirinya: ia belajar dalam unit-unit yang lebih
sempit, kemajuannya ingin sering diperiksa, perlu banyak perbaikan,
perbendaharaan kata lebih terbatas,
memerlukan banyak kata baru untuk memperjelas pengertian, sulit membuat
kesimpulan-kesimpulan, tidak mudah mengerti, kurang memiliki kreatifitas dan
perencanaan, ia lamban menguasai ketrampilan mekanis dan metodis, lebih mudah
mengerjakan tugas-tugas rutin, cepat mengambil kesimpulan tetapi kurang kritis
dan mudah puas dengan jawaban yang dangkal. Ia kurang senang dengan kemajuan
orang lain, mudah marah, kurang percaya
diri, lebih berminat terhadap kehidupan di luar sekolah.
Berkembang Emosi
Emosi adalah sifat dasar anak didik yang bisa berkembang.
Emosi merupakan gejolak atau goncangan perasaan di dalam organisme, atau
pengalaman afektif yang mengiringi suasana bergejolak dalam organisme. Emosi yang negatif dapat
berupa kebencian dan teror yang berakhir pada perkelahian, tetapi emosi yang
positif dapat berupa: kasih sayang dan perhatian, cinta dan ambisi.
Implikasinya adalah bahwa para siswa
harus ditolong untuk dapat mengontrol emosinya agar berkembang ke arah hal-hal
yang positif dan konstruktif. Sedangkan bahwa dalam hubungannya dengan emosi anak didik, guru
hendaknya mempelajari keadaan rumah atau masyarakat sekitar tempat tinggal
anak-anak. Adanya masalah dalam keluarga atau masyarakat tempat ia
bergaul akan berpengaruh terhadap emosi anak. Dengan demikian, maka secara
mental akan tampak kurang berminat untuk belajar. Menurut Beatty, bimbingan dalam pengenalan
dan penanganan masalah emosi ini: apabila dintegrasikan kedalam transaksi
belajar-mengajar, akan memperbaiki cara-cara anak menyesuaikan diri dan akan
mendorong kemajuan dalam bidang akademis.
Ada beberapa sumber emosi sebagai berikut: (1) sumber emosi yang
negatif perlu diketahui. Beberapa anak didik sering datang ke sekolah dengan
emosi yang tidak baik, misalnya: lekas
marah dan mudah tersinggung. Hal ini mungkin disebabkan oleh: sakit kepala
kerena gangguan mata, kurang tidur atau lapar, tegang dengan orang tua,
ketidakseimbangan kelenjar-kelenjar, atau kondisi sekolah sendiri yang kaku dan
terlalu banyak tuntutan kepada anak. (2) Sumber emosi yang positif dan
konstruktif dapat kita ketahui antara lain: adanya perhatian yang cukup dari
orang tua, atau guru atau orang dewasa lainnya, anak mendapat rasa kasih
sayang baik dari orang tua maupun guru,
suasana yang penuh persahabatan dan persaudaraan, anak cukup mendapat reward,
suasana yang humoris, orang tua dan guru yang mau mengerti kesulitan-kesulitan
anak.
Pada posisi di sinilah bahwa tugas
guru adalah membina dan mengembangkan emosi anak didik ke arah yang positif.
Anak sekolah perlu diarahkan menuju ke tingkat kematangan emosi.
Para remaja harus dilatih dan
dididik agar menyadari kematangan emosinya sehingga mampu bertingkahlaku yang
lebih baik di tengah-tengah perkembangannya menuju ke tingkat kedewasaan
emosionalnya. Dengan demikian, maka
prestasi belajar berhubungan erat dengan stabil tidaknya emosi anak didik. Jadi, bagi anak didik yang emosinya stabil
dan tenang akan menghasilkan prestasi belajar yang tinggi. Sebaliknnya emosi
yang tidak stabil dan hati yang
kacau akan menghasilkan prestasi belajar
yang rendah.
Berkembang Bakat
Bakat adalah sebagai sifat dasar
anak didik telah ada sejak dalam
kandungan ibunya. Semua manusia mempunyai sifar dasar ini. Kenyataan adanya
bakat itu bisa diketahui setelah anak menginjak umur 4-5 tahun. Pada usia ini
sudah bisa kita ketahui bakatnya, misalnya:
bakat bernyanyi. Bagi yang berbakat menyannyi pada usia ini mereka sudah
bisa menyanyi dengan nada yang tepat dan bisa menyelaraskan suaranya dengan
nada alat musik tertentu. Setelah mereka masuk sekolah, peranan sekolah
mengembangkan bakat anak didik itu dengan cara mengadakan latihan pada
hari-hari tertentu.Selanjutnya untuk anak tingkat SMA, suatu bakat bisa
dikembangkan melalui jalur Intra dan Ekstra Kurikuler.
Dengan demikian, maka tujuan
akhir pengembangan bakat adalah
menjadi pribadi yang
mahir, mandiri dan profesional dalam bidang kemampuan
ketrampilan (life skilnya).
Berkembang Gairah Kerohanian
Mary Go Setiawani mengatakan
bahwa perkembangan kerohanian anak didik
dapat dikenali sejak usia 2-3 tahun. Pada usia tersebut sikap rohaninya meniru
tingkah laku orang tuannya, suka mendengar cerita Alkitab dan tahu kasih Allah.
Penuturannya selanjutnya sebagai
berikut:[158]
Ciri khas kerohanian anak didik
setiap jenjang usia mengalami perkembangan ke arah yang lebih dewasa dan lebih
baik sebagai berikut: (a) kondisi
kerohanian anak usia 4-5 tahun: mengenal Allah melalui kasih orang dewasa
terhadap diri mereka, iman terhadap Allah dinyatakan melalui percayanya terhadap orang dewasa,
dapat belajar mengenal Allah melalui kebaktian, memiliki kesadaran akan hal
salah dan benar, dan baru dapat belajar berdoa. (b) kondisi kerohanian anak usia 6-8 tahun: imannya menaruh minat terhadap kebenaran,
dapat berdoa dengan kata-kata sendiri secara spontan, mempunyai rasa ingin tahu
tentang surga dan neraka, semua pengalaman rohaninya adalah meniru tingkah laku
dan teladan orang dewasa dan pada umumnya suka pergi ke sekolah minggu. (c)
kondisi kerohanian anak usia 9-11 tahun: sudah mulai matang untuk menerima
keselamatan, memuja tokoh-tokoh pahlawan, suka membaca Alkitab dan berdoa,
dapat menerima pengajaran Alkitab yang agak mendalam dan memperhatikan
keselamatan jiwa orang lain. (d) kondisi kerohanian anak usia 12-14 tahun: siap
sedia menerima keselamatan, mulai memiliki pendirian sendiri untuk beribadah,
bukan paksaan orang tua lagi, menerima pengalaman agama yang nyata, banyak
bertanya tentang agama, sedang mencari kebenaran sejati, dan dapat mengalami
kehidupan yang berpusat kepada Kristus. (e)
kondisi kerohanian pada usia 15-17 tahun: waktu yang tepat untuk
menerima keselamatan pribadi, timbul keraguan terhadap bermacam-macam persoalan
kepercayaan, tidak tahan melihat orang yang tak selaras dalam tutur kata dan
perbuatan, menitikberatkan pengalaman nyata agama yang dianutnya, dan mudah
terdorong emosi, dan bertekat mau menyerahkan diri kepada Tuhan. (f) kondisi
kerohanian pada usia 18-25 tahun: menuntut kebenaran yang logis, ingin
mengalami sendiri kesungguhan dari agama yang dianutnya, dan memberikan respons panggilan Tuhan dan
mulai dapat melayani Tuhan dengan giat.
Berkembang Mentalnya
Sifat dasar anak didik yang perlu
diperhatikan perkembangannya adalah sisi mentalnya sebagai berikut: (a) kondisi mental pada usia 6-8 tahun: daya khayalnya sangat kuat, masih berpikir
secara harafiah, belum dapat menerima hal-hal yang abstrak, kemampuan membaca
masih rendah dan semakin bertambah, memiliki daya ingat yang sangat baik, dan
kemampuan untuk berpikir secara logis masih terbatas. (b) kondisi mental pada
usia 9-11 tahun: suka koleksi benda-benda, daya kreativitasnya tinggi, mulai
bisa berpikir secara logis, suka bertanya, memiliki daya ingat yang baik,
pengertiannya terhadap hal-hal yang rumit dan abstrak masih terbatas, dan dapat
membaca. (c) kondisi mental pada usia 12-14 tahun: suka mengkritik, menuntut
segala sesuatu yang logis, daya pengertian kurang pengalaman, bisa mengerti
hal-hal yang abstrak, daya ingat cukup baik, tetapi menuntut alasan, terlalu
cepat mengambil keputusan dan kesimpulan, kemampuan membaca berkembang dengan
pesat, suka mengkhayal dan mungkin ada kaitannya dengan pertumbuhan jasmaninya
yang begitu pesat. (d) kondisi mental pada usia 15-17 tahun: kemampuan berpikir
secara logis sudah mencapai tahap kedewasaan, mempunyai daya imajinasi yang
penuh kreatif, menuntut berdikari, suka berdebat, tidak bisa menerima pendapat
oranng begitu saja, memperhatikan masa depan dan memiliki cita-cita sendiri. (e) kondisi
mental pada usia 18-25 tahun: mulai
timbul pemikiran-pemikiran yang bijaksana, menerima pemikiran yang baru, timbul
keraguan atas kepercayaan dan otoritas, memiliki keinginan untuk menuntut
kebenaran, mengenal kemampuan diri sendiri untuk memilih karier, dan mulai bisa
komitmen pada kejujuran.
Berkembang Cita-citanya
Cita-cita anak didik sifatnya ada
yang tetap, ada yang bingung dan ada yang berkembang terus. Dari sejak usia
pra-sekolah sudah banyak anak didik yang menetapkan cita-cita mereka. Ada yang
bercita-cita menjadi guru sejak usia Sekolah Dasar, cita-cita ini tidak berubah
dan kenyataan akhir ia menjadi seorang guru. Ada juga yang cita-citanya
berkembang terus.
Setelah SMP melihat seorang guru yang menjadi idolanya ia bercita-cita
menjadi seorang guru. Setelah SMA ia berkembang cita-citanya bahwa ia akan
menjadi seorang manager suatu perusahaan atau teknisi informatika atau
programmer komputerisasi. Tentunya untuk mencapai cita-cita itu harus
disesuaikan dengan bakatnya.
Pada tingkat SMA, cita-cita yang
terus berkembang perlu mendapat arahan dan wawasan karier dari seorang guru
pembimbing. Pada umumnya hal ini diperhadapkan dan ditangani oleh guru
Bimbingan dan Konseling (Guru BK). Di tangan guru BK cita-cita anak dapat
diarahkan dalam memilih dan menentukan perguruan tinggi mana yang sesuai dengan
bakatnya, karena cita-cita yang baik
untuk diidamkan adalah cita-cita yang bisa tercapai dengan dasar bakat yang
dimilkinya. Dengan demikian, maka dalam mencari pekerjaan ia tidak ragu-ragu
menempatkan diri dan tidak merasa takut tidak mampu bekerja. Ia akan memliki
rasa percaya diri yang kuat dan akan menjadi seorang pekerja yang handal dan
profesional.
Dari pemahaman di atas, maka dengan
tegas dikatakan bahwa salah satu fungsi
sekolah adalah memupuk bakat dan memantapkan cita-cita peserta didik sampai
pada tingkat pengakuan atau pernyataan yang tepat pada diri siswa.
Sifat Anak Didik
yang Berubah (Tidak Stabil)
Sifat dasar anak didik yang bersifat
berubah-ubah atau belum stabil adalah: fisiknya, tingkah lakunya, prinsipnya
dan jati dirnya. Uraian tersebut sebagai berikut:
Berubah Fisik (Jasmaninya)
Berubah fisiknya atau jasmaninya
sebagai berikut: (a). kondisi fisik pada usia 6-8 tahun: Jasmaninya terus
bertumbuh, jasmaninya cepat letih, dan dapat menyesuaikan diri dalam permainan
kelompok. (b) kondisi fisik pada usia 9-11 tahun: keadaan kesehatan cukup baik,
semangatnya berkobar-kobar, mudah lapar dan selera makannya cukup baik, dan
daya tahan tubuh semakin kuat. (c) kondisi fisik pada usia 12-14 tahun: pertumbuhan fisiknya berkembang
dengan sangat pesat dan mengakibatkan
ketidakstabilan emosi, berat dan tinggi
badan bertambah, anak perempuan lebih cepat daripada laki-laki, Sedang
mengalami proses kematangan seksual, anak perempuan lebih cepat, dan pita suara
semakin dewasa, yang menyebabkan suarra
anak laki-laki berubah. (d) kondisi fisik pada usia 15-17 tahun: pertumbuhan
jasmani semakin lambat, tatapi semakin bertambah dewasa, anak putri mulai
mementingkan kecantikan secara lahiriah, nafsu makan besar, apalagi anak putra,
dan sering mengikuti aktivitas dengan melampaui batas dan melalaikan disiplin
hidup. (e) kondisi fisik pada usia 18-25 tahun: tubuh kuat dan tidak mudah
letih, mengalami kematangan seksual, mulai sibuk beraktivitas, mulai berusaha
menyesuaikan diri dengan teman sebaya, dan mulai saling tertarik dan ingin
mendekati lawan jenisnya.
Pada umumnya anak putra remaja atau pemuda akan merasakan gairah seksual
dari pengalaman-pengalaman: bergurau
dengan lawan jenisnya, sentuhan fisik dengan lawan jenisnya, berkencan dengan
lawan jenisnya, membicarakan maslah seksual dengan teman-teman, membaca media
cetak atau elektronika mengenai uraian tentang seksual, melihat foto gambar
porno, melihat foto lawan jenis yang telanjang, melihat blue film atau VCD
porno. Jikalau kehilangan bimbingan yang tepat, tidak sedikit remaja yang akan
tersesat dan cabul atau melakukan penyimpangan seksual sebelum menikah
Keadaan jasmani anak berbeda-beda
dalam hal tinggi, berat dan koordinasi
organ-organ tubuhnya. Ada yang badannya tinggi kurus, ada pula bentuk
badannya yang atletis. Ada pula yang mendapat gangguan fisik, seperti kurang jelas
penglihatannya, berpenyakit asma, mudah pusing kepala, gangguan sakit gigi,
gangguan cacat. Keadaan jasmani yang kurang baik seperti itu akan membawa pengaruh kurang efisien dan gairah belajar. Guru harus peduli.
Berubah Tingkah Lakunya
Jika kita menyimak tingkah laku anak didik dari tingkat SD hingga Perguruan
Tinggi ada banyak perubahan tingkah laku dalam diri mereka, baik yang positif
maupun yang negatif. Factor lingkungan sekolah sangat besar pengaruhnya
terhadap perkembangan perilaku anak sebagai berikut:
1.
Perilaku dan pribadi guru besar pengaruhnya terhadap perkembangan perilaku
anak didik. Guru yang berlaku negatif, seperti pemarah, mudah tersinggung, kurang adil, kurang bertanggungjawab, sikap
pasif dan tidak kreatif dapat mempengaruhi perilaku anak didik sehingga mereka
cenderung beperilaku negatif juga.
2.
Perilaku teman sekolah juga turut mempengaruhi
perkembangan perilaku anak karena mereka sering bergaul dan saling meniru satu
dengan yang lainnya. Sifat perilaku teman ada
dua macam, ada yang baik dan ada yang nakal. Perilaku teman yang baik
akan mempengaruhi tingkah laku yang baik untuk teman yang baik maupun yang
kurang baik; ada juga teman yang baik mau dipengaruhi perilaku yang kurang baik
dari anak yang nakal sehingga menjadi nakal. Ada yang berperilaku tidak baik
setelah mendapat teman yang baik, ia berubah menjadi anak yang baik.
3.
Kondisi bangunan sekolah dan ruang kelas yang tidak memenuhi syarat, juga bisa
mengakibatkan tumbuhnya perilaku anak yang kurang harmonis satu sama lain dan
anak malas ke sekolah.
4.
Kurikulum:
5.
Sistim intruksional yang terlalu berat dan kaku serta
suasana yang otoriter memberikkan pengaruh destruktif tertentu terhadap
perkembangan perilaku anak.
Berubah Prinsipnya
Tidak semua anak memiliki prinsip yang kuat dan patut dipertahankan.
Diantara mereka ada yang prinsipnya salah atau kurang sesuai dengan
perkembangan usia dan tingkat pendidikan yang sedang berlangsung. Alangkah baiknya jika para pendidik dapat mengetahui
apa prinsip masing-masing anak didiknya di dalam keluarga, di sekolah, dalam
belajar, dalam pergaulan. Sehingga jika kita temui bahwa prinsip mereka kurang
tepat, tidak sesuai dengan hukum pendidikan, maka pendidik bisa mengarahkan,
bahkan merubah total suatu prinsip yang dipandang perlu diluruskan atau dipengaruhi, sehingga anak didik
memiliki prinsip yang benar-benar tepat bagi dirinya menurut kalangan pendidik
maupun orang tua mereka.
Tentu tidak tepat jika anak didik
prinsipnya di sekolah “ yang penting sekolah”. Mestinya prinsip yang tepat anak
sekolah adalah “ saya harus pintar dan meraih juara atau ranking satu” di kelas
saya; atau “saya harus menjadi juara umum”.
Contoh prinsip dalam belajar yang
tepat misalnya: “saya akan belajar bukan dari guru saja”. Prinsip ini tentunya dapat
disetujui baik oleh rata-rata pendidik maupun orang tua, karena belajar yang
baik bukan hanya dari guru saja tetapi bisa dari teman, dari internet atau dari
berbagai media baik cetak maupun elektronika. Contoh prinsip anak dalam
keluarga yang tepat misalnya: “pertama-tama saya akan membahagiakan orang tua
dan kedua saya bisa berguna bagi keluarga”. Jika ada peserta didik yang
berprinsip dalam hal pergaulan
mengatakan :” saya bergaul dengan siapa saja-tidak pandang bulu”. Prinsip
seperti tersebut tersirat ada sikap bergaul yang ngawur dan tidak selektif. Hal
ini perlu diarahkan oleh pendidik atau
orang tua bahwa setiap
orang harus bergaul
dengan orang yang
memiliki kebiasaan
baik, dengan kata lain “orang baik” sebab sebuah kitab suci menuturkan prinsip
yang tepat dalam pergaulan berbunyi:”pergaulan yang buruk akan merusak
kebiasaan yang baik”. Para pendidik yang mampu menempatkan prinsip yang tepat
akan membawa perubahan prinsip bagi
banyak peserta didik yang berhati baik. Hal ini sesuai dengan pepatah jawa
bahwa guru itu patut di gugu dan di tiru .
Suatu prinsip ada gunanya. Dengan
memiliki prinsip, seorang anak didik akan mempelajari sesuatu yang baru atau
dapat menentukan tindakan-tindakan apa yang selanjutnya perlu dikerjakan atau
dilakukannya. Dengan prinsip yang jelas memungkinkan anak didik belajar serius
dan pengajaran bisa terlaksana dengan baik. Pengajaran yang lebih tinggi dapat berlangsug secara efektif jika anak
didik telah memiliki prinsip mengenai berbagai mata ajaran yang telah diberikan
pada jenjang sekolah sebelumnya.
Berubah Jati Dirinya
Jati diri seseorang bisa berubah. Hal ini tergantung bagaimana sesorang
mampu tidaknya menemukan makna hidup yang sesungguhnya, mampu tidaknya mengenal
diri sendiri. Dalam rangka mencari jati
diri dan makna hidup yang sesungguhnya, manusia harus bisa menjawab sebuah
pertanyaan esensial yaitu siapa dirinya atau siapa saya. Pertanyaan seperti ini
agak bersifat filosofis, tetapi amat penting untuk membangun karakter atau
mengembangkan diri. Mengapa? Karena jika seseorang bisa mengenal dirinya
sendiri, ia akan mampu menempatkan diri dalam setiapsituasi hidup. Banyak anak
didik yang masih mencari jati diri atau
identitas diri dengan cara yang kurang tepat, misalnya: ikut-ikutan, tidak punya pendirian, atau
tidak berani mengambil keputusan.
Setiap manusia memiliki kelebihan
dan kekurangan, kekuatan dan kelemahan. Dalam hal ini setiap orang dituntut
untuk jujur mengakui keberadaannya, termasuk bisa menemukan kelemahan dan
kekuatan diri atau potensi yang ada dalam dirinya. Dengan kata lain setiap
orang harus bisa mengenal diri sendiri. Orang yang bisa mengenal diri sendiri
itulah orang yang sesungguhnya memiliki jati diri. Bagaimana seseorang bisa
mengenal diri sendiri? Jawabnya harus bisa menilai diri sendiri. Dari sini dapat kita ketahui bahwa jati diri
seseorang bisa berubah tergantung bagaimana dia mampu atau tidak menilai dirinya sendiri. Jika dia mampu menilai
dirinya, maka ia akan mampu menemukan jati dirinya. Tentu jika dia sadar menemukan
dirinya banyak kekurangan atau kelemahan tidak akan diam membiarkan
kelemahannya itu. Ia harus tekun mengusahakan perbaikan hingga menghasilkan
perubahan yang benar-benar bisa menunjukkan jati diri apa adanya.
Beberapa penyebab seorang anak bisa
kehilangan jati diri atau jati dirinya berubah, antara adanya rasa malu akibat
julukan negatif pada dirinya dari orang
lain. Ada kalanya anak sering mendapat julukan negatif dari keluarga,
teman-teman atau guru. Misalnya, si garong, si badut, si kunyuk, si tukul, si
betet, si cebol, si pesek, si kentung, si jabrik, si banci dsb. Terkadang si
pemberi julukan atau label tidak sadar terhadap efek atau akibat serta pengaruh
negatifnya terhadap perilaku yang dijuluki. Kenyataan yang tidak bisa
dipungkiri bahwa julukan semacam itu meninggalkan kesan pada anak yang dijuluki
bahwa ia akan menerima dirinya apa kata orang lain, tidak percaya diri,
menyesali diri karena timbul sikap
membandingkan diri dengan orang lain kenapa saya tidak seperti dia,
kenapa saya jelek seperti ini, kenapa saya dilahirkan menerima nasib tidak
baik.
Bila julukan-julukan tersebut
diterima pada saat seseorang masih muda atau pada masa usia sekolah, hal
semacam itu akan mempengaruhi pembentukan jati diri dan kepribadian. Usia
anak-anak yang dirinya bebas dari julukan atau label negatif dari orang lain,
mereka akan tumbuh kepribadian yang wajar dan percaya diri yang kuat sehingga mudah dirinya untuk
menyampaikan penilaian terhadap dirinya secara jujur. Dia akan merasa tidak
keberatan jika hal-hal negatif atau kekurangan dan hal-hal positif atau
kekuatannya diketahui oleh orang lain. Dengan demikian, maka setiap orang bisa
membentuk jati diri yang benar tanpa goyah karena julukan dari orang lain asal
dirinya bersedia dinasehati, dikoresi orang
lain dan berpikir positif untuk bisa menerima dirinya sebagaimana adanya. Oleh
karena itu teman-teman, orang tua atau pendidik. Jangan suka memberi julukan yang negatif
kepada orang lain karena jika hal itu membawa perubahan negatif pada jati diri
seseorang, sangat sulit memulihkan untuk tidak rendah diri, untuk memiliki rasa
percaya diri, untuk mudah mengenal diri sendiri, mudah menerima saran
dan membuang rasa malu.
Dari uraian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa jati diri bisa berubah, tetapi kita tidak harus sama dengan orang lain, atau
menjadi seperti yang orang lain katakan terhadap diri kita. Bila perlu agar
kita memilki jati diri yang kuat kita harus berani menyangkal apa kata orang
lain, sekiranya tidak bersifat konstruktif. Sedangkan, bagi anak didik yang kehilangan jati diri gara-gara sedikit julukan membutuhkan kasih
yang tulus dari orang lain. Jika ia bertemu dengan orang yang tulus, maka ia
akan membuka diri dari luka masa lalunya, sehingga sedikit demi sedikit
pribadinya akan berubah ke arah yang lebih baik.
Sifat Anak Didik
yang Berbeda
Sifat dasar anak didik adalah
perbedaan dalam hal adalah: individu dan latar belakang keluarga. Uraian hal
tersebut sebagai berikut:
Perbedaan Individu
Semua guru pasti tahu bahwa dalam kegiatan belajar mengajar
menemukan perbedaan individu maupun kelompok. Anak didik sebagai individu
berbeda dalam banyak hal. Beberapa kriteria perbedaan yaitu: yang menyangkut aspek usia dan perkembangan,
seksualitas, temperamen, prestasi akademis, dan gaya belajar.
Perbedaan segi Usia dan
Perkembangan
Guru harus menyadari bahwa dalam
setiap kelas bahkan setiap tingkatan kelas di sekolah ada perbedaan di antara
anak didik dari faktor usia dan
perkembangan. Sehubugan dengan Usia dan perkembangan, setiap anak didik
mengalami pertumbuhan dan perkembangan baik secara jasmani, mental, social, dan
spiritual.
Mengenai perbedaan faktor Usia dan
Perkembangan dapat diuraikan dari
perbedaan usia pra sekolah (TK) sampai usia orang dewasa.
Anak Usia Pra
Sekolah (4-5 tahun).
Dalam keadaan normal anak usia ini
menunjukkan pertumbuhan fisik yang cepat. Pada usia ini mereka sulit untuk
diam. Mereka maunya bergerak terus, jalan dan bermain. Sebenarnya geraknya yang
lincah itu merupakan sarana untuk mengembangkan kekuatan otot dan tulang.
Melalui bermainnya anak belajar mengenal
lingkungannya, sesamanya dan melatih jiwanya siap menentukan pilihan yang
terbaik baginya. Karena itu
dalam membina anak usia ini dibutuhkan adalah: ruang yang cukup
besar, waktu yang lebih banyak, dan bimbingan terhadap sifat khasnya.
Mereka memiliki rasa ingin tahu yang cukup tinggi. Mereka sering mengajukan
banyak pertanyaan kepada orang yang lebih dewasa, khususnya yang berkaitan
dengan soal “apa” dan “mengapa” dari obyek atau peristiwa yang dilihatnya.
Kesukaan bertanya itu penting baginya, karena secara tidak langsung mereka
ingin menambah perbendaharaan pengetahuan, kata, dan menginterpreatasikan
simbol-simbol yang ada dalam pikiranya sendiri ke dalam kata. Anak usia ini
banyak bertanya dan berbicara merupakan upaya dirinya secara tidak langsung ingin mendapat
perhatian dan penerimaan dari orang-orang sekitarnya.
Cara berpiikir anak usia ini sangat
terbatas dan sempit. Ia belum mampu mengambil kesimpulan dengan tepat, apalagi
yang cukup luas. Hal ini disebabkan oleh egosentrisnya yang kuat. Dalam
hubungannya dengan rohani, tentang Tuhan khususnya, mereka bisa tahu dan
menerima pendapat bahwa Tuhan itu pencipta langit dan bumi, maha kuasa, maha
kasih, mengampuni dosa dan mempedulikan anak-anak.
Anak Usia Sekolah
Dasar (6-12 tahun)
Pada usia ini pada umumnya anak
bersifat egois, cenderung agresif, keras, pendiam dan teguh pada aturan. Di sisi lain mereka
cenderung fleksibel, mudah bergaul, banyak bicara, intuitif dan imajinatif
serta emosional. Di lain pihak mereka cenderung mempertahankan relasi, mudah
bergaul (adaptif) dan pengamat yang baik
dari interaksi sekelilingnya. Dengan demikian, maka mereka tidak mudah
mengambil keputusan untuk menjadi prinsip hidup yang kuat. Sifat yang lain,
mereka cenderung menuntut perhatian, sangat bergantung kepada orang lain dan
selalu mengasihani diri. Bagi anak tunggal banyak mengajukan tuntutan atau
permohonan kepada orang tuanya. Tidak adanya kakak atau adik di rumah,
membuatnya merasa “serba sendiri”. Karena itu konsep berbagi rasa terhadap sesama
kurang atau sukar bertumbuh secara luwes.
Cara berpikir anak usia ini terus
berkembang dan bergerak dari cara kongkret ke cara abstrak. Ia mulai
mempelajari segi-segi keteraturan, tata tertib,
otoritas dalam kelompok, dan penghargaan yang diterima dari orang lain,
seperti: sebutan “anak manis”, “anak
baik” “anak rajin” atau “anak pandai”.
Anak usia ini ingin dibina dalam kerjasama yang produktif dan kontruktif. Jika tidak pernah mendapat penghargaan,
pujian dan dorongan dari orang-orang yang membinanya, maka dirinya akan cepat
rendah diri dan kurang percaya diri.
Anak Usia SMP-SMA
(13-17 tahun)
Pada usia ini mereka pada umumnya
menghadapi krisis identitas, kebingungan dalam memainkan peran-peran yang tepat
atau sebagaimana adanya. Ada kegelisahan dalam diri mereka sebagai akibat dari
pertumbuhan hormon atau zat-zat kimiawi tertentu dalam tubuh. Pada usia ini
juga muncul konsep diri negatif atau positif yang mempengaruhi kemampuan dan
minat belajar mereka, kurang harmonisnya
relasi dengan sesama, guru serta orang
tua. Mereka lebih condong menerima norma moral dari teman-teman maupun kelompok
mereka dibandingkan saudara sendiri atau kakak
adik mereka. Meskipun demikian, penghargaan, pengertian dan penerimaan
dari pihak-pihak terdekat, kerabat atau
keluarga, tetap saja sangat dibutuhkan mereka dalam menghadapi keadaan sulit
dan tidak stabil yang mereka rasakan.
1.
Anak usia ini cukup kritis terhadap banyak hal,
termasuk mengkritisi iman dan agamanya. Kebenaran iman yang pernah diterimanya
pada masa taman kanak-kanak atau sekolah dasar mulai dipertanyakan. Hal ini terjadi karena cara berpikirnya
meningkat ke arah abstrak. Karena itu pula maka
anak usia ini senang beradu argumentasi, menunjukkan kreatifitas dan
inajinasi, idealisme, cepat menghafalkan penilaian, dan menginginkan hal-hal
yang humoris.
2.
Dalam pembicaraan tentang masalah-masalah rohani, anak
usia ini membutuhkan pembahasan praktis dan bersifat pribadi. Karena agama
dipandang sangan pribadi dan emosional, ada kalanya ia memiliki keraguan akan
iman atau agamanya, namun sangat menyenangi situasi ibadah yang sesuai dengan
situasi emosinya.
Berkaitan hal di atas maka Jay
Kesler mengatakan bahwa faktor penting dalam pembinaan anak usia ini adalah keterbukaan dalam komunikasi. Pembina
harus bersedia mendengar keluhan dan pendapat remaja supaya mereka merasa
diperlakukan dan diterima sebagai “orang
dewasa”. Problematik anak usia ini dirinya ingin dianggap sebagai
pribadi-pribadi mandiri. Mereka perlu ditolong untuk merasakan dan mengalami
hal itu. Peraturan-peraturan, tatatertib, dan disiplin yang akan diterapkan
perlu didiskusikan terlebih dahulu agar dalam diri mereka timbul perasaan
“memiliki peraturan itu”. Mereka tidak rela dipaksa, apalagi ditindas untuk
melakukan hal-hal yang tidak disenanginnya.
Mereka ingin dilibatkan dalam pengambilan keputusan tentang hal-hal yang kemudian munngkin akan mempengaruhi
sikap dan tingkah lakunya. Di satu sisi mereka tidak mudah taat, tetapi di sisi
lain mereka sangat takut terhadap hukuman atas suatu pelanggaran.[159]
Usia Pemuda dan
Dewasa Muda (18-35 tahun)
Pemuda dan orang dewasa muda umumnya
telah mampu berpikir abstrak. Dalam hidupnya, secara umum mereka ingin
mengembangkan norma moral Universal, yakni norma yang timbul dan bergerak dari
keyakinan diri yang sejati (idealisme). Norma atau prinsip hidup demikian tidak
semata-mata muncul sebagai akibat dari pengaruh hidup orang lain. Pada umumnya
pada tahab selanjutnya pemuda dan orang
dewasa muda larut dan bergumul dengan masalah karier, panggilan hidup, teman
hidup, keluarga (membina anak-anak) dan
relasi-relasi sosial (peranan yang cocok dalam sistim nilai budaya, adat dan
tradisi). Dalam kaitan dengan kehidupan iman, kelompok usia ini ingin sekali
melihat keterkaitan antara dirinya dengan situasi dan kehidupan sehari-hari.
Orang-orang yang telah memasuki usia dewasa dan keluarga
(18-35 tahun), umumnya menghadapi:
1.
masalah keuangan dalam memenuhi tuntutan hidup
sehari-hari
2.
masalah liku-liku atau persoalan dalam membina relasi
dengan kerabat yang lebih luas, disamping berkeinginan kuat untuk mengelola
rumah tangga dengan baik, khususnya dalam mendidik anak secara baik.
Ditinjau dari proses belajar, mereka dalam kategori memiliki: (1) potensi yang cukup besar untuk belajar mereka
sangat optimal. (2) mereka memiliki keinginan untuk lebih menyimak hubungan
antara hal-hal yang dipelajari dengan kebutuhan dan pergumulan hidup yang
dihadapi. (3) Mereka sudah dapat mengembangkan cara berpikir
praktis dan realistis. Oleh sebab itu
jika mereka menjadi peserta didik harus sudah diberi kesempatan mengembangkan bakat dan intelektualnya dengan
mengerjakan tugas-tugas individu maupun kelompok berupa karya tulis dan sebagainya.
Semua
individu berbeda. Karena semua individu berbeda, tidak dapat diharapkan bahwa
dua orang tertentu akan bereaksi dengan cara yang sama terhadap rangsangan
lingkungan yang sama. Anak-anak penakut
tidak sama reaksinya dengan anak-anak yang agresif. Mereka yang tenang dan
santai tidak merasa terganggu dengan kesibukan orang lain di sekitarnya yang
tergesa-gesa dan ingin cepat menyelesaikan tugasnya dibanding dengan anak yang
peka dan pemalu.
Karena tidak ada dua indiividu yang
memiliki sifat-sifat bawaan dan pengalaman-pengalaman lingkungan yang sama ,
maka tidak pernah ada orang yang dapat meramalkan secara tepat bagaimana orang
akan bereaksi terhadap situasi, sekalipun ada informasi yang luas tentang kemampuan-kemampuan mereka
yang diturunkan dan sekalipun diketahui bagaiman pada umumnya berperilaku dalam situasi yang sama. Juga orang tidak
bisa mengharapkan hasil yang sama dari orang dengan perkembangan usia dan intelektual yang sama. Namun akhirnya,
perbedaan individual justru berarti karena perbedaan ini diperlukan bagi individualitas dalam pembentukan
kepribadian. Individualitas bukan hanya membuat orang menyenangkan, tetapi juga
memungkinkan kemajuan sosial.
Perbedaan Segi Dorongan Seksualitas
Masalah perbedaan dalam segi
seksualitas perlu kita sadari secara seksama, khususnya yang berkaitan
dengan perbedaan sifat dan gaya hidup
pria dan wanita. Sifat khas ini cukup
berpengaruh positif atau negatif dalam proses belajar, selain terhadap
perkembangan spiritualitasnya sebagai berikut: (1) Kaum pria lebih dikenal
agresif, rasional (logis), sistimatis. Mereka umumnya sangat visual dalam arti
menerima informasi melalui bacaan dan penglihatan, serta berorientasi kepada
apa yang di luar dirinya. (2) Kaum wanita umumnya lebih dikenal sensitive,
emosional dan menekankan rasa harmonis serta berorientasi ke dalam dirinya.
Mereka lebih banyak menimba informasi dari pendengarannya dan perasaannya atau
sentuhan hati.
Perbedaan kodrat ini ada kalanya
membuat guru tersinggung dengan sikapnya yang kurang baik saat belajar di
kelas, dikarenakan temperamennya yang berubah ubah, sikapnya yang sering
melamun, mencari sensasi dan membuat kacau karena becanda dengan lawan jenis.
Guru harus menyadari faktor penyebab perasaan itu. Guru kurang tepat apabila
menuntut kesamaan prestasi dari kedua belah pihak peserta didik, karena pada
dasarnya mereka sudah punya dasar yang berbeda atas dorongan seksualitasnya.
Perbedaan Segi Prestasi
Perbedaan indiviidu yang perlu disadari oleh guru adalah dalam
segi prestasi. Setiap orang pada umumnya
secara individu maupun kelompok senantiasa berbeda dalam segi prestasi atau
kemampuan akademis. Ada banyak faktor
yang menyebabkannya, antara lain: cara
belajarnya yang pernah ditempuhnya pada masa lalu. Ada juga faktor latar
belakang ekonomi dan sosio-kultural, nilai
dan sikap hidup, minat serta pengenalan dan harga diri. Pengenalan dan penerimaan diri yang masih
negatif, biasanya sangat melemahkan minnat dan semangat belajar, keharmonisan
dalam segi relasi dan kerjasama.
Perbedaan Segi Temperamen
Perbedaan individu atas dasar
temperamen perlu dipahami dan diterima oleh guru dengan sebaik-baiknya. Artinya
guru harus memandang keragaman teemperamen peserta didik sebagai kekayaan
kepribadian dalam hidup
kebersamaan. Berkaitan hal tersebut,
maka Hallesby menuturkan bahwa temperamen sesorang berakar dalam jiwa dan roh,
dan merasuk serta berpengaruh kuat pada tubuh jasmaninya. Karena itu temperamen
menjadi karakteristik individu yang paling hakiki yang dibawanya sejak lahir.
Temperamen terefleksi secara otomatis dalam perasaan, sikap dan tingkah laku
individu. Tidak perlu diatur oleh
logika, intelek, dan kehendak. Seseorang memberi respons terhadap lingkungannya
atas dasar temperamennya sendiri.[160]
Ada empat jenis temperamen sebagai
berikut: (1) Sanguin (Yun,:sanguis=darah), yakni temperamen yang aktif,
ceria atau emosional, sensitive namun mudah berubah. Dengan temperamen sanguine seseorang mampu menyelami perasaan dan pikiran orang lain. Ia halus dan
simpatik, dan memiliki potensi unntuk hidup gembira senantiasa. Akan tetapi,
dengan temperamen ini individu cenderung berpikir dangkal dan labil serta
kurang setia dalam menghadapi kesukaran.
Sebab itu di dalam pergaulan orang sanguine sering dikenal sebagai
pribadi yang “tak mudah dipercaya”. (2) Melankolik (Yun. melancholia = empedu hitam), yakni
temperamen individu yang introvert
(orientasi ke dalam diri), sangat tertutup, pemurung, merasa mudah tersinggung,
merasa tertekan, sukar bergaul, pesimis
dan terkesan angkuh. Meskipun demikian individu dengan temperamen ini
sensitive, selalu mendalam dan seksama (berpikir mendetail). Meskipun tak
banyak mempunyai teman akrab, namun ia seorang kawan yang setia dan dapat
diandalkan. (3) Kolerik (Yun. Chole
= empedu kuning), yakni temperamen individu yang penuh semangat, berkehendak
(memiliki prinsip) kuat, enerjik, memilki akal budi yang tajam dan praktis
dalam tindakan, berani menghadapi resiko tinggi atas perbuatannya, dan
keputusannya cenderung selalu tepat atau relevan. Akan tetapi, dengan
temperamen ini, individu ini dikenal keras, tak mudah diubah, cepat bertindak dan pemarah, sangat percaya diri, dan karena
itu terkenal sombong atau licik, tak begitu suka dengan kelembutan dan
keindahan, cenderung membalas (tak ingin mempunyai saingan). (4) Plegmatik
(Yun. cairan tubuh yang lembab, lamban),
yakni temperamen yang membuat individu lamban, seperti: pemalas, oleh karena itu ia harus selalu
dipaksa. Individu yang plegmatis
bersifat opportunis, seolah tak peduli
dengan orang lain dan lingkungannya, dan karena itu terkesan congkak.
Meskipun demikian, dengan temperamen itu, individu dikenal baik hati, dan tidak
mudah tersinggung, selalu tenang dalam situasi yang cukup mengkuatirkan
sekalipun, percaya diri dan praktis.
Kekuatan empat temperament anak
didik tersebut di atas perlu mendapat
pembinaan dari guru. Dengan sadar guru harus cakap menghadapi anak didik yang temperamennya
berbeda-beda. Segi-segi negatif
temperamen itu akan
dapat muncul dalam interkasi belajar mengajar yang
dipimpinnya. Menurut penulis, dalam pengalaman iman Kristen, temperamen seseorang bisa diubah menjadi yang
terbaik melalui kuasa dan kehadiran Roh Kudus dan Firman Tuhan. Jadi jika
sesorang bersedia memberikan dirinya
dipenuhi Roh Kudus, maka temperamennya akan lebih menonjol yang positif darri
pada yang negatif. Tugas guru mengajar.Namun juga harus terpanggil
mendorong anak didiknya agar mengalami
perubahan temperamen.
Perbedaan Segi Gaya Belajar
Setiap individu mempunyai gaya belajar yang berbeda. Menurut David Kolb (Styles
of Learning Inventory, 1981) ada empat (4) jenis atau tipe gaya belajar
sebagai berikut: (1) Tipe Converger – belajar melalui proses
konseptualisasi abstrak (berpikir) dan eksperimentasi (berbuat). Artinya,
dengan kecenderunngan ini gaya belajar anak didik lebih didominasi oleh intelek
(pemikiran) dan perbuatan mencoba-coba (dengan pengalaman praktis). Dengan
demikian anak didik menghindari
pengjaran yang semata-mata teoritis. Hal teoritis dan praktis harus berjalan
seimbang. Gaya semacam ini umumnya mendominasi hidup teknokrat. (2) Tipe Diverger - belajar melalui pengalaman-pengalaman konkrit
(perasaan) dan observasi reflektif (pengamatan). Dengan tipe ini peserta didik
lebih didominasi oleh intuisi, perasaan,
dan sensitivitas. Ia mengamati contoh yang didemontrasikan oleh guru, dan
menyimak hal-hal yang erat kaitannya
dengan emosi seperti keindahan gerak dan suasana. Banyak seniman
memiliki kecenderungan belajar semacam ini. (3) Tipe Assimilator -
belajar melalui konseptualisasi abstrak (kuat dalam berpikir) dengan observasi
reflektif (pengamatan). Anak didik dengan gaya belajar ini cenderung bersifat
teoritis, enggan berbuat. Ia berorientasi kepada buku-buku bacaan dan
contoh-contoh. Dari situ ia membangun teori atau keyakinannya. Pada umumnya
teorian dan para filsuf (pemikir) berkembang dengan tipe belajar demikian. (4) Tipe
Accomodator - belajar melalui
pengalaman konkret (perasaan) dan
eksperimentasi aktif (berbuat). Anak
didik dengan kecenderungan belajar ini lebih didominasi oleh situasi dan
hal-hal praktis. Intuisi dan tindakan praktis sangat diutamakan. Ia tidak
merasakan perlunya teori-teori yang berorientasi kepada buku sumber saja.
Baginya pengalaman dan perbuatan aktif
di lapangan adalah guru yang terbaik
Umumnya kalangan bisnis meminati gaya belajar ini.
Perbedaan gaya belajar individu juga dapat kita pahami dari segi pengaruh konteks. Ada banyak orang
yang sangat peka terhadap nilai dan suasana konteksnya. Anak didik dengan
kepekaan demikian dikenal memiliki gaya belajar yang high context. Sebaliknya ada pula orang yng kurang
menguamakan keadaan di dalam konteksnya. Anak didik dengan kecenderungan demikian dikenal memiliki gaya belajar yang low
context.
Selanjutnya, dengan kecenderungan belajar high context individu atau
kelompok sangat menekankan relasi antar pribadi, pengalaman dan pengamatan
(contoh hidup). Anak didik begitu sensitive terhadap konteks belajar, seperti:
keadaan ruang, obyek dan peristiwa di sekitarnya. Kemudian, dengan model
belajar low contect individu menekankan konsep, ide, teori atau prinsip, menghargai
keteraturan, eksperimentasi dan menyenangiliterartur (bahan bacaan. Tak peduli
apakah bahan yang dipelajari itu relevan dengan konteks hidupnya atau tidak.
Juga tidak terlalu penting baginya pengaruh lingkungan belajar, terhadap
pembentukan pemikiran atau pemahamannya.
Perbedaan Latar Belakang Keluarga
Bemacam-macam keadaan keluarga
setiap anak didik. Ada yang keluarganya harmonis dan ada yang tidak harmonis.
Ada yang bahagia dan yang tidak bahagia. Ada yang orang tuanya cerai dan yang
tidak bercerai. Ada yang keluarganya kaya ada yang miskin. Ada yang menjadi
pegawai negeri ada yang wira usaha dan karyawan pabrik. Ada yang petani dan ada yang berjualan di
pasar dan sebagainya. Semua perbedaan latar belakang keluarga tersebut dalam
banyak hal berpengaruh pada perbedaan sikap dan tingkah laku, gaya hidup dan
motivasi di sekolah.
Anak-anak yang dibesarkan dalam
keluarga yang erat beragama dan menjadi anggota suatu lembaga keagamaan
cenderung lebih tertarik pada agama dari pada anak-anak yang dibesarkan dalam
keluarga yang kurang peduli pada agama. Anak-anak yang tinggal di pedesaan dan
dipinggir kota menunjukkan minat yang lebih besar pada agama daripada anak-anak
yang tinggal di kota.
Sifat Anak Didik
yang Murni
Tidak sedikit anak didik yang memiliki sifat murni (polos). Mereka
mudah percaya, patuh (taat), baik dan
bijaksana, ingin bersahabat dan demokrasi,
tidak mudah lupa.
Pada hakekatnya hati seorang anak
didik pada usia tertentu sebelum mendapat pengaruh nakal dari temannya adalah
murni, misalnya: anak tidak mau menyontek dari buku atau dari temannya,
ia percaya diri mengandalkan kemampuannya sendiri dan menerima hasil ujiannya
dengan ikhlas berapapun nialinya.
Mudah percaya. Pemikiran apapun yang diberikan
orang tua, guru atau orang yang lebih dewasa dari mereka semua yang dianggap
baik diterima begitu saja tanpa perdebatan. Apalagi jika mereka tahu bahwa yang
menyampaikan itu orang yang sangat berpengaruh atau ia segani bahkan tokoh yang
diidolakan.
Patuh (taat). Setiap anak pada dasarnya
memiliki sifat taat. Anak menjadi tidak taat atau taat terus menerus tergantung pembinaannya
atau pengaruh pergaulannya. Oleh karenanya supaya anak mampu mempertahankan sifat patuh (taat) harus
terus menerus mendapat kesempatan pendidikan yang baik dan pembinaan yang
disertai nilai keteladanan perihal ketaatan dari pendidik, orang tua atau teman
–teman dekatnya.
Baik dan Bijaksana.
Seorang yang bernama Alexander S. Neil mempunyai pandangan bahwa pada
hakekatnya manusia itu “baik dan bijaksana”. Dari sifat ini sering kita
dengar ungkapan dari guru atau orang
tua yang mengatakan,”biarkan dia
mengambil keputusan sendiri dan bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri”.
Dengan demikian bisa saja kita memberi kesempatan kepada anak didik kita bebas
menentukan sendiri apa yang harus dipelajari.
Karena sifatnya yang berkembang maka anak didik yang bersifat bai ini harus
dibina dan dikendalikan secara tepat dan cermat supaya kebaikan yang dimilkinya
tidak kebaikan semu atau subyektif
melainkan kebaikan yang obyektif.
Sifat kemurnian lain yang anak didik
miliki adalah dorongan bersahabat dan demokrasi. Hal ini tebukti pada anak usia
remaja. Bagi anak remaja memilih teman berawal dari adanya kegemaran dan
kegiatan-kegiatan yang sama. Selanjutnya berkembang dalam memilih teman harus
mereka yang mempunyai minat dan nilai-nilai yang sama, yang dapat mengerti dan membuatnya merasa aman, dan yang kepadanya
ia dapat mempercayakan masalah-masalah
dan membahas hal-hal yang tidak dapat dibicarakan dengan orang tua maupun guru.
Teman atau sahabat yang diinginkan
mereka adalah seorang yang dapat dipercaya, yang dapat diajak bicara, seorang
yang dapat diandalkan. Oleh karena adanya perubahan nilai.maka teman semasa
kanak-kanak belum tentu menjadi teman dalam masa remaja. Namun sebaliknya ada
yang menjalin persahabatan dari masa anak-anak sampai lanjut usia.
Dorongan untuk bersahabatan secara
murni juga tidak lagi hanya menaruh minat pada teman-teman sejenis. Untuk anak
didik remaja, minat berteman dengan lawan jenis bertambah besar. Sehingga dalam
suatu waktu para remaja lebih menyukai lawan jenis sebagai teman meskipun tetap
masih melanjutkan persahabatan dengan beberapa teman sejenis.
Demokrasi.
Bagi anak didik yang berusia muda, popularitas berarti mempunyai teman banyak,
dan dalam memilih teman tidak lagi bergantung campur tangan orang tua. Mereka
sudah mulai mengembangkan cara-cara demokratis. Demokrasi berimplikasi adanya
rasa saling menghormati, perencanaan yang kooperatif, tanggungjawab bersama.
Banyak perilaku anak didik yang perlu dipahami dan dilayani secara bijaksana oleh guru. Mereka memiliki
dorongan yang kuat untuk membantu kelompoknya.
Ingin
bersahabat. Memperhatikan sifat ini, di sekolah, suara-suara anak
didik hendaknya diperhitungkan dalam merumuskan tujuan-tujuan
dan perencanaan-perencanaan kegiatan. Suara-suara mereka harus didengar agar mereka merasa cukup dihargai dan diperhitungkan, bahkan mereka bisa merasa
ikut bertanggung jawab apapun akibatnya.
Oleh sebab itu guru harus dapat mengenal baik karakteristik anak didik
sehingga ia mengetahui apa yang dapat diharapkan dari mereka. Selain itu guru juga harus dapat
memperlihatkan sikap bersahabatnya dengan selalu bersikap ramah-tamah,
menyediakan waktu untuk mendengarkan
pendapat saat berdiskusi maupun saat demo.
Tidak
mudah: lupa juga merupakan sifat
kemurnian anak didik. Apa yang ditanamkan orang tua, guru, teman pada saat yang
tepat diserap oleh mereka, maka apa bila mereka menangkapnya sangat sulit
mereka melupakan kesan yang pernah mereka terima. Oleh sebab itu mulai mereka
memasuki dunia pendidikan, siapapun yang berperan memberi masukan ilmu
pengetahuan, pendapat secara formil, informal
dan non formal jangan asal-asal atau salah-salah, jangan yang bersifat
destruktif tetapi yang sebenar-benarnya dan bersifat kontruktif. Dengan daya
ingat yang tahan lama ini maka perlu
anak didik diberikan pengetahuan seobyektif mungkin baik fakta, istilah maupun
prinsip-prinsip yang berguna bagi hidupnya pada masa kini maupun masa yang akan
datang.
Sifat-sifat
Negatif Anak Didik
Tentang sifat dasar negatif anak didik adalah: pertama, melawan (tidak
disiplin, mudah terpengaruh, tidak cukup konsentrasi atau kurang memperhatikan, pembohong atau kurang
jujur). Kedua, Egois (suka menuntut,
ingin diprioritaskan, menang sendiri atau tidak mau kalah). Ketiga,
berperilaku menyimpang (takut, kurang percaya diri, cemas, malas, keras
hati dan cuek atau pasif).
Masalah
tidak disiplin merupakan sifat dasar negatif semua anak didik.
Misalnya: malas ke sekolah, datang
selalu terlambat, mengganggu anak lain yang sedang belajar, membuat keributan,
mencontek pada waktu ulangan, membolos atau pulang sebelum waktunya dan
melakukan tindakan-tindakan agresif.
Berkaitan hal tersebut, maka
bahwa masalah perilaku tak disiplin ini disebabkan dua faktor, yaitu:
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah yang bersumber dari dalam diri anak sendiri,
yang disebabkan oleh implikasi perkembangannya sendiri, misalkan: kebutuhan tak terpuaskan, kurang cerdas,
kurang kuat ingatannya, atau karena energi yang berlebihan. Faktor eksternal adalah yang bersumber
pengaruh-pengaruh dari luar,
seperti: pelajaran yang sulit dipahami,
cara guru mengajar kurang efektif, kurang menarik minat, sikap guru yang
menekan, sikap yang tidak adil, bahasa guru yang sulit dipahami atau
ditangkap dan alat belajar yang kurang
lengkap.[161]
Mudah
terpengaruhi sebagai sifat dasar negatif anak didik harus mendapat
perhatian yang serius baik dari pihak sekolah maupun orang tua. Anak didik
mudah terpengaruh pergaulan yang kurang baik. Terhadap sesuatu yang tidak baik
tanpa belajar secara formal mereka langsung bisa terbawa arus. Namun dalam
kontek anak didik, lingkungan sekolah sangat besar pengaruhnya terhadap
perilaku anak didik. Yang dimaksud lingkungan sekolah adalah perilaku dan pribadi guru, perilaku teman sekolah, kondisi
bangunan sekolah, kurikulum dan sistim
intruksional yang diterapkan terhadap anak didik.
Perilaku
dan pribadi guru. Guru yangberlaku negatif
danberpribadi belum matang atau tidak terintegrasi akan mengakibatkan
anak-anak akan melakukan hal yang sama, karena selama di sekolah, terjadi transaksi yang terus menerus antara anak dan
gurunya dengan cara peniruan,
identifikasi, dan penyesuaian. Gejala perilaku guru yang frustrasi, pemarah dan
mudah tersinggung, suka mencontoh dan kurang percaya diri, kurang adil dan
kurang bertanggung jawab, sikap pasif dan tidak kreatif dapat mempengaruhi
perilaku anak didik sehingga mereka cenderung berperilaku yang sama.
Perilaku teman sekolah juga turut
mempengaruhi perkembangan perilaku anak karena mereka saling bergaul dan saling
meniru satu sama lainnya. Kenakalan anak-anak, perilaku melanggar disiplin,
sikapmementingkan kelompok dan mengganggu kelompok lainnya adalah beberapa
contoh akibat pengaruh perilaku teman-temannya yang bersifat negatif serta
cenderung merugikan orang lain.
Kondisi
bangunan sekolah yang tidak memenuhi
syarat, misalnya: keadaan
yang kotor,
ventilasi yang kurang memadai, ruang yang gelap, peralatan yang serba tak
terpelihara. Hal tersebut merupakan beberapa contoh yang umumnya mengakibatkan
gangguan konsentrasi belajar dan pada gilirannya anak didik malas bersekolah,
senang bermain di luar sekolah, dan mengabaikan pelajaran gurunya, sehingga tumbuh berbagai bentuk
perilaku yang kurang harmonis.
Kurikulun
dan sistim intruksional yang terlalu berat dan kaku serta suasana yang
otoriter memberikan pengaruh destruktif
tertentu terhadap perkembangan perilaku anak didik.
Hasil Akhir
Evaluasi hasil akhir merupakan data keberhasilan atau kegagalan dalam
proses filsafat pendidikan tersebut. Hasil akhir disebut berhasil bilsa hasil
evaluasi menjawab tujuan pendidikan.
Hasil belajar merupakan perubahan perilaku peserta didik yang
diperoleh setelah mengikuti pembelajaran selama kurun waktu tertentu yang
relatif menetap. Lebih dalam, maka
Hamalik (2002) mengatakan bahwa hasil belajar
tampak sebagai terjadinya
perubahan tingkah laku pada diri siswa, yang dapat diamati dan diukur dalam
perubahan pengetahuan sikap dan keterampilan. Perubahan dapat diartikan
terjadinya peningkatan dan pengembangan yang lebih baik dibandingkan dengan
sebelumnya, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, sikap tidak sopan menjadi
sopan dan sebagainya. Selanjutnya Dimyati (2002) mengatakan bahwa hasil belajar
merupakan hasil
dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar
diakhiri dengan proses evaluasi belajar. Dari sisi siswa, hasil belajar
merupakan berakhirnya penggal dan puncak proses belajar. Salah satu
upaya mengukur hasil
belajar
siswa dilihat dari hasil belajar siswa itu sendiri. Bukti dari usaha yang dilakukan
dalam kegiatan belajar
dan proses belajar
adalah hasil
belajar
yang biasa diukur melalui tes.
Dari urian di atas, maka dapat dikatakan bahwa Hasil belajar (achievement)
itu sendiri dapat diartikan sebagai tingkat keberhasilan
murid dalam mempelajari materi pelajaran di pondok pesantren atau sekolah, yang
dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi
pelajaran tertentu.
IV. Hubungan Filsafat Pendidikan
dengan Agama dan Sekuler
Agama dan sekuler merupakan nilai-nilai dari
filsafat pendidikan. Kalau filsafat pendidikan diberi nilai-nilai agama, maka
filsafat pendidikan akan berbasis agama sedangkan kalau filsafat pendidikan
diberi muatan sekuler, maka filsafat pendidikan akan basis sekuler. Dengan
demikian, maka apakah itu Agama? Agama
ialah segala aktivitas hidup manusia dalam dengan suatu usahanya untuk
mewujudkan rasa bakti dan mempersentasikan keterhubungan manusia kuasa yang
diyakini bersifat supranatural dan mengatasi dirinya (transeden). Di sini bahwa
agama sebagai aktivitas hidup manusia membutuhkan bentuk – bentuk konkret dalam
sikap hidup dan tindakan. Jadi, beragama bukan sekedar meyakini sesuatu, tetapi
bertindak sesuai dengan yang diyakininya. Bahkan beroleh agama seharusnya
terwujud dalam totalitas kehidupan dan diamalkan dalam setiap tingkah laku,
sehingga beragama tidak berarti bagi diri sendiri, melainkan juga bagi sesama
dan lingkungan tempat seseorang berada.
Aktivitas
beragama dilakukan dalam rangka usaha
merealisasikan rasa bakti dan keterhubungan manusia dengan kuasa yang disembah.
Sebagai yang demikian, maka agama memerlukan dan menggunakan cara – cara yang
bersifat manusiawi. Dengan kata lain, ekspresi kehidupan beragama selalu
bersifat antropomorfistik. Dalam hal ini perlu disadari pengaruh budaya
setempat terhadap warna kehidupan agama. Jadi, sebagai ibadah (rasa bakti)
kepada kuasa yang disembah, agama melibatkan seluruh segi kehidupan manusia
yang disimbolisasikan dalam bentuk ritus – ritus, tata cara peribadahan dan
pranata – pranata tertentu. Juga terwujud dalam sikap dan tindakan terhadap
sesama manusia dan lingkungannya. Disinilah dapat dipahami bahwa ibadah yang
benar harus mencakup tindakan – tindakan, baik yang bersifat supra social
maupun social.
Salah satu unsur yang menjadi dasar bagi seluruh
bangunan keagamaan adalah keyakinan. Dengan dasar tersebut hidup keagamaan akan
mengandung subjektivitas. Keyakinan subjektif yang menjadi landasan kehidupan
agama tidak menuntut pembuktian kebenarannya secara akali. Menurut Hans Kung,
seorang teolog Katolik, agama merupakan sesuatu dalam diri manusia untuk
dihayati, bukan sekedar konsep teknis yang abstrak, merupakan iman yang
konkret, bukan sekadar lembaga. Agama selalu menyangkut basic trust seseorang
akan hidup. Sadar atau tidak, secara eksistensial manusia membutuhkan komitmen
dasar, komitmet pada makna, nilai dan norma. Agama memberikan makna yang
komprehensif tentang hidup, menjadi jaminan bagi nilai – nilai tertinggi dan
norma – norma yang bersifat tanpa syarat, memberikan komunitas dan rumah
rohani.
Keberadaanya
melekat pada kemanusiaan manusia, bersifat konkret, berkaitan dengan keberadaan
manusia, dan bertolak dari pandangannya tentang kuasa supranatural, dunia,
manusia, dan keterhubungannya satu sama lain, serta diwujudnyatakan dalam
kehidupan, peribadahan, sikap, perilaku, dan lain sebagainya. Dalam rasa
keagamaan, manusia insaf akan adanya suatu kekuasaan yang melebihi segala –
galanya dan sangat penting untuk keselamatannya. Dari segi lain, manusia-baik
sebagai maupun kelompok – memiliki keunikan masing – masing. Kemanusiaanya
tumbuh dan terbentuk oleh suatu lingkungan dan kondisi, lengkap dengan norma,
tata nilai dan cara pemaknaan terhadap realitas yang dihadapinya. Oleh karena
itu, sah dan wajar jika dalam berolah agama terjadi perbedaan.
Dengan
demikian bahwa keberagamaan tidak dapat dilepaskan dari keterhubungannya dengan
spiritualitas. Terjadi kuasa transeden di mana penghayatan tersebut menumbuhkan
relasi, mungkin personal, mungkin juga impersonal. Namun yang jelas, titik
tolaknya adalah realiatas hidup yang dihadapi yang dialami serta gerak hati
untuk memberikan tanggapan spiritual terhadap kuasa transeden itu. Pengungkapan
spiritualitas dan kedalam sentuhannya tidak dapat dilepaskan dari jalinan
budayawi seseorang secara kontekstual. Karena itu, pengembangan spiritualitas
menggunakan wahana kebudayaan adalah wajar, bahkan harus.
Dari
konteks di atas, maka tidak dapat disangkal sekalipun spiritualitas terkait
erat dengan penghayatan personal dan bersifat individual, maka implikasinya
bersentuhan pula dengan komunitas sosial. Itulah yang menyebabkan dimungkinan
terjadinya kelompok orang, yang secara bersama – sama terikat dalam kesamaan
pengungkapan spiritulitas ke dalam wadah agamawi. Wadah itupun akan menemukan
spesifikasinya lebih lanjut dalam jalinan kebudayaan yang melingkupinya. Dengan
demikian, terjadinya bentuk – bentuk pengungkapan spiritualitas (sebagai inti
kehidupan keagamaan) yang berbeda – beda merupakan hal yang wajar dan
(semestinya) tidak perlu mengundang ketegangan.
Agama sebagai Suatu Simbol
Simbol
mempunyai makan yang lebih dalam dan lebih rumit daripada tanda. Dalam simbol
objek, fakta atau peristiwa sebagai realitas lain, yang biasanya berada di luar
jangkauan pengalaman indrawi manusia. Signifikansi simbol memuat berbagai
pemahaman yang dalam, misterium dan mengatasi indrawi manusia yang terbatas.
Sekalipun demikian, manusia selalu membutuhkan dan menggunakan simbol – simbol
itu. Bahkan sebagai mahluk yang berakal budi, manusia dapat menciptakan simbol
– simbol untuk mengaktualisasikan pikiran dan kehendaknya. Dengan pikirannya
manusia menciptakan simbol – simbol tersebut merupakan penjelmaan dari
kebebasan dan dinamika budi manusia.
1.
Supranatural
2.
Keyakinan:
kepercayaan
3.
Budaya
Pendidikan Agama (di Indonesia)
Pendidikan Zaman Purba
Kebudayaan penduduk asli pada zaman
purba disebut kebudayaan Palaeolitis, artinya kebudayaan yang sudah tua
(palaios = tua, lama), seperti yang kita jumpai pada orang orang Kubu, Wedda,
dan Negrito. Sedangkan kebudayaan Indonesia asli pada kira – kira 1500 SM
disebut kebudayaan Neolitis (Neo = baru), yang sisa-sisanya banyak kita jumpai
di pedalaman Kalimantan dan Sulawesi. Adapun ciri-cirinya ialah bahwa
kebudayaan maritim, artinya ada hubungan dengan laut.
Kepercayaan: ada yang animism,
artinya mempercayai adanya roh pada setiap benda, baik pada benda hidup maupun
benda mati. Ada pula yang dinamisme, artinya mempercayai kekuatan gaib pada setiap benda, baik pada benda hidup
Pendidikan Zaman Hindu - Budha
Karena makin lancarnya perdagangan
antara Negara–negara di dunia, maka di Indonesia terjadi diplomatik antara raja
India dengan ketua-ketua adat. Lama
kelamaan ketua-ketua adat tersebut ingin menyamai raja India, maka akhirnya
mereka ada yang dinobatkan menjadi raja.
Seirama dengn struktur social di
India, maka keadaan masyarakat Indonesia dibagi menjadi 2 bagian adalah: Golongan kasta Brahmana dan Ksatria,
yaitu para raja maupun pada benda mati. Masyarakat pada saat itu masih sangat
bersifat gotong royong, akrab, statis.
Mengenai tujuan pendidikan pada
zaman itu ialah, anak – anak harus dipersiapkan agar mempunyai kecakapan
istimewa dan kekuasaan istimewa pada masyarakat. Manusia yang dicita-citakan
ialah; manusia yang bersemangat gotong royong, menghormati para Empu dan taat
pada adat. Kepala adat dapat memegang peranan segala – galanya adalah (1)
dengan pegawai – pegawainya. Golongan ini termasuk kasta yang dijamin oleh
rakyat. (2) Golongan kasta Waisya dan Sudra, yaitu golongan rakyat biasa.
Golongan ini termasuk golongan yang menjamin pada golongan pertama.
Zaman Hindu
1.
Agama Hindu atau agama Brahma dapat dikatakan
politheisme, yaitu mempertuhankan kepada banyak dewa. Dewa-dewa itu antara
lain; Surya (dewa matahari), Yama (dewa laut), Agni (dewa api), dst. Adapun
dewa yang tertinggi ialah: Brahma ,Wisnu, Syiwa. Ketiganya disebut Trimurti.
2.
Menurut agama Hindu, setiap manusia hidup adalah
selalu dalam keadaan samsara (sengsara), artinya selalu mengalami perpindahan
jiwa yang tidak berkeputusan. Ia mengalami proses lahir kemudian mati, terus
lahir lagi begitulah seterusnya. Dan akhirnya sampailah ia mencapai moksha
(bersatu dengan dewa).
3.
Menurut faham Hindu, khususnya para pengikut dewa
Syiwa, mengatakan bahwa hidup manusia mengalami proses bertingkat ,yaitu: debu
– tanaman – hewan – sudra – waisya – ksatria – brahmana – moksha (bersatu
dengan dewa)
4.
Mengenai hukum karma, agama Hindu beranggapan bahwa
tiap – tiap kebaikan akan berakibat baik, dan sebaliknya tiap – tiap kejahatan
akan berakibat pula kejahatan.
Zaman Budha
- Budha tidak menyetujui
pembagian kasta sebagaimana dalam agama Hindu, dan pendirian bahwa semua
orang itu sama tingkatannya.
- Ajaran pokok dari agama Budha adalah: (a)
Lahir,menjadi tua dan mati adalah menderita. (b) Apakah yang menyebabkan menderita itu? Yaitu karena
adanya keinginan-keinginan dan hawa nafsu. (c) Penderitaan akan lenyap,
bila hawa nafsu tersebut dapat dihilangkan. (d) Adapun cara untuk
melenyapkan penderitaan itu ialah harus menjalani 8 jalan kebenaran yang diberikan oleh Budha,yakni:
pandangan-niat-bicara-berbuat-berpenghidupan-berusaha-perhatian-memusatkan
pikiran, semuanya harus baik dan benar.
- Tujuan hidup manusia ialah
untuk mencapai keselamatan diri, yaitu lepas dari “samsara” (sengsara),
lepas dari peredaran hidup mati, sehingga dapat mencapai nirwana.
- Pada awal tahun Masehi agama
Budha pecah menjadi 2 aliran yaitu aliran Hinayana dan Mahayana. Di Indonesia kebanyakan mengikuti
aliran Mahayana.
- Keadaan Pendidikannya: (a)
Yang mula-mula menjadi guru ialah kaum
Brahmana. Kemudian lama-kelamaan para empu di Indonesia menjadi guru sebagai pengganti kedudukan
Brahmana. Pada saat itu terdapat 2 macam tingkatan guru,yaitu: guru
kraton, di mana yang menjadi murid-muridnya ialah anak-anak raja dan
bangsawan; dan guru pertapa yang lebih berjiwa kerakyatan. Cita-citanya
ingin mengangkat derajat rakyat jelata. (b) Sistem pendidikannya adalah
sistem guru kula, jadi disesuaikan dengan cara di India. Murid-murid
tinggal serumah dengan guru. Guru dianggap sakti dan harus selalu
dihormati. Penghasilan guru diperoleh dari pemberian sukarela dari orang
tua murid-murid.
Zaman Sriwijaya
Menurut
sejarah,kurang lebih 500 tahun sebelum Masehi, pernah merantaulah suatu bangsa
yang berasal dari India Belakang ke Kepulauan Nusantara. Setelah mengadakan
hubungan dagang dan kebudayaan, maka abad 7-8 terbentuklah Negara-negara
seperti: Sriwijaya, Tarumanegara, Mataram Lama, dan sebagainya yang pada
hakikatnya terbentuk dari persatuan desa-desa yang telah ada pada beberapa
daerah di kepulauan Nusantara itu.
Tentang
pendidikan-pendidikan pada saat itu dapat kita bicarakan sebagai berikut: (a)
Dasar pendidikannya: agama Budha. (b) Tujuannya: Tiap-tiap orang yang beragama
Budha supaya menjadi manusia yang sempurna dan dapat masuk nirwana. (c)
Kurikulumnya: Bahan yang diajarkan adalah isi dari buku-buku Budha,yaitu
Upanishad (sebagai buku suci), dan guru yang terkenal ialah: Darmapala. (d) Bentuk sistemnya: Para
pelajar dan mahasiswa bersama-sama guru hidup dalam suatu tempat tertentu
disebut asrama, yang merupakan tempat belajar dan mengajar. Hubungan guru dan
murid adalah erat sekali, sehingga besar pengaruhnya dalam pendidikan.
Irama-metodiknya cara mengajar, murid-murid menghafalkan dan diberi buku
pelajaran untuk dihafalkan, sehingga dapat dikatakan benar-benar menguasai.
Perlu
diketahui bahwa bangsa yang pindah ke Indonesia dari India Belakang itu telah
mempunyai nilai kebudayaan yang tinggi yaitu: (a) Mereka telah mengenal cara
bercocok tanam. (b) Mereka telah pandai mendirikan rumah. (c) Mereka telah
mengenal ilmu perbintangan dan sebagainya.
Pendidikan Zaman Permulaan Agama
Islam
Dengan
terbukanya perdagangan internasional, maka datanglah agama Islam ke Indonesia
oleh para pedagang. Agama tersebut kemudian berkembang melalui guru-guru
pertapa yang telah di Islamkan oleh para wali. Di daerah pedalaman kebudayaan
Islam tersebut kemudian bercampur dengan kebudayaan Hindu-Budha, akibatnya: (a)
Pemujaan terhadap raja tetap bergelora. (b) Bentuk masyarakat tetap feodal. (c)
Adanya 2 golongan dalam masyarakat (yang dijamin), meskipun agama Islam sudah
berasas demokratis.
Agama Islam
Islam
berasal dari kata bahasa Arab “salima”
yang berarti sejahtera, tidak bercela.
Atau dari kata aslama yang berarti menyerah, artinya patuh
menerima/menganut agama Islam. Orang yang melakukan aslama disebut muslim,yang
berarti patuh karena Allah. Pada kepatuhannya itu akan bergantung keselamatan
dan kebahagiaanya.
Langgar
Langgar adalah merupkan
pengajaran permulaan. Mula-mula
diberikan pelajaran huruf Arab, dan kemudian dengan mengaji ayat-ayat
Al-Qur’an. Sistem pengajarannya : per kepala, yaitu murid menirukan contoh
guru. Tujuan pengajaran ialah agar murid-murid dapat membaca Al-Qur’an sampai
tamat.
Lama
belajar tidak terbatas, tergantung dari kemauan murid. Biasanya lamanya 1 tahun, bahkan
kadang-kadang kurang. Waktu belajar :
pagi hari dan malam hari.
Gurunya
: seseorang yang berpengetahuan agama yang betul-betul mendalam, sekurang-kurangnya
agak mendalam. Murid tidak boleh mengecam guru, sebab mengecam guru adalah
berdosa.
Uang
sekolah tidak dipungut sama sekali. Apabila sudah menamatkan membaca AL-Qur’an,
maka kemudian diadakan shadaqah khataman.
Pesantren
Tempat
ini memberikan pengajaran lebih lanjut dan mendalam. Murid-muridnya disebut
santri, dan biasanya telah memiliki pengetahuan dasar yang mereka peroleh di
langgar.
Tempat tinggal mereka dalam suatu
pondok (semacam asrama,di dekatnya terdapat mesjid dan rumah guru. Guru hidup
bersama-sama muridnya. Guru mendapat sebutan kyai atau ajengan. Lama belajar
tidak ditentukan, ada yang 1 tahun, 2 tahun, dan ada pula yang sampai 10 tahun.
Kegiatan Harian
Pesantren sebagai berikut: (a)Sesudah shalat shubuh, diberi pelajaran. (b) Kemudian
bekerja membersihkan halaman, berkebun, bekerja di sawah dan lain-lain. (c)
Sesudah makan siang, istirahat pelajaran dan menghafal. (d) Sesudah shalat
maghrib dan isya’ diberi pelajaran lagi.
Bagi yang dipandang
tinggi tingkatannya, diberi pelajaran dengan system klasikal. Mata pelajaran
yang diberikan ialah: (a) Ilmu Tauhid, yaitu pokok-pokok ajaran Islam. (b) Usul
Fiqih, yaitu alat untuk menggali hukum-hukum Islam. (c) Ilmu Arabiyah, yaitu
ilmu untuk mendalami bahasa Arab.
Di Sumatera Barat tidak
ada perbedaan antara langgar dan pesantren , kesemuannya disebut surau. Sedang
pusat pendidikan Islam pada umumnya ialah masjid, yang kemudian timbul
madrasah-madrasah. Mulai abad ke-11 di madrasah-madrasah tersebut mulai
diberikan pelajaran pengetahuan umum.
Metodiknya: Cara yang
biasa dipakai oleh guru ialah cara member pelajaran secara menghafal, misalnya
menghafal Al-Qur’an. Mula-mula santri-santri itu menirukan berkali-kali dari
Kyai, sehingga hafal. Demikian pula cara
memberi pelajaran masih individual yaitu satu per-satu. Keistimewaannnya para santri ialah, bahwa
mereka tidak ingin menjadi pegawai, melainkan ingin hidup bebas, beramal dan
hakikatnya para santri dan Kyai mengadakan hubungn erat.
Pendidikan Muhamadiyah
Persyarikatan
Muhamadiyah adalah gerakan Islam yang didirikan pada tanggal 18 November 1912
di Yogyakarta oleh KH. Ahmad Dahlan . Asas persyarikatan tersebut ialah: (a)
Asas gerak amalnya: Islam. (b) Asas tujuannya : mewujudkan masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya. (c) Asas perjuangannya: Dakwah Islamiyah, amar ma’ruf
nahi mungkar (memerintah kebajikan dan mencegah kejahatan) dalam bidang
kemasyarakatan. (d) Asas usahanya: mencakup semua bidang kegiatan dan kehidupan
masyarakat.
Prinsip Kehidupan Muhamadiyah
Pendidikan Muhamadiyah berasakan
Islam, berpedoman Qur’an dan Hadits.
Tujuannya: membentuk manusian muslim berakhlak mulia, cakap, percaya pada diri
sendiri dan berguna bagi masyarakat. Sebagai orang muslim harus mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut: (a) Berjiwa
tauhid yang murni. (b) Beribadah kepada Allah. (c) Berbakti kepada orang tua
dan baik kepada kerabatnya. (d) Memiliki akhlak yang mulia dan halus
perasaannya. (e) Berilmu pengetahuan dan mempunyai kecakapan. (f) Cakap
memimpin keluarga dan masyarakat.
Dasar-dasar Pendidikan Muhamadiyah
1.
Kemasyarakatan: Artinya memikirkan aspek masyarakat di
samping aspek individu. Maksudnya agar anak-anak kelak tidak menjadi orang yang
setengah-setengah/ canggung dalam masyarakat. Untuk ini maka harus dididik
supaya dapat berdiri sendiri (selfstanding) dan tidak menjadi parasit.
2.
Tajdid (progressivitas) = pembaruan. Artinya kita
usahakan nilai-nilai dan cara-cara baru, agar perguruan itu tetap up to date.
3.
Aktivitas
Anak-anak dididik menjadi orang yang aktif dengan latihan-latihan kerja,
juga dalam kerja kelompok dan sebagainya. Kita ubah sistem guru sentries
menjadi paedocentris (berpusat pada anak-anak).
4.
Kreativitas: Yaitu menimbulkan daya cipta dengan
memberikan beberapa mata pelajaran, misalnya teknologi.
5.
Optimisme: Artinya bila syarat-syarat tersebut sudah
terpenuhi, kita bersangka baik terhadap hasil pendidikan kita.
Tujuan Muhamadiyah
Memperluas dan mempertinggi pendidikan agama Islam modern, serta memperteguh keyakinan tentang agama Islam,
sehingga terwujudlah masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Usaha-usahanya:
- Mendirikan sekolah-sekolah
yang tersebar di seluruh Indonesia, di bawah pimpinan bagian pengajaran.
Sekolah-sekolah tersebut di samping memberikan pelajaran agama Islam, juga
pelajaran-pelajaran sebagaimana di sekolah-sekolah umum/negeri.
- Memperluas
pengajian-pengajian, di bawah pimpinan bagian tabligh, menyebarkan
bacaan-bacaan agama, mendirikan masjid, madrasah, pesantren dan
sebagainya.
- Mendirikan rumah-rumah yatim
piatu, rumah sakit dan poliklinik-poliklinik untuk memelihara kesehatan
rakyat, di bawah asuhan PKU (Pertolongan Kesehatan Umum.)
- Selain tersebut di atas ada
pula bagian-bagian lain seperti bagian wanitanya yang dinamakan Aisyiyah,
bagian pemudanya yang dinamakan Pemuda Muhamadiyah. Semboyan Muhamadiyah: Sedikit
bicara, banyak bekerja.
Berlomba-lombalah dalam kebaikan.
Penyelenggaraan Sekolah-sekolah Muhamadiyah
- Pada zaman Belanda sudah
mempunyai bagian, misalnya sekolah
Bustanul Atfal (TK), sekolah kelas II, HIS, Mulo, Kweekschool dan AMS.
- Sekolah-sekolah agama
misalnya : Ibtidaiyah (SD), Tsanawijah (SLTP), Muallimin/Mu’allimat (SPG)
dan sebagainya.
- Pada zaman Jepang
sekolah-sekolahnya berjalan terus tetapi terjadi kegoncangan-kegoncangan
di sana-sini.
- Pada zaman Kemerdekaan lebih
berkembang lagi, sehingga mempunyai bagian-bagian sebagai berikut:
Madrasah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Diniyah, Mu’allimin/ Mu’allima, TK, SD,
SMEP, SMEA. SMA, SMOA, SKKP, SKKA, IKIP, dan masih ada lagi. Dan sampai
sekarang sudah banyak Perguruan Tinggi dalam bentuk Universitas.
- Tidak sedikit jumlah
sekolah-sekolah Muhamadiyah yang mendapat subsidi dari pemerintah,dan juga
mendapat bantuan/sumbangan.
Seiring dengan perkembangan Islam, maka
pendidikan agama Islam begitu berkembang secara pesat. Sekarang ini banyak kita temui sekolah-sekolah
Islam yang maju dan bermuru tinggi seperti sekolah Al-hazar, Muhamadiah dan
Pesantren-pesantren modern.
Pendidikan Agama dalam Alkitab
Perjanjian Lama
Nenek
moyang kaum Israel, Abraham, Ishak, dan Yakub menjadi guru bagi seluruh keluarganya.
Sebagai bapak-bapak dari bangsanya, mereka bukan saja menjadi imam yang
merupakan pengantara antara Tuhan dengan umat-Nya, tetapi juga menjadi guru
yang mengajarkan tentang perbuatan-perbuatan Tuhan yang mulia itu dengan segala
janji Tuhan yang membawa berkat kepada Israel turun-menurun. Tuhan telah
memilih dan memanggil Abraham dari jauh untuk melayani kehendak-Nya yang
agung, guna keselamatan seluruh umat
manusia. Bimbingan dan maksud Tuhan itu perlu dijelaskan kepada segala
anak-cucunya.
Dalam Mazmur 78: 3-7
sekurang-kurangnya lima angkatan yang berkenaan dengan pembinaan rohani.
“Yang kami dengar dan yang kami
ketahui, dan yang diceritakan kepada kami oleh nenek moyang kami, kami tidak
hendak sembunyikan kepada anak-anak mereka, tetapi kami akan ceritakan kepada
angkatan kemudian . . . supaya dikenal angkatan kemudian, supaya anak-anak,
yang akan lahir kelak, bangun dan menceritakannya kepada anak-anak mereka,
supaya mereka menaruh kepercayaan kepada Allah dan tidak melupakan perbuatan-perbuatan
Allah, tetapi memegang perintah-perintahNya.”
Dari lima generasi yang dijelaskan dalam ayat ini adalah nenek moyang (Ay.
3,), Anak-anak mereka (ay. 4), Angkatan Kemudian (Ay. 4), Anak-anak yang akan
lahir kelak (Ay. 6), Anak-anak mereka (Ay. 6b). Pendidikan Iman harus
dipelihara dari generasi ke generasi berikutnya. Pembinaan rohani harus
berlangsung secara kontinyu dari angkatan demi angkatan untuk memelihara
kelestarian umat Allah sesuai dengan pola Alkitab.
Ishak meneruskan pengajaran yang
penting itu dan kemudian anaknya Yakub pula menanamkan segala perkara ini ke
dalam batin anak-anaknkya. Yusuf menyimpan pelajaran-pelajaran itu di dalam
hatinya kemana saja ia pergi, biar dalam pengasingan sekalipun, sehingga
pengetahuan akan janji-janji Tuhan itu tetap terpelihara oleh bangsa Israel.
Tuhan telah memasuki hidup mereka,
karena Tuhan ingin memakai bangsa itu sebagai alat-Nya. Atas perintah Tuhanlah
keinsafan itu dipupuk dan diperdalam, dengan jalan pengajaran kepada kepada
tiap-tiap angkatan muda.
Nabi Musa dipilih pula oleh Tuhan
untuk membebaskan umat-Nya dari penindasan. Musalah yang diangkat menjadi
panglima dan pemimpinnya, tetapi juga menjadi guru dan pemberi hokum-hukum bagi
mereka. Justru fungsi terakhir itu yang merupakan tugasnya yang paling penting,
mengingat pertumbuhan suku-suku Israel pada zaman itu menjadi satu bangsa yang
utuh dan istimewa sifatnya. Musa mendidik mereka di padang belantara dan
mengatur pendidikan itu dengan jitu dan tepat, agar pengajaran agama, yang
memberi dasar seluruh kehidupan umat Tuhan itu, akan dilanjutkan pula oleh
pengganti-penggantinya kemudian.\
Demikianlah kita dapat meninjau masa
demi masa, sambil menunjukkan segala perhatian kita kepada segala aspek
pendidikan agama di antara bangsa Israel
tatkala sudah mendiami Tanah perjanjian itu. Dapatlah kita menunjuk kepada
zaman Para Hakim, dimana muncul seorang pemimpin dan juga guru yang besar,
ialah Samuel, dan kepada tokoh-tokoh para nabi, baik yang bekerja di masa
raja-raja pertama, maupun yang tampil ke muka dengan khotbahnya yang berapi-api
itu sewaktu raja-raja berikutnya. Tentu saja mereka sekalian mengajarkan Firman
Tuhan dengan rajin dan setia supaya umat Israel kembali kepada sumber
keselamatannya.
Selain dari mereka itu, jangan
hendaknya kita lupa akan pendidikan yang diselenggarakan oleh imam-imam dalam
Bait Suci. Merekalah yang menerangkan dan memeliharakan undang-undang mengenai
kebaktian. Mereka juga yang mengajarkan hukum-hukum tentang kebersihan dan
kesehatan, makanan pantangan dan perhubungan kelamin, dan banyak hukum lagi,
yang harus diketahui dan dituruti oleh umat suci itu.
Tiap-tiap keturunan orang Israel
menyampaikan pula segala pengajaran dan peraturan itu kepada keturunan yang
berikut.Proses ini terus berlangsung terus beratus-ratus tahun lamanya. Kita
heran membaca dalam Perjanjian Lama betapa banyak hal yang beraneka ragam
selalu diajarkan kepada angkatan muda dari kaum Israel itu. Ada hukum-hukum
mengenai pembangunan rumah-rumah dan mengenai sistem pengadilan; ada yang
mengenai pakaian dan riba, perkawinan dan perceraian nikah, pertanian dan
perternakan, dan sebagainya. Tegasnya, rencana pelajaran oaring-orang Israel
itu sangat luas dan teratur baik.
Di Israel segala sesuatu harus
saling membantu dan bekerja sama untuk mendidik anak-anak dan orang dewasa agar
menjadi anggota-anggota persekutuan agama itu, yang insaf akan panggilannya dan
dengan segenap hatinya ingin mengabdi kepada Tuhan dalam segala gerak-gerik di
hidup mereka. Untuk itu juga dipergunakan masa-masa raya yang memperingatkan
kaum Israel akan peristiwa-peristiwa yang besar
yang dialami nenek moyang mereka zaman dulu, misalnya perayaan Paskah.
Berhubungan dengan hari-hari raya itu, bapa-bapa meneceritakan kepada
anak-anaknya tentang segala pimpinan dan berkat Tuhan pada masa lampau, supaya
menjadi pelajaran dan penghiburan bagi mereka sekalian pada masa kini.
Seluruh pendidikan Israel bersifat
agama, tak ada sebagian juga pun dari
segala lapangan hidup manusia yang tidak dipengaruhi dan dikuasai agama. Pendidikan itu mulai dalam masing-masing
rumah tangga dan diteruskan dalam kebaktian–kebaktian umum dan di dalam
pengajaran tentang taurat Tuhan. Tuhan
Allah sendirilah yang merupakan pusat dan tujuan segala pendidikan masyarakat bangsa
Israel, maka sudah tentu segala hal-ihwal masyarakat umum pula dipelajari dan
diatur dalam terang penyataan Tuhan.
Bahkan nama-nama tempat di daerah
Palestina itu pun sering mengajarkan orang Israel tentang pentingnya agama.
Kita teringat umpamanya akan arti gunung-gunung Ebal dan Gerizim. Setelah masuk
ke tanah Kanaan, maka atas perintah Tuhan
dari puncak gunung Ebal itu dibacakan kutuk-kutuk bagi segala orang yang
tidak taat kepada pimpinan Tuhan dan Taurat-Nya yang suci itu, dari atas gunung
Gerizim diserukan berkat-berkat yang dijanjikan kepada sekalian rakyat yang mau
mengabdi kepada Tuhan. Dengan demikian setiap kali orang-orang Israel kemudian
melalui lembah anatar dua gunung itu mereka diingatkan akan keharusan bagi
manusia untuk memilih anatra melawan atau menuruti Tuhan, menolak atau mengaku
kuasa Tuhan atas hidup kita. Lembah itu seakan-akan menjadi “Lembah Keputusan”,
yang memaksa manusia untuk menentukan apakah ia mau hidup di bawah berkat atau
kutuk Tuhan (bnd. Ul. 11: 29; 27:1-26. Yos. 8: 30-35).
Selama masa pembuangannya ke Babel,
kaum Yahudi itu makin lama makin sadar lagi akan amanat dan panggilannya. Para
katib mereka banyak mencurahkan perhatian kepada kitab-kitab suci bangsanya.
Dibangunlah rumah-rumah sembahyang dan sekolah-sekolah agama, tempat
diajarkannya kepada jemaat Yahudi itu segala tradisi agama yang telah
diserahkan nenek moyangnya berabad-abad lamanya. Dan sekembalinya kaum Yahudi
itu ke tanah airnya, maka pembacaan taurat mulai memegang peranan yang sangat
penting di pusat banyak sarjana Yahudi
yang menyelidiki dan menafsirkan kitab-kitab suci dengan teliti.
Sekolah-sekolah dan mazhab-mazhab rabbi yang masyhur itu mulai muncul,
berkembang dan berkuasa.
Keyakinan teologis yang menjadi dasar pendidikan Yahudi adalah ajaran
tentang manusia. Secara singkat, menurut Perjanjian Lama, manusia
diciptakan menurut gambar Allah untuk memelihara lingkungan hidup, menurut
peerintah Penciptanya dan hidup dengan setia sebagai anggota umat
terpilih/kawan sekerja perjanjian. Pada pokoknya semua panggilan tersebut
bergantung pada sifat manusia. Manusia adalah makhluk khusus yang mampu dan
wajib mengambil keputusan pada setiap saat dari hidupnya. Dia terpanggil untuk
membedakan antara nilai-nilai yang muncul dalam kebudayaan dan berporos kepada
kehendak Tuhan. Apabila ia mengacaukan keduanya, dalam arti tidak melihat nilai
ketegangan antara nilai kebudayaan dan maksud Tuhan, maka keadaannya mirip yang
dikatakan Nabi Yeremia atas nama Tuhan : Israel telah “. . . . meningggalkan
Aku, sumber air yang hidup, untuk menggali kolam bagi mereeka sendiri, yakni
kolam yang bocor, yang tidak dapat menahan air” (Yer. 2: 13b).
Tujuan umum pendidikan agama Yahudi yang berlaku bagi paguyuban Yahudi
sebelum musibah Pembuangan ke Babel ialah Melibatkan angkatan muda dan dewasa
dalam sejumlah penglaman belajar yang menolong mereka mengingat
perbuatan-perbuatan ajaib yang dilaksanakan Allah pada masa lampau, serta
membimbing mereka mengharapkan terjadinya perbuatan sama dengan penyataan di
tengah-tengah kehidupan mereka guna memenuhi syarat-syarat perjanjian, baik
berkaitan dengan kebaktian keluarga dan seluruh persekutuan maupun yang
mencakup perilaku yang sesuai dengan Kehendak Tuhan, sebagaimana ia
diejawantahkan dalam urusan soaial dan pemeliharaan ciptaan yang dinamakan baik
oleh Tuhan.
Sebenarnya, pada zaman Tuhan Yesus
pengajaran agama kaum Yahudi sudah sangat berkurang mutu rohaninya.
Penyelidikan dan pengajaran tentang taurat telah bersifat formal dan kaku.
Huruf hokum-hukum itu terlampau diutamakan. Pengajaran agama mulai menitikberatkan
derajat tinggi kaum Yahudi secara bangsa dan jenis manusia. Jiwa taurat telah
menang atas sifat rohani dari agama Israel semula. Katib-katib bersifat
congkak. Tetapi kendatipun demikian, pendidikan agama kaum Yahudi itu tetap
merupakan dasar dan latar belakang bagi pendidikan agama Kristen di kemudian
hari. Dengan itu kita tiba pada masa Perjanjian Baru.
Perjanjian Baru
Demikian pula halnya dengan Perjanjian Baru. Segala kitabnya ditulis dengan
tujuan tertentu, ialah untuk mengajar umat Kristen tentang pernyataan Allah
dalam Yesus Kristus dan pengaruhnya bagi umat manusia. Kitab-kitab Injil hendak
memelihara tradisi lisan mengenai pekerjaan dan pemberitaan Tuhan Yesus, agar
rohani jemaat Kristen dibangunkan, imannnya diperkokoh dan pengetahuannya akan
Juruselamat itu diperdalam. Dan surat-surat Rasul Paulus misalnya, semuanya
menyinggung pelbagai masalah yang perlu diterangkan kepada jemaat. Dengan tiada
lelah Paulus senantiasa berdaya-upaya untuk mendidik jemaat Kristen dalam
segala soal iman dan kesusilaan Kristen , dan kita bersyukur kepada Tuhan bahwa
surat-suratnya, yang penuh dengan pengajaran dan nasihat tidak ternilai
harganya, semuanya diserahkan kepada kita. Marilah sekarang kita menyelidiki
dengan lebih saksama lagi tentang kedudukan dan fungsi pendidikan agama itu di
dalam Alkitab sebagai berikut:
Yesus
Apabila kita hendak menyelidiki soal pendidikan agama dalam hubungan
Perjanjian Baru, tentu saja pertama – tama dan khususnya kita harus mengarahkan
pandangan kita kepada Tuhan Yesus sendiri. Disamping jabatan-Nya sebagai
Penebus dan Pembebas, Tuhan Yesus juga menjadi Guru Yang Agung. Keahlian-Nya
sebagai seorang guru umumnya diperhatikan dan dipuji oleh rakyat Yahudi; mereka
dengan sendirinya menyebut Dia “Rabbi”. Ini tentu suatu gelar kehormatan, yang
menyatakan betapa ia sangat disegani dan dikagumi oleh orang sebangsa-Nya
selaku seorang pengajar yang mahir dalam segala soal ilmu ketuhanan. Sebab Ia
mengajar mereka “sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli – ahli Taurat
yang biasa mengajar mereka” (Mat. 7:29).
Tuhan Yesus mengajar di mana saja:
di atas bukit, dari dalam perahu, disisi orang sakit, ditepi sumur, di rumah
yang sederhana, dan dirumah orang kaya, di depan pembesar-pembesar agama dan
pemerintah, bahkan di kayu palang salib sekalipun. Tuhan Yesus tidak memerlukan
sekolah atau gedung yang tertentu. Tiap – tiap keadaan dan pertemuan
dipergunakan-Nya untuk memberitakan Firman Allah.
Tuhan Yesus dalam pengajaran-Nya
tidak terikat pula pada waktu tertentu. Siang – malam, pada setiap saat Ia
bersedia menerangkan Jalan Keselamatan dan Kerajaan Sorga yang telah dating itu
kepada siapa saja yang ingin belajar kepada-Nya.
Yang menjadi tujuan pengajaran Tuhan
Yesus itu bukanlah untuk membahas pelbagai pokok agama dan susila secara ilmiah
atau secara teori saja, melainkan untuk melayani tiap-tiap manusia yang datang
kepada-Nya. Setiap orang itu dikenal-Nya, dan dipahami-Nya masalah-masalah yang
dipergumulkan orang itu.
Cara mengajar-Nya sangat istimewa
pula. Biasanya Tuhan Yesus tidak membentangkan sesuatu ajaran dengan menyuruh
orang mempercayai itu, tetapi Ia menolong mereka berpikir sendiri dan menarik
kesimpulan-Nya sendiri dari apa yang telah dijelaskan-Nya pada mereka. Tak
selalu Ia mencapai hasil-Nya, karena sering pendengar – pendengarNya
mengeraskan hatinya, tetapi tentu Ia senantiasa menyatakan Diri sebagai guru
yang tak ada taranya karena Ia sendiri adalah Kebenaran.
Banyak metode yang dipakai-Nya, dan
segala metode itu masih penting dan perlu dipelajari oleh segala guru agama
masa kini. Adakalanya Tuhan Yesus bercerita. Sering Ia memakai
perumpamaan-perumpamaan. Acap pula Ia mengemukakan pertanyaan-pertanyaan, yang
kemudian menjadi bahan pengajaran-Nya. Kadang – kadang suatu percakapan kita
berkembang menjadi suatu pengajaran yang indah. Tetapi bukan saja dengan
perkataan-Nya Tuhan Yesus mengajar. Juga dengan jalan memperlihatkan apa yang
dimaksudkan-Nya seperti tatkala Ia memeluk anak-anak dan memberkati mereka, itu
menjadi teguran pada murid-murid-Nya, atau ketika ia membasuh kaki mereka untuk
mengajar mereka supaya rendah hati.
Bahkan seluruh kehidupan Tuhan Yesus
sendiri merupakan pengajaran sampai saat yang terakhir, karena justru dalam
sengsara dan kematian-Nya Ia menyungguhkan segala pengajaran-Nya dengan
pengorbanan Diri-Nya sendiri.
Paulus
Rasul Paulus juga seorang guru yang ulung. Ia merupakan tokoh penting di
lapangan pendidikan agama. Paulus sendiri dididik untuk menjadi seorang rabbi
bagi bangsanya. Ia mahir dalam pengetahuan akan Taurat dan Ia dilatih untuk
mengajar orang lain tentang agama kaum Yahudi.
Setelah Tuhan Yesus memasuki
hidupnya, Paulus menjadi seorang hamba Tuhan yang terdorong oleh hasrat yang
berapi – api untuk memansyurkan nama Tuhan Yesus itu. Kemanapun Paulus pergi, segala kesempatannya digunakan
untuk mengajar orang Yahudi dan kaum kafir tentang kehidupan bahagia yang
terdapat dalam Injil Yesus Kristus. Paulus berkhotbah di hadapan imam-imam dan
rabbi-rabbi Yahudi di hadapan rakyat jelata di segala kota dan desa-desa yang
dikunjunginya. Ia mengajar raja-raja dan wali-wali negri, orang cendikiawan dan
kaum budak, orang laki-laki, kaum wanita, orang Asia,orang Yunani, orang
Romawi, pendek kata segala golongan manusia yang ditemuinya pada
perjalanan-perjalanannya yang banyak dan panjang itu.
Paulus berkeyakinan kuat dan beriman
teguh. Selalu ia siap sedia untuk bertukar pikiran, mengajar menegur dan
mengajak. Pasti ia orang yang ahli pidato dan besar bakatnya. Meskipun tidak
tampan raut muka dan tokoh badannya, tetapi khotbahnya penuh semangat dan
terang isinya, sehingga mengagumkan para pendengar. Dan banyak orang merasa
sangat tersinggung, tetapibanyak pula yang segera ditawan oleh kuasa bahasanya.
Paulus mengajar di rumah-rumah
tempat ia menumpang, di gedung-gedung yang disewanya, di lorong-lorong kota
atau di padang-padang, di atas kapal, dan dalam bengkelnya, di pasar dan dalam kumpulan kaum filsuf. Tak ada
tempat yang dianggapnya kurang layak untuk menyampaikan beritanyatentang
Juruselamat dunia.
Rasul Paulus juga banyak mengajar
melalui surat-surat. Segala soal dan kesulitan yang muncul dalam jemaat-jemaat
yang didirikan itu, ataupun yang timbul di
antara kaum Kristen yang belum dikunjunginya, semua itu dipakainya untuk
menguraikan pokok-pokok kepercayaan atau kesusilaan Kristen yang bersangkutan
dengan hal-hal itu. Kebiasaannya itu sungguh menguntungkan seluruh umat Kristen
di kemudian hari. Bukankah surat-surat Paulus itu sampai sekarang merupakan
pengajaran yang tak ternilai harganya bagi sekalian orang Kristen di segala
tempat?
Jemaat yang Mula-mula
Sejak mulai berdirinya maka
jemaat Kristen menjunjung pengajaran agama. Seperti diketahui, orang-orang
Kristen muda itu mula-mula masih berpaut kepada adat agama Yahudi, tetapi
lambat laun mereka mengembangkan perkumpulan-perkumpulannya sendiri. Di dalam
perkumpulan itu mereka berdoa, berbicara tentang pengajaran dan
perbuatan-perbuatan Tuhan Yesus Kristus, makan sehidangan dan merayakan
Perjamuan Suci. Mereka yakin sejak turunnya Roh Kudus jemaat mereka merupakan
Israel baru. Yesus Kristus telah menciptakan Israel baru itu dengan Roh-Nya
sendiri. Sekarang mereka berdiri dalam dunia ini dengan keadaan baru dan dengan
tugas yang baru pula.
Akibatnya ialah mereka mulai berkhotbah dan mengajar, supaya banyak orang
lain pula akan percaya pada Yesus sebagai Penebus dan Tuhan. Setiap orang yang
mau bertobat danmau bergabung dengan jemaat Kristen itu,dididik dengan saksama.
Di dalam dan di luar kebaktian, mereka
belajar tentang Diri Kristen di dalam dunia ini. Jemaat-jemaat muda itu
mempelajari nubuat-nubuat para nabi dulu kala mengenai Yesus Kristus dan
pemimpin gereja . Mereka menganggap dirinya suatu persekutuan suci,seperti
Israel dulu,tetapi dengan mengaku Yesus Kristus selaku Raja, Nabi, dan Imamnya
yang satu-satunya.
Kerajinan dan kesetiaan Israel dalam menjalankan pendidikan agama dituruti
pula, hanya perbedaannya ialah sekarang bukan lagi Taurat yang menjadi dasar
dan pusat pendidikan itu, melainkan Yesus Kristus. Dengan demikian, jemaat
purba itu mengajarkan agama Kristen di dalam rumah-rumahnya kepada tetangganya,
di dalam kebaktian dan kumpulannya, bahkan kepada siapa saja yang suka
mendengarkan berita kesukaan yang mereka siarkan.
Dari uraian pendek
ini kita dapat segera menarik kesimpulan bahwa agama Kristen itu merupakan
suatu agama yang sangat mementingkan pendidikan Agama. Agama kita yakin bahwa
sekalian penganutnya sekali-kali tak boleh melupakan perbuatan-perbuatan yang
mahabesar, yang telah dilakukan Tuhan Allah bagi mereka di dalam Yesus Kristus.
Anggota-anggota gereja, baik orang dewasa maupun anak-anak kecil, semuanya
wajib mempelajari perkerjaan Tuhan yang telah mendatangkan keselamatan itu.
Peristiwa-peristiwa yang agung itu harus diajarkan, diterangkan dan dipercaya,
sehingga segala orang yang mengaku Yesus Kristus kehilangan tabiatnya yang lama
dan menjadi ciptaan baru dalam Dia.
Jikalau demikian, Gereja Kristen di dunia ini menjadi suatu terang yang dapat
menujuk jalan keselamatan banyak orang lain pula.
Sedari zaman Perjanjiab Baru jemaat Kristen sangat mementingkan pendidikan
agama. Tugas mengajar itu tentu
diserahkan khususnya kepada kaum guru yang telah mempunyai karunia dan latihan
istimewa untuk pekerjaan yang mulia itu,
tetapi seluruh jemaat tetap mendukung dan mendoakan mereka itu. Mulai
dari abad pertama tarikh Masehi, Pendidikan agama Kristen menyiapkan orang
untuk masuk ke dalam persekutuan jemaat Kristus, dan setelah disambut dalam
jemaat itu mereka dididik terus supaya semakin lama semakin berakar dalam
pengetahuan dan pengenalan yang mendalam tentang Yesus Kristus, Kepala Gereja
itu.
Koherensi Agama dengan Pendidikan
Bilamanakah mulainya pendidikan agama itu?
Mungkin ada yang menyangka bahwa pendidikan agama itu baru mulai
diselenggarakan pada masa modern, pendapat itu ternyata salah. Pendidikan agama
mulai ketika agama sendiri mulai muncul dalam hidup manusia. Tiap-tiap agama di
dunia ini memiliki system pendidikannya sendiri – sendiri. Entah bagaimana pun
isi, cara dan bentuknya pendidikan itu, namun pasti ada. Setiap agama merasa
perlu mengajar anak-anak muda tentang kepercayaan, adat istiadat, dan kebaktian
agama itu. Sebelum mereka dapat ditahbiskan menjadi anggota penuh dari
persekutuan agama itu, wajiblah mereka diajar dan dilatih dalam segala teori
dan praktik agamanya itu.Demikian pula tuntutan agama terhadap orang-orang yang
hendak masuk dari luar. Siapa yang ingin memeluk agama baru, tentu saja
diwajibkan mempelajari pokok-pokok kepercayaan dan adat kebiasaan dalam agama
itu lebih dulu.
Berkenaan dengan itu tiap-tiap agama mempunyai guru-guru dan
lembaga-lembaganya yang ditugaskan
menjalankan pendidikan agama itu. Tegasnya, selama ada agama, ada pula
pendidikan agama. Setiap pendiri agama seperti Konfusius, Sidharta Gautama,
Muhammad sekaligus juga menjadi pendidik pada umat yang mengikutinya, bahkan
tokoh-tokoh genersi kedua dan ketiga dan seterusnya selalu menampilkan sosok
Pendidik bagi umat. Begitu muncul agama disana pulalah pendidikan agama
dimulai. Karena Agama pasti menyentuh semua sendi-sendi kepribadian manusia.
Pendidkan mengatur dan mengarahkan tingkah laku manusia.
Demikian pula dalam agama Kristen, kapan pendidikan agama Kristen mulai?
Pendidikan agama Kristen berpangkal kepada persekutuan umat Tuhan di dalam
Perjanjian Lama. Jadi pada hakikatnya dasar-dasarnya sudah terdapat dalam
Sejarah Suci purbakala. PAK itu mulai dengan terpanggilnya Abraham menjadi
nenek-moyang umat pilihan Tuhan, bahkan PAK berpokok kepada Allah sendiri,
karena Allah yang menjadi Pendidik Agung bagi umat-Nya.
Pendidikan agama Kristen khususnya sejak awalnya sama dengan pikiran dan
praktiknya selama masa Abad Pertengahan berakar baik dalam
kebudayaan-Yunani-Romawi maupun Yahudi. Dari yang pertama itu, yaitu melalui
pendekatan Socrates, misalnya, para pendidik Kristen belajar bagaimana
menjernihkan pemikiran melalui seri pertanyaan yang semakin mendalam. Kemudian,
pikiran salah satu muridnya yang bernama Plato dimanfaatkan para pemimpin
Kristen untuk menyoroti inti sari pendidikan sebagai proses mengantar orang
untuk meninggalkan perasaan aman mereka yang berporos dunia bayang-bayang agar
bertindak sesuai dengan dunia yang nyata. Jadi sebagian pendidikan berarti
memeriksa kembali pandangan yang lazimnya diterima dan menolaknya kalau memang
data baru itu menuntut berbuat demikian.
Oleh sebab itu, untuk menemukan akar-akar dari Pendidikan Agama Kristen,
haruslah kita menggali dalam Alkitab, tempat Tuhan menyatakan rahasia
keselamatan-Nya kepada bangsa Israel. Alkitab itu merupakan satu-satunya sumber
pengetahuan itu mengenai rancangan keselamatan itu,dan Alkitablah yang
melukiskan dengan terang bagaimanakah wujud dan maksud pendidikan agama itu.
Banyak sekali keterangannya yang menarik hati mengenai isi dan cara
melaksanakan pendidikan agama itu. Pada hakikatnya kebanyakan kitab-kitab yang
termuat dalam Kitab Suci itu, dikarang dengan maksud untuk mengajar dan
mendidik para pembaca yang beriman itu.
Di dalam Kitab-Kitab Perjanjian
Lama tersimpanlah kesaksian mengenai perkara-perkara yang Maha Agung, yang
telah dialami umat Tuhan di bawah pimpinan-Nya sepanjang sejarah.
Murid Plato paling
termasyur yang bernama Aristoteles mengajar Gereja bagaimana menggolongkan
pengetahuan yang ditemukan agar lebih gampang memperolehnya kembali bilamana
diperlukan lagi. Ia pun menunjukkan mengajarkan akal manusia untuk
mempertimbangkan bobot sejumlah tujuan usaha insane termasuk pendidikannya dengan
salah satu akibatnya yang dianggap paling kuat. Demikian pula “jalan kebenaran
yang dikemukakannya sebagai asa pokok, hendaknya dipakai untuk mengambil
keputusan etis. Semua macam pendidikan tersebut diarahkan kepada perkembangan
seorang pribadi yang mampu melihat hubungan-hububan sejati serta bertindak
sesuai dengan pengetahuan tersebut.
Pikiran
Quintilianes, seorang warga kebudayaan yang menjunjung tinggi kemampuan
bertindak semaksimal mungkin, menjadi sumber yang dimanfaatkan untuk menyoroti
cara mendidik secara praktis dan manusiawi.
Selama abad – abad permulaan abad bangsa Israel sampai pembuangannya ke Babel dapat dicatat empat pokok pendidikan
utama adalah: (1) Dasar teologi
pendidikan agama Yahudi yang mencakup tiga ajaran yaitu, bangsa yang terpilih,
pernyataan dan ajaran tentang manusia. (2) Dari ketiga dasar tersebut ditarik
isi tujuan pendidikan agama Yahudi. (3) Pengajar–pengajar. Pada dasarnya, Allah
diterima sebagai pengajar utama yang mempercayakan pelayanan mengajar pada
empat golongan pemimpin pada umumnya dan kepada kedua orang tua khususnya.
Keempat golongan mencakup jabatan berikut: imam, nabi, penyair, dan orang
bijak. Tugasnya sebagai pengajar umum masih diteruskan pada zaman pembuangan ke
Babel dan kembalinya ke Palestina. Keprihatinan khas mereka masing – masing
cenderung menghasilkan pendekatan mendidik yang berimbangan kepada tiap-tiap
keturunan yang baru, dan sebab itu hikayatnya dipaparkan dalam Kitab pula
Perjanjian Lama. (4) Kurikulumnya. Dalam ruang lingkup terdapat tema berikut:
“pemilihan Abraham dengan keturunannya, penciptaan langit dan bumi, perlepasan
dari perbudakan di Mesir, pemberian perjanjian/hukum Taurat, pendudukan tanah
yang dijanjikan, permulaan kerajaan dan kesaksian kaum nabi tentang
kecenderungan umat Israel yang menyeleweng dari persyaratan yang termuat dalam
perjanjian”.
Dalam pokok tersebut tersirat pula bimbingan menuju perilaku yang sesuai
dengan panggilan umat Israel. Mulai dengan dampaknya yang hebat atas diri kaum
Israel sebagai akibat pembuangannya ke Babel sampai permulaan zaman Masehi,
pendidikan agama Yahudi berkaitan secara khusus dengan empat pokok adalah: (1)
Dasar teologi yang mencakup peninjauan
ulang statusnya sebagai bangsa yang terpilih dan pernyataan. (2) Karena mereka jauh dari Bait Allah yang
ada di Yerusalem, yaitu pusat kebaktiannya, dan arena ketidak mampuan orangtua
memenuhi mandatNya untuk mengajar, umat Allah di Babel mengembangkan rumah
ibadah dan sekolah. Yang pertama merupakan prakarsa yang sama sekali baru dalam
sejarah agama, dalam arti pada pertama kalinya pendidikan berkaitan dengan
ritus ibadah. Tentang sekolah tersebut terdapat dua taraf pokok, yaitu sekolah
dasar (Beth - Hasepher) dan sekolah menengah pertama (Beth Talmud). Di dalamnya
nampaklah penghargaan yang sungguh – sungguh terdapat kesepakatan belajar dan
rasa hormat terhadap jabatan seeorang guru.
(3) Pendekatan mendidik yang manusiawi dan yang bersandar banyak pada
metode menghafal. (4) Para pelajar. Yang dididik di sekolah ialah anak laki –
laki saja, tetapi barangkali di sana – sini anak permpuan dididik tentang
keterampilan dan isi yang serupa dengan kesempatan yang disediakan bagi anak
laki – laki.
Dalam bangsa Yahudi begitu melekatnya pendidikan karena dalam penyampaian
pesan-pesan Allah tidak mudah dilakukan banga Israel, mereka melanggar
ketetapan Tuhan sehingga Allah melakukan hukuman bagi mereka dan konsekwensi
itu suatu bentuk pendidikan.
V.Teori Kebenaran:
Korespondensi, Koherensi (KOnsisten) dan Pragmatis
Ada beberapa teori
yang dapat dijadikan acuan untuk menentukan apakah pengetahuan itu benar atau
salah, yaitu: teori korespondenasi, teori koherensi, dan teori pragmatisme.
Teori Korespondensi (Correspondence Theory)
Kebenaran merupakan persesuaian
antara fakta dan situasi nyata. Kebenaran merupakan pesesuaian antara
pernyataan dalam pikiran dengan situasi lingkungannya. Sesuatu dikatakan benar
jika sesuatu yang seseorang ketahui itu setia terhadap realitas obyektif, tidak bertentangan, dan tidak
bertolak belakang. Contoh: kalau Alkitab memberi pengertian bahwa manusia
berada dalam dilema, dan bahwa upah dosa adalah maut, hal itu dapat dilihat
sesuai dengan pengalaman hidupnya. Manusia mengalami konflik dalam dirinya,
yakni perjuangan antara ingin berbuat baik dengan bertindak sebaliknya.
Seseorang dapat melihat bahwa upah dosa
dan perbuatan dosa senantiasa membawa kerugian bagi kehidupan manusia.
Teori Koherensi (Coherence Theory)
Kebenaran bukan
persesuaian antara pikiran dengan kenyataan, melainkan kesesuaian secara
harmonis antara pendapat atau pikiran seseorang
dengan pengetahuannya yang telah dimiliki. Pengertian persesuaian dalam
teori ini berarti terdapat konsistensi (teori ini disebut juga teori
“konsistensi”) yang merupakan ciri logis hubungan antara pikiran-pikiran (ide-ide)
yang telah seseorang miliki satu dengan yang lain. Kalau seseorang menerima
pengetahuan baru, karena pengetahuan tersebut sesuai dengan pengetahuan yang ia
miliki, atau apabila seseorang melepaskan pendapat lama, karena pendapat baru
tersebut lebih bertautan secara harmonis, karena pendapat baru tersebut lebih
bertautan secara harmonis dengan keseluruhan pengalaman dan pengetahuannya.[162]
Teori Pragmatisme (Pragmatism Theory)
Kebenaran tidak bisa bersesuaian dengan kenyataan, sebab seseorang hanya
bisa mengetahui dari pengalamannya saja. Pragmatisme berpendirian bahwa mereka
tidak mengetahui apapun (agnostik) tentang wujud, esensi, intelektualitas, dan
rasionalitas. Oleh karena itu, pragmatisme menentang otoritarianisme,
intelektualisme, dan rasionalisme. Penganut pragmatisme merupakan penganut
empirisme yang fanatik untuk memberikan interpretasi terhadap pengalaman.
Menurut pragmatisme, tidak ada kebenaran yang mutlak dan abadi. Kerbenaran ini
dibuat dalam proses penyesuaian manusia.[163]
Schiller, pengikut pragmatisme di Inggris, mengemukakan bahwa kebenaran
merupakan suatu bentuk nilai, artinya apabila seseorang menyatakan benar
terhadap sesuatu, berarti ia memberikan penilaian terhadapnya. Istilah benar
adalah suatu pernyataan yang berguna, sedangkan istilah salah merupakan
pernyataan yang tidak berguna.[164]
Teori Pragmatis tentang kebenaran mengatakan bahwa sesuatu itu dianggap
benar jika berdasarkan nilai manfaat dari pengetahuan atau kebenaran itu
sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Contoh: orang perlu percaya kepada Yesus
karena ada dampak dalam kehidupan. Yesus membuat mampu orang yang percaya
menghadapi masalah secara berkemenangan.
VI.
Konflik antara Etika dan Estetika
Percakapan tentang etika dan astetika menjadi bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari dunia pendidikan, khususnya Pendidikan Agama Kristen.
Pentingnya percakapan ini disebabkan karena persoalan “etika” dan “estetika”
menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari warga pembelajar, baik bagi
pendidikan (guru dan dosen) maupun
peserta didik. Di sini bahwa Etika dan
Estetika (Astetika) yang dipercakapkan
menjadi bagian dari pokok permasalahan yang dikaji dalam Filsafat.[165]
Artinya pokok persoalan yang dikaji filsafat mencakup tiga segi, yakni: logika,
etika dan estetika.
Filsafat etika membahas tentang apa
yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk. Sedangkan Filsafat
estetika membicarakan apa yang termasuk
indah dan apa yang termasuk jelek.[166]
Dengan kata lain etika diartikan “studi tentang prinsip-prinsip dan
konsep-konsep yang mendasari penilaian terhadap perilaku
manusia”.[167]
Sedangkan estetika adalah “studi tentang prinsip-prinsip yang mendasari penilaian
kita atas berbagai bentuk seni. Apakah tujuan seni? Apa peranan rasa
dalam pertimbangan estetis? Bagaimana kita mengenali sebuah karya besar seni?”[168]
Kegunaan Etika dan Estetika
Apa kegunaan pengetahuan tentang etika bagi seorang guru? Apakah
pengetahuan tentang etika dapat membantu guru memecahkan banyak dilemma yang
muncul di kelas? Seringkali, para guru harus mengambil tindakan dalam
situasi-situasi di mana mereka tidak mampu mengumpulkan semua fakta relevan dan
dimana tidak ada arah tindakan yang tunggal yang secara total benar atau salah.[169] Kegunaan
etika dan estetika sebagai berikut:
1.
Sejauh mana etika dapat menyumbangkan kepada guru
cara-cara berpikir mengenai permasalahan-permasalahan yang sulit untuk
menentukan arah tindakan yang benar. Cabang dari filsafat ini juga membantu
guru memahami bahwa pemikiran etis dan pembuatan keputusan bukanlah semata-mata
mengikuti aturan-aturan.[170]
2.
Estetika itu berhubungan dengan dengan nilai-nilai
yang berkaitan dengan keindahan dan seni. Estetika membantu guru meningkatkan
keefektifannya pengajaran, karena dapat dipandang sebagai suatu bentuk ekspresi
artistic, dapat dinilai menurut standar-standar artistic dari keindahan dan
kualitas. Dalam konteks ini guru adalah seorang seniman dan secara terus
menerus berusaha meningkatkan kualitas kerjanya.[171]
Bila kajian etika menyangkut baik dan
buruk serta estetika menyangkut indah
dan jelek maka pada sisi apa kedua bidang ilmu ini dapat hidup berdampingan
secara rukun, dan pada konteks apa kedua bidang ini menyebabkan terjadinya
konflik. Dalam bagian terakhir inilah pembahasan ini dilakukan. Dengan kata
lain tugas yang diberi kepada saya adalah membahas “konflik antara etika dan
estetika”.
Konflik antara Etika dan Estetika
Pokok Percakapan Etika dalam Pendidikan
Secara umum diakui bahwa pendidikan secara luas
dihormati sebagai “pembentukan moral”. Para guru yang baik selalu menarik
perhatian dalam: apa yang dikatakan atau diajarkan? Apa yang
dilaksanakan dan bagaimana para siswa hendaknya bertindak? Mereka mempunyai kaitan dengan memberikan
atau menyampaikan nilai-nilai moral dan meningkatkan induvidual dan perilaku
sosial. Dengan demikian, maka siapapun yang menjadi guru yang mengambil
lapangan kerjanya dengan serius harus
mencari untuk menjawab menata nilai-nilai moralnya . Di sini studi etika akan
menolong seorang guru dalam melaksanakan tugas mengajar yang menuntut
keputusan-keputusan etis.
Mengamati apa yang dikatakan di atas maka pergumulan
guru tentang etika sebenarnya merupakan sebuah studi berharga baginya dalam
kerjanya di dunia ini. Dalam konteks ini seorang guru berhadapan dengan
pertanyaan seperti : Bagaimana hidup
dalam berprilaku yang baik untuk semua orang? Bagaimana seharusnya atau
sebaiknya manusia atau warga pembelajar untuk bertindak? Hal ini mempunyai
kaitan dengan " hak atau
kebenaran" serta nilai-nilai sebagai basis untuk tindakan benar.
Pada suatu waktu sistem etis telah dihubungkan ke agama. Hari ini,
bagaimanapun, sistem yang etis Dunia Barat, walaupun sebagian besar memperoleh
dari pengajaran religius, pada umumnya dibenarkan pada lain-lain alasan.
Intuitionism dan
Naturalism
Dua jenis teori etis yang penting adalah: teori Intuitionism dan teori
naturalism. Intutionism menyatakan
nilai-nilai moral itu ditawan oleh individu yang secara langsung. Kita
menyerap kesalahan atau kebenaran itu sesuatu
yang terjadi dan dirasakan. Nilai-Nilai
Moral yang menawan dengan cara ini benar di (dalam) diri mereka Kebenaran
mereka tidak bisa dibuktikan secara logika atau menguji dengan pengalaman itu
hanya dapat dimengerti secara intuisi (perasaan atau pengalaman). Sedangkan
naturalism menekan pada proses yanga alamiah.
Contohnya: jika
seseorang percaya bahwa hubungan seksual sebelum nikah secara moral salah,
tidak perlu melakukannya oleh karena pertimbangan etis telah dibuat atas pokok
ini, tetapi akan diteliti maka studi seperti itu harus melihat konsekwensi dari
pengamatan pribadi atau efek studi ilmiah terhadap hubungan seperti itu.
Seseorang yang menerima penafsiran etika
naturalistic memilih atau membenarkan nilai-nilai moral menurut penyelidikan ilmiah
terhadap apa yang diungkapkan disekitar
kebenaran dan bersalah kepada perilaku dan apa pengalaman hidup yang diuji
adalah jalan atau cara yang terbaik untuk manusia yang melakukan sesuatu untuk
dirinya. Dengan kata lain, penyelidik alam memelihara nilai-nilai
moral yang ditemukan pada suatu pengujian yang obyektif sebagai konsekwensi
praktis tentang tindakan manusia.
Apakah nilai-nilai moral yang diajar sama dengan atau
berdasarkan fakta pengetahuan yang diajarkan?
Socrates menjawab: kebaikan moral
tersembunyi pada setiap individu. Guru bisa membawa nilai-nilai moral
itu ke dalam kesadaran siswa yang diajarnya. Kebaikan, si siswa boleh
dikatakan, dapat diajar, jika dengan pengajaran kebaikan dari guru. Ini berarti
guru membantu para siswa menjadi sadar akan kebenaran atau nilai-nilai moral.
Siswa akan bertindak sesuai dengan apa yang telah dipelajarinya. Kita semua mengenali bahwa seorang siswa yang
dengan susah mempelajari apa yang dikatakan kepadanya sudah benar-benar
mempelajari sesuatu kecuali jika ia bisa mematuhi itu. Di sini kemudian terjadi
konflik: jika dengan pengajaran dan
pelajaran guru yang gampang berarti memberikan atau menyampaikan dan memperoleh
pengetahuan dari tentang perbuatan baik atau akhlak, kemudian nilai adalah
sesuatu yang dapat diajarkan.
Selanjutnya, bahwa para guru dapat juga menguji para
siswa untuk menemukan berapa banyak mereka memahami tentang nilai-nilai moral
dan dapat membantu mereka didalam memilih antara bermacam tindakan alternatif.
Tetapi tidak ada guru dapat menjamin, bahkan setelah melakukan atau
menyelenggarakan tugasnya secara tekun dan melakukan semuanya itu, maka
hasilnya: siswa mempunyai moral yang
tinggi. Apa yang dilakukan guru, paling tidak hasilnya bahwa siswa: (a) mengetahui apa yang benar dan apa yang
salah, (b) mengetahui kenapa maka, dan (c) mempunyai beberapa gagasan untuk apa
yang ia hendaknya lakukan sekitar apa yang ia ketahui. Jika, sebagai tambahan,
siswa yang benar-benar terlibat dalam hak atau
kebenaran melakukan, guru akan telah (menjadi) lebih dari yang dihadiahi
untuk usahanya.[172]
Itu
sedikitnya mungkin untuk pertimbangkan
nilai-nilai etis sebagai menjadi
dua macam, terakhir dan segera. Yang Barang-Barang Moral yang aku mencari yang
yang terakhir dan segera ku. Yang Barang-Barang Moral yang aku mencari yang
pengalaman yang segera ku adalah nampaknya akan ditentukan oleh yang baik
akhirnya dan yang terakhir yang aku mengerti sebagai akhir dan gol ke
tempat yang mana semua hidup ku berada atau tinggal. Jika aku
memberi alasan bahwa pemimpin yang baik dalam hidup adalah kesenangan, kemudian
di saat ini melakukan dari tiap hari yang aku akan memilih yang aktivitas itu
memberi kesenangan terbesar dan merasakan bahwa diri ditetapkan dalam tujuan lebih tinggi dengan mengidentifikasi
diri di depan umum dengan masyarakat yang beragama. Persahabatan, merasa
inspirasi dan daya apung/ kegembiraan mendapat dari komuni kelompok yang
religius, jaminan, hukuman yang di belakang dunia yang luar biasa adalah suatu
Tuhan penuh kasih yang genap berpesan kejatuhan burung pipit, berharap merasa
optimisme dalam kehendak yang baik menaklukkan kejahatan, bahwa yang percaya
boleh masuk setelah hidup ini.[173]
Pokok Percakapan Estetika dalam
Pendidikan
Estetika adalah studi
berharga di dunia kecantikan.
Nilai-Nilai estetika pada umumnya sukar untuk menilai sebab bersifat penilaian
pribadi atau lebih tepat subyektifitas individu yang menilai itu. Seni karya yang baik tertentu menimbulkan bermacam-macam tanggapan dalam
arti penilaian yang berbeda dari setiap orang pun berbeda. Tidak gustibus
bukan disputandum est.
Siapakah yang tanggapannya semakin sesuai semakin sesuai?
Seseorang dapat menilai atau menghakimi kecantikan
dengan penggunaan ukuran-ukuran berwibawa, dan boleh mengakui bahwa semua seni
karya yang baik yang mencetak (prestasi) rendah atas ukuran-ukuran ini akan
mempunyai suatu waktu sulit menemukan tempatnya di dalam sejarah. Ukuran-ukuran
Objektive adalah berguna bagi orang
baru, dan mereka bertindak sebagai standard kritik kronis. Buku teks di dalam
literatur, seni, dan musik bersandar pada yang baku ini ketika memberi tahu
para siswa pada atas berbagai hal yang menyertakan penilaian dan penghargaan.
Fakta, bagaimanapun, kritikus yang berwenang atau berwibawa itu boleh berbeda
secara luas ketika menafsir suatu seni karya yang baik membawa kita kembali ke
pertanyaan sebelumnya: Siapakah yang menyatakan tanggapan yang sungguh-sungguh
sesuai?
Berabad-abad suatu pertanyaan penting membahas
estetika seperti ini: Perlukah seni
jadilah wakil, atau haruskah produk imajinasi pencipta?
1.
Seni perlu dengan setia refflect hidup dan
pengalaman manusia. Kita dengan jelas mengenali peristiwa; pemandangan tentang
musim gugur atau memudarnya matahari terbenam melukiskan suatu pemandangan yang
mengecat. Kita harus digembirakan oleh suatu lukisan dari benda mati suatu
mangkuk atau pasu berbunga, masing-masing bunga mengetsa sangat baik, daun
bunga nya yang sangat seperti kehidupan, bahwa kita merasakan terdorong untuk
menggapai ke luar dan menyentuh rekanya!
2.
Seniman menyatakan dirinya spontancously sekitar
manapun aspek atau pengarah hidup yang minat dia. " Suatu gambaran,"
yang dikatakan tegas, " harus tidak pernah jadilah suatu copy... Angkasa
kita melihat lukisan kaum tua tidak pernah angkasa kita bernafas/meniup."
Seniman sendiri. Ia menciptakan ke luar dari pengarah yang pribadi nya dan
pengalaman. Ia menyatakan perasaan nya tentang kecantikan atau kejelekan dunia
dan, barangkali, menunjukkan apa yang ia berpikir dunia itu seharusnya. Di
dalam memandang ini, pencipta menikmati kebebasan tak habis-habis untuk
menggunakan medium nya dengan cara yang memenuhi himbauan yang kreatif di dalam
dia.
Di dalam keduanya memandang, pertanyaan yang muncul
menyangkut lingkup dan pokok seni yang sesuai. Sebagian orang memelihara bahwa
jika seni adalah suatu ungkapan hidup, berhadapan dengan semua dari yang hidup:
yang buruk, yang menyimpang dari kebiasaan, yang fantastis, dan yang unik.
Orang lain percaya bahwa seni
melaksanakan suatu fungsi sosial. Seniman perlu berbicara kepada semua
orang-orang waktu nya, bukan suatu
persekongkolan kecil sekarang atau alam selanjutnya. Meski demikian yang lain skeptis terhadap yang disebut
tanggung jawab sosial seniman itu. Masyarakat berubah. Suatu seniman lahir
satu generasi mungkin (adalah) menciptakan untuk yang berikutnya. Akan ia
disalahkan untuk tidak berhasil untuk menyenangkan yang zaman ini? Seniman yang
mana atau siapa seniman yang telah
senang kritikus nya mungkin pada ujung kuasa-kuasa berdayacipta nya, untuk atau
karena kritiknya tertuju untuk menilai atau menghakimi seturut standard
berlaku. Tentu saja, seniman yang ditolak oleh kritikus boleh sungguh pembaharu
benar.
Di sini bahwa nilai Esthetic adalah sedikit lebih
keras untuk membedakan atau melihat. Siapakah Orang-Orang yang menikmatinya
tidak melakukan suatu pekerjaan yang baik menceritakan sisa apa yang mereka adalah; dan mereka yang siapa yang
tidak lihat dengan sepenuhnya pada
bagian luar dari rombongan yang secara diam-diam menikmatinya. Tetapi
barangkali mengapa kita sedang menikmati
perkiraan kecantikan tanpa pengetahuan. Jadi ethichs (teori moral baik) adalah
salah satu dari bidang yang paling tua di dalam filosofi. Dan estetika yang
dipahami sebagai teori kecantikan, mempunyai merindukan bertaut perhatian ahli
filsafat yang serius. Tetapi di akhir-akhir ini banyak orang sudah menyimpulkan
bahwa ada landasan umum yang bersama oleh bidang ini seperti halnya oleh semua
lain tahap dari yang hidup kita adalah councerned dengan yang berharga.
Ada, tentu saja, teori berbeda berharga; dan di sana
adalah jenis nilai yang berbeda juga. Sebagian dari teori yang berbeda
berharga akan jadi diuji dalam buku ini di dalam tempat sesuai mereka, ketika
masing-masing bagian-bagian dari systematik studi dari tiap yang empat
filosofi. Secara alami, macam yang berbeda berharga adalah banyak. Mereka yang
menerima lebih mengarahkan perhatian sejauh ini dari ahli filsafat adalah yang
etis, aesthetic, religius, dan nilai
sosial. Beberapa lain adalah yang
ekonomi, politis, bidang pendidikan, bermanfaat, recretional, dan nilai-nilai
kesehatan.[174]
Konflik antara Etika dan Estetika dalam Pandangan Umum
Berdasarkan apa yang dikemukan di atas, konflik antara etika dan estetika
tidak berada pada etika dan estetika itu sendiri tetapi pada manusia yang melakukan penilaian atas
apa yang baik dan buruk (etika) dan atas apa yang indah dan apa yang jelek.
Setiap manusia mempunyai standar yang berbeda dalam menilai dua bidang filsafat
ini. Di sini bahwa ada “penilaian yang
berhubungan dengan agama”. Artinya penilaian tentang baik buruknya prilaku
seseorang dinilai berdasarkan standar ajaran agama. Demikian pula bidang
estetika, penilaian tentang indah dan jelek juga dihubungkan dengan agama.
Keindahan dan kejelekan atas suatu objek pengamatan seni juga dipengaruhi oleh
ajaran agama yang dianutnya. Misalnya kasus pornografi di Indonesia dinilai
secara beragam oleh berbagai agama yang ada di Indonesia. Pada akhirnya ada
yang menyatakan tidak boleh tetapi ada juga yang menyatakan boleh karena
dilihat dari sisi estetika. Dalam kasus lain: wanita yang berpakaian menutup
seluruh tubuhnya sehingga keindahan wajah dan rambut tidak dapat disaksikan
atau dilihat orang lain. Dan seterusnya.
Sering juga konflik antara etika dan estetika disebabkan oleh sudut pandang
disiplin ilmu pengetahuan yang dipakai untuk menilainya. Misalnya bagaimana
ilmu social menilai etika dan estetika, dan disiplin ilmu lainnya juga dapat
dipakai untuk menilai etika dan estetika.
Konflik antara Etika dan Estetika
dalam Pandangan Iman Kristen
Teori Marthen menyatakan: “…
Orang – orang Kristen hidup secara serempak di dalam dua kerajaan, yaitu kerajaan
Allah dan kerajaan dunia ini. Karena mereka bertentangan dan arena orang-orang Kristen memiliki
tanggungjawab di dalam keduanya, tidak terelakkan bahwa akan terjadi
konflik-konflik”.[175]
Di sini konflik termasuk konflik antara etika dan estetika disebabkan karena
manusia yang menilai baik dan buruk (etika), indah dan jelek (estetika) adalah manusia yang telah jatuh dalam dosa
sehingga selalu ia terlibat dalam konflik-konflik penilaian terhadap sesuatu
karena manusia tidak sempurna lagi. Ketika manusia berdosa dipulihkan Tuhan
masih juga terbuka peluang-peluang konflik karena manusia sedang berada dalam
dua kerajaan seperti yang dimaksud Marthin Luther.
Dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan
Agama Kristen bahwa seorang guru pendidikan Kristen akan terlibat dalam sebagai
berikut:
1.
pergumulan etika (penilaian baik dan buruk) terhadap
seluruh siswa atas prilakunya dalam pembelajaran di sekolah maupun di luar
sekolah.
2.
guru PAK juga terlibat dalam penilaian terhadap indah
dan jelek dalam proses pembelajaran yang dilakukannya.
Jadi seorang guru PAK adalah seorang
etikus dan estetis dalam menjalankan tugas pembelajaran di sekolah. Dalam
prilaku-prilaku akademis seorang guru harus mengedepankan etika tetapi serempak
dengan itu ia terlibat dalam estetika sehingga pergumulan ini kadang membuat
konflik antara etika dan estetika dalam diri guru PAK.
Hubungan Konsep Axiologi, Etika
dan Estetika
dalam Kaitannya dengan Filsafat
Pendidikan
Aksiologi sebagai
cabang filsafat dapat dibedakan menjadi dua: etika dan estetika. Istilah etika
berasal dari kata “ethos” (Yunani), yang berarti “adat kebiasaan” (moral). Dagobert Runes mengatakan: “ethics is that study or discipline which concerns itself with judgments
of approval or disapproval, judgments as to rightness or wrongness, goodness or
badness, veitue or vice, desirability or wisdom of action, ends or objects, or
state of affairs.”[176] Sedangkan “estetika” merupakan nilai-nilai
yang berkaitan dengan kreasi seni dengan pengalaman-pengalaman seseorang yang
berhubungan dengan seni. Kadang-kadang estetika diartikan sebagai filsafat
seni, tetapi kadang-kadang pula prinsip-prinsip yang berhubungan dengan
estetika dinyatakan sebagai hakikat keindahan. Namun, sesungguhnya konsep
keindahan hanya salah satu dari sejumlah konsep-kosnep dalam filsafat seni.[177]
VII.
Aliran-aliran Filsafat yang
MempengAruhi
Pendidikan
Aliran-aliran Filsafat yang
Mempengaruhi Pendidikan yang dibahas bagian ini sebagai berikut:
Aliran-aliran Filsafat yang Mempengaruhi
Pendidikan: (1) Traditional Philosophies
of Education: Idealism, Realism,
Materialisme, Tradisionalis
(Neo-Thomism); (2) Modern Philosophies of
Education: Pragmatism
(Experimentalism), Eksistensialisme; (3) Contemporary
Theories of Education: Progresivisme, Perenialisme, Esensialisme
dan Rekonstruksionisme.[178]
Filsafat Pendidikan Idealism
Idealisme telah menunjukkan minat yang besar terhadap pendidikan dan telah
memutuskan untuk mempengaruhi pemikiran dan praktek pendidikan. William
T. Harris, salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam bidang pendidikan di
Amerika, adalah seorang idealis. Dan dalam satu atau dua generasi setelah dia
telah ada banyak para idealis yang menggunakan pendidikan sebagai ladang
praktek mereka dimana mereka dapat menerapkan ide-ide mereka dengan hasil yang
sangat besar.[179]
Barangkali tidak ada seorang pun
dalam pendidikan Amerika sekarang ini yang telah menonjolkan tradisi filsafat
idealis seperti: Herman Harrell Horne (1874-1946) [180]
yang telah menulis tentang idealisme dengan efek yang nyata; Rupert C. Lodge
(1888-1961), profesor logika dan sejarah filsafat di University of Manitoba
yang juga adalah murid dari Plato yang setia, telah menulis buku yang sangat
baik, yaitu Philosophy of Education dan satu lagi adalah sebuah studi
tentang teori pendidikan Plato. Di luar Amerika ada Giovanni Gentile, yang
mengerjakan reformasi pendidikannya di Italia tentang prinsip-prinsip
idealisme, sebagai oposisi dari filsafat positivisme dan naturalisme.
Tokoh Penggagas
Idealisme adalah filosofi yang sangat tua yang sampai bisa ditelusuri ke
pemikiran Yunani kuno dan beberapa kebudayaan Timur. Karena merupakan salah
satu filsafat tertua, sketsa mengenai perkembangannya harus dimulai dari jaman
dulu kala. Di dunia Barat, di mana sejarah idealisme ini akan dibatasi,
Socrates dan Plato yang pertama kali menggagas konsep penting dalam filsafat
idealis ini.
Plato (427? – 347 SM) menjadi murid Socrates di
usia 20 tahun. Dia seorang yang luar biasa berbakat sehingga bisa menuai
manfaat penuh dari pengajaran Socrates. Ia berasal dari keluarga bangsawan
kaya, tampan, bertubuh bagus, cerdas, dan memiliki kecintaan yang kuat pada
kebijaksanaan. Mengawali pencarian kebenaran di bawah bimbingan Socrates, ia
melanjutkannya sepanjang 80 tahun usianya. Setelah kematian Socrates, Plato
mula-mula merantau, dan kemudian menetapkan karirnya dalam filsafat yang
menjadikannya guru besar sebagaimana kemudian ia dikenal sepanjang masa. Ia
membuka Academia di Athena, dan di sana mengembangkan dan mengajarkan
doktrinnya. Ia menyusun banyak dialognya, yang mengandung banyak kebijaksanaan
filsafat untuk digali oleh semua pemikir, bahkan pemikir masa kini.
Tulisan-tulisannya merupakan produk dari periode
di mana pikiran manusia semakin menyadari dirinya dan hubungannya dengan alam
semesta. Dialog adalah
diskusi-diskusi filsafat yang dibingkai dalam drama. Di dalamnya, gaya
naratifnya berkembang saat Socrates, biasanya dalam peran sebagai interogator
utama, bertanya jawab dengan Parmenides, Protagoras, atau siapa saja yang
berdiskusi dengannya. Tokoh-tokoh dalam dialognya menggambarkan manusia sebagai
pemikir, yang menyelidiki sebanyak mungkin pemikiran yang bisa ia dapatkan
mengenai dunia, dirinya sendiri, dan kehidupan secara umum.
Salah satu topik utama Plato adalah doktrinnya yang terkenal mengenai ide.
Ini adalah konsep mengenai “bentuk” (forms)
atau universal-universal yang secara metafisik mendahului sekaligus merupakan
idea bagi hal-hal tertentu yang terjadi dalam dunia manusia. Kami harus
buru-buru melakukan tindakan pencegahan agar tidak melakukan penyederhanaan
berlebihan yang tidak bisa terelakkan dalam pernyataan singkat seperti ini.
Dialog Plato sangat beragam dan luas sampai kita harus benar-benar menahan diri
untuk tidak menggolongkan “bapa” filsafat Barat ini dengan memberinya label.
Apalagi, usaha untuk menjadikan doktrin idenya sebagai sebuah langkah dalam
pembentukan idealisme diperumit oleh banyaknya sumber yang bisa ditemukan dalam
Dialog, selain oleh tahapan-tahaman berbeda dalam pemikiran Plato yang terwakili di sana.
Menurut Plato, ada ide-ide yang nyata dan abadi sampai obyek-obyek indrawi
sangat mudah berlalu jika dibandingkan. Bahkan, benda-benda fisik hanyalah
perwujudan tidak sempurna dari ide-ide, artinya dari ide-ide yang berhubungan
yang diwakilinya. Ada ide universal “tempat tidur,” di mana semua tempat tidur
yang ada adalah ekspresi yang tidak sempurna. Juga ada ide-ide yang tidak
diwakili dalam bentuk fisik termasuk kecantikan, kebaikan, dan esensi mutlak.
Ini adalah realitas agung. Sedikitnya dapat dipahami, kalau pemuliaan ide-ide seperti itu dapat
disebut “isme,” maka “idealisme” menjadi nama yang logis. Jika nama “idealisme”
berasal dari “ideaisme” huruf l
itu tidak meragukan lagi ditambahkan untuk euphony,
untuk memberi nama yang lebih enak didengar dan lebih mudah disebutkan.
Namun sebenarnya ada akar lain untuk filsafat Plato yang mungkin lebih
signifikan lagi. Setidaknya itu bebas dari ambiguitas doktrin ide yang
menjadikannya bisa digunakan oleh beberapa realis selain bagi kalangan idealis.
Konsep lain Plato adalah kebaikan sejati
(the good), yang paling sering dilambangkan dalam alegori goa. Kebaikan yang
satu ini bukan hanya kebaikan “ideal” yang harus dikejar setiap orang, namun
juga merupakan sejenis cahaya yang
memungkinkan pikiran manusia memikirkan apa pun yang dipikirkannya. Secara
simbolis, bagi pikiran manusia itu sama seperti matahari bagi penglihatan fisik
manusia; segala sesuatu yang dilihat manusia dengan matanya bukan dilihatnya
dengan kekuatan penglihatannya sendiri, melainkan oleh cahaya yang menjadikan penglihatan mungkin. Bagi manusia, “kebaikan
sejati” ini bisa dikatakan hal yang paling utama.
Tokoh-tokoh Idealism:[181]
William
T. Harris
Rene
Descartes (1596-1650).
Baruch
Spinoza (1632 -1677)
Leibniz
(1646-1716)
George
Berkeley (1685-1753)
Immanuel
Kant (1724-1804)
Hegel
(1770-1831)
Herman
Harrell Horne (1874-1946)
Rupert
C. Lodge (1888-1961)
Sintesis
Jika sintesis dibatasi pada kepercayaan yang lebih sentral yang biasanya
diulang-ulang sepanjang perkembangan idealisme yang dapat ditarik untuk
membantu menunjukkan posisi idealisme secara ringkas, maka hal yang harus
berhubungan dengan tiga subyek utama: Tuhan, diri, dan pengetahuan, sebagai
berikut:
Tentang Tuhan
1.
Realitas tertinggi memiliki substansi yang sama
dengan ide-ide. – Plato dan Hegel.
2.
Di balik dunia fenomenal terdapat Roh tak terbatas
yang merupakan substruktur sekaligus pencipta kosmos – Leibniz dan Berkeley.
3.
Salah satu dari dua atribut Tuhan adalah pemikiran
(thought) – Spinoza.
4.
Eksistensi Tuhan menjadi keharusan karena
faktor-faktor tertentu dalam kualitas-kualitas yang membentuk individualitas
seseorang (selfhood) adalah: (a)
Fakta bahwa saya memiliki ide mengenai entitas (being) sempurna mengharuskan entitas sempurna itu ada. –Descartes.
(b) Fakta bahwa saya dapat mengindera kualitas-kualitas dalam dunia obyektif
mengharuskan adanya Tuhan untuk menciptakan kualitas-kualitas ini. – Berkeley.
(c) Fakta bahwa adanya kategori
imperatif dalam diri mengharuskan adanya Tuhan sebagai penjamin komitmen
sebagai penyerta ketaatan moral. – Kant
Mengenai Diri (Self)
1.
Diri
adalah realitas utama dalam pengalaman seseorang. – Descartes
2.
Diri manusia memiliki kemiripan dengan Tuhan
dalam artian bahwa itu adalah roh, namun
tidak seperti Tuhan, manusia terbatas. – Leibniz
3.
Manusia adalah sosok berpikir selain bagian dari
Tuhan. – Spinoza
4.
Diri manusia memiliki kebebasan kehendak. – Leibniz
dan Kant.
Mengenai Pengetahuan
1.
Dengan menelaah ide-idenya sendiri dan menguji
konsistensinya, manusia dapat mencapai kebenaran. – Plato, Leibniz, dan Hegel.
2.
Diri membaca arti dan kesatuan dalam dunia
obyektif. – Berkeley dan Kant.
3.
Nilai dan makna diperoleh dengan menghubungkan
bagian-bagian dengan keseluruhan-keseluruhan. – Hegel
Pendidikan sebagai Sebuah
Institusi Sosial
Pendidikan adalah sebuah institusi yang dibentuk berdasarkan kebutuhan
manusia akan budaya. Karena manusia hanya dapat menjadi manusia melalui sebuah
kelahiran budaya. Seperti pendapat Comenius sebagai seorang realist mengatakan bahwa apabila seorang manusia
ingin menjadi manusia, pendidikan harus berasal dari manusia. Salah satu alasan
pentingnya sekolah dalam makna yang lebih luas adalah untuk memberikan
kelahiran budaya dalam kehidupan kontemporer manusia serta sejarahnya.
Hal yang sama antara idealisme dan
realisme adalah tentang dasar pemikiran sekolah, yaitu bagaimana sekolah
membentuk seorang anak untuk memiliki kekayaan makna yang implisit dan menjadi
seorang manusia, serta memberikan dasar-dasar bagi dia tentang natur dari Tuhan
yang Utama dan Ilahi. Dasar lain bagi pentingnya keberadaan institusi
pendidikan adalah natur sosial manusia. Tema ini ditekankan oleh kaum
pragmatisme dalam seting metafisika bahwa pendidikan adalah sebuah proses
sosial dan sama sekali bukan individualistik.
Apabila makna dari menjadi seorang manusia, adalah berada dalam natur yang
sosial, maka seorang manusia harus memiliki setting sosial supaya dia menjadi
manusia seutuhnya. Inilah sebabnya mengapa pendidikan harus diformalkan menjadi
sebuah institusi. Intinya adalah kaum idealis menekankan dimensi sosial dari
seorang individu yang membuat sebuah pendidikan harus bersifat sosial.
Beberapa kaum idealis menekankan bahwa sekolah adalah sebuah agen
kemasyarakatan. Akan tetapi apabila itu artinya, maka sekolah berada di bawah
kendali masyarakat dan diharapkan menghasilkan individu-individu yang seragam
terhadap budaya. Ada kalanya peran intelektual dari sekolah dimainkan oleh
seorang idealis sebagai dasar dari keberadaan dengan cara memberikan sekolah
hak prerogatif yang tidak dimiliki oleh institusi lainnya. Sehingga sekolah
seharusnya secara unik merupakan sebuah institusi pemikiran karena memberikan
kepemimpinan dan bimbingan pemikiran. Sekolah akan mendorong pemikiran dan
“fungsi pemikiran” bagi institusi lainnya dan bukan sebaliknya.
Hal ini membawa kita kepada karakteristik ketiga dari peran sekolah, yaitu
sekolah secara unik adalah institusi yang merealisasikan makna. Tentu saja
setiap institusi yang memiliki alasan untuk menjadi sebuah institusi memiliki
koneksi dengan sebuah transisi atau transfer nilai. Namun hanya sekolah sajalah
yang mampu berdiri seimbang antara masa lalu dan masa kini.
Murid
Sekarang kita harus mendefinisikan murid sebagaimana dia terlihat apabila idealisme dijadikan sebagai filsafat penuntun pendidikan. Bagi para
penganut idealisme, pendekatan kepada murid adalah sangat penting. Sehingga
Giovanni Gentile mengatakan:
Guru
tidak boleh berhenti pada tingkat klasifikasi murid atau observasi eksternal
dari wajah atau perilakunya. Guru harus masuk ke dalam pikiran seorang murid
dimana kehidupannya berpusat dan berada. ... (Dia) tidak boleh membaca seorang
anak secara spontan dan berdasarkan pemahamannya sendiri.[182]
Murid sebagai Seorang Pribadi
Sistem idealis berasal dari kepercayaan yang berpusat pada keyakinan bahwa
inti utama pengalaman individual adalah seorang pribadi yang spiritual. Hal ini
pasti memberikan pengaruh secara langsung kepada cara berpikir di dalam kelas.
Sehingga guru yang idealis, percaya kepada keberadaan diri murid sebagai realita
spiritual, yang tidak bisa melihat murid hanya sebagai tubuh tanpa roh.
Melainkan guru akan melihat lebih jauh
ke dalam individu murid yang sesungguhnya yaitu roh.
Selanjutnya Horne menulis (1904) dalam bukunya Filsafat Pendidikan yang lebih lengkap tentang natur
seorang murid sebagai “kesatuan organik” demikian”: “Kesadaran, seperti yang kita tahu, memanifestasikan
keberadaan diri hanya sebagai hal yang berhubungan dengan sebuah sistem
syaraf... Tubuh adalah rumah dari pikiran,
yang dalam Perjanjian Baru disebut dengan “Bait Roh Kudus.”
Murid sebagai seorang individu keseluruhan dan
dia juga bagian dari keseluruhan yang lebih besar. Ini merupakan natur dari
seorang individu yang pribadi dan sosial. Individualitas bukanlah gambaran yang
sempit, tetapi sebuah lingkaran besar yang inklusif dari sesamanya. Seorang
individu akan menemukan kesatuannya di dalam pelayanan kepada orang lain.
Dalam kontek di atas, maka Horne menyimpulkan pendapatnya tentang murid bahwa seorang murid adalah seorang pribadi yang terbatas,
yang bertumbuh, yang apabila dididik dengan benar akan menjadi seorang individu
yang tidak terbatas; karena itulah asal mula keberadaannya yang ilahi itu adalah inti dari kemerdekaan dan nasibnya
yang immortal.[183]
Murid
ada dalam Proses Menjadi Seseorang
Seorang guru idealis tidak akan
melepaskan pengajarannya dari situasi moral dunia. Dia tidak akan berusaha
menyembunyikan kejahatan moral yang terjadi untuk melindungi muridnya sehingga
membuat kelas menjadi tempat yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan dunia.
Guru menyadari bahwa seorang murid berada dalam proses perkembangan untuk
menjadi seseorang, maka menganalisa natur murid yang berhadapan dengan masalah
immoralitas dunia adalah sangat penting.
Horne mengatakan bahwa baik murid maupun proses pendidikan adalah dapat
dimengerti hanya ketika dilihat sebagai sesuatu yang berdasar kepada Pikiran
yang Kekal yaitu Allah sendiri. Dan inilah yang disebut proses menjadi sebuah
pribadi atau keberadaan. Konkritnya para idealis mengatakan bahwa pada saat
kelahirannya seorang murid tidak bisa dikatakan baik atau buruk. Itu tergantung
kepada lingkungannya yaitu pendidikan, dan tentu saja juga tidak mengabaikan
kehendaknya sendiri.
Pemahaman kaum idealis tentang seorang murid tidak meminimalkan kenyataan
bahwa para murid sama seperti kita seringkali tidak peduli, dipengaruhi dan
dikendalikan oleh perilaku buruk. Namun, hal semacam itu justru memberikan
penekanan akan pentingnya pendidikan. Itu bukan berarti bahwa mereka adalah
orang-orang yang tidak terdidik. Mereka sebenarnya adalah orang-orang yang
belum terdidik, dan tidak akan pernah selesai dalam pendidikannya.
Tujuan Pendidikan
Pada dasarnya idealisme telah menerapkan kepentingan pendidikan sebagai
tonggak yang menopang tanggung jawab sosial. Tujuan pendidikan idealisme
memiliki kerangka baik secara individu maupun sosial.
Tujuan bagi Individua
Gentile, seorang idealis dari Italia berbicara tentang realisasi diri
sebagai tujuan utama dari pendidikan, yang artinya sebuah proses keberadaan
yang spiritual. Proses perkembangan ini merupakan sebuah ritme yang mengalir di
dalam pengalaman seseorang antara dirinya sebagai subyek yang aktif pada saat
ini dan fase masa lalunya yang belum dewasa. Di dalam proses ini dirinya yang
sekarang ini secara aktif menemukan pengetahuan baru, mengasimilasikan segala
sesuatu yang berkaitan dengan dirinya menjadi satu kesatuan yang utuh, sehingga
pada akhirnya dia dapat memahami dirinya sendiri dengan sepenuhnya.
Bogoslovsky menjelaskan tujuan
pendidikan bagi seorang individu
“adalah
menolong para murid untuk memiliki kehidupan yang kaya dan bermakna, untuk
membangun kepribadian yang harmonis dan berwarna, untuk menikmati kemuliaan
yang utama dan menjadi bahagia, untuk menghadapi penderitaan dengan harga diri
dan keberanian, dan akhirnya untuk menolong orang lain agar memiliki kehidupan
yang superior.[184]
Horne mengatakan bahwa kebenaran,
keindahan, dan kebaikan adalah idealisme spiritual bagi manusia, oleh sebab itu
tujuan pendidikan adalah menyeimbangkan seorang anak kepada “realita yang
penting ini sehingga sejarah manusia dapat digenapi.” Di dalam pernyataan
terakhirnya Horne menambahkan,
“Namun
yang tertinggi dari semuanya adalah ibadah yang membawa manusia kepada
kesadaran akan Allah yang menciptakan alam semesta. Sehingga ibadah harus
menjadi karakter dari setiap individu dan keadilan di masyarakat yang membawa
kehendak manusia kepada kebenaran yang kekal. Baru kemudian memampukan mandiri
secara ekonomi, yang juga berkaitan dengan karakter personal dan keadilan sosial,
yang juga membawa manusia kepada keharmonisan dengan alam semesta yang
kreatif... Idealisme percaya seorang individu yang terintegrasi di dalam sebuah
masyarakat yang terintegrasi akan bertumbuh di dalam alam semesta yang
terintegrasi.[185]
Tujuan bagi Masyarakat
Salah satu masalah utama dalam
menformulasikan tujuan sosial pendidikan di dalam alam yang demokratis adalah
kaitan antara pendidikan dan perbedaan kelas dalam masyarakat. Horne setuju bahwa tingkatan
pekerjaan dan budaya adalah penting. Tetapi dia mengatakan bahwa keduanya sama
sekali tidak identik. Bogoslovsky berpikir bahwa membedakan tingkatan bukan
merupakan solusi tetapi akan memberikan “kesempatan
yang sesuai dengan kemampuan masing-masing orang untuk dapat menggunakannya.”
Horne lebih lanjut mengatakan bahwa pembedaan tingkatan dilakukan untuk
meningkatkan efisiensi sosial. Menurut dia “demokrasi
adalah kesatuan spiritual dalam keragaman sosial.” Bogoslovsky menambahkan,
“persaudaraan merupakan jiwa dan inti
dari demokrasi yang sesungguhnya”.
Oleh sebab itu tujuan sosial pendidikan, setidaknya dalam sebuah
demokrasi adalah: “Di dalam semangat
persaudaraan dan pendekatan terhadap sesama, tidak mengklaim haknya sendiri
atau mendeklarasikan status sosial mereka, melainkan sebagai seorang pribadi
kepada pribadi lainnya dalam pengertian bersama dan kasih”.[186]
Sintesis
Menurut Horne dalam bukunya The Psychological Principles of Education, pendidikan
ideal harus mencakup semua sejarah ideal yang beragam, termasuk setiap bagian
sebagai bagian dari keseluruhan, dimana kebenaran dapat ditemukan. Bagi seorang
individu, pendidikan harus mencakup “budaya, pengetahuan, dan perkembangan.”[187] Dengan
tujuan yang didedikasikan kepada masyarakat, “ia harus menghasilkan efisiensi,
karakter dan kependudukan.”
Definisi Horne tentang pendidikan
menjadi sangat terkenal dan merupakan dasar untuk menentukan tujuan pendidikan
bagi kaum idealis yaitu, “Pendidikan adalah proses kekal dari penyesuaian
superior dari mental dan fisik yang dikembangkan, bebas, sadar, manusia menjadi
seperti Allah, yang dimanifestasikan dalam intelektual, emosi dan lingkungan
manusia yang mendukung”.[188]
Inti dari definisi tersebut berkaitan erat dengan tujuan utama pendidikan,
yaitu: Pendidikan merupakan proses kekal dari penyesuaian superior dari
sebuah kebebasan dan kesadaran manusia akan Tuhan.
Proses Pendidikan
Salah satu karakteristik umum dari pendidikan idealis adalah berpusatkan
kepada idealisme. Sepenuhnya berpusat kepada anak, subyek yang diajarkan, dan
bukan sosial kemasyarakatan. Selanjutnya untuk mengerti filsafat idealisme
tentang pendidikan kita perlu mengingat bahwa eksponen dari filsafat ini adalah
semata-mata sebuah metafisika idealis dan selanjutnya adalah tentang perhatian
moral dan sosial serta yang menjadi perhatian utama adalah Roh, yaitu Roh yang
adalah kebenaran.
Pribadi
seorang anak di dalam kelas pada dasarnya jauh dari kebenaran Tuhan di dalam
pencapaian moral mereka; dan oleh karena itu masyarakat tidak dapat menjadi
Kota Allah. Sehingga pendidikan harus
membawa anak-anak kepada Tuhan dan bukan kepada masyarakat yang selalu tidak
pasti dan berubah. Mereka berpusat kepada idealisme karena itu semua yang lain
sifatnya adalah sementara.[189]
Untuk membahas lebih lanjut tentang pendidikan yang
berpusatkan kepada yang ideal, kita perlu mendiskusikan beberapa faktor yang
mempengaruhi pendidikan antara lain: pertama guru karena perannya yang sangat
penting, lalu imitasi dan ketertarikan serta usaha dan disiplin, selanjutnya
aktivitas pribadi murid yang merupakan hati dari pendidikan. Penggunaan
material juga akan didiskusikan termasuk metode pengajaran.
Guru
Menurut idealisme fungsi guru sebagai berikut:[190]
- Guru merupakan personifikasi
dari realita murid. Bagi mereka yang belum dewasa, guru adalah semesta yang dijadikannya personal.
- Seorang guru harus mengenal
murid-muridnya.
- Seorang guru haruslah
seorang ahli secara teknis dalam mengajar.
- Guru harus mampu
membangkitkan rasa hormat para murid melalui kebaikan yang ada di dalam
dirinya.
- Seorang guru harus menjadi
teman pribadi dari para murid.
- Seorang guru harus mampu
membangkitkan minat murid untuk belajar.
- Guru harus menguasai seni
kehidupan.
Seseorang yang memiliki seni kehidupan dapat membawa para murid dalam
sebuah proses spiritual dengan kreativitas yang dia miliki.
- Seorang guru harus
bekerjasama dengan Tuhan untuk menyempurnakan para murid.
- Seorang guru harus mempu
mengkomunikasikan materi yang dia ajarkan.
- Seorang guru haruslah
seorang yang mengapresiasi materi yang dia ajarkan.
- Seorang guru yang
benar-benar mengajar selalu belajar pada saat yang sama ketika dia
mengajar.
- Seorang guru adalah seorang
rasul sebuah perkembangan. Mengajar merupakan pekerjaan penting untuk menolong orang lain atau
generasi baru secara spiritual yang terkait dengan tujuan kemana realisasi
dari sejarah bergerak.
- Seorang guru harus menjadi
pembuat demokrasi. Apabila dia menangkap semangat pengajaran yang murni, kelasnya akan
mempraktekkan demokrasi dan muridnya juga akan mendapatkan pengalaman
demokrasi di dalam kelas sehingga mereka akan dapat memberikan pengaruh
demokrasi di kelompok lainnya.
- Karaktersisasi final dari
seorang guru yang ideal adalah dia harus selalu mengeliminasikan
dirinya sendiri. Guru yang baik harus secara sensitif membangun para
murid tanpa meninggikan dirinya sendiri dan membantu para murid untuk
bertumbuh menjadi diri mereka apa adanya sehingga mereka dapat mencapai
kehidupan yang lebih tinggi.
Imitasi
Idealisme mengatakan kebiasaan umum
yang sama muncul karena orang-orang yang lebih muda terbiasa untuk meniru
orang-orang yang lebih tua dan melalui proses pendewasaan, kadangkala mereka
mencapai level lebih tinggi dari pada orang yang mereka tiru. Karena imitasi
adalah natural, maka mereka percaya bahwa para pendidik bagaimana pun juga
dipaksa untuk menghadapi hal ini; dan karena hal itu dipastikan akan
menghasilkan hasil yang diharapkan, maka strategi terbaik adalah menerapkannya
di sekolah maupun di tempat kerja.
Hocking berpendapat bahwa meniru
adalah bagian dari proses masyarakat untuk membawa sebuah kehendak baru kepada
keberadaan individual. Sedangkan salah satu manfaat dari imitasi adalah untuk
menetapkan satu model bagi para murid untuk mendapatkan kesempurnaan dan
memimpin mereka ke dalam pola yang harus diikuti. Demiashkevitch berpendapat
"keoriginalitasan didapatkan setelah studi yang mendalam serta mengimitasi
guru dalam hal tertentu—sampai dia melampaui gurunya.”[191]
Namun demikian, sikap umum dalam filsafat pendidikan idealisme adalah bahwa
pemakaian yang paling efektif dari imitasi adalah fokus kepada kepribadian yang
besar.
Karena menjadi seorang pribadi yang sempurna lebih penting daripada
melakukan pekerjaan dengan sempurna, maka seorang anak sebaiknya berada dekat
dengan seseorang yang dapat memberikan inspirasi yang baik. Bogoslovsky
mengatakan bahwa kita harus memanfaatkan “harta karun yang telah ditinggalkan
oleh orang-orang genius dan artis yang telah menciptakan hidup yang indah...” [192] Lebih
lanjut ia mengatakan bahwa karena manusia secara alami lebih condong kepada
kehancuran atau hal-hal yang buruk daripada yang baik, maka sekolah harus
memberikan kepada para murid pengalaman yang bermakna.
Hocking memberitahu kita bahwa anak-anak akan cepat mengadopsi kepercayaan
orang yang “tampak bahagia, dan bukan yang lainnya.” Horne melihat bahwa moral
dan agama terlibat dalam imitasi proses. Oleh sebab itu wajib bagi setiap guru
untuk berusaha menjadi model yang baik bagi para murid. Hambatan di sekolah karena sulitnya pengajaran agama secara terbuka
bisa diatasi melalui kepribadian seroang guru yang baik dan layak diimitasi
oleh para murid.
Minat Usaha dan Disiplin
Sudah dapat dipastikan bahwa minat, usaha dan
disiplin merupakan faktor yang tidak dapat dilepaskan dari pendidikan. Apabila
seorang guru yang terlalu condong kepada minat biasanya dia diberi label
sebagai guru yang “lemah”, dan apabila dia terlalu condong kepada usaha dan
disiplin dia diberi label sebagai guru yang “keras”. Oleh sebab itu pemakaian
ketiga hal ini dalam pendidikan perlu mendapat perhatian khusus.
Untuk lebih jelas kita akan melihat
definisi dari ketiga hal ini. Minat adalah sebuah ketertarikan total
dari seorang murid terhadap suatu pekerjaan tertentu yang dia lakukan dengan
usaha dan tanpa dorongan yang keras dari gurunya. Usaha kerja keras yang
dilakukan dengan sadar dan sukarela dari seorang murid yang membuat dia
melakukan sebuah pekerjaan tertentu. Disiplin tindakan ekstra dari
seorang guru untuk membawa muridnya berhasil menyelesaikan tugas yang harus
mereka kerjakan.
Menurut Horne ada dua jenis minat: yang dekat dan yang jauh.
Minat yang dekat inilah yang menghasilkan aktivitas spontan dan membawa kepada
usaha yang sukarela. Minta yang jauh, sangat terkait dengan kepuasaan saat ini,
yang juga menghasilkan usaha yang sukarela. Karena hidup membutuhkan baik minat
yang jauh dan yang dekat, pendidikan harus menuntut kedua hal itu dalam diri
murid.
Berdasarkan
pemaparan tersebut dapat dikatakan bahwa minat menghasilkan usaha, dan
aktivitas yang menarik dilakukan karena minat cukup menimbulkan usaha untuk
membawa seseorang mampu menyelesaikan tugas. Namun perlu ditekankan bahwa usaha
bukan pengganti minat, usaha adalah kemauan untuk melakukan tugas ketika orang
lain tidak mau melakukannya.
Gentile
menganggap disiplin sebagai bagian yang intim dari kepribadian dan aktivitas
yang membimbing dari seorang guru. Sudah pasti bahwa di dalam pengajaran yang
murni ada disiplin, dan guru itu sendiri adalah bagian yang penting dari
disiplin. Akan tetapi disiplin sendiri apabila tidak dikaitkan dengan
pengajaran akan menjadi sia-sia. Untuk menjadi orang yang disiplin ada sebuah
proses panjang yang menyakitkan. “Otoritas yang dimulai dari eksternal, dan
dikerjakan melalui pembentukan kebiasaan serta pengendalian diri, akan menjadi
internal.”[193]
Aktivitas Diri
Dimanakah pendidikan yang sejati terjadi? Kapan
seorang murid benar-benar mempelajari sesuatu, mendapatkan pengetahuan baru,
atau mengambil langkah yang aktual untuk mendapatkan pertumbuhan ke arah
kedewasaan? dimanakah dari seluruh proses tersebut perubahan terjadi? Para
idealis mengatakan bahwa itu semua terjadi di dalam diri para murid. Murid
adalah seorang pribadi yang sangat mudah diarahkan melalui adanya minat. Mereka
adalah jiwa yang mampu untuk mengambil inisiatif murni, dan respon-respon
mereka merupakan pergumulan dari inisiatif tersebut yang bertumbuh mekar.
Horne
mengatakan, “proses pendidikan tidak memiliki banyak stimulus untuk membentuk
seorang individu... semua pengalaman pendidikan adalah personal di dalam
karakter. Pribadi itulah yang memiliki pengalaman.”[194]
Karena itu, pertumbuhan hanya bisa diperoleh melalui aktifitas diri. Hanya
melalui proses inilah mental seorang murid dapat dikembangkan. Dan ini berarti
bimbingan terhadap diri sendiri.
Aktivitas
diri akan membawa kepada perkembangan pribadi, menurut kaum idealis aktivitas
diri bukanlah sebuah proses yang abstrak yang memiliki sedikit hubungan dengan
faktor temporal. Untuk mengembangkan kepribadian sudah pasti memerlukan
pendidikan fisik. Akan tetapi tentu saja perkembangan tubuh terbatas kepada
mengembangkan dan memperkuat apa yang telah diberikan pada saat kita
dilahirkan. Pendidikan tidak dapat menambah syaraf-syaraf otak, tetapi dapat
mengembangkan kapasitas potensial yang telah dimiliki oleh setiap individu.[195]
Demiashkevitch mengatakan penting bagi setiap guru
untuk menyadari bahwa ada banyak anak-anak yang “tidak menyukai pekerjaan
manusia dan yang berharap menemukan aktivitas untuk mendapatkan ekspresi dari
apa yang disebut dengan pekerjaan mental murni.” Bogoslovsky memberikan sebuah
contoh yang baik tentang hal ini. Dia merasa bahwa apresiasi terhadap seni,
sekalipun tampak pasif, merupakan sebuah tindakan yang aktif seperti penciptaan
karya seni.[196]
Inilah
yang merupakan inti dari pendidikan idealis, dan tentu saja kehendak bebas
tidak dapat dipisahkan dari karakter pendidikan. Horne percaya bahwa kehendak
bebas adalah salah satu hal yang utama dalam karakter yang baik. Demiashkevitch
mengatakan “kehendak secara aktif mempromosikan kebaikan dan melawan kejahatan,
dan melakukan hal ini secara konstan itulah yang seharusnya.”[197] Membuat
penjelasan yang lebih spesifik tentang kebebasan, Horne mengatakan bahwa
kebebasan bukanlah “melakukan segala sesuatu di segala waktu” tetapi “sesuatu
pada saat tertentu.”[198]
Hocking
membedakan antara kehendak dan kehendak bebas, dengan mengatakan bahwa kehendak
harus dikembangkan di dalam diri seseorang sebelum dia dapat memiliki kehendak
bebas. Seorang anak tidak tahu apa yang dia inginkan. Tugas pertama dari
pendidikan adalah untuk membawa kehendaknya kepada suatu eksistansi. Makna
keseluruhan dari pendidikan adalah dibungkus dalam proses membangkitkan
kehendak.
Ketika
seorang anak mencapai kedewasaan, pertumbuhan ini mengambil bentuk yang
mendesak, yaitu kesiapan untuk mengambil tanggung jawab. Dua ekspresi umum dari
tanggung jawab ini adalah membangun filsafat diri dan keinginan untuk menemukan
jalannya di dunia. Hocking mengintepretasikan filsafat diri masa muda sebagai
orang yang “menghargai kehidupan yang untuk pertama kalinya bisa dikendalikan sendiri;
dia menemukan dirinya secara moral sendiri; dia tidak dapat lagi melihat segala
sesuatu berdasarkan kacamata orang lain.” Untuk tanggung jawab Hocking
menekankan bahwa satu-satunya lingkungan yang tepat untuk “kesiapan mengambil
tanggung jawab” adalah tanggung jawab actual yang tercipta. Berikan kepada
mereka pekerjaan yang nyata, dan biarkan mereka mengalami tanggung jawab.
“Seorang anak yang menjadi dewasa tanpa mengetahui perasaan tentang resiko
melakukan sebuah pekerjaan satu hari dengan upah satu hari tidak hanya akan
menjadi seseorang yang dangkal tetapi juga tidak akan memiliki prestasi yang
baik di sekolah.”[199]
Kurikulum
Menurut
Horne, cara untuk mendapatkan fondasi yang kuat dalam pengembangan kurikulum adalah dengan
memaparkan secara jelas “karakter ideal manusia dan karakteristik dari
masyarakat yang ideal.”[200] Kemudian
memilih pengalaman, aktivitas, situasi hidup dan pelajaran yang sesuai dengan
standar tersebut sehingga dapat memberikan kontribusi terbaik mencapai hasil
yang ideal. Secara lebih spesifik, setiap kurikulum yang baik harus melibatkan
ruang kelas yang mencakup tiga aspek yaitu intelektual, emosi dan kehendak.
Untuk itu Horne mengatakan, “harus ada beberapa ilmu science, seni dan
minat” dalam setiap program studi murid.
Dengan
demikian kurikulum tidak dapat dibatasi
hanya dengan intruksi-instruksi belaka tetapi juga harus mencakup “pekerjaan,
produksi, prestasi, latihan dan aktivitas. Buku-buku yang dibaca oleh murid
tidak akan dengan sendirinya memberikan realita yang obyektif. Mereka adalah
bejana tanah liat yang mana harta karun natural dan kemanusiaan disimpan.”[201] Sudah
pasti ada banyak materi yang perlu dipelajari namun perlu diingat bahwa semua
materi tersebut hanya digunakan sebagai alat untuk mendapatkan akhir yang besar
dari kehidupan yang lengkap melalui pemahaman akan kehidupan. Informasi akan
menjadi pengetahuan, buku-buku akan menjadi alat, dan ide-ide yang besar akan
menjadi ideal.
Bogoslovsky
mengajukan empat area studi general[202] di dalam
kurikulum yang dia bentuk untuk sekolah
ideal-nya sebagai berikut: (a) Divisi alam semesta, yang
merupakan departemen science dimana para murid akan belajar “kekuatan alam,
asal usul dari system solar, perkembangan kehidupan dan semua latar belakang
dari kehidupan manusia.” (b) Divisi peradapan,
yang menawarkan studi secara mendalam tentang ilmu social. Dia mengatakan
“melalui peradaban kita akan memahami semua aktivitas, prestasi dan institusi
kemanusiaan yang mengendalikan lingkungan kita untuk memberikan makna hidup,
keamanan, dan kenyamanan—semua yang kita perlukan untuk membuang bahaya, rasa
takut dan kesendirian. Makanan, pakaian, perumahan, teknologi, komunikasi dan
pemerintahan akan dipelajari dalam divisi ini.”
(c) Divisi kebudayaan, “filsafat, seni,
literature, agama, intepretasi dan evaluasi terhadap lingkungan” (d) Divisi kepribadian, yang
menawarkan studi tentang “factor-faktor fisik, psikologi, emosi dan intektual
yang semuanya itu membentuk manusia menjadi…orang yang memiliki tipe
kepribadian yang berbeda dan… menjadi seorang individu yang paling menarik yang
pernah diciptakan oleh seni.”
Keempat
divisi tersebut diikat bersama melalui sesi pengembangan kepribadian yang
merupakan “kesimpulan final, koordinasi atau integrasi dari semua yang telah
dilakukan dalam divisi tersebut diatas untuk menolong murid secara sistematis
dan tekun, untuk menjadi seorang pribadi yang lebih baik lagi.”
Demiashkevitch
juga mengatakan bahwa sekolah menengah umum harus dapat memperkaya dan
menstimulasi kultur pendidikan secara umum. Untuk mewujudkan itu semua, dia
menentukan tiga tujuan[203] yang harus dipenuhi yaitu: (a) Murid harus memiliki informasi umum yang
cukup untuk mengetahui bagaimana dan kapan dia harus mencari informasi yang
dapat diandalkan untuk menyelesaikan masalah yang akan dia hadapi. (b) Dia
harus memiliki “pengetahuan yang cukup akan kebenaran, moral, social, serta
ilmu science yang mendasar, dan ketidaktahuan akan semua itu bisa membahayakan
dirinya dan orang lain.” (c) Pemikiran para murid harus dipenuhi dengan
“standar pemikiran yang baik dan sehat serta akurat” serta “kebiasaan untuk
berpikir keras dan akurat.”
Demiashkevitch
mengakui bahwa pengalaman langsung akan lebih berkesan daripada pengalaman yang
diperoleh secara tidak langsung dan disimpan dalam memori kita. Isi dari
pengalaman itulah yang penting, dan pengetahuan serta informasi yang banyak
akan bermanfaat bagi masa depan. Beralih kepada aspek social dari masalah
pengalaman langsung dan tidak langsung bahwa bentuk demokrasi pemerintahan
sebagian besar berdasarkan kepada pengalaman tidak langsung, karena orang yang
mengambil suara harus dibimbing oleh “pengalaman orang lain yang direkam”.[204]
Metode
Aspek final dari pendidikan idealis adalah metode
mengajar. Pertama-tama, para idealis selalu menekankan bahwa mereka adalah
pencipta dan penentu dari pendidikan mereka. Secara umum dapat kita katakan
bahwa kaum idealis lebih memilih dialek informal di dalam kelas daripada para
murid dikonfrontasi dengan arahan-arahan spesifik yang telah ditetapkan bagi
mereka. Idealis lebih memilih setidaknya ada pemikiran alternatif kalau tidak
tindakan alternatif. Para murid diharapkan untuk dapat dikonfrontasi dengan
keputusan dan pilihan yang dapat mengembangkan pemikirannya sebagai berikut:
1. Pertanyaan dan diskusi
merupakan metode utama bagi para idealis. Karena dengan demikian para guru
dapat menciptakan situasi dialektikal yang dapat memampukan para murid
mengemukakan pendapatnya yang dilatarbelakangi oleh berbagai macam keunikan
individu mereka. “Keberhasilan di dalam kelas tidak hanya menuntut adalanya
pemimpin yang baik, tetapi pengalaman, studi, observasi serta pengetahuan akan
mereka yang mengambil bagian.”
2. Pengajaran
merupakan metode yang juga akan digunakan oleh para idealis. Presentasi yang
baik dari seorang guru adalah yang dipresentasikan untuk memberikan nasehat dan
bimbingan. Hal yang harus dihindari adalah pengajaran yang memaksakan kehendak
dan ide guru kepada murid sehingga tidak ada ruang untuk tanya jawab, respon
ataupun penilaian.
3. Metode
yang ketiga adalah proyek, dimana
para murid diberikan tugas untuk dapat mereka selesaikan. Sekalipun para
idealis percaya bahwa tidak semua pendidikan adalah tentang melakukan sesuatu,
namun mereka tetap mengakui bahwa proyek merupakan bagian yang penting dalam proses
pendidikan. Dalam hal ini Horne mengatakan bahwa menurut pendapatnya sekitar 50
persen orang setuju dengan apa yang disebut sebagai praktek yang progresif dari
pendidikan.
Filsafat Pendidikan Realism
Realisme adalah salah satu mazhab dari filsafat
pendidikan. Realisme adalah filsafat yang bermula sebagai reaksi yang
berlawanan dengan pandangan filsafat idealisme. Realisme, dipelopori oleh
Aristoteles (384-322 B.C.), seorang murid Plato. Mereka adalah tokoh-tokoh
penting pada Filsafat Barat. Di satu sisi, Aristoteles sangat dipengaruhi oleh
Plato, gurunya, tetapi di sisi lain pemikirannya menunjukkan perbedaan yang
sangat signifikan dengan idealisme Plato. ”Bertentangan dengan Plato,
Aristoteles berpendapat bahwa dunia yang sesungguhnya adalah dunia real, yaitu
dunia konkret, yang bermacam-macam, bersifat relatif, dan berubah-ubah. Dunia
ide adalah dunia abstrak yang bersifat semu dan terlepas dari pengalaman.
Itulah sebabnya mengapa pandangan Aristoteles dikenal sebagai paham realisme”.[205]
Aristoteles berpegang bahwa komponen dasar dari setiap obyek adalah form dan matter. Form dapat
dikatakan memiliki kesamaan dengan konsep Plato tentang Ide. Menurut Aristoteles, form tidak dapat nyata tanpa matter,
tetapi tidak mungkin ada matter tanpa
form. Aristoteles tidak merendahkan
pentingnya form atau ide, tetapi
perbedaan radikal yang menyebabkan ia berbeda dengan gurunya adalah datang
karena kepercayaan bahwa pemahaman yang lebih baik atas ide universal dapat
dicapai melalui studi atas matter.
Fokus Aristoteles pada kemungkinan
terbentuknya konsep universal tentang ide melalui studi matter (material),
membawa dia menjadi orang yang meletakkan dasar susunan pada ilmu fisika
modern, kehidupan, dan ilmu-ilmu sosial. Aristoteles adalah seorang organisator
dan katagorisator yang ternama. Ia seorang ilmuwan yang berbagai bidang
seperti: fisika, botani, biologi, sosiologi, psikologi, logika, dan berbagai
aspek filsafat formal. Dapat dikatakan Aristoteles telah membangun ilmu
pengetahuan modern.[206]
Dasar bagi realisme adalah keyakinan
pada realitas dari matter (benda). Alam semesta, dalam pandangan ini, bukanlah
sebuah ilusi, tetapi sesuatu yang nyata dan berada secara konkret.[207] Dengan
demikian semua matter, seperti: pohon,
gunung, kota, dan benda-benda lainnya bukanlah suatu ide belaka dalam pikiran
peneliti. Mereka nyata dalam keberadaannya sendiri, terlepas dari pikiran atau
pengetahuan manusia.
Dasar keyakinan realisme pada dunia
benda ini sangat mempengaruhi pendirian mereka tentang realitas, pengetahuan,
dan nilai yang keberadaannya tidak tergantung pada pikiran manusia. Dengan
demikian semakin jelas bahwa realisme menolak pandangan kaum idealis yang
menyatakan bahwa dunia ide-lah yang sesungguhnya nyata.[208]
Dasar pemikiran kaum Realist adalah bahwa obyek dari indra kita nyata dan
tidak bergantung dari pemikiran atau pengetahuan kita. Realisme berpendapat
bahwa hakikat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia rohani.
Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subyek yang menyadari dan mengetahui
di satu pihak, dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang
dapat dijadikan sebagai obyek pengetahuan manusia. Perbedaan mendasar antara realisme dengan
idealisme dapat diilustrasikan dengan contoh pohon di sebuah padang di suatu
pulau. Menurut kaum realist bahwa pohon itu nyata hanya jika dapat dipikirkan
(termasuk pemikikiran tentang keberadaan yang transenden) atau jikalau terdapat
pengetahuan tentang itu. Kaum realist, di pihak lain berpegang bahwa pohon itu
nyata tidak bergantung pada pikiran atau pengetahuan manusia.
Tokoh-tokoh Realisme:[209]
Aristotelian
Realism: Aristotle (384-322 BC)
Religious
Realism: Thomas Aquinas (1225-1274)
Development
of Modern Realism: Francis Bacon (1561-1626), John Locke (1632-1704)
Contemporary
Realism: Alfred North Whitehead (1861-1947), Bertrand Russell (1872-1970)
Bentuk-bentuk Realisme
Realisme adalah aliran Filsafat yang
bersifat khusus dengan pandangan yang khusus pula berkenaan dengan realitas,
epistemologi dan axiologi yang tidak bergantung pada pikiran atau pengetahuan
manusia. Namun demikian, aliran filsafat ini memiliki keragaman bentuk, menurut
para tokoh pencetusnya. Hal ini menyebabkan berbagai macam kebingungan dalam
mempelajari filsafat realisme ini. Menurut Kneller bahwa realisme dapat dibagai menjadi dua bentuk,
yaitu: Realisme Rasional dan Realisme Naturalis.[210]
Realisme Rasional
Bentuk pertama dari realisme ini dapat dibagi lagi menjadi dua aliran,
yaitu: realisme rasional klasik,
filsafat Yunani yang dipelopori oleh Aristoteles dan realisme rasional religius, terutama scholastisisme yang dipelopori
oleh Thomas Aquinas yang juga mempelopori filsafat Thomisme. Sebagai bagian
dari realisme, keduanya berpendapat bahwa dunia benda adalah real, tidak
bergantung pada pikiran atau pengetahuan manusia sebagai berikut:
1.
Realisme klasik (humanisme rasional)
berpandangan bahwa manusia pada hakikatnya memiliki ciri rasional. Dunia
dikenal melalui akal, dimulai dengan prinsip ”self evident”, di mana manusia
dapat menjangkau kebenaran umum. Self evident ini merupakan azas bagi
pengetahuan, artinya bahwa pengetahuan yang benar buktinya ada di dalam
pengetahuan atau kebenaran pengetahuan itu sendiri. Bahan pendidkan yang
esensial bagi aliran ini adalah pengalaman manusia.
2.
Realisme religius lebih cenderung dualistik yang
berpendapat bahwa terdapat dua order yang terdiri atas order natural dan order
supranatural. Kedua order ini berpusat pada Tuhan. Tuhan adalah pencipta alam
semesta dan kekal. Pendidikan merupakan suatu proses untuk meningkatkan diri
guna mencapai yang kekal. Menurut realisme religius, karena keteraturan dan
keharmonisan alam semesta sebagai ciptaan Tuhan, maka manusia harus mempelajari
alam semesta sebagai ciptaan Tuhan. Selanjutnya realisme religius juga
berpandangan bahwa hukum moral juga diciptakan Tuhan. Comenius adalah pemikir
pendidikan Kristen yang dapat digolongkan dalam aliran realime religius. Ia
mengemukakan bahwa semua manusia harus berusaha untuk mencapai dua tujuan, yaitu
pertama, keselamatan dan kebahagiaan hidup yang abadi. Kedua, keadaan dan
kehidupan dunia yang sejahtera serta damai.
Realisme Naturalis
Bentuk kedua dari realisme ini
menyertai lahirnya sains di Eropa pada abad ke- 15 dan 16 yang dipelopori oleh: Francis Bacon, John
Lock, Galileo, David Hume, John Stuart Mill, dan lain-lain. Pada abad 20 tercatat
pemikir-pemikir seperti: Ralp Borton Perry, Alfred Nort Whitehead, dan Bertrand
Russel. Aliran ini menyatakan bahwa manusia adalah organisme biologis dengan
sistim syaraf yang kompleks dan secara inheren berpembawaan sosial. Apa yang
dinamakan berpikir merupakan fungsi yang sangat kompleks dari organisme yang
berhubungan dengan lingkungannya. Kebanyakan dari mereka menolak kehendak bebas
manusia. Menurut realisme naturalis, realitas haruslah korespondensi.
Pengetahuan yang benar hanya diperoleh melalui pengalaman empiris, dan
nilai-nilai sangat bergantung pada pemahaman manusia tentang alam.
Naturalisme merupakan teori yang menerima “nature”
(alam) sebagai keseluruhan realitas. Istilah “nature” telah dipakai dalam filsafat dengan
bermacam-macam arti, mulai dari dunia fisik yang dapat dilihat oleh manusia,
sampai kepada sistem total dari fenomena ruang dan waktu. Natura adalah dunia
yang diungkapkan kepada manusia oleh sains alam. Istilah naturalisme adalah
sebaliknya dari istilah supernaturalisme yang mengandung pandangan dualistik
terhadap alam dengan adanya kekuatan yang ada (wujud) di atas atau di luar
alam.[211]
Naturalisme berasal dari kata “nature.” Kadang pendefinisikan “nature”
hanya dalam makna dunia material saja, sesuatu selain fisik secara otomatis
menjadi “supranatural.” Tetapi dalam realita, alam terdiri dari alam material
dan alam spiritual, masing-masing dengan hukumnya sendiri. Era Pencerahan,
misalnya, memahami alam bukan sebagai keberadaan benda-benda fisik tetapi
sebagai asal dan fondasi kebenaran. Ia tidak memperlawankan material dengan
spiritual, istilah itu mencakup bukan hanya alam fisiktetapi juga alam
intelektual dan moral. Salah satu ciri yang paling menakjubkan dari alam
semesta adalah keteraturan. Benak manusia sejak dulu menangkap keteraturan ini.
Terbit dan tenggelamnya matahari, peredaran planet-planet dan susunan
bintang-bintang yang bergeser teratur dari malam ke malam sejak pertama kali
manusia menyadari keberadaannya di dalam alam semesta, hanya merupakan
contoh-contoh sederhana. Ilmu pengetahuan itu sendiri hanya menjadi mungkin
karena keteraturan tersebut yang kemudian dibahasakan lewat hukum-hukum
matematika. Tugas ilmu pengetahuan umumnya dapat dikatakan sebagai menelaah,
mengkaji, menghubungkan semua keteraturan yang teramati. Ilmu pengetahuan
bertujuan menjawab pertanyaan bagaimana dan mengapa. Namun khusus untuk
kosmologi, pertanyaan ‘mengapa’ ini di titik tertentu mengalami kesulitan yang
luar biasa.[212]
Posisi Filosofi Realisme
Pada bagian ini dipaparkan posisi
filosofi realisme, yaitu pendirian realisme atas realitas, pengetahuan dan
nilai yang dipahami secara umum sebagai berikut:
1.
Realitas (Ontologi). Realitas dari benda-benda.
Bagi kaum realist, kebenaran akhir dari realitas bukan pada alam pemikiran.
Alam semesta dibentuk atas matter, sehingga demikianlah dunia fisik di mana
manusia hidup dan membuatnya nyata. Ini adalah suatu pendekatan jujur pada
dunia benda-benda yang bergerak menurut hukum-hukum alam yang melahirkan alam
semesta. Alam semesta yang sangat besar menunjukkan keterbatasan manusia dan
pengetahuannya. Alam semesta bukanlah seperti mesin raksasa di mana manusia
sebagai penonton dan yang mengambil bagian di dalamnya. Hukum-hukum alam
mengontrol alam semesta, tidak hanya pada bidan fisik, tetapi juga masalah
moral, psikologi, sosial, politik, dan ekonomi. Dengan kata lain, kaum realist
memandang realitas dalam batas sebagai sesuatu yang digerakkan menurut hukum
alam. Dalam hal ini, realisme menjadi dasar atas berbagai filsafat dan
pengetahuan modern. Untuk memperjelas pemahaman kita tentang pendirian realitas
kaum realis sangat baik menyimak dengan teliti lima pertanyaan yang diajukan
oleh Jack Terry berkenaan dengan ontologi kaum realis sebagai berikut:[213]
a)
Bagaimana kepercayaan secara umum kaum realist
tentang inti akhir yang menjadikan kosmos? Ternyata mereka ada kecenderungan
pada pandangan pluralistik dari pada pandangan monistik.
b)
Apakah kaum realis percaya tentang kebebasaan dan
keharusan dalam tingkah laku manusia? Ternyata kaum realis lebih dekat pada
determinisme dalam filosofi tentang metafisika, sekalipun mereka menolak
determinisme mekanikal.
c) Apakah konsep kaum realist
tentang pikiran? Pertama adalah
pandangan yang lebih external daripada pikiran sebagai satu hubungan organisme
dan objek dalam ruang waktu dunia. Konsep realist daripada pikiran adalah satu
deskripsi pikiran sebagai pengalaman didalam diri subjek dan tingkah laku. Ketiga adalah pikiran
dalam susunan metafisik daripada realist adalah bahwa pikiran dan kesadaran
adalah unik sebagai sesuatu yang dibandingkan pada hal-hal fisik.
d)
Seperti
apakah bentuk penjelasan kaum realis tentang alam semesta? Ternyata kaum Realist setuju bahwa alam semesta adalah satu macam kosmos teratur dalam
keperluan istillah , kosmos sama dengan pandangan naturalistik.
e)
Apakah kaum realist percaya pada keberadaan
(makhluk) kekal? Tentu ada diantara
realist yang atheis dan mereka yang mendefinisikan pikiran dalam istilah zat
atau proses fisik punya sedikit atau tidak ada tempat bagi Allah.
2.
Epistemologi kaum realis. Menurut mereka,
pengetahuan diperoleh melalui observasi. Epistemologi realisme adalah
pendekatan umum pada dunia dengan metode sensori persepsi. Realisme menuntut
manusia untuk tidak memberi penilaian atas segala sesuatu, tetapi membiarkan
obyek berbicara tentang keberadaan mereka sendiri. Kebenaran bagi kaum realist
adalah sebagai kenyataan hasil observasi. Persepsi indra manusia sebagai alat
untuk mendapatkan pengetahuan. Realisme memakai pendekatan induktif untuk
meneliti dunia nyata dan menggunakan prinsip-prinsip umum dalam melakukan
observasi. Kaum realist mencari dan meneliti bagaimana dunia bekerja dengan
mengalaminya. Kebenaran harus sudah dikonfirmasi pada situasi aktual
sebagaimana dilakukan oleh para peneliti (observer).
3. Axiologi kaum realis (Nilai-nilai
dari alam). Menurut kaum realist, nilai-nilai juga dicapai melalui observasi
atas alam itu sendiri. Melalui studi pada susunan alam akan sampai pada
pengetahan akan hukum-hukum alam yang memberikan dasar bagi penilaian etika dan
estetika. Dasar etika kaum realist dapat dilihat sebagai hukum alam. Alam
menurut kaum realist adalah hukum moral. Senada dengan pernyataan ini, Terry
mengatakan bahwa di antara kaum realist
terdapat dua dasar teori yang secara umum
berbicara tentang nilai: pertama, Nilai adalah unsur yang tidak dapat didefinisikan dengan mudah yang
dialami sebagaimana saat kita mengalaminya. Kedua, Nilai bergantung pada sikap dan seseorang
yang mengalaminya. Nilai etika, Kebaikan moral dapat didefinisikan dan segi
menguntungkan dan masyarakat sebagai “Kebahagiaan terbesar dan jumlah yang
terbesar”. Nilai agama Terry jelaskan sebagai, “Theistic dan melioristic dalam
agamanya.” Nilai sosial ditentukan oleh masyarakat tentang apa yang diinginkan
dan dorongan riil yang akan membuat orang bertindak pada nilai-nilai itu.[214]
Realisme dalam Pendidikan
Pada bagian ini diuraikan aplikasi
filsafat dalam pendidikan. Dalam hal ini aplikasi dari pendirian kaum realist
berkenaan dengan ontologi, epistemologi, dan axiologi mereka sebagai berikut:
Pelaku
Pendidikan
Pelaku pendidikan adalah salah satu komponen pendidikan yang harus dipahami
dengan baik, yaitu guru dan murid. Dalam pemahaman realisme maka didapat
pemahaman tentang guru dan murid sebagai berikut:
1.
Guru. Guru dipandang sebagai pribadi yang
mengetahui, seorang peneliti yang mengetahui hukum-hukum alam semesta, maka
tugas guru adalah memberikan informasi yang akurat berkenaan dengan realitas
kepada para murid dengan cara yang cepat dan efisien. Untuk alasan ini, seorang
guru harus menuntun murid untuk mengadakan penelitiannya sendiri. Terry menyatakan bahwa inisiatif dalam
pendidikan terletak pada pribadi guru. Guru yang bertanggung jawab untuk
memutuskan pengetahuan apa yang akan dipelajari oleh murid atau peserta didik.
Tentang guru ini, Terry mengutip beberapa pendapat:
a)
Brubacher yang menyarankan bahwa seorang guru
adalah seorang ”authoritarian”.
b)
Komentar Morris: seorang guru realist harus
menyajikan materi pelajaran kepada peserta didik dalam tata cara yang
sistematis, meggunakan buku teks, dan kuliah.
c)
Kneller: memperingatkan para guru realist untuk
tidak dialihkan kepada tren yang sifatnya sementara dari menyelesaikan tugas
yang sesungguhnya, yaitu untuk mengimpartasikan pengetahuan substantif kepada
dunia nyata.
d) Brown mengindikasikan bahwa
seorang guru realist akan tidak memberi
perhatian pada perkembangan pribadi atau perkembangan sifat, tetapi hanya
sebagai murid “conditioned” untuk mencari kebenaran objektive dan benda dalam
dunia tentang mereka secara bersemangat.
“Dan ia tidak akan ada respek bagi Inspirational value” daripada
sejarah, sebab lalu adalah sesuatu juga diketahui secara objektip.[215]
Murid
Murid. Bagi kaum realist, murid dipandang sebagai organisme biologis dengan sistim
syaraf yang kompleks dan secara inheren berpembawan sosial. Murid dengan
pengalaman sensorinya mengetahui susunan alam dari dunia ini dan dapat membuat
hubungan (kontak) dengan realitas. Murid adalah pribadi yang dapat melihat,
merasa. Dan mengecap. Dunia adalah ”sesuatu” dan murid adalah pribadi yang
dapat mengetahui dunia ini dengan indranya. Banyak kaum realist yang memandang
murid sebagai pribadi yang adalah subyek bagi hukum-hukum alam, sehingga mereka
tidak memiliki kehendak bebas. Dengan kata lain mereka menolak eksistensi
kehendak bebas (free will). Mereka berbeda pendapat dalam hal bahwa individu
ditentukan oleh akibat lingkungan fisik dan sosial dalam struktur genetiknya.
Apa yang tampaknya bebas memilih, kenyataannya merupakan suatu ketentuan
sebab-akibat. Itu sebabnya, para murid dapat diprogram sebagaimana komputer
yang dapat diprogramkan. Terry sependapat dengan Morris bahwa realisme
memandang murid sebagai wadah atau tempat untuk informasi sehingga dapat diberi
ilmu pengetahuan.[216] Dengan
ini, para murid harus di dorong, didisiplin, dan dibentuk sehingga mereka
belajar dan memberikan respon yang diinginkan.
Kurikulum
Senada dengan pandangan metafisis dan epistemologi kaum realist, kurikulum
sekolah-sekolah mereka menekankan pada ”subject matter” dari dunia fisik. Ilmu
pengetahuan adalah pusat dari kurikulum mereka.sejak hukum-hukum alam dapat
dipahami dengan baik melalui subject matter dari alam. Matematika juga mejadi
bagian penting dalam kurikulum sejak matematika sebagai contoh dari form dan
order. Matematika dengan tepat, dapat menjelaskan dan sebagai sistem simbol
untuk menjelaskan hukum-hukum alam. Pengertian kaum realist atas alam
semesta telah banyak membentuk pengetahuan kita tentang ilmu-ilmu sosial yang
menekankan pada statistik dan studi kuantitatif. Kaum realist memandang
kurikulum sebagai pengetahuan yang dapat diukur. Terry mengemukakan lima
tingkat dari kurikulum yaitu:
1. Murid seharusnya belajar untuk
dapat menggunakan instrumen dasar dari pengetahuan, khususnya dalam bahasanya sendiri. Untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih jelas dan obyektif, murid harus memiliki beberapa
pengetahuan, setidaknya pengetahuan bahasa asing dengan baik. Murid juga harus
diajar tentang logika manusia dan matematika dasar.
2. Selanjutnya, murid harus
diperkenalkan dengan metde-metode dalam alam fisika, kimia, dan biologi, serta
dasar-dasar fakta yang berhubungan dengan ilmu-ilmu tersebut.
3. Murid harus mempelajari sejarah
dan berbagai ilmu pengetahuan manusia.
4. Murid seharusnya akrab dengan
tokoh-tokoh besar klasik melalui berbagai literartur dan seni.
5.
Akhirnya, ditingkat akhir pada proses
pelatihan/pendidikan, murid seharusnya diperkenalkan dengan filsafat dan persoalan-persoalan dasar
yang muncul dari usaha mengintegrasikan antara pengetahuan dan praktek.[217]
Metode
Metode instruksional kaum realist sangat erat kaitannya dengan epistemologi
mereka. Jika kebenaran harus dicapai dengan sensori persepsi, kemudian pengalaman
belajar harus diorganisasikan dengan cara pengalaman indrawi. Kaum realist modern sangat suka
mendemonstrasikan pengetahuan, mengadakan studi lapangan, dan menggunakan audio
visual dalam proses pembelajaran. Metode mengajar kaum realist meliputi
pengajaran akan kenyataan-kenyataan untuk membangun suatu pemahaman akan
hukum-hukum alam. Mereka sangat memperhatikan pengalaman penelitian murid
berkenaan dengan dasar-dasar hukum alam.
Outcome
Outcome. Menurut kaum realist, tujuan pendidikan adalah untuk
memperlengkapi peserta didik untuk membangun suatu hubungan antara manusia
sebagai individu dan lingkungannya. Seorang murid realist harus dapat memiliki
hubungan yang seimbang, toleransi secara mental dan fisik dengan lingkungan
disekitarnya.
Filsafat Pendidikan
Naturalis dan Materialisme
Materialisme
adalah suatu istilah yang sempit dari dan merupakan bentuk dari
naturalisme yang lebih terbatas. Namun demikian aliran ini pada akhirnya lebih
populer daripada induknya, naturalism,[218]
karena pada akhirnya menjadi ideologi utama pada negara-negara sosialis seperti
Uni Soviet (kini Rusia) dan Republik Rakyat Cina (RRC). Materialisme umumnya
mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada kecuali materi, atau bahwa nature
(alam) dan dunia fisik adalah satu.[219]
Materialisme dapat diberikan definisi sebagai berikut:[220] pertama:
materialisme adalah teori yang mengatakan bahwa atom materi yang berada sendiri
dan bergerak merupakan unsur-unsur yang membentuk alam, dan bahwa akal dan
kesadaran (consiousness) termasuk di
dalamnya. Segala proses fisikal merupakan mode materi tersebut dan dapat
disederhanakan menjadi unsur-unsur fisik. Kedua,
definisi tersebut mempunyai implikasi yang sama, walaupun condong untuk
menyajikan bentuk materialisme yang lebih tradisional. Belakangan, doktrin
tersebut dijadikan sebagai “energism” yang mengembalikan segala sesuatu kepada
bentuk energi, atau sebagai suatu bentuk dari “positivisme” yang memberi
tekanan untuk sains dan mengingkari hal-hal seperti ultimate nature of reality (realitas yang paling tinggi). Inilah
yang pada akhirnya mereka ragu-ragu apakah tuhan benar-benar ada atau tidak,
yang jelas mereka tidak mampu menjangkaunya. Bahkan sebagian mengingkari sama
sekali sehingga menjadi atheis.[221]
Materialisme modern mengatakan bahwa alam (universe) merupakan kesatuan material
yang tak terbatas; alam termasuk di dalamnya segala materi dan energi (gerak
atau tenaga) selalu ada dan akan tetap ada. Dan bahwa alam (world) adalah realitas yang keras, dapat
disentuh, material, objektif, yang dapat diketahui oleh manusia. Materialisme
modern mengatakan, materi ada sebelum jiwa (mind),
dan dunia material adalah yang pertama. Sedangkan pemikiran tentang dunia ini
adalah nomor dua.[222]
Filsafat Pendidikan Naturalisme
Dari perkembangan di atas, maka lahirlah aliran filsafat pendidikan
Naturalisme. Ia lahir sebagai reaksi terhadap aliran filsafat pendidikan
Aristotalian-Thomistik.[223]
Naturalisme lahir pada abad ke 17 dan mengalami perkembangan pada abad ke 18. Naturalisme berkembang dengan cepat
di bidang sains. Ia berpandangan bahwa "Learned heavily on the knowledge
reported by man's sense". Filsafat pendidikan ini didukung oleh tiga
aliran besar yaitu: Realisme, Empirisme dan Rasionalisme. Semua penganut
Naturalisme merupakan penganut Realisme, tetapi tidak semua penganut Realisme
merupakan penganut Naturalisme. Realisme merupakan anak dari Naturalisme.[224]
Oleh sebab itu, banyak ide-ide pemikiran Realisme sejalan dengan Naturalisme.
Salah satunya adalah nilai estetis dan etis dapat diperoleh dari alam, karena
di alam tersedia kedua hal tersebut.
Dimensi utama dan pertama dari pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme di
bidang pendidikan adalah pentingnya pendidikan itu sesuai dengan perkembangan
alam. Filsuf yang pertama kali
memperhatikan dan memberikan konsidensi terhadap orientasi pemikiran filsafat
pendidikan Naturalisme adalah John Amos Comenius (1592-1670). Sebagai pendeta
Protestan sekaligus paedagog, ia berpandangan bahwa manusia itu diciptakan oleh
Tuhan dan untuk Tuhan. Manusia diciptakan dan ditempatkan di atas semua
makhluk, karena kemampuannya dalam berfikir. Percikan pemikiran Comenius
berpengaruh pada teori-teori pendidikannya. Salah satunya adalah peserta didik
harus dipersiapkan kepada dan untuk Tuhan. Untuk itu pendidikan yang signifikan
dengan pandangannya adalah pendidikan ketuhanan, budi pekerti dan intelek.
Pendidikan tidak hanya sekedar untuk menjadikan seseorang mau belajar,
melainkan juga untuk menjadikan seseorang lebih arif dan bijaksana.[225]
Dalam pendidikan dan pengajaran, Comenius menggunakan hukum-hukum alam
sebagai contoh yang senantiasa tertib dan teratur. Hukum alam memiliki ciri
sebagai berikut: pertama, segalanya
berkembang dari alam. Kedua,
perkembangan alam serba teratur, tidak meloncat-loncat melainkan terjadi secara
bertahap. Ketiga, alam, berkembang
tidak tergesa-gesa melainkan menunggu waktu yang tepat, sambil mengadakan
persiapan. Dalam bukunya yang berjudul Didagtica
Magna (The Great Didactic) ia
berkomentar: “If we wish to find a remedy for the defects of nature, it is in
nature herself that we must look for it. Since it is certain that art can do
nothing unless it imitates nature.”[226]
Dalam proses pendidikan, seperti
pendahulunya Wolfgang Ratke, Comenius juga berpendapat tentang prosedur dalam
bidang pendidikan bahwa dari pada membuat kerusakan pada proses alam, lebih
baik bersahabat dengan proses alam tersebut. Pendapatnya ini berimplikasi pada
pelaksanaan pendidikan dengan keharusan tidak merusak alam dan meniru
perkembangan alam. Alam berkembang dengan teratur dan menurut aturan waktu
tertentu. Tidak pernah terjadi dalam perkembangan alam, seekor kupu-kupu
tiba-tiba dapat terbang tanpa terlebih dahulu mengalami proses perkembangan
mulai dari ulat menjadi kepompong dan seterusnya berubah menjadi kupu-kupu. Begitu
juga perkembangan alam yang lain, buah apapun di dunia, selalu bermula dari
bunga. Tidak pernah terjadi lompatan tiba-tiba sebatang pohon mangga
mengeluarkan buah mangga tanpa sebelumnya didahului oleh munculnya bunga
mangga. Apabila pendidikan menganut aliran ini, maka setiap proses pendidikan
hendaknya mengikuti pola bertahap sesuai dengan perkembangan alam. Artinya
proses pendidikan tidak dilakukan secara tergesa-gesa, melainkan dilakukan
secara terencana dan bertahap sesuai dengan tahapan perkembangan fisik dan
psikis peserta didik.[227]
Perkembangan yang terjadi di alam merupakan cermin bagi manusia bahwa tidak
pernah terjadi dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan makhluk yang ada di
alam menyimpang dari potensi yang dimilikinya. Semuanya tumbuh dan berkembang
sesuai dengan potensi masing-masing. Thomas Armstrong barangkali merupakan
pakar pendidikan yang dapat mengelaborasi dengan baik pembelajaran dengan cara
bertahap dan sesuai dengan perkembangan alam. Dalam In Their Own Way: Discovering and Encouraging Your Child's Multiple
Intelleigences, Asmtrong mengilustrasikan dengan sangat baik bagaimana
sebuah sekolah yang ingin dibangun oleh para binatang besar untuk binatang
kecil di dalam hutan. Sejak awal para binatang besar bingung menentukan materi
ajar terpenting yang akan dipakai di sekolah tersebut, meskipun pada akhirnya
disepakati bahwa semua binatang kecil harus mengikuti materi ajar yang
diberlakukan, yaitu: berlari, berenang, terbang, memanjat, dan menggali. Semula
sekolah tersebut penuh keceriaan dan menyenangkan. Namun pada hari-hari
berikutnya persoalan mulai muncul ketika Kelinci yang memiliki potensi alamiah
dan jago dalam berlari harus mengikuti materi pelajaran renang. Hampir saja si
Kelinci tenggelam. Malu bercampur haru menjadi satu dalam diri Kelinci dan pada
akhirnya Kelinci pun minder pada binatang lain, terutama pada ikan. Ia berusaha
sedemikian rupa agar bisa berenang, sehingga tidak pernah lagi dapat berlari
secepat sebelumnya. Potensi berlari yang merupakan kemampuan alami utamanya
terlupakan dan menjadi "loyo" akibat kebanyakan mengikuti les renang.
Problem yang sama dialami juga oleh binatang yang lain, tidak terkecuali
oleh burung Elang yang jago terbang. Ketika burung Elang mengikuti materi
pelajaran menggali, ia tidak mampu melakukan tugas-tugas yang diberikan oleh
binatang besar sebagai gurunya. Elang pun sedih, karena nilai raportnya merah
dan harus mengulang materi pelajaran menggali. Pelajaran menggali rupanya
menyita waktu Elang, sehingga ia lupa cara terbang yang sebelumnya sangat
dikuasai dan menjadi potensin alamnya yang menonjol. Semakin hari sekolah
tersebut bukan menjadikan binatang kecil semakin mahir dalam mengembangkan
potensi alamiyah dan bakat masing-masing, tetapi justru mengileminir potensi
dan bakat beberapa binatang yang mengikuti pembelajaran. Hal ini terjadi karena
para binatang kecil dipaksa melakukan hal-hal yang tidak menghargai potensi,
sifat dan bakat alami mereka. Pemikiran kritis seperti ini diangkat sedemikian
rupa oleh Asmtrong dengan baik agar dalam pendidikan segalanya dapat berkembang
sesuai dengan potensi dan bakat masing-masing yang telah diberikan oleh alam.
Dimensi kedua dari filsafat pendidikan Naturalisme yang juga dikemukakan
oleh Comenius adalah penekanan bahwa belajar itu merupakan kegiatan melalui
Indra. Belajar melalui indra merupakan inti dari metode belajar Naturalistik.
Di sini baik Comenius maupun pendahulunya Wolfgang Ratke menekankan pentingnya
pengalaman pemahaman tentang sesuatu. Seperti yang disarankan oleh Wolfgang Ratke
pada para guru. Guru, kata Ratke pertamakali hendaknya mengenalkan benda kepada
anak lebih dahulu, baru setelah itu penjelasan yang diperinci (exposition) tentang benda tersebut.
Sedang Comenius menasehatkan kepada para guru bahwa sesuatu itu harus digambarkan
dengan simbol secara bersama-sama (Thing
and symbol should accompany each other). Dalam mempresentasikan gagasan ini
Comenius menulis sebuah buku berjudul Orbis
Pictus (Dunia dalam Gambar).
Naturalisme di bidang pendidikan juga dielaborasi oleh kerangka pemikiran
John Locke (1632-1704) dalam buku Essay
Concerning Human Understanding. Ia mengemukakan bahwa teori dalam jiwa
diperoleh dari pengalaman nyata. Dalam formulasi redaksi yang berbeda dengan
maksud yang sama John Locke mengatakan bahwa, tidak ada sesuatu dalam jiwa
tanpa melalui indra.[228]
Kesimpulan lebih lanjut dari statement Locke adalah jiwa senantiasa kosong
dan hanya terisi apabila ada pengalaman. Oleh karena alam merupakan spot power bagi pengisian jiwa, maka
proses pendidikan harus mengikuti tata-tertib perkembangan alam. Kalau alam serba teratur, ia
menghendaki pengajaran pun harus teratur. Mata pelajaran harus diajarkan secara
berurutan (sequence), step by step dan tidak bersamaan,
misalnya: membaca dulu sampai bisa, kemudian diikuti dengan pembelajaran
menulis, demikian selanjutnya.
Ide-ide Locke tersebut berseberangan dengan pandangan Platonic Notion, yang
mengatakan bahwa manusia itu lahir dengan ide (gagasan) pembawaan seperti ide
tentang Tuhan, rasa tentang benar dan salah, kemampuan-kemampuan logik tentang
prinsip-prinsip kontradiksi yang secara otomatis tanpa melalui belajar. Bagi Locke semua itu harus
dipelajari melalui pemahaman. Oleh sebab itu, Locke berkata "baik buruknya
anak (peserta didik) tergantung pada pendidikannya". Teori inilah yang
kemudian melahirkan konsep Tabularasa atau Blanksheet dalam pendidikan.
Dimensi ketiga dari filsafat pendidikan Naturalisme adalah pentingnya
pemberian pemahaman pada akal akan kejadian atau fenomena dan hukum alam
melalui observasi. Observasi berarti mengamati secara langsung fenomena yang
ada di alam ini secara cermat dan cerdas. Seperti yang dialami Copernicus,
bahwa pemahaman kita akan menipu kita, apabila kita berfikir bahwa mataharilah
yang mengelilingi bumi, padahal sebenarnya bumilah yang mengelilingi matahari.
Pendapat Copernicus di atas sangat berpengaruh pada abad ke 18, sehingga abad
ini dikenal dengan sebutan abad rasio (age
of reason) atau Rasionalisme. Berkaitan hal ini, maka J. H. Pastolozzi
seorang paedagog berkebangsaan Swiss merupakan orang yang pertamakali sukses
dalam menempatkan antara teori dan praktek pendidikan menjadi satu kesatuan
hukum-hukum potensi manusia. Oleh sebab itu Pastolozzi berkata, pendidikan
hendaknya dilaksanakan secara harmonis, yaitu yang meliputi berbagai segi dari
hukum-hukum potensi manusia (multy
purposes), segi jasmani, kejiwaan, segi sosial, segi susila, dan segi
agama. Dengan demikian tujuan pendidikan adalah memimpin anak menjadi orang
baik dengan jalan mengembangkan daya-daya pada anak, karena pendidikan pada
hakekatnya tidak lain daripada pemberian pertolongan, agar anak dapat menolong
dirinya. Dalam bahasanya sendiri ia mengatakan pendiddikan adalah
"Pertolongan untuk pertolongan diri" (Hilfe zur Selbsthilte).
Dimensi terakhir dari percikan pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme
juga dikembangkan oleh Jean Jacques Rousseau berkebangsaan Prancis yang
naturalis mengatakan bahwa pendidikan dapat berasal dari tiga hal, yaitu: alam,
manusia dan barang. Bagi Rousseau seorang anak harus hidup dengan
prinsip-prinsip alam semesta. Rousseau (1712 - 1778) menghasilkan buku yang
sangat monumental berjudul Emile Ou de
L'Education. Buku ini terdiri atas lima jilid dan merupakan buku roman
pendidikan dengan pemeran utama Emile dan Sophie. Secara bertahap Rousseau
menuangkan pikiran-pikirannya tentang pendidikan dalam buku ini. Jilid pertama
berisi tentang perawatan jasmani peserta didik (Emile) yang dapat dilakukan
sampai umur 7 tahun. Sementara jilid kedua berisi tentang pendidikan jasmani
Emile. Jilid ketiga berisi tentang pendidikan intelek, jilid keempat mengupas
pendidikan akhlak dan agama serta jilid terakhir atau kelima mengulas tentang
pendidikan wanita dan kesusilaan.[229]
Tokoh-tokoh Filsafat Pendidikan
Naturalism:[230]
Thomas Hobbes
(1588-1679)
Jean Jacques
Rousseau (1712-1778)
Herbert Spencer
(1820-1903)
Naturalisme dan
Pendidikan
Naturalisme dalam filsafat pendidikan mengajarkan
bahwa guru paling alamiah dari seorang anak adalah kedua orang tuanya. Oleh
karena itu, pendidikan bagi naturalis dimulai jauh hari sebelum anak lahir,
yakni sejak kedua orang tuanya memilih jodohnya. Tokoh filsafat pendidikan
naturalisme adalah John Dewey, disusul oleh Morgan Cohen yang banyak mengkritik
karya-karya Dewey. Baru kemudian muncul tokoh-tokoh seperti Herman Harrell
Horne, dan Herbert Spencer yang menulis buku berjudul Education: Intelectual, Moral, and Physical. Herbert menyatakan
bahwa sekolah merupakan dasar dalam keberadaan naturalisme, sebab belajar
merupakan sesuatu yang natural hal tersebut karena itu fakta bahwa hal itu
memerlukan pengajaran juga merupakan sesuatu yang natural juga. Paham
naturalisme memandang guru tidak mengajar subjek, melainkan mengajar murid.[231]
Terdapat lima tujuan pendidikan paham naturalisme yang
sangat terkenal yang diperkenalkan Herbert Spencer melalui esai-esainya yang
terkenal berjudul “Ilmu Pengetahuan Apa yang Paling Berharga?” Kelima tujuan
itu adalah: (1) Pemeliharaan diri; (2) Mengamankan kebutuhan hidup; (3)
Meningkatkan anak didik; (4) Memelihara hubungan sosial dan politik; dan (5)
Menikmati waktu luang.[232]
Spencer juga menjelaskan enam prinsip dalam proses pendidikan
beraliran naturalisme. Delapan prinsip tersebut adalah: (1) Pendidikan harus
menyesuaikan diri dengan alam; (2) Proses pendidikan harus menyenangkan bagi
anak didik; (3) Pendidikan harus berdasarkan spontanitas dari aktivitas anak;
(4) Memperbanyak ilmu pengetahuan merupakan bagian penting dalam pendidikan;
(5) Pendidikan dimaksudkan untuk membantu perkembangan fisik, sekaligus otak;
(6) Praktik mengajar adalah seni menunda; (7) Metode instruksi dalam mendidik
menggunakan cara induktif; (8) Hukuman dijatuhkan sebagai konsekuensi alam
akibat melakukan kesalahan. Kalaupun dilakukan hukuman, hal itu harus dilakukan
secara simpatik.[233]
Implikasi Bidang Pendidikan
Implikasi Naturalisme di bidang Pendidikan adalah lahirnya berbagai model
pendidikan yang menjadikan alam sebagai tempat dan pusat kegiatan
pembelajarannya. Pembelajaran tidak lagi dilakukan di dalam kelas yang dibatasi
oleh ruang dan waktu, tetapi lebih fokus pada pemanfaatan alam sebagai tempat
dan sumber belajar. Belajar di dan
dengan alam yang telah menyediakan beragam fasilitas dan tantangan bagi peserta
didik akan sangat menyenangkan. Tinggal kemampuan kita bagaimana
"mengeksploitasi" sumber daya alam menjadi media, sumber dan materi
pembelajaran yang sangat berguna.
Dalam buku Quantum Learning Bobbi
De Porter mengatakan "Dengan mengendalikan lingkungan Anda, Anda melakukan
langkah efektif pertama untuk mengendalikan seluruh pengalaman belajar Anda. Bahkan
sekiranya saya harus menyebutkan salah satu alasan mengapa program kami
berhasil membuat orang belajar lebik baik, saya harus menyebutkan karena kami
berusaha menciptakan lingkungan optimal, baik secara fisik maupun emosional”. Berkaitan hal tersebut, maka
Bobbi De Porter yang pertama kali mengenalkan model pendidikan Quantum secara
terprogram dengan nama “Super Camp”. Ia menjadikan alam sebagai tempat pembelajaran. Peserta didik dengan bebas
"mengeksploitasi" apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan di alam.
Guru menempatkan dirinya sebagai mitra peserta didik dalam berdiskusi
menyelesaikan problem yang ditemukan di alam. “Out put” dari model pendidikan
Quantum ini terbukti memiliki keunggulan kompetitif lebih baik dibandingkan
“out put” model pendidikan konvensional yang dilakukan di dalam kelas. Melalui
“Super Camp” peserta didik lebih leluasa memanifestasikan subyektifitasnya yang
sangat jarang ditemukan dalam praktik pendidikan konvensioal dalam kelas di
sekolah. Jika di dalam kelas subyektifitas peserta didik tertekan oleh otoritas
guru, maka di alam, guru dan peserta didik dapat dengan leluasa menciptakan
hubungan yang lebih akrab satu sama lain. Dari hubungan yang akrab ini lebih
lanjut terjadi hubungan emosional yang mendalam antara guru dengan peserta
didiknya. Dalam kondisi seperti ini, subyektifitas peserta didik dengan
sendirinya akan mengalir dalam diskusi dengan guru di mana telah tercipta
suasana belajar yang kondusif.[234]
Dengan demikian bahwa menyatunya para siswa dengan alam sebagai tempat
belajar dapat memuaskan keingintahuannya (curiousity),
sebab mereka secara langsung face to face
berhadapan dengan sumber dan materi pembelajaran secara riil. Hal yang sangat
jarang terjadi pada pembelajaran di dalam kelas. Di alam mereka akan melihat langsung
bagaimana sapi merumput, mereka mendengar kicau burung, mereka juga merasakan
sejuknya air, mencium harum bunga, memetik sayur dan buah yang semuanya
merupakan pengalaman nyata tidak terlupakan. Mereka belajar dengan nyaman,
asyik dan berlangsung dalam suasana menyenangkan, sehingga informasi terekam
dengan lebih baik dalam otak para siswa. Melalui proses eksploratoris seperti
di atas, para siswa telah melakukan apa yang dikenal dengan istilah global learning (belajar global), sebuah
cara belajar yang begitu efektif dan alamiah bagi manusia.
Filsafat Pendidikan Materialisme
Kata materialisme terdiri dari
kata “materi” dan “isme”. Materi dapat dipahami sebagai bahan; benda; segala sesuatu yang tampak.
Materialisme adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang
termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata, dengan mengesampingkan segala sesuatu
yang mengatasi alam indra. Sementara itu, orang-orang yang hidupnya berorientasi kepada materi
disebut sebagai materialis. Orang-orang ini adalah para pengusung paham
(ajaran) materialisme atau juga orang yang mementingkan kebendaan semata
(harta, uang, dan sebagainya).
Tokoh-tokoh dan Karya-karya Materialisme
Ludwig Feuerbach: Filsuf dari Jerman yang Mendukung Materialisme. Filsuf
yang pertama kali memperkenalkan paham ini adalah Epikuros. Ia merupakan salah satu filsuf terkemuka pada masa filsafat kuno. Selain Epikuros, filsuf lain yang juga turut mengembangakan aliran filsafat ini adalah Demokritos dan Lucretius Carus. Pendapat mereka tentang materialisme, dapat kita
samakan dengan materialisme yang berkembang di Prancis pada masa pencerahan. Dua karangan karya La Mettrie yang cukup
terkenal mewakili paham ini adalah L'homme machine (manusia mesin) dan L'homme
plante (manusia tumbuhan).
Dalam waktu yang sama, di tempat
lain muncul seorang Baron von
Holbach yang mengemukakan suatu materialisme ateisme. Materialisme ateisme serupa dalam bentuk dan substansinya, yang tidak mengakui adanya Tuhan secara mutlak. Jiwa sebetulnya sama dengan fungsi-fungsi otak. Pada Abad 19, muncul filsuf-filsuf materialisme asal Jerman seperti Feuerbach, Moleschott, Buchner, dan Haeckel. Merekalah
yang kemudian meneruskan keberadaan materialisme.
Ciri-ciri Paham Materialisme
Setidaknya ada beberapa dasar ideologi yang dijadikan dasar keyakinan paham ini sebagai berikut: (1) Segala yang
ada (wujud) berasal dari satu sumber yaitu materi (ma’dah). (2) Tidak meyakini
adanya alam ghaib. (3) Menjadikan panca indra sebagai satu-satunya alat mencapai ilmu. (4) Memposisikan ilmu sebagai pengganti agama dalam peletakan hukum. (5) Menjadikan kecondongan dan tabiat manusia sebagai akhlak. (6) adalah sebuah paham garis pemikiran, dimana manusia
sebagai nara sumber dan juga sebagai resolusi dari tindakan yang sudah ada
dengan jalan dialetis.
Karakterisik Umum
Karakteristik umum materialisme
pada abad delapan belas berdasarkan pada suatu asumsi bahwa realitas dapat
dikembangkan pada sifat-sifat yang sedang mengalami perubahan gerak dalam
ruang. Asumsi tersebut menunjukkan bahwa:
1.
Semua sains
seperti: biologi, kimia, psikologi,
fisika, sosiologi, ekonomi, dan yang lainnya ditinjau dari dasar fenomena
materi yang berhubungan secara kausal (sebab akibat).jadi,semua sains merupakan
cabang dari sains mekanika;
2.
Apa yang
dikatakan “jiwa” (mind) dan segala kegiatannya (berpikir, memahami) adalah
merupakan suatu gerakan yang kompleks dari otak,system urat saraf, atau
orga-organ jasmani yang lainnya.
3.
Apa yang
disebut dengan nilai dan cita-cita,makna dan tujuan hidup, keindahan dan
kesenangan, serta kebebasan, hanyalah sekedar nama-nama atau semboyan, simbol
subjektif manusia untuk situasi atau hubungan fisik yang berbeda.
Ludwig Feuerbach (1804-1872)
mencanangkan suatu metafisika materialistis, suatu etika yang humanistis, dan
suatu epistemology yang menjungjung tinggi pengenalan inderawi.oleh karena itu,
ia ingin mengganti idealisme Hegel (guru Feuerbach) dengan materialisme. Jadi,
menurut Feuerbach, yang ada hanyalah materi, tidak mengenal alam spiritual.
Kepercayaan kepada Tuhan hanyalah merupakan suatu proyeksi dari kegagalan atau
ketidakpuasan manusia untuk mencapai cita-cita kebahagiaan dalam
hidupnya. Dengan kegagalan tersebut manusia memikirkan suatu wujud yang bahagia
secara absolut, oleh karena itu, Tuhan hanyalah merupakan hasil khayalan
manusia. Tuhan diciptakan oleh manusia sendiri,secara maya,padahal wujudnya
tidak ada.
Cabang materialisme yang banyak
diperhatikan orang dewasa ini,dijadikan sebagai landasan berpikir adalah
“Positivisme”. Menurut positivism, kalau
sesuatu itu memang ada, maka adanya itu adalah jumlahnya.
Zaman positif adalah zaman dimana orang tahu,bahwa tiada
gunanya untuk berusaha mencapai pengetahuan yang mutlak,baik pengenalan teologi
maupun pengenalan metafisik. Ia tidak lagi melacak awal dan tujuan akhir dari
seluruh alam semesta,atau melacak hakikat yang berada dibelakang segala
sesuatu.sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan aturan yang
terdapat pada fakta-fakta yang telah dikenal atau yang disajikan
kepadanya,yaitu dengan mengamati semua fakta-fakta yang positif yang
menampakkan pada pancaindera dan menggunakan akalnya. Jadi, dikatakan positivisme,karena mereka
beranggapan bahwa yang dapat kita pelajari hanyalah yang mendasarkan
fakta-fakta, berdasarkan data-data yang nyata, yaitu yang mereka namakan positif.
Berkaitan di atas, maka Thomas
Hobbes, sebagai pengikut empirisme materialistis. Ia berpendapat bahwa
pengalaman merupakan awal dari segala pengetahuan,juga awal pengetahuan tentang
asas-asas yang diperoleh dan dikukuhkan oleh pengalaman. Hanya pengalamanlah
yang memberikan kepastian pengetahuan melalui akal hanya memiliki fungsi
mekanis semata, sebab pengenalan dengan akal mewujudkan suatu proses
penjumlahan dan pengurangan.
Materialisme
dalam Pendidikan
Materialisme pada dasarnya tidak
menyusun konsep pendidikan secara eksplisit. Bahkan menurut Henderson (1959),
materialism belum pernah menjadi penting dalam menentukan sumber teori
pendidikan. Berkaitan hal ini, maka Waini Rasyidin (1992), filsafat positivisme
sebagai cabang dari materialisme lebih cenderung menganalisis hubungan
factor-faktor yang mempengaruhi upaya dan hasil pendidikan secara
factual. Memlih aliran positivisme berarti menolak filsafat pendidikan dan
mengutamakan sains pendidikan.
Menurut Behaviorisme, apa yang
disebut dengan kegiatan mental kenyataannya tergantung pada kegiatan fisik,
yang merupakan berbagai kombinasi dan materi dalam gerak. Gerakan fisik yang
terjadi dalam otak, kita sebut berpikir, dihasilkan oleh peristiwa lain dalam
dunia materi, baik materi yang berada dalam tubuh manusia maupun materi yang
berada diluar tubuh manusia. Behaviorisme yang berakar pada positivisme dan
materialisme telah populer dalam menyusun teori pendidikan, terutama dalam
teori belajar, yaitu apa yang disebut dengan “conditioning theory”, yang
dikembangkan oleh E.L. Thomdike dan B.F. Skinmer.
Menurut behavorisme, perilaku
manusia adalah hasil pembentukan melalui kondisi lingkungan (seperti contoh
anak dan kucing di atas). Yang dimaksud dengan perilaku adalah hal-hal yang
berubah dapat diamati,dan dapat diukur (materialisme dan positivisme).
Power (1982) mengemukakan
beberapa implikasi pendidikan positivisme behaviorisme yang bersumber pada
filsafat materialisme, sebagai berikut:
1.
Tema: Manusia
yang baik dan efisien dihasilkan dengan proses pendidikan terkontrol secara
ilmiah dan seksama.
2.
Tujuan
pendidikan: Perubahan perilaku
mempersiapkan manusia sesuai dengan kapasitasnya untuk tanggung jawab hidup
sosial dan pribadi yang kompleks.
3.
Kurikulum: Isi
pendidikan mencakup pengetahuan yang dapat dipercaya (handal), dan
diorganisasi,selalu berhubungan dengan sasaran perilaku.
4.
Metode: Semua pelajaran dihasilkan dengan kondisionisasi
(SR conditioning. operant
conditioning, reinforcement, pelajaran berprogram dan kompetensi.
5.
Kedudukan
siswa: Tidak ada kebebasan.perilaku
ditentukan oleh kekuatan dari luar.pelajaran sudah dirancang.siswa dipersiapkan
untuk hidup. Mereka dituntut untuk belajar.
6.
Peranan
guru: Guru memiliki kekuasan untuk merancang
dan mengontrol proses pendidikan. Guru dapat mengukur kualitas dan karakter
hasil belajar siswa.
Filsafat Pendidikan Tradisionalis (Neo-Thomism)
Manusia adalah makhluk berpikir.
Dengan kapasitas otaknya, sebuah “supercomputer biologis”, manusia merasa mampu
untuk mengetahui segalanya. Dengan otaknya, yang memiliki 200 sel syaraf
sehingga mampu menyimpan 100 milyar bit informasi dan berpikir dengan kecepatan
300 mil per jam. Dengan demikian, manusia dapat mengembangkan cara berpikir
rasional yang hebat. Karena itu, maka sejak dulu, manusia yang berkembang
dengan mengandalkan pikiran rasionalnya selalu mengalami konflik dengan masalah
iman. Antara akal dan iman seringkali
bertentangan dan berseberangan. Dengan iman, manusia percaya akan Tuhan. Dengan
akalnya, manusia tidak ragu untuk menolak adanya Tuhan. Pertentangan akal dan
iman terjadi dari masa ke masa.
Dalam kondisi di atas munculnya
Thomas Aquinas (1225-1274) merupakan sebuah fenomena. Menurut Thomas, tidak ada
pertentangan antara iman dan rasio (filsafat), bahkan keduanya saling berkait
satu sama lain.[235] Melalui pemikiran-pemikiran
rasional, hal-hal yang bersifat imani – misalnya Tuhan – dapat dipahami.
Pemikiran-pemikiran filsafat Thomas Aquinas disebut sebagai Thomisme.
Bertahun-tahun kemudian, filsuf
Jacques Maritain (lahir tanggal 18 November 1882) memunculkan dan mengembangkan
kembali Thomisme. Menurutnya, masalah-masalah filsafat (pikiran-pikiran
rasional) modern harus dipahami dengan prinsip-prinsip Thomisme yang telah
diajarkan oleh Thomas Aquinas di masa silam.[236] Pemikiran Maritain ini disebut
Neo-Thomisme.
Neo-Thomisme menjadi dasar pengembangan pendidikan
modern: Idealisme, realisme,
pragmatisme, existensialisme, dan aliran-aliran filsafat lain dipakai oleh para
ahli untuk mengembangkan sistem pendidikan. Demikian juga Thomisme
(Neo-Thomisme), bisa dipakai menjadi dasar pengembangan pendidikan modern.
Pada jaman modern sekarang, ketika
rasio menjadi semacam dewa, kehadiran Neo-Thomisme akan menjadi penyeimbang.
Dalam konteks Indonesia yang percaya akan Tuhan dan hal-hal rohani, filsafat
Neo-Thomisme perlu menjadi pertimbangan untuk pengembangan sistem
pendidikannya. Tetapi ketika membicarakan Pendidikan Agama Kristen
(PAK), perlu dikaji lebih lanjut sejauh mana filsafat Neo-Thomisme ini dapat
diterapkan. Pengembangan PAK bukan hanya mempertimbangkan masalah keseimbangan
akal dan iman, tetapi juga masalah
Alkitab. Sejauh mana Neo-Thomisme bersesuaian dengan pandangan Alkitab.
Filsafat Neo-Thomisme
Neo-Thomisme pada dasarnya
adalah pengembangan lanjut dari Thomisme. Thomisme sendiri adalah sebutan untuk
pemikiran filsafat dari filsuf Thomas Aquinas. Neo-Thomisme dikembangkan oleh
filsuf bernama Jacques Maritain.
Thomas Aquinas (1225-1274)
Filsuf yang lahir di kota
kecil bernama Aquino yang terletak antara Roma dan Napoli ini bertumbuh menjadi
rohaniawan dan kemudian cedekiawan. Pada usia 20 tahun, ia bergabung dengan
Ordo Santo Dominikus (Ordo Dominikan) dan menjadi imam Katolik dan biarawan. Ia
belajar di bawah asuhan Albertus Magnus (Albertus Agung). Kemudian, sejak tahun
1252 sampai akhir hayatnya, Aquinas menjadi pengajar di universitas-universitas
di Italia dan Perancis.
Thomas Aquinas hidup pada
jaman tumbuhnya pemikiran Skolastik dan ketokohannya menjadikan dirinya salah
satu pemikir utama Skolastik Barat.[237] Filsafat skolastik adalah pertemuan antara pemikiran
Aristoles yang rasional dan iman Kristen.[238]
Para filsuf skolastik yang lain adalah: Boethius (480-524), Albertus Magnus
atau Albertus Agung (1206-1280), Johanes Fidanza atau Bonaventura (1221-1257),
dan Yohanes Duns Scotus (1266-1308).
Pada dasarnya, skolastik tidak
memisahkan antara filsafat dan teologi Kristen, filsafat merupakan bagian
integral dari teologia Kristen.[239]
Para filsufnya berusaha mempertemukan antara akal dan iman. Pemakaian akal yang
rasional justru membawa pemikiran-pemikiran yang imani.
Selama hidupnya, Thomas Aquinas
mengembangkan pemikiran untuk memperdamaikan pertentangan antara iman dan akal.[240]
Menurut Gaarder, Thomas Aquinas telah ’mengkristenkan’ Aristoteles dengan cara
seperti St. Agustinus ’mengkristenkan’
Plato pada awal abad pertengahan.[241]
Maksudnya, Thomas Aquinas menafsirkan dan menjelaskan pemikiran-pemikiran
Aristoteles dengan cara sedemikian rupa sehingga tidak lagi bertentangan dan
dianggap mengancam dogmatika Kristen.[242]
Filsafat Aristoteles yang serba rasional dimodifikasi sedemikian rupa sehingga
sesuai dengan agama Kristen.
Menurut klasifikasi Hawasi,
pemikiran-pemikiran Thomas Aquinas meliputi beberapa topik di bawah ini:[243]
Tujuan Hidup
Manusia
Baik Aristoteles maupun Aquinas sama-sama memikirkan masalah ”mencapai
hidup yang baik” (euzen). Tujuan
hidup menurut keduanya adalah mencapai kebahagiaan. Perbedaannya, Aristoteles
berpendapat bahwa kebahagiaan itu adalah capaian yang melulu urusan duniawi.
Dan, manusia pada dasarnya tidak bisa mencapainya, hanya mendekatinya saja.
Aquinas memberi masukan baru tentang tujuan kebahagiaan tersebut. Menurut
Aquinas, manusia baru akan bahagia ketika ketemu dengan Tuhan setelah mati.
Artinya, kebahagiaan itu adalah masalah transenden. Dari pemikiran ini,
terlihat bahwa Aquinas berusaha menggiring pemikiran rasional dari Aristoteles
ke arah dogmatika Kristen. Ia mencari kesemaan – soal tujuan mencapai kebahagiaan
– dan kemudian memberi makna baru sesuai ajaran Kristen.
Prinsip tujuan kebahagiaan transendental versi Aquinas ini mempunyai
implimasi pemaknaan baru. Filsafat Aquinas menekankan hal-hal spiritual dan
cenderung menomorduakan kebahagiaan duniawi.
Kemampuan Akal
Manusia
Menurut Thomas Aquinas, manusia adakah mahkluk berakal budi (intellectus) yang mempunyai kemampuan
berpikir tak terbatas.[244]
Karena itu, manusia bisa memikirkan hal-hal yang tidak rasional yang kalau
kemudian menjadi kepercayaan maka disebut sebagai iman. Kaitannya dengan tujuan
hidup bahagia, manusia hanya bisa meraihnya dengan akal dan iman sekaligus.
Manusia dan
Kehendak Bebas
Menurut Franz Magnis Suseno, Thomas Aquinas membedakan dua macam kegiatan
manusia sebagai berikut:[245]
Pertama, ”kegiatan manusia” (actioneshominis) yang secara alamiah
mencakup pula ciri perilaku yang ada pada tumbuhan (vegetatif) dan juga hewan.
Tidak mengherankan jika terkadang perilaku manusia bersifat seperti bitanang
(biadab). Kedua, ”kegiatan manusiawi”
(actiones humanae), yaitu kegiatan
yang dilakukan manusia yang berbeda – lebih tinggi kualitasnya – dibanding mahkluk-mahluk di luar manusia.
Itulah yang menjadi ciri manusia sebagai mahluk yang berakal budi dan
berbudaya, tidak sekedar hidup dengan naluri saja.
Menurut Aquinas, manusia memiliki kehendak bebas. Untuk melakukan atau
tidak melakukan actiones humanae, itu
merupakan sebuah pilihan hidup. Perintah moral yang paling dasar menurut
Aquinas, seperti ditulis dalam Summa
Theologiae, adalah ”Lakukanlah yang baik dan jangan melakukan yang jahat”.[246]
Dengan pemikiran itu, Thomas membawa pemikiran akaliah menjadi imaniah.
Hukum Kodrat
Pandangan Thomas Aquinas tentang kodrat adalah sebagai berikut:[247]
1.
Hukum kodrat adalah hukum yang berasal dari Tuhan.
Dengan demikian, mematuhi hukum kodrat berarti taat kepada Tuhan.
2.
Hukum kodrat adalah prinsip-prinsip aatau norma-norma
moral universal.
3.
Manusia mempunyai kehendak bebas. Ia bebas untuk taat
atau tidak mentaati hukum kodrat yang dari Tuhan itu.
4.
Manusia akan hidup dengan baik bila hidup sesuai
dengan kodratnya. Jadi manusia sebaiknya taat melakukan hukum kodrat itu.
Hati Nurani dan
Suara Hati
Thomas Aquinas membedakan antara hati nurani (synteresis) dan suara hati (conscientia).[248]
Hati nurani adalah perasaan tentang apa yang bernilai luhur, semacam orientasi
dasar yang ada di dalam lubuk hati yang terdalam. Hati nurani ini berasal dari Tuhan dan tidak mungkin
keliru.
Prinsipnya, hati nurani merupakan ”pengetahuan intuitif” tentang
prinsip-prinsip moral. Selanjutnya, hati nurani (synteresis) akan menjadi suara hati (conscientia) yang mengatakan dalam jiwa kita tentang apa yang harus
kita lakukan. Prinsipnya, hati nurani tidak bisa salah, namun suara hati nurani
bisa saja salah.
Konsep tentang
Tuhan
Mengenai Tuhan, Thomas Aquinas melontarkan beberapa pemikiran sebagai
berikut: Pertama, Tuhan adalah aktus murni (actus
purus), artinya Tuhan itu sempurna adanya.[249]
Di dalam diri Tuhan, segala sesuatu telah sampai pada perealisasiannya, antara
hakikat (essentia) dan eksistensi (existentia) adalah identik.[250]
Hal itu berbeda dengan manusia, di mana eksistensi atau keberadaannya merupakan
sesuatu yang ditambahkan pada hakikatnya.
Kedua, Aquinas mengembangkan ”teologia naturalis” yang
mengajarkan bahwa manusia dapat mengenal Tuhan dengan pertolongan akal
pikirannya sendiri.[251]
Artinya, manusia dapat memikirkan tentang Tuhan, membuat konsep tentang Tuhan,
memikirkan sifat-sifat Tuhan dan seterusnya. Setelah mengemukakan
pertanyaan-pertanyaan filosofis mengenai dirinya sendiri misalnya, manusia
kemudian dapat mengembangkan pemikiran tentang Tuhan.
Ketiga, Aquinas memberikan lima bukti dan argumentasi
tentang adanya Tuhan adalah:[252] (1) Argumen Ontologis. Karena semua manusia
mempunyai gagasan tentang Tuhan dan prinsip bahwa realitas itu selalu lebih
sempurna dari pada ide, maka Tuhan itu pasti ada dan realitas-Nya pasti lebih
sempurna daripada apa yang digagas oleh manusia. (2) Argumen Kosmologis. Setiap
akibat pasti mempunyai sebab. Dunia (kosmos) adalah akibat, Tuhan adalah
penyebab adanya kosmos itu. Tuhan adalah pencipta kosmos. (3) Argumen Teleologis. Segala sesuatu pasti memiliki tujuan, misalnya mata
untuk melihat, kaki untuk berjalan. Jadi, pasti ada yang mengkonsep dan
mengatur tujuan-tujuan itu, Dialah Tuhan. (4) Argumen Moral. Manusia adalah
mahkluk bermoral, bisa membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang benar dan
salah. Itu menunjukkan bahwa ada
dasar dan sumber moralitas, dan itu adalah Tuhan. (5) Argumen Teologis. Adanya
geraj di dunia mengharuskan kita menerima bahwa ada penggerak pertama, yaitu
Tuhan.
Keempat, Aquinas merekomendasikan
cara berpikir analogis sebagai jalan untuk memahami adanya Tuhan. Aquinas memperlihatkan
3 jalan (tripleex via) untuk memahami
Tuhan secara analogis adalah:[253] (1) Via Positiva atau Via Affirmativa. Berdasar ”analogi
entis” disimpulkan bahwa ada kesamaan antara manusia dengan Tuhan. Berarti,
segala sifat yang baik pada manusia pasti ada pada Tuhan. (2) Via Negativa. Berdasar pemikiran bahwa
ada perbedaan antara manusia dengan Tuhan, maka disimpulkan bahwa hal-hal yang
buruk pada manusia pasti tidak ada dalam diri Tuhan. (3) Via Eminentiae. Prinsipnya, apa yang baik dalam diri manusia pasti
ada dalam diri Tuhan, dan pasti ada lebih baik dalam diri Tuhan yang sempurna.
Kosmologi
Mengenai penciptaan alam semesta, Aquinas berpendapat bahwa Tuhan adalah
Sang Pencipta. Aquinas mengajarkan prinsip ”creatio
ex nihilo”, artinya adalah ”penciptaan dari yang tidak ada menjadi ada”.
Jadi, dunia ini (ciptaan) tidak diadakan dari semacam bahan dasar yang sudah
tersedia lebih dulu, entah bahan itu adalah Tuhan sendiri maupun bahan lain
disamping Tuhan. Kecuali itu, penciptaan adalah perbuatan Tuhan yang terus
menerus (creatio continua atau creatio conservatio).[254]
Artinya, Tuhan adalah Sang Pencipta untuk selamanya dan Ia senantiasa
memelihara segala sesuatu yang diciptakannya.
Antropologi
Dalam memandang masalah manusia, Aquinas menyempurnakan pemikiran
Aristoteles dan menolak pemikiran Plato. Aquinas menekankan bahwa manusia
terdiri dari tubuh dan jiwa. Namun, ia tidak setuju dengan Plato yang
mengajarkan bahwa antara jiwa dan tubuh tidak berhubungan dan masing-masing
berdiri sendiri-sendiri.
Menurut Aquinas, terdapat nisbah (pertautan) antara jiwa (bentuk) dan tubuh
(materi). Hubungan jiwa dan tubuh juga merupakan hubungan antara aktus
(perealisasian) dan potensi (bakat). Manusia merupakan satu substansi di mana
jiwa menjadi bentuk badan (anima forma
corporis).[255]
Neo-Thomisme
Pada awal abad 20, pemikiran Thomas Aquinas (Thomisme) dibangkitkan kembali
oleh filsuf bernama Jacques Maritain (lahir tahun 1882). Murid dari Henri
Bergson ini menjadi penganut Roma Katolik yang taat pada tahun 1906. Ia
mengajar di Institut Katolik di Paris (1914-1940). Kemudian, ia menjadi
profesor filsafat di Colombia University (1940-1941),
menjadi proferos filsafat di Ecole Libre
des Hautes Etudes di New York (1945-1948). Akhirnya, setelah mengajar
filsafat di Princeton University,
Maritain emiritus sejak pada tahun 1953.
Usaha Maritain membangkitkan kembali Thomisme dikenal dengan istilah
Neo-Thomisme. Pada dasarnya, ia mengajarkan bahwa semua masalah filsafat modern
sekarang (teori-teori sains, filsafat sosial dan politik, dan filsafat seni)
ini harus dipahami dengan prinsip-prinsip filsafat Thomas Aquinas.[256]
Dalam menjelaskan pemikiran-pemikirannya, Maritain telah menulis lebih dari
20 buku. Beberapa di antaranya adalah: Art and Scolasticism (1932), Degrees of Knowledge (19938), Art and Poetry (1943), Existence and the Existent (1948), The Range of Reason (1952), On the Philosophy of History (1957), dan
The Responsibility of the Artist (1960).
Pada awal abad 20, Neo-Thomisme yang
disebut juga Neo-Skolastikisme berkembang pesat di kalangan filsuf Katolik.[257]
Pada dasarnya, Neo-Thomisme adalah kebangkitan kembali ajaran-ajaran Thomas
Aquinas. Pada tanggal 27 Juli 1914, Paus Pius X mendeklarasikan 24 tesis yang
berisi pemikiran-pemikiran filsafat Thomas Aquinas. Menurut pakarnya,
Neo-Thomisme menjadikan Thomisme sebagai rambu-rambu, namun tidak menjadikannya
sebagai batasan.
Neo-Thomisme pada dasarnya merupakan
pengembangan lanjut dari Thomisme (ajaran Thomas Aquinas). Di dalamnya,
ajaran-ajaran Aquinas diperluas dan dijadikan lebih komprehensif sehingga
menjadi kontemporer dan sesuai dengan tuntutan-tuntutan intelektual masa kini.
Kalau ajaran Thomas Aquinas di masa
silam dirasa terlalu kaku, Neo-Thomisme merupakan modifikasi yang sifatnya
lebih fleksibel dan dinamis. Karena itu, di dalam Neo-Thomisme, beberapa
pemikiran Aquinas yang dianggap salah dan kurang bermanfaat ditinggalkan.
Perbedaan Thomisme
dan Neo-Thomisme
Thomisme (Ajaran Thomas Aquinas) |
Neo-Thomisme |
Pemikiran filsafat Thomas Aquinas yang berkembang pada abad 13. Sifatnya
luas dan rigid. |
Ajaran Thomisme yang diperluas, diperkomprehensif, dibuat kontemporer.
Ajaran Thomisme yang salah dan tak bermenfaat dibuang. |
Thomas Aquinas |
Jacques Maritain, cendekiawan Katolik |
Abad 13 |
Abad 19-20 |
Filsafat Neo-Thomisme untuk
Pendidikan
Ketika Neo-Thomisme dipakai sebagai
landasan pemikiran bagi pengembangan pendidikan, perspektif filsafat itu akan
mewarnai semua unsure-unsur atau komponen-komponen pendidikan.
Komponen-komponen itu mencakup adalah:
(1) tujuan pendidikan, (2) pelaku pendidikan, yaitu: guru dan murid, (3) kurikulum
pendidikan, dan (4) metode
pendidikan.
Tujuan Pendidikan
Neo-Thomisme mengacu pada ajaran Thomas Aquinas yang menekankan tujuan
hidup yang bukan hanya mengejar kebahagiaan duniawi, tetapi kebahagiaan spiritual
yang bersifat transcendental. Pemikiran fillosofis ini sangat bagus sebagai counter atas pola piker dan pola hidup
duniawi yang berkembang pada masa kini. Sekarang orientasi hidup yang bersifat
kapitalistik, hipokrit, tidak adil, hedonistik, dan materialistik berkembang
mewarnai seluruh aspek kehidupan.
Kapitalisme
Perkembangan pesat industrialisasi pada abad 21 telah mengembangkan
filsafat hidup ”positivisme-materislistik” dan gaya hidup
”ekonomi-kapitalistik”.[258]
Orientasi hidup manusia melulu untuk mencari kekayaan material sebanyak mungkin
dengan jalan apapun, bahkan menghalalkan segala cara. Akibatnya, persaingan
ekonomi cenderung mendorong tumbuhnya sistem ekonomi kapitalistik dengan
memonopoli barang-barang produksi mulai dari proses produksi sapai mekanisme
pasar.
Watak kapitalistik adalah melakukan kegiatan produksi secara monopolistik
dengan menguasai pasar untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal
itu menumbuhkan sikap ketidakpedulian para orang kecil. Yang miskin semakin
miskin dan yang kaya akan semakin kaya. Para kapitalis juga menggunakan cara
apapun – tanpa mempertimbangkan aspek-aspek etika – untuk mendulang keuntungan
dari konsumen-konsumennya. Itulah sebabnya, acara-acara televisi misalnya,
tidak bersifat mendidik. Yang penting, masyarakat senang sehingga para produsen
dapat mengeruk keuntungan. Dengan demikian, kapitalisme ini mendorong sebuah
kehidupan yang tidak bermoral tinggi, yang penting adalah ”kenikmatan duniawi”.
Inilah yang dikejar dan dijual oleh para kapitalis.
Kemunafikan Politik
Krisis kehidupan masa kini juga ditandai dengan adanya kemunafikan politik.
Politik sekarang meninggalkan nilai substansial politik, yaitu kecerdasan (shrewdness) dalam mengambil kebijakan,
dan bergeser menjadi kelicikan (slyness).[259] Perilaku ini juga tidak lepas dari semangat ekonomi
kapitalistik yang melanda para pemimpin politik. Mereka memanaatken kedudukan
dan kekuasaannya untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya dengan cara memeras
rakyat dan melakukan korupsi,
Ketidakadilan
Selanjutnya, semangat dan gaya hidup kapitalistik yang memicu
kesewenang-wenangan politik, menyebabkan tumbuhnya kehidupan “hukum rimba” (homo homini lupus). Premanisme
menyebabkan ketidakdilan di dalam masyarakat.
Ketidakadilan menyebabkan berbagai bentuk pemberontakan. Kelompok yang
dirugikan atau ditindas akan melawan dengan cara-cara yang tidak bermoral juga.
Itulah sebabnya tumbuh terorisme. Umat Muslim yang merasa ditindas oleh Amerika
dan kroni-kroninya, melakukan perlawanan dengan melakukan aksi-aksi teror di
seluruh dunia.
Hedonisme-Materialisme
Perubahan dari kehidupan masyarakat agraris ke industri menyebabkan
pergeseran orientasi dari kehidupan spiritual ke kehidupan materialistik. Dalam
kehidupan agraris, sistem-sistem kepercayaan berkembang. Dalam masyarakat
industri yang sarat dengan teknolosi, pemikiran rasional mengedepan dan
orientasi pada materi menjadi sangat kuat. Akibatnya, masyarakat modern
meninggalkan kehidupan beragama.
Bagi masyarakat industri, tujuan hidup bukan lagi “surga” tetapi “dunia”.
Surga telah digantikan oleh segala bentuk kenikmatan material dunia ini.
Akibatnya, manusia berlomba-lomba mengejar kenikmatan dunia. Makan enak, tidur
nyenyak, dan aneka kemewahan materialistik menjadi cita-cita manusia. Akhirnya,
manusia menjadi biadab, tidak berbudaya.
Pelaku Pendidikan:
Pendidik dan Anak Didik
Penggunaan Neo-Thomisme sebagai
landasan filsafat pendidikan mempengaruhi pembentukan pribadi pendidik dan anak
didik. Karakteristik pendidik dan anak didik menurut pandangan neo-thomisme
sebagai berikut: (1) Bertumbuh seimbang dalam pengembangan akal dan iman. (2)
Maksimal dalam pertumbuhan intelektual sehingga bukan hanya memahami hal-hal
yang duniawi namun juga rohani. (3) Menjaga etika dengan menghormati
hukum-humum moral universal sebagai hukum kodrat yang harus ditaati. (4)
Memiliki kepekaan dalam hati nurani dan suara hati sehingga selalu hidup dalam
jalan-jalan moral yang baik.
Dengan demikian, Pendidikan yang unggul dan komprehensif akan dapat
berfungsi memberikan pencerahan (enlightment)
kehidupan dengan membangun multi-kecerdasan pada diri para murid sebagai
berikut:[260] (1) Kecerdasan spiritual, yaitu
memiliki pengetahuan yang enar mengenai hakikat asal mula, tujuan, dan
eksistensi kehidupan sehingga memiliki filsafat hidup spiritual-metafisis. (2)
Kecerdasan intelektual, yaitu menguasai sains secara rasional, tajam, kreatif,
dan inovatif. (3) Kecerdasan emosional, yaitu memiliki pertumbuhan dalam
mentalitas dan karakter yang unggul sebagai mahluk individu dan makhluk sosial
yang bertaggung jawab.
Kurikulum Pendidikan
Mengacu pada Neo-Thomisme,
bahan-bahan ajar dalam pendidikan perlu mencakup topik-topik sebagai berikut:
(1) Sains, baik ilmu pengetahuan alam
maupun ilmu pengetahuan sosial. (2) Filsafat, pemikiran-pemikiran filosofis dan pola-pola pikir rasional yang
logis. (3) Teologi, pelajaran-pelajaran
agama yang dikemas secara ilmiah (akademis). (4) Etika, pengetahuan tentang
moral dan nilai-nilai kebudayaan.
Bagi pendidikan sekuler masa kini, pemakaian
Neo-Thomisme menolong supaya pendidikan tidak terjerat pada ateisme karena
tetap menekankan iman kepada Tuhan. Kecuali itu, Neo-Thomisme juga menjaga
pengembangan pendidikan untuk tidak menjadi post-modernistik yang tidak
menghargai meta-narasi. Posmodernisme adalah pemikiran tentang pluralisme
kebudayaan yang bersifat relativistik.[261]
Sedangkan meta-narasi adalah kebenaran-kebenaran universal seperti halnya
filsafat dan agama.[262]
Metode Pendidikan
Penggunaan Neo-Thomisme
sebagai dasar filsafat mempengaruhi pemilihan metode-metode yang akan dipakai
dalam proses belajar-mengajar. Metode-metode yang sesuai adalah sebagai
berikut: (1) Metode-metode yang menggunakan kreatifitas akali, misalnya diskusi
ilmiah dan penelitian ilmiah. (2) Metode-metode yang memancing kreatifitas,
misalnya metode penemuan gagasan baru dan studi kasus.
Sesuai pengajarannya yang mengatakan bahwa hal-hal
rohani dapat dipahami melalui pemikiran rasioal, metode-metode ilmiah dapat
dipakai untuk menjelaskan hal-hal rohani. Sebagai contoh, untuk menjelaskan
sorga atau neraka, dapat dipakai metode-metode dan juga alat-alat peraga yang
rasional.
Neo-Thomisme dan PAK
Karya-karya Thomas Aquinas diakui
sebagai karya-karya terpenting dari seluruh kesusastraan Kristiani.[263] Semua karyanya dikumpulkan dalam
34 jilid. Karya utamanya adalah Summa
Theologiae I-III, tetapi untuk
penerapannya dalam Pendidikan Agama Kristen (PAK), harus ditinjau secara kritis
dari sudut pandang Alkitab tanpa mengurangi apresiasi terhadap kontribusinya
dalam kesusastraan Kristiani.
Konsep PAK
Untuk melihat bagaimana posisi PAK terhadap filsafat (dan juga sains),
harus dipahami terlebih dahulu konsep tentang PAK itu sendiri. Werner Graendorf
memberi gambaran sebagai berikut:
Pendidikan
Kristen adalah proses belajar-mengajar yang berdasar Alkitab, dikuatkan
[didorong] oleh Roh Kudus, yang membimbing orang percaya dalam setiap tahapan
pertumbuhan rohaninya, melalui pengajaran yang kontemporer; yang mengarah pada
pemahaman dan pengalaman akan tujuan dan rencana Tuhan di dalam Kristus dalam
setiap aspek kehidupan, dan yang memperlengkapi mereka (anak didik) untuk
melayani secara efektif; dengan berpusat pada Kristus sebagai Guru Agung dan
perintah untuk melakukan pemuridan).[264]
Meskipun PAK merupakan proses pendidikan kontemporer, ciri yang membedakan
dengan pendidikan sekuler, salah satunya, adalah penggunaan Alkitab sebagai
dasar pengetahuan. Alkitab bukan hanya sebagai bahan ajar namun sumber dari
segala sumber pengatahuan atau epistemology yang dipegang.
Dengan demikian PAK yang Alkitabiah tidak dibangun di atas dasar filsafat
yang merupakan buah pikiran manusia. Namun, dasar PAK adalah Alkitab yang
adalah buah pikiran Tuhan. PAK bertolak dari prinsip bahwa Alkitab adalah
Firman Tuhan tanpa salah (inerrancy).
Tinjauan Alkitab terhadap Neo-Thomisme
Merunut dari prinsip di atas, Neo-Thomisme
yang merupakan bentuk filsafat, merupakan buah pikiran manusia. Thomisme
sendiri merupakan pengembangan pemikiran dari filsafat Aristoteles. Meskipun
bukan tidak mungkin Aquinas menerima penerangan (iluminasi) Roh Kudus pada saat
melakukan perenungan filsafat, harus dipegang prinsip bahwa Neo-Thomisme
bukanlah Firman Tuhan.
Karena itu, meskipun mengapresiasi
pemikiran Neo-Thomisme, para pendidik dalam PAK perlu mengkritisi pemikiran
tersebut. Pemikiran-pemikiran Neo-Thomisme yang pararel dengan Alkitab bisa
diadopsi. Namun, beberapa hal lain harus ditinjau ulang dan dikoreksi. Sebagai
contoh, adalah pemikiran tentang penciptaan dan tentang hakikat mansia.
Penciptaan Kosmos
Aquinas mengajarkan prinsip ”creatio
ex nihilo”, artinya adalah ”penciptaan dari yang tidak ada menjadi ada”.
Pandangan ini sangat Injili, waktu Allah menciptakan, Ia tidak memakai sesuatu
bahan yang telah ada, sebelum penciptaan tak ada fenomena keberadaan apapun.[265]
Prinsip penciptaan itu terungkap jelas dalam kitab
Kejadian. Kata bara yang dipakai
dalam Kejadian 1:1, 21, 27 tidak mengandung pengertian memakai maeri yang telah
ada. Kata bara sama dengan asa yang berarti melakukan atau membuat
(Kej. 1:25; Kel. 20:11; Neh. 9:6).
Dengan demikian Neo-Thomisme memberi
sumbangsih besar bagi penumbuhan iman tentang Tuhan Sang Pencipta. Ajaran
Thomas Aquinas ini perlu dijadikan referensi baik di dalam pendidikan sekuler
maupun dalam PAK. Ini merupakan pengakuan filsafat (pikiran rasional) terhadap
kebenaran Alkitab-Firman Tuhan.
Hakikat Manusia
Padangan Neo-Thomisme tentang manusia perlu dikritisi secara mendalam
menurut perspektif Alkitab. Harus diwaspadai bahwa ajaran Thomisme bertolak
dari ajaran Aristoteles tentang dikotomi manusia: jiwa dan tubuh. Neo-Thomisme
pada dasarnya merupakan pemikiran Katolik. Konsentrasi pada masalah dikotomi
(jiwa dan tubuh) ini menyembabkan tumbuhnya pemikiran baru tentang trikotomi
(roh-jiwa-tubuh). Menurut Charles Ryrie, pandangan dikotomi (jiwa-tubuh) dan
trikotomi (roh-jiwa-tubuh) mempunyai banyak kekurangan, yang tepat adalah
pandangan bahwa manusia terdiri dari dua segi (segi materi dan segi rohani).[266]
Selanjutnya, segi rohani manusia itu
sangat kompleks, mancakup unsur-unsur sebagai berikut:[267] (1) Jiwa (nefesy), pusat berbagai pengalaman rohani dan emosi. (2) Roh (ruakh, pneuma), mengacu pada totalitas dari manusia. (3) Hati,
wadah kehidupan intelektual, emosi, kemauan. (4) Hati nurani (kesadaran),
seperti ”saksi” dalam diri seseorang yang memberitahukan bahwa orang tersebuh
harus melakukan apa yang benar dan menghindari yang salah. (5) Pikiran (fronei, neous, sunesis), kemampuan
mengenal, menganalisis, menilai, dan juga mengambil keputusan. (6) Kehendak,
kemauan, keinginan.
Masalah Akal dan Iman
Kontribusi besar Thomas Aquinas adalah usaha untuk mempertmukan antara akal
dan iman. Bahwasanya hal-hal yang imani sesungguhnya dapat dipahami secara
rasional. Pada tataran tertentu, filsafat seperti itu akan menjaga seseorang
untuk tidak menjadi ateis setelah belajar
banyak tentang sains. Namun, pada titik tertentu, itu bisa mereduksi
kualitas iman Kristen.
Hal-hal rohani yang imani tidak selamanya selalu dapat diterangkan secara
rasional. Usaha merasionalisasikan hal-hal yang hanya bisa dipahami secara iman
seringkali justru mereduksi iman Kristen. Sebagai contoh, ada usaha untuk
menjelaskan (secara rasional) tentang mujizat. Misalnya, tembok Yeriko runtuh
karena teriakan orang-orang Isreal pada waktu itu begitu nyaring (mencapai
sekian desibel) sehingga menimbulkan getaran kuat yang akhirnya merobohkan
tembok. Penjelasan seperti itu justru mengurangi iman bahwa robohnya tembok
saat itu adalah karena mujizat Tuhan. Mujizat Yesus memberi makan pada 5000
orang dengan modal 5 Roti
dan 2 ikan juga pernah dicoba dijelaskan
secara ilmiah. Menurut para sosiolog, multiplikasi makanan itu terjadi karena
ketika Yesus menunjukkan kepada khalayak tentang keberadaan 5 Roti dan 2 ikan itu, tumbuhlah jiwa sosial dan kepedulian sosial
sehingga banyak orang mengeluarkan bekal makanan masing-masing. Nah, setelah
terjadi panggalangan makanan, akhirnya bisa memberi makan untuk 5000 orang.
Penjelasan semacam ini justru meniadakan arti pentingnya mujizat. Demikian juga
penjelasan tentang mengapa Petrus dapat berjalan di atas air. Kalau itu
dijelaskan karena adanya faktor kadar garam tinggi (seperti pada Laut Mati)
berarti menihilkan arti mujizat supranatural yang telah terjadi.
Dengan demikian, keselarasan antara akal dan iman tidak selamanya harus
dipaksakan. Ada hal-hal rohani yang memang bisa dipahami secara akal budi.
Namun ada banyak hal yang hanya bisa diterima dengan iman tanpa harus dikritisi
secara rasional.
Dalam pandangan Alkitabiah, iman itu
berbeda dengan akal, seperti terjelaskan melalui tabel sebagai berikut:
Perbedaan antara
Akal dan Iman
Akal |
Iman |
·
Asal = Pikiran otak manusia ·
Memakai logika dan prosedur ilmiah ·
Analisis empiris-skeptif, membuktikan kebenaran
berdasar fakta ·
Spirit: bertanya dan meragukan segala sesuatu |
·
Asal = Tuhan, Firman Tuhan (Rm. 10:17) ·
Tidak memerlukan bukti fakta (Rm. 4:18; Ibr.
11:1) ·
Spirit : menerima pewahyuan (Firman, Alkitab)
sebagai kebenaran tanpa perbantahan dan keraguan |
Filsafat Pendidikan Pragmatism
(Experimentalism)
Pragmatisme[268]
merupakan sistem filsafat yang dibangun 100 tahun lalu dipandang sebagai filsafat Amerika asli. George F. Kneller mengatakan sebagai filsafat
pribumi orang-orang Amerika.[269]
Sebenarnya bahwa pragmatisme berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang
berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami.[270]
Pragmatisme berasal dari akar kata
bahasa Yunani, artinya “work”. Banyak definisi yang muncul, antara lain sebagai
berikut: Pragmatisme adalah “a philosophy
that encourages us to seek out the processes and do the things that work best
to help us achieve desirable ends”.[271]
William James mendefinisikan sebagai “the
attitude of looking away from first things, principles, categoies, supposed
necessities; and of looking towards last things, fruits, consequences, facts”.[272] Sedangkan Charles S. Pierce mengatakan bahwa pragmatisme merupakan kesatuan
kerja antara pikiran, perbuatan, dan intelek. Ia mengatakan: “pikiran itu hanya
berguna bagi manusia apabila pikiran itu “bekerja” yaitu memberikan pengalaman
(hasil) baginya. Fungsi berpikir tidak lain daripada membiasakan manusia untuk
berbuat. Perasaan dan gerak jasmaniah (perbuatan) adalah
manifestasi-manifestasi yang khas dari aktivitas manusia, dan kedua hal itu
dapat dipisahkan dari kegiatan intelek (berpikir). Jika dipisahkan, perasaan
dan perbuatan menjadi abstrak dan menyesatkan manusia.[273]
Berkaitan hal ini, George R. Knight mengatakan bahwa pragmatisme menekankan
pada pengetahuan yang empiris, merubah dunia bersama persoalan-persoalannya,
dan sifatnya sebagai “all inclusive reality beyond which their
faith in science would not allow them to go”.[274]
Kata kunci untuk menjelaskan pragmatisme adalah “experience” (pengalaman).[275]
Pengalaman itu apa yang diperbuat manusia, dilakukan, dan dipikirkan. Dalam hal
ini, maka John Dewey mengatakan bahwa pengalaman adalah “body of information
and skills we apply intelligently to inquiry”.[276]
Tetapi, George R. Geiger mengatakan kunci pragmatisme adalah teori
pengetahuan dan nilai.[277]
Tokoh-tokoh Pragmatism:[278]
Francis
Bacon (1561-1626) “a New Way of Thinking”
John
Locke (1632-1704) “The Centrality of Experiencee”
Jean-Jacques
Rousseau (1712-1778)
Auguste
Comte (1798-1857) “Science and Society”
Charles
Darwin (1809-1882)
Charles
Sanders Peirce (1839-1914) “The American Pragmatists”
William
James (1842-1910)
John
Dewey (1859-1952)
Realitas, Pengetahuan, dan Nilai
Ada beberapa hal yang menjadi puncak pemikiran pragmatisme adalah:
realitas, pengetahuan dan nilai. “Realitas” merupakan interaksi antara manusia
dengan lingkungannya. Manusia dan lingkungannya berdampingan, dan memiliki
tanggung jawab yang sama terhadap realita.
Dunia akan bermakna sejauh manusia
mempelajari makna yang terkandung di dalamnya. Perubahan merupakan
esensi realitas, dan manusia harus siap mengubah cara-cara yang akan
dikerjakannya. Manusia pada hakekatnya plastis dan dapat berubah.
“Pengetahuan” merupakan akal manusia
aktif dan selalu ingin meneliti, tidak pasif dan tidak begitu saja menerima
pandangan tertentu yang belum dibuktikan kebenarannya secara empirirs. Pikiran
(rasio) tidak bertentangan dan tidak terpisah dari dunia, melainkan merupakan
bagian dari dunia. “Nilai” itu relative.
Keindahan-keindahan moral dan etik tidak tetap, melainkan harus berubah,
seperti perubahan kebudayaan dan masyarakat. Pragmatis menyarankan untuk
menguji kualias nilai dengan cara yang sama seperti seseorang menguji kebenaran
pengetahuan dengan metode empiris. Nilai
moral maupun etis akan terlihat dari perbuatannya, bukan dari segi teorinya.
Jadi pendekatan nilai adalah cara empiris berdasarkan pengalaman-pengalaman
manusia, khususnya kehidupan sehari-hari.[279] Berkaitan hal tersebut, maka George Kneller
mengatakan ada empat point prinsip pragmatisme sebaga berikut: (1) the reaity of change, (2) the essentially social and biological nature
of man, (3) the relativity of values,
dan (4) the use of critical intelligence.[280]
Selanjutnya Redja Mudyahardjo menguraikan tentang filsafat pragmatisme mencakup
sebagai berikut: pertama, metafisika
dengan catatan: (1) Anti metafisika: suatu teori umum tentang kenyataan
tidaklah mungkin dan juga tidak perlu. (2) Kenyataan yang sebenarnya adalah
kenyataan fisik. (3) Segala sesuatu dalam alam dan kehidupan adalah berubah.
Hakikat segala sesuatu adalah perubahan itu sendiri. (4) Hidup adalah sebuah
proses pembaharuan diri sendiri yang terus berlangsung dalam interaksinya
dengan lingkungan. Kedua, adalah
epistemology, mencakup: (a) Pengetahuan adalah relatif, dan terus berkembang.
Pengetahuan yang benar diperoleh melalui pengalaman. (b) Karakteristik
pengalaman adalah pengalaman pertama-tama merupakan peristiwa pasif-aktif, dan
mengukuran nilai suatu pengalaman terletak pada persepsi hubungan-hubungan atau
kontinuitas-kontinuitas yang menyebabkan pengalaman tersebut meningkat. (c)
Pengetahuan yang benar adalah pengalaman yang berguna kehidupan. Ketiga, adalah aksiologi adalah ukuran
tingkah laku perseorangan dan sosial ditentukan secara eksperimental dalam
pengalaman-pengalaman hidup. Dengan demikian tidak ada nilai absolute.[281]
Kebenaran
Teori Pragmatisme (pragmatism theory)
merupakan salah satu dari teori kebenaran.
Pragmatisme berpendapat bahwa
kebenaran tidak bisa bersesuaian dengan kenyataan, sebab seseorang hanya bisa
mengetahui dari pengalamannya saja. Pragmatisme berpendirian bahwa mereka tidak
mengetahui apapun (agnostik) tentang
wujud, esensi, intelektualitas, dan rasionalitas. Oleh karena itu, pragmatisme
menentang otoritarianisme, intelektualisme, dan rasionalisme. Penganut
pragmatisme merupakan penganut empirisme yang fanatik untuk memberikan
interpretasi terhadap pengalaman. Menurut pragmatisme, tidak ada kebenaran yang
mutlak dan abadi. Kerbenaran ini dibuat dalam proses penyesuaian manusia.[282] Schiller, pengikut pragmatisme di Inggris,
mengemukakan bahwa kebenaran merupakan suatu bentuk nilai, artinya apabila
seseorang menyatakan benar terhadap sesuatu, berarti ia memberikan penilaian
terhadapnya. Istilah benar adalah suatu pernyataan yang berguna, sedangkan
istilah salah merupakan pernyataan yang tidak berguna.[283]
Ernest E. Bayles mengatakan kebenaran adalah “one of the great concerns of man is to obtain
insights that are true”[284] tetapi
kebenaran harus diuji melalui interaksi dan melalui pengalaman.
Teori Pragmatis tentang kebenaran
mengatakan bahwa sesuatu itu dianggap benar jika berdasarkan nilai manfaat dari
pengetahuan atau kebenaran itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Contoh:
orang perlu percaya kepada Yesus karena ada dampak dalam kehidupan. Yesus
membuat mampu orang yang percaya menghadapi masalah secara berkemenangan.
Pragmatisme tentang Pendidikan
Pragmatisme sangat mempengaruhi pada abad 21 dalam pespektif teori dan
praktek. Bahkan juga sangat mempengaruhi dunia pendidikan, secara langsung
maupun tidak langsung, melalui perumusan kembali sistem pendidikan, pendidikan
masa depan, dan pendidikan kemanusiaan. Contohnya pragmatisme pendidikan
mempengaruhi sebagian besar pendidikan
di Amerika dengan gagasan adalah “yang menanggapi kepentingan masyarakat
sebagai unsur terpenting dalam pendidikan. Inilah yang dinamakan pendidikan
yang community-centered, dimana
diusahakan agar peserta didik mempunyai pengertian yang baik-baiknya mengenai
alam sekelilingnya dan juga agar pada diri peserta didik terpupuk rasa cinta
dan setia pada cita-cita demokrasi sebagaimana dijunjung tinggi dan dipraktekan
di negerinya. Dan menjadi ciri khas pendidikan di Amerika yaitu bahwa titik
berat pengajaran terletak pada belajar dalam kumpulan (kelompok) dan kerjasama.
Yang dipelajari biasanya adalah suatu topik.”[285]
Berkaitan di atas, maka John Dewey (1859-1952), salah pendiri filsafat
pragmatisme Amerika (selain Charles
Sandre Peirce; 1839-1914 dan William
James; 1842-1910), yang mengembangkan teori pendidikan dalam perspektif
pragmatisme. Ia mengatakan bahwa pendidikan adalah konservatif dan “unfolding
theory” (teori pemerkahan).[286]
Konservatif mengatakan bahwa pendidikan adalah sebagai suatu pembentukan
terhadap pribadi anak didik tanpa
memperhatikan kekuatan-kekuatan atau potensi-potensi yang ada dalam diri
anak didik. Pendidikan akan menentukan
segalanya. Hal itu dikarenakan pendidikan merupakan suatu proses pembentukan
jiwa dari luar, di mana mata pelajaran telah ditentukan menurut kemauan
pendidik, sehingga anak didik tinggal menerima saja.[287]
“Unfolding theory” adalah anak akan
berkembangn dengan sendirinya, di mana perkembangan anak didik telah memiliki
tujuan yang pasti. Tujuan yang dimaksud selalu digambarkan sebagai suatu yang
lengkap dan pasti.[288]
Proses Pendidikan
Pemahaman-pemahaman pendidikan di atas, bagi pragmatisme, perlu melalui
proses pendidikan dengan memperhatikan dua segi, yaitu: psikologi dan
sosiologis. Dari segi psikologis, pendidik harus dapat mengetahui tenaga-tenaga
atau daya-daya yang ada pada anak didik yang akan dikembangkan. Psikologinya
seperti yang berpengaruh di Amerika, yaitu psikologis, pendidik harus
mengetahui ke mana tenaga-tenaga itu harus dibimbingnya. Dewey mengatakan bahwa
tenaga-tenaga itu harus diabadikan pada kehidupan sosial, jadi mempunyai tujuan
sosial. Maka pendidikan adalah sosial dan sekolah adalah suatu lembaga sosial.
Pendidikan adalah alat kebudayaan yang paling baik. Dengan pendidikan sebagai
alat, manusia dapat menjadi “The Master, not the slaves of social as well as
other kinds of natural change”.[289]
Kedudukan Pendidikan
Pragmatisme mempunyai model-model kedudukan pendidikan. Dewey melihat bahwa
kedudukan pendidikan bisa dilihat dari berbagai model sebagai berikut:[290] Pertama, adalah education as a necessity of life. Pendidikan berorientasi kepada
kebutuhan hidup anak didik. Kedua, education as a social fungstion. Pendidikan menyiapkan anak didik dewasa hidup
di tengah sosialnya. Ketiga,
adalah education as direction. Pendidikan mengarahkan pencapaian tujuan anak
didik pada kehidupan masa depan yang telah direncanakan. Keempat, education as growth.
Pendidikan mengarahkan anak didik menjadi bertumbuh dalam segala hal khusunya
dalam aspek psikologis dan sosiologis. Kelima, adalah education as preparation. Pendidikan membentuk karakter-karakater
yang lemah menjadi kuat dan yang kuat menjadi berprestasi. Keenam, adalah education as unfolding. Pendidikan yang
menjadikan anak didik berkembang dengan sendirinya. Ketujuh,
adalah education as training of faculties.
Pendidikan yang menyiapkan sumber daya staf. Kedelapan, adalah education
as formation. Pendidikan yang membentuk
formasi yang dibutuhkan oleh tujuan pendidikan. Kesembilan, adalah education
as recapitulation and retrospection. Pendidikan yang mengarhkan kepada
pemikirna-pemikiran reflektif. Kesepuluh,
adalah education as reconstruction. Pendidika yang mengarahkan pembangunan
kembali dasar-dasar yang dimaksud oleh tujuan pendidikan. Kesebelas, adalah education
as national and as social. Pendidikan yang menyiapkan anak didik siap
mandiri di tengah masyarakat atau sosialnya.
Proses Pendidikan Pragmatisme
Proses pendidikan pragmatisme mencakup beberapa hal sebagai berikut: tujuan
pendidikan, kurikulum pendidikan, metode pendidikan, pendidik dan anak didik.[291]
Tujuan Pendidikan
Dewey dan paragmatist percaya bahwa “education is necessity of life”.
Pendidikan bukan mempersiapkan seseorang untuk hidup tetapi ia sendiri adalah
hidup. Hidup anak-anak sebagai anak-anak
dan hidup orang dewasa sebagai orang dewasa. Pendidikan membuat anak-anak hidup
dalam lingkungannya dan pendidikan orang
dewasa membuat dirinya tertarik dan memotivasi lingkungannya. Tujuan
pragmatisme menolong anak atau orang dewasa menguasai motivasi diri yang tinggi
dan menaklukan lingkungannya. Dengan demikian bahwa pendidikan dapat
menyelesaikan masalah-masalah lingkungan yang muncul menghadangnya. Pendidikan
dapat melakukan transmitted dari
generasi ke generasi melalui komunikasi lingkungan, aktifitas, pemikiran dan
perasaan dari yang tua ke yang muda.[292]
Sidney Hook merumuskan tujuan pendidikan adalah pendidikan untuk bertumbuh
bersama dalam masyarakat demokrasi.[293]
William Heard mengatakan bahwa tujuan pendidikan: Pertama, adalah mempersiapkan kesempatan untuk hidup. Kedua, adalah mempersiapkan belajar
berpengalaman. Ketiga, adalah
mempersiapkan pertumbuhan karakter.[294]
Sedangkan George R. Geiger mengatakan
bahwa tujuan pendidikan adalah “change in
the experience and conduct of persons (chiefly, but not necessarily, young
persons) engineered by an organized and conscious group – the oral implications
are indeed staggering”.[295]
Dengan demikian bahwa pendidikan itu sangat penting karena elemen tujuan
pendidikan ada beberapa point sebagai berikut: pendidikan merupakan kebutuhan
untuk hidup, pendidikan sebagai pertumbuhan, dan pendidikan sebagai fungsi
sosial. Karena itu, hendaklah tujuan pendidikan memperhatikan: Pertama, adalah ditentukan dari kegiatan
yang didasarkan atas kebutuhan instrinsik anak dididk. Kedua, adalah harus mampu memunculkan suatu metode yang dapat
mempersatukan aktivitas pengajaran yang sedang berlangsung. Ketiga, adalah spesifik dan langsung di
mana pendidikan harus tetap menjaga untuk tidak mengatakan yang berkaitan
dengan tujuan umum dan tujuan akhir.[296]
Dari pemikiran di atas dapat ditajamkan bahwa tujuan pendidikan pragmatisme
adalah: pertama, pendidikan adalah hidup, pertumbuhan sepanjang hidup,
proses rekonstruksi yang berlangsung terus dari pengalaman yang terakumulasi
dari sebuah proses sosial. Kedua,
tujuan pendidikan adalah memperoleh pengalaman yang berguna untuk memecahkan
masalah-masalah baru dalam kehidupan perorangan dan bermasyarakat. Ketiga, tujuan pendidikan tidak
ditentukan dari luar kegiatan pendidikan, tetapi terdapat dalam setiap proses
pendidikan. Oleh karena itu, tidak ada tujuan pendidikan umum pendidikan atau
tujuan akhir pendidikan.
Kurikulum Pendidikan
Kurikulum pragmatisme menekankan
pada pengalaman sosial. Kurikulum bukan berisi mengenai fakta-fakta, ide-ide
atau isi pengetahuan, tetapi pengalaman yang berkelanjutan baik dalam kelas
maupun di luar kelas. Kurikulum selalu
mengarah pada perubahan dan menjadi jalan pemecahan bagi perbagai persoalan
hidup.[297] Dewey mengatakan bahwa kurikulum bergantung pada definisinya tentang
pendidikan dan pandanganya tentang tujuan pendidikan. Istilah pendidikkan
berkenan dengan proses pemberian “impulse” dan tujuannya adalah meningkatkan
lembaga-lembaga yang membentuk masyarkat. Isi kurikulum adalah mata
pelajaran-mata pelajaran yang memberikan “impulse” kepada anak didik. Isi
tersebut meliputi managemen dan pelaksanaan perusahaan dan industri, IPS dan
IPA, mata pelajaran liberal dan klasikal humanistik dan kesenian. Semua mata
pelajaran diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan.[298] Dengan demikian maka kurikulum mencakup sebagai
berikut: pertama, kurikulum berisi
pengalaman-pengalaman yang telah teruji serta minat-minat dan
kebutuhan-kebutuhan anak didik. Hal terakhir yang menyebabkan perlunya sekolah
membuat kurikulum darurat untuk memenuhi minat dan kebutuhan anak didik. Kedua. pendidikan umum yang
menghilangkan pemisah antara pendidikan umum dan pendidikan praktis.
Kurikulum yang bagus adalah type “core curriculum” ialah sejumlah
pengalaman belajar di sekitar kebutuhan umum. Oleh karena tidak adanya standar
yang universal, maka kurikulum harus terbuka dari kemungkinan untuk dilakukan
peninjauan dan penyempurnaan.[299] Karena
itu, sifat kurikulum haruslah fleksibilitas. Dengan demikian, maka kurukulum dapat membuka kemungkinan bagi pendidikan untuk memperhatikan tiap anak
didik dengan sifat-sifat dan kebutuhannya masing-masing. Selain ini semuanya
diharapkan dapat sesuai dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Oleh karena
sifat kurikulum yang tidak beku dan dapat direvisi ini, maka jenis yang memadai
adalah kurikulum yang berpusat pada pengalaman. Jenis ini dilukiskan oleh
Theodore Brameld sebagai kurikulum yang melepaskan semua garis penyekat mata
pelajaran dan menekankan pada unit-unit.[300]
Metode Pendidikan
Metode pendidikan pragmatism adalah berpikir reflektif atau metode pemecahan
masalah yang dihadapinya. Metode tersebut mempunyai langkah-langkah sebagai
berikut: penyadaran suatu masalah, observasi kondisi-kondisi yang hadir, perumusan dan elaborasi tetang suatu
kesimpulan, dan pengetesan melalui
eksperimen. Berkaitan hal tersebut, Dewey mengatakan bahwa semua pendidikan
yang sejati muncul melalui pengalaman. Meskipun begitu, maka tidaklah cukup
untuk tetap bertahan pada perlunya pengalaman saja dan tidak juga pada perlunya
aktivitas dalam pengalaman, tetapi segala sesuatu tergantung pada kualitas
pengalaman yang dimiliki yang bersangkutan. Jadi, urusan pendidikan adalah
mengatur jenis pengalaman yang, meski pengalaman itu tidak menarik anak didik,
melibatkan aktivitas anak didik yang dirasakan, dan meningkatkan pengalaman
pada masa depan yang diinginkan.[301]
Pendidik dan Anak Didik
Peranan pendidikan dan anak didik merupakan suatu hal sangat penting dalam
proses pendidikan pragmatisme. Kegiatan tersebut sebagai berikut: pertama, adalah pendidik sebagai “research-project director” (the chairman of the board of directors of a
learning industry).[302] Pendidik
mengawasi dan membimbing pengalaman belajar tanpa terlampau banyak mencampuri
urusan minat kebutuhan anak didik.Semua itu dikarenakan pendidik bukan
pendidikan yang tradisional melainkan
dia tidak hanya mengetahui yang
anak didik butuhkan untuk masa depannya melainkan ia memberi pengetahuan dasar
kepada anak didik untuk melakukan
perubahan.
Kedua, adalah anak didik adalah suatu organisasi yang
rumit yang mampu tumbuh. George Knight
mengatakan bahwa anak didik
adalah seseorang yang mempunyai pengalaman secara individu yang mampu
menggunakan intelektualnya dalam memecahkan berbagai persoalan.[303]
Pengalaman itu diperoleh dalam pembelajaran kurikulum, lingkungan sekolah, merumuskan
ide-ide dan merumuskan kebenaran yang diterapkan dalam kehidupannya
sehari-hari. Penerapan pengalaman itulah
proses kreatif yang terjadi dalam pembelajaran.[304]
Ketiga, adalah konsep pembelajaran dimulai dari
ketertarikan anak didik terhadap sesuatu yang hendak dibelajarkannya. Sifat
belajar adalah melakukan perubahan tingkahlaku sesuai dengan tujuan yang sudah
ditentukan oleh anak didik. Belajar merupakan proses perubahan untuk mencapai
tujuan yang dimaksud atau yang sudah direncanakan oleh anak didik.[305]
Pendekatan
Pengalaman terhadap Persoalan Pendidikan
Pendekatan-pendekatan Pengalaman
Pendekatan-pendekatan pengalaman
dapat menolong berbagai persoalan pendidikan yang sering dihadapinya oleh
kelompok-kelompok pluralism, growth, dan the use of intelligence. Pendekatan
pengalaman dapat dilakukan dengan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, adalah meletakan konsep perubahan arti dan akhir
dari pendidikan. Pendekatan pengalaman harus dapat melakukan perubahan dengan
leluasa, tanpa diberi beban rintangan di dalamnya.
Kedua, adalah demokrasi pendidikan membuat pendidik
tidak memandang anak didik adalah mempunyai posisi apa, sehingga pluralisme
akan dapat bertumbuh bersama dengan pengalaman-pengalaman yang dimiliki setiap
pembelajaran. Karena demokrasi pendidkan mengasumsikan bahwa semua laki-laki
maupun semua perempuan adalah anak didik. Ernest E. Bayles mendefinisikan
demokrasi adalah: “equality of
opportunity on the part of the members to participate in he establishment of
whatever rules and regulations (or law) are deemed needful, and equality of
obligation to abide by them until they are abolished or changed.”[306]
Obyek demokrasi perlunya fokus terhadap: belajar berpikir, merefleksikan
pemikiran diri sendiri, merefleksikan
pengajaran, dan mencari solusi terhadap berbagai masalah yang dihadapi.
Ketiga, memberi pemahaman arti bahwa pendidikan liberal
yang dianut oleh pragmatisme adalah menolong anak didik berpikir bebas
(terbuka), bukan berpikir dengan rasa takut karena ketidakcocokan pamahaman
dengan pendidiknya atau lingkungannya. Di sini ada toleransi proses
belajar-mengajar yang cukup tinggi antara pendidik dengan anak didik sehingga
terjadi proses kreatifitas berpikir yang meluas dan tajam.[307]
Kriteria Pengalaman
Dewey menekankan kriteria pengalaman sebagai berikut:[308]
pertama, adalah kategori
kesinambungan atau rangkaian kesinambungan pengalaman (experinal continuum). Prinsip ini dilibatkan karena ada usaha untuk
memisahkan antara pengalaman yang secara edukatif bermanfaat dan yang tidak
bermanfaat. Prinsip ini bersandar pada
fakta kebiasaan jika kebiasaan ditafsirkan secara biologis. Ciri dasar
kebiasaan adalah setiap pengalaman yang dimainkan dan dialami mengubah orang
yang bertindak dan mengalaminya, sedangkan perubahan itu mempengaruhi, entah
seseorang inginkan atau tidak, kualitas pengalaman berikutnya. Prinsip ini
membentukan sikap yang emosional dan intelektual.
Kedua, adalah
interaksi merupakan prinsip utama untuk menafsirkan pengalaman dalam
fungsi dan daya pendidikan. Ia menetapkan hak-hak yang sama kepada kedua faktor
dalam pengalaman – kondisi obyektif dan internal. Pengalaman yang normal apa pun merupakan
saling pengaruh dari kedua perangkat kondisi ini. Jika keduanya didekatkan,
atau berada dalam interaski, keduanya membentuk apa yang dinamakan “situasi”.
Interaksi sedang terjadi antara individu, benda, dan orang lain. Konsepsi
tentang situasi dan interaksi tidak terjadi antara individu dan apa yang pada
waktu itu merupakan lingkungan, apakah lingkungan itu terdiri atas orang dengan
siapa dia sedang membicarakan topik atau kejadian tertentu.
Dua prinsip kontinuitas dan interaksi satu sama lain tidak terpisahkan.
Boleh dikatakan bahwa mereka merupakan obyek pengalaman yang bersifat vertikal
dan horizontal. Prinsip interaksi menjelaskan bahwa kegagalannya menyesuaikan
materi dengan kebutuhan dan kapasitas individu dapat menyebabkan pengalaman
menjadi sungguh tidak mendidik sebagaimana gagalnya individu beradaptasi dengan
materi. Namun prinsip kontinuitas dalam aplikasi pendidikan mengandung arti
bahwa masa depan harus diperhitungkan pada setiap tingkat proses pendidikan.
Filsafat Pendidikan
Eksistensialisme
Eksistensialisme, aliran filsafat yang muncul pada abad XX adalah
pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara
mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak
mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran
bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu
yang menurutnya benar.
Eksistensialisme adalah salah
satu aliran besar dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat Barat.
Eksistensialisme mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu
dihadirkan lewat kebebasan. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan
eksistensialisme adalah melulu soal kebebasan. Apakah kebebasan itu?
Bagaimanakah manusia yang bebas itu? dan sesuai dengan doktrin utamanya yaitu
kebebasan, eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap
kebebasan kecuali kebebasan itu sendiri.
Berkaitan di atas, maka Jean-Paul
Sartre, yang terkenal dengan diktumnya "human is condemned to be
free" mengatakan bahwa manusia dikutuk untuk bebas, maka dengan
kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Pertanyaan yang paling sering
muncul sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah: sejauh mana kebebasan tersebut bebas? Apakah eksistensialisme mengenal
"kebebasan yang bertanggung jawab"? Bagi eksistensialis, ketika
kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari
kebebasan dari setiap individu adalah kebebasan individu lain. Tetapi bukan melulu harus menjadi seorang
yang lain-daripada-yang-lain,
Eksistensialis sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang
berada diluar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun
yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan
atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan
adalah inti dari eksistensialisme. Sebagai contoh: seseorang akan terjun ke
berbagai profesi seperti: dokter, desainer, insinyur, pebisnis dan sebagainya,
tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah: apakah kita menjadi dokter atas keinginan
orang tua, atau keinginan sendiri.
Tokoh-tokoh Existentialism:[309]
Soren Kierkegaard (1813-1855)
Martin Buber (1878-1965)
Martin Heidegger (1889-1976)
Jean-Paul Sartre (1905-1980)
Existentialism in Modern Life:
Edmud Husserl (1859-1938)
Maurice Merleau-Ponty (1908-1961)
Pokok Pemasalahan
- Apa filsafat
eksistensialisme itu?
- Bagaimana ciri-cirinya?
- Apa saja konsep-konsep yang
ditawarkan filsafat eksistensialisme?
- Siapa saja tokoh-tokohnya?
- Bagaimana implikasinya
terhadap pendidikan?
Ciri- ciri Eksistensialisme
Meskipun terdapat perbedaan-perbedan yang besar antara para pengikut aliran
ini, tetapi ada tema-tema yang sama
sebagai ciri khas aliran Eksistensialisme sebagai berikut:
1.
Eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes
terhadap rasionalisme dan masyarakat modern, khususnya terhadap idealisme
Hegel.
2.
Eksistensialisme adalah suatu proses atas nama
individualis terhadap konsep-konsep, filsafat akademis yang jauh dari kehidupan
konkrit.
3.
Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap
alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman industri modern dan
teknologi, serta gerakan massa.
4.
Eksistensialisme merupakan protes terhadap
gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fasis, komunis, yang cenderung
menghancurkan atau menenggelamkan perorangan di dalam kolektif atau massa.
5.
Eksistensialisme menekankan situasi manusia dan
prospek (harapan) manusia di dunia.
6.
Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan
pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung.
Konsep-konsep Filsafat Eksistensialisme
Realitas
Eksistensialisme merupakan filsafat yang memandang segala gejala berpangkal
pada eksistensi. Eksistensi adalah cara manusia berada di dunia. Cara berada
manusia berbeda dengan cara beradanya benda-benda materi. Keberadaan
benda-benda materi berdasarkan ketidaksadaran akan dirinya sendiri, dan juga
tidak terdapat komuikasianatara satu dengan yang lainnya. Tidak demikian halnya dengan beradanya manusia.
Manusia berada bersama dengan manusia lainnya sama sederajat.. benda-benda
materi akan bermakna karena manusia.
Eksistensialisme berasal dari pemikiran Soren Kierkegaard. Inti masalah
yang menjadi pemikiran eksistensialisme adalah sekitar adalah: Apa kehidupan
manusia? Apa pemecahan yang konkret terhadap persoalan makna “eksis“ (berada)?
Bagi ekistensialisme, benda-benda materi, alam fisik, dunia yang berada di
luar manusia tidak akan bermakna atau tidak memiliki tujuan apa-apa kalau
terpisah dengan manusia. Jadi dunia ini bermakna karena manusia.
Eksistensialisme mengakui bahwa apa yang dihasilkan sains cukup asli,
tetapi tidak memiliki makna kemanusian
secara langsung.
Di antara pandangan eksistensialisme
sebagai berikut: (a) Motif pokok dari flsafat eksistensialisme adalah
apa yang disebut ‘eksistensi’, yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang
bereksistensi. Pusat perhatian ini ada pada manusia. Oleh karena itu, bersifat
humanistis. (b) Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi
berarti menciptakan didinya secara aktif, berbuat, menjadi, dan merencanakan.
(c) Manusia dipandang sebagai makhluk
terbuka, realitas yang belum selesai, yang masih dalam proses menjadi. Pada
hakikatnya manusia teriakat pada dunia sekitarnya, terlebih lagi terhadap
sesama manusia. Eksistensialisme memberi tekanan
pada pengalaman yang konkrit, pengalaman yang eksistensial.
Pengetahuan
Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat
fenomenologi, suatu pandanga yang menggambarkan penampakan benda-benda dan
peristiwa-peristiwa sebagaimana benda-benda tersebut menampakkan dirinya
terhadap kesadaran manusia. Pengetahuan manusia tregantung pada interpretasi manusia
terhadap realitas.
Pengetahuan yang diberikan di sekolah bukan sebagai alat untuk memperoleh
pekerjaan atau karir anak, melainkan untuk dapat dijadikan alat untuk
merealisasikan diri, bukan merupakan suatu disipilin yang kaku di mana anak
harus patuh dan tunduk terhadap isi pelajaran tersebut. Biarkanlah pribadi anak
berkembang untuk menemukan kebenaran-kebenaran dalam kebenaran.
Nilai
Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai, menekankan kebebasan dalam
tindakan. Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri,
melainkan merupakan suatu potensi untuk suatu tindakan. Manusia memiliki
kebebasan untuk memilih, tetapi
menentukan pilihan-pilihan di antara pilihan-pilihan yang terbaik adalah
yang paling sukar. Berbuat akan menghasilkan akibat, di mana seseorang harus
menerima akibat-akibat tersebut sebagai pilihannya. Kebebasan tidak pernah
selesai, karena setiap akibat akan melahirkan kebutuhan untuk pilihan
berikutnya. Tindakan moral mungkin dilakukan untuk moral itu sendiri, dan mungkin
juga untuk suatu tujuan. Apabila seseorang mengambil tujuan kelompok atau
masyarakat, maka ia harus menjadikan tujuan-tujuan tersebut: sebagai miliknya, sebagai tujuannya sendiri,
yang harus ia capai dalam setiap situasi. Jadi, tujuan diperoh dalam situasi.
Pemikiran Ringkas Tokoh Eksistensialisme
Adapun pemikiran ringkas para tokoh aliran filsafat eksistensialisme
sebagai berikut:
1.
Soren Aabye Kiekeegaard: Inti pemikirannya adalah eksistensi manusia bukanlah
sesuatu yang statis tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari
kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat
ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa
yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan.
2.
Friedrich Nietzsche: Menurutnya, manusia yang berkesistensi adalah manusia
yang mempunyai keinginan untuk berkuasa (will
to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental
majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan
penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan
menemukan dirinya sendiri.
3.
Karl Jaspers: Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia
kepada dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang
menggunakan semua pengetahuan obyektif serta mengatasi pengetahuan obyektif
itu, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri. Ada dua fokus pemikiran
Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.
4.
Martin Heidegger: Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara
keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu
dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia
baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena itu benda-benda
yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan
mereka.
5.
Jean Paul Sartre: Menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah
diciptakan mempunyai kebebasan untuk menentukan dan mengatur dirinya. Konsep
manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar
dan bebas bagi diri sendiri.
Eksistensialisme dalam Pendidikan
Dalam Konteks Relative
1.
Secara relative,
eksistensialisme tidak begitu dikenal dalam dunia pendidikan, tidak
menampakkan pengaruh yang besar pada sekolah. Sebaliknya, penganut eksistensialisme kebingungan
dengan apa yang akan mereka temukan melalui pembangunan pendidikan. Mereka
menilai bahwa tidak ada yang disebut pendidikan, tetapi bentuk propaganda untuk
memikat orang lain.
2.
Mereka menunjukkan bahwa bagaimana pendidikan
memunculkan bahaya yang nyata. Sejak penyiapan murid sebagai konsumen atau
menjadikan mereka penggerak mesin pada teknologi industri dan birokrasi modern.
Malahan sebaliknya pendidikan tidak membantu membentuk kepribadian dan
kreativitas, sehingga para eksistensialis mengatakan, sebagian besar
sekolah melemahkan dan mengganggu atribut-atribut esensi kemanusiaan.
3.
Mereka mengkritik kecenderungan masyarakat masa kini
dan praktik pendidikan bahwa ada pembatasan realisasi diri karena ada tekanan
sosio-ekonomi yang membuat persekolahan hanya menjadi pembelajaran peran
tertentu.
4.
Sekolah menentukan peran untuk kesuksesan ekonomi
seperti: memperoleh pekerjaan dengan gaji yang tinggi dan menaiki tangga menuju
ke kalangan ekonomi kelas atas; sekolah juga menentukan tujuan untuk menjadi
warga negara yang baik, juga menentukan apa yang menjadi kesuksesan sosial di
masyarakat. Siswa diharapkan untuk belajar peran-peran ini dan berperan dengan
baik pula. Dalam keadaan yang demikian, kesempatan bagi pilihan untuk
merealisasikan diri secara asli dan autentik menjadi hilang atau sangat
berkurang.
Dalam Konteks Filosofis
Secara filosofis, hal tersebut merupakan pemberontakan terhadap cara hidup
individu dalam budaya populer. Harapan kaum eksistensialis, individu
menjadi pusat dari upaya pendidikan. Maka, sebagaimana dikatakan oleh Van Cleve
Morris bahwa penganut eksestensialis dalam pendidikan lebih fokus untuk
membantu secara individual dalam merealisasikan diri secara penuh melalui
beberapa pernyataan berikut:
1.
Saya sebagai wakil dari kehendak, tidak sanggup
menghindar dari kehendak hidup yang telah ada.
2.
Saya sebagai wakil yang bebas, bebas mutlak dalam
menentukan tujuan hidup.
3.
Saya wakil yang bertanggung jawab, pribadi yang
terukur untuk memilih secara bebas yang tampak pada cara saya menjalani hidup.
Dalam Konteks Psikologi
Dalam konteks psikologi pendidikan menekankan keuntungan dari “diri
sendiri” (self) sebagai berikut:
1.
I am a choosing agent, unable to avoid choosing my way
through life.
2.
I am a free agent, absolutely free to set the goals of
my own life.
3.
I am a responsible agent, personally accountable for
my free choices as they are revealed in how I live my life.[310]
Dalam konteks inilah, maka guru menciptakan suasana belajar bukan hanya di
kelas saja tetapi juga dibawa ke rumah di mana secara individu murid terus
menerus belajar untuk mengembangkan dirinya sendiri (self) di mana ia berada.
Dalam Konteks Pendidikan
Beberapa implikasi filsafat pendidikan eksistensialisme menurut Power:
1.
Tujuan pendidikan: Memberi bekal pengalaman yang luas
dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan.
2.
Status siswa: Makhluk rasional dengan pilihan bebas
dan bertanggung jwab atas pilihannya.
3.
Kurikulum: Yang diutamakan adalah kurikulum liberal.
Kurikulum liberal merupakan landasan bagi kebebasan manusia. Oleh karena itu di
sekolah-sekolah diajarkan pendidiakan sosial, untuk mengajar respek (rasa
hormat) terhadap kebebasan untuk semua. Respek kebebasan bagi yang lain adalah
esensial. Kebebasan dapat menimbulkan konflik.
4.
Peranan Guru: Melindungi dan memelihara kebebasan
akademik, di mana guru pada hari ini, besok lusa mungkin menjadi murid.
5.
Metode: Tidak ada pemikiran yang mendalam tentang
metode, tetapi metode apapun yang dipakai harus merujuk pada cara untuk
mencapai kebahagiaan.
Filsafat Pendidikan Progresivisme
Progresivisme yang lahir sekitar abad ke-20 merupakan filsafat yang
bermuara pada aliran filsafat pragmatisme yang diperkenalkan oleh William James
(1842-1910) dan John Dewey (1859- 1952), yang menitikberatkan pada segi manfaat
bagi hidup praktis.
Prinsip Progressivisme
Progressivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan
kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan
dapat menghadapi masalah yang menekan atau mengecam adanya manusia itu sendiri.
Prinsip Progressivisme mengakui dan berusaha mengembangakan asas Progressivisme
dalam semua realitas, terutama dalam kehidupan adalah tetap survive terhadap
semua tantangan hidup manusia dan harus praktis dalam melihat segala sesuatu
dari segi keagungannya. Berhubungan dengan itu progressivisme kurang menyetujui
adanya pendidikan yang bercorak otoriter, baik yang timbul pada zaman dahulu
maupun pada zaman sekarang.
Pendidikan yang bercorak otoriter ini dapat diperkirakan mempunyai
kesulitan untuk mencapai tujuan, karena kurang menghargai dan memberikan tempat
semestinya kepada kemampuan-kemampuan tersebut dalam proses pendidikan. Pada
hal semuanya itu ibaratkan motor penggerak manusia dalam usahanya untuk
mengalami kemajuan atau progress. Oleh karena itu kemajuan atau progress ini menjadi inti perhatian progressivisme,
maka beberapa ilmu pengetahuan yang
mampu menumbuhkan kemajuan dipandang oleh progresivisme merupakan bagian-bagian
utama dari kebudayaan.
1.
Progresivisme dinamakan instrumentalisme, karena
aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk
hidup, kesejahteraan, mengembangkan kepribadian manusia.
2.
Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran tersebut
menyadari dan mempraktekkan asas eksperimen yang merupakan untuk menguji
kebenaran suatu teori.
3.
Dinamakan environmetalisme karena aliran ini
menganggap lingkungan hidup itu mempengaruhi pembinaan kepribadian.
Dipengaruhi Filsafat Pragmatisme
Filsafat progressivisme dipengaruhi oleh ide-ide dasar filsafat pragmatisme
di mana telah memberikan konsep dasar dengan azas yang utama, yaitu: manusia dalam hidupnya untuk tetap survive
terhadap semua tantangan dan harus
pragmatis memandang sesuatu dari segi manfaatnya. Di sini kita bisa menganggap
bahwa filsafat progressivisme merupakan The
Liberal Road of Culture (kebebasan mutlak menuju kearah kebudayaan)
maksudnya nilai-nilai yang dianut adalah:
- bersifat fleksibel terhadap perubahan,
- toleran
- terbuka sehingga menuntut untuk selalu maju bertindak secara
konstruktif,
- inovatif dan reformatif,
- aktif
- dinamis
Untuk mencapai perubahan tersebut manusia harus memiliki pandangan hidup
yang bertumpu pada sifat-sifat: fleksibel, curious
(ingin mengetahui dan menyelidiki), toleran dan open minded.
Meletakkan Dasar Pendidikan
Filsafat progressivisme telah memberikan kontribusi yang besar di dunia
pendidikan, di mana telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan
kepada peserta didik. Anak didik diberikan kebebasan secara fisik maupun cara
berpikir, guna mengembangakan bakat, kreatifitas dan kemampuan yang terpendam
dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain.
Berdasarkan pandangan di atas maka sangat jelas sekali bahwa filsafat
progressivisme bermaksud menjadikan anak
didik yang memiliki kualitas dan terus maju sebagai generasi yang akan menjawab
tantangan zaman peradaban baru.
Pembahasan
Ontologi
Sifat utama dari pragmatisme mengenai realita. John Dewey, dalam bukunya Creative Intelligence, mengatakan: “….. dengan tepat bahwa tiada teori realita
yang umum.” Di antara kaum pragmatis – jadi progresivis – John Dewey mempunyai
pandangan yang ekstrim, sebab tokoh-tokoh lain tidaklah demikian. Mereka
mengatakan bahwa metafisika itu ada, karena pragmatisme mempunyai konsep
tentang eksistensi. Misalnya, dari sudut eksistensi alam bukanlah diartikan
sebagai pengertian yang substansial, melainkan diartikan atau dipandang dari
sudut prosesnya.
Uraian di atas menunjukkan bahwa ontologi progresivisme mengandung
pengertian dan kualitas evolusionistis yang kuat. Pengalaman diartikan sebagai
ciri dinamika hidup, dan hidup adalah perjuangan, tindakan dan perbuatan.
Manusia akan tetap hidup berkembang, jika ia mampu mengatasi perjuangan,
perubahan dan berani bertindak. Dengan demikian, maka jelaslah,
bahwa selain kemajuan atau progress,
lingkungan dan pengalaman mendapatkan perhatian yang cukup dari progresivisme.
Sehubungan dengan ini, menurut progresivisme, ide-ide, teori-teori atau
cita-cita tidaklah cukup diakui sebagai hal-hal yang ada, tetapi yang ada ini
haruslah dicari artinya bagi suatu kemajuan atau maksud-maksud yang lainnya. di
samping itu manusia harus dapat memfungsikan jiwanya untuk membina hidup yang
mempunyai banyak persoalan dan yang silih berganti.
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh
Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti: Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang
belum membedakan antara penampakan dengan kenyataan. Thales
terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air
merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun
yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu
berasal dari satu substansi belaka sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada
berdiri sendiri.
Epistimologi
Epistemologi (Teori Pengetahuan), dari bahasa Yunani episteme artinya “pengetahuan” dan logos (kata; pembicaraan; ilmu)
adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu
yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya:
tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan. Epistomologi
atau Teori Pengetahuan berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan,
pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya dan pertanggung jawaban atas pernyataan
mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut
diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, di
antaranya: metode induktif, metode
deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.
Tinjauan mengenai realita di atas memberikan petunjuk pragmatisme lebih
mengutamakan pembahasan mengenai epistemologi daripada metafisika. Misal yang
jelas adalah tinjauan mengenai kecerdasan dan pengalaman – yang keduanya tidak
dapat dilepaskan satu sama lain – agar dapat dimengerti arti masing-masing
itu.
Pengetahuan yang merupakan hasil dari aktivitas tertentu diperoleh manusia
baik secara langsung melalui pengalam dan kontak dengan segala realita dalam
lingkungan hidupnya, ataupun pengetahuan yang diperoleh melalui catata-catatan
– buku-buku, kepustakaan.
Selanjutnya bahwa untuk mengetahui teori pengetahuan yang dimaksud, perlu
kiranya menunjau istilah-istilah dan arti seperti induktif, rasional dan
empirik. Induktif merupakan usaha untuk memperoleh pengetahuan dengan mengambil
data khusus terlebih dahulu dan diikuti dengan penarikan kesimpulan secara
umum. Deduktif adalah sebaliknya, artinya dengan pengetahuan yang diperoleh
dengan berlandaskan ketentuan umum yang berupa postulat –postulat dan
spekulatif.
Dalam epistemologi, rasional berarti suatu pandangan bahwa akal adalah
instrument utama bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan. Empirik adalah
sifat pandangan bahwa persepsi indera adalah media yang memberikan jalan bagi
manusia untuk memahami lingkungan. Fakta yang masih murni saja – yang belum diolah
atau disusun – belum merupakan pengetahuan. Sehingga masih membutuhkan
pengorganisasian tertentu dari “bahan-bahan mentah” tersebut. Selanjutnya bahwa
pengetahuan harus disesuaikan dan dimodifikasi dengan realita baru di dalam
lingkungan. Oleh sebab adanya prisip-prinsip epistemologi tersebut di atas,
progresivisme mengadakan pembedaan anatara pengetahuan dan kebenaran.
Pengetahuan adalah kumpulan kesan-kesan dan penerangan yang terhimpun dari
pengalaman yang siap untuk digunakan. Sedangkan kebenaran ialah hasil tertentu
dari usaha untuk mengetahui, memiliki dan mengarahkan beberapa segmen
pengetahuan agar dapat menumbuhkan petunjuk atau penyelesaian pada situasi
tertentu yang mungkin keadaannya kacau.
Dalam hubungan ini kecerdasan merupakan faktor utama yang mempunyai
kedudukan sentral. Kecerdasan adalah faktor yang dapat mempertahankan adanya
hubungan anatara manusia dengan lingkungan, baik yang berwujud lingkungan
fisik, maupun kebudayaan atau manusia. Sementara kaum realis modern, pragmatis,
empirisis logis, atau naturalis mengambil tesis falibilistik bahwa pengetahuan
adalah bersifat kontingen dari perubahan serta kebenaran bersifat relatif
sesuai dengan kondisinya. Dari sini, epistemologi adalah bidang tugas filsafat
yang mencakup identifikasi dan pengujian kriteria pengetahuan dan kebenaran.
Pernyataan kategoris yang menyebutkan bahwa “ini kita tahu” atau “ini adalah
kebenaran” merupakan pernyataan-pernyataan yang penuh dengan makna bagi para
pendidik karena sedikit banyak hal tersebut bertaut dengan tujuan pendidikan
yang mencakup pencarian pengetahuan dan perburuan kebenaran.
Axiologi
Aksiologi berasal dari kata “axios” dan “logos”. Axios
artinya nilai atau sesuatu yang berharga, logos artinya akal, teori. Axiology
artinya “teori nilai, penyelidikan tentang kodrat, kriteria dan status
metafisik dari nilai”. Nilai tidak timbul
dengan sendirinya, melainkan ada faktor-faktor yang merupakan pra syarat. Nilai
timbul karena manusia mempunyai bahasa, sehingga memungkinkan adanya relevansi
seperti yang ada dalam masyarakat pergaulan. Oleh karena adanya faktor-faktor yang
menentukan adanya nilai, maka makna nilai itu tidaklah bersifat eksklusif. Ini
berarti berbagai jenis nilai seperti benar atau salah, baik atau buruk dapat
dikatakan ada bila menunjukkan adanya kecocokan dengan hasil pengujian yang
dialami manusia dalam pergaulan.
Berdasarkan pandangan di atas, progresivisme tidak mengadalkan pembedaan
tegas antara nilai instrinsik dan nilai instrumental. Dua jenis nilai ini
saling bergantung satu sama lain seperti juga halnya pengetahuna dan kebenaran.
Misalnya bila dikatakan bahwa kesehatan itu selalu bernilai baik tidaklah
semata-mata suatu ilustrasi tentang nilai instrinsik. Nilai kesehatan akan
dihayati oleh manusia dengan lebih nyata bila dihubungkan dengan segi-segi yang
bersifat operasional; bahwa kesehatan yang baik akan mendatangkan kesejahteraan
bagi masyarakat.
Hubungan timbal balik dua sifat nilai instrinsik dan instrumental ini –
menyebabkan adanya sifat perkembangan dan perubahan pada nilai. Nilai-nilai
yang sudah tersimpan sebagai bagian dari kebudayaan itu ditampilkan sebagai
bagian dari pengalaman, sedang individu-individu mampu untuk mengadakan
tinjauan dan penentuan mengenai standar sosial tertentu. Karena itu nilai
merupakan bagian integral dari pengalaman dan bersifat relative, temporal dan
dinamis. Maka sifat perkembangannya berdasarkan pada dua hal; untuk diri
sendiri dalam arti kebaikan instrinsik dan untuk lingkungan yang lebih luas
dalam arti kebaikan instrumental.
Aksiologi bisa disebut sebagai the
theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh
perhatian tentang baik dan buruk (good
and bad), benar dan salah (right and
wrong), serta tentang cara dan tujuan (means
and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk
perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka
memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai
kata-kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought / should). Demikianlah aksiologi
terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral
dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
Terdapat dua kategori dasar aksiologis adalah: (1) objectivism dan (2)
subjectivism. Keduanya beranjak dari pertanyaan yang sama: apakah nilai itu
bersifat bergantung atau tidak bergantung pada manusia (dependent upon or independent of mankind)? Dari sini muncul empat
pendekatan etika adalah: dua yang pertama beraliran obyektivis dan dua berikutnya beraliran subyektivis.
Filsafat Pendidikan Perenialisme
Filsafat
ini didukung oleh Idealism. Perenialisme berpendirian bahwa untuk
mengembalikan keadaan yang kacau seperti sekarang ini, jalan yang harus
ditempuh adalah kembali pada prinsip-prinsip umum yang telah teruji. Menurut
prealisme, kenyataan yang kita hadapi adalah dunia dengan segala isinya.
Perenialisme berpandangan bahwa
persoalan nilai adalah masalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia
adalah pada jiwanya. Sesuatu yang dinilai indah haruslah dapat dipandang baik.
Menurut Idealisme ini nilai akan menjadi kenyataan (ada) atau disadari oleh
setiap orang apabila orang yang bersangkutan berusaha mengetahui atau
menyesuaikan diri dengan sesuatu yang menunjukan nilai kepadanya.
Selain orang tersebut mempunyai pengalaman
emosional yang berupa pemahaman dan perasaan senang tidak senang mengenai nilai
tersebut.
Beberapa
pandangan tokoh Perenialisme terhadap pendidikan sebagai berikut:
1.
Program
pendidikan yang ideal harus didasarkan atas paham adanya nafsu, kemauan dan
akal (Plato)
2.
Perkembangan
budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat
untuk mencapainya (Aristoteles)
3.
Pendidikan
menuntun kemampuan-kemampuan yang masih tidur agar menjadi aktif dan nyata (Thomas
Aquinas)
Norma fundamental pendidikan
adalah cinta kebenaran, cinta kebaikan dan keadilan, kesederhanaan dan sifat
terbuka terhadap eksistensi serta cinta kerjasama
Tempat Asal Aliran Perenialisme
Dikembangkan
Di zaman kehidupan modern ini
banyak menimbulkan krisis di berbagai bidang kehidupan manusia, terutama dalam
bidang pendidikan. Untuk mengembalikan keadaan krisis ini, maka perenialisme
memberikan jalan keluur yaitu: berupa
kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji
ketangguhannya. Untuk itulah pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat
perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Jelaslah
bila dikatakan bahwa pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kepada masa
lampau. Karena dengan mengembalikan keapaan masa lampau ini, maka kebudayaan
yang dianggap krisis ini dapat teratasi melalui perenialisme. Dengan demikian
maka ia dapat mengarahkan pusat perhatiannya pada pendidikan zaman dahulu
dengan sekarang. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau
proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang
berpengaruh baik teori maupun praktek bagi kebudayaan dan pendidikan zaman
sekarang.
Dari pendapat ini sangatlah tepat
jika dikatakan bahwa perenialisme mcmandang pendidikan itu sebagai jalan
kembali, yaitu: sebagai suatu proses mengembalikan kebudayaan sekarang (zaman
modern) in terutama pendidikan zaman sekarang ini perlu dikembalikan ke masa
lampau.
Perenialisme merupakan aliran
filsafat yang susunannya mempunyai kesatuan, di mana susunannya itu merupakan
hasil pikiran yang memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap yang
tegas dan lurus. Karena itulah perenialisme berpendapat bahwa mencari dan
menemukan arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat
khususnya filsafat pendidikan. Setelah
perenialisme menjadi terdesak karena perkembangan politik industri yang cukup
berat timbulah usaha untuk bangkit kembali. Di sini bahwa perenialisme berharap
agar manusia kini dapat memahami ide dan cita filsafatnya yang menganggap
filsafat sebagai suatu azas yang komprehensif.
Perenialisme dalam makna filsafat sebagai satu pandangan hidup yang
bcrdasarkan pada sumber kebudayaan dan hasil-hasilnya.
Tokoh-tokoh Perenialisme
Aristoteles: Pendiri Perenialisme
adalah Aristoteles. Kemudian ia didukung dan dilanjutkan oleh St. Thomas
Aquinas sebagai pemburu dan reformer utama dalam abad ke-13. Ia memandang bahwa
kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu
dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan zaman sekarang. Sikap
ini bukanlah nostalgia (rindu akan hal-hal yang sudah lampau semata-mata)
tetapi telah berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut
berguna bagi abad sekarang. Jadi sikap untuk kembali ke masa lampau itu
merupakan konsep bagi perenialisme di mana pendidikan yang ada sekarang ini
perlu kembali ke masa lampau dengan berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan itu
berguna bagi abad sekarang ini.
Plato: Asas-asas filsafat
perenialisme bersumber pada filsafat dan
kebudayaan yang mempunyai dua sayap, yaitu: (1)
perenialisme yang teologis yang ada dalam pengayoman supermasi gereja
Katholik, khususnya menurut ajaran dan interpretasi Thomas Aquinas. (2)
Perenialisme sekular yakni yang berpegang kepada ide dan cita filosofis Plato
dan Aristoteles.
Pendapat di atas sejalan Aristoteles sebagai mengembangkan philosophia perenis,
yang sejauh mana seseorang dapat menelusuri jalan pemikiran manusia itu
sendiri. ST. Thomas Aquinas telah mengadakan beberapa perubahan sesuai dengan
tuntunan agama Kristen tatkala agama itu datang. Kemudian lahir apa yang
dikenal dengan nama Neo-Thomisme. Tatkala Neo-Thomisme masih dalam bentuk awam
maupun dalam paham gerejawi sampai ke tingkat kebijaksanaan, maka ia terkenal
dengan nama perenialisme.
Pandangan-pandangan Thomas
Aquinas di atas berpengaruh besar dalam lingkungan gereja Katholik. Demikian
pula pandangan-pandangan aksiomatis lain seperti yang diutarakan oleh Plato dan
Aristoteles. Lain dari itu juga semuanya mendasari konsep filsafat pendidikan
perenialisme.
Neo-Scholastisisme atau
Neo-Thomisme ini berusaha untuk menyesuaikan ajaran-ajaran Thomas Aquinas
dengan tuntutan abad ke dua puluh. Misalnya mengenai perkembangan ilmu
pengetahuan cukup dimengerti dan disadari adanya. Namun semua yang bersendikan
empirik dan eksprimentasi hanya dipandang sebagai pengetahuan yang fenomenal,
maka metafisika mempunyai kedudukan yang lebih penting. Mengenai manusia di
kemukakan bahwa hakikat pengertiannya adalah di tekankan pada sifat spiritualnya.
Simbol dari sifat ini terletak pada peranan akal yang karenanya, manusia dapat
mengerti dan memaham’i kebenaran-kebenaran yang fenomenal maupun yang
bersendikan religi. Jadi aliran perenialisme dipakai untuk program pendidikan
yang didasarkan atas pokok-pokok aliran Aristoteles dan S.T Thomas Aquinas.
Tokoh-tokoh yang mengembangkan ini timbul dari lingkungan agama Katholik atau
diluarnya.
Pandangan Perenialisme
Ilmu pengetahuan merupakan
filsafat yang tertinggi menurut perenialisme, karena dengan ilmu pengetahuanlah
seseorang dapat berpikir secara induktif yang bersifat analisa. Jadi dengan
berpikir maka kebenaran itu akan dapat dihasilkan melalui akal pikiran. Menurut
epistemologi Thomisme sebagian besarnya berpusat pada pengolahan tenaga logika
pada pikiran manusia. Apabila pikiran itu bermula dalam keadaan potensialitas,
maka dia dapat dipergunakan untuk menampilkan tenaganya secara penuh.
Jadi epistemologi dari
perenialisme, harus memiliki pengetahuan tentang pengertian dari kebenaran yang
sesuai dengan realita hakiki. Hal tersebut dibuktikan dengan kebenaran yang ada
pada diri sendiri dengan menggunakan tenaga pada logika melalui hukum berpikir
metode dedduksi. Pembuktian itu merupakan metode filsafat yang menghasilkan
kebenaran hakiki. Tujuan dari epistemologi perenialisme dalam premis mayor dan
metode induktifnya sesuai dengan ontologi tentang realita khusus.
Penerapannya di Bidang Pendidikan
Anak didik yang diharapkan
menurut perenialisme adalah mampu mengenal dan mengembangkan karya-karya yang
menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karya-karya ini merupakan buah
pikiran tokoh-tokoh besar pada masa lampau. Berbagai buah pikiran mereka yang
oleh zaman telah dicatat menonjol dalam bidang-bidang seperti bahasa dan
sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika, ilmu pengetahuan alam
dan lain-lainnya, telah banyak yang mampu memberikan ilmunisasi zaman yang
sudah lampau.
Dengan mengetahui tulisan yang berupa pikiran dari para ahli yang terkenal
tersebut, yang sesuai dengan bidangnya maka anak didik akan mempunyai dua
keuntungan yakni:
1.
Anak-anak akan
mengetahui apa yang terjadi pada masa lamp au yang telah dipikirkan oleh
orang-orang besar.
2.
Mereka
memikirkan peristiwa-peristiwa penting dan karyakarya tokoi1 terse but untuk
diri sendiri dan sebagai bahan pertimbangan (reverensi) zaman sekarang.
Jelaslah bahwa dengan mengetahui
dan mengembangkan pemikiran karya-karya buah pikiran para ahli tersebut pada
masa lampau, maka: (1) anak-anak didik dapat mengetahui bagaimana pemikiran
para ahli tersebut dalam bidangnya masing-masing. (2) dapat mengetahui
bagaimana peristiwa pada masa lampau tersebut sehingga dapat berguna bagi diri
mereka sendiri. (3) sebagai bahan
pertimbangan pemikiran mereka pada zaman sekarang ini. Hal inilah yang sesuai
dengan aliran filsafat perenialisme tersebut.
Tugas utama pendidikan adalah
mempersiapkan anak didik ke arah kemasakan. Masak dalam arti hidup akalnya.
ladi akal inilah yang perlu mendapat tuntunan ke arah kemasakan tersebut.
Sekolah rendah memberikan pendidikan dan pengetahuan serba dasar. Dengan
pengetahuan yang tradisional seperti membaca, menulis dan berhitung anak didik
memperoleh dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan yang lain.
Sekolah sebagai tempat utama
dalam pendidikan yang mempersiapkan anak didik ke arah kemasakan melalui
akalnya dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan sebagai tugas utama dalam
pendidikan adalah guru-guru, di mana tug as pendidikanlah yang memberikan
pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada anak didik. Faktor keberhasilan
anak dalam akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah
mendidik dan mengajarkan.
Adapun mengenai hakikat pendidikan tinggi ini, Robert Hutchkins mengutarakan
lebih lanjut, bahwa kalau pada abad pertengahan filsafat teologis, sekarang
seharusnya bersendikan filsafat metafisika. Filsafat ini pada dasarnya adalah
cinta intelektual dari Tuhan. Di samping itu, dikatakan pula bahwa karena
kedudukan sendi-sendi tersebut penting maka perguruan tinggi tidak seyogyanya bersifat
utilistis.
Dari ungkapan yang diutarakan
oleh Robert Hutchkins di atas mengenai hakikat pendidikan tinggi itu, jelaslah
bahwa pendidikan tinggi sekarang ini hendaklah berdasarkan pada filsafat
metafisika yaitu filsafat yang berdasarkan cinta intelektual dari Tuhan.
Kemudian Robert Hutchkins mengatakan bahwa oleh karena manusia itu pada
hakikatnya sama, maka perlulah dikembangkan pendidikan yang sama bagi semua
orang, ini disebut pendidikan umum (general education). Melalui kurikulum yang
satu serta proses belajar yang mungkin perlu disesuaikan dengan sifat tiap
individu, diharapkan tiap individu itl! terbentuk atas dasar landasan kejiwaan
yang sama.
Pandangan secara Ontologi
Ontologi perenialisme terdiri
dari pengertian-pengertian seperti: benda individuIl, esensi, aksiden dan
substansi. Perenialisme membedakan suatu realita dalam aspek-aspek
perwujudannya menurut istilah ini. Benda individual di sini adalah benda
sebagaimana nampak dihadapan manusia dan yang ditangkap dengan panca indera
seperti: batu, lembu, rumput, orang
dalam bentuk, ukuran, warna dan aktifitas tertentu. Misalnya bila manusia
ditinjau dari esensinya adalah makhluk berpikir. Adapun aksiden adalah
keadaan-keadaan khusus yang dapat berubah-ubah dan yang sifatnya kurang penting
dibandingkan dengan esensial, misalnya: orang suka bermain sepatu roda, atau
suka berpakaian bagus, sedangkan substansi adalah kesatuan dari tiap-tiap
individu, misalnya: partikular dan uni versal, material dan spiritual. Jadi segala yang ada di alam semesta ini
seperti: halnya manusia, batu bangunan dasar, hewan, tumbuh-tumbuhan dan
sebagainya mempakan hal yang logis dalam karakternya. Setiap sesuatu yang ada,
tidak hanya merupakan kambinasi antara zat atau bend a tapi merupakan unsur
patensialitas dengan bentuk yang merupakan unsur aktualitas sebagaimana yang
diutarakan aleh Aristateles tetapi ia juga merupakan sesuatu yang datang
bersama-sama dari sesuatu “apa” yang terkandung dalam inti (essence) dan
potensialitas dengan tindakan untuk “berada” yang merupakan unsur aktualitas
sebagaimana yang diungkapkan oleh ST. Thomas Aquinas.
Uraian di atas sejalan dengan apa
yang dikatakan I.R Poedjawijatna bahwa esensi dari pada kenyataan itu adalah
menuju ke arah aktualitas, sehingga makin lama makin jauh dari patensialitasnya.
Bila dihubungkan dengan manusia, maka manusia itu setiap waktu adalah
patensialitas yang sedang berubah menjadi aktualitas. Misalnya meskipun manusia
dalam hidupnya jarang dikuasai oleh sifat eksistensi kemanusiaan, tidak jarang
pula dimilikinya akal, perasaan dan kemauannya. Schula ini dapat dikurangi.
Hal-hal yang bersifat partikular yang merintangi kehidupan dapat diatasi. Maka
dengan peningkatan suasana hidup spiritual ini manusia dapat makin mendekatkan
diri kepada gerak yang tanpa gerak itu, ialah tujuan dan bentuk terakhir dari
segalanya.
Jadi dengan demikian bahwa segala
yang ada di alam ini terdiri dari materi dan bentuk atau badan dan jiwa yang
disebut dengan substansi, bila dihubungkan dengan manusia maka manusia itu
adalah patensialitas yang di dalam hidupnya tidak jarang dikuasai oleh sifat
eksistensi keduniaan, tidak jarang pula dimilikinya akal, perasaan dan
kemauannya semua ini dapat diatasi. Maka dengan suasana ini manusia dapat
bergerak untuk menuju tujuan (teleologis) dalam hal ini untuk mendekatkan diri
pada supernatural (Tuhan) yang merupakan pencipta manusia itu sendiri dan
merupakan tujuan akhir.
Pandangan Epistemologis
Perenialisme berpendapat bahwa
segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan adalah apa yang
terlindung pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan
kesesuaian antara pikir dengan benda-benda. Benda-benda di sini maksudnya
adalah hal-hal yang adanya bersendikan atas prinsip-prinsip keabadian. lni
berarti bahwa perhatian mengenai kebenaran adalah perhatian mengenai esensi
dari sesuatu. Kepercayaan terhadap kebenaran itu akan terlindung apabila segala
sesuatu dapat diketahui dan nyata. Jelaslah bahwa pengetahuan itu inerupakan
hal yang sangat penting karena ia merupakan pengolahan akal pikiran yang
konsekuen.
Menurut perenialisme filsafat
yang tertinggi adalah ilmu metafisika. Sebab science sebagai ilmu pengetahuan
menggunakan metode induktif yang bersifat analisa empiris kebenarannya
terbatas, relatif atau kebenaran probability. Tetapi filsafat dengan metode
deduktif bersifat anological analysis, kebenaran yang dihasilkannya bersifat
self evidence universal, hakiki dan berjalan dengan hukum-hukum berpikir
sendiri yang berpangkal pada hukum pertama, bahwa kesimpulannya bersifat mutlak
asasi.
Pandangan Aksiologi
Perenialisme memandang masalah
nilai berdasarkan azas-azas supernatural, yakni menerima universal yang abadi.
Dengan azas seperti itu, tidak hanya ontologi dan epistemologi yang didasarkan
atas prinsip teologi dan supernatural, melainkan juga aksiologi. Khususnya
dalam tingkah laku manusia, maka manusia sebagai subyek telah memiliki
potensi-potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya, di samping itu adapula
kecenderungan-kecenderungan dan dorongan-dorongan kearah yang tidak baik.
Masalah nilai itu merupakan hal
yang utama dalam perenialisme, karena ia berdasarkan pada azas-azas
supernatural yaitu: menerima universal
yang abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jadi hakikat manusia itu yang pertama-tama
adalah pada jiwanya. Oleh karena itulah hakekat manusia itu juga menentukan
hakikat perbuatan-perbuatannya, dan persoalan nilai adalah persoalan spiritual.
Dalam aksiologi, prinsip pikiran itu bertahan dan tetap berlaku. Secara etika,
tindakan itu ialah yang bersesuaian dengan sifat rasional seorang manusia,
karena manusia itu secara alamiah condong kepada kebaikan.
Jadi manusia sebagai subyek dalam
bertingkah laku, telah memiliki potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya, di
samping adapula kecenderungan-kecenderunngan dan dorongan-dorongan kearah yang
tidak baik. Tindakan yang baik adalah yang bersesuaian dengan sifat rasional
(pikiran) manusia. Kodrat wujud manusia yang pertama-tama adaJah lercermm dari
jlwa dan pikirannya yang disebut dengan kekuatan potensial yang membimbing tindakan manusia
menuju pada Tuhan at au menjauhi Tuhan. Dengan kata lain melakukan kebaikan
atau kejahatan di mana kebaikan tertinggi adalah mendekatkan diri kepada Tuhan
sesudah tingkatan ini baru kehidupan berpikir rasional.
Dalam bidang pendidikan perenialisme
sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokohnya, seperti: Plato, Aristoteles dan Thomas
Aquinas. Menurut Plato, manusia secara kodrat memiliki tiga potensi yaitu: nafsu, kemauan dan pikiran. Pendidikan
hendaknya berorientasi pada potensi itu dan kepada masyarakat, agar kebutuhan
yang ada pada setiap lapisan masyarakat bisa terpenuhi. Dengan demikian
jelaslah bahwa perenialisme itu menghendaki agar pendidikan disesuaikan dengan
keadaan manusia yang mempunyai nafsu, kemauan dan pikiran sebagaimana yang dimiliki
secara kodrat. Dengan memperhatikan hal ini, maka pendidikan yang berorientasi
pada potensi dan masyarakat akan dapat terpenuhi.
Ide-ide Plato ini kemudian
dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih mendekatkan kepada dunia kenyataan.
Bagi Aristoteles tujuan pendidikan adalah “kehahagiaan”. Untuk mencapai
pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi dan intelek harus dikembangkan secara
seimbang. Tujuan pendidikan yang
dikehendaki oleh Thomas Aquinas ialah sebagai usaha mewujudkan kapasitas yang
ada dalam individu agar menjadi aktualitas, aktif dan nyata. Dalam hal ini
peranan guru adalah mengajar dan memberikan bantuan pada anak didik untuk
mengembangkan potensi-potensi yang ada padanya.
Manusia adalah animal rasionale,
maka tujuan pendidikan adalah mengembangkan akal budi supaya anak didik dapat
hidup penuh kebijaksanaan demi kebaikan hidup itu sendiri. Oleh karenanya
tujuan pendidikan di sekolah perlu sejalan dengan pandangan dasar di atas,
mempertinggi kemampuan anak untuk memiliki akal sehat. Hal tersebut dapat
disimpulkan bahwa tujuan dari pada pendidikan yang hendak dicapai oleh para
ahli tersebut di atas adalah untuk mewujudkan agar anak didik dapat hidup
bahagia demi kebaikan hidupnya sendiri. Jadi dengan akalnya dikembangkan maka
dapat mempertinggi kemampuan akal pikirannya. Dari prinsip-prinsip pendidikan
perenialisme tersebut maka perkembangannya telah mempengaruhi sistem pendidikan
modern, seperti pembagian kurikulum untuk sekolah dasar, menengah, perguruan
tinggi.
Filsafat Pendidikan Esensialisme
Esensialisme adalah suatu aliran
filsafat yang menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan lama.
Mereka beranggapan bahwa kebudayaan lama itu telah banyak memperbuat
kebaikan-kebaikan untuk umat manusia. Yang mereka maksud dengan kebudayaan lama
itu adalah yang telah ada semenjak peradaban manusia yang pertama-tama dahulu.
Akan tetapi yang paling mereka pedomani adalah peradaban semenjak zaman
Renaissance, yaitu yang tumbuh dan berkembang di sekitar abad 11, 12, 13 dan
ke-14 Masehi. Di dalam zaman Renaissance itu telah berkembang dengan megahnya
usaha-usaha untuk menghidupkan kembali ilmu pengetahuan, kesenian dan kebudayaan purbakala, terutama
di zaman Yunani dan Romawi purbakala. Renaissance itu merupaka reaksi terhadap
tradisi dan sebagai puncak timbulnya individualisme dalam berpikir dan
bertindak dalam semua cabang dari aktivitas manusia. Sumber utama dari
kebudayaan itu terletak dalam ajaran para ahli filsafat, ahli-ahli pengetahuan
yang telah mewariskan kepada umat manusia segala macam ilmu pengetahuan yang
telah mampu menembus lipatan gurun dan waktu yang telah banyak menimbulkan
kreasi-kreasi bermanfaat sepanjang sejarah umat manusia.
Lebih dalam lagi bahwa esensialisme modern dalam pendidikan adalah gerakan
pendidikan yang memprotes terhadap skeptisisme dan sinisme dari
gerakan progrevisme terhadap nilai-nilai yang tertanam dalam warisan budaya
atau sosial. Menurut Esensialisme, nilai-nilai kemanusiaan yang terbentuk
secara berangsur-angsur dengan melalui kerja keras dan susah payah selama
beratus-ratus tahun, dan di dalamnya berakar gagasan-gagasan dan cita-cita yang
telah teruji dalam perjalanan waktu. Bagi aliran ini, maka “pendidikan sebagai
Pemelihara Kebudayaan”. Karena ini aliran Esensialisme dianggap para ahli “Conservative
Road to Culture”, yakni aliran ini ingin kembali kekebudayaan lama,
warisan sejarah yang telah membuktikan kebaikan-kebaikannya bagi kehidupan
manusia. Esensialisme percaya bahwa pendidikan itu harus didasarkan kepada
nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Karena
itu esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai
yang memiliki kejelasan dan tahan lama sehingga memberikan kestabilan dan arah
yang jelas.
Progressivisme dan Esensialisme
Esensialisme yang berkembang pada zaman Renaissance mempunyai tinjauan yang
berbeda dengan progressivisme mengenai pendidikan dan kebudayaan sebagai
berikut:
Progressivisme |
Esensialisme |
Pendidikan yang penuh fleksiblitas |
Pendidikan yang bertumpuh pada dasar pandangan fleksibilitas dalam segala
bentuk dapat menjadi sumber timbul pandangan yang berubah-rubah |
Serba terbuka untuk perubahan |
Mudah goyah dan kurang terarah dan tidak menentu kurang stabil |
Tidak ada keterkaitan dengan doktrin |
Tidak ada keterkaitan dengan doktrin |
Toleransi |
Stabil dan teruji oleh waktu dan tahan lama |
Nilai-nilai dapat berubah dan berkembang |
Nilai-nilai yang memiliki kejelasam dan terseleksi |
Jika progressivisme menganggap pendidikan yang penuh fleksibelitas, serba
terbuka untuk perubahan, tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu, toleran
dan nilai-nilai dapat berubah dan berkembang, maka aliran Esensialisme ini
memandang bahwa pendidikan yang bertumpu pada dasar pandangan fleksibilitas
dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah,
mudah goyah dan kurang terarah dan tidak menentu serta kurang stabil. Karenanya
pendidikan haruslah di atas pijakan nilai yang dapat mendatangkan kestabilan
dan telah teruji oleh waktu, tahan lama dan nilai-nilai yang memiliki kejelasan
dan terseleksi
Nilai-nilai yang dapat memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan dan
filsafat yang korelatif, selama empat abad belakangan ini, dengan perhitungan
zaman Renaisans, sebagai pangkal timbulnya pandangan-pandangan Esensialistis
awal. Puncak refleksi dari gagasan ini adalah pada pertengahan kedua abad ke
sembilan belas.
Pembentukan dari Idealisme dan Realisme
Idealisme dan Realisme adalah aliran-aliran filsafat yang membentuk corak
Esensialisme. Sumbangan yang diberikan oleh masing-masing ini bersifat
eklektik, artinya dua aliran filsafat ini bertemu sebagai pendukung
Esensialisme, tetapi tidak lebur menjadi satu. Berarti, tidak melepaskan
sifat-sifat utama masing-masing. Sedangkan Realisme modern yang menjadi salah
satu eksponen esensialisme, titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan
dunia fisik; sedangkan idealisme modern sebagai eksponen yang lain,
pandangan-pandangannya bersifat spiritual.
Idealisme modern mempunyai pandangan bahwa realita adalah sama dengan
substansi gagasan-gagasan (ide-ide). Di balik duni fenomenal ini ada jiwa yang
tidak terbatas yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos. Manusia
sebagai makhluk yang berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan. Dengan menguji
menyelidiki ide-ide serta gagasan-gagasannya, manusia akan dapat mencapai
kebenaran, yang sumbernya adalah Tuhan sendiri.
Tokoh Esensialisme
William C. Bagley
(1874-1946)
George Wilhelm Friedrich Hegel
(1770 – 1831)
Thomas Briggs
Frederick Breed
Isac L. Kandell
Ajaran Esensialisme
Pandangan Ontologi Esensialisme
- Sintesa ide idealisme dan
realisme tentang hakikat realita berarti essensialisme mengakui adanya
realita obyektif di samping pre-determinasi, supernatural dan transcendal.
- Aliran ini dipengaruhi
penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern baik Fisika maupun Biologi.
Karena itu realita menurut analisa ilmiah dapat dihayati dan diterima oleh
Essensialisme. Jadi, Semesta ini merupakan satu kesatuan yang mekanis,
menurut hukum alam obyektif (Kausalitas). Manusia adalah bagian alam
semesta dan terlihat, tunduk pada hukum alam.
- Penafsiran Spiritual atas
sejarah. Teori filsafat Heggel yang mensitesakan science dengan religi
dalam kosmologi, berarti sebagai interpretasi sepiritual atas sejarah
perkembangan realita semesta. Hukum apakah yang mengatur tiap fase
perubahan dan tiap peristiwa sejarah, perubahan-perubahan social, dijawab
problem itu secara prinsip: “Bahwa sejarah itu adalah pikiran Tuhan –
pikiran yang di ekspresikan, dinamika abadi yang merubah dunia, yang mana
ia secara sepiritual adalah realitas”.
- Faham Makrokosmos dan
Mikrokosmos. Makrokosmos adalah keseluruhan alam semesta raya dalam suatu
deign dan kesatuan menurut teori kosmologi. Mikrokosmos ialah bagian
tunggal, suatu fakta yang terpisah dari keseluruhan itu, baik pada tingkat
umum, pribadi manusia, ataupun lembaga.
Pandangan
Epistemologi Essentialisme
Teori kepribadian manusia sebagai refleksi Tuhan adalah jalan untuk mengerti
epistemologi Essentialisme. Sebab, jika manusia mampu menyadari realita dirinya
sebagai mikrokosmos dalam makrokosmo, maka manusia pasti mengetahui dalam
tingkat atau kualitas apa rasionya mampu memikirkan kesemestaan itu. Dari
berdasarkan kualitas itulah dia memproduksi secara tepat pengetahuannya dalam
bidang-bidang: Ilmu alam, Biologi, Sosial, Estetika, dan Agama.
1.
Kontraversi jasmaniah-rohaniah. Perbedaan Idealisme
dengan realisme ialah karena yang pertama menganggap bahwa rohaniah adalah
kunci kesadaran tentang realita. Manusia hanya mengetahu melalui ide atau
rohaniah. Sebaliknya realis berpendapat bahwa kita hanya mengetahui sesuatu
realita di dalam dan melalui jasmani.
2.
Pengetahuan: (a). Idealisme: Kita hanya mengerti
rohani kita sendiri. Tetapi pengertian ini memberi kesadaran untuk mengerti
realita yang lain (Personalisme); Menurut Hegel: “Substansi mental tercermin
pada hukum logika (Mikrokosmos) dan
hukum alam (Makrokosmos). Hukum
dialegtika berfikir, berlaku pula hukum perkembangan sejarah dan kebudayaan
manusia (Teori Dinamis); Saya sebagai
finite being (Makhluk terbatas)
mengetahui hukum dan kebenaran universal sebagai realisasi resonasi jiwa saya
dengan Tuhan. (Teori Absolutisme). (b) Realisme: Realisme dalam
pengetahuan sangat dipengaruhi oleh Newton dengan ilmu pengetahuan alamnya,
cara menafsirkan manusia dalam realisme adalah: Teori Associationisme: Teori
ini sangat dipengaruhi oleh filsafat empirisme John Locke, atau ide-ide dan isi
jiwa adalah asosiasi unsure-unsur penginderaan dan pengamatan. Penganut teori
ini juga menggunakan metode introspeksi yang dipakai oleh kaum idealis (T.H.
Green); Teori Behaviorisme: Aliran behaviorisme berkesimpulan bahwa perwujudan kehidupan
mental tercermin pada tingkah laku;
Teori Connectionisme: Teori Connectionisme menyatakan semua makhluk
hidup, termasuk manusia terbentuk tingkah lakunya oleh pola-pola connections
between (Hubungan-hubungan antara) stimulus (S) dan Respone (R).
Pandangan Axiologi Essentialisme
Pandangan ontologi dan epistemologinya amat mempengaruhi pandangan axiology
ini. Bagi aliran ini, nilai-nilai, seperti juga kebenaran berakar dalam dan
berasal dari sumber objektif. Watak sumber ini dari mana nilai-nilai berasal,
tergantung pada pandangan-pandangan idealisme dan realisme, sebab Essentialisme
terbina oleh kedua sayap tersebut.
Teori Nilai sebagai
berikut:
1.
Menurut Idealisme: (a) Idealisme: “Menurut aliran ini
bahwa hukum etika adalah kosmos, karena itu seseorang dikatakan baik hanya jika
ia secara active berada di dalam dan melaksanakan hukum-hukum itu”. (b)
Idealisme Modern: “Idealisme lebih di ungkapkan oleh E. Kant: Bahwa manusia
yang baik adalah manusia yang bermoral”. (c) Teori Sosial Idealisme: “Disini E.
Kant menekankan akan adanya rasa sosialis, kekluargaan, patriotisme, dan
nasionalisme. Yang dimaksud E. Kant adalah adanya kemerdekaan individu agar
bisa bersosialisasi dengan manusia lainnya. (d) Teori Estetika: “Bahwa yang
disebut nilai adalah suatu keindahan” (E. Kant).
2.
Menurut Realisme: (a) Etika Determinisme: “Semua unsur
semesta, termasuk manusia adalah satu kesatuan dalam satu rantai yang tak
berakhir dan dalam kesatuan hukum kausalitas. Seseorang tergantung seluruhnya
pada sebab-akibat kodrati itu dan yang menentukan keadaannya sekarang, baik
ataupun buruk. (b) Teori Sosial: Teori ini lebih menekankan kepada unsure
ekonomi, social, politi dan Negara. Free man (Bertrand Russel). Dan lebih
menekankan kepada kehidupan sekarang. (c) Teori Estetika: Menurut paham ini
bahwa keindahan itu tidak hanya sesuatu yang bagus, namun ada pula yang buruk.
Prinsip-prinsip
Essensialisme
Prinsip-prinsip Essensialisme adalah:
1.
Esensialisme berakar pada ungkapan realisme objektif
dan idealisme objektif yang moderen, yaitu alam semesta diatur oleh hukum alam
sehingga tugas manusia memahami hukum alam adalah dalam rangka penyesuaian diri
dan pengelolaannya.
2.
Sasaran pendidikan adalah mengenalkan siswa pada
karakter alam dan warisan budaya. Pendidikan harus dibangun atas
nilai-nilaiyang kukuh, tetap dan stabil.
3.
Nilai (kebenaran bersifat korespondensi ).berhubungan
antara gagasan dengan fakta secara objekjtif.
4.
Bersifat konservatif (pelestarian budaya) dengan
merefleksikan humanisme klasik yang berkembang pada zaman renaissance.
Ciri-ciri Filsafat
Pendidikan Esesensialisme
Ciri-ciri Filsafat Pendidikan Esesensialisme, yang disarikan oleh William
C. Bagley adalah sebagai berikut:
1.
Minat-minat yang kuat dan tahan lama sering tumbuh
dari upaya-upaya belajar awal yang memikat atau menarik perhatian bukan karena
dorongan dari dalam jiwa.
2.
Pengawasan, pengarahan, dan bimbingan orang yang belum
dewasa adalah melekat dalam masa balita yang panjang atau keharusan
ketergantungan yang khusus pada spesies manusia.
3.
Oleh karena kemampuan untuk mendisiplinkan diri harus
menjadi tujuan pendidikan, maka menegakkan disiplin adalah suatu cara yang
diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Di kalangan individu maupun bangsa,
kebebasan yang sesungguhnya selalu merupakan sesuatu yang dicapai melalui
perjuangan, tidak pernah merupakan pemberian.
4.
Esesensialisme menawarkan teori yang kokoh kuat
tentang pendidikan, sedangkan sekolah-sekolah pesaingnya (progresivisme)
memberikan sebuah teori yang lemah. Apabila terdapat sebuah pertanyaan di masa
lampau tentang jenis teori pendidikan yang diperlukan sejumlah kecil masyarakat
demokrasi di dunia, maka pertanyaan tersebut tidak ada lagi pada hari ini.
Pandangan Essensialisme mengenai
Belajar
Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai pribadi
individu dengan menitik beratkan pada aku. Menurut idealisme, bila seorang itu
belajar pada taraf permulaan adalah memahami akunya sendiri, terus bergerak
keluar untuk memahami dunia obyektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos.
Segala pengetahuan yang dicapai oleh manusia melalui indera merperlukan unsur
apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu. Bila orang
berhadapan dengan benda-benda, tidak berarti bahwa mereka itu sudah mempunyai
bentuk, ruang dan ikatan waktu. Bentuk, ruang dan waktu sudah ada pada budi
manusia sebelum ada pengalaman atau pengamatan. Jadi, apriori yang terarah
bukanlah budi kepada benda, tetapi benda-benda itu yang terarah kepada budi.
Budi membentuk, mengatur dalam ruang dan waktu.
Dengan mengambil landasan pikir tersebut, belajar dapat didefinisikan
sebagai jiwa yang berkembang pada sendirinya sebagai substansi spiritual. Jiwa
membina dan menciptakan diri sendiri. Pandangan-pandangan realisme mencerminkan
adanya dua jenis determinasi mutlak dan determinasi terbatas adalah: (1)
Determinisme mutlak, menunjukkan bahwa belajar adalah mengalami hal-hal yang
tidak dapat dihalang-halangi adanya, jadi harus ada, yang bersama-sama
membentuk dunia ini. Pengenalan ini perlu diikuti oleh penyesuaian supaya dapat
tercipta suasana hidup yang harmonis. (2) Determinisme terbatas, memberikan
gambaran kurangnya sifat pasif mengenai belajar. Bahwa meskipun pengenalan
terhadap hal-hal yang kausatif di dunia ini berarti tidak dimungkinkan adanya
penguasaan terhadap mereka, namun kemampuan akan pengawas yang diperlukan.
Pada prinsipnya, proses belajar menurut Essensialisme adalah melatih daya
jiwa potensial yang sudah ada dan proses belajar sebagai proses absorbtion
(menyerap) apa yang berasal dari luar. Yaitu warisan-warisan sosial yang
disusun dalam kurikulum tradisional, dan guru berfungsi sebagai perantara.
Pandangan Essensialisme mengenai
Kurikulum
Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu hendaklah berpangkal
pada landasan idiil dan organisasi yang kuat. Kurikulum itu bersendikan alas
fundamen tunggal, yaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang
ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang
serba baik. Atas ketentuan ini kegiatan atau keaktifan anak didik tidak
terkekang, asalkan sejalan dengan fundamen-fundamen yang telah ditentukan.
Menurut Essensialisme: “Kurikulum yang kaya, yang berurutan dan sistematis yang
didasarkan pada target yang tidak dapat dikurangi sebagai suatu kesatuan
pengetahuan, kecakapan- kacakapan dan sikap yang
berlaku di dalam kebudayaaan yang demokratis.
Kurikulum dibuat memang sudah didasarkan pada urgensi yang ada di dalam
kebudayaan tempat hidup si anak”.
Peranan Sekolah menurut
Essensialisme
Sekolah berfungsi sebagai pendidik warganegara supaya hidup sesuai dengan
prinsip-prinsip dan lembaga-lembaga sosial yang ada di dalam
masyarakatnya serta membina kembali tipe dan mengoperkan kebudayaan,
warisan sosial, dan membina kemampuan penyesuaian diri individu kepada
masyarakatnya dengan menanamkan pengertian tentang fakta-fakta, kecakapan-kecakapan
dan ilmu pengetahuan.
Penilaian Kebudayaan menurut
Essensialisme
Essensialisme sebagai teori pendidikan dan kebudayaan melihat kenyataan
bahwa lembaga-lembaga dan praktik-praktik kebudayaan modern telah gagal
dalam banyak hal untuk memenuhi harapan zaman modern. Maka untuk menyelamatkan
manusia dan kebudayaannya, harus diusahakan melalui pendidikan.[311]
Teori Pendidikan
- Tujuan Pendidikan: Tujuan
pendidikan adalah menyampaikan warisan budaya dan sejarah melalui suatu
inti pengetahuan yang telah terhimpun, yang telah bertahan sepanjang waktu
dan dengan demikian adalah berharga untuk diketahui oleh semua orang.
Pengetahuan ini diikuti oleh keterampilan. Keterampilan-keterampilan,
sikap-sikap, dan nilai-nilai yang tepat, membentuk unsur-unsur yang inti (esensial)
dari sebuah pendidikan. Pendidikan bertujuan untuk mencapai standar
akademik yang tinggi, pengembangan intelek atau kecerdasan.
- Metode Pendidikan: (1)
Pendidikan berpusat pada guru (teacher centered). (2) Umumnya
diyakini bahwa pelajar tidak betul-betul mengetahui apa yang diinginkan,
dan mereka haru dipaksa belajar. Oleh karena itu pedagogi yang bersifat
lemah-lembut harus dijauhi, dan memusatkan diri pada penggunaan
metode-metode tradisional yang tepat. (3) Metode
utama adalah latihan mental, misalnya melalui diskusi dan pemberian
tugas; dan penguasan pengetahuan, misalnya melalui penyampaian informasi
dan membaca.
- Kurikulum: (1) Kurikulum
berpusat pada mata pelajaran yang mencakup mata-mata pelajaran akademik
yang pokok. (2) Kurikulum Sekolah Dasar ditekankan pada pengembangan
keterampilan dasar dalam membaca, menulis, dan matematika. (3) Kurikulum
Sekolah Menengah menekankan pada perluasan dalam mata pelajaran
matematika, ilmu kealaman, humaniora, serta bahasa dan sastra. Penguasaan
terhadap mata-mata pelajaran tersebut dipandang sebagai suatu dasar utama
bagi pendidikan umum yang diperlukan untuk dapat hidup sempurna. Studi
yang ketat tentang disiplin tersebut akan dapat mengembangkan kesadaran pelajar,
dan pada saat yang sama membuat mereka menyadari dunia fisik yang
mengitari mereka. Penguasaan fakta dan konsep-konsep pokok dan
disiplin-disiplin yang inti adalah wajib.
- Pelajar: Siswa adalah
makhluk rasional dalam kekuasaan fakta dan keterampilan-keterampilan pokok
yang siap melakukan latihan-latihan intelektif atau berpikir. Sekolah
bertanggungjawab atas pemberian pelajaran yang logis atau dapat dipercaya.
Sekolah berkuasa untuk menuntut hasil belajar siswa.
- Pengajar: (1) Peranan guru
kuat dalam mempengaruhi dan mengawasi kegiatan-kegiatan di kelas. (2) Guru berperanan sebagai sebuah contoh
dalam pengawalan nilai-nilai dan penguasaan pengetahuan atau
gagasan-gagasan.
Filsafat Pendidikan
Rekonstruksionisme
Rekronstruksionisme lahir didasari atas suatu anggapan bahwa kaum
progresif hanya memikirkan dan
melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada pada masyarakat
sekarang ini. Dapat dikatakan bahwa rekonstruksionisme adalah merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Rekonstruktionisme lahir pada
tahun 1930 dan dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg. Ia ingin membangun
masyarakat baru, yaitu: suatu masyarakat
yang pantas dan adil. Sekolah harus melakukan perbaikan masyarakat yang
spesifik.
Aliran progresivisme berpendapat
bahwa sekolah harus mengarahkan perubahan
terhadap tatanan sosial saat ini. Ada dua alasan mengapa perubahan perlu
dilakukan lewat pendidikan sebagai berikut:
(1) Karena masyarakat sedang mengalami suatu krisis yang hebat akibat
perang dunia kedua. Peradaban manusia yang sangat sangat luar biasa dan
dibangun dalam waktu yang lama, dapat dihancurkan oleh manusia hanya dalam
waktu satu malam saja. (2) Manusia memiliki potensi intellectual, teknologi dan
moral untuk menciptakan suatu peradaban baru, yaitu suatu perubahan pada
masyarakat kea rah “kesejahteraan, kesehatan dan keadilan”. Oleh karena itu sekolah harus menjadi agen
utama untuk merencanakan dan mengarah pada perubahan social.
Sedangkan aliran Rekonstruktionisme
berpendapat kita telah beralih dari masyarakat agraris pedesaan ke masyarakat
urban yang berteknologi tinggi, namun masih terdapat kelambatan budaya yang
serius, yaitu: dalam kemampuan manusia
menyesuaikan diri terhadap masyarakat
teknologi. Apa yang diperlukan masyarakat yang memiliki perkembangan teknologi
yang cepat adalah rekonstruksi masyarakat dan pembentukan serta perubahan
tatanan dunia baru.
Tokoh-Tokoh Rekonstruksionisme[312]
George S. Counts
(1889-1974)
Theodore Brameld
(1904-1987)
Dua Kelompok Rekonstruksionisme
Dalam gerakan rekonstruksionisme
terdapat dua kelompok utama yang sangat berbeda pandangannya tentang kurikulum,
yakni: Rekonstruksionisme Konservatif dan Rekonstruksionisme Radikal.
Rekonstruksionisme Konservatif
Pendidikan ditujukan kepada
peningkatan mutu kehidupan individu maupun masyarakat dengan mencari
penyelesaian masalah-masalah yang paling mendesak yang dihadapi masyarakat.
Masalah dapat bersifat local, nasional, regional maupun international. Dalam
penerapannya problem-solving memegang peranan utama dengan menggunakan bahan
dari berbagai displin ilmu.
Rekonstruksionisme Radikal
Pendidikan formal maupun non formal mengabdikan diri demi tercapainya orde
sosial baru berdasarkan pembagian kekuasaan dan kekayaan yang lebih adil dan
merata. Aliran ini berpendapat bahwa kurikulum yang sekadar mencari pemecahan
masalah sosial tidaklah memadai. Masalah sosial justru merupakan indicator
adanya masalah lain yang lebih mendalam mengenai struktur masyarakat.
Pendidikan haruslah digunakan untuk merombak tata sosial dan lembaga-lembaga
sosial yang ada dan membangun struktur sosial baru.
‘
Arah Pendidikan Rekontruksionisme
Arah
pendidikan rekonstruksionisme mengarahkan para siswa mempelajari metoda-metoda
yang tepat untuk berurusan dengan krisis-krisis yang sedang dihadapi oleh
masyarakat, baik secara lokal, regional maupun yang dihadapi oleh dunia secara
global seperti: perang, depressi
ekonomi, terorisme international, kelaparan, inflasi, ketimpangan sosial maupun
percepatan teknologi. Kurikulum disusun
untuk mampu menyoroti kebutuhan-kebutuhan terhadap beragamnya problema sosial.
Siswa dimungkinkan untuk memiliki pengalaman tangan pertama dalam berbagai kegiatan reformasi sosial. Guru berperan sebagai kontrol dan membantu para
siswa dalam memecahkan masalah-masalah sosial tanpa berpengaruh di dalamnya.
Proses edukatif harus didasarkan
pada suatu pencarian yang terus menerus untuk suatu masyarakat yang lebih baik,
dan hasil dari pencarian ini akan menjadi
realisasi suatu demokrasi dunia yang luas. Jika seseorang dengan aktif berusaha
menciptakan dunia baru melalui aplikasi kecerdasan dan pengetahuan serta
teknologi yang berkembang pada saat ini, ia akan menghadapi risiko di mana kekuatan-kekuatan
destruktif dunia akan menentukan kondisi dunia ini, di mana manusia yang akan
hidup di masa mendatang berada di dalamnya.
Sekolah sebagai Agen Perubahan
Sosial
George
S. Counts sebagai pelopor rekonstruksionisme mengemukakan, “ bahwa sekolah akan
betul-betul berperan apabila sekolah menjadi pusat bangunan masyarakat baru
secara keseluruhan, membasmi kemelaratan, peperangan dan kesukuan”. Masyarakat yang menderita
kesulitan ekonomi dan masalah-masalah social yang besar marupakan tantangan
bagi pendidikan untuk menjalankan perannya sebagai agen pembaharuan dan
rekonstruksi social, daripada pendidikan hanya mempertahankan status guo.
Sekolah harus bersatu dengan kekuatan buruh
progressif, wanita, para petani dan kelompok minoritas untuk mengadakan perubahan-perubahan yang diperlukan. Tujuan
pendidikan adalah menumbuhkan kesadaran terdidik yang berkaitan dengan
masalah-masalah social, sekonomi, politik yang dihadapi manusia dalam skala
global, dan memberi ketrampilan kepada mereka agar memiliki kemampuan untuk
memecahkan masalah-masalah tersebut. Tujuan akhir pendidikan adalah terciptanya
masyarakat baru, yaitu suatu masyarakat global yang memiliki saling
ketergantungan.
Kurikulum haruslah berisikan
masalah-masalah sosial, ekonomi, politik yang beraneka ragam, yang dihadapi
oleh umat manusia, termasuk masalah-masalah sosial dan pribadi. Isi kurikulum
haruslah berguna dalam penyusunan disiplin ilmu sosial dan proses penemuan
ilmiah sebagai metode kerja untuk masalah-masalah soslal.
Guru harus mampu menyadarkan peserta didik terhadap masalah-masalah yang
dihadapi, membantu mereka mengidentifikasikan masalah-masalah untuk dipecahkan,
sehingga memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah tersebut. Guru harus
mendorong peserta didik untuk dapat berpikir alternative dalam memecahkan dihadapi
baik secara pribadi maupun dihadapi oleh masyarakat. Lebih jauh, guru harus
mampu menciptakan aktivitas belajar yang berbeda-beda secara serempak.
Sekolah berfungsi sebagai agen utama untuk perubahan sosial, politik dan
ekonomi dimasyarakat. Sekolah bertugas untuk mengembangkan “rekayasa sosial”
dan bertujuan untuk mengubah secara radikal wajah masyarakat saat ini dan masa
yang akan datsng. Sekolah berfungsi untuk mempelopori masyarakat kea rah
masyarakat baru yang diinginkan. Apabila fungsi itu tidak dapat dilakukan, maka
masyarakat akan bertindak menyelesaikan masalah-masalah secara individu dan
tidak mampu menghasilkan perubahan sosial, melainkan akan menimbulkan berbagai
komplik dalam masyarakat.
Teori Pendidikan
Brameld
(Kneller, 19771) 5 tesis dalam pendidikan rekonstruksionisme, yaitu: (1) . Pendidikan harus dilaksanakan di sini dan
sekarang. Pendidikan haruslah dilaksanakan kini dan di sini dalam rangka
menciptakan tatanan sosial yang baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya
masyarakat dan selaras dengan mendasari
kekuatan-kekuatan ekonomi dan sosial dalam masyarakat modern. Pendidikan
harus dapat mensponsori perubahan yang benar dalam nurani manusia. Kekuatan
teknologi yang hebat harus dimanfaatkan untuk membangun umat manusia dan bukan
untuk menghancurkannya. Masyarakat
diubah bukan dengan kekuatan politik, melainkan melalui pendidikan yang
mendasar bagi warganya, menuju suatu pandangan baru tentang hidup dan kehidupan
bersama. (2) Pendidikan menuju kehidupan demokrasi. Pendidikan harus mampu mewujudkan
kehidupan demokrasi sejati pada masyarakat, dimana sumber dan lembaga utama
dalam masyarakat dikontrol oleh warganya sendiri. Semua aspek kehidupan
masyarakat seperti; sandang, pangan, papan, kesehatan, industri dan sebagainya menjadi tanggungjawab masyarakat
melalui wakil-wakilnya yang dipili, dan harus direalisasikan secara demokrasi.
Masyarakat ideal adalah, masyarakat yang demokratis dan pendapat masyarakat
adalah merupakan hal yang sangat dasar. (3) Kondisi Pendidikan. Peserta didik,
lembaga sekolah dan proses pendidikan dikondisikan oleh kekuatan budaya dan
sosial masyarakat setempat. Hidup beradab adalah hidup berkelompok bukan hidup
sendiri-sendiri. Kelompoklah yang meainkan peranan penting di sekolah.
Pendidikan merupakan realisasi dari
sosial. Melalui pendidikan individu akan dapat mengembangkan aspek-aspek
sosialnya dan bagaimana mengembangkan keterlibatannya dalam perencanaan sosial.
(4) Peranan Pendidik. Dalam
menjalankan tugasnya sebagai pendidik, guru haruslah meyakini dirinya sebagai
guru yang bijaksana dan demokratis. Pengujian fakta-fakta haruslah dilakukan
secara terbuka, walaupun hal itu bertentangan dengan pandangannya. Guru harus
dapat menghadirkan pemecahan alternative dengan jelas, dan ia memperkenankan
siswanya untuk mempertahankan pandangan-pandangan mereka sendiri. Peranan guru
ialah sebagai orang yang menganjurkan perubahan dan mendorong siswa menjadi
partisipan aktif dalam proses perbaikan masyarakat. Guru adalah seorang perombak. Ia membantu
pelajar meninggalkan yang lama supaya dapat mengalami yang baru. Huru dan murid
bekerja sama mempelajari seni meninggalkan kepribadian yang lama dan
menggantikannya dengan kepribadian yang baru yang sesuai dengan tuntutan masa
kini. Proses meninggalkan yang lama bukanlah sesuatu yang mudah, namun hal itu
sudah diyakini sebagai hal yang baik dan dapat menjawab kebutuhan-kebutuhannya
selama ini. Untuk dapat mendorong
pembaharuan bagi peserta didik, maka guru harus menyadari bahwa pada dasarnya
individu telah terbentuk dengan
cara-cara tersebut di bawah ini adalah: (a) Keperluan pribadi dan lingkungannya
mendesaknya untuk mengembangkan cara-cara bertindak yang paling sesuai dengan
keperluan-keperluannya. (b) Perlahan-lahan keperluan dan kemauan lingkungannya
berubah. (c) Cara-cara bertindak yang dikembangkan sebelumnya, yang cukup
efektif itu, menjadi semakin tidak efektif bahkan telah
dapat merugikan. (d) Setiap individu tetap mengungkapkan segala cara
yang telah dipergunakannya pada masa lampau. (e) Cara bertindak seseorang terus
menerus diubah untuk melayani keperluan-keperluan dan kehendak-kehendak baru.
(f) Dengan adanya kehendak yang terus menerus, individu yang sedang berkembang
itu membentuk suatu gaya hidup atau suatu cara menghadapi segala masalah hidup
yang dihadapinya. (g) Gaya seseorang
akan lebih sulit berubah apabila ia telah menjadi tua. Salah satu tugas penting
dari guru ialah membantu agar proses perkembangan itu berlangsung terus.
Pendidikan yang paling baik ialah pendidikan yang membantu pelajar menghadapi
masa kininya yang sangat penting itu sehingga ia mampu menangani secara efektif
masa depannya yang dekat yang akan selalu menjadi masa kini juga. (h) Cara dan tujuan Pendidikan. Cara dan tujuan pendidikan haruslah bertujuan
untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan krisis budaya dewasa
ini, dan menyesuaikan kebutuhan dengan sains sosial. Sains sosial haruslah bertujuan untuk mendorong kita untuk
menemukan nilai-nilai yang bersifat universal. (i) Penyusunan Kurikulum. Kurikulum pendidikan harus terus menerus
ditinjau ulang, agar sesuai dengan kebutuhan dan persoalan-persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat. Oleh karena
itu, isi pelajaran, metode yang dipakai,
struktur administrasi dan cara bagaimana guru dilatih haruslah terus
disesuaikan dengan kebutuhan kebutuhan masyarakat pada masa kini. Dengan
demikian pendidikan akan menjadi relevan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat
dan dapat menghasilkan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Implikasi Pendidikan
Power (1982) mengemukakan implikasi pendidikan
rekonstruksionisme sebagai berikut:
1.
Tema: Pendidikan merupakan usaha sosial dan Misi
sekolah adalah untuk meningkatkan rekonstruksi sosial.
2.
Tujuan Pendidikan: Menciptakan aturan sosial yang
ideal. Budaya harus melihat kemajemukan masyarakat dan memanfaatkannya untuk
perubahan sosial kea rah yang lebih baik.
3.
Kurikulum: Kurikulum tidak boleh didominasi oleh
budaya mayoritas maupun oleh budaya yang ditentukan atau yang disukai. Semua
budaya dan nilai-nilai yang terdapat pada masyarakat berhubungan dan berhak
untuk mendapatkan tempat dalam kurikulum.
4.
Kedudukan siswa: Nilai-nilai budaya siswa yang
dibawa ke sekolahg merupakan hal yang
berharga.Keluhan pribadi dan tanggung jawab sosial harus terus ditingkatkan dan
harus dapat menghormati semua latar belakang budaya yang ada disekitarnya.
5.
Metode: Metode yang harus terus dikembangkan adalah
“Learning by doing”.
6.
Peranan Guru: Guru harus menunjukkan rasa hormat yang
sejati terhadap semua budaya, baik dalam memberi pelajaran maupun dalam hal
lainnya. Pelajaran di sekolah haruslah mewakili budaya masyarakat yang ada.
Potret Guru
Seorang guru rekonstruksionisme dengan sekuat
tenaga mendorong siswa mempelajari mengenai permasalahan-permasalahan sosial
dan juga menemukan apa yang dapat merekam lakukan untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan tersebut
VIII. PENUTUP
Dari kajian Filsafat Pendidikan Agama Kristen di atas (bab per bab) maka
saya dapat simpulkan dengan membuat Tabel “Sirkulasi Filsafat Pendidikan Agama
Kristen” yang saling berkesinambungan dari pengertian filsafat pendidikan,
nilai-nilai dasarnya, model-model aliran filsafat yang mempengaruhi pendidikan,
unsur-unsurnya hingga menghasilkan tenaga professional siap pakai di tengah
masyarakat. Tabel “Sirkulasi Filsafat
Pendidikan Agama Kristen” sebagai
berikut:
Tabel “Sirkulasi Filsafat
Pendidikan Agama Kristen”
Filsafat Pendidikan |
Nilai-nilai Dasar |
Model-Model Aliran Filsafat yang Mempengaruhi Pendidikan |
Unsur-unsur Pendidikan |
Tenaga Siap Pakai |
Definisi Filsafat pendidikan: aktifitas pikiran teratur yang membentuk wolrdview seseorang sebagai
jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan |
Makna Ontologi |
Idealism, Realism, Materialisme, Tradisionalis (Neo-Thomism), Pragmatism (Experimentalism),
Eksistensialisme, Progresivisme, Perenialisme, Esensialisme dan Rekonstruksionisme |
Input: Calon Peserta Didik |
Tenaga profesional di tengah masyarakat |
Visi |
||||
Makna Epistemologi |
Tujuan |
|||
Kurikulum |
||||
Proses Belajar Mengajar (Guru-Metode-Murid) |
||||
Makna Aksiologi |
Hasil belajar |
|||
Output: Alumni |
Keterangan singkat dari Tabel “Sirkulasi
Filsafat Pendidikan Agama Kristen” di
atas sebagai berikut:
- Filsafat pendidikan adalah
aktifitas pikiran teratur yang membentuk wolrdview seseorang sebagai jalan
untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan.
- Tetapi dalam pekerjaannya
maka filsafat pendidikan tergantung dengan nilai-nilai dasar filsafat:
makna ontology, makna epistemology dan makna aksiologi. (a) Makna ontology (metafisika umum) membahas segala sesuatu
yang ada secara menyeluruh dan sekaligus. Pembahasan ini dilakukan dengan
membedakan dan memisahkan eksistensi “dari segala sesuatu”.
Pertanyaan-pertanyaan ontologi yang utama dan paling sering diajukan
adalah sebagai berikut: apakah suatu realitas itu beraneka ragam dan
berbeda-beda? Apakah hakekatnya satu atau tidak? Apabila memang benar satu, apakah realitas yang
satu itu.apakah eksistensi yang sesungguhnya dari segala sesuatu yang ada
itu merupakan realitas yang tampak atau tidak? (b) Makna epistemology
membahas tentang: Apa pengetahuan itu? Apakah yang menjadi sumber
dan dasar pengetahuan itu? Apakah pengetahuan itu berasal dari pengamatan,
pengalaman, atau akal budi? Apakah pengetahuan itu adalah kebenaran yang
pasti ataukah hanya merupakan dugaan?
(c)Axiologi menunjuk pada suatu nilai tertentu. Nilai suatu obyek sangat dipengaruhi
nilai subyek yang ada. Manusia
memiliki nilai, sehingga nilai seseorang dari apa yang diungkapkan maupun
dilakukan. Nilai-nilai sangat relative, tetapi ada nilai yang jauh lebih
mutlak dan ditempat tinggi dibanding dengan nilai-nilai relative yang
dibawah. Manusia berbuat baik karena mengetahui nilai yang ada pada
dirinya. Pada axiologi yang mengarah suatu kebaikan yang tertinggi berupa
kebahagiaan dan cinta kasih Tuhan.
- Aliran-aliran Filsafat
yang Mempengeruhi Pendidikan: Idealism,
Realism, Materialisme,
Tradisionalis (Neo-Thomism), Pragmatism (Experimentalism),
Eksistensialisme, Progresivisme, Perenialisme, Esensialisme dan Rekonstruksionisme. Aliran tersebut
selalu membagi menjadi tiga nilai dasar (ontologi, epistimologi dan
aksiologi) yang membicarakan unsure-unsur pendidikan.
- Unsur-unsur pendidikan
adalah: Input (peserta didik),
Visi – Tujuan – Kurikulum – Proses Belajar Mengajar (Guru – Metode - Murid) – Hasil Belajar – Output (Alumni).
5.
Para alumni akan mampu menjadi tenaga profesional di tengah masyarakat.
Diagram Perbandingan Tiga
Problema dengan Lima Pandangan Filsafat
Sekolah Tinggi Theologia Bethanyn
Surabaya
Filsafat Pendidikan Agama Kristen
(2 sks)
Dosen: Eko Basuki
Surabaya, 6 Juli 2015
[1]Harry Hamersma, Pintu Masuk ke
Dunia Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1981) 10.
[2]B. Samuel Sidjabat, Strategi
Pendidikan Kristen (Yogyakarta: Andi Offset, 1994) 2.
[3]Titus, et.al., Persoalan-persoalan Filsafat (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984) 7-9.
[4]C. A. van Peursen, Orientasi di
Alam Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1980) 10-11.
[5]Ibid. 11; 17.
[6]George R. Knight, Issues and
Alternatives in Educational Philosophy (Michigan: Andrews University
Press, 1982) 4-5.
[7]Mohammad Noor Syam, Filsafat
Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila (Surabaya: Usaha Nasional, 1986) 24.
[8] Ibid.
[9]Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan
Kurikulum: Teori dan Praktek (Bandung:
Remaja Rosda Karya, 2005) 14.
[10]Arifin H.M., Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teori
dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipline (Jakarta:Bina Aksara,
1993) 2.
[11]M. Ngalim Purwanto, Ilmu
Pendidikan: Teoritis dan Praktis (Bandung: Remadja Karya, 1988) 1.
[12]Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius,
1996) 82.
[13]Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek,
14.
[14]Arifin H.M., Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teori dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipline (Jakarta: Bina Aksara, 1993) 2.
[15]Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode
(Yogyakarta: Andi Offset, 1994) 14.
[16]Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia,
Filsafat dan Pendidikan (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997) 4.
[17]Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, 83.
[18]B. Samuel Sidjabat, Strategi
Pendidikan Kristen, 8.
[19]B.S. Mardiatmadja, Tantangan
Dunia Pendidikan (Yogyakarta: Kanisius, 1986) 19.
[20]M. Ngalim Purwanto, Ilmu
Pendidikan: Teoritis dan Praktis, 11.
[21]Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat
Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan, 14.
[22]Arifin H.M., Ilmu Pendidikan
Islam: Suatu Tinjauan Teori dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipline,
1.
[23]Baca John S. Brubacher, Modern
Philosophies of Education (Tokyo: McGraw Hill Book Comnpany, 1978).
[24]John W.M. Verhaar SJ, Filsafat
yang Mengelak (Yogyakarta: Kanisius, 1980)
69, 70.
[25]Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, 14.
[26]Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan
Pendidikan, 17.
[27]Jan Hendrik Rapar, Pengantar
Fislafat, 44.
[28]Ibid. 44.
[29]Imam Barnadib, Filsafat
Pendidikan, 16.
[30]Ibid. 45.
[31]Ibid.
[32]Ibid. 46.
[33]Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat
Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2003) 29; baca juga Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, 16.
[34]Ibid. 37.
[35]Ibid.
[36]Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, 37.
[37]Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat
Pendidikan, 39.
[38]Ibid. 39.
[39]Dagobert Rune, Dictionary of Philosophy (New Jersey: Litlefield Adams,
1963) 32.
[40]Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan (Bandung: Remadja
Rosdakarya, 2001) 232.
[41]Baca Louis O. Kattsoff, Pengantar
Filsafat (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992) 333-348.
[42]Ibid. 332.
[43]Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu
Pendidikan, 232.
[44]S. Nasution, Pengembangan Kurikulum
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990) 3.
[45]Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan, 233.
[46]Ibid.
[47]J.E. Sahetapy, “Tinjauan Kritis atas Isu-isu Hak Asasi Manusia”, Simposium PASTI ke IX di Surabaya, 5-6 September (2000) 8.
[48]W. Gulo, “Penampakan Identitas dan Ciri Khas dalam Penyelenggaraan
Sekolah Kristen”, Identitas & Ciri Khas Pendidikan Kristen di Indonesia antara
Konseptual dan Operasional (2000) 90.
[49]Purnawan Tenibemas, “Cermin Besar bagi Sekolah Alkitab atau Teologi”, Jurnal Pengarah, April (2005) 4.
[50]Muhammad Ali, Pengembangan Kurikulum di
Sekolah (Bandung: Sinar Baru, 1992) 3.
[51]M. Moh. Rifai, Administrasi dan
Supervisi Pendidikan (Bandung: Jemmars, 1982) 115.
[52]Muhammad Ali, Pengembangan Kurikulum di
Sekolah, 2.
[53]Ibid., 2-3.
[54]Eli Tanya, Gereja dan Pendidikan Agama
Kristen (Cipanas: STT Cipanas, 1999)
27.
[55]Randolph C. Miller, Education for
Christian Living (New Jersey: Prentice Hall, 1956) 44.
[56]Abdul Rajak Husain, Penyelenggaraan
Pendidikan Nasional (Solo: CV Aneka, 1995) 34.
[57]W.P. Napitupulu, Dimensi-dimensi
Pendidikan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1969) 58.
[58]Ornstein/Levine, Foundations of Education (Dallas: Houghton
Mifflin Company, 1989) 528.
[59]Muhammad Ali, Pengembangan Kurikulum di
Sekolah, 52-60.
[60]Baca Ralph Tyler, Basic Principles of Curriculum and Instruction (Chicago-London:
The University of Chicago Press, 1970).
[61]Paul H. Vieth, The Church and Christian Education (ST. Louis:
Bethany Press, 1951) 36-37.
[62]Eli Tanya, Gereja dan Pendidikan Agama Kristen, 29.
[64]Greta Hofmann Nemiroff, Reconstructing Education (New York:
Bergin & Garvey, 1992) 143.
[65]Muhammad Ali, Pengembangan Kurikulum di Sekolah , 4-14.
[66]Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek,
4.
[67] Bebby C.E., Pendidikan di Indonesia, Penilaian dan Pedoman Perencanaan
(Jakarta: LP3S, 1993) 144.
[68]Berlatar belakang nilai-nilai agama di mana proses
pendidikan menitikberatkan kepada ketuhanan atau agama. Semua pendidikan
dimaksudkan untuk membawa si anak agar ia selalu berbakti kepada Tuhannya,
selalu hidup menuruti dan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh agamanya.
[69]Berlatar belakang pengetahuan di mana proses pendidikan
menitikberatkan ke duniawian. Mereka mendidik anak-anak untuk dapat dan sanggup
hidup di dunia ini yang penuh dengan rintangan-rintangan dan
kesukaran-kesukaran yang harus diatasinya, untuk mencapai kebahagiaan hidupnya.
Hal ini terjadi pada abad ke-18 dan ke-19 (abad rasio), yang pada waktu itu
teknik dan ilmu pengetahuan alam sedang maju pesat. Waktu itu orang lebih
mengutamakan hal-hal yang berhubungan
dengan kehidupan duniawi dan kebendaan daripada hal-hal yang bersifat
kerohanian.
[70]S. Nasution, Pengembangan Kurikulum, 49-50.
[71]Purnawan Tenibemas, “Cermin Besar bagi
Sekolah Alkitab atau Teologi”.
[72]Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, 82.
[73]Ibid.
[74]Stella van Petten Henderson, Introduction
to Philosophy of Education (Chicago: The University of Chicagi Press, 1959)
237.
[75]Stephen Tong. Arsitek Jiwa II (Jakarta: Lembaga Reformed, 1995) 32.
[76]Edward dan F.Simpson, “Principles of Biblical Teaching and
Learning”, Introduction to Bibical Christian Education. Edit: Werner C.
Graendorf (Chicago: Moody, 1988) 71.
[77]C. H. Benson, Teknik Mengajar (Malang: Gandum
Mas,1980) 8.
[78]Mary G. Setiawani, Pembaharuan Mengajar (Jakarta: Kalam
Hidup, 1996) 62.
[79]Homrighausen dan Enklaar, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: BPK,
1984) 13-16.
[80]Edward L. Hayes, “The Biblical Foundation of Christian
Education”, 28.
[81]Homrighausen dan Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, 13-14.
[82]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 19.
[83]J.M. Price, Yesus
Guru Agung (Bandung: LLB, 1997) 54.
[84]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 23
[85]William Barclay, Duta
bagi Kristus (Jakarta: Gunung Mulia, 1985) 11-13.
[86]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 68.
[87]Edward L. Hayes, 30.
[88]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 25.
[89]Ibid. 112.
[90]B.S. Sijabat, Strategi Pendidikan Kristen, 1.
[91]Ibid. 248.
[92]Homrighausen & Enklaar, 180-181.
[93]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 68.
[94]Benson, 6.
[95]Ibid. 6-7.
[96]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 35.
[97]Homrighausen & Enklaar, 181.
[98]Stephen Tong, Arsitek Jiwa II, 23-25.
[99]Jachin Karuniadi, Kelahiran Baru (Bandung: LLB, 1979) 6, 7-32, 36-38.
[100]Benson, 12.
[101]Ibid. 7.
[102]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 34.
[103]Stephen Tong, Arsitek Jiwa I (Jakarta: Lembaga Reformed, 2001) 33-35.
[104]Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Paraktek PAK. Jilid 1 (Jakarta:
Gunung Mulia, 1997) 247.
[105]Stephen Tong, Arsitek Jiwa II, 25-26.
[106]Homrighausen dan Enklaar, 182.
[107]B.S. Sijabat, Strategi Pendidikan Kristen, 249.
[108]Homrighausen & Enklaar, 180.
[109]Ibid. 181.
[110]Stephen Tong, Arsitek Jiwa I, 51.
[111]Wayne R. Rood, The Art of Teaching Christianity (New York: Abingdon Press, 1968)
51.
[112]John T.Sisemore, Guru dan Murid: Teman Sekerja (Bandung: LLB, t.t.) 6-17.
[113]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 90-91.
[114]Ibid. 109.
[115]C.H. Benson, 68, 93.
[116]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 113.
[117]Ibid.
[118]Edward dan F. Simpson, 72-73.
[119]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 113.
[120]Stephen Tong, Arsitek Jiwa I, 53.
[121]John M. Gregory, 7 Hukum Mengajar (Malang: Gandum Mas, t..t.) 47.
[122]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 112-113.
[123]Stephen Tong, Arsitek Jiwa II, 32.
[124]C.H. Benson, 8.
[125]Edward dan F. Simpson, 71.
[126]Stephen Tong, Arsitek Jiwa I, 54.
[127]Mary Go Setiawani, 78.
[128]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 108.
[129]Tong Stephen, Arsitek Jiwa II, 85-99.
[130]Ibid.
[131]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 112.
[132]Stephen Tong, Arsitek Jiwa II, 85-99.
[133]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 112.
[134]Hasan Alwi (pemred.), Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 2002) 17.
[135]Winarno Surakhmad, Pengantar Interaksi Mengajar-Belajar
(Bandung: Tarsito, 1982) 34.
[136]Linda J. Vogel, Mengajar dan Belajar di dalam Kelompok Masyarakat
Iman (Semarang: STBI, tp.th) 55.
[137]Ad. Rooijakkers, Mengajar dengan Sukses
(Jakarta: Grasindo,1982) 6.
[138]Ibid. 58.
[139]Ibid. 60-61.
[140]Ratna Wilis Dahar, Teori-Teori Belajar (Bandung: Erlangga,
1989) 11.
[141]Muhibbin
Syah, Psikologi Pendidikan
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995) 88.
[142]Ibid. 90.
[143]B.S. Sidjabat, Menjadi Guru yang Profesional, 40.
[144]E.P. Hutabarat, Cara Belajar, 12.
[145]Zainudin Arif, Andragogi (Bandung:
Angkasa, 1994) 5.
[146]Ibid. 6.
[147]Ibid. 7.
[148]Winarno Surakhmad, Pengantar Interaksi
Mengajar Belajar, 66.
[149]Hutabarat E.P., Cara Belajar (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1986) 20.
[150]Ibid. 25.
[151]Winarno Surakhmad, Pengantar Interaksi Mengajar Belajar, 66.
[152]Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, 227.
[153]Ibid.
[154]Zainudin Arif, Andragog, 78-80.
[155]B.S.
Sidjabat, Menjadi Guru yang Profesional, 93.
[156]Baca H.R. Mill, Teaching and
Training A Handbook for Intruction (New York: Micmillan, 1977).
[157]Baca David Kolb, Styles of Learning Invertory (1981).
[158]Mary Go Setiawani, Pembaruan Mengajar (2004) 22-33.
[159]Jay Kesler, Tolong Saya Punya Anak Remaja
(Jakarta: BPK, 1986).
[160]O. Hallesby, Temperamen dan Iman Kristen (Jakarta:
Tenda Artika, 1989) 7.
[161] H. Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, 2002, 108.
[162]Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, 29.
[163]Ibid. 35.
[164]Ibid. 35.
[165] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1999) 32.
[166] Ibid.
[167] Mark B. Woodhouse, Berfilsafat
sebuah Langkah Awal (Yogyakarta: Kanisius,
2000) 34.
[168] Ibid. 35.
[169] Uyoh Sadulloh, Pengantar
Filsafat Pendidikan, 89.
[170] Ibid. 90.
[171] Ibid.
[172] George F. Kneller, Introduction
To The Philosophy of Education (The United States of America, 1971) 29-30.
[173]J. Donald Butle1, Four Philosopy (New York: Harper & Brothers Publishing, 1950)
34.
[174]J. Donald Butler, Four
Philosophies And Their Practice in Education and Religion (New York: Harper
& Brothers Publishers, 1957) 35-37.
[175]Norman L. Geisler, Etika Kristen
Pilihan dan Isu (Malang: SAAT, 2000) 122.
[176]Dagobert Rune, Dictionary of Philosophy, 98.
[177]Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, 41.
[178]George R. Knight, Philosophy and
Education (Michigan: Andrew University Press, 1980) 41-112; Michael L. Peterson, Philosophy of Education (Leicester: InterVarsity Press, 1986) 23-76.
[179] J. Donald Butler, Idealism in
Education (New York: Harper & Row, 1966) 80.
[180]Ibid. 81.
[181]J. Donald Butle, Idealism in
Education (New York: Harper & Row, 1966) 5-37.
[182]J. Donald Butler, Idealism in
Education, 85.
[183]Ibid. 87.
[184]Ibid. 92.
[185]Ibid. 93.
[186]Ibid.
[187]Ibid. 96.
[188]Ibid.
[189]Ibid. 97.
[190]Ibid. 99-102.
[191]Ibid.
[192]Ibid. 104.
[193]Ibid.
[194]Ibid. 110.
[195]Ibid. 111.
[196]Ibid.
[197]Ibid. 112.
[198]Ibid.
[199]Ibid. 113.
[200]Ibid. 114.
[201]Ibid.
[202]Ibid. 114-115.
[203]Ibid. 115.
[204]Ibid. 117.
[205]Suparlan Suhartono, Filsafat
Pendidikan (Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2007) 41.
[206]George R. Knight, Philosophy and Education (London: Andrews
University Press, 1980) 52.
[207] Jack Terry tt, Education
Philosophy (Texsas: SBTC, 1982) 101.
[208]Ozmon & Craver, Philosophical
Foundations of Education (Virginia: Commonwealth Univercity, 1995) 39.
[209]Howard A. Ozmon dan Samuel M. Craver, Philosophical Foundations of Education (New Jersey: Prentice Hall,
1991) 39-53.
[210]Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, 103-112.
[211]Wakhudin dan
Trisnahada, Filsafat Naturalisme (Bandung:
PPS-UPI, 2009); akhmadsudrajat.wordpress.com. (Diambil tanggal 17 Januari
2009).
[212]http://astaqauliyah.com/2007/01/20/filsafat-naturalisme
(Diambil 10 Maret 2007).
[213]Jack Terry, Education Philosophy,
101-103.
[214]Ibid. 104-105.
[215]Ibid. 105-106.
[216]Ibid. 106.
[217]Ibid. 107; WM. Oliver Martin, Realism in Education (Newk York: Harper
& Row Publishers, 1969) 148-156.
[218]Cek pembahasan
tentang Filsafat Pendidikan Realism:
Naturalisme berasal dari kata “nature.” Kadang pendefinisikan “nature” hanya
dalam makna dunia material saja, sesuatu selain fisik secara otomatis menjadi
“supranatural.” Tetapi dalam realita, alam terdiri dari alam material dan alam
spiritual, masing-masing dengan hukumnya sendiri. Era Pencerahan, misalnya,
memahami alam bukan sebagai keberadaan benda-benda fisik tetapi sebagai asal
dan fondasi kebenaran. Ia tidak memperlawankan material dengan spiritual,
istilah itu mencakup bukan hanya alam fisiktetapi juga alam intelektual dan
moral. Salah satu ciri yang paling menakjubkan dari alam semesta adalah
keteraturan. Benak manusia sejak dulu menangkap keteraturan ini. Terbit dan
tenggelamnya matahari, peredaran planet-planet dan susunan bintang-bintang yang
bergeser teratur dari malam ke malam sejak pertama kali manusia menyadari keberadaannya
di dalam alam semesta, hanya merupakan contoh-contoh sederhana. Ilmu
pengetahuan itu sendiri hanya menjadi mungkin karena keteraturan tersebut yang
kemudian dibahasakan lewat hukum-hukum matematika. Tugas ilmu pengetahuan
umumnya dapat dikatakan sebagai menelaah, mengkaji, menghubungkan semua
keteraturan yang teramati. Ilmu pengetahuan bertujuan menjawab pertanyaan
bagaimana dan mengapa. Namun khusus untuk kosmologi, pertanyaan ‘mengapa’ ini
di titik tertentu mengalami kesulitan yang luar biasa.
[219]K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1979) 75.
[220]Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1997) 66-67; baca juga Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan,113-116.
[221]Democritus adalah seorang filosof Yunani Kuno yang hidup
sekitar tahun 460-370 SM. Ia adalah atomis pertama, materialis pertama dan
perintis sains mekanik. Ketika ditanya, “Alam ini dibuat dari apa?” atau
“Apakah yang riil itu” ia menjawab, “Alam terdiri dari dua bagian. Pertama adalah
atom, bagian yang sangat kecil sekali dan tak terbatas jumlahnya, mempunyai
kualitas yang sama, tetapi mengandung perbedaan yang bemacam-macang tentang
besar dan bentuknya. Kedua adalah ruang kosong di
mana atom-atom tersebut bergerak.
Atom adalah terlalu kecil untuk
dilihat mata, dan tak dapat rusak. Atom menggabungkan diri berkombinasi dengan
cara bermacam-macam membentuk manusia, binatang, tanam-tanaman, batu-batuan dan
sebagainya. Jika atom itu dalam jumlah yang sangat besar bertabrakan serta terpental
ke berbagai jurusan, timbullah bermacam-macam benda. Atom ini bersama
gerakan-gerakannya di angkasa merupakan penjelasan tentang fenomena-fenomena.
Democritus merupakan seorang rasionalis yang mengatakan bahwa akal itu tahu
benda-benda yang benar. Persepsi indra hanya memberi pengetahuan yang relatif.
[222]Kelompok
materialis, sebagaimana kelompok aliran-aliran lainnya tidak sepakat atas
segala persoalan, atau tidak berpegang seluruhnya kepada persoalan-persoalan
tersebut di atas. Dalam dunia sekarang, materialisme dapat mengambil salah satu
dari dua bentuk, satu mekanisme atau materialisme mekanik (mechanistic
materialism) dengan tekanan pada sains alam; dan kedua materialisme dialektik
(dialectical materialsm) yang merupakan filsafat resmi Rusia, Cina, dan
kelompok-kelompok komunis lainnya di seluruh dunia. Materialisme mekanik
mempunyai daya tarik yang sangat besar oleh karena kesederhanaannya. Dengan
menerima pendekatan itu, seseorang merasa telah dapat membebaskan diri dari
problema-problema yang membingungkan yang selama beabad-abad. Apa yang riil
(benar, sungguh-sungguh ada) dalam manusia adalah badannya, dan ukuran
kebenaran atau realitas adalah sentuhan penglihatan dan suara, yakni alat-alat
verifikasi eksperimental (Juhaya S. Pradja,
1987).
[223]Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat
Pendidikan, 65.
[224]J. Donald Butler, Four
Philosophies, 81-82.
[225]Gerald L. Gutek, Historical and
Philosophical Foundations of Education (New Jersey: Prentice-Hall, inc.,
1997) 103.
[226]Gerald L. Gutek, Historical and Philosophical
Foundations of Education, 104.
[227]Ibid.
[228]M.A.W. Brouwer, Sejarah Barat
Modern dan Sejaman (Bandung: Alumni, 1980) 11-12; baca juga Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2
(Yogyakarta: Kanisius, 1980) 36-37.
[229]J. Donald Butler, Four Philosophies,
72-73.
[230]J. Donald Butler, Four
Philosophies and Their Practice in Education and Religion ( New York:
Harper & Brother Publishers, 1957)
64-79.
[231]Gerald L. Gutek, Historical and
Philosophical Foundations of Education, 279-80.
[232]Ibid.
[233]J. Donald Butler, Four
Philosophies, 76-77.
[234]Bobbi De Porter & Mike Hernacki, Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan (Bandung: Kaifa, 2000) 44.
[235]Hawasi, Thomas Aquinas:
Menyelaraskan antara Iman dan Akal (Jakarta: Polyama, 2003) iii.
[236]The World University
Encyclopedia (Washington DC: Publisher Company Inc,
1965) 3088.
[237]Hawasi, Thomas Aquinas, iv.
[238]Darmodiharjo, Pokok-pokok
Filsafat Hukum (Jakarta: Gramedia) 68.
[239]Sudarto, Metodologi Penelitian
Filsafat (Jakarta: Rajagrafindo Perkasa, 1996) 32.
[240] Hawasi, Thomas Aquinas, 6.
[241]Jostein Gaarder, Dunia Sophie (Bandung:
Mizan, 1999) 201.
[242]Hawasi, Thomas Aguinas, 7.
[243]Ibid. 10.
[244]Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh
Etika:Sejak Jaman Yunani sampai Abad ke 19
(Yogyakarta, Kanisius, 1997) 85.
[245]Ibid. 22-23.
[246]Hawasi, Thomas Aquinas, 24.
[247] Ibid. 26-27.
[248]Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika:Sejak Jaman Yunani sampai
Abad ke-19, 85.
[249]Hawasi, Thomas Aquinas, 32.
[250]Anton Bakker, Ontologi Metafisika Umum (Yogyakarta: Kanisius, 1992) 33.
[251]Hawasi, Thomas Aquinas, 35.
[252]Harun Hadiwijono, Sari FIlsafat Barat I (Yogyakarta:
Kanisius, 1992) 107-108.
[253]Hawasi, Thomas Aquinas, 39.
[254]Ibid. 43.
[255]Ibid. 46.
[256]The World University
Encyclopedia (Washington DC: Publisher Company Inc,
1965) 3088.
[257] Lihat
http//en.wikipedia.org/wiki/neothomisme (Diambil 25 Agustus 2000).
[258]Suparlan Suhartono, Filsafat
Pendidikan, 18.
[259]Ibid. 23.
[260]Ibid. 34.
[261] Dominic Strinati, Popular Culture: Pengantar Menuj Teori Budaya Populer (Yogyakarta:
Bentang Budaya, 1995) 17.
[262]Ibid. 18.
[263]Hawasi, Thomas Aquinas, 4.
[264]Werner C Graendorf, Introduction
of Biblical Christian Education (Chicago: Moody Press, 1981) 16.
[265]Charles Ryrie, Teologi Dasar I (Yogyakarta: Andi, 1991) 245.
[266]Ibid. 265.
[267]Ibid. 266-268.
[268]Jack Terry, Education Philosophy,
111 mengatakan bahwa pragmatisme mempunyai banyak nama seperti: “experimentalism”, “progressivism”,
“instrumentalism”, bahkan “reconstructionism”.
Berkaitan ini, Redja Mudyahardjo,
Filsafat Ilmu Pendidikan (Bandung:
Rosdakarya, 2004) 235-240 mengatakan bahwa salah satu aliran filsafat pendidik
dari beberapa aliran filsafat yang ada seperti: idealisme, realisme,
scholastisisme, empirisme, dan
neopositivisme.
[269]George F. Kneller, Introduction
to the Philosophy of`Education (New York: John Wiley & Sons, Inc.,
1971) 13; baca juga J. Donald Butler, Four Philosophies (New York: Harper
& Brothers Publisher, 1957) 417.
[270]Howard A. Ozmon & Samuel M. Craver, Philosophical Foundations of Education (New Jersey: Prentice Hall,
1995) 121-170; J. Donald Butler, Four Philosophies, 417-443; baca juga Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: CV Alfabeta, 2003) 118 mengatakan bahwa pendiri filsafat
pragmatisme di Amerika adalah Charles Sandre Peirce (1839-1914), William James
(1842-1910), dan John Dewey (1859-1952). Ketiga filosof tersebut berbeda, baik
dalam metodologi maupuan dalam kesimpulannya. Pragmatisme Pierce dilandasi oleh
fisika dan matematika, filsafat Dewey dilandasi oleh sains-sains sosial dan
biologi, sedangkan filsafat James adalah
personal, psikologis, dan bahkan mungkin religius. Tetapi sebenarnya,
latarbelakang pragmatisme dapat
ditemukan hasil kerja dari: Francis Bacon (a new way of thinking), John Locke
dan Jean-Jacques Rousseau (the centrality of Experience), Auguste Comte dan Charles
Darwin dan (science and society). Sedangkan tokoh yang mempengharuhi semua itu
para filosos Yunani mulanya seperti: Heraclitus dan The Sophists.
[271]Howard A. Ozmon & Samuel M. Craver, Philosophical Foundations of Education, 121. Istilah lainnya yang dapat diberikan
para filsafat pragmatisme adalah intrumentalisme dan eksperimentalisme. Disebut
instrumentalisme, karena mengganggap bahwa dalam hidup ini tidak dikenal tujuan
akhir, melainkan hanya tujuan berikutnya, termasuk dalam pendidikan tidak mengenal
tujuan akhir. Dikatakan eksperimentalisme, karena filsafat ini menggunakan
metode eksperimen dan berdasarkan atas pengalaman dalam menentukan
kebenarannya.
[272] William James, Pragmatism
(New York: Longmans, 1907) 54-55.
[273] Muis Sad Iman, Pendidikan
Partisipatif (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004) 42.
[274]George R. Knight, Philosophy and
Education (Michigan: Andrews University Press, 1980) 67-68.
[275]Jack Terry, Education Philosophy,
112.
[276]Nel Noddings, Philosophy of
Education (USA: Westview Press, 1995)
31.
[277]George R. Geiger, “An Experimentalist Approach to Education”, Modern Philosophies and Education, ed.
Nelson B. Henry (1955) 138.
[278]Howard A. Ozmon dan Samuel M. Craver, Philosophical Foundations of
Education, 122- 131.
[279]Baca Uyoh Sadulloh, Pengantar
Filsafat Pendidikan,119-123.
[280]George R. Knight, Philosophy and
Education, 13.
[281]Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu
Pendidikan,235-237.
[282]Ibid. 35.
[283]Ibid. 35.
[284]Ernest E. Bayles, Pragmatism in
Education (New York: Harper & Row, 1966) 42.
[285]J.P. Sarumpaet, Perbandingan
Pendidikan, Perancis, Inggris, Amerika Serikat dan Uni Soviet (Jakarta:
Djambatan, 1965) 144-145.
[286]Baca John Dewey, Democracy and
Education (New York: The McMillan Company, 1964) 69.
[287]Ibid.; baca Gerald L. Gutek, Historical
and Philosophical Foundations of Education (New Jersey: Prentice-Hall,
Inc., 1997) 318-321.
[288]Ibid. 56.
[289]Muis Sad Iman, Pendidikan
Partisipatif, 55.
[290]Ibid. 83-89.
[291]Ernest E. Bayles, Pragmatism in
Education (Newk York: Harper & Row Publishers, 1966) 92-108.
[292]Howard A. Ozmon & Samuel M. Craver, Philosophical Foundations of Education, 145-146.
[293] Baca Sidney Hook, in Education
for Modern Man (New York: Knopf, 1963).
[294]William Heard Kilpatrick, In
Education for a Changing Civilization (New York: Macmillan, 1927).
[295]George R. Geiger, “An Experimentalist Approach to Education”, 144.
[296]Ibid. 100.
[297]Jack Terry, Education Philosophy,
123.
[298]Wasty Soemanto dan Hendyat Soetopo,
Dasar & Teori Pendidikan Dunia
Tantangan bagi Para Pemimpin Pendidikan (Surabaya: Usaha Nasional, 1982)
121-125.
[299]Imam Barnadib, Fisafat
Pendidikan, Sistem dan Metode, 29.
[300]Baca Theodore Brameld, The
Pattern of Educational Philosophy (New York: The Mac. Milland Company,
1956).
[301]John Dewey, Experience and
Education: Pendidikan Berbasis Pengalaman (Bandung: Teraju, 2004) 10,12.
[302]Jack Terry, Education Philosophy,
123.
[303]George R. Knight, Philosophy and
Education, 73.
[304]Jack Terry, Education Philosophy,
122.
[305]Ernest E. Bayles, Pragmatism in
Education, 21.
[306]Ibid. 69.
[307]George R. Geiger, “An Experimentalist Approach to Education”, 149-153.
[308]Baca John Dewey, Experience and Education, 19-33.
[309]Howard A. Ozmon dan Samuel M. Craver, Philosophical Foundations of Education, 244-256.
[310]Van Cleve Morris, Existentialism
in Education: What it Mean’s `(Newk York: Harper & Row Publishers,
1966) 134.
[311]George F. Kneller, Introduction
to the Philosophy of Education (New
York: John Wiley & Sons, Inc.,
1964) 57-60.
[312]Howard A. Ozmon dan Samuel M.
Craver, Philosophical Foundations of Education, 175-184.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar