Translate

Rabu, 09 September 2020

Filsafat dan Sejarah PAK

 

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI BETHANY SURABAYA

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN

SILABUS

 

Jurusan                                    : Pendidikan Agama Kristen

Mata Kuliah                            : Filsafat dan Sejarah PAK

Bobot                                      : 2 SKS

Program                                   : S1- PAK

Standar Kompetensi               : Mahasiswa  mampu memahami hakekat, Tujuan dan Sejarah PAK

  Mahasiswa mampu Mengenal PAK dalam tinjuan Filsafat Kristen

Dosen Pengampu                    : Eko Basuki,M.Pd.K

 

Kompetensi Dasar

Indikator

Pengalaman Belajar

Materi Pokok

Alokasi Waktu

Sumber/Bahan/Alat

Penilaian

1. Mendefinisikan arti Pendidikan agama Kristen, Hakekat Pendidikan agama Kristen dan tujuan Pendidikan Agama Kristen

a. menjelaskan arti pendidikan Agama Kristen

 

b. menguraikan hakekat Pendidikan agama Kristen

 

c. menyebutkan Tujuan pendidikan Agama Krtisten

- M

a. penjelasan dari kelas

 

 

b. diskusi antar teman

 

 

c. Tanya jawab dosen dengan mahasiswa

a. arti pendidikan Agama Kristen (PAK)

 

b. Hakekat Pendidikan Agama Kristen (PAK)

c. Tujuan Pendidikan Agama Kristen (PAK)

1x100 menit

Diktat perkuliahan literature yang terkait, internet dan Alkitab

 

Tes Lisan, tes subyektif (uraian)

 

 

 

2. Menjelaskan Pendidkan Agama Kristen (PAK) dalam Perjanjian LAma

a. Menjelaskan Prinsip-prinsip Pendidkan Agama Kristen dalam Ulangan 6

 

b. Menjelaskan Estafet Rohani Pendidikan Agama Kristen menurut Mazmur 78

 

c. menjelaskan prinsip pengajaran dalam Pengkhotbah 11 dan 12

a. penjelasan dari kelas belajar

 

b. Diskusi antar teman satu meja

 

c. Tanya Jawab dosen dengan mahasiswa

a. Prinsip Pendidikan Agama Kristen menurut Ulangan 6:1

b. Tujuan Pendidikan Agama Kristen dalam Ulangan 6:2-3

c. Langkah-langkah mengajaran Pendidikan Agama Kristen menurut Ulangan 6:6-9

d. pengajaran estafet rohani Pendidikan Agama Kristen menuju Mzm 78

1x100 menit

Diktat Perkuliahan, Literatur yang terkait, internet dan alkitab

Lisan &

 

subyektif

3. menjelaskan Pendidikan Agama Kristen (PAK) dalam Perjanjian Baru

 

 

a.       Menguraikan prinsip-prinsip pengajaran Tuhan Yesus

b.      Mjelaskan pengajaran Tuhan Yesus kepada Anak

c.       Menyebutkan Tanggung jawab orang tua kepada anak

d.      Menjelaskan makna anak adalah berkat Allah

a.       Penjelasan dari kelas belajar

b.      Tanya jawab dalam kelas

a.       Prinsip-prinsip pengajaran Tuhan Yesus

b.      Pengajaran Tuhan Yesus kepada anak.

c.       Tanggung jawab orang tua kepasa anak.

d.      Makna anak adalah berkat Allah

1x100 menit

Literatur Diktat, buku Boehkle, R., Sejarah Perkembangan Pemikiran dan Praktek pendidikan agama Kristen 1 & 2

Lisan

 

 

 

 

Tugas Individu

4. Menjelaskan PAK dalam sejarah Gereja: Yunani – Romawi, dan Periode Perjanjian Baru

a.  Menguraikan PAK dalam Sejarah Gereja periode Yunani-Romawi

 

b. Menjelaskan PAK dalam Perjanjian Baru: pengajaran berpusat kepada Kristus

a.  Penjelasan dari kelas belajar.

 

b.mengadakan riset kepustakaan

 

c.diskusi-diskusi kelas (presentasi kelas)

a.       PAK pada Periode

·         Plato

·         Aristoteles

·         Quantilian

1x100 menit

Diktat perkuliahan, literature yang terkait, internet.

Buku sejarah perkembangan pemikiran dan praktek pendidikan agama Kristen dari Plato sampai Ign. Loyola

Tes Perbuatan (presentasi) keaktifan

 

5. Menguraikan PAKdalam Gereja Purba.

Mendiskusikan PAK pada periode Gereja Purba:

·         Clementus

·         Origenes

·         Hieronimus

·         Yohanes

Chrysostomus

·         Agustinus

a.       Penjelasan dari kelas belajar

b.      Diskusi kelas

c.       Melaporkan hasil diskusi kelas

(presentasi)

a.       Prinsip-prinsip Pendidikan Agama Kristen menurut Clementus

b.      Prinsip-prinsip Agama Kristen menurut Origenes

c.       Prinsip-prinsip Agama Kristen menurut Heironimus

d.      Prinsip-prinsip Agama Kristen Menurut Yohanes Chrysostomus

e.       Prinsip-prinsip Agama Kristen menurut Agustinus

1x100 menit

 

Diktat perkuliahan, literature yang terkait, internet.

Buku sejarah perkembangan pemikiran dan praktek pendidikan agama Kristen dari Plato sampai Ign. Loyola

Tes Perbuatan (Prtesentasi) Keaktifan

6. Menguraikan PAK dalam periode Abad pertengahan

a. mendiskusikan PAK dalam abad pertengahan pada masa:

Ø  Karel Agung

Ø  Alfred Agung

Ø  Rabanus Maurus

Ø  Petrus Abelradus

Ø  Santo Thomas Aquino

Ø  Jean Charlierde Gerson

a.       Penjelasan dari kelas belajar

b.      Diskusi kelas

c.       Presentasi kelas (hasil diskusi)

a.       Prinsip-prinsip pendidikan Agama Kristen Menurut Karel Agung.

b.      Prinsip-prinsip pendidikan Agama Kristen menurut Alfred Agung

c.       Prinsip-prinsip Pendidikan Agama Kristen Menurut Rabanus Maurus

d.      Prinsip-prinsip Pendidiakn agama Kristen Menurut Petrus abelradus

e.       Prinsip-prinsip agama Kristen menurut Santo Tomas Aquino

f.       Prinsip-prinsip Agama Kristen Menurut Jean Charlierde Gerson

1x100 menit

Diktat perkuliahan, literature yang terkait, internet.

Buku sejarah perkembangan pemikiran dan praktek pendidikan agama Kristen dari Plato sampai Ign. Loyola

 

Tes perbuatan (Presentasi) Keaktifan

7. menguraikan PAK pada masa Reformasi

a. mendiskusikan Pak pada periode Reformasi dalam masa :

Ø  Marthen Luther

Ø  Yoh. Calvin

 a.penjelasan dari kelas belajar

 

b.      diskusi kelas

c.       Presentasi kelas

a.       Prinsip-prinsipn Pendidikan Agama Kristen pada masa Marthin Luther

b.      Prinsip-prinsip Pendidikan agama Kristen pada masa Yoh. calvin

1x100 menit

Diktat perkuliahan, literature yang terkait, internet.

Buku sejarah perkembangan pemikiran dan praktek pendidikan agama Kristen dari Plato sampai Ign. Loyola

 

Tes keaktifan

8. Menguraikan PAK dalam Periode Ignatius Loyola

a. mendiskusikan

PAK dalam periode Reformasi pada masa : Ignatius Loyola

 

b. Mendiskusikan PAK dalam pendidikan Sekolah Minggu (Robert Raikes)

a. penjelasan dari Kelas belajar

 

b.Diskusi kelas

 

c.Presentasi kelas

a. Prinsip-prinsip pendidikan Agama Kristen menurut Ignatius Loyola

b. Perkembangan Sekolah Minggu dengan pendirinya

(Robert Raikes)

1x100 menit

Diktat perkuliahan, literature yang terkait, internet.

Buku sejarah perkembangan pemikiran dan praktek pendidikan agama Kristen dari Plato sampai Ign. Loyola

Tes perbuatan dan keaktifan (presentasi)

9.UTS

 

QUIS

 

1x100 menit

 

 

10. Menguraikan Setting Pendidikan Agama Kristen  (PAK)

a. Menjelaskan peran PAK bagi bayi dalam kandungan

 

6. menjelaskan Makna anaksebagai berkat Tuhan

a. penjelasan dari kelas belajar

 

b.diskusi antar teman satu meja

 

c. Tanya jawab dosen dengan Mahasiswa penjelasan dari kelas belajar.

a. Peran PAK bagi Bayi dalam kandungan

1x100 menit

Diktat perkuliahan, literature yang terkait,

Subyektif , Keaktifan

11. Menguraikan Setting Pendidikan Agama Kristen  (PAK)

a. menguraikan pentingnya PAK bagi perkembangan Remaja/Pemuda

 

b. Menguraikan peran PAK bagi Orang Dewasa

a. penjelasan dari kelas belajar

 

b.Diskusi Kelas

a. Pentingnya PAK bagi Remaja Pemuda

 

b.pentingnya PAK bagi Orang Dewasa

1x100 menit

Diktat perkuliahan, literature yang terkait,

 

12. Menjelaskan filsafat pendidikan kristen

a. Memberi penjelasan

tentang filsafat pendidikan

 

b.Memahami bagaimana metafisika pendidikan kristen berpusat pada Allah

 

c.Menjelaskan tentang etimologi pendidikan kristen berpusat pada pernyataan wahyu Allah

a.Mahasiswa mendengarkan penjelasan dan menulis catatan penting tentang filsafat pendidikan

 

b.Mahasiswa menulis poin-poin penitng mengenai filsafat pendidikan

Belajar filsafat pendidikan kristen dan menganalistis filsafat pendidikan kristen

1x100 menit

Diktat perkuliahan, literature yang terkait,

Sikap di kelas

13. Menguraikan ruang lingkup Pendidikan Agama Kristen (PAK)

a. Menjelaskan Pendidikan Agama Kristen (PAK) di sekolah

 

b.Menjelskan pendidikan Agama Kristen di Gereja

a. Mahasiswa mampu mempresentasikan tujuan pendidikan kristen

b. Mahasiswa menyimak penjelasan dosen

 

a.       PAK dalam Proses Pembelajaran

b.       

c.       Peran persekutuan Siswa Kristen

1x100 menit

Diktat perkuliahan, literature yang terkait,

 

14. mengidentifikasikan Alat peraga dan metode Pendidikan Agama Kristen

a. menyebutkan jenis alat peraga

 

b.mengidentifikasikan alat peraga dalam Alkitab

 

d.menyebutkan macam-macam metode yang efektif dalam proses pembelajaran PAK

 

a.       Ceramah dan Tanya jawab kelas

 

b.      Menggali Alkitab

 

 

c.       Diskusi

a.       Macam Alat peraga secara umum

 

b.      Macam alat peraga dalam Alkitab

 

c.       Macam-macam metode yang efektif dalam proses pembelajaran PAK

1x100 menit

Diktat perkuliahan, literature yang terkait,

Aktif di kelas

15. menjelasakn Alkitab suber utama Pembelajaran Pendidikan Agama kristen

a. menguraikan peran Roh Kudus dalam belajar Firman Allah

 

b. Menguraikan peran Roh Kudus bagi anak didik

a. Ceramah dan Tanya Jawab di kelas

 

b.Menggali Alkitab

 

c.Diskusi

a. Peran Roh Kudus dalam belajar Firman Allah

b. Peran Roh Kudus bagi anak didik

c. peran Roh Kudus bagi guru/pendidik

1x100 menit

Diktat perkuliahan, literature yang terkait,

uraian

16. Menjelaskan kurikulum berpusat pada Alkitab

- Menjelaskan apa yang dimaksud kurikulum berpusat pada Alkitab

- Menjelaskan metodologi berpusat pada interaksi

 

- Mahasiswa menulis poin-poin penting mengenai kurikulum yang berpusat pada Alkitab

- Mahasiswa mengemukakan pendapatnya tentang metodologi berpusat pada interaksi

Menjelaskan pusat kurikulum yaitu Alkitab

1x100 menit

Diktat perkuliahan, literature yang terkait, Alkitab

Tes subjyektif (uraian)

17. menguraikan fungsi proses pembelajaran Pendidkan Agama Kristen

a. menjelaskan fungsi Pendidkan Agama Kristen dalam mengajar anak didik percaya Yesus (Lahir Baru)

 

b.Menjelaskan fungsi Pendidikan Agama Kristen dalam membentuk Karakter anak didik (Hidup baru)

 

c.Menguraikan fungsi Peniddikan dalam menanamkan misi (penginjilan & pelayanan)

a. Ceramah dan tanaya jawab di kelas

 

b.Menggali Alkitab

 

c.Diskusi

a. Fungsi Pendidikan Agama Kristen dalam mengantar anak didik untuk percaya Yesus

 

b.Fungsi Pendidikan Agama Kristen dalam membentuk karakter anak didik (Hidup Baru)

c. Fungsi Pendidikan Agama Kristen dalam menenamkan misi (penginjilan & pelayanan)

1x100 menit

Diktat perkuliahan, literature yang terkait, Alkitab

 

18. Evaluasi Materi Pelajaran dari awal perkulihaan

 

UTS

 

 

 

UTS

 

Buku Sumber: 1. Bahan Ajar Filsafat dan Sejarah PAK

 

Sekolah Tinggi Teologi Bethany

Silabus

Mata Kuliah                : Filsafat PAK   

Bobot                          : 2 sks

Dosen                          : Eko Basuki

Waktu                         : 19-23 Januari 2016

 

Penjelasan

Seminar ini membicarakan ruang lingkup dan metode filsafat pendidikan  sebagai berikut: perbendaharaan kata dan persoalan Filsafat Pendidikan (Ontologi, Epistemologi, Axiologi),  Proses Pendidikan: In put, Institusi Pendidikan, Proses belajar mengajar  ada lima komponen proses (Guru, Kurikulum (Bahan Ajar), Metode Pembelajaran, Media pembelajaran, Anak Didik (Murid)  dan Evaluasi Hasil Akhir),  Out Put dan income; teori tentang Kebenaran, konflik antara etika dan estetika,  yang  berkaitan dengan berbagai pandangan Filsafat  yang  mempengaruhi Pendidikan: (1) Traditional Philosophies of Education:  Idealism, Realism, Materialisme dan Naturalism,  Tradisionalis (Neo-Thomism); (2) Modern Philosophies of Education:  Pragmatism (Experimentalism), Eksistensialisme; (3) Contemporary Theories of Education: Progresivisme, Perenialisme,  Esensialisme  dan  Rekonstruksionisme.

 

Tujuan  Umum (Kompetensi Dasar)

Melalui keseluruhan studi ini diharapkan setiap peserta dapat:  menjelaskan pengertian konsep-konsep filsafat pendidikan (Ontology, Epistemologi, Axiology; Idealism, Realism, Neo Thomisme, Pragmatisme, dan Existentialism) antara istilah dan problemanya yang dihadapinya dalam kerangka input – instiusi pendidikan -- Proses Belajar Mengajar – Output -- income.

 

Tujuan Khusus (Hasil Belajar)

 

1.      Mahasiswa mampu menjelaskan arti, ruanglingkup dan kajian filsafat dan filsafat pendidikan.

2.      Mahasiswa mampu mengemukakan peran filsafat dalam pendidikan kristiani, serta aspek metafisika, epistemologi dan aksiologi dalam praktek pendidikan kristian.

3.      Mahasiswa mampu menjelaskan istilah seperti: ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

4.      Mahasiswa mengidentifikasi aliran-aliran filsafat pendidikan seperti: idealism, realism pragmatism, existentialsm, perenialisme, progresivisme  dan  konstruksionisme.

5.      Mahasiswa mampu mengidentifikasikan corak filsafat pendidikan yang mewarnai pendidikan nasional di Indonesia dan inplikasinya bagi PAK di sekolah dan perguruan tinggi.

6.      Mahasiswa mampu merumuskan pemahamannya sendiri dalam bentuk sebuah tulisan ilmiah, tentang filsafat pendididkan kristiani dalam konteks pelayanan yang tengah dan akan dikerjakannya.

 

Pokok-pokok Bahasan

 

  1. Silabus
  2. Perbendaharaan Kata Filsafat Pendidikan
  3. Identitas Tiga Problem Dasar dalam Filsafat Pendidikan: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
  4. Proses Pendidikan: input – instiusi pendidikan -- Proses Belajar Mengajar – Output -- income.
  5. Hubungan Filsafat Pendidikan dengan Agama dan Sekuler
  6. Teori Kebenaran: Konsisten, Koresponden dan Pragmatis
  7. Konflik antara Etika dan Estetika
  8. Aliran-aliran Filsafat yang  Mempengaruhi Pendidikan: (1) Traditional Philosophies of Education:  Idealism, Realism, Materialisme dan Naturalism,  Tradisionalis (Neo-Thomism); (2) Modern Philosophies of Education:  Pragmatism (Experimentalism), Eksistensialisme; (3) Contemporary Theories of Education: Progresivisme, Perenialisme,  Esensialisme  dan Rekonstruksionisme
  9. Formulasi Filsafat Pendidikan Pribadi: Mahasiswa mengembangkan filsafat pendidikan secara perorangan dalam satu paper.

 

Bahan Utama

Harianto GP.  2015.  Diktat Filsafat Pendidikan Agama Kristen. Surabaya: STT Bethany.

 

Bahan Acuan Utama

Astley, Jeff.  1994. The Philosophy of Christian Religious Education. Birmingham: Religious Education Press.

Bayles, Ernest E.  1996. Pragmatism in Education. New York: Harper & Row.

Bernadib, Imam. 2002.  Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Adicita karya Nusa.

Boehlke, Robert. 1997.  Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Agama Kristen. Jilid II. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Boehlke, Robert. 1991. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Agama Kristen. Jilid 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Butle, J.Donald. 1966.  Idealism in Education. New York: Harper & Row.

Butler, J. Donald. 1957. Four Philosophies. New York: Harper & Brothers Publisher.

Daniels, Norman and Keith Lehrer (eds.). 1995.  Philosophy of Education. Colorado: Westview Press, Inc.

Geisler, Norman L. & Paul D. Feinberg. 2002. Filsafat dari Perspektif Kristiani. Malang: Gandum Mas.

Gutek, Gerald L. 1997.  Historical and Philosophical Fourdations of Education. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Henry, Nelson B. (ed.). 1955. Modern Philosophies and Education. Part 1. Chicago: University of Chicago Press.

Kneller, George F. 1971. Introduction to the Philosophy of Education. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Knight, Goerge R. 1980. Philosophy and Education. Berrien Springs: Andrews University Press.

Martin, WM. Oliver. 1969.  Realism in Education. New York: Harper & Row.

Morris, Van Cleve. 1966. Existentialism in Education.  New York: Harper & Row.

Mudyahardjo, Redja. 2004. Filsafat Ilmu Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Ozmon, Howard A. and  Samuel M. Craver. 1995.  Philosophical Foundations of Education. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Peterson, Michael L. 1986.  Philosophy of Education. Downers Grove: InterVarsity Press.

Sadulloh, Uyoh. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta.

Suparno, Paul. 1997.  Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

 

Metode

 

Dalam mewujudkan tujuan khusus atau hasil belajar di atas, kegiatan belajar mengajar ditempuh dengan pendekatan berikut:

1.      Ceramah (penjelasan dari dosen), diskusi dan tanya jawab

2.      Inquiry, Solving Problem

3.      Presentasi

4.      Diskusi

5.      Tugas-tugas pendalaman

 

Evaluasi dan Kriteria Penilaian

 

1.      Aktifitas dan kehadiran = 10%

2.      Tugas UTS  = 40%. Pembuatan Rumusan Filsafat Pendidikan (Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi) berdasarkan Nilai-nilai Alkitab. Bagian ini mahasiswa hanya mengumpulkan ayat-ayat Alkitab dan memberi tafsiran.  Setiap mahasiswa merumuskan nilai-nilai Alkitab dari 3 kitab.

3.      Tugas UAS = 50% Judul paper Evaluasi di antara  Ontologi (pilih Ontologi, Epistemologi atau Aksiologi) berdasarkan Kitab Daniel  (pilih 1 Kitab) dengan Pragmatisme (pilih 1 model Filsafat pendidikan) dan penerapannya di Sekolah Minggu Gereja Bethany Nginden Surabaya”. Fisafat Pendidikan pilih dari Ontologi, Epistemologi atau Aksiologi) berdasarkan Nilai-nilai Alkitab. Bagian ini terdiri dari 5 bab adalah: Bab I Pendahuluan, Bab II Filsafat Pendidikan Berdasarkan Kitab …; Bab III memilih satu model filsafat pendidikan  yang Saudara sukai, Bab IV Evaluasi di antara Filsafat pendidikan berdasarkan Kitab …. (1 Kitab) dengan model Filsafat pendidikan (1 model saja) dan penerapannya terhadap instiusi pendidikan di Indonesia; Bab V Kesimpulan dan saran.

 

 

Jadwal Kegiatan Belajar

Selasa, 19 Januari 2016

1.      Session 1 Silabus, Perbendaharaan Kata Filsafat Pendidikan, dan Identitas Tiga Problem Dasar dalam Filsafat Pendidikan:  Ontology, Epistemologi, dan Axiology

2.      Session 2 Lima Komponen Dasar dalam Proses Filsafat Pendidikan:  Guru, Murid, Kurikulum, Metode dan Hasil Akhir,  Hubungan Filsafat Pendidikan dengan Agama dan Sekuler  dan Teori Kebenaran: Konsisten, Koresponden dan Pragmatis

 

Rabu, 20 Januari 2016

1.      Session 3 Konflik antara Etika dan Estetika, Idealism; Presentasi 1- Realism

2.      Session 4  Presentasi 2-Materialisme; Presentasi 3-Tradisionalis (Neo-Thomism)

 

Kamis, 21 Januari 2016

1.      Session 5 Presentasi 4- Pragmatism (Experimentalism) 

2.      Session 6 Presentasi 5 -  Eksistensialisme

 

Jumat, 22 Januari 2016

1.      Session 7 Presentasi 6 - Progresivisme  

2.      Session 8 Presentasi 7 - Perenialisme

 

Sabtu, 23 Januari 2016

1.      Session 9 Presentasi 8 - Esensialisme

2.      Session 10 Presentasi 9 - Rekonstruksionisme  dan Pendalaman Tugas Paper

 


I. PERBENDAHARAAN KATA FILSAFAT PENDIDIKAN

Pengertian  Filsafat

Filsafat berasal dari dua istilah Yunani “philos” dan “sophia”, yang berarti “cinta kebijaksanaan”; “cinta akan hikmat”; “cinta akan pengetahuan”. Seorang “filsuf” adalah seorang “pencinta”, “pencari” (philos) hikmat atau pengetahuan (sophia).[1] Karena kecintaan, keinginan atau kerinduannya orang berupaya mencari, menggali dan merumuskan kebenaran. Kebenaran hal ini menyangkut pertanyaan-pertanyaan tentang makna dan tujuan hidup yang paling hakiki (the quest of life).[2] Selanjutnya dengan kehidupan atau perkembangan peradaban manusia dan problema kehidupan yang dihadapinya, maka pengertian yang bersifat teoris seperti  yang dilahirkan filsafat Yunani di atas kehilangan kemampuannya untuk memberi jawaban yang layak tentang kebenaran itu. Peradaban itu telah menyebabkan manusia melakukan loncatan besar dalam bidang sains, teknologi, kedokteran dan pendidikan.[3]

Misalnya peradaban manusia Eropa pada abad pertengahan hidup dalam kesadaran  bahwa kenyataan bersifat sakramental, artinya merupakan tanda dan lambang mengenai kenyataan ilahi. Itulah pengalaman hidupnya. Berbeda dengan waktu Renaissance timbullah pengalaman bahwa kenyataan itu merupakan dunia kebendaan, materi, yang hakekatnya bersifat matematis, dapat digariskan, dipatoki dengan jelas dan cermat.[4] Dari sini filsafat menjadi pengalaman kehidupan sehari-hari. Filsafat dapat “mengkodratkan” pengalaman dan menjadikannya kesadaran dalam satu sistem.[5]

Berkaitan dengan konsep filsafat di atas, maka George Knight menjabarkan lebih jelas. Ia merumuskan bahwa filsafat memiliki tiga dimensi sebagai berikut:  pertama, sebagai “subject matter” atau konsep: filsafat mempelajari  masalah-masalah metafisika (apa yang nyata), epistemology (pengetahuan dan bagaimana mengetahui), dan aksiologi (nilai, etika dan keindahan). Kedua, sebagai kegiatan: filsafat menempuh langkah-langkah analisis, sintesis, spekulatif dan  preskriptif. Ketiga, filsafat melibatkan sikap (attitude):  kesadaran diri, penetratif, komprehensif, dan fleksibilitas.[6]  Jadi,  filsafat adalah kegiatan yang senantiasa bertujuan untuk membentuk atau merumuskan “pandangan dunia” (worldview) dalam rangka mencari hikmat atau pengetahuan.

Metode Filsafat

Filsafat mempergunakan banyak cara, berbagai metode, dan multi metode. Metode berasal dari perkataan Yunani “Methodos”, yang artinya: (1) sesuatu prosedur yang dipakai untuk mencapai sesuatu tujuan; (2) sesuatu teknik mengetahui yang dipakai dalam proses mencari ilmu pengetahuan dari sesuatu materi tertentu; (3) sesuatu ilmu yang merumuskan aturan-aturan dari suatu prosedur.[7] Mohammad Noor Syam mengatakan ada beberapa metode filsafat sebagai berikut: pertama, contemplative (perenungan). Merenung berarti memikirkan sesuatu, atau segala sesuatu, tanpa keharusan adanya kontak langsung dengan obyeknya. Obyek perenungan dapat berupa apa saja, misalnya tentang makna hidup, mati, kebenaran, keadilan, keindahan dan sebagainya.  Hal ini cara filsafat untuk memikirkan segalanya secara mendalam.  Kedua, speculative (perenungan atau merenung). Merenung lebih mendalam untuk mencari hakekat ilmu dengan pikiran yang tenang, kritis, pikiran murni dan cenderung menganalisa, menghubungkan antara masalah, dan berulang-ulang sampai mantap.  Ketiga, deductive.  Metode deductive adalah berpikir dan penyelidikan ilmiah umumnya menggunakan metode induktif. Proses induktif adalah penyelidikan berdasarkan eksperimen yang dimulai dari obyek yang khusus untuk mendapat kesimpulan yang bersifat umum.[8]

 

Ruang Lingkup Kajian Filsafat

Dari definisi “filsafat” di atas, maka ruang lingkup kajian filsafat dapat diartikan sebagai aktifitas pikiran teratur  yang membentuk worldview seseorang sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan.  Jadi,  filsafat  menggambarkan satu aspek dari aspek-aspek pelaksanaan falsafah umum dan menitikberatkan kepada pelaksanaan prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasar dari filsafat umum dalam upaya memecahkan persoalan pendidikan secara praktis.

Bila diberi contoh kaitannya dengan pendidikan, maka Donald Butler mengatakan bahwa filsafat memberikan arah dan metodologi terhadap praktek pendidikan, sedangkan praktek pendidikan memberikan bahan-bahan bagi pertimbangan-pertimbangan filosofis. Keduanya sangat berkaitan erat.[9]  Berkaitan dengan hal tersebut, maka John Dewey mengatakan filsafat merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional), menuju ke arah karakter manusia, maka filsafat bisa juga diartikan “sebagai teori umum  pendidikan”.[10]

 

Metode Filsafat Pendidikan

Dalam dunia pendidikan dikenal istilah “paedagogie” artinya “pendidikan” dan istilah “paedagogiek” artinya ilmu pendidikan. Pedagogik atau ilmu pendidikan ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki, merenungkan tentang gejala-gejala perbuatan mendidik.  Pedagogik berasal dari kata Yunani “paedagogia” yang berarti “pergaulan dengan anak-anak”. Paedagogos  (paedos “anak”; agoge “saya membimbing, memimpin”) ialah seorang pelayan dalam zaman Yunani kuno, yang pekerjaannya mengantar dan menjemput anak-anak ke dan dari sekolah.  Juga di rumahnya, anak-anak tersebut selalu dalam pengawasan dan penjagaan  dari para  paedagogos itu. Jadi nyatalah bahwa pendidikan anak-anak Yunani kuno sebagian dibesar dan diserahkan kepada paedagogos.[11]  Sedangkan dalam kata Latin  terdiri dari kata “educare”  artinya “merawat, memperlengkapi dengan gizi, agar sehat dan kuat” dan kata “educere” artinya “membimbing keluar dari”. 

Secara historis filsafat pendidikan dikembangkan oleh Aristoteles, Augustinus, dan John Locke adalah filsafat tentang  proses pendidikan sebagai bagian dari sistem filsafat mereka dalam konteks teori-teori etika, politik, epistemologi, dan metafisika  yang mereka anut. Sedangkan filsafat pendidikan yang dikembangkan akhir-akhir ini, oleh pengaruh filsafat analitik, merupakan filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan dalam konteks dasar-dasar pendidikan (foundations of education) yang dihubungkan dengan bagian-bagian  lain dalam disiplin ilmu pendidikan, yaitu sejarah pendidikan, psikologi pendidikan, dan sosiologi pendidikan.[12] Berkaitan di atas, maka Donald Butler mengatakan bahwa filsafat memberikan arah dan metodologi terhadap praktek pendidikan, sedangkan praktek pendidikan memberikan bahan-bahan bagi pertimbangan-pertimbangan filosofis. Keduanya sangat berkaitan erat.[13]

John Dewey mengatakan filsafat pendidikan merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional), menuju ke arah karakter manusia, maka filsafat bisa juga diartikan “sebagai teori umum pendidikan”.[14] Sedangkan Barnadib mengatakan bahwa filsaat pendidikan ialah ilmu yang pada hakikatnya merupakan “jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam bidang pendidikan”. Karenanya, dengan bersifat filosofi maka filsafat pendidikan merupakan “aplikasi sesuatu filosofis terhadap bidang pendidikan”.[15] Brubachen mengatakan bahwa filsafat dipandang sebagai bunga, bukan sebagai akar tunggal pendidikan. Filsafat pendidikan berdiri secara  bebas dengan memperoleh keuntungan karena mempunyai kaitan dengan ilmu umum, meskipun demikian tidak penting tetapi yang terjadi ialah sesuatu keterpaduan antara pandangan filosofis dengan filsafat pendidikan. Hal itu terjadi karena filsafat sering diartikan sebagai teori pendidikan dalam segala tahap.[16] Sedangkan Jan Hendrik Rapar mengatakan bahwa filsafat pendidikan adalah pemikiran-pemikiran filsafati tentang pendidikan atau pemikiran-pemikiran filsafat tentang proses pendidikan.[17]

Dalam Ensiklopedi  Pendidikan (1982) secara umum pendidikan dapat diartikan sebagai “semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya, serta keterampilannya kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah”.  Penegasan itu menyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha atau upaya sadar tujuan, atau bersahaja, dan karena itu, ia menuntut perencanaan, strategi atau pendekatan.[18] Berkaitan di atas, B.S. Mardiaatmadja  mengatakan bahwa pendidikan adalah suatu usaha bersama dalam  proses terpadu-terorganisir untuk membantu manusia mengembangkan diri dan menyiapkan diri  guna mengambil tempat semestinya dalam pengembangan masyarakat dan dunianya di hadapan Sang Pencita.[19] Ngalim Purwanto juga mendefinisikan bahwa pendidikan adalah  segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan atau agar berguna bagi diri sendiri dan bagi masyarakat.[20]  Poerbakawatja juga sependapat dengan definisi pendidikan yang sebelumnya adalah usaha secara sengaja dari orang dewasa yang mana dengan pengaruhnya meningkatkan kedewasaan dari anak yang selalu diartikan kemampuan untuk memikul tanggung jawab moril dari segala perbuatannya.[21] Jadi, pendidikan secara menyeluruh menyangkut segala segi hidup manusia. John Dewey mengatakan bahwa pendidikan adalah sebagai proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya rasa (emosi) manusia.[22]  Jadi dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa filsafat pendidikan adalah aktifitas pikiran teratur yang membentuk wolrdview seseorang sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan.

Karena sifat filsafat pendidikan begitu luas maka filsafat pendidikan tidak berdiri pada satu sisi lingkup saja melainkan mempunyai berbagai ruang yang menjadi kajiannya. Brubacher mengatakan bahwa sifat filsafat pendidikan sebagai berikut: Pertama, spekulatif  (sinoptik maupun sintesis) di mana dengan prinsip ini seseorang berpikir secara menyeluruh, komprehensif dan integrative; berpikir tentang sesuatu dari berbagai sudut pandang. Kedua, normative di mana ada sesuatu yang dianggap ideal atau standar, yang dijadikan sebagai titik tolak ataupun patokan, serta kriteria penilaian. Ketiga, kritis (critical) di mana seseorang mampu memberi penjelasan terhadap makna dari istilah atau konsep yang digunakan.[23] 

Berkaitan dengan sifat filsafat pendidikan (spekulatif, normative, dan critical), maka John Verhaar memperlihatkannya  bagaimana kerjanya dalam pendidikan akademis. Verhaar merumuskan dalam tiga taraf, yaitu: instruksi, edukasi, dan formasi.  Pada tataran instruksi yang disajikan kepada para mahasiswa ialah informasi, bukan pendapat; atau sejumlah pendapat tentang sesuatu masalah, tetapi hanya sebagai inventaris pendapat. Taraf instruksi dibedakan dari taraf edukasi atau  formasi. Taraf edukasi  dan formasi perlu refleksi, introspeksi, mawas diri. Pada tataran edukasi terlaksanalah hal-hal yang perlu untuk integrasi intelektual dari data-data  termasuk informasi dari tataran instruksi. Pada umumnya di tataran edukasi itu dikembangkan kemampuan untuk berpikir secara kritis, dengan suatu metode yang konsekuen dan untuk membangun sesuatu teori. Pada tataran formasi ialah penyadaran tentang dirinya sebagai “person”  yang mempunyai banyak keterbatasannya-keterbatasannya dalam pergaulan dengan orang lain.[24] Sedangkan Harry Hamersma membagi menjadi empat bidang besar sebagai berikut: Pertama, filsafat tentang pengetahuan: epistemology, logika, dan kritik ilmu-ilmu. Kedua, filsafat tentang keseluruhan kenyataan: metafisika umum (atau ontology) dan metafisika khusus (teori metafisika, antropologi, dan kosmologi). Ketiga, filsafat tentang tindakan: etika dan estetika. Keempat, sejarah filsafat.[25]

Lebih dalam, maka Jalaluddin dan Idi merumuskan bahwa ruang lingkup filsafat pendidikan terbagi menjadi dua bagian sebagai berikut: secara makro (umum) apa yang menjadi obyek pemikiran filsafat dan obyek pemikiran filsafat pendidikan, yaitu: dalam ruang lingkup yang menjangkau permasalahan kehidupan manusia, alam semesta dan alam sekitarnya.  Secara mikro (khusus) meliputi: Pertama, merumuskan secara tegas sifat hakikat pendidikan (the nature of education). Kedua, merumuskan sifat hakikat manusia, sebagai subyek dan obyek pendidikan (the nature of man). Ketiga, merumuskan secara tegas hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, agama dan kebudayaan. Keempat, merumuskan hubungan  antara filsafat, filsafat pendidikan dan teori pendidikan. Kelima, merumuskan hubungan antara filsafat Negara (ideologi), filsafat pendidikan dan politik pendidikan (sistem pendidikan). Keenam, merumuskan sistem nilai-norma atau isi moral pendidikan yang merupakan tujuan pendidikan.[26]

II. Identitas Tiga Problem Dasar

dalam Filsafat Pendidikan

 

Identitas tiga probem dasar dalam filsafat pendidikan adalah menekankan pada ontology (metafisika),  epistemology dan aksiologi.  Ketiga hal tersebut adalah dasar atau pintu filsafat pendidikan.

Makna Ontologi (Metafisika)

Metafisika berasal dari bahasa Yunani Kuno, yang terdiri dari dua kata “meta” dan “fisika”. Meta berarti “sesudah di belakang”, atau “melampaui”, dan “fisika” berarti alam nyata. Istilah metafisika merupakan judul yang diberikan oleh Andronikos dari Rhodes terhadap empat belas buku yang ditulis oleh Aristoteles, yang ditempatkan sesudah fisika yang terdiri dari delapan buku. Aristoteles sendiri tidak menggunakan istilah metafisika dan fisika, melainkan “filsafat pertama untuk metafisika” dan “filsafat kedua untuk fisika”.[27]

Kata “metafisika” itu saat ini memiliki berbagai arti. Metafisika bisa berarti upaya untuk mengkarakterisasi eksistensi atau realitas sebagai suatu keseluruhan, atau berarti sebagai usaha untuk menyelidiki alam yang berada di luar pengalaman atau menyelidiki apakah hakikat yang berada di balik realitas. Tetapi secara umum, metafisika menunjuk pada arti suatu pembahasan filsafati yang komprehensif mengenai seluruh realitas atau tentang segala sesuatu yang ada.

Metafisika dibagi menjadi dua sebagai berikut: metafisika umum (ontologi) dan metafisika khusus (kosmologi, teologi metafisik, dan filsafat antropologi).[28]  Ontolongi membahas tentang teori umum mengenai semua hal, sedangkan metafisika khusus membahas esensi dari yang ada, hakikat dari segala wujud yang ada: siapa manusia, dari mana asal usulnya, apa yang dituju manusia, dan untuk apa hidup di dunia ini.[29]

            Pembahasan ontologi dilakukan dengan membedakan dan memisahkan eksistensi “dari segala sesuatu”. Pertanyaan-pertanyaan ontologi yang utama dan paling sering diajukan adalah sebagai berikut: apakah suatu realitas itu beraneka ragam dan berbeda-beda? Apakah hakekatnya satu atau tidak? Apabila  memang benar satu, apakah realitas yang satu itu.apakah eksistensi yang sesungguhnya dari segala sesuatu yang ada itu merupakan realitas yang tampak atau tidak?

            Ada tiga teori ontologis[30] antara lain: Pertama, idealisme, teori ini mengajarkan bahwa ada yang sesungguhnya berada di dunia ide. Segala sesuatu yang tampak dan mewujudkan nyata dalam alam indrawi hanya merupakan gambaran atau bayangan dari yang sesungguhnya yang berada di dunia ide. Kedua, materialisme menolak hal-hal yang tidak kelihatan. Bagi materialisme, ada yang sesungguhnya adalah yang keberadaannya semata-mata bersifat material atau sama sekali tidak bergantung pada material. Jadi realitas sesungguhnya adalah alam kebendaan dan segala sesuatu yang mengatasi alam kebendaan itu haruslah dikesampingkan.[31]  Ketiga, dualisme mengajarkan bahwa substansi individual terdiri dari dua fundamental yang berbeda dan tak dapat direduksikan kepada yang lainnya. Kedua tipe fundamentalis dari substansional itu ialah material dan mental.[32] Dengan demikian dualisme mengakui bahwa realitas terdiri dari materi atau yang ada secara fisis dan mental atau yang beradanya tidak kelihatan secara fisis. Dualisme harus dibedakan dari monisme dan pluralisme. Monisme dan Pluralisme adalah teori tentang jumlah substansi dan bukan mempersoalkan tipe fundamental dari substansi itu.

 

Epistemologi

Istilah “epistemologi” berasal dari bahasa Yunani Kuno, dengan asal kata “episteme” yang berarti “pengetahuan” dan “logos” (kata, pikiran, percakapan atau ilmu), yang berarti “teori”. Secara etimologi, epistemologi berarti teori pengetahuan. Epistemologi membahas atau mengkaji tentang asal, struktur, metoda, serta keabsahan pengetahuan.[33]

            Epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang bersangkut paut dengan teori pengetahuan.[34]  Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani,  yang terdiri dari dua kata “Episteme” (pengetahuan)  dan “logos” (kata; pikiran; ilmu). Jadi jikalau disimpulkan maknanya, maka istilah epistemologi berarti “kata, pikiran, percakapan tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan”. [35]

Sedangkan, secara tradisional yang menjadi pokok persoalan epistemologi ialah sumber, asal-usul, sifat dasar pengetahuan; bidang, batas, dan jangkauan pengetahuan;  serta validitas dan reliabilitas (reability) dari berbagai klaim pengetahuan. Oleh sebab itu, rangkaian pertanyaan yang biasa diajukan untuk mendalami permasalahan yang dipersoalkan dalam epistemologi adalah sebagai berikut:  Apa pengetahuan itu? Apakah yang menjadi sumber dan dasar pengetahuan itu? Apakah pengetahuan itu berasal dari pengamatan, pengalaman, atau akal budi? Apakah pengetahuan itu adalah kebenaran yang pasti ataukah hanya merupakan dugaan?[36]

            Jika dikatakan bahwa seseorang mengetahui sesuatu, itu berarti ia memiliki pengetahuan tentang sesuatu itu.  Dengan demikian, pengetahuan  adalah suatu kata yang digunakan untuk menunjuk kepada apa yang diketahui oleh seseorang tentang sesuatu. Pengetahuan memiliki subyek yaitu yang mengetahui, karena tanpa ada yang mengetahui tidak mungkin ada pengetahuan. Jika ada subyek, pasti ada obyeknya, yakni sesuatu hal yang  seseorang ketahui atau dihendaki untuk diketahui. 

            Pengetahuan dibagi dalam tiga jenis yaitu: Pertama,  pengetahuan biasa (ordinary knowledge). Kedua, pengetahuan ilmiah (scientific knowledge). Ketiga, pengetahuan filsafat  (philosophical knowledge). [37] Berkaitan hal tersebut, maka sumber utama pengetahuan bisa bersumber  dari akal  budi atau rasio.[38]

           

Aksiologi

Secara etimologi, istilah “aksiologi” berasal dari bahasa Yunani Kuno, terdiri dari kata “aksios” yang berarti “nilai” dan kata “logos”  yang berarti “teori”. Aksiologi mempelajari nilai. Jadi, aksiologi adalah teori nilai yang membahas hekikat nilai, tipe nilai, kriteria nilai, dan status metafisika nilai.[39]

Aksiologi menunjuk pada suatu nilai tertentu.  Nilai suatu obyek sangat dipengaruhi nilai subyek yang ada.  Manusia memiliki nilai, sehingga nilai seseorang dari apa yang diungkapkan maupun dilakukan. Nilai-nilai sangat relative, tetapi ada nilai yang jauh lebih mutlak dan ditempat tinggi dibanding dengan nilai-nilai relative yang dibawah. Manusia berbuat baik karena mengetahui nilai yang ada pada dirinya. Pada aksiologi yang mengarah suatu kebaikan yang tertinggi berupa kebahagiaan dan cinta kasih Tuhan.[40]

Bagi Louis Kattsoff bahwa nilai merupakan kualitas empiris yang tidak dapat didefinisikan dan sebagai obyek suatu kepentingan.[41] Meskipun begitu, nilai mempunyai macam makna sebagai berikut: (1) mengandung nilai (artinya, berguna); (2) merupakan nilai (artinya, “baik” atau “benar” atau “indah”); (3) mempunyai nilai (artinya, merupakan obyek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan orang mengambil sikap “menyetujui”, atau mempunyai sifat nilai tertentu); (4) memberi nilai (artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu).[42]

Berkaitan dengan makna nilai, maka timbul beberapa pertanyaan: Apakah yang dinamakan nilai itu? Apakah yang menyebabkan bahwa suatu obyek atau perbuatan bernilai, dan bagaimanakah cara mengetahui? Bilamanakah sebutan nilai dapat diterapkan? Proses kejiwaan apakah yang tersangkut dalam tanggapan-tanggapan penilaian? Bagaimanakah cara menentukan makna-makna yang dikandungnya serta verifikasi yang dapat dilakukan terhadapnya?

 Nilai suatu obyek sangat dipengaruhi oleh nilai subyek yang ada.  Manusia memiliki nilai, sehingga nilai seseorang dari apa yang diungkapkan maupun dilakukan. Nilai-nilai sangat relative, tetapi ada nilai yang jauh lebih mutlak dan ditempat tinggi dibanding dengan nilai-nilai relative yang dibawah. Manusia berbuat baik karena mengetahui nilai yang ada pada dirinya. Pada aksiologi yang mengarah suatu kebaikan yang tertinggi berupa kebahagiaan dan cinta kasih Tuhan.[43]

 


 

III. Lima Komponen Dasar

dalam Proses Filsafat Pendidikan

 

Lima komponen dasar dalam proses filsafat pendidikan mengidentifikasikan: Kurikulum, Guru, Metode,  Murid  dan Hasil Akhir dalam proses Filsafat Pendidikan. Tetapi, S. Nasution mengatakan ada empat elemen filsafat pendidikan sebagai berikut: tujuan pendidikan, mata pelajaran, proses belajar-mengajar, dan evaluasi hasil akhir.[44] Pemahaman di atas diuraikan sebagai berikut:

 

Visi ke Tujuan Pendidikan

Pemahaman tujuan pendidikan dilihat dari scholastisisme dan  empirisme. Secara “scholastisisme”  di mana Thoma Aquinus dan kawan-kawan mengatakan bahwa tujuan-tujuan pendidikan adalah: Pertama, tidak semata-mata ditujukan untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia, tetapi terutama untuk mencapai kebahagiaan hidup di akhirat dalam pengenalan jiwa dengan  Tuhan. Kedua, untuk mencapai tujuan tersebut pendidikan harus tertuju pada pengembangan keseluruhan potensi manusia yang mencakup:  intelektual, fisik (jasmaniah), volitional (kemauan), dan vokasional (bekerja).[45] 

Sedangkan  secara “empirisme”, maka John Locke dan kawan-kawan mengatakan  bahwa  bertujuan adalah: Pertama, membentuk manusia yang berwatak atau berkebajikan (gentlemen; gentlewoman) yaitu, manusia yang dapat mengendalikan segala perasaan kecenderungan dan berbuat semata-mata berdasarkan pikiran sehat. Kedua, manusia berwatak mempunyai ciri-ciri: bijaksana dalam mengambil keputusan,  cermat dalan berbuat, dan sungguh-sungguh dalam berpikir.[46]

Bila dikaitan dengan pendidikan maka tujuan-tujuan di atas bermula dari sebuah visi. Visi menjabarkan tujuan-tujuan. Visi merupakan perwujudan proses pendidikan. Visi adalah rumusan konsep permulaan untuk diwujudkan dalam  bentuk-bentuk aktifitas (misi) dalam proses pendidikan. Berkaitan dengan visi maka  J.E. Sahetapy mengatakan bahwa  “tanpa visi maka hidup seseorang akan terombang-ambing. Ia seperti kehilangan kompas bila berada di lautan kehidupan bergelombang ganas di malam gelap.  Tanpa misi hidup seseorang akan steril, tak berbuah, tidak berbunga dan tak berkembang”.[47]  W. Gulo berpendapat bahwa ada dua dimensi yang menyatu dalam visi, yaitu dimensi “atas-bawah” dan dimensi “akan-kini”. Dimensi atas-bawah itu tidak lain dari pernyataan Allah yang mengandung nilai-nilai yang ingin diwujudkan dalam situasi yang konkrit seperti: kasih, keadilan, dan kebenaran. Dimensi akan-kini menunjukkan hubungan antara realitas dan idealis. Menurut Gulo, visi dibangun di atas kenyataan yang ada, dimana pemahaman di atas kenyataan yang ada itu dihadirkan yang ideal, yaitu pernyataan Allah.[48] Visi seperti inilah yang diharapkan menjadi landasan konseptual bagi pengelola pendidikan baik secara formal maupun nonformal yang sebagai dasar untuk menjabarkan tujuan. Apabila visi adalah pendorong atau pedoman konseptual, maka tujuan adalah sasaran operasional, dimana untuk mencapai tujuan dimaksud maka perlu untuk menetapkan misinya. Misi ini adalah landasan bagi tatalaksana operasional dari lembaga pendidikan (Sekolah Alkitab atau Teologi) itu, dimana untuk melaksanakan misinya, setiap lembaga pendidikan perlu menetapkan kurikulum pengajaran.[49]  Dengan demikian, maka adanya tujuan yang dinyatakan dari visi dalam proses pendidikan sangatlah penting. Kalau tanpa visi segala kegiatan adalah liar, maka proses pendidikan tanpa tujuan adalah sia-sia.

 

Mata Pelajaran (Kurikulum)

Bahan pelajaran adalah bahan yang diajarkan kepada peserta didik. Bahan pelajaran dalam arti sempit disebut “kurikulum” (arti luas kurikulum: tujuan pendidikan, bahan pelajaran, proses belajar-mengajar “pendidik dan peserta didik,  dan evaluasi hasil akhir).

 

Kurikulum dalam Arti Sempit

Secara tradisional (arti sempit), istilah kurikulum diartikan sebagai rencana tentang sejumlah mata pelajaran atau bahan ajaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga pendidikan untuk dipelajari oleh siswa dalam mengikuti pendidikan di lembaga itu.[50]  Dalam kamus “Webster’s New International Dictionary”  yang sudah memasukan istilah kurikulum sejak tahun 1953, memberi arti kepada istilah kurikulum sebagai berikut:  1) sebagai sejumlah  pelajaran yang ditetapkan untuk dipelajari oleh siswa di suatu sekolah atau perguruan tinggi, untuk memperoleh suatu ijazah atau gelar. 2) keseluruhan mata pelajaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga pendidikan atau suatu departemen tertentu.

Memang umumnya kurikulum dipahami orang sebagai bahan-bahan tercetak (buku, majalah) berisikan pelajaran, petunjuk-petunjuk, gambar-gambar, soal-soal dan sebagainya. Kata lain  kurikulum sebagai bahan pelajaran (subject matter).[51] 

 

Kurikulum dalam Arti Luas

Sebelum abad ke-20, istilah kurikulum belum banyak digunakan dalam konteks pendidikan.  Konsep-konsep kurikulum mulai berkembang sejak dipublikasikannya buku “The Curriculum” yang ditulis oleh Franklin Bobbitt (1918). Di sini kurikulum mempunyai arti yang lebih meluas. Kurikulum adalah suatu rencana yang menjadi panduan dalam menyelenggarakan proses pendidikan.[52]

Melanjutkan pemikiran di atas, maka  Saylor, Alexander dan Lewis merumuskan kurikulum sebagai berikut: pertama, kurikulum sebagai rencana tentang mata pelajaran atau bahan-bahan pelajaran. Kedua, kurikulum sebagai rencana tentang pengalaman belajar. Ketiga, kurikulum sebagai rencana tentang tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Keempat, kurikulum sebagai rencana tentang tempat belajar.[53]  Tak heran bila Eli Tanya merumuskan  kurikulum berarti “sepanjang hidup belajar, meringkas segala pengalaman dan pengaruh-pengaruh yang terdapat di sekeliling murid.[54] International Council of Religious Education mendefinisikan kurikulum adalah “pengalaman si pelajar di bawah bimbingan.”[55]

Abdul Rajak Husain mengatakan kurikulum adalah  seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar.[56]

 

Unsur-unsur Design Kurikulum Arti Luas

W.P. Napitupulu merumuskan bahwa komponen kurikulum sebagai berikut: guru – murid -- bahan pelajaran  --  alat-alat pendidikan. Di sini guru memegang peran penting  dan terberat. Keberhasilan proses belajar ditentukan oleh seorang guru.[57] Sementara  Ornstein  mengatakan bahwa proses kurikulum antara caranya (metode  proses belajar-mengajar) dengan materinya (bahan pelajaran). Kedua merupakan proses yang berjalan bersama-sama.[58]   Tetapi rumusan ini sudah tertinggal karena muncul rumusan yang dirangkum oleh Muhammad Ali. Ia  merumuskan komponen-komponen kurikulum sebagai berikut: komponen tujuan, komponen isi atau materi, komponen metode atau organisasi, dan komponen evaluasi.[59]  Uraian komponen-komponen di atas sebagai berikut:

 

Komponen Tujuan

Komponen tujuan adalah arah atau sasaran yang hendak dituju oleh proses penyelenggara pendidikan.  Dalam setiap kegiatan sepatutnya mempunyai tujuan, karena tujuan menuntun kepada apa yang hendak dicapai, atau sebagai gambaran tentang hasil akhir dari suatu kegiatan.

Penerapan konsep tujuan kurikulum pertama kali dikemukakan oleh Franklin Bobbit. Prosedur yang digunakan dalam pengembangan kurikulum dengan menerapkan konsep ini adalah dengan  merumuskan tujuan-tujuan. Prosedur Bobbit ini selanjutnya oleh Ralp Tyler lebih dirinci yang pertama kali dimunculkan tahun 1949. Tyler mengatakan bahwa prinsip-prinsip perencanaan kurikulum dan pengajaran dengan mengajukan empat pertanyaan: “Tujuan apa yang ingin dicapai? Pengalaman belajar apa yang perlu disiapkan untuk mencapai tujuan itu? Bagaimana kegiatan-kegiatan belajar itu diorganisasi secara efektif? Bagaimana menilai keberhasilan pencapaian tujuan?”[60]

 

Komponen Isi Kurikulum

Komponen isi kurikulum  adalah materi bahan belajar. Wujud isi kurikulum ada beberapa sebagai berikut: pertama, “Uniform Lesson” (pelajaran seragam). Bahan  pelajaran yang sama ditujukan untuk semua golongan umur. Kedua, “Group-graded Lesson” (pelajaran yang disesuaikan dengan kelompok). Bahan pelajaran yang berbeda ditujukan untuk kelompok umur yang berlainan. Ketiga, “Closely-graded Lesson” (pelajaran yang disesuaikan secara ketat). Misalnya bahan pelajaran khusus untuk satu tahun saja. Keempat, buku-buku pelajaran untuk sekolah. Di Indonesia ditujukan untuk pelajaran-pelajaran tingkat SD, SMP, dan SMU. Kelima, bahan-bahan pelajaran lain.[61]

Wujud kurikulum (bahan pelajaran) yang lainnya adalah: pertama, kurikulum denominasi di mana yang diterbitkan oleh denominasi tertentu, untuk kalangan sendiri. Kedua, kurikulum bukan denominasi di mana penerbitnya bukan denominasi, tetapi komersial. Ketiga, kurikulum usaha bersama di mana  diterbitkan dari beberapa denominasi bersama-sama. Keempat, kurikulum yang berpusatkan isi (Content-centered Curriculum) di mana memusatkan pelajaran Alkitab, membahas bagian-bagian Alkitab satu per satu. Kelima, kurikulum yang berpusatkan pengalaman (Experience Centered Curriculum) di mana isinya menitikberatkan pada pengalaman murid, kemudian menghubungkannya dengan Alkitab atau imam Kristen. Keenam, kurikulum berdasarkan studi unit (Unit of Study) di mana tujuannya adalah memberi pelajaran yang lebih luas, baik pengalaman atau pokok pelajaran.[62] 

 

Komponen Metode

Komponen  metode atau organisasi adalah bagaimana isi kurikulum yang berupa bahan pelajaran disampaikan kepada siswa. Komponen ini juga disebut kegiatan belajar mengajar  atau  “administrasi kurikulum” (di luar negeri disebut “Administration of the Instructional Program”).  Kegiatan ini merupakan pusat dari semua kegiatan-kegiatan sekolah. Semua mengaturan dan pengaturan mengenai: murid agar dapat belajar dengan tenang, guru-guru supaya dapat mengajar dengan teratur, tenang dan tertib pula; penggunaan alat pelajaran yang efektif dan efisien; penggunaan waktu untu belajar, untuk rekreasi, untuk kegiatan co-curriculair; untuk ulangan-ulangan  dan ujian, dan sebagainya. Semua itu bertujuan agar proses belajar mengajar semakin lancar.

 

Komponen Evaluasi

Komponen evaluasi adalah bagian yang sangat penting di mana hasil evaluasi dapat memberi petunjuk kepada sasaran yang ingin dituju dapat tercapai atau tidak.

 

Hubungan Kurikulum dan Rencana Kurikulum

Kurikulum bukan suatu yang statis melainkan dinamis tetapi seseorang tidak dapat menawarkan sebuah kurikulum yang mendapatkan hasil akhir sempurna.[63] Yang ada adalah kurikulum yang efektif dapat memaksimalkan hasil yang maksimal.[64] Karena itu, maka kurikulum terus berkembangan sesuai dengan kebutuhan zaman karenanya kurikulum perlu mempunyai perencanaan. Muhammad Ali menawarkan berbagai perencanaan kurikulum seperti: kurikulum sebagai pengalaman belajar, kurikulum sebagai rencana belajar, kurikulum humanistis, kurikulum sebagai rekonstruksi sosial, kurikulum sebagai teknologi,  kurikulum akademis, dan banyak lagi.[65]

 

Kurikulum Sentral Proses Pendidikan

Kurikulum  mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan pendidikan.[66] Kurikulum adalah  tak peduli bagaimana rancangan detailnya, terdiri atas unsur-unsur tertentu. Suatu kurikulum biasanya mengandung suatu kenyataan mengenai maksud dan tujuan tertentu. Kurikulum memberi petunjuk tentang beberapa pilihan dan susunan isinya. Kurikulum menyuratkan pola-pola belajar dan mengajar tertentu, baik karena dikehendaki oleh tujuannya maupun oleh susunan isinya. Akibatnya kurikulum memerlukan suatu program pengevaluasian hasil-hasilnya.[67] Jadi, ruang lingkup filsafat pendidikan berbicara menjawab segala persoalan pendidikan  (termasuk kurikulum) baik yang berorientasi kepada nilai-nilai  agama[68] atau pengetahuan (duniawi).[69]

 

Relasi  Visi dengan Kurikulum

Dari pemahaman “visi” dan “kurikulum” dapat direlasikan bahwa  keduanya mempunyai keterkaitan satu dengan yang lain.  Visi adalah perumusan apa yang mau dicapai sedangkan kurikulum (misi) adalah  proses bekerja untuk mewujudkan visi. Jadi, kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan dan selalu menjadi satu kesatuan dalam filsafat pendidikan. Relasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

 


Falsafah hidup (worldview)

(Visi)

                                                                                                            area teori

 

filsafat pendidikan 

(frame dan isi “pendidikan”)

 


Ruang lingkup filsafat pendidikan 

yang berbentuk kurikulum

(tujuan, bahan pelajaran,

proses belajar-mengajar, dan evaluasi)

                                                                                                                        area praktek

Alumni di lapangan

(hasil proses pendidikan )

 

Semula seseorang (pengelola pendidikan) mempunyai falsafah hidup (worldview). Dalam mengisi hidupnya, misalnya ia mempunyai visi “memberitakan Injil”. Untuk mewujudkan visi itu maka ia mendirikan “lembaga pendidikan formal”. Visi itu mewarnai  frame (filsafat) dan isi (pendidikan). Visi “memberitakan Injil”  mengisi kerja ruang lingkup filsafat pendidikan (elemen-elemen kurikulum).  Memang isi kurikulum   tunduk terhadap visi tetapi elemen-elemen kurikukum tergantung kepada filsafat pendidikan (tujuan, bahan pelajaran, proses belajar-mengajar, dan evaluasi).

Dari visi dirumuskanlah tujuan pendidikan, lalu menyusun bahan pelajaran  yang sesuai dengan tujuan pendidikan, mengembangkan strategi proses belajar-mengajar dan memberi penilaian yang berorentasi kepada visi.  Hasil dari kurikulum (proses pendidikan) adalah  alumni di lapangan (praktek).

Proses Kurikulum

Proses kurikulum merupakan cerminan suatu visi. Kegagalan menterjemahkan visi dalam kurikulum adalah menghasilkan kesenjangan antara teori dengan prakteknya. Karena itu, setiap komponen kurikulum haruslah saling kait mengkait dengan tujuan, bahan pelajaran, proses belajar-mengajar, dan penilaian. Jadi, agar kesenjangan teori dan praktek tidak begitu melebar, maka perlu membuat rumusan tujuan pendidikan.  Berhasil tidaknya visi tergantung pada tujuan pendidikan yang dirumuskannya.  Tujuan pendidikan berdasarkan pada visi. Bejamin Bloom, dkk,  membagi tujuan  pendidikan menjadi tiga bagian sebagai berikut:  Pertama, tujuan kognitif meliputi segi intelektual (mengetahui, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan  mengevaluasi). Kedua, tujuan afektif meliputi kesadaran akan sesuatu, perasaan, dan penilaian sesuatu (memperhatikan, merespon, menghargai, mengorganisasi, dan mengkarakterisasi nilai-nilai). Ketiga, tujuan psikomotor meliputi tingkat kegiatan (melakukan gerakan fisik, menunjukan kemampuan perseptual, memperlihatkan kemampuan fisik yang mengandung  ketahanan kekuatan, melakukan gerakan yang terampil, dan mengadakan komunikasi).[70]

Untuk mentransmisi bahan pelajaran yang berpusat kepada visi  membawa transformasi maka dibutuhkan proses belajar-mengajar (pendidik dan yang dididik) yang  relevan. Proses tersebut tidak saja dipahami adalah metode menyampaikan bahan pelajaran kepada peserta didik di kelas tetapi kehidupan pengajar itu sendiri adalah metode yang efektif dalam mengajar.

Kurikulum yang menghasilkan transformasi seperti di atas dapat mengikuti teori “Holland’s Two-Track Analogy Adapted Model” yang  diadaptasi oleh J. Robert Clinton  dari disertasi Fred Holland di Fuller Theological Seminary sangat  kuat mempengaruhi pada kehidupan mahasiswanya.   Teori ini mengatakan ada empat elemen sebagai berikut: pertama, input (bahan pengajaran atau kuliah yang disampaikan oleh pendidik). Kedua, pengalaman pelayanan (peluang para mahasiswa untuk mempraktekan bahan yang telah diterimanya dalam pertemuan berkala baik yang terstruktur maupun tidak terstruktur di dalam kehidupan nyata). Ketiga, refleksi dinamis (pertemuan berkala yang wujudnya bisa pertemuan kelas, diskusi berkala ataupun tutorial). Keempat, pembinaan rohani (segala kegiatan yang difasilitasi lembaga pendidikan untuk membina dan meningkatkan kualitas kerohanian mahasiswanya).[71]

Untuk menentukan keberhasilan proses belajar-mengajar di atas, maka diperlukan  alat penilaian atau evaluasi. Tentu saja dinyatakan bahwa proses pendidikan berhasil bila alumni di lapangan melayani sesuai dengan visi yang sudah dirumuskan oleh tujuan pendidikan. Misalnya bila visi suatu lembaga pendidikan adalah dalam bidang pastoral maka proses pendidikan menghasilkan alumni-alumni yang melayani bidang pastoral. Juga bila visinya adalah missioner (pemberita Injil) maka  alumni dari proses pendidikan tersebut pelayanan bidang pemberitaan Injil. Tetapi, proses pendidikan dinyatakan kurang begitu berhasil bila  antara visi tidak dijawab oleh praktek.

 

Proses Belajar Mengajar

 

Proses belajar mengajar terdiri dari pendidik (guru) dan peserta didik (murid).Tentu saja agar pengajaran menjadi efektif, maka perlu dikembangan metode mengajar (ceramah, tanya-jawab, kombinasi keduanya, atau yang lainnya).  Berkaitan hal tersebut, maka  filsafat pendidikan (dalam arti luas) ialah pemikiran-pemikiran fisafati tentang pendidikan, atau filsafat tentang proses pendidikan, atau filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan (the philosophy of the discipline of education). Filsafat tentang proses pendidikan bersangkut-paut dengan cita-cita, bentuk, metode, atau hasil dari proses pendidikan.[72]  Secara sejarah,  proses filsafat pendidikan dikembangkan oleh para filsuf seperti Aristoteles, Augustinus dan Locke sebagai bagian dari sistem  filsafat mereka dalam konteks teori-teori etika, politik, epistemologi, dan metafisika yang mereka anut.[73]

Filsafat pendidikan dapat dibedakan menjadi dua bagian adalah filsafat pendidikan praktek dan filsafat ilmu pendidikan. Filsafat pendidikan praktek  adalah analisis kritis dan komprehensif tentang bagaimana seharusnya pendidikan diselenggarakan dan dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Filsafat praktek pendidikan dapat dibedakan menjadi: filsafat proses pendidikan (biasa disebut “filsafat pendidikan”) dan filsafat sosial pendidikan. Filsafat proses pendidikan adalah analisis kritis dan komprehensif tentang  bagaimana seharusnya kegiatan dilaksanakan dalam kehidupan manusia.  Filsafat proses pendidikan biasanya membahas tiga masalah pokok, yaitu: Apakah sebenarnya pendidikan itu? Apakah tujuan pendidikan itu sebenarnya? Bagaimana cara mencapai tujuan pendidikan?[74]

 

 

Hubungan Guru-Murid

Istilah “hubungan guru–murid” adalah “interpersonal relationship” atau hubungan pribadi demi pribadi.[75]  Pada pengertian ini, hubungan itu menempatkan guru maupun murid sebagai dua pihak yang menjalin relasi sejajar melalui sesuatu yang dapat mengikat mereka.  Pengikatan hubungan tersebut terjadi melalui periode tertentu. Penopang hubungan guru-murid adalah penggunaan waktunya, demikian keyakinan Howard Mayes.  Hubungan adalah suatu keadaan relasi yang sangat berharga dan yang memerlukan waktu untuk menciptakannya.[76]  Hubungan guru-murid adalah hubungan antara dua pihak oleh karena suatu ikatan, dan memerlukan waktu untuk menumbuhkannya.

Dalam buku Teknik Mengajar, Benson mengemukakan mengatakan bahwa “Faktor yang juga menentukan keberhasilan seorang guru ialah sifat hubungan guru dengan anak didiknya.  Mengajar meliputi hubungan pribadi dan persahabatan yang akrab antara pengajar dan muridnya.  Kasih seorang guru masih dikenang setelah fakta yang diajarkannya sudah lama terlupakan.”[77]

Hubungan pribadi guru-murid adalah bagian penting dari proses pengajaran.  Baik buruknya hubungan antara pembimbing dan yang dibimbing merupakan unsur yang amat penting dalam menentukan berhasil atau tidaknya bimbingan yang diberikan.[78]  Hubungan guru-murid memiliki berperan penting bagi pengajaran.

 

Model–Model Hubungan

Model-Model hubungan berikut ini berdasarkan kesimpulan dari tindakan dan perilaku dari tokoh atau kelompok orang dalam masanya, seperti dikisahkan Alkitab.  Tokoh, orang atau kelompok yang diambil adalah yang menampakkan pola tertentu dalam praktik mengajarnya. 

 

Hubungan Model Perjanjian Lama

Proses pendidikan pada masa Perjanjian Lama memiliki cakupan sangat luas karena menyangkut berbagai aspek kehidupan.  Metode yang digunakan lebih bersifat indoktrinasi yang dilakukan oleh pihak guru, yaitu orang tua, nabi, atau orang yang dipercaya mengajar.  Usaha indoktrinasi dilakukan untuk menjaga iman secara turun-temurun.[79] Edward L. Hayes menyakini bahwa kata “Lamath” adalah yang paling sering digunakan untuk maksud mengajar.  Kata itu sendiri berarti “mengajar”, yang secara harfiah berarti “memukul dengan tongkat”.  Maksud mengajar di sini adalah mendorong murid untuk peniruan atau latihan.[80]  Hubungan guru-murid pada masa itu, dapat disimpulkan dari cara guru mengajar yang otoriter itu.  Tindakan indoktrinasi dan otoriter itu untuk suatu tujuan yang jelas dan benar yaitu menengakkan iman dan pengabdian kepada Allah.[81]  Tepatlah bila hubungan guru-murid pada masa itu disebut model “hubungan otoriter bertujuan”.

 

Hubungan Model Yesus

Yesus sebagai guru telah mengajar berdasarkan otoritas, wibawa atau kuasa.  Orang yang mendengar pengajaran-Nya menjadi takjub, terpukau, dan kemudian memberi respon positif (Matius 7:28-29).  Murid-murid dan orang banyak memanggil Dia sebagai “Rabi”, artinya “Yang Agung” (Matius 26:25,49; Markus 9:5; 11:21; Yohanes 1:38,49; 3:2; 4:31).[82]  J.M. Price dalam buku Yesus Guru Agung juga menyatakan bahwa Yesus menekankan hubungan perseorangan dalam pengajaran-Nya.  Sebagian besar waktu-Nya dihabiskan bersama dengan pribadi-pribadi atau kelompok kecil.  Yesus menaruh simpati, berbicara, memberi makan dan menyembuhkan mereka.[83]  Yesus meneladankan sebuah model hubungan yang baik, berwibawa tetapi bersahabat.  Hubungan yang dikembangkan-Nya adalah “hubungan kewibawaan yang bersahabat”.

 

Hubungan Model Paulus

Paulus mengajar dengan menggunakan pendekatan dialogis, tanya jawab dan diskusi.[84]  Pendapat itu dilengkapi dengan informasi dari William Barclay bahwa Paulus adalah seorang rabi, yang pada masa kini setara dengan guru besar.  Ia memiliki kemahiran dan kepandaian dalam bidangnya.[85]  Kecakapan Paulus dalam mengajar sangat mengagumkan pendengarnya.  Ia dapat mengelola proses belajar dengan menempatkan dirinya sebagai otoritas namun tidak berlaku secara otoritatif.[86]  Hubungan guru-murid yang dikembangkan oleh Paulus adalah “hubungan kewibawaan yang dialogis”.

 

Hubungan Model Jemaat Mula-Mula

Edward L. Hayes berpendapat, bahwa kehidupan orang Kristen mula-mula menyatu dalam wujud ibadah, persekutuan, dan belajar.[87]  Di antara jemaat ada semangat untuk saling mengajar dalam rangka penumbuhan iman. Paulus, seperti yang dikisahkan dalam Kolose 3:16 dan 1 Korintus 14:26, berperan memberi dorongan agar mereka saling mengajar dalam suasana terbuka, bebas mengemukakan pendapat, serta berdiskusi untuk menanggapi firman Tuhan.[88]  Hubungan guru-murid yang terbentuk dapat dibayangkan melalui suasana belajar mereka.  Hubungan kebersamaan dan saling menumbuhkan” tampaknya dapat ditetapkan sebagai sebutan bagi model hubungan guru-murid yang terjadi pada waktu itu.

 

Penerapan Model Hubungan

Model hubungan guru-murid yang diciptakan oleh seorang guru sesungguhnya tidak ekstrem.  Guru-guru Kristen akan menerapkan unsur hubungan dengan variasi dan kombinasi-kombinasi.  Guru yang berdisiplin, ternyata juga mengusahakan hubungan akrab dengan murid-muridnya.  Sebaliknya, guru yang sangat akrab dengan murid, sesungguhnya memperhatikan disiplin di kelas juga. Ada relatifitas pilihan guru dalam menciptakan hubungan dan gaya kepemimpinan.  Ada titik-titik koordinat yang adalah titik temu antara satu ektrem dengan ekstrem yang lain atau bagian kecil suatu ekstrem dengan bagian besar ekstrem lainnya.[89]  Ada aspek-aspek yang belum diusahakan dengan baik oleh guru bagi hubungan guru-murid yang efektif.  Secara faktual model suatu hubungan tidak diterapkan sepenuhnya oleh guru dalam membina hubungan dengan murid, tetapi secara ideal dan untuk efektivitas pengajaran ternyata guru juga belum mengusahakannya dengan baik.

Hubungan guru-murid yang efektif bagi proses pengajaran ditentukan oleh beragam faktor.  Berdasarkan pendapat-pendapat beberapa ahli pendidikan, hal-hal yang perlu diteliti berkaitan dengan hal ini adalah filsafat guru, kerohanian guru, kepribadian guru, kebijakan pengelolaan pengajaran khususnya pemilihan metode, kebijakan memimpin kelas, hubungan pribadi dengan murid, dan cara berkomunikasi.

 

Faktor Keadaan Diri Guru

Pemahaman tentang keadaan diri guru adalah hal penting yang perlu diteliti berkaitan dengan hubungan guru-murid, sebab guru adalah penentu kualitas hubungan tersebut.  Aspek atau faktor pada diri guru sangat beragam. Ada beberapa aspek di bawah ini yang relevan dengan persoalan ini.

 

Faktor-Faktor Pendorong

Filsafat pendidikan yang dipahami akan turut memberi dampak terhadap pemikiran tentang kebijakan serta pelaksanaan pendidikan.[90] Pandangan hidup yang dimiliki seorang guru mendasari kualitas guru.[91]  Pandangan hidup guru menjadi titik tolak bagaimana guru akan mengajar dan menjalin hubungan dengan murid.

Guru Kristen perlu termotivasi mengajar oleh karena panggilannya menjadi guru adalah rahmat Allah.  Berdasarkan Efesus 4:11-12 dan Roma 12:7, karunia guru dan keguruan yang diberikan Allah adalah karunia yang sejajar dengan karunia lainnya. Itulah motivasi yang baik bagi seorang guru.  Tugas guru sangat penting, dan tanggung jawabnya berat.  Di dalam pekerjannya ia menghadapi jiwa manusia yang besar nilainya di hadapan Allah.[92]  Motivasi itu akan memberi dorongan yang baik untuk menjalankan tugas pengajaran, termasuk bagaimana membangun hubungan dengan murid sebagai bagian dari proses pengajaran itu sendiri.

Motivasi yang baik harus disertai tujuan yang baik.  Sasaran akhir seluruh upaya mengajarkan iman Kristen mestinya membimbing, menuntun, memberi pengarahan, dan dorongan bagi individu dan kelompok sedemikian rupa sehingga mereka menyadari dan menjalani panggilan hidupnya dalam kerangka menjadi murid Kristus (Mat. 28:19-20).[93]  Tujuan guru yang baik adalah membawa ajaran sehat dan jujur (Tit. 1:9; 2:7), yang berakar di dalam ajaran Kitab Suci (2Tim. 3:16), yang perlu terus ditekuni (2Tes. 2:15; Kol. 2:7).  Tujuan pemuridan adalah tujuan tertinggi yang harus disimak oleh guru dalam menjalankan tugasnya.  Sebab dalam kerangka menjadi murid Yesus-lah individu dan kelompok akan semakin mengenal jati dirinya dan akan semakin mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan perbuatan (Mat. 22:37-39).  Tujuan tertinggi dari setiap kegiatan belajar mengajar yang dikelola haruslah membawa dan mendorong peserta didik untuk lebih banyak belajar mengenal Allah.

 

Iman dan Kerohanian

Iman dan kerohanian seorang guru sangat berperan dalam proses pendidikan dan pengajaran.  Hubungan guru-murid sebagai faktor penting keberhasilan pengajaran, ditentukan juga oleh kualitas iman dan kerohanian guru.[94]  Iman dan kerohanian seorang guru harus sungguh bermutu.

Benson menguraikan kualitas iman itu sebagai kualitas iman kepada Allah, kepada Alkitab dan kepada panggilan Allah.  Iman seorang guru Kristen yang efektif haruslah iman yang aktif, iman yang tergetar akan keajaiban Alkitab dan iman yang sadar secara mendalam akan panggilan mengajar.[95]  Pemikiran itu serupa dengan pendapat Sijabat bahwa kualitas guru memang menyangkut kualitas iman guru itu, yang terdiri atas iman tentang kedududukannya dalam Kristus, tentang panggilan dan tentang penyerahan hidup.[96]  Guru yang dapat menciptakan hubungan efektif dengan murid adalah yang memiliki iman berkualitas.

Seorang guru harus mempunyai pengalaman rohani, demikian dikatakan Homrighausen dan Enklaar.[97]  Ia harus mengenal Tuhan Yesus dan hatinya dijamah oleh Roh Kudus. Tuntutan dasar bagi kerohanian seorang guru adalah sudah dilahirkan kembali.  Kelahiran kembali adalah suatu perubahan menyeluruh secara terpadu dan dramatis yang dapat disamakan dengan kelahiran, kejadian, kembali atau kebangkitan.[98]  Seseorang yang sudah dilahirkan kembali pasti sudah mengalami: pengakuan dosa (Rm. 3:23), kesadaran akan akibat dosa (Rm. 6:23), pertobatan yang benar (Luk. 13 :5), kesadaran akan perlunya Tuhan dan Juru Selamat (Kis. 4:12), dan percaya kepada Tuhan Yesus (Yoh. 1:12-13).  Karena itu, dalam diri seorang guru yang sudah dilahirkan kembali terlihat: imannya nyata (Yak. 2:26), membenci dosa (1Yoh. 3:9; 5:18); mengalahkan keduniawian (1Yoh. 5:4); memiliki pengetahuan yang benar tentang Allah (Kol. 3:10); tampak serupa dengan pribadi Allah (Ef. 4:24; Kol. 3 :10); tampak serupa dengan Kristus (Rm. 8:29; 1Yoh. 3;2); serta menyukai hukum Allah (Rm. 7:22).[99]  Kelahiran kembali adalah faktor kerohanian yang sangat perlu dimiliki guru dalam proses pengajaran.

 

Kepribadian Guru

Benson juga menyebutkan bahwa aspek kepribadian guru turut mempengaruhi hubungan guru tersebut dengan orang-orang lain.[100]  Aspek kepribadian yang sangat penting bagi hubungan guru dengan orang lain, dalam hal ini murid, ditegaskan Benson dengan mengatakan:

 

“Setiap orang (khususnya murid) yang berhubungan dengan dia (guru) terpengaruh oleh kehidupannya karena kuasa Roh kudus sangat nyata di dalam dirinya.  Setiap guru Kristen perlu bertumbuh menuju kepribadian matang yang seperti Kristus”.[101]

 

Kepribadian yang matang dapat diawali dengan adanya konsep diri positif dan profesionalisme pada diri guru.[102]  Aspek kepribadian itu bersangkut paut dengan aspek fisik, pikiran, temperamen, dan spiritual.[103]  Sesungguhnya dapat dipahami bahwa kepribadian guru, yakni keberadaan hati, watak, perilaku dan akal budi perlu berkualitas baik.  Hal itu sesuai dengan Firman Tuhan dalam Markus 12:30 agar manusia mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati, jiwa dan akal budi.

Pada segi lain, hati seorang guru seharusnya penuh kasih.  Guru harus mengasihi Allah (Mzm. 97:10), taat kepada Allah (1Yoh. 5:3), bersukacita (Mzm. 5:12), mengasihi murid-muridnya, dan mengasihi firman Tuhan.  Dalam 1 Korintus 13 disebutkan bahwa kasih itu sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak sombong, sopan, tidak egois, tidak pemarah, tidak mendendam, dan tidak suka ketidakadilan.  Pestalozzi yang diakui sebagai pendiri Sekolah Dasar Modern, mengatakan:

 

“guru harus memiliki kasih yang menjadi dasar bagi hubungan antara orang, ketertiban yang berlaku dalam ruang kelas dan kemampuan mengendalikan diri yang dihargai lebih tinggi ketimbang kepintaran…”[104]

 

Perilaku guru yang berkualitas tampak dari watak yang baik pula. Guru yang baik dengan karakter dasar apapun akan tampak penuh kasih, pengabdian, bijaksana, dan adil.[105]  Pengabdiannya diberikan dengan semangat kerelaan.[106]  Watak, sifat dan yang tampak dalam perilaku guru yang baik menjadi tanda adanya komitmen penyerahan hidup yang benar.[107]

 

Faktor Kepemimpinan Instruksional

Hubungan guru-murid yang terjadi di kelas ditentukan melalui peranan guru.  Kepemimpinan guru di kelas merupakan bentuk nyata dari peran guru di kelas.

 

Peran Guru

Homrighausen dan Enklaar berpendapat bahwa guru adalah penafsir iman, seorang gembala bagi murid-muridnya, pedoman dan pemimpin, dan seorang penginjil.[108]  Sijabat menambahkan, peranan guru juga sebagai seorang ahli, motivator, fasilitator, pemimpin, komunikator, agen sosialisasi, dan pelajar.  Guru yang memiliki ragam peran dalam proses pengajaran itu pasti tidak akan terpisah dari persoalan interaksi dengan murid.  Pada seluruh peranan tersebut, guru menjadi pusat interaksi dalam menjalankan setiap peranan tersebut.  Tugas dan peran guru penting dan tanggung jawabnya sangat berat, termasuk ketika berinteraksi dengan muridnya.[109]

Tugas dan perannya yang sangat penting membuat guru layak disebut sebagai “Arsitek Jiwa”, demikian Stephen Tong memberikan sebutan bagi guru.  Guru bukan sekedar tukang batu yang sedang membangun rumah.  Guru adalah seorang perancang total yang meliputi segala aspek.[110]  Satu aspek yang penting adalah peran guru sebagai “a center of constantly changing relationship”, demikian dinyatakan Wayne R. Rood, dalam buku The Art of Teaching Christianity.  Guru adalah pusat perubahan dari hubungan-hubungan, termasuk hubungan guru-murid.  Sikap, kebijakan dan perilaku guru di kelas adalah yang menentukan bagaimana hubungannya dengan murid berubah lebih baik atau buruk.[111]  Jelaslah, peran guru sangat penting dalam proses pengajaran, terutama dalam menciptakan keberadaan suatu hubungan guru-murid.

 

Mendisain Pengajaran

Seperti yang dikatakan Sijabat, bahwa filsafat seseorang akan mempengaruhi kebijakan pelaksanaan pengajarannya di kelas.  Karena itu, filsafat dan keyakinan guru menentukan cara guru merencanakan pengajarannya, termasuk dalam memilih metode mengajar.

Guru yang berkomitmen untuk memiliki hubungan baik dengan murid serta mengajar dengan baik akan melakukan perencanaan dan persiapan mengajar dengan baik pula.  Persiapan mengajar adalah hal yang perlu dan baik untuk dilakukan.  John T. Sisemore memberikan alasan tentang perlunya perencanaan, yaitu bahwa Alkitab mengutamakan perencanaan pengajaran yang: terencana (2Tim. 2:15), dan teratur (2Tim. 3:16).  Roh Kudus menghormati perencanaan, karena dapat: menolong guru (1Kor. 2:12), dan memberi kekuatan (Yoh. 14:26).[112]  Perencanaan yang baik membuat guru siap, yakin, kuat dan mantap dalam mengajar.  Keadaan baik dari guru ini membuat proses mengajar berjalan baik, dan murid dilayani dengan baik.  Perencanaan sangat penting dilakukan guru untuk mengawali terciptanya hubungan yang baik.

Perihal pemilihan metode juga menentukan kualitas hubungan guru-murid.  Sijabat menyatakan bahwa pemilihan metode mengajar akan mempengaruhi kualitas interaksi guru-murid.[113]  Pendapat tersebut yang didasarkan juga kepada pendapat ahli lainnya, yakni Lawrense O. Richards dan Jim Wilhoit, menandakan bahwa pemilihan metode mempengaruhi interaksi dan hubungan guru-murid.

 

Kebijakan Pengelolaan Kelas

Guru yang memimpin dan mengelola kelas mempunyai berbagai kebijakan-kebijakan.  Sijabat mengusulkan ada tiga hal penting, yaitu mengaturan lingkungan kelas, pengaturan disiplin yang berhubungan dengan peraturan dan pembinaan motivasi.  Dua di antaranya, yakni penentuan peraturan dan bimbingan motivasi adalah yang menentukan penciptaan hubungan guru-murid.  Sijabat memberikan penegasan bahwa pengelolaan peraturan harus dilakukan dalam suasana hubungan antar pribadi yang tulus dan terbuka.[114]  Sedangkan untuk menimbulkan motivasi yang baik, seorang guru perlu menghargai murid dan membina hubungan persahabatan.  Kecermatan pengambilan kebijakan guru dalam mengelola kelas sangat menentukan keadaan hubungan guru-murid yang terjadi.

Pengelolaan kelas yang didasari persahabatan akan menjadi landasan bagi guru untuk memiliki kebijakan pengelolaan kelas yang tepat.  Benson menekankan, bahwa keterlibatan murid dalam pengajaran adalah penting bagi hubungan yang hangat dan saling menerima antara guru-murid.  Situasi itu akan berguna sekali untuk memecahkan masalah disiplin, dan kelakuan yang berkaitan dengan peraturan dan kebijakan di kelas.[115]  Guru disarankan memelihara situasi agar murid merasa terlindungi, baik hak dan harga dirinya dalam setiap kesempatan interaksi.[116]  Guru juga disarankan mengembangkan suasana humor tanpa  sarkastik terhadap murid.  Guru mengajak murid menertawakan diri sendiri agar merasa aman dan tidak dijadikan lelucon.[117]  Pengelolaan kelas efektif adalah yang melibatkan murid, ada keakraban, dan ada kerjasama guru-murid.

Kerjasama dan keakraban dengan murid-murid di kelas dapat mendukung suasana nyaman dalam belajar.  Guru dan murid yang dapat mengusahakan suasana demikian telah menciptakan pola saling membangun, seperti yang dikatakan dalam Roma 14:19, “Sebab itu marilah kita mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera dan yang berguna untuk saling membangun.”  Situasi kelas, di mana guru dan murid-murid saling bekerjasama dan bersahabat merupakan simpul hubungan guru-murid yang efektif.

 

Berkomunikasi di Kelas

Hukum penting dalam pengajaran yang dinamis adalah komunikasi yang jernih.  Hukum yang berdasarkan 1 Korintus 2:4; 14:9 itu menuntut guru untuk menggunakan kata dan konsep yang mudah dipahami.  Agar komunikasi dapat jernih disarankan guru menurunkan ketegangan, membuang istilah–istilah, menggunakan kata yang jelas dan menggunakan bermacam pendekatan indera.[118]  Cara berkomunikasi sangat perlu diatur oleh guru supaya proses pengajaran dan interaksi guru-murid lebih lancar.

Kualitas isi perkataan guru adalah penting.  Guru harus tahu bahwa perkataan yang diucapkannya senantiasa “memiliki kuasa” apakah untuk membangun atau sebaliknya meruntuhkan semangat.  Menurut Efesus 4:29 “Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu supaya mereka yang mendengarnya beroleh kasih karunia.”  Guru harus belajar menetapkan sikapnya agar senantiasa dapat mengeluarkan perkataan yang membangun dan memberi harapan.[119]  Pengendalian kualitas isi komunikasi bicara sangat mendukung kualitas hubungan dengan muridnya.

Guru yang baik, saat mengajar matanya melihat seluruh pendengar, dan menggunakan sorotan mata untuk bisa menguasai setiap pendengar, sehingga jiwa-jiwa itu terpaku kepadanya.[120]  John M.Gregory, menyatakan, “gerakan tangan seorang penceramah, cahaya mukanya yang tersenyum dan penuh semangat,..sering kali lebih banyak menarik perhatian pendengar daripada isinya.”[121] Pengaturan ekspresi wajah berperan penting dalam komunikasi antara guru-murid.  Pandangan mata, dan cahaya muka turut menentukan efektivitas komunikasi tanpa bahasa.  Gerakan tangan, kaki dan keseluruhan badan akan melengkapi peran komunikasi non-verbal selama proses pengajaran.

Ekspresi wajah yang baik memang diharapkan ada pada seorang guru.  Penulis kitab Pengkotbah menyatakan, “..Hikmat manusia menjadikan wajahnya bercahaya dan berubahlah kekerasan wajahnya.” (Pkh. 8:1).  Ini menguatkan keyakinan bahwa guru yang wajahnya berseri bercahaya menandakan pada dirinya terdapat hikmat.  Sedangkan guru yang berhikmat mengasihi murid dan selalu mengusahakan hubungan yang baik dengan murid.

 

Faktor Kepemimpinan Edukasional

Kepemimpinan guru kepada murid adalah praktek guru sebagai pemimpin yang berperan menciptakan hubungan-hubungan yang bersifat pribadi atau perseorangan kepada setiap murid.  Seorang guru perlu mengenal, menjalin hubungan, membimbing dan memimpin murid secara perorangan.  Hubungan guru-murid secara perorangan ini setidaknya berkaitan dengan hubungan pribadi guru-murid, serta bagaimana penerapkan disiplin dan penghargaan.[122]

 

Hubungan Pribadi Guru-Murid

Hubungan pribadi guru-murid perlu ditumbuhkan. Jika setiap murid dipandang sebagai oknum pribadi demi pribadi maka dengan sendirinya guru telah menyatakan kehangatan “interpersonal-relationship”.  Di dalamnya ada keprihatinan, kesabaran, kehangatan, perhatian, dan ketekunan yang sungguh-sungguh.[123]  Hubungan guru-murid memang meliputi usaha guru memiliki hubungan pribadi yang akrab dengan murid.[124]  Pendapat tersebut diatas berdasarkan refleksi hubungan Tuhan Allah dengan manusia yang diikat oleh karena ikatan yang unggul, yakni kasih.

Menurut Edward dan F. Simpson, salah satu dari sepuluh hukum mengajar adalah terjalinnya “Relationship of love”, yakni “hubungan dalam kasih” antara pribadi guru dan murid.  Pendapat mereka berdasarkan Galatia 5:22, yang mendorong guru untuk menyatakan kasih kepada muridnya.[125]  Kasih perlu melandasi guru dalam berkomunikasi antar pribadi dengan murid.  Hubungan pribadi yang didasari kasih jika dijalankan dengan benar akan menghasilkan ikatan dan kontak yang sangat dalam. Stepen Tong menyebutnya sebagai kontak dari jiwa ke jiwa, dari hati ke hati, dari pikiran ke pikiran, dari emosi ke emosi.[126]  Sebuah hubungan pribadi yang mendalam seperti Paulus menyebut Timotius sebagai “anakku yang terkasih” (2Tim. 1:2).  Hubungan pribadi yang begitu dalam pasti memberi jaminan kualitas hubungan guru-murid.

Hubungan pribadi guru-murid adalah interaksi antar pribadi yang nyata dalam hal praktis.  Guru harus mengetahui perkembangan jiwa murid dan masalah pribadi mereka.  Mengerti guru-murid adalah syarat utama dalam komunikasi timbal-balik.  Komunikasi yang baik dapat membuat penyaluran pengetahuan menjadi lebih efektif.[127] Hubungan pribadi yang semakin akrab antara guru dan murid turut membangun komunikasi yang baik.  Interaksi positif antar pribadi akan menciptakan hubungan guru-murid yang baik.

 

Penerapan Disiplin, Kebebasan, dan Penghargaan

Guru harus terlibat dalam tugas kedisiplinan, seperti yang diteladankan Allah kepada manusia dalam Ibrani 12:5-10.[128]  Kedisiplinan yang dimaksud di sini meliputi penetapan dan penegakan peraturan, bimbingan untuk pencapaian tugas belajar, teguran-teguran, dan hukuman-hukuman.  Pelaksanaannya perlu bijaksana, tetapi tetap terjaga dan efektif.  Jika seorang guru memiliki kasih yang berlimpah, namun tidak memiliki ketegasan dan keadilan, keberanian dan wibawa untuk menghadapi dosa, ia akan menjadi guru yang tidak berotoritas.[129]  Kedisiplinan bukan suatu pilihan bagi guru, tetapi tugas yang harus dilakukannya agar hubungan dengan murid terjaga, sehingga proses pengajaran berjalan baik.

Ada segi lainnya yang perlu mendasari dan menjadi penyeimbang dalam pelaksanaan pengajaran, khususnya dalam membina hubungan, yakni kasih.  Stephen Tong menyatakan:

 

“guru yang memiliki keadilan, kekerasan, disiplin yang kuat sekali, tanpa mempunyai cinta kasih, akhirnya akan menjadikan dia seorang yang kejam dan tidak berperikemanusiaan yang cukup, dan akan lebih banyak menyakiti daripada membangun, lebih banyak meruntuhkan daripada mendirikan, dan mendatangkan rendah diri (inferiority) yang hebat lebih daripada memberikan keyakinan diri (confidence) orang yang dididik.”[130]

 

Kasih hraus mendasari dan menjadi fokus penting.  Jika murid menanggapi dengan kurang tepat, sikap guru yang baik hanyalah “menghargai”-nya.  Selajalan dengan Roma 14:1-2, guru hendaknya memberi penghargaan dulu kepada murid yang telah berpendapat, lalu guru mengoreksi secara positif untuk membimbing kepada usulan perbaikan pemikiran.[131]  Pemberian penghargaan kepada murid adalah tindakan positif yang dapat mendukung hubungan yang efektif.

Selain penghargaan dalam bentuk tindakan, penghargaan dalam bentuk pujian perlu dilakukan pula.  Murid yang memang patut memperoleh pujian dapat diberikan hadiah, ucapan, kata-kata atau nilai yang membangun semangat.  Penghargaan-penghargaan itu dapat turut membangun semangat murid dalam belajar.  Tindakan itu sejalan dengan firman Tuhan, “Kita yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri.  Setiap orang di antara kita harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikan untuk membangunnya” (Rm. 15:1-2). Pemberian pujian kepada murid adalah untuk kebaikan murid, kelas, dan juga untuk membangun hubungan guru-murid yang baik

Kedisiplinan adalah hal penting, demikian juga penerapan kasih.  Agar dapat menerapkan dengan tepat, sifat dasar dari Allah adalah rujukannya. Allah adalah adil dan disiplin, tetapi juga penuh dengan cinta kasih.  Kedua sifat itu harus diseimbangkan dan diharmoniskan di dalam jiwa seorang guru.  Kekerasan dan ketegasan dari Allah diharmoniskan dengan cinta kasih dan kelembutan Allah di dalam diri seorang guru, sehingga ia mempunyai otoritas yang luar biasa.[132]  Firman Tuhan di dalam Amsal 23:13 dan Amsal 13:24, memang mengijinkan pendidikan secara keras tetapi, bagian lain firman Tuhan berkata: “..janganlah bangkitkan amarah anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan” (Ef. 6:4).  Kebijaksanaan dan keseimbangan dalam menerapkan disiplin dan kasih sangat diharapkan untuk dilakukan oleh seorang guru.

Secara praktis konsep teologis itu menganjurkan guru untuk selalu membina persahabatan dengan murid tanpa mengorbankan tujuan disiplin.[133]  Guru hendaknya tidak melemahkan disiplin terhadap murid karena persahabatan, atau menjaga jarak untuk melemahkan persahabatan demi disiplin.  Guru hendaknya lebih pandai dalam membawa diri agar dapat menghadapi tugas yang menuntut pencapaian tujuan, namun sekaligus membina persahabatan yang terbuka dan tegas.

 

 

Metode Mengajar

 

Kata “mengajar”  (verb) berarti “memberi pelajaran (guru – murid), melatih, memarahi (memukuli, menghukum, dsb) supaya jera.[134] : ia – berenang. Mengajar adalah peristiwa bertujuan, terarah pada tujuan dan dilaksanakan khusus untuk mencapai tujuan itu. Apabila yang dituju atau yang akan dicapai titik C, maka dengan sendirinya proses mengajar belum dapat dianggap selesai apabila yang dicapai di dalam kenyataan barulah titik A atau B.[135]  Dengan demikian, taraf pencapaian tujuan pengajaran merupakan petujuk praktis tentang sejauh manakah interaksi edukatif itu harus di bawa untuk mencapai tujuan yang terakhir. Linda J. Vogel mengatakan bahwa mengajar memberi kuliah atau berceramah.[136]

 

Kekuatan dan Kelemahan

Kekuatan mengajar ditentukan oleh tiga faktor sebagai berikut:  Pertama, gaya pribadi si pengajar dan bentuk  pengajaran yang digunakan. Kedua, mata kuliah atau mata pelajaran yang diajarkan. Ketiga, keterampilan mengajar yang digunakan. Faktor pertama dan kedua merupakan hal yang sudah  pasti serta tak bisa diubah. Artinya, hal tersebut sudah jelas, pasti pada saat memilih seorang pengajar tertentu untuk suatu vak tertentu.  Tetapi, faktor ketiga, yaitu keterampilan mengajar merupakan  hal yang bisa diubah atau diperbaiki dengan cara: persiapan jam pelajaran atau jam kuliah, pelaksanaan, dan umpan balik.[137] Tetapi sebaliknya, bila mengajar akan menjadi lemah kalau tidak memperhatikan ketiga faktor tersebut.

 

Guru yang Terbaik dan Guru yang Terjelek

Tiga guru yang terbaik sebagai berikut: pertama, guru secara aktif harus dapat menterjemahkan sendiri jiwa tujuan umum dalam bentuk-bentuk yang khusus, yang dikaitkan dengan tujuan akhir. Tujuan akhir adalah agar dengan pengetahuan membaca itu anak-anak dapat mendalami tata susila, ilmu kebijaksanaan di dalam berbagai hasil kebudayaan (buku dan lain-lain). Kedua, setiap guru bertolak dari suatu filsafat. Artinya, seorang guru mendapat kepercayaan dan kehormatan mengajar, kepadanya juga dipercayakan kemampuan untuk mengambil keputusan yang bersifat normative; keputusan-keputusan dipandang sebagai “penjelmaan filsafat hidup” yang dianutnya. Filsafat guru berwujud dalam perumusan tujuan pendidikan. Tujuan pendididikan memberi arah yang umum pada filsafat yang mendasari segala kegiatan pendidikan. Ketiga, metode guru mengajar berpedoman pada tujuan pendidikan artinya memilih metoda  yang wajar harus antara lain berpedoman pada tujuan khusus yang akan dicapainya. Hakekat tujuan inilah yang dipakai oleh guru sebagai petunjuk untuk memilih satu atau serangkaian metoda yang efektif.[138]

Tiga guru yang terjelek sebagai berikut: bila guru itu tidak cakap dan  tidak mempunyai filosofi pengetahuan dasar sebagai seorang guru di mana guru: tidak mengenal setiap muridnya yang dipercayakan kepadanya,  tidak memiliki kecakapan memberi bimbingan,  tidak memiliki dasar pengetahuan yang luas tentang tujuan pendidikan, dan ia tidak memiliki pengetahuan yang bulat dan baru mengenal ilmu yang diajarkan.[139]

 

Belajar

            Gage mengatakan bahwa belajar sebagai suatu proses dimana suatu organisma berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman.[140] Pengertian belajar mengandung makna adanya perubahan perilaku, perilaku terbuka, belajar dan pengalaman, belajar dan kematangan. Selanjutnya, perubahan perilaku yang ada pada anak didik setelah belajar merupakan hasil yang harus dicapai dalam pendidikan. Perubahan yang menyeluruh dalam segala aspek belajar, misalnya aspek pengetahuan (kognitif) harus ada perubahan dari yang belum tahu menjadi tahu. Perubahan aspek sikap (afektif), anak didik setelah belajar ada perubahan dari yang tidak baik menjadi baik, buruk menjadi baik. Hal tersebut misalnya seorang jahat menjadi orang yang jujur atau ramah dan suka menolong. Selanjutnya menurut Gage juga mengatakan bahwa anak didik dalam belajar ada perubahan secara aspek ketrampilan (Psikomotor).  Aspek ketrampilan ini diharapkan anak didik setelah belajar dari tidak trampil menjadi trampil.

            Berkaitan di atas, Muhahibin mengatakan bahwa pendidikan adalah belajar menekankan tercapainya pemahaman yang lebih luas dan mendalam terhadap apa yang dipelajari. [141]   Jadi, belajar semata-mata mengumpulkan atau menghafalkan yang tersaji dalam bentuk informasi atau materi pelajaran.

            Skinner berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif.  Timbulnya tingkah laku itu lantaran adanya hubungan antara “stimulus” atau “rangsangan” (S) dengan “respon” atau “tanggapan, reaksi” ( R ). Berkaitan dengan sebelumnya, maka Caplin berpendapat belajar sebagai pusat latihan dan pengalaman. Begitu juga Hintsman menekankan adanya belajar apabila mempengaruhi organisme lain (manusia lain), sedang Wittig berpendapat belajar lebih bersifat perubahan yang reltif tetap yang terjadi dalam segala macam atau keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengalaman.[142] Jadi,  belajar berarti perubahan semua aspek tingkah laku, yang didapatkan dari latihan dan pengalaman.

 

Belajar Imitasi dan Observasi

            Prosedur lain yang juga penting dan menjadi bagian yang integral (menyatu) dengan prosedur-prosedur belajar menurut teori social learning, ialah proses imitasi atau peniruan.  Dalam hal ini, seorang guru dan orang tua harus menjadi “model”, figur atau tokoh yang dijadikan contoh perilaku sosial yang sangat mempengaruhi kehidupan yang merupakan hasil belajar anak.

 

Rate Penerimaan Belajar

Penerimaan Belajar dan Penemuan Belajar

 

Klasifikasi Perubahan dalam Belajar

            Jika dalam mengajar dipahami sebagai upaya menciptakan terjadinya peristiwa belajar, sudah tentu kegiatan belajar mengajar merupakan perbuatan yang tidak terpisahkan satu sama lain.  Karena itu konsep mengajar harus terlebih dahulu kita tinjau dari segi pengertian belajar.  Belajar dapat diartikan sebagai proses perubahan yang dialami seseorang, yang melibatkan salah satu atau keseluruhan dimensi kepribadiannya. 

Menurut  Sidjabat perubahan dalam belajar harus mencakup tiga aspek belajar. Tiga aspek belajar yang dimaksud yaitu aspek kognitif (pengetahuan), aspek afektif (sikap), dan aspek psikomotor (ketrampilan).  Anak belajar ada perubahan dari belum tahu menjadi tahu (perubahan pengetahuan), perubahan belajar dari perilaku yang buruk berubah menjadi perilaku yang baik (perubahan sikap), dan perubahan belajar dari  tidak bisa menjadi bisa (mampu) ada perubahan ketrampilan.[143]

            Jadi dalam proses belajar maka seharusnyalah terjadi perubahan setelah belajar. Perubahan dapat terjadi dari segi intelek atau kemampuan berpikir.  Perubahan dapat pula terjadi dengan melibatkan segi rohani, emosi,tingkah laku, ketrampilan dan segi-segi fisik.  Perubahan sebagai hasil peristiwa belajar senantiasa menghasilkan hal-hal dn keadaan baru dalam diri peserta didik.

 

 

Klasifikasi dan Definisi Empat bidang Hasil Belajar

Empat hasil belajar sebagai berikut: pertama, pengetahuan, yaitu dalam bentuk bahan informasi, fakta, gagasan, keyakinan, prosedur, hukum, kaidah, standar dan konsep lainnya. Kedua, kemampuan, yaitu dalam bentuk kemampuan untuk menganalisis, mereproduksi, mencipta, mengatur, merangkumkan, membuat generalisasi, berpikir rasional dan menyesuaikan. Ketiga, kebiasaan dan keterampilan, yaitu dalam  bentuk kebiasaan perilaku dan keterampilan dalam menggunakan semua kemampuan. Keempat, sikap, yaitu dalam bentuk apresiasi, minat, pertimbangan dan selera.[144] 

 

Kesiapan untuk Belajar

Arti Kesiapan untuk Belajar

Hasil studi terakhir  menunjukkan bahwa orang dewasa mempunyai masa kesiapan untuk belajar dibandingkan dengan anak-anak. Masa ini sebagai akibat dari peranan sosialnya. Berkaitan hal tersebut, maka  Robert J. Havighurst membagi masa dewasa itu atas beberapa fase dan  mengidentifikasikan 10 peranan sosial dalam masa dewasa. Ketiga fase masa dewasa itu adalah masa dewasa pertengahan umur antara 30-45 tahun dan masa dewasa akhir berumur 55 tahun lebih. Sedangkan kesepuluh peran sosial pada masa dewasa adalah sebagai: pekerja, kawan, orangtua kepala rumah tangga, anak dari orang tua yang sudah berumur, warga negara, anggota organisasi, kawan sekerja, anggota keagamaan dan pemakai waktu luang.  Melengkapi hal tersebut, maka Havighurst mengatakan bahwa, penampilan orang dewasa dalam melaksanakan peranan sosialnya berubah sejalan dengan perubahan dari ketiga fase masa dewasa itu, sehingga hal ini mengakibatkan pula perubahan dalam kesiapan belajar.[145]

Kesiapan belajar bagi orang dewasa dengan anak-anak berbeda. Anak-anak cenderung mempunyai perspektif untuk menunda aplikasi apa yang ia pelajari. Bagi anak-anak, pendidikan dipandang sebagai suatu proses  penumpukan pengetahuan dan keterampilan, yang nantinya diharapkan akan dapat bermanfaat dalam kehidupannya kelas. Sebaliknya, bagi orang dewasa, mereka cenderung untuk mempunyai perspektif untuk secepatnya mengaplikasikan apa yang mereka pelajari. Mereka terlibat dalam kegiatan belajar, sebagian besar karena adanya respon terhadap apa yang dirasakan dalam kehidupannya sekarang. Karenanya, pendidikan bagi orang dewasa dipandang sebagai suatu proses untuk meningkatkan kemampuannya dalam memecahkan masalah hidup yang ia hadapi.[146]

 

Praktek yang Bertentangan dengan Maksud Kesiapan belajar

            Praktek yang bertentangan dengan maksud kesiapan belajar sebagai berikut:

Pertama, para pendidik orang dewasa dianggap berperan sebagai seorang guru yang mengajarkan mata pelajaran tertentu. Memang  kesehariannya begitu, tetapi fungsi pendidik sebenarnya bukan begitu, melainkan  pendidik berperan sebagai pemberi bantuan kepada orang yang belajar. Akibatnya, tingkat belajar menjadi tinggi bila pendidik dapat memuaskan kebutuhannya.  Kedua, peserta didik belajar dengan materi yang tidak dibutuhkan dalam perencanaan hidupnya atau kebutuhan untuk ingin menjadi ahli (salah jurusan). Akibatnya, kesiapan belajar jadi merosot dan belajar tidak secara maksimal. Ketiga, pendapat E.L. Thorndike yang mengatakan bahwa kemampunan  untuk belajar seseorang menurun secara perlahan sesudah umur 20 tahun. Memang hal itu tidak salah tetapi banyak orang salah mengartikan “kemampuan belajar yang menurun” dianggap sebagai kekuatan inteleknya tidak (kurang) mampu belajar. Irving Lorge  meneliti hal tersebut dan hasilnya bahwa “menurunya itu” hanya dalam kecepatan belajarnya dan bukan dalam kekuatan inteleknya.[147]

 

 

Mengevaluasi Variabel Anak Didik yang Menentukan Kesiapannya

Belajar  sebagai proses perubahan tingkah laku merupakan proses yang terjadi di dalam satu situasi, bukan di dalam satu ruang hampa. Situasi belajar ditandai dengan adanya motif-motif yang  ditetapkan atau diterima oleh murid.[148] Kesulitan yang ada pada umumnya dihadapi oleh orang yang belajar adalah tidak cukupnya pengetahuan mereka mengenai cara-cara belajar.

 Dalam proses belajar murid memerlukan kesiapan. Beberapa faktor yang mempengaruhi kesiapan belajar adalah: pertama,  kurang dapat memusatkan perhatian kepada pelajaran yang sedang dihadapi. Kedua, tidak dapat menguasai kaidah yang berkaitan sehingga tidak dapat memahami pelajaran. Ketiga, lambat membaca sehingga tidak dapat membaca bahan yang seharusnya dibaca.[149] Karena itu, perlunya motivasi dalam diri murid untuk belajar. Motivasi belajar adalah jantung kegiatan belajar dan  suatu pendorong yang membuat seseorang belajar.[150] Jadi, keras tidaknya usaha belajar  dilakukan seseorang bergantung kepada besar tidaknya motivasi belajar.

Evaluasi akhir terhadap anak didik adalah apabila usaha murid telah menghasilkan pola tingkah laku yang dituju semula di mana proses belajar dapat dikatakan mencapai titik akhir sementara.  Hasil utama adalah “tambahan“ perubahan tingkah laku. Dengan demikian, akhirnya terdapat satu kesatuan yang menyeluruh (kebulatan tingkah laku).[151] 

 

Hubungan Guru dengan Anak Didik

Hubungan antara keberhasilan pengajaran dan sifat Guru dalam Domain Kognitif. Seorang pendidik harus banyak membaca dan selalu mengikuti perkembangan informasi yang terjadi dalam masyarakat. Keterbukaan seorang guru dalam menerima segala informasi dari luar sangat mempengaruhi pengetahuan seorang anak didik yang diajar. Dengan demikian, maka:

 

1.      Guru dihadapan siswa sebagai sumber informasi. Dengan banyaknya pengetahuan dan wawasan guru, maka keberhasilan dalam mengajar dapat dirasakan bagi siswa yang diajar.[152] 

2.      Hubungan antara keberhasilan pengajaran dan sifat dalam Domain Affektif. Seorang guru harus menjadi teladan hidup bagi anak didiknya.  Sikap guru yang baik akan sangat menolong siswa berinteraksi  dengan baik kepada gurunya. Seorang guru harus menjaga hubungan yang harmonis dengan anak didiknya. Dengan menjaga hubungan baik, maka anak didik merasa tenang dan nyaman. Dengan demikian proses belajar pun akan berjalan dengan lancar.  Sebaliknya jika seorang guru memiliki karakter yang kurang baik, interaksi dengan anak didik pun merasa tidak harmonis sehingga menimbulkan ketidaktenangan.[153]

3.      Guru yang memiliki sifat otoriter, yaitu seorang guru  menyampaikan materi dalam proses belajar mengajar memiliki sifat menguasa kepada anak didik. Siswa harus mengikuti apa yang guru kehendaki. Siswa tidak ada kesempatan untuk bertanya atau memberikan usulan saat terjadi proses belajar mengajar. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman seorang guru dalam mengajar tidak memperhatikan pentingnya mengembangkan keaktifan siswa. Dengan demikian secara tidak langsung membentuk anak didik menjadi seorang yang berjiwa melawan atau menentang.

4.      Proses pembelajaran guru memberi kesempatan kepada anak didik untuk bersama-sama menciptakan suasana kekeluargaan dan suasana demokratis. Guru dan siswa saling menghargai satu dengan yang lain. Dengan demikian proses belajar dapat berjalan dengan baik sesuai yang diharapakan dalam tujuan pembelajaran.

           

Dengan uraian di atas, maka dapat dilihat bahwa seorang guru wajib memberi kesempatan kepada siswa untuk berhasil dan guru pun sangat membuka diri untuk menerima masukan-masukan dari siswa jika hal itu dirasa perlu. 

 

 

Bagaimana Belajar itu Terjadi?

 

Definisi “Piramid Pengalaman Belajar”

“Kerucut Pengalaman” belajar dari Edgar Dale memperhatikan hubungan bahan dan sarana belajar sebagai berikut: Pertama, buku teks. Buku merupakan modal dalam belajar. Buku merupakan sumber belajar apabila oleh peserta dipergunaan untuk memperoleh informasi yang diperlukan. Pengajaran yang berpusat pada buku-buku teks biasanya peserta disuruh membaca buku itu, selanjutnya mengulang isinya dan yang terakhir mengevaluasi apa yang telah diperoleh dari buku tersebut. Kedua, bahan belajar yang dibuat sendiri oleh fasilitator. Apabila buku teks tidak ada untuk keperluan kegiatan belajar, maka fasilitator dapat membuat sendiri bahan belajar tersebut sesuai dengan kebutuhan peserta selanjutnya didistribusikan kepada peserta. Ketiga, alat pandang dengar. Dalam menggunakan alat pandang dengar, ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan, di antaranya: (1) perencanaan pemakaian alat pandang dengar harus direncanakan oleh fasilitator dan perseta sesuai dengan teknik dan isi satuan pelajaran. (2) seleksi alat pandang, (3) mempersiapkan peralatan, (4) mempersiapkan peserta, (5) meringkaskan informasi, dan (6) mendiskusikan informasi.[154]

Contoh pengalaman yang dinyatakan “Pyramid Pengalaman Belajar”.  Dalam belajar melibatkan keseluruhan dimensi dari individu karena manusia adalah makhluk utuh yang memiliki dimensi: lahiriah, jasmaniah, pribadi dan sosial.  Setiap individu memiliki pancaindra. Karena alasan itulah proses belajar yang baik melibatkan keseluruhan panca indera semaksimal mungkin.

            Melibatkan pancaindera dalam kegiatan belajar:

 

1. Dengar-à  2. Lihat-à 3. Bicara-à 4.Berbuat-à dan 5. Berbicara dan Berbuat[155]

           

Belajar harus mengaktifkan pendengaran, penglihatan, perasaan, penciuman, perabaan dan pengalaman bahkan gerak. Berkaitan hal itu, maka  H.R Mill dalam piramid belajar, mengatakan dari segi pengembangan pengetahuan bahwa seseorang untuk memperoleh pengetahuan biasanya seseorang lebih banyak belajar melalui: penglihatan (75%) daripada pendengaran (25%). Selanjutnya pandangan belajar dari segi pengembangan ketrampilan, yaitu: seseorang meningkatkan ketrampilan, maka seseorang belajar melalui praktek (65%) daripada penglihatan (25%) dan pendengaran (10%).[156]  

           

Berkaitan dengan  pemahaman belajar, maka David Kolb  mengatakan bahwa  ada  empat Styles of Learning Inventory (pengalaman belajar)[157] sebagai berikut:  Pertama, “tipe converger”, yaitu belajar melalui proses konseptualisasi abstrak (berpikir) dan eksperimentasi (berbuat). Kedua, tipe diverger, yaitu belajar melalui pengalaman-pengalamaan konkret (perasaan) dan observasi reflektif (pengamatan). Dengan tipe ini anak didik lebih didominasi oleh intuisi, perasaan, dan sensitivitas. Ketiga, tipe assimilator, belajar melalui konseptualisasi abstrak (kuat dalam berpikir) dengan observasi reflektif (pengamatan).  Keempat, tipe accomodator yaitu belajar melalui pengalaman konkret (perasaan dan ekperimental aktif (berbuat).

 

Murid (Peserta Didik)

Mengenal peserta didik berarti perlu mengenal sifat-sifat positif maupun negatif anak didik sebagai berikut:

Sifat-sifat Positif Anak Didik

 

Sifat Anak Didik

Berkembang Inteligensinya

            Inteligensi merupakan sifat dasar anak didik yang sifatnya berkembang. Oleh karena itu, maka pendidikan memberikan kesempatan kepada anak didik untuk intelektualnya berkembang secara maksimal. Ada beberapa tokoh psikologi yang mendefinisikan  inteligensi  sebagai berikut: (1) Terma: Inteligensi adalah kemampuan untuk melakukan berpikir abstrak. Dengan memanipulasi simbol-simbol, terutama kata-kata. Tindakan yang intelligent meliputi: pengarahan, penyesuaian dan kritik terhadap diri sendiri dalam adaptasi mental.  (2) Thorndike: Inteligensi adalah kemampuan melakukan respons yang baik dan diperlihatkannya dengan kecakapannya untuk berhubungan secara efektif dengan situasi-situasi yang baru, baik situasi abstrak, mekanis maupun sosial. (3) Stoddart: Inteligensi adalah kemampuan untuk memahami masalah-masalah yang ditandai dengan adanya: (a) kesulitan, (b) kompleksitas, (c) keabstrakan, (d) ekonomi, (e) kesesuaian terhadap tujuan, (f) nilai sosal, dan (g) originalitas. (4) Wechsler: Inteligensi adalah kecakapan global dari individu  untuk bertindak secara bertujuan, berpikir secara rasional dan berhubungan dengan lingkungan secara efektif.

            Dari uraian definisi di atas maka  dapat disimpulkan bahwa Inteligensi adalah kemampuan untuk memudahkan penyesuaian secara tepat terhadap berbagai segi dari keseluruhan lingkungan seseorang.

 

Fungsi Intelingensi

Fungsi inteligensi adalah: 

1.      untuk memahami situasi-situasi yang beraneka ragam,

2.      untuk belajar memahami dan membandingkan fakta-fakta yang luas, halus, abstrak dengan cepat dan tepat,

3.      memusatkan proses mental terhadap masalah-masalah

4.      menunjukkan fleksibelitas dan kecerdikan dalam upaya mencari cara-cara penyelesaian

 

Pertumbuhan

Secara teoritis pertumbuhan atau perkembangan intelektual berhenti pada usia 20 atau 25  tahun. Bagi orang yang lebih inteligen pertumbuhan berlangsung lebih cepat dan terus berlangsung dalam waktu yang lebih lama. Sebaliknya orang yang kurang inteligen berkembang lebih lambat dan pertumbuhan ini akan berhenti lebih awal.

Berbeda dengan kemampuan mental. Menurut Wechsler, kemajuan kemampuan mental seseorang bisa berlangsung hingga usia 30 tahun dan sedikit menurun sampai usia 60 tahun. Menurut Hereditas, bahwa potensi untuk perkembangan inteligensi diwariskan melalui orang tua.

            Menurut Bernard, berdasarkan hasil penelitiannya dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menunjang perkembangan intelektual yang optimal adalah: (a) Orang tua yang menaruh minat terhadap anak-anak: menyediakan waktu untuk bercengkerama dengan mereka, menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. (b) Faktor-faktor cinta dan kasih sayang, penerimaann terhadap anak, perlakuan konsisten yang menunjang kesehatan mental. (c) Meninjau tempat-tempat penting seperti museum, kebun binatang, perpustakaan, konser, teater dan taman.

            Salah satu bukti bahwa inteligensi anak didik  berkembang dapat kita ketahui di sekolah bahwa di antara mereka ada:  anak yang cerdas dan ada anak yang lamban.

 Bagi anak yang cerdas, ciri-cirinya: ia mempunyai energi yang lebih besar, dorongan ingin tahu lebih besar, sikap sosialnya lebih baik, aktif, lebih mampu melakukan abstraksi, lebih cepat dan lebih jelas menghayati hubungan-hubungan bekerja atas dasar rencana dan inisiatif sendiri, suka menyelidiki sesuatu yang baru dan lebih luas, lebih mantap dengan tugas-tugas rutin yang sederhana, lebih cepat mempelajari proses-proses mekanis, tidak menyukai tugas-tugas yang belum dimengertti, tidak suka menggunakan  cara hafalan dengan ingatan, malas mempelajari  hal-hal yang tidak menarik minatnya. Selain itu, ia dapat menempatkan dan mengatur bahan-bahan, menemukan dan merumuskan hubungan-hubungan dan kesimpulan-kesimpulan, membaca bahan-bahan yang lebih sulit. Ia dapat membantu anak-anak yang lebih rendah. Ia dapat diberi tugas yang lebih luas dan lebih rumit.

            Bagi anak yang lamban, ciri-cirinya: ia belajar dalam unit-unit yang lebih sempit, kemajuannya ingin sering diperiksa, perlu banyak perbaikan, perbendaharaan kata lebih terbatas,  memerlukan banyak kata baru untuk memperjelas pengertian, sulit membuat kesimpulan-kesimpulan, tidak mudah mengerti, kurang memiliki kreatifitas dan perencanaan, ia lamban menguasai ketrampilan mekanis dan metodis, lebih mudah mengerjakan tugas-tugas rutin, cepat mengambil kesimpulan tetapi kurang kritis dan mudah puas dengan jawaban yang dangkal. Ia kurang senang dengan kemajuan orang lain,  mudah marah, kurang percaya diri, lebih berminat terhadap kehidupan di luar sekolah.

 

Berkembang Emosi

            Emosi adalah  sifat dasar anak didik yang bisa berkembang. Emosi merupakan gejolak atau goncangan perasaan di dalam organisme, atau pengalaman afektif yang mengiringi suasana bergejolak  dalam organisme. Emosi yang negatif dapat berupa kebencian dan teror yang berakhir pada perkelahian, tetapi emosi yang positif dapat berupa: kasih sayang dan perhatian, cinta dan ambisi.

            Implikasinya adalah bahwa para siswa harus ditolong untuk dapat mengontrol emosinya agar berkembang ke arah hal-hal yang positif dan konstruktif. Sedangkan bahwa dalam  hubungannya dengan emosi anak didik, guru hendaknya mempelajari keadaan rumah atau masyarakat sekitar tempat  tinggal  anak-anak. Adanya masalah dalam keluarga atau masyarakat tempat ia bergaul akan berpengaruh terhadap emosi anak. Dengan demikian, maka secara mental akan tampak kurang berminat untuk belajar.  Menurut Beatty, bimbingan dalam pengenalan dan penanganan masalah emosi ini: apabila dintegrasikan kedalam transaksi belajar-mengajar, akan memperbaiki cara-cara anak menyesuaikan diri dan akan mendorong kemajuan dalam bidang akademis.

            Ada beberapa sumber emosi  sebagai berikut: (1) sumber emosi yang negatif perlu diketahui. Beberapa anak didik sering datang ke sekolah dengan emosi yang tidak baik, misalnya:  lekas marah dan mudah tersinggung. Hal ini mungkin disebabkan oleh: sakit kepala kerena gangguan mata, kurang tidur atau lapar, tegang dengan orang tua, ketidakseimbangan kelenjar-kelenjar, atau kondisi sekolah sendiri yang kaku dan terlalu banyak tuntutan kepada anak. (2) Sumber emosi yang positif dan konstruktif dapat kita ketahui antara lain: adanya perhatian yang cukup dari orang tua, atau guru atau orang dewasa lainnya, anak mendapat rasa kasih sayang  baik dari orang tua maupun guru, suasana yang penuh persahabatan dan persaudaraan, anak cukup mendapat reward, suasana yang humoris, orang tua dan guru yang mau mengerti kesulitan-kesulitan anak.

            Pada posisi di sinilah bahwa tugas guru adalah membina dan mengembangkan emosi anak didik ke arah yang positif. Anak sekolah perlu diarahkan menuju ke tingkat kematangan  emosi.  Para remaja  harus dilatih dan dididik agar menyadari kematangan emosinya sehingga mampu bertingkahlaku yang lebih baik di tengah-tengah perkembangannya menuju ke tingkat kedewasaan emosionalnya.  Dengan demikian, maka prestasi belajar berhubungan erat dengan stabil tidaknya emosi anak didik. Jadi, bagi anak didik yang emosinya stabil dan tenang akan menghasilkan prestasi belajar yang tinggi. Sebaliknnya emosi yang  tidak stabil dan hati yang kacau  akan menghasilkan prestasi belajar yang rendah.

 

Berkembang Bakat

            Bakat adalah sebagai sifat dasar anak didik  telah ada sejak dalam kandungan ibunya. Semua manusia mempunyai sifar dasar ini. Kenyataan adanya bakat itu bisa diketahui setelah anak menginjak umur 4-5 tahun. Pada usia ini sudah bisa kita ketahui bakatnya, misalnya:  bakat bernyanyi. Bagi yang berbakat menyannyi pada usia ini mereka sudah bisa menyanyi dengan nada yang tepat dan bisa menyelaraskan suaranya dengan nada alat musik tertentu. Setelah mereka masuk sekolah, peranan sekolah mengembangkan bakat anak didik itu dengan cara mengadakan latihan pada hari-hari tertentu.Selanjutnya untuk anak tingkat SMA, suatu bakat bisa dikembangkan melalui jalur Intra dan Ekstra Kurikuler.

Dengan demikian, maka tujuan  akhir  pengembangan  bakat adalah  menjadi  pribadi  yang  mahir,  mandiri  dan profesional dalam bidang kemampuan ketrampilan (life skilnya).

 

Berkembang Gairah Kerohanian

            Mary Go Setiawani mengatakan bahwa  perkembangan kerohanian anak didik dapat dikenali sejak usia 2-3 tahun. Pada usia tersebut sikap rohaninya meniru tingkah laku orang tuannya, suka mendengar cerita Alkitab dan tahu kasih Allah. Penuturannya selanjutnya sebagai  berikut:[158]

            Ciri khas kerohanian anak didik setiap jenjang usia mengalami perkembangan ke arah yang lebih dewasa dan lebih baik sebagai berikut:  (a) kondisi kerohanian anak usia 4-5 tahun: mengenal Allah melalui kasih orang dewasa terhadap diri mereka, iman terhadap Allah dinyatakan  melalui percayanya terhadap orang dewasa, dapat belajar mengenal Allah melalui kebaktian, memiliki kesadaran akan hal salah dan benar, dan baru dapat belajar berdoa. (b)  kondisi kerohanian anak usia 6-8 tahun:  imannya menaruh minat terhadap kebenaran, dapat berdoa dengan kata-kata sendiri secara spontan, mempunyai rasa ingin tahu tentang surga dan neraka, semua pengalaman rohaninya adalah meniru tingkah laku dan teladan orang dewasa dan pada umumnya suka pergi ke sekolah minggu. (c) kondisi kerohanian anak usia 9-11 tahun: sudah mulai matang untuk menerima keselamatan, memuja tokoh-tokoh pahlawan, suka membaca Alkitab dan berdoa, dapat menerima pengajaran Alkitab yang agak mendalam dan memperhatikan keselamatan jiwa orang lain. (d) kondisi kerohanian anak usia 12-14 tahun: siap sedia menerima keselamatan, mulai memiliki pendirian sendiri untuk beribadah, bukan paksaan orang tua lagi, menerima pengalaman agama yang nyata, banyak bertanya tentang agama, sedang mencari kebenaran sejati, dan dapat mengalami kehidupan yang berpusat kepada Kristus. (e)  kondisi kerohanian pada usia 15-17 tahun: waktu yang tepat untuk menerima keselamatan pribadi, timbul keraguan terhadap bermacam-macam persoalan kepercayaan, tidak tahan melihat orang yang tak selaras dalam tutur kata dan perbuatan, menitikberatkan pengalaman nyata agama yang dianutnya, dan mudah terdorong emosi, dan bertekat mau menyerahkan diri kepada Tuhan. (f) kondisi kerohanian pada usia 18-25 tahun: menuntut kebenaran yang logis, ingin mengalami sendiri kesungguhan dari agama yang dianutnya,  dan memberikan respons panggilan Tuhan dan mulai dapat melayani Tuhan dengan giat.

 

Berkembang Mentalnya

            Sifat dasar anak didik yang perlu diperhatikan perkembangannya adalah sisi mentalnya sebagai berikut:  (a) kondisi mental pada usia 6-8 tahun:  daya khayalnya sangat kuat, masih berpikir secara harafiah, belum dapat menerima hal-hal yang abstrak, kemampuan membaca masih rendah dan semakin bertambah, memiliki daya ingat yang sangat baik, dan kemampuan untuk berpikir secara logis masih terbatas. (b) kondisi mental pada usia 9-11 tahun: suka koleksi benda-benda, daya kreativitasnya tinggi, mulai bisa berpikir secara logis, suka bertanya, memiliki daya ingat yang baik, pengertiannya terhadap hal-hal yang rumit dan abstrak masih terbatas, dan dapat membaca. (c) kondisi mental pada usia 12-14 tahun: suka mengkritik, menuntut segala sesuatu yang logis, daya pengertian kurang pengalaman, bisa mengerti hal-hal yang abstrak, daya ingat cukup baik, tetapi menuntut alasan, terlalu cepat mengambil keputusan dan kesimpulan, kemampuan membaca berkembang dengan pesat, suka mengkhayal dan mungkin ada kaitannya dengan pertumbuhan jasmaninya yang begitu pesat. (d) kondisi mental pada usia 15-17 tahun: kemampuan berpikir secara logis sudah mencapai tahap kedewasaan, mempunyai daya imajinasi yang penuh kreatif, menuntut berdikari, suka berdebat, tidak bisa menerima pendapat oranng begitu saja, memperhatikan masa depan dan  memiliki cita-cita sendiri. (e) kondisi mental pada usia 18-25 tahun:  mulai timbul pemikiran-pemikiran yang bijaksana, menerima pemikiran yang baru, timbul keraguan atas kepercayaan dan otoritas, memiliki keinginan untuk menuntut kebenaran, mengenal kemampuan diri sendiri untuk memilih karier, dan mulai bisa komitmen pada kejujuran.

 

Berkembang Cita-citanya

            Cita-cita anak didik sifatnya ada yang tetap, ada yang bingung dan ada yang berkembang terus. Dari sejak usia pra-sekolah sudah banyak anak didik yang menetapkan cita-cita mereka. Ada yang bercita-cita menjadi guru sejak usia Sekolah Dasar, cita-cita ini tidak berubah dan kenyataan akhir ia menjadi seorang guru. Ada juga yang cita-citanya berkembang terus.

Setelah SMP melihat seorang guru yang menjadi idolanya ia bercita-cita menjadi seorang guru. Setelah SMA ia berkembang cita-citanya bahwa ia akan menjadi seorang manager suatu perusahaan atau teknisi informatika atau programmer komputerisasi. Tentunya untuk mencapai cita-cita itu harus disesuaikan dengan bakatnya.

            Pada tingkat SMA, cita-cita yang terus berkembang perlu mendapat arahan dan wawasan karier dari seorang guru pembimbing. Pada umumnya hal ini diperhadapkan dan ditangani oleh guru Bimbingan dan Konseling (Guru BK). Di tangan guru BK cita-cita anak dapat diarahkan dalam memilih dan menentukan perguruan tinggi mana yang sesuai dengan bakatnya, karena  cita-cita yang baik untuk diidamkan adalah cita-cita yang bisa tercapai dengan dasar bakat yang dimilkinya. Dengan demikian, maka dalam mencari pekerjaan ia tidak ragu-ragu menempatkan diri dan tidak merasa takut tidak mampu bekerja. Ia akan memliki rasa percaya diri yang kuat dan akan menjadi seorang pekerja yang handal dan profesional.

            Dari pemahaman di atas, maka dengan tegas dikatakan bahwa salah satu fungsi sekolah adalah memupuk bakat dan memantapkan cita-cita peserta didik sampai pada tingkat pengakuan atau pernyataan yang tepat pada diri siswa.

 

Sifat Anak Didik yang Berubah (Tidak Stabil)

            Sifat dasar anak didik yang bersifat berubah-ubah atau belum stabil adalah: fisiknya, tingkah lakunya, prinsipnya dan jati dirnya. Uraian tersebut sebagai berikut:

 

Berubah Fisik (Jasmaninya)

Berubah  fisiknya atau jasmaninya sebagai berikut: (a). kondisi fisik pada usia 6-8 tahun: Jasmaninya terus bertumbuh, jasmaninya cepat letih, dan dapat menyesuaikan diri dalam permainan kelompok. (b) kondisi fisik pada usia 9-11 tahun: keadaan kesehatan cukup baik, semangatnya berkobar-kobar, mudah lapar dan selera makannya cukup baik, dan daya tahan tubuh semakin kuat. (c) kondisi fisik pada usia  12-14 tahun: pertumbuhan fisiknya berkembang dengan sangat pesat dan  mengakibatkan ketidakstabilan  emosi, berat dan tinggi badan bertambah, anak perempuan lebih cepat daripada laki-laki, Sedang mengalami proses kematangan seksual, anak perempuan lebih cepat, dan pita suara semakin dewasa, yang  menyebabkan suarra anak laki-laki berubah. (d) kondisi fisik pada usia 15-17 tahun: pertumbuhan jasmani semakin lambat, tatapi semakin bertambah dewasa, anak putri mulai mementingkan kecantikan secara lahiriah, nafsu makan besar, apalagi anak putra, dan sering mengikuti aktivitas dengan melampaui batas dan melalaikan disiplin hidup. (e) kondisi fisik pada usia 18-25 tahun: tubuh kuat dan tidak mudah letih, mengalami kematangan seksual, mulai sibuk beraktivitas, mulai berusaha menyesuaikan diri dengan teman sebaya, dan mulai saling tertarik dan ingin mendekati lawan jenisnya.

Pada umumnya anak putra remaja atau pemuda akan merasakan gairah seksual dari pengalaman-pengalaman:  bergurau dengan lawan jenisnya, sentuhan fisik dengan lawan jenisnya, berkencan dengan lawan jenisnya, membicarakan maslah seksual dengan teman-teman, membaca media cetak atau elektronika mengenai uraian tentang seksual, melihat foto gambar porno, melihat foto lawan jenis yang telanjang, melihat blue film atau VCD porno. Jikalau kehilangan bimbingan yang tepat, tidak sedikit remaja yang akan tersesat dan cabul atau melakukan penyimpangan seksual sebelum menikah

            Keadaan jasmani anak berbeda-beda dalam hal tinggi, berat dan koordinasi  organ-organ tubuhnya. Ada yang badannya tinggi kurus, ada pula bentuk badannya yang atletis. Ada pula yang mendapat gangguan fisik, seperti kurang jelas penglihatannya, berpenyakit asma, mudah pusing kepala, gangguan sakit gigi, gangguan cacat. Keadaan jasmani yang kurang baik  seperti itu akan membawa pengaruh kurang  efisien dan gairah belajar.  Guru harus peduli.

 

Berubah Tingkah Lakunya

Jika kita menyimak tingkah laku anak didik dari tingkat SD hingga Perguruan Tinggi ada banyak perubahan tingkah laku dalam diri mereka, baik yang positif maupun yang negatif. Factor lingkungan sekolah sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan perilaku anak sebagai berikut:

 

1.      Perilaku dan pribadi guru besar  pengaruhnya terhadap perkembangan perilaku anak didik. Guru yang berlaku negatif, seperti pemarah, mudah tersinggung,  kurang adil, kurang bertanggungjawab, sikap pasif dan tidak kreatif dapat mempengaruhi perilaku anak didik sehingga mereka cenderung beperilaku negatif juga.

2.      Perilaku teman sekolah juga turut mempengaruhi perkembangan perilaku anak karena mereka sering bergaul dan saling meniru satu dengan yang lainnya. Sifat perilaku teman ada  dua macam, ada yang baik dan ada yang nakal. Perilaku teman yang baik akan mempengaruhi tingkah laku yang baik untuk teman yang baik maupun yang kurang baik; ada juga teman yang baik mau dipengaruhi perilaku yang kurang baik dari anak yang nakal sehingga menjadi nakal. Ada yang berperilaku tidak baik setelah mendapat teman yang baik, ia berubah menjadi anak yang baik.

3.      Kondisi bangunan sekolah dan ruang kelas  yang tidak memenuhi syarat, juga bisa mengakibatkan tumbuhnya perilaku anak yang kurang harmonis satu sama lain dan anak malas ke sekolah.

4.      Kurikulum:

5.      Sistim intruksional yang terlalu berat dan kaku serta suasana yang otoriter memberikkan pengaruh destruktif tertentu terhadap perkembangan  perilaku anak.

 

Berubah Prinsipnya

Tidak semua anak memiliki prinsip yang kuat dan patut dipertahankan. Diantara mereka ada yang prinsipnya salah atau kurang sesuai dengan perkembangan usia dan tingkat pendidikan yang sedang berlangsung.  Alangkah baiknya jika para pendidik dapat mengetahui apa prinsip masing-masing anak didiknya di dalam keluarga, di sekolah, dalam belajar, dalam pergaulan. Sehingga jika kita temui bahwa prinsip mereka kurang tepat, tidak sesuai dengan hukum pendidikan, maka pendidik bisa mengarahkan, bahkan merubah total suatu prinsip yang dipandang perlu diluruskan  atau dipengaruhi, sehingga anak didik memiliki prinsip yang benar-benar tepat bagi dirinya menurut kalangan pendidik maupun orang tua mereka.

            Tentu tidak tepat jika anak didik prinsipnya di sekolah “ yang penting sekolah”. Mestinya prinsip yang tepat anak sekolah adalah “ saya harus pintar dan meraih juara atau ranking satu” di kelas saya; atau “saya harus menjadi juara umum”.  Contoh prinsip dalam belajar yang  tepat misalnya: “saya akan belajar bukan dari  guru saja”. Prinsip ini tentunya dapat disetujui baik oleh rata-rata pendidik maupun orang tua, karena belajar yang baik bukan hanya dari guru saja tetapi bisa dari teman, dari internet atau dari berbagai media baik cetak maupun elektronika. Contoh prinsip anak dalam keluarga yang tepat misalnya: “pertama-tama saya akan membahagiakan orang tua dan kedua saya bisa berguna bagi keluarga”. Jika ada peserta didik yang berprinsip dalam hal  pergaulan mengatakan :” saya bergaul dengan siapa saja-tidak pandang bulu”. Prinsip seperti tersebut tersirat ada sikap bergaul yang ngawur dan tidak selektif. Hal ini perlu diarahkan oleh  pendidik  atau  orang  tua  bahwa setiap  orang  harus  bergaul  dengan  orang  yang

memiliki kebiasaan baik, dengan kata lain “orang baik” sebab sebuah kitab suci menuturkan prinsip yang tepat dalam pergaulan berbunyi:”pergaulan yang buruk akan merusak kebiasaan yang baik”. Para pendidik yang mampu menempatkan prinsip yang tepat akan membawa perubahan prinsip  bagi banyak peserta didik yang berhati baik. Hal ini sesuai dengan pepatah jawa bahwa guru itu patut di gugu dan di tiru .

            Suatu prinsip ada gunanya. Dengan memiliki prinsip, seorang anak didik akan mempelajari sesuatu yang baru atau dapat menentukan tindakan-tindakan apa yang selanjutnya perlu dikerjakan atau dilakukannya. Dengan prinsip yang jelas memungkinkan anak didik belajar serius dan pengajaran bisa terlaksana dengan baik. Pengajaran yang lebih tinggi  dapat berlangsug secara efektif jika anak didik telah memiliki prinsip mengenai berbagai mata ajaran yang telah diberikan pada jenjang sekolah sebelumnya.   

 

Berubah Jati Dirinya

Jati diri seseorang bisa berubah. Hal ini tergantung bagaimana sesorang mampu tidaknya menemukan makna hidup yang sesungguhnya, mampu tidaknya mengenal diri sendiri.  Dalam rangka mencari jati diri dan makna hidup yang sesungguhnya, manusia harus bisa menjawab sebuah pertanyaan esensial yaitu siapa dirinya atau siapa saya. Pertanyaan seperti ini agak bersifat filosofis, tetapi amat penting untuk membangun karakter atau mengembangkan diri. Mengapa? Karena jika seseorang bisa mengenal dirinya sendiri, ia akan mampu menempatkan diri dalam setiapsituasi hidup. Banyak anak didik yang masih mencari jati diri  atau identitas diri dengan cara yang kurang tepat, misalnya:  ikut-ikutan, tidak punya pendirian, atau tidak berani mengambil keputusan.

            Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan, kekuatan dan kelemahan. Dalam hal ini setiap orang dituntut untuk jujur mengakui keberadaannya, termasuk bisa menemukan kelemahan dan kekuatan diri atau potensi yang ada dalam dirinya. Dengan kata lain setiap orang harus bisa mengenal diri sendiri. Orang yang bisa mengenal diri sendiri itulah orang yang sesungguhnya memiliki jati diri. Bagaimana seseorang bisa mengenal diri sendiri? Jawabnya harus bisa menilai diri sendiri.  Dari sini dapat kita ketahui bahwa jati diri seseorang bisa berubah tergantung bagaimana dia mampu atau tidak  menilai dirinya sendiri. Jika dia mampu menilai dirinya, maka ia akan mampu menemukan jati dirinya. Tentu jika dia sadar menemukan dirinya banyak kekurangan atau kelemahan tidak akan diam membiarkan kelemahannya itu. Ia harus tekun mengusahakan perbaikan hingga menghasilkan perubahan yang benar-benar bisa menunjukkan jati diri apa adanya.

            Beberapa penyebab seorang anak bisa kehilangan jati diri atau jati dirinya berubah, antara adanya rasa malu akibat julukan negatif  pada dirinya dari orang lain. Ada kalanya anak sering mendapat julukan negatif dari keluarga, teman-teman atau guru. Misalnya, si garong, si badut, si kunyuk, si tukul, si betet, si cebol, si pesek, si kentung, si jabrik, si banci dsb. Terkadang si pemberi julukan atau label tidak sadar terhadap efek atau akibat serta pengaruh negatifnya terhadap perilaku yang dijuluki. Kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa julukan semacam itu meninggalkan kesan pada anak yang dijuluki bahwa ia akan menerima dirinya apa kata orang lain, tidak percaya diri, menyesali diri karena timbul sikap  membandingkan diri dengan orang lain kenapa saya tidak seperti dia, kenapa saya jelek seperti ini, kenapa saya dilahirkan menerima nasib tidak baik.

            Bila julukan-julukan tersebut diterima pada saat seseorang masih muda atau pada masa usia sekolah, hal semacam itu akan mempengaruhi pembentukan jati diri dan kepribadian. Usia anak-anak yang dirinya bebas dari julukan atau label negatif dari orang lain, mereka akan tumbuh kepribadian yang wajar dan percaya diri yang  kuat sehingga mudah dirinya untuk menyampaikan penilaian terhadap dirinya secara jujur. Dia akan merasa tidak keberatan jika hal-hal negatif atau kekurangan dan hal-hal positif atau kekuatannya diketahui oleh orang lain. Dengan demikian, maka setiap orang bisa membentuk jati diri yang benar tanpa goyah karena julukan dari orang lain asal dirinya bersedia dinasehati,  dikoresi orang lain dan berpikir positif untuk bisa menerima dirinya sebagaimana adanya. Oleh karena itu teman-teman, orang tua atau pendidik.  Jangan suka memberi julukan yang negatif kepada orang lain karena jika hal itu membawa perubahan negatif pada jati diri seseorang, sangat sulit memulihkan untuk tidak rendah diri, untuk memiliki rasa percaya diri,  untuk mudah  mengenal diri sendiri, mudah menerima saran dan  membuang rasa malu.

            Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa jati diri bisa berubah, tetapi  kita tidak harus sama dengan orang lain, atau menjadi seperti yang orang lain katakan terhadap diri kita. Bila perlu agar kita memilki jati diri yang kuat kita harus berani menyangkal apa kata orang lain, sekiranya tidak bersifat konstruktif. Sedangkan, bagi anak didik  yang kehilangan jati diri  gara-gara sedikit julukan membutuhkan kasih yang tulus dari orang lain. Jika ia bertemu dengan orang yang tulus, maka ia akan membuka diri dari luka masa lalunya, sehingga sedikit demi sedikit pribadinya akan berubah ke arah yang lebih baik.

 

Sifat Anak Didik yang Berbeda

            Sifat dasar anak didik adalah perbedaan dalam hal adalah: individu dan latar belakang keluarga. Uraian hal tersebut sebagai berikut:

 

Perbedaan  Individu

            Semua guru pasti tahu  bahwa dalam kegiatan belajar mengajar menemukan perbedaan individu maupun kelompok. Anak didik sebagai individu berbeda dalam banyak hal. Beberapa kriteria perbedaan yaitu:  yang menyangkut aspek usia dan perkembangan, seksualitas, temperamen, prestasi akademis, dan gaya belajar.

 

Perbedaan segi Usia dan Perkembangan

            Guru harus menyadari bahwa dalam setiap kelas bahkan setiap tingkatan kelas di sekolah ada perbedaan di antara anak didik dari  faktor usia dan perkembangan. Sehubugan dengan Usia dan perkembangan, setiap anak didik mengalami pertumbuhan dan perkembangan baik secara jasmani, mental, social, dan spiritual.

            Mengenai perbedaan faktor Usia dan Perkembangan dapat diuraikan  dari perbedaan usia pra sekolah (TK) sampai usia orang dewasa.

 

Anak Usia Pra Sekolah (4-5 tahun).

            Dalam keadaan normal anak usia ini menunjukkan pertumbuhan fisik yang cepat. Pada usia ini mereka sulit untuk diam. Mereka maunya bergerak terus, jalan dan bermain. Sebenarnya geraknya yang lincah itu merupakan sarana untuk mengembangkan kekuatan otot dan tulang. Melalui bermainnya  anak belajar mengenal lingkungannya, sesamanya dan melatih jiwanya siap menentukan pilihan yang terbaik baginya.   Karena  itu  dalam membina anak usia ini dibutuhkan adalah: ruang yang cukup besar,  waktu yang lebih banyak, dan  bimbingan terhadap sifat khasnya.

Mereka memiliki rasa ingin tahu yang cukup tinggi. Mereka sering mengajukan banyak pertanyaan kepada orang yang lebih dewasa, khususnya yang berkaitan dengan soal “apa” dan “mengapa” dari obyek atau peristiwa yang dilihatnya. Kesukaan bertanya itu penting baginya, karena secara tidak langsung mereka ingin menambah perbendaharaan pengetahuan, kata, dan menginterpreatasikan simbol-simbol yang ada dalam pikiranya sendiri ke dalam kata. Anak usia ini banyak bertanya dan berbicara merupakan upaya dirinya  secara tidak langsung ingin mendapat perhatian dan penerimaan dari orang-orang sekitarnya.

            Cara berpiikir anak usia ini sangat terbatas dan sempit. Ia belum mampu mengambil kesimpulan dengan tepat, apalagi yang cukup luas. Hal ini disebabkan oleh egosentrisnya yang kuat. Dalam hubungannya dengan rohani, tentang Tuhan khususnya, mereka bisa tahu dan menerima pendapat bahwa Tuhan itu pencipta langit dan bumi, maha kuasa, maha kasih, mengampuni dosa  dan  mempedulikan anak-anak.

 

Anak Usia Sekolah Dasar (6-12 tahun)

            Pada usia ini pada umumnya anak bersifat egois, cenderung agresif, keras, pendiam dan  teguh pada aturan. Di sisi lain mereka cenderung fleksibel, mudah bergaul, banyak bicara, intuitif dan imajinatif serta emosional. Di lain pihak mereka cenderung mempertahankan relasi, mudah bergaul (adaptif)  dan pengamat yang baik dari interaksi sekelilingnya. Dengan demikian, maka mereka tidak mudah mengambil keputusan untuk menjadi prinsip hidup yang kuat. Sifat yang lain, mereka cenderung menuntut perhatian, sangat bergantung kepada orang lain dan selalu mengasihani diri. Bagi anak tunggal banyak mengajukan tuntutan atau permohonan kepada orang tuanya. Tidak adanya kakak atau adik di rumah, membuatnya merasa “serba sendiri”. Karena itu konsep berbagi rasa terhadap sesama kurang atau sukar bertumbuh secara luwes.

            Cara berpikir anak usia ini terus berkembang dan bergerak dari cara kongkret ke cara abstrak. Ia mulai mempelajari segi-segi keteraturan, tata tertib,  otoritas dalam kelompok, dan penghargaan yang diterima dari orang lain, seperti:  sebutan “anak manis”, “anak baik” “anak rajin” atau  “anak pandai”. Anak usia ini ingin dibina dalam kerjasama yang produktif dan kontruktif.  Jika tidak pernah mendapat penghargaan, pujian dan dorongan dari orang-orang yang membinanya, maka dirinya akan cepat rendah diri dan kurang percaya diri.

 

Anak Usia SMP-SMA (13-17 tahun)

            Pada usia ini mereka pada umumnya menghadapi krisis identitas, kebingungan dalam memainkan peran-peran yang tepat atau sebagaimana adanya. Ada kegelisahan dalam diri mereka sebagai akibat dari pertumbuhan hormon atau zat-zat kimiawi tertentu dalam tubuh. Pada usia ini juga muncul konsep diri negatif atau positif yang mempengaruhi kemampuan dan minat belajar mereka,  kurang harmonisnya relasi dengan sesama, guru serta  orang tua. Mereka lebih condong menerima norma moral dari teman-teman maupun kelompok mereka dibandingkan saudara sendiri atau kakak  adik mereka. Meskipun demikian, penghargaan, pengertian dan penerimaan dari  pihak-pihak terdekat, kerabat atau keluarga, tetap saja sangat dibutuhkan mereka dalam menghadapi keadaan sulit dan tidak stabil yang mereka rasakan.

 

1.      Anak usia ini cukup kritis terhadap banyak hal, termasuk mengkritisi iman dan agamanya. Kebenaran iman yang pernah diterimanya pada masa taman kanak-kanak atau sekolah dasar mulai dipertanyakan.  Hal ini terjadi karena cara berpikirnya meningkat ke arah abstrak. Karena itu pula maka  anak usia ini senang beradu argumentasi, menunjukkan kreatifitas dan inajinasi, idealisme, cepat menghafalkan penilaian, dan menginginkan hal-hal yang humoris.

2.      Dalam pembicaraan tentang masalah-masalah rohani, anak usia ini membutuhkan pembahasan praktis dan bersifat pribadi. Karena agama dipandang sangan pribadi dan emosional, ada kalanya ia memiliki keraguan akan iman atau agamanya, namun sangat menyenangi situasi ibadah yang sesuai dengan situasi emosinya.

           

Berkaitan hal di atas maka  Jay Kesler mengatakan bahwa faktor penting dalam pembinaan anak usia ini adalah keterbukaan dalam komunikasi. Pembina harus bersedia mendengar keluhan dan pendapat remaja supaya mereka merasa diperlakukan  dan diterima sebagai “orang dewasa”. Problematik anak usia ini dirinya ingin dianggap sebagai pribadi-pribadi  mandiri. Mereka  perlu ditolong untuk merasakan dan mengalami hal itu. Peraturan-peraturan, tatatertib, dan disiplin yang akan diterapkan perlu didiskusikan terlebih dahulu agar dalam diri mereka timbul perasaan “memiliki peraturan itu”. Mereka tidak rela dipaksa, apalagi ditindas untuk melakukan hal-hal yang tidak disenanginnya.  Mereka ingin dilibatkan dalam pengambilan keputusan tentang hal-hal  yang kemudian munngkin akan mempengaruhi sikap dan tingkah lakunya. Di satu sisi mereka tidak mudah taat, tetapi di sisi lain mereka sangat takut terhadap hukuman atas suatu pelanggaran.[159]

 

Usia Pemuda dan Dewasa Muda (18-35 tahun)

            Pemuda dan orang dewasa muda umumnya telah mampu berpikir abstrak. Dalam hidupnya, secara umum mereka ingin mengembangkan norma moral Universal, yakni norma yang timbul dan bergerak dari keyakinan diri yang sejati (idealisme). Norma atau prinsip hidup demikian tidak semata-mata muncul sebagai akibat dari pengaruh hidup orang lain. Pada umumnya pada tahab selanjutnya  pemuda dan orang dewasa muda larut dan bergumul dengan masalah karier, panggilan hidup, teman hidup, keluarga (membina anak-anak)  dan relasi-relasi sosial (peranan yang cocok dalam sistim nilai budaya, adat dan tradisi). Dalam kaitan dengan kehidupan iman, kelompok usia ini ingin sekali melihat keterkaitan antara dirinya dengan situasi dan kehidupan sehari-hari.

            Orang-orang  yang telah memasuki usia dewasa dan keluarga (18-35 tahun), umumnya menghadapi:

 

1.      masalah keuangan dalam memenuhi tuntutan hidup sehari-hari

2.      masalah liku-liku atau persoalan dalam membina relasi dengan kerabat yang lebih luas, disamping berkeinginan kuat untuk mengelola rumah tangga dengan baik, khususnya dalam mendidik anak secara baik.

           

Ditinjau dari proses belajar, mereka dalam kategori memiliki: (1)  potensi yang cukup besar untuk belajar mereka sangat optimal. (2) mereka memiliki keinginan untuk lebih menyimak hubungan antara hal-hal yang dipelajari dengan kebutuhan dan pergumulan hidup yang dihadapi.  (3) Mereka  sudah dapat mengembangkan cara berpikir praktis dan realistis.  Oleh sebab itu jika mereka menjadi peserta didik harus sudah diberi kesempatan  mengembangkan bakat dan intelektualnya dengan mengerjakan tugas-tugas individu maupun kelompok  berupa karya tulis dan sebagainya.

            Semua individu berbeda. Karena semua individu berbeda, tidak dapat diharapkan bahwa dua orang tertentu akan bereaksi dengan cara yang sama terhadap rangsangan lingkungan  yang sama. Anak-anak penakut tidak sama reaksinya dengan anak-anak yang agresif. Mereka yang tenang dan santai tidak merasa terganggu dengan kesibukan orang lain di sekitarnya yang tergesa-gesa dan ingin cepat menyelesaikan tugasnya dibanding dengan anak yang peka dan pemalu.

            Karena tidak ada dua indiividu yang memiliki sifat-sifat bawaan dan pengalaman-pengalaman lingkungan yang sama , maka tidak pernah ada orang yang dapat meramalkan secara tepat bagaimana orang akan bereaksi terhadap situasi, sekalipun ada informasi  yang luas tentang kemampuan-kemampuan mereka yang diturunkan dan sekalipun diketahui bagaiman pada umumnya berperilaku   dalam situasi yang sama. Juga orang tidak bisa mengharapkan  hasil yang sama  dari orang dengan perkembangan usia  dan intelektual yang sama. Namun akhirnya, perbedaan individual justru berarti karena perbedaan ini diperlukan  bagi individualitas dalam pembentukan kepribadian. Individualitas bukan hanya membuat orang menyenangkan, tetapi juga memungkinkan kemajuan sosial.

 

Perbedaan  Segi Dorongan Seksualitas

            Masalah perbedaan dalam segi seksualitas perlu kita sadari secara seksama, khususnya yang berkaitan dengan  perbedaan sifat dan gaya hidup pria dan wanita. Sifat khas  ini cukup berpengaruh positif atau negatif dalam proses belajar, selain terhadap perkembangan spiritualitasnya sebagai berikut: (1) Kaum pria lebih dikenal agresif, rasional (logis), sistimatis. Mereka umumnya sangat visual dalam arti menerima informasi melalui bacaan dan penglihatan, serta berorientasi kepada apa yang di luar dirinya. (2) Kaum wanita umumnya lebih dikenal sensitive, emosional dan menekankan rasa harmonis serta berorientasi ke dalam dirinya. Mereka lebih banyak menimba informasi dari pendengarannya dan perasaannya atau sentuhan hati.

            Perbedaan kodrat ini ada kalanya membuat guru tersinggung dengan sikapnya yang kurang baik saat belajar di kelas, dikarenakan temperamennya yang berubah ubah, sikapnya yang sering melamun, mencari sensasi dan membuat kacau karena becanda dengan lawan jenis. Guru harus menyadari faktor penyebab perasaan itu. Guru kurang tepat apabila menuntut kesamaan prestasi dari kedua belah pihak peserta didik, karena pada dasarnya mereka sudah punya dasar yang berbeda atas dorongan seksualitasnya.

 

Perbedaan Segi Prestasi

            Perbedaan indiviidu  yang perlu disadari oleh guru adalah dalam segi prestasi. Setiap orang  pada umumnya secara individu maupun kelompok senantiasa berbeda dalam segi prestasi atau kemampuan akademis.  Ada banyak faktor yang menyebabkannya, antara lain:  cara belajarnya yang pernah ditempuhnya pada masa lalu. Ada juga faktor latar belakang ekonomi dan sosio-kultural, nilai  dan sikap hidup, minat serta pengenalan dan harga diri.  Pengenalan dan penerimaan diri yang masih negatif, biasanya sangat melemahkan minnat dan semangat belajar, keharmonisan dalam segi relasi dan kerjasama.

 

 Perbedaan Segi Temperamen

            Perbedaan individu atas dasar temperamen perlu dipahami dan diterima oleh guru dengan sebaik-baiknya. Artinya guru harus memandang keragaman teemperamen peserta didik sebagai kekayaan kepribadian  dalam hidup kebersamaan.  Berkaitan hal tersebut, maka Hallesby menuturkan bahwa temperamen sesorang berakar dalam jiwa dan roh, dan merasuk serta berpengaruh kuat pada tubuh jasmaninya. Karena itu temperamen menjadi karakteristik individu yang paling hakiki yang dibawanya sejak lahir. Temperamen terefleksi secara otomatis dalam perasaan, sikap dan tingkah laku individu. Tidak perlu diatur  oleh logika, intelek, dan kehendak. Seseorang memberi respons terhadap lingkungannya atas dasar temperamennya sendiri.[160]

            Ada empat jenis temperamen sebagai berikut: (1) Sanguin (Yun,:sanguis=darah), yakni temperamen yang aktif, ceria atau emosional, sensitive namun mudah berubah.  Dengan temperamen sanguine seseorang  mampu menyelami perasaan  dan pikiran orang lain. Ia halus dan simpatik, dan memiliki potensi unntuk hidup gembira senantiasa. Akan tetapi, dengan temperamen ini individu cenderung berpikir dangkal dan labil serta kurang setia dalam menghadapi kesukaran.  Sebab itu di dalam pergaulan orang sanguine sering dikenal sebagai pribadi yang “tak mudah dipercaya”. (2) Melankolik (Yun. melancholia = empedu hitam), yakni temperamen individu yang introvert (orientasi ke dalam diri), sangat tertutup, pemurung, merasa mudah tersinggung, merasa tertekan, sukar bergaul, pesimis  dan terkesan angkuh. Meskipun demikian individu dengan temperamen ini sensitive, selalu mendalam dan seksama (berpikir mendetail). Meskipun tak banyak mempunyai teman akrab, namun ia seorang kawan yang setia dan dapat diandalkan. (3) Kolerik (Yun. Chole = empedu kuning), yakni temperamen individu yang penuh semangat, berkehendak (memiliki prinsip) kuat, enerjik, memilki akal budi yang tajam dan praktis dalam tindakan, berani menghadapi resiko tinggi atas perbuatannya, dan keputusannya cenderung selalu tepat atau relevan. Akan tetapi, dengan temperamen ini, individu ini dikenal keras, tak mudah diubah,  cepat bertindak  dan pemarah, sangat percaya diri, dan karena itu terkenal sombong atau licik, tak begitu suka dengan kelembutan dan keindahan, cenderung membalas (tak ingin mempunyai saingan). (4) Plegmatik (Yun.  cairan tubuh yang lembab, lamban), yakni temperamen yang membuat individu lamban, seperti:  pemalas, oleh karena itu ia harus selalu dipaksa. Individu yang  plegmatis bersifat opportunis, seolah tak peduli  dengan orang lain dan lingkungannya, dan karena itu terkesan congkak. Meskipun demikian, dengan temperamen itu, individu dikenal baik hati, dan tidak mudah tersinggung, selalu tenang dalam situasi yang cukup mengkuatirkan sekalipun, percaya diri dan praktis.

            Kekuatan empat temperament anak didik  tersebut di atas perlu mendapat pembinaan dari guru. Dengan sadar guru harus cakap menghadapi  anak didik yang temperamennya berbeda-beda.  Segi-segi  negatif  temperamen  itu  akan  dapat  muncul  dalam interkasi belajar mengajar yang dipimpinnya. Menurut penulis, dalam pengalaman iman Kristen,  temperamen seseorang bisa diubah menjadi yang terbaik melalui kuasa dan kehadiran Roh Kudus dan Firman Tuhan. Jadi jika sesorang  bersedia memberikan dirinya dipenuhi Roh Kudus, maka temperamennya akan lebih menonjol yang positif darri pada yang negatif. Tugas guru mengajar.Namun juga harus terpanggil mendorong  anak didiknya agar mengalami perubahan temperamen.

 

 Perbedaan Segi Gaya Belajar

Setiap individu mempunyai gaya belajar yang berbeda. Menurut David Kolb (Styles of Learning Inventory, 1981) ada empat (4) jenis atau tipe gaya belajar sebagai berikut: (1) Tipe Converger – belajar melalui proses konseptualisasi abstrak (berpikir) dan eksperimentasi (berbuat). Artinya, dengan kecenderunngan ini gaya belajar anak didik lebih didominasi oleh intelek (pemikiran) dan perbuatan mencoba-coba (dengan pengalaman praktis). Dengan demikian anak didik  menghindari pengjaran yang semata-mata teoritis. Hal teoritis dan praktis harus berjalan seimbang. Gaya semacam ini umumnya mendominasi hidup teknokrat. (2)  Tipe Diverger -  belajar melalui pengalaman-pengalaman konkrit (perasaan) dan observasi reflektif (pengamatan). Dengan tipe ini peserta didik lebih didominasi  oleh intuisi, perasaan, dan sensitivitas. Ia mengamati contoh yang didemontrasikan oleh guru, dan menyimak hal-hal yang erat kaitannya  dengan emosi seperti keindahan gerak dan suasana. Banyak seniman memiliki kecenderungan belajar semacam ini. (3) Tipe Assimilator - belajar melalui konseptualisasi abstrak (kuat dalam berpikir) dengan observasi reflektif (pengamatan). Anak didik dengan gaya belajar ini cenderung bersifat teoritis, enggan berbuat. Ia berorientasi kepada buku-buku bacaan dan contoh-contoh. Dari situ ia membangun teori atau keyakinannya. Pada umumnya teorian dan para filsuf (pemikir) berkembang dengan tipe belajar demikian. (4) Tipe Accomodator -  belajar melalui pengalaman konkret  (perasaan) dan eksperimentasi aktif  (berbuat). Anak didik dengan kecenderungan belajar ini lebih didominasi oleh situasi dan hal-hal praktis. Intuisi dan tindakan praktis sangat diutamakan. Ia tidak merasakan perlunya teori-teori yang berorientasi kepada buku sumber saja. Baginya pengalaman dan perbuatan  aktif di lapangan adalah guru yang terbaik  Umumnya kalangan bisnis meminati gaya belajar ini.

Perbedaan gaya belajar individu juga dapat kita pahami dari segi  pengaruh konteks. Ada banyak orang yang sangat peka terhadap nilai dan suasana konteksnya. Anak didik dengan kepekaan demikian dikenal memiliki gaya belajar yang high context.  Sebaliknya ada pula orang yng kurang menguamakan keadaan di dalam konteksnya. Anak didik dengan kecenderungan  demikian dikenal memiliki gaya belajar yang low context.

Selanjutnya, dengan kecenderungan belajar high context individu atau kelompok sangat menekankan relasi antar pribadi, pengalaman dan pengamatan (contoh hidup). Anak didik begitu sensitive terhadap konteks belajar, seperti: keadaan ruang, obyek dan peristiwa di sekitarnya. Kemudian, dengan model belajar low  contect  individu menekankan  konsep, ide, teori atau prinsip, menghargai keteraturan, eksperimentasi dan menyenangiliterartur (bahan bacaan. Tak peduli apakah bahan yang dipelajari itu relevan dengan konteks hidupnya atau tidak. Juga tidak terlalu penting baginya pengaruh lingkungan belajar, terhadap pembentukan pemikiran atau pemahamannya.

 

 Perbedaan Latar Belakang Keluarga

            Bemacam-macam keadaan keluarga setiap anak didik. Ada yang keluarganya harmonis dan ada yang tidak harmonis. Ada yang bahagia dan yang tidak bahagia. Ada yang orang tuanya cerai dan yang tidak bercerai. Ada yang keluarganya kaya ada yang miskin. Ada yang menjadi pegawai negeri ada yang wira usaha dan karyawan pabrik.  Ada yang petani dan ada yang berjualan di pasar dan sebagainya. Semua perbedaan latar belakang keluarga tersebut dalam banyak hal berpengaruh pada perbedaan sikap dan tingkah laku, gaya hidup dan motivasi di sekolah. 

            Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang erat beragama dan menjadi anggota suatu lembaga keagamaan cenderung lebih tertarik pada agama dari pada anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang kurang peduli pada agama. Anak-anak yang tinggal di pedesaan dan dipinggir kota menunjukkan minat yang lebih besar pada agama daripada anak-anak yang tinggal di kota.

 

Sifat Anak Didik yang Murni

Tidak sedikit anak didik yang memiliki sifat murni (polos). Mereka mudah percaya, patuh (taat),  baik dan bijaksana, ingin bersahabat dan demokrasi,  tidak mudah lupa.

            Pada hakekatnya hati seorang anak didik pada usia tertentu sebelum mendapat pengaruh nakal dari temannya adalah murni, misalnya:  anak tidak  mau menyontek dari buku atau dari temannya, ia percaya diri mengandalkan kemampuannya sendiri dan menerima hasil ujiannya dengan ikhlas berapapun nialinya.

Mudah percaya. Pemikiran apapun yang diberikan orang tua, guru atau orang yang lebih dewasa dari mereka semua yang dianggap baik diterima begitu saja tanpa perdebatan. Apalagi jika mereka tahu bahwa yang menyampaikan itu orang yang sangat berpengaruh atau ia segani bahkan tokoh yang diidolakan. 

Patuh (taat). Setiap anak pada dasarnya memiliki sifat taat. Anak menjadi tidak taat atau  taat terus menerus tergantung pembinaannya atau pengaruh pergaulannya. Oleh karenanya supaya anak  mampu mempertahankan sifat patuh (taat) harus terus menerus mendapat kesempatan pendidikan yang baik dan pembinaan yang disertai nilai keteladanan perihal ketaatan dari pendidik, orang tua atau teman –teman dekatnya.

Baik dan Bijaksana.  Seorang yang bernama Alexander S. Neil mempunyai pandangan bahwa pada hakekatnya manusia itu “baik dan bijaksana”. Dari sifat ini sering kita dengar  ungkapan dari guru atau orang tua  yang mengatakan,”biarkan dia mengambil keputusan sendiri dan bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri”. Dengan demikian bisa saja kita memberi kesempatan kepada anak didik kita bebas menentukan sendiri apa yang harus dipelajari.

Karena sifatnya yang berkembang maka anak didik yang bersifat bai ini harus dibina dan dikendalikan secara tepat dan cermat supaya kebaikan yang dimilkinya tidak kebaikan semu atau  subyektif melainkan kebaikan yang obyektif.         

            Sifat kemurnian lain yang anak didik miliki adalah dorongan bersahabat dan demokrasi. Hal ini tebukti pada anak usia remaja. Bagi anak remaja memilih teman berawal dari adanya kegemaran dan kegiatan-kegiatan yang sama. Selanjutnya berkembang dalam memilih teman harus mereka yang mempunyai minat dan nilai-nilai yang sama, yang dapat mengerti  dan membuatnya merasa aman, dan yang kepadanya ia dapat mempercayakan  masalah-masalah dan membahas hal-hal yang tidak dapat dibicarakan dengan orang tua maupun guru. Teman atau  sahabat yang diinginkan mereka adalah seorang yang dapat dipercaya, yang dapat diajak bicara, seorang yang dapat diandalkan. Oleh karena adanya perubahan nilai.maka teman semasa kanak-kanak belum tentu menjadi teman dalam masa remaja. Namun sebaliknya ada yang menjalin persahabatan dari masa anak-anak sampai lanjut usia.

            Dorongan untuk bersahabatan secara murni juga tidak lagi hanya menaruh minat pada teman-teman sejenis. Untuk anak didik remaja, minat berteman dengan lawan jenis bertambah besar. Sehingga dalam suatu waktu para remaja lebih menyukai lawan jenis sebagai teman meskipun tetap masih melanjutkan persahabatan dengan beberapa teman sejenis.

            Demokrasi. Bagi anak didik yang berusia muda, popularitas berarti mempunyai teman banyak, dan dalam memilih teman tidak lagi bergantung campur tangan orang tua. Mereka sudah mulai mengembangkan cara-cara demokratis. Demokrasi berimplikasi adanya rasa saling menghormati, perencanaan yang kooperatif, tanggungjawab bersama. Banyak perilaku anak didik yang perlu dipahami dan dilayani  secara bijaksana oleh guru. Mereka memiliki dorongan yang kuat untuk membantu kelompoknya.

            Ingin bersahabat. Memperhatikan sifat ini, di sekolah, suara-suara anak didik  hendaknya  diperhitungkan dalam merumuskan tujuan-tujuan dan perencanaan-perencanaan kegiatan. Suara-suara mereka harus didengar  agar mereka merasa  cukup dihargai  dan diperhitungkan, bahkan mereka bisa merasa ikut bertanggung jawab apapun akibatnya.  Oleh sebab itu guru harus dapat mengenal baik karakteristik anak didik sehingga ia mengetahui apa yang dapat diharapkan  dari mereka. Selain itu guru juga harus dapat memperlihatkan sikap bersahabatnya dengan selalu bersikap ramah-tamah, menyediakan waktu untuk mendengarkan  pendapat saat berdiskusi maupun saat demo.  

            Tidak mudah:  lupa juga merupakan sifat kemurnian anak didik. Apa yang ditanamkan orang tua, guru, teman pada saat yang tepat diserap oleh mereka, maka apa bila mereka menangkapnya sangat sulit mereka melupakan kesan yang pernah mereka terima. Oleh sebab itu mulai mereka memasuki dunia pendidikan, siapapun yang berperan memberi masukan ilmu pengetahuan, pendapat  secara formil,  informal  dan non formal jangan asal-asal atau salah-salah, jangan yang bersifat destruktif tetapi yang sebenar-benarnya dan bersifat kontruktif. Dengan daya ingat yang  tahan lama ini maka perlu anak didik diberikan pengetahuan seobyektif mungkin baik fakta, istilah maupun prinsip-prinsip yang berguna bagi hidupnya pada masa kini maupun masa yang akan datang.

 

 

 Sifat-sifat Negatif Anak Didik

Tentang sifat dasar negatif anak didik adalah: pertama,  melawan (tidak disiplin, mudah terpengaruh, tidak cukup konsentrasi atau  kurang memperhatikan, pembohong atau kurang jujur). Kedua, Egois (suka menuntut, ingin diprioritaskan, menang sendiri atau tidak mau kalah).  Ketiga, berperilaku menyimpang (takut, kurang percaya diri, cemas, malas, keras hati dan cuek atau pasif).

            Masalah tidak disiplin merupakan sifat dasar negatif semua anak didik. Misalnya:  malas ke sekolah, datang selalu terlambat, mengganggu anak lain yang sedang belajar, membuat keributan, mencontek pada waktu ulangan, membolos atau pulang sebelum waktunya dan melakukan tindakan-tindakan agresif.  Berkaitan hal tersebut, maka  bahwa masalah perilaku tak disiplin ini disebabkan dua faktor,  yaitu:  faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah yang bersumber dari dalam diri anak sendiri, yang disebabkan oleh implikasi perkembangannya sendiri, misalkan:  kebutuhan tak terpuaskan, kurang cerdas, kurang kuat ingatannya, atau karena energi yang berlebihan. Faktor eksternal adalah yang bersumber pengaruh-pengaruh  dari luar, seperti:  pelajaran yang sulit dipahami, cara guru mengajar kurang efektif, kurang menarik minat, sikap guru yang menekan, sikap yang tidak adil, bahasa guru yang sulit dipahami atau ditangkap  dan alat belajar yang kurang lengkap.[161]  

            Mudah terpengaruhi sebagai sifat dasar negatif anak didik harus mendapat perhatian yang serius baik dari pihak sekolah maupun orang tua. Anak didik mudah terpengaruh pergaulan yang kurang baik. Terhadap sesuatu yang tidak baik tanpa belajar secara formal mereka langsung bisa terbawa arus. Namun dalam kontek anak didik, lingkungan sekolah sangat besar pengaruhnya terhadap perilaku anak didik. Yang dimaksud lingkungan sekolah adalah perilaku  dan pribadi guru, perilaku teman sekolah, kondisi bangunan sekolah, kurikulum  dan sistim intruksional yang diterapkan terhadap anak didik.

            Perilaku dan pribadi guru. Guru yangberlaku negatif  danberpribadi belum matang atau tidak terintegrasi akan mengakibatkan anak-anak akan melakukan hal yang sama, karena selama di sekolah, terjadi  transaksi yang terus menerus antara anak dan gurunya  dengan cara peniruan, identifikasi, dan penyesuaian. Gejala perilaku guru yang frustrasi, pemarah dan mudah tersinggung, suka mencontoh dan kurang percaya diri, kurang adil dan kurang bertanggung jawab, sikap pasif dan tidak kreatif dapat mempengaruhi perilaku anak didik sehingga mereka cenderung berperilaku yang sama.

            Perilaku teman sekolah juga turut mempengaruhi perkembangan perilaku anak karena mereka saling bergaul dan saling meniru satu sama lainnya. Kenakalan anak-anak, perilaku melanggar disiplin, sikapmementingkan kelompok dan mengganggu kelompok lainnya adalah beberapa contoh akibat pengaruh perilaku teman-temannya yang bersifat negatif serta cenderung merugikan orang lain. 

            Kondisi bangunan sekolah yang tidak  memenuhi syarat, misalnya:  keadaan

yang kotor, ventilasi yang kurang memadai, ruang yang gelap, peralatan yang serba tak terpelihara. Hal tersebut merupakan beberapa contoh yang umumnya mengakibatkan gangguan konsentrasi belajar dan pada gilirannya anak didik malas bersekolah, senang bermain di luar sekolah, dan mengabaikan pelajaran gurunya,   sehingga tumbuh berbagai bentuk perilaku  yang kurang harmonis.

            Kurikulun dan sistim intruksional yang terlalu berat dan kaku serta suasana yang otoriter memberikan pengaruh destruktif  tertentu terhadap perkembangan perilaku anak didik.

 

Hasil Akhir

Evaluasi hasil akhir merupakan data keberhasilan atau kegagalan dalam proses filsafat pendidikan tersebut. Hasil akhir disebut berhasil bilsa hasil evaluasi menjawab tujuan pendidikan. 

Hasil belajar merupakan perubahan perilaku peserta didik yang diperoleh setelah mengikuti pembelajaran selama kurun waktu tertentu yang relatif menetap.  Lebih dalam, maka Hamalik (2002) mengatakan bahwa hasil belajar  tampak sebagai terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa, yang dapat diamati dan diukur dalam perubahan pengetahuan sikap dan keterampilan. Perubahan dapat diartikan terjadinya peningkatan dan pengembangan yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, sikap tidak sopan menjadi sopan dan sebagainya. Selanjutnya Dimyati (2002) mengatakan bahwa hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi belajar.  Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan berakhirnya penggal dan puncak proses belajar. Salah satu upaya mengukur hasil belajar siswa dilihat dari hasil belajar siswa itu sendiri.  Bukti dari usaha yang dilakukan dalam kegiatan belajar dan proses belajar adalah hasil belajar yang biasa diukur melalui tes. 

Dari urian di atas, maka dapat dikatakan bahwa  Hasil belajar (achievement) itu sendiri dapat diartikan sebagai tingkat ke­berhasilan murid dalam mempelajari materi pelajaran di pondok pesantren atau sekolah, yang dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu.

 

 


 

IV. Hubungan Filsafat Pendidikan

dengan Agama dan Sekuler

 

Agama dan sekuler merupakan nilai-nilai dari filsafat pendidikan. Kalau filsafat pendidikan diberi nilai-nilai agama, maka filsafat pendidikan akan berbasis agama sedangkan kalau filsafat pendidikan diberi muatan sekuler, maka filsafat pendidikan akan basis sekuler. Dengan demikian, maka apakah itu Agama? Agama ialah segala aktivitas hidup manusia dalam dengan suatu usahanya untuk mewujudkan rasa bakti dan mempersentasikan keterhubungan manusia kuasa yang diyakini bersifat supranatural dan mengatasi dirinya (transeden). Di sini bahwa agama sebagai aktivitas hidup manusia membutuhkan bentuk – bentuk konkret dalam sikap hidup dan tindakan. Jadi, beragama bukan sekedar meyakini sesuatu, tetapi bertindak sesuai dengan yang diyakininya. Bahkan beroleh agama seharusnya terwujud dalam totalitas kehidupan dan diamalkan dalam setiap tingkah laku, sehingga beragama tidak berarti bagi diri sendiri, melainkan juga bagi sesama dan lingkungan tempat seseorang berada.

 Aktivitas beragama  dilakukan dalam rangka usaha merealisasikan rasa bakti dan keterhubungan manusia dengan kuasa yang disembah. Sebagai yang demikian, maka agama memerlukan dan menggunakan cara – cara yang bersifat manusiawi. Dengan kata lain, ekspresi kehidupan beragama selalu bersifat antropomorfistik. Dalam hal ini perlu disadari pengaruh budaya setempat terhadap warna kehidupan agama. Jadi, sebagai ibadah (rasa bakti) kepada kuasa yang disembah, agama melibatkan seluruh segi kehidupan manusia yang disimbolisasikan dalam bentuk ritus – ritus, tata cara peribadahan dan pranata – pranata tertentu. Juga terwujud dalam sikap dan tindakan terhadap sesama manusia dan lingkungannya. Disinilah dapat dipahami bahwa ibadah yang benar harus mencakup tindakan – tindakan, baik yang bersifat supra social maupun social.

Salah satu unsur yang menjadi dasar bagi seluruh bangunan keagamaan adalah keyakinan. Dengan dasar tersebut hidup keagamaan akan mengandung subjektivitas. Keyakinan subjektif yang menjadi landasan kehidupan agama tidak menuntut pembuktian kebenarannya secara akali. Menurut Hans Kung, seorang teolog Katolik, agama merupakan sesuatu dalam diri manusia untuk dihayati, bukan sekedar konsep teknis yang abstrak, merupakan iman yang konkret, bukan sekadar lembaga. Agama selalu menyangkut basic trust seseorang akan hidup. Sadar atau tidak, secara eksistensial manusia membutuhkan komitmen dasar, komitmet pada makna, nilai dan norma. Agama memberikan makna yang komprehensif tentang hidup, menjadi jaminan bagi nilai – nilai tertinggi dan norma – norma yang bersifat tanpa syarat, memberikan komunitas dan rumah rohani.

            Keberadaanya melekat pada kemanusiaan manusia, bersifat konkret, berkaitan dengan keberadaan manusia, dan bertolak dari pandangannya tentang kuasa supranatural, dunia, manusia, dan keterhubungannya satu sama lain, serta diwujudnyatakan dalam kehidupan, peribadahan, sikap, perilaku, dan lain sebagainya. Dalam rasa keagamaan, manusia insaf akan adanya suatu kekuasaan yang melebihi segala – galanya dan sangat penting untuk keselamatannya. Dari segi lain, manusia-baik sebagai maupun kelompok – memiliki keunikan masing – masing. Kemanusiaanya tumbuh dan terbentuk oleh suatu lingkungan dan kondisi, lengkap dengan norma, tata nilai dan cara pemaknaan terhadap realitas yang dihadapinya. Oleh karena itu, sah dan wajar jika dalam berolah agama terjadi perbedaan.

            Dengan demikian bahwa keberagamaan tidak dapat dilepaskan dari keterhubungannya dengan spiritualitas. Terjadi kuasa transeden di mana penghayatan tersebut menumbuhkan relasi, mungkin personal, mungkin juga impersonal. Namun yang jelas, titik tolaknya adalah realiatas hidup yang dihadapi yang dialami serta gerak hati untuk memberikan tanggapan spiritual terhadap kuasa transeden itu. Pengungkapan spiritualitas dan kedalam sentuhannya tidak dapat dilepaskan dari jalinan budayawi seseorang secara kontekstual. Karena itu, pengembangan spiritualitas menggunakan wahana kebudayaan adalah wajar, bahkan harus.

            Dari konteks di atas, maka tidak dapat disangkal sekalipun spiritualitas terkait erat dengan penghayatan personal dan bersifat individual, maka implikasinya bersentuhan pula dengan komunitas sosial. Itulah yang menyebabkan dimungkinan terjadinya kelompok orang, yang secara bersama – sama terikat dalam kesamaan pengungkapan spiritulitas ke dalam wadah agamawi. Wadah itupun akan menemukan spesifikasinya lebih lanjut dalam jalinan kebudayaan yang melingkupinya. Dengan demikian, terjadinya bentuk – bentuk pengungkapan spiritualitas (sebagai inti kehidupan keagamaan) yang berbeda – beda merupakan hal yang wajar dan (semestinya) tidak perlu mengundang ketegangan.

 

Agama sebagai Suatu Simbol

            Simbol mempunyai makan yang lebih dalam dan lebih rumit daripada tanda. Dalam simbol objek, fakta atau peristiwa sebagai realitas lain, yang biasanya berada di luar jangkauan pengalaman indrawi manusia. Signifikansi simbol memuat berbagai pemahaman yang dalam, misterium dan mengatasi indrawi manusia yang terbatas. Sekalipun demikian, manusia selalu membutuhkan dan menggunakan simbol – simbol itu. Bahkan sebagai mahluk yang berakal budi, manusia dapat menciptakan simbol – simbol untuk mengaktualisasikan pikiran dan kehendaknya. Dengan pikirannya manusia menciptakan simbol – simbol tersebut merupakan penjelmaan dari kebebasan dan dinamika budi manusia.

1.      Supranatural

2.      Keyakinan: kepercayaan

3.      Budaya

 

 

Pendidikan Agama (di Indonesia)

Pendidikan Zaman Purba

            Kebudayaan penduduk asli pada zaman purba disebut kebudayaan Palaeolitis, artinya kebudayaan yang sudah tua (palaios = tua, lama), seperti yang kita jumpai pada orang orang Kubu, Wedda, dan Negrito. Sedangkan kebudayaan Indonesia asli pada kira – kira 1500 SM disebut kebudayaan Neolitis (Neo = baru), yang sisa-sisanya banyak kita jumpai di pedalaman Kalimantan dan Sulawesi. Adapun ciri-cirinya ialah bahwa kebudayaan maritim, artinya ada hubungan dengan laut.

            Kepercayaan: ada yang animism, artinya mempercayai adanya roh pada setiap benda, baik pada benda hidup maupun benda mati. Ada pula yang dinamisme, artinya mempercayai kekuatan gaib  pada setiap benda, baik pada benda hidup

 

Pendidikan Zaman Hindu - Budha

            Karena makin lancarnya perdagangan antara Negara–negara di dunia, maka di Indonesia terjadi diplomatik antara raja India dengan ketua-ketua adat.  Lama kelamaan ketua-ketua adat tersebut ingin menyamai raja India, maka akhirnya mereka ada yang dinobatkan menjadi raja.

            Seirama dengn struktur social di India, maka keadaan masyarakat Indonesia dibagi menjadi 2 bagian  adalah: Golongan kasta Brahmana dan Ksatria, yaitu para raja maupun pada benda mati. Masyarakat pada saat itu masih sangat bersifat gotong royong, akrab, statis.

            Mengenai tujuan pendidikan pada zaman itu ialah, anak – anak harus dipersiapkan agar mempunyai kecakapan istimewa dan kekuasaan istimewa pada masyarakat. Manusia yang dicita-citakan ialah; manusia yang bersemangat gotong royong, menghormati para Empu dan taat pada adat. Kepala adat dapat memegang peranan segala – galanya adalah (1) dengan pegawai – pegawainya. Golongan ini termasuk kasta yang dijamin oleh rakyat. (2) Golongan kasta Waisya dan Sudra, yaitu golongan rakyat biasa. Golongan ini termasuk golongan yang menjamin pada golongan pertama.

 

Zaman Hindu

1.      Agama Hindu atau agama Brahma dapat dikatakan politheisme, yaitu mempertuhankan kepada banyak dewa. Dewa-dewa itu antara lain; Surya (dewa matahari), Yama (dewa laut), Agni (dewa api), dst. Adapun dewa yang tertinggi ialah: Brahma ,Wisnu, Syiwa. Ketiganya disebut Trimurti.

2.      Menurut agama Hindu, setiap manusia hidup adalah selalu dalam keadaan samsara (sengsara), artinya selalu mengalami perpindahan jiwa yang tidak berkeputusan. Ia mengalami proses lahir kemudian mati, terus lahir lagi begitulah seterusnya. Dan akhirnya sampailah ia mencapai moksha (bersatu dengan dewa).

3.      Menurut faham Hindu, khususnya para pengikut dewa Syiwa, mengatakan bahwa hidup manusia mengalami proses bertingkat ,yaitu: debu – tanaman – hewan – sudra – waisya – ksatria – brahmana – moksha (bersatu dengan dewa)

4.      Mengenai hukum karma, agama Hindu beranggapan bahwa tiap – tiap kebaikan akan berakibat baik, dan sebaliknya tiap – tiap kejahatan akan berakibat pula kejahatan.

 

Zaman Budha

  1. Budha tidak menyetujui pembagian kasta sebagaimana dalam agama Hindu, dan pendirian bahwa semua orang itu sama tingkatannya.
  2. Ajaran  pokok dari agama Budha adalah: (a) Lahir,menjadi tua dan mati adalah menderita. (b) Apakah yang  menyebabkan menderita itu? Yaitu karena adanya keinginan-keinginan dan hawa nafsu. (c) Penderitaan akan lenyap, bila hawa nafsu tersebut dapat dihilangkan. (d) Adapun cara untuk melenyapkan penderitaan itu ialah harus menjalani 8 jalan kebenaran  yang diberikan oleh Budha,yakni: pandangan-niat-bicara-berbuat-berpenghidupan-berusaha-perhatian-memusatkan pikiran, semuanya harus baik dan benar.
  3. Tujuan hidup manusia ialah untuk mencapai keselamatan diri, yaitu lepas dari “samsara” (sengsara), lepas dari peredaran hidup mati, sehingga dapat mencapai nirwana.
  4. Pada awal tahun Masehi agama Budha pecah menjadi 2 aliran yaitu aliran Hinayana dan Mahayana. Di  Indonesia kebanyakan mengikuti aliran  Mahayana.
  5. Keadaan Pendidikannya: (a) Yang mula-mula menjadi guru ialah kaum  Brahmana. Kemudian lama-kelamaan para empu di Indonesia  menjadi guru sebagai pengganti kedudukan Brahmana. Pada saat itu terdapat 2 macam tingkatan guru,yaitu: guru kraton, di mana yang menjadi murid-muridnya ialah anak-anak raja dan bangsawan; dan guru pertapa yang lebih berjiwa kerakyatan. Cita-citanya ingin mengangkat derajat rakyat jelata. (b) Sistem pendidikannya adalah sistem guru kula, jadi disesuaikan dengan cara di India. Murid-murid tinggal serumah dengan guru. Guru dianggap sakti dan harus selalu dihormati. Penghasilan guru diperoleh dari pemberian sukarela dari orang tua murid-murid.

Zaman Sriwijaya

          Menurut sejarah,kurang lebih 500 tahun sebelum Masehi, pernah merantaulah suatu bangsa yang berasal dari India Belakang ke Kepulauan Nusantara. Setelah mengadakan hubungan dagang dan kebudayaan, maka abad 7-8 terbentuklah Negara-negara seperti: Sriwijaya, Tarumanegara, Mataram Lama, dan sebagainya yang pada hakikatnya terbentuk dari persatuan desa-desa yang telah ada pada beberapa daerah di kepulauan Nusantara itu.

          Tentang pendidikan-pendidikan pada saat itu dapat kita bicarakan sebagai berikut: (a) Dasar pendidikannya: agama Budha. (b) Tujuannya: Tiap-tiap orang yang beragama Budha supaya menjadi manusia yang sempurna dan dapat masuk nirwana. (c) Kurikulumnya: Bahan yang diajarkan adalah isi dari buku-buku Budha,yaitu Upanishad (sebagai buku suci), dan guru yang terkenal ialah: Darmapala. (d) Bentuk sistemnya: Para pelajar dan mahasiswa bersama-sama guru hidup dalam suatu tempat tertentu disebut asrama, yang merupakan tempat belajar dan mengajar. Hubungan guru dan murid adalah erat sekali, sehingga besar pengaruhnya dalam pendidikan. Irama-metodiknya cara mengajar, murid-murid menghafalkan dan diberi buku pelajaran untuk dihafalkan, sehingga dapat dikatakan benar-benar menguasai.

          Perlu diketahui bahwa bangsa yang pindah ke Indonesia dari India Belakang itu telah mempunyai nilai kebudayaan yang tinggi yaitu: (a) Mereka telah mengenal cara bercocok tanam. (b) Mereka telah pandai mendirikan rumah. (c) Mereka telah mengenal ilmu perbintangan dan sebagainya.

 

 

Pendidikan Zaman Permulaan Agama Islam

          Dengan terbukanya perdagangan internasional, maka datanglah agama Islam ke Indonesia oleh para pedagang. Agama tersebut kemudian berkembang melalui guru-guru pertapa yang telah di Islamkan oleh para wali. Di daerah pedalaman kebudayaan Islam tersebut kemudian bercampur dengan kebudayaan Hindu-Budha, akibatnya: (a) Pemujaan terhadap raja tetap bergelora. (b) Bentuk masyarakat tetap feodal. (c) Adanya 2 golongan dalam masyarakat (yang dijamin), meskipun agama Islam sudah berasas demokratis.

 

Agama Islam

          Islam berasal dari kata bahasa Arab  “salima” yang berarti sejahtera, tidak bercela.  Atau dari kata aslama yang berarti menyerah, artinya patuh menerima/menganut agama Islam. Orang yang melakukan aslama disebut muslim,yang berarti patuh karena Allah. Pada kepatuhannya itu akan bergantung keselamatan dan kebahagiaanya.

 

Langgar

Langgar adalah merupkan pengajaran permulaan.  Mula-mula diberikan pelajaran huruf Arab, dan kemudian dengan mengaji ayat-ayat Al-Qur’an. Sistem pengajarannya : per kepala, yaitu murid menirukan contoh guru. Tujuan pengajaran ialah agar murid-murid dapat membaca Al-Qur’an sampai tamat.

          Lama belajar tidak terbatas, tergantung dari kemauan murid.  Biasanya lamanya 1 tahun, bahkan kadang-kadang kurang.  Waktu belajar : pagi hari dan malam hari.

          Gurunya : seseorang yang berpengetahuan agama yang betul-betul mendalam, sekurang-kurangnya agak mendalam. Murid tidak boleh mengecam guru, sebab mengecam guru adalah berdosa.

          Uang sekolah tidak dipungut sama sekali. Apabila sudah menamatkan membaca AL-Qur’an, maka kemudian diadakan shadaqah khataman.

 

Pesantren

          Tempat ini memberikan pengajaran lebih lanjut dan mendalam. Murid-muridnya disebut santri, dan biasanya telah memiliki pengetahuan dasar yang mereka peroleh di langgar.

Tempat tinggal mereka dalam suatu pondok (semacam asrama,di dekatnya terdapat mesjid dan rumah guru. Guru hidup bersama-sama muridnya. Guru mendapat sebutan kyai atau ajengan. Lama belajar tidak ditentukan, ada yang 1 tahun, 2 tahun, dan ada pula yang sampai 10 tahun.

               Kegiatan Harian Pesantren sebagai berikut: (a)Sesudah shalat shubuh, diberi pelajaran. (b) Kemudian bekerja membersihkan halaman, berkebun, bekerja di sawah dan lain-lain. (c) Sesudah makan siang, istirahat pelajaran dan menghafal. (d) Sesudah shalat maghrib dan isya’ diberi pelajaran lagi.

               Bagi yang dipandang tinggi tingkatannya, diberi pelajaran dengan system klasikal. Mata pelajaran yang diberikan ialah: (a) Ilmu Tauhid, yaitu pokok-pokok ajaran Islam. (b) Usul Fiqih, yaitu alat untuk menggali hukum-hukum Islam. (c) Ilmu Arabiyah, yaitu ilmu untuk mendalami bahasa Arab.

               Di Sumatera Barat tidak ada perbedaan antara langgar dan pesantren , kesemuannya disebut surau. Sedang pusat pendidikan Islam pada umumnya ialah masjid, yang kemudian timbul madrasah-madrasah. Mulai abad ke-11 di madrasah-madrasah tersebut mulai diberikan pelajaran pengetahuan umum.

               Metodiknya: Cara yang biasa dipakai oleh guru ialah cara member pelajaran secara menghafal, misalnya menghafal Al-Qur’an. Mula-mula santri-santri itu menirukan berkali-kali dari Kyai, sehingga hafal.  Demikian pula cara memberi pelajaran masih individual yaitu satu per-satu.  Keistimewaannnya para santri ialah, bahwa mereka tidak ingin menjadi pegawai, melainkan ingin hidup bebas, beramal dan hakikatnya para santri dan Kyai mengadakan hubungn erat.

 

Pendidikan Muhamadiyah

          Persyarikatan Muhamadiyah adalah gerakan Islam yang didirikan pada tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta oleh KH. Ahmad Dahlan . Asas persyarikatan tersebut ialah: (a) Asas gerak amalnya: Islam. (b) Asas tujuannya : mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. (c) Asas perjuangannya: Dakwah Islamiyah, amar ma’ruf nahi mungkar (memerintah kebajikan dan mencegah kejahatan) dalam bidang kemasyarakatan. (d) Asas usahanya: mencakup semua bidang kegiatan dan kehidupan masyarakat.

 

Prinsip Kehidupan Muhamadiyah

Pendidikan Muhamadiyah berasakan Islam,  berpedoman Qur’an dan Hadits. Tujuannya: membentuk manusian muslim berakhlak mulia, cakap, percaya pada diri sendiri dan berguna bagi masyarakat. Sebagai orang muslim harus mempunyai ciri-ciri  sebagai berikut: (a) Berjiwa tauhid yang murni. (b) Beribadah kepada Allah. (c) Berbakti kepada orang tua dan baik kepada kerabatnya. (d) Memiliki akhlak yang mulia dan halus perasaannya. (e) Berilmu pengetahuan dan mempunyai kecakapan. (f) Cakap memimpin keluarga dan masyarakat.

Dasar-dasar Pendidikan Muhamadiyah

1.      Kemasyarakatan: Artinya memikirkan aspek masyarakat di samping aspek individu. Maksudnya agar anak-anak kelak tidak menjadi orang yang setengah-setengah/ canggung dalam masyarakat. Untuk ini maka harus dididik supaya dapat berdiri sendiri (selfstanding) dan tidak menjadi parasit.

2.      Tajdid (progressivitas) = pembaruan. Artinya kita usahakan nilai-nilai dan cara-cara baru, agar perguruan itu tetap up to date.

3.      Aktivitas  Anak-anak dididik menjadi orang yang aktif dengan latihan-latihan kerja, juga dalam kerja kelompok dan sebagainya. Kita ubah sistem guru sentries menjadi paedocentris (berpusat pada anak-anak).

4.      Kreativitas: Yaitu menimbulkan daya cipta dengan memberikan beberapa mata pelajaran, misalnya teknologi.

5.      Optimisme: Artinya bila syarat-syarat tersebut sudah terpenuhi, kita bersangka baik terhadap hasil pendidikan kita.

 

Tujuan Muhamadiyah

Memperluas dan mempertinggi pendidikan agama Islam modern, serta  memperteguh keyakinan tentang agama Islam, sehingga terwujudlah masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Usaha-usahanya:

  1. Mendirikan sekolah-sekolah yang tersebar di seluruh Indonesia, di bawah pimpinan bagian pengajaran. Sekolah-sekolah tersebut di samping memberikan pelajaran agama Islam, juga pelajaran-pelajaran sebagaimana di sekolah-sekolah umum/negeri.
  2. Memperluas pengajian-pengajian, di bawah pimpinan bagian tabligh, menyebarkan bacaan-bacaan agama, mendirikan masjid, madrasah, pesantren dan sebagainya.
  3. Mendirikan rumah-rumah yatim piatu, rumah sakit dan poliklinik-poliklinik untuk memelihara kesehatan rakyat, di bawah asuhan PKU (Pertolongan Kesehatan Umum.)
  4. Selain tersebut di atas ada pula bagian-bagian lain seperti bagian wanitanya yang dinamakan Aisyiyah, bagian pemudanya yang dinamakan Pemuda Muhamadiyah. Semboyan Muhamadiyah: Sedikit bicara, banyak bekerja.  Berlomba-lombalah dalam kebaikan.

 

Penyelenggaraan Sekolah-sekolah Muhamadiyah

  1. Pada zaman Belanda sudah mempunyai  bagian, misalnya sekolah Bustanul Atfal (TK), sekolah kelas II, HIS, Mulo, Kweekschool dan AMS.
  2. Sekolah-sekolah agama misalnya : Ibtidaiyah (SD), Tsanawijah (SLTP), Muallimin/Mu’allimat (SPG) dan sebagainya.
  3. Pada zaman Jepang sekolah-sekolahnya berjalan terus tetapi terjadi kegoncangan-kegoncangan di sana-sini.
  4. Pada zaman Kemerdekaan lebih berkembang lagi, sehingga mempunyai bagian-bagian sebagai berikut: Madrasah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Diniyah, Mu’allimin/ Mu’allima, TK, SD, SMEP, SMEA. SMA, SMOA, SKKP, SKKA, IKIP, dan masih ada lagi. Dan sampai sekarang sudah banyak Perguruan Tinggi dalam bentuk Universitas.
  5. Tidak sedikit jumlah sekolah-sekolah Muhamadiyah yang mendapat subsidi dari pemerintah,dan juga mendapat bantuan/sumbangan.

 

    Seiring dengan perkembangan Islam, maka pendidikan agama Islam begitu berkembang secara pesat.  Sekarang ini banyak kita temui sekolah-sekolah Islam yang maju dan bermuru tinggi seperti sekolah Al-hazar, Muhamadiah dan Pesantren-pesantren modern.

 

 

Pendidikan Agama dalam Alkitab

Perjanjian Lama

          Nenek moyang kaum Israel, Abraham, Ishak, dan Yakub menjadi guru bagi seluruh keluarganya. Sebagai bapak-bapak dari bangsanya, mereka bukan saja menjadi imam yang merupakan pengantara antara Tuhan dengan umat-Nya, tetapi juga menjadi guru yang mengajarkan tentang perbuatan-perbuatan Tuhan yang mulia itu dengan segala janji Tuhan yang membawa berkat kepada Israel turun-menurun. Tuhan telah memilih dan memanggil Abraham dari jauh untuk melayani kehendak-Nya yang agung,  guna keselamatan seluruh umat manusia. Bimbingan dan maksud Tuhan itu perlu dijelaskan kepada segala anak-cucunya.

Dalam Mazmur 78: 3-7 sekurang-kurangnya lima angkatan yang berkenaan dengan pembinaan rohani.

“Yang kami dengar dan yang kami ketahui, dan yang diceritakan kepada kami oleh nenek moyang kami, kami tidak hendak sembunyikan kepada anak-anak mereka, tetapi kami akan ceritakan kepada angkatan kemudian . . . supaya dikenal angkatan kemudian, supaya anak-anak, yang akan lahir kelak, bangun dan menceritakannya kepada anak-anak mereka, supaya mereka menaruh kepercayaan kepada Allah dan tidak melupakan perbuatan-perbuatan Allah, tetapi memegang perintah-perintahNya.”

Dari lima generasi yang dijelaskan dalam ayat ini adalah nenek moyang (Ay. 3,), Anak-anak mereka (ay. 4), Angkatan Kemudian (Ay. 4), Anak-anak yang akan lahir kelak (Ay. 6), Anak-anak mereka (Ay. 6b). Pendidikan Iman harus dipelihara dari generasi ke generasi berikutnya. Pembinaan rohani harus berlangsung secara kontinyu dari angkatan demi angkatan untuk memelihara kelestarian umat Allah sesuai dengan pola Alkitab.

            Ishak meneruskan pengajaran yang penting itu dan kemudian anaknya Yakub pula menanamkan segala perkara ini ke dalam batin anak-anaknkya. Yusuf menyimpan pelajaran-pelajaran itu di dalam hatinya kemana saja ia pergi, biar dalam pengasingan sekalipun, sehingga pengetahuan akan janji-janji Tuhan itu tetap terpelihara oleh bangsa Israel.

            Tuhan telah memasuki hidup mereka, karena Tuhan ingin memakai bangsa itu sebagai alat-Nya. Atas perintah Tuhanlah keinsafan itu dipupuk dan diperdalam, dengan jalan pengajaran kepada kepada tiap-tiap angkatan muda.

            Nabi Musa dipilih pula oleh Tuhan untuk membebaskan umat-Nya dari penindasan. Musalah yang diangkat menjadi panglima dan pemimpinnya, tetapi juga menjadi guru dan pemberi hokum-hukum bagi mereka. Justru fungsi terakhir itu yang merupakan tugasnya yang paling penting, mengingat pertumbuhan suku-suku Israel pada zaman itu menjadi satu bangsa yang utuh dan istimewa sifatnya. Musa mendidik mereka di padang belantara dan mengatur pendidikan itu dengan jitu dan tepat, agar pengajaran agama, yang memberi dasar seluruh kehidupan umat Tuhan itu, akan dilanjutkan pula oleh pengganti-penggantinya kemudian.\

            Demikianlah kita dapat meninjau masa demi masa, sambil menunjukkan segala perhatian kita kepada segala aspek pendidikan agama di antara bangsa      Israel tatkala sudah mendiami Tanah perjanjian itu. Dapatlah kita menunjuk kepada zaman Para Hakim, dimana muncul seorang pemimpin dan juga guru yang besar, ialah Samuel, dan kepada tokoh-tokoh para nabi, baik yang bekerja di masa raja-raja pertama, maupun yang tampil ke muka dengan khotbahnya yang berapi-api itu sewaktu raja-raja berikutnya. Tentu saja mereka sekalian mengajarkan Firman Tuhan dengan rajin dan setia supaya umat Israel kembali kepada sumber keselamatannya.

            Selain dari mereka itu, jangan hendaknya kita lupa akan pendidikan yang diselenggarakan oleh imam-imam dalam Bait Suci. Merekalah yang menerangkan dan memeliharakan undang-undang mengenai kebaktian. Mereka juga yang mengajarkan hukum-hukum tentang kebersihan dan kesehatan, makanan pantangan dan perhubungan kelamin, dan banyak hukum lagi, yang harus diketahui dan dituruti oleh umat suci itu.

            Tiap-tiap keturunan orang Israel menyampaikan pula segala pengajaran dan peraturan itu kepada keturunan yang berikut.Proses ini terus berlangsung terus beratus-ratus tahun lamanya. Kita heran membaca dalam Perjanjian Lama betapa banyak hal yang beraneka ragam selalu diajarkan kepada angkatan muda dari kaum Israel itu. Ada hukum-hukum mengenai pembangunan rumah-rumah dan mengenai sistem pengadilan; ada yang mengenai pakaian dan riba, perkawinan dan perceraian nikah, pertanian dan perternakan, dan sebagainya. Tegasnya, rencana pelajaran oaring-orang Israel itu sangat luas dan teratur baik.

            Di Israel segala sesuatu harus saling membantu dan bekerja sama untuk mendidik anak-anak dan orang dewasa agar menjadi anggota-anggota persekutuan agama itu, yang insaf akan panggilannya dan dengan segenap hatinya ingin mengabdi kepada Tuhan dalam segala gerak-gerik di hidup mereka. Untuk itu juga dipergunakan masa-masa raya yang memperingatkan kaum Israel akan peristiwa-peristiwa yang besar  yang dialami nenek moyang mereka zaman dulu, misalnya perayaan Paskah. Berhubungan dengan hari-hari raya itu, bapa-bapa meneceritakan kepada anak-anaknya tentang segala pimpinan dan berkat Tuhan pada masa lampau, supaya menjadi pelajaran dan penghiburan bagi mereka sekalian pada masa kini.

            Seluruh pendidikan Israel bersifat agama,  tak ada sebagian juga pun dari segala lapangan hidup manusia yang tidak dipengaruhi dan dikuasai agama.  Pendidikan itu mulai dalam masing-masing rumah tangga dan diteruskan dalam kebaktian–kebaktian umum dan di dalam pengajaran tentang  taurat Tuhan. Tuhan Allah sendirilah yang merupakan pusat dan tujuan segala pendidikan masyarakat bangsa Israel, maka sudah tentu segala hal-ihwal masyarakat umum pula dipelajari dan diatur dalam terang penyataan Tuhan.

            Bahkan nama-nama tempat di daerah Palestina itu pun sering mengajarkan orang Israel tentang pentingnya agama. Kita teringat umpamanya akan arti gunung-gunung Ebal dan Gerizim. Setelah masuk ke tanah Kanaan, maka atas perintah Tuhan  dari puncak gunung Ebal itu dibacakan kutuk-kutuk bagi segala orang yang tidak taat kepada pimpinan Tuhan dan Taurat-Nya yang suci itu, dari atas gunung Gerizim diserukan berkat-berkat yang dijanjikan kepada sekalian rakyat yang mau mengabdi kepada Tuhan. Dengan demikian setiap kali orang-orang Israel kemudian melalui lembah anatar dua gunung itu mereka diingatkan akan keharusan bagi manusia untuk memilih anatra melawan atau menuruti Tuhan, menolak atau mengaku kuasa Tuhan atas hidup kita. Lembah itu seakan-akan menjadi “Lembah Keputusan”, yang memaksa manusia untuk menentukan apakah ia mau hidup di bawah berkat atau kutuk Tuhan (bnd. Ul. 11: 29; 27:1-26. Yos. 8: 30-35).

            Selama masa pembuangannya ke Babel, kaum Yahudi itu makin lama makin sadar lagi akan amanat dan panggilannya. Para katib mereka banyak mencurahkan perhatian kepada kitab-kitab suci bangsanya. Dibangunlah rumah-rumah sembahyang dan sekolah-sekolah agama, tempat diajarkannya kepada jemaat Yahudi itu segala tradisi agama yang telah diserahkan nenek moyangnya berabad-abad lamanya. Dan sekembalinya kaum Yahudi itu ke tanah airnya, maka pembacaan taurat mulai memegang peranan yang sangat penting di pusat banyak sarjana  Yahudi yang menyelidiki dan menafsirkan kitab-kitab suci dengan teliti. Sekolah-sekolah dan mazhab-mazhab rabbi yang masyhur itu mulai muncul, berkembang dan berkuasa. 

Keyakinan teologis yang menjadi dasar pendidikan Yahudi adalah  ajaran tentang manusia. Secara singkat, menurut Perjanjian Lama, manusia diciptakan menurut gambar Allah untuk memelihara lingkungan hidup, menurut peerintah Penciptanya dan hidup dengan setia sebagai anggota umat terpilih/kawan sekerja perjanjian. Pada pokoknya semua panggilan tersebut bergantung pada sifat manusia. Manusia adalah makhluk khusus yang mampu dan wajib mengambil keputusan pada setiap saat dari hidupnya. Dia terpanggil untuk membedakan antara nilai-nilai yang muncul dalam kebudayaan dan berporos kepada kehendak Tuhan. Apabila ia mengacaukan keduanya, dalam arti tidak melihat nilai ketegangan antara nilai kebudayaan dan maksud Tuhan, maka keadaannya mirip yang dikatakan Nabi Yeremia atas nama Tuhan : Israel telah “. . . . meningggalkan Aku, sumber air yang hidup, untuk menggali kolam bagi mereeka sendiri, yakni kolam yang bocor, yang tidak dapat menahan air” (Yer. 2: 13b).  

Tujuan umum pendidikan agama Yahudi yang berlaku bagi paguyuban Yahudi sebelum musibah Pembuangan ke Babel ialah Melibatkan angkatan muda dan dewasa dalam sejumlah penglaman belajar yang menolong mereka mengingat perbuatan-perbuatan ajaib yang dilaksanakan Allah pada masa lampau, serta membimbing mereka mengharapkan terjadinya perbuatan sama dengan penyataan di tengah-tengah kehidupan mereka guna memenuhi syarat-syarat perjanjian, baik berkaitan dengan kebaktian keluarga dan seluruh persekutuan maupun yang mencakup perilaku yang sesuai dengan Kehendak Tuhan, sebagaimana ia diejawantahkan dalam urusan soaial dan pemeliharaan ciptaan yang dinamakan baik oleh Tuhan.

            Sebenarnya, pada zaman Tuhan Yesus pengajaran agama kaum Yahudi sudah sangat berkurang mutu rohaninya. Penyelidikan dan pengajaran tentang taurat telah bersifat formal dan kaku. Huruf hokum-hukum itu terlampau diutamakan. Pengajaran agama mulai menitikberatkan derajat tinggi kaum Yahudi secara bangsa dan jenis manusia. Jiwa taurat telah menang atas sifat rohani dari agama Israel semula. Katib-katib bersifat congkak. Tetapi kendatipun demikian, pendidikan agama kaum Yahudi itu tetap merupakan dasar dan latar belakang bagi pendidikan agama Kristen di kemudian hari. Dengan itu kita tiba pada masa Perjanjian Baru.

 

Perjanjian Baru

Demikian pula halnya dengan Perjanjian Baru. Segala kitabnya ditulis dengan tujuan tertentu, ialah untuk mengajar umat Kristen tentang pernyataan Allah dalam Yesus Kristus dan pengaruhnya bagi umat manusia. Kitab-kitab Injil hendak memelihara tradisi lisan mengenai pekerjaan dan pemberitaan Tuhan Yesus, agar rohani jemaat Kristen dibangunkan, imannnya diperkokoh dan pengetahuannya akan Juruselamat itu diperdalam. Dan surat-surat Rasul Paulus misalnya, semuanya menyinggung pelbagai masalah yang perlu diterangkan kepada jemaat. Dengan tiada lelah Paulus senantiasa berdaya-upaya untuk mendidik jemaat Kristen dalam segala soal iman dan kesusilaan Kristen , dan kita bersyukur kepada Tuhan bahwa surat-suratnya, yang penuh dengan pengajaran dan nasihat tidak ternilai harganya, semuanya diserahkan kepada kita. Marilah sekarang kita menyelidiki dengan lebih saksama lagi tentang kedudukan dan fungsi pendidikan agama itu di dalam Alkitab sebagai berikut:

 

Yesus

Apabila kita hendak menyelidiki soal pendidikan agama dalam hubungan Perjanjian Baru, tentu saja pertama – tama dan khususnya kita harus mengarahkan pandangan kita kepada Tuhan Yesus sendiri. Disamping jabatan-Nya sebagai Penebus dan Pembebas, Tuhan Yesus juga menjadi Guru Yang Agung. Keahlian-Nya sebagai seorang guru umumnya diperhatikan dan dipuji oleh rakyat Yahudi; mereka dengan sendirinya menyebut Dia “Rabbi”. Ini tentu suatu gelar kehormatan, yang menyatakan betapa ia sangat disegani dan dikagumi oleh orang sebangsa-Nya selaku seorang pengajar yang mahir dalam segala soal ilmu ketuhanan. Sebab Ia mengajar mereka “sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli – ahli Taurat yang biasa mengajar mereka” (Mat. 7:29).

            Tuhan Yesus mengajar di mana saja: di atas bukit, dari dalam perahu, disisi orang sakit, ditepi sumur, di rumah yang sederhana, dan dirumah orang kaya, di depan pembesar-pembesar agama dan pemerintah, bahkan di kayu palang salib sekalipun. Tuhan Yesus tidak memerlukan sekolah atau gedung yang tertentu. Tiap – tiap keadaan dan pertemuan dipergunakan-Nya untuk memberitakan Firman Allah.

            Tuhan Yesus dalam pengajaran-Nya tidak terikat pula pada waktu tertentu. Siang – malam, pada setiap saat Ia bersedia menerangkan Jalan Keselamatan dan Kerajaan Sorga yang telah dating itu kepada siapa saja yang ingin belajar kepada-Nya.

            Yang menjadi tujuan pengajaran Tuhan Yesus itu bukanlah untuk membahas pelbagai pokok agama dan susila secara ilmiah atau secara teori saja, melainkan untuk melayani tiap-tiap manusia yang datang kepada-Nya. Setiap orang itu dikenal-Nya, dan dipahami-Nya masalah-masalah yang dipergumulkan orang itu.

            Cara mengajar-Nya sangat istimewa pula. Biasanya Tuhan Yesus tidak membentangkan sesuatu ajaran dengan menyuruh orang mempercayai itu, tetapi Ia menolong mereka berpikir sendiri dan menarik kesimpulan-Nya sendiri dari apa yang telah dijelaskan-Nya pada mereka. Tak selalu Ia mencapai hasil-Nya, karena sering pendengar – pendengarNya mengeraskan hatinya, tetapi tentu Ia senantiasa menyatakan Diri sebagai guru yang tak ada taranya karena Ia sendiri adalah Kebenaran.

            Banyak metode yang dipakai-Nya, dan segala metode itu masih penting dan perlu dipelajari oleh segala guru agama masa kini. Adakalanya Tuhan Yesus bercerita. Sering Ia memakai perumpamaan-perumpamaan. Acap pula Ia mengemukakan pertanyaan-pertanyaan, yang kemudian menjadi bahan pengajaran-Nya. Kadang – kadang suatu percakapan kita berkembang menjadi suatu pengajaran yang indah. Tetapi bukan saja dengan perkataan-Nya Tuhan Yesus mengajar. Juga dengan jalan memperlihatkan apa yang dimaksudkan-Nya seperti tatkala Ia memeluk anak-anak dan memberkati mereka, itu menjadi teguran pada murid-murid-Nya, atau ketika ia membasuh kaki mereka untuk mengajar mereka supaya rendah hati.

            Bahkan seluruh kehidupan Tuhan Yesus sendiri merupakan pengajaran sampai saat yang terakhir, karena justru dalam sengsara dan kematian-Nya Ia menyungguhkan segala pengajaran-Nya dengan pengorbanan Diri-Nya sendiri.

 

 Paulus

Rasul Paulus juga seorang guru yang ulung. Ia merupakan tokoh penting di lapangan pendidikan agama. Paulus sendiri dididik untuk menjadi seorang rabbi bagi bangsanya. Ia mahir dalam pengetahuan akan Taurat dan Ia dilatih untuk mengajar orang lain tentang agama kaum Yahudi.

            Setelah Tuhan Yesus memasuki hidupnya, Paulus menjadi seorang hamba Tuhan yang terdorong oleh hasrat yang berapi – api untuk memansyurkan nama Tuhan Yesus itu. Kemanapun  Paulus pergi, segala kesempatannya digunakan untuk mengajar orang Yahudi dan kaum kafir tentang kehidupan bahagia yang terdapat dalam Injil Yesus Kristus. Paulus berkhotbah di hadapan imam-imam dan rabbi-rabbi Yahudi di hadapan rakyat jelata di segala kota dan desa-desa yang dikunjunginya. Ia mengajar raja-raja dan wali-wali negri, orang cendikiawan dan kaum budak, orang laki-laki, kaum wanita, orang Asia,orang Yunani, orang Romawi, pendek kata segala golongan manusia yang ditemuinya pada perjalanan-perjalanannya yang banyak dan panjang itu.

            Paulus berkeyakinan kuat dan beriman teguh. Selalu ia siap sedia untuk bertukar pikiran, mengajar menegur dan mengajak. Pasti ia orang yang ahli pidato dan besar bakatnya. Meskipun tidak tampan raut muka dan tokoh badannya, tetapi khotbahnya penuh semangat dan terang isinya, sehingga mengagumkan para pendengar. Dan banyak orang merasa sangat tersinggung, tetapibanyak pula yang segera ditawan oleh kuasa bahasanya.

            Paulus mengajar di rumah-rumah tempat ia menumpang, di gedung-gedung yang disewanya, di lorong-lorong kota atau di padang-padang, di atas kapal, dan dalam bengkelnya, di pasar  dan dalam kumpulan kaum filsuf. Tak ada tempat yang dianggapnya kurang layak untuk menyampaikan beritanyatentang Juruselamat dunia.

            Rasul Paulus juga banyak mengajar melalui surat-surat. Segala soal dan kesulitan yang muncul dalam jemaat-jemaat yang didirikan itu, ataupun yang timbul di  antara kaum Kristen yang belum dikunjunginya, semua itu dipakainya untuk menguraikan pokok-pokok kepercayaan atau kesusilaan Kristen yang bersangkutan dengan hal-hal itu. Kebiasaannya itu sungguh menguntungkan seluruh umat Kristen di kemudian hari. Bukankah surat-surat Paulus itu sampai sekarang merupakan pengajaran yang tak ternilai harganya bagi sekalian orang Kristen di segala tempat?

 

Jemaat yang Mula-mula

Sejak mulai berdirinya maka jemaat Kristen menjunjung pengajaran agama. Seperti diketahui, orang-orang Kristen muda itu mula-mula masih berpaut kepada adat agama Yahudi, tetapi lambat laun mereka mengembangkan perkumpulan-perkumpulannya sendiri. Di dalam perkumpulan itu mereka berdoa, berbicara tentang pengajaran dan perbuatan-perbuatan Tuhan Yesus Kristus, makan sehidangan dan merayakan Perjamuan Suci. Mereka yakin sejak turunnya Roh Kudus jemaat mereka merupakan Israel baru. Yesus Kristus telah menciptakan Israel baru itu dengan Roh-Nya sendiri. Sekarang mereka berdiri dalam dunia ini dengan keadaan baru dan dengan tugas yang baru pula.

Akibatnya ialah mereka mulai berkhotbah dan mengajar, supaya banyak orang lain pula akan percaya pada Yesus sebagai Penebus dan Tuhan. Setiap orang yang mau bertobat danmau bergabung dengan jemaat Kristen itu,dididik dengan saksama. Di dalam dan di luar kebaktian,  mereka belajar tentang Diri Kristen di dalam dunia ini. Jemaat-jemaat muda itu mempelajari nubuat-nubuat para nabi dulu kala mengenai Yesus Kristus dan pemimpin gereja . Mereka menganggap dirinya suatu persekutuan suci,seperti Israel dulu,tetapi dengan mengaku Yesus Kristus selaku Raja, Nabi, dan Imamnya yang satu-satunya.

Kerajinan dan kesetiaan Israel dalam menjalankan pendidikan agama dituruti pula, hanya perbedaannya ialah sekarang bukan lagi Taurat yang menjadi dasar dan pusat pendidikan itu, melainkan Yesus Kristus. Dengan demikian, jemaat purba itu mengajarkan agama Kristen di dalam rumah-rumahnya kepada tetangganya, di dalam kebaktian dan kumpulannya, bahkan kepada siapa saja yang suka mendengarkan berita kesukaan yang mereka siarkan.

Dari uraian pendek ini kita dapat segera menarik kesimpulan bahwa agama Kristen itu merupakan suatu agama yang sangat mementingkan pendidikan Agama. Agama kita yakin bahwa sekalian penganutnya sekali-kali tak boleh melupakan perbuatan-perbuatan yang mahabesar, yang telah dilakukan Tuhan Allah bagi mereka di dalam Yesus Kristus. Anggota-anggota gereja, baik orang dewasa maupun anak-anak kecil, semuanya wajib mempelajari perkerjaan Tuhan yang telah mendatangkan keselamatan itu. Peristiwa-peristiwa yang agung itu harus diajarkan, diterangkan dan dipercaya, sehingga segala orang yang mengaku Yesus Kristus kehilangan tabiatnya yang lama dan  menjadi ciptaan baru dalam Dia. Jikalau demikian, Gereja Kristen di dunia ini menjadi suatu terang yang dapat menujuk jalan keselamatan banyak orang lain pula.

Sedari zaman Perjanjiab Baru jemaat Kristen sangat mementingkan pendidikan agama. Tugas mengajar itu  tentu diserahkan khususnya kepada kaum guru yang telah mempunyai karunia dan latihan istimewa untuk pekerjaan yang mulia itu,  tetapi seluruh jemaat tetap mendukung dan mendoakan mereka itu. Mulai dari abad pertama tarikh Masehi, Pendidikan agama Kristen menyiapkan orang untuk masuk ke dalam persekutuan jemaat Kristus, dan setelah disambut dalam jemaat itu mereka dididik terus supaya semakin lama semakin berakar dalam pengetahuan dan pengenalan yang mendalam tentang Yesus Kristus, Kepala Gereja itu.

             

Koherensi Agama dengan Pendidikan

Bilamanakah mulainya pendidikan agama itu?  Mungkin ada yang menyangka bahwa pendidikan agama itu baru mulai diselenggarakan pada masa modern, pendapat itu ternyata salah. Pendidikan agama mulai ketika agama sendiri mulai muncul dalam hidup manusia. Tiap-tiap agama di dunia ini memiliki system pendidikannya sendiri – sendiri. Entah bagaimana pun isi, cara dan bentuknya pendidikan itu, namun pasti ada. Setiap agama merasa perlu mengajar anak-anak muda tentang kepercayaan, adat istiadat, dan kebaktian agama itu. Sebelum mereka dapat ditahbiskan menjadi anggota penuh dari persekutuan agama itu, wajiblah mereka diajar dan dilatih dalam segala teori dan praktik agamanya itu.Demikian pula tuntutan agama terhadap orang-orang yang hendak masuk dari luar. Siapa yang ingin memeluk agama baru, tentu saja diwajibkan mempelajari pokok-pokok kepercayaan dan adat kebiasaan dalam agama itu lebih dulu.

Berkenaan dengan itu tiap-tiap agama mempunyai guru-guru dan lembaga-lembaganya    yang ditugaskan menjalankan pendidikan agama itu. Tegasnya, selama ada agama, ada pula pendidikan agama. Setiap pendiri agama seperti Konfusius, Sidharta Gautama, Muhammad sekaligus juga menjadi pendidik pada umat yang mengikutinya, bahkan tokoh-tokoh genersi kedua dan ketiga dan seterusnya selalu menampilkan sosok Pendidik bagi umat. Begitu muncul agama disana pulalah pendidikan agama dimulai. Karena Agama pasti menyentuh semua sendi-sendi kepribadian manusia. Pendidkan mengatur dan mengarahkan tingkah laku manusia.

Demikian pula dalam agama Kristen, kapan pendidikan agama Kristen mulai? Pendidikan agama Kristen berpangkal kepada persekutuan umat Tuhan di dalam Perjanjian Lama. Jadi pada hakikatnya dasar-dasarnya sudah terdapat dalam Sejarah Suci purbakala. PAK itu mulai dengan terpanggilnya Abraham menjadi nenek-moyang umat pilihan Tuhan, bahkan PAK berpokok kepada Allah sendiri, karena Allah yang menjadi Pendidik Agung bagi umat-Nya.

Pendidikan agama Kristen khususnya sejak awalnya sama dengan pikiran dan praktiknya selama masa Abad Pertengahan berakar baik dalam kebudayaan-Yunani-Romawi maupun Yahudi. Dari yang pertama itu, yaitu melalui pendekatan Socrates, misalnya, para pendidik Kristen belajar bagaimana menjernihkan pemikiran melalui seri pertanyaan yang semakin mendalam. Kemudian, pikiran salah satu muridnya yang bernama Plato dimanfaatkan para pemimpin Kristen untuk menyoroti inti sari pendidikan sebagai proses mengantar orang untuk meninggalkan perasaan aman mereka yang berporos dunia bayang-bayang agar bertindak sesuai dengan dunia yang nyata. Jadi sebagian pendidikan berarti memeriksa kembali pandangan yang lazimnya diterima dan menolaknya kalau memang data baru itu menuntut berbuat demikian.  Oleh sebab itu, untuk menemukan akar-akar dari Pendidikan Agama Kristen, haruslah kita menggali dalam Alkitab, tempat Tuhan menyatakan rahasia keselamatan-Nya kepada bangsa Israel. Alkitab itu merupakan satu-satunya sumber pengetahuan itu mengenai rancangan keselamatan itu,dan Alkitablah yang melukiskan dengan terang bagaimanakah wujud dan maksud pendidikan agama itu. Banyak sekali keterangannya yang menarik hati mengenai isi dan cara melaksanakan pendidikan agama itu. Pada hakikatnya kebanyakan kitab-kitab yang termuat dalam Kitab Suci itu, dikarang dengan maksud untuk mengajar dan mendidik para pembaca yang beriman itu.

Di dalam Kitab-Kitab Perjanjian Lama tersimpanlah kesaksian mengenai perkara-perkara yang Maha Agung, yang telah dialami umat Tuhan di bawah pimpinan-Nya sepanjang sejarah.

Murid Plato paling termasyur yang bernama Aristoteles mengajar Gereja bagaimana menggolongkan pengetahuan yang ditemukan agar lebih gampang memperolehnya kembali bilamana diperlukan lagi. Ia pun menunjukkan mengajarkan akal manusia untuk mempertimbangkan bobot sejumlah tujuan usaha insane termasuk pendidikannya dengan salah satu akibatnya yang dianggap paling kuat. Demikian pula “jalan kebenaran yang dikemukakannya sebagai asa pokok, hendaknya dipakai untuk mengambil keputusan etis. Semua macam pendidikan tersebut diarahkan kepada perkembangan seorang pribadi yang mampu melihat hubungan-hububan sejati serta bertindak sesuai dengan pengetahuan tersebut.

Pikiran Quintilianes, seorang warga kebudayaan yang menjunjung tinggi kemampuan bertindak semaksimal mungkin, menjadi sumber yang dimanfaatkan untuk menyoroti cara mendidik secara praktis dan manusiawi.

Selama abad – abad permulaan abad bangsa Israel sampai pembuangannya  ke Babel dapat dicatat empat pokok pendidikan utama  adalah: (1) Dasar teologi pendidikan agama Yahudi yang mencakup tiga ajaran yaitu, bangsa yang terpilih, pernyataan dan ajaran tentang manusia. (2) Dari ketiga dasar tersebut ditarik isi tujuan pendidikan agama Yahudi. (3) Pengajar–pengajar. Pada dasarnya, Allah diterima sebagai pengajar utama yang mempercayakan pelayanan mengajar pada empat golongan pemimpin pada umumnya dan kepada kedua orang tua khususnya. Keempat golongan mencakup jabatan berikut: imam, nabi, penyair, dan orang bijak. Tugasnya sebagai pengajar umum masih diteruskan pada zaman pembuangan ke Babel dan kembalinya ke Palestina. Keprihatinan khas mereka masing – masing cenderung menghasilkan pendekatan mendidik yang berimbangan kepada tiap-tiap keturunan yang baru, dan sebab itu hikayatnya dipaparkan dalam Kitab pula Perjanjian Lama. (4) Kurikulumnya. Dalam ruang lingkup terdapat tema berikut: “pemilihan Abraham dengan keturunannya, penciptaan langit dan bumi, perlepasan dari perbudakan di Mesir, pemberian perjanjian/hukum Taurat, pendudukan tanah yang dijanjikan, permulaan kerajaan dan kesaksian kaum nabi tentang kecenderungan umat Israel yang menyeleweng dari persyaratan yang termuat dalam perjanjian”.

Dalam pokok tersebut tersirat pula bimbingan menuju perilaku yang sesuai dengan panggilan umat Israel. Mulai dengan dampaknya yang hebat atas diri kaum Israel sebagai akibat pembuangannya ke Babel sampai permulaan zaman Masehi, pendidikan agama Yahudi berkaitan secara khusus dengan empat pokok adalah: (1) Dasar teologi  yang mencakup peninjauan ulang statusnya sebagai bangsa yang terpilih dan pernyataan.  (2) Karena mereka jauh dari Bait Allah yang ada di Yerusalem, yaitu pusat kebaktiannya, dan arena ketidak mampuan orangtua memenuhi mandatNya untuk mengajar, umat Allah di Babel mengembangkan rumah ibadah dan sekolah. Yang pertama merupakan prakarsa yang sama sekali baru dalam sejarah agama, dalam arti pada pertama kalinya pendidikan berkaitan dengan ritus ibadah. Tentang sekolah tersebut terdapat dua taraf pokok, yaitu sekolah dasar (Beth - Hasepher) dan sekolah menengah pertama (Beth Talmud). Di dalamnya nampaklah penghargaan yang sungguh – sungguh terdapat kesepakatan belajar dan rasa hormat terhadap jabatan seeorang guru.  (3) Pendekatan mendidik yang manusiawi dan yang bersandar banyak pada metode menghafal. (4) Para pelajar. Yang dididik di sekolah ialah anak laki – laki saja, tetapi barangkali di sana – sini anak permpuan dididik tentang keterampilan dan isi yang serupa dengan kesempatan yang disediakan bagi anak laki – laki.

Dalam bangsa Yahudi begitu melekatnya pendidikan karena dalam penyampaian pesan-pesan Allah tidak mudah dilakukan banga Israel, mereka melanggar ketetapan Tuhan sehingga Allah melakukan hukuman bagi mereka dan konsekwensi itu suatu bentuk pendidikan.

 

 


 

 

V.Teori Kebenaran:

Korespondensi, Koherensi  (KOnsisten) dan Pragmatis

 

Ada beberapa teori yang dapat dijadikan acuan untuk menentukan apakah pengetahuan itu benar atau salah, yaitu: teori korespondenasi, teori koherensi, dan teori pragmatisme.

 

Teori  Korespondensi (Correspondence Theory)

Kebenaran merupakan  persesuaian antara fakta dan situasi nyata. Kebenaran merupakan pesesuaian antara pernyataan dalam pikiran dengan situasi lingkungannya. Sesuatu dikatakan benar jika sesuatu yang seseorang ketahui itu setia terhadap  realitas obyektif, tidak bertentangan, dan tidak bertolak belakang. Contoh: kalau Alkitab memberi pengertian bahwa manusia berada dalam dilema, dan bahwa upah dosa adalah maut, hal itu dapat dilihat sesuai dengan pengalaman hidupnya. Manusia mengalami konflik dalam dirinya, yakni perjuangan antara ingin berbuat baik dengan bertindak sebaliknya. Seseorang  dapat melihat bahwa upah dosa dan perbuatan dosa senantiasa membawa kerugian bagi kehidupan manusia.

 

Teori Koherensi (Coherence Theory)

Kebenaran bukan persesuaian antara pikiran dengan kenyataan, melainkan kesesuaian secara harmonis antara pendapat atau pikiran seseorang  dengan pengetahuannya yang telah dimiliki. Pengertian persesuaian dalam teori ini berarti terdapat konsistensi (teori ini disebut juga teori “konsistensi”) yang merupakan ciri logis hubungan antara pikiran-pikiran (ide-ide) yang telah seseorang miliki satu dengan yang lain. Kalau seseorang menerima pengetahuan baru, karena pengetahuan tersebut sesuai dengan pengetahuan yang ia miliki, atau apabila seseorang melepaskan pendapat lama, karena pendapat baru tersebut lebih bertautan secara harmonis, karena pendapat baru tersebut lebih bertautan secara harmonis dengan keseluruhan pengalaman dan pengetahuannya.[162]

 

Teori Pragmatisme (Pragmatism Theory)

Kebenaran tidak bisa bersesuaian dengan kenyataan, sebab seseorang hanya bisa mengetahui dari pengalamannya saja. Pragmatisme berpendirian bahwa mereka tidak mengetahui apapun (agnostik) tentang wujud, esensi, intelektualitas, dan rasionalitas. Oleh karena itu, pragmatisme menentang otoritarianisme, intelektualisme, dan rasionalisme. Penganut pragmatisme merupakan penganut empirisme yang fanatik untuk memberikan interpretasi terhadap pengalaman. Menurut pragmatisme, tidak ada kebenaran yang mutlak dan abadi. Kerbenaran ini dibuat dalam proses penyesuaian manusia.[163]  Schiller, pengikut pragmatisme di Inggris, mengemukakan bahwa kebenaran merupakan suatu bentuk nilai, artinya apabila seseorang menyatakan benar terhadap sesuatu, berarti ia memberikan penilaian terhadapnya. Istilah benar adalah suatu pernyataan yang berguna, sedangkan istilah salah merupakan pernyataan yang tidak berguna.[164]

Teori Pragmatis tentang kebenaran mengatakan bahwa sesuatu itu dianggap benar jika berdasarkan nilai manfaat dari pengetahuan atau kebenaran itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Contoh: orang perlu percaya kepada Yesus karena ada dampak dalam kehidupan. Yesus membuat mampu orang yang percaya menghadapi masalah secara berkemenangan.


 

 

VI. Konflik antara Etika dan Estetika

 

Percakapan tentang etika dan astetika menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari dunia pendidikan, khususnya Pendidikan Agama Kristen. Pentingnya percakapan ini disebabkan karena persoalan “etika” dan “estetika” menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari warga pembelajar, baik bagi pendidikan (guru dan dosen)  maupun peserta didik. Di sini bahwa  Etika dan Estetika (Astetika) yang dipercakapkan  menjadi bagian dari pokok permasalahan yang dikaji dalam  Filsafat.[165] Artinya pokok persoalan yang dikaji filsafat mencakup tiga segi, yakni: logika, etika dan estetika.

Filsafat etika membahas tentang apa yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk. Sedangkan Filsafat estetika membicarakan apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek.[166] Dengan kata lain etika diartikan “studi tentang prinsip-prinsip dan konsep-konsep yang mendasari penilaian terhadap perilaku manusia”.[167] Sedangkan estetika adalah “studi tentang prinsip-prinsip yang mendasari penilaian kita atas berbagai bentuk seni. Apakah tujuan seni? Apa peranan rasa dalam pertimbangan estetis? Bagaimana kita mengenali sebuah karya besar seni?”[168] 

 

Kegunaan Etika dan Estetika

Apa kegunaan pengetahuan tentang etika bagi seorang guru? Apakah pengetahuan tentang etika dapat membantu guru memecahkan banyak dilemma yang muncul di kelas? Seringkali, para guru harus mengambil tindakan dalam situasi-situasi di mana mereka tidak mampu mengumpulkan semua fakta relevan dan dimana tidak ada arah tindakan yang tunggal yang secara total benar atau salah.[169]  Kegunaan  etika dan estetika sebagai berikut:

 

1.      Sejauh mana etika dapat menyumbangkan kepada guru cara-cara berpikir mengenai permasalahan-permasalahan yang sulit untuk menentukan arah tindakan yang benar. Cabang dari filsafat ini juga membantu guru memahami bahwa pemikiran etis dan pembuatan keputusan bukanlah semata-mata mengikuti aturan-aturan.[170]

2.      Estetika itu berhubungan dengan dengan nilai-nilai yang berkaitan dengan keindahan dan seni. Estetika membantu guru meningkatkan keefektifannya pengajaran, karena dapat dipandang sebagai suatu bentuk ekspresi artistic, dapat dinilai menurut standar-standar artistic dari keindahan dan kualitas. Dalam konteks ini guru adalah seorang seniman dan secara terus menerus berusaha meningkatkan kualitas kerjanya.[171]

 

Bila kajian etika menyangkut baik dan buruk serta estetika menyangkut indah dan jelek maka pada sisi apa kedua bidang ilmu ini dapat hidup berdampingan secara rukun, dan pada konteks apa kedua bidang ini menyebabkan terjadinya konflik. Dalam bagian terakhir inilah pembahasan ini dilakukan. Dengan kata lain tugas yang diberi kepada saya adalah membahas “konflik antara etika dan estetika”.

 

Konflik antara Etika dan Estetika

 

Pokok Percakapan Etika dalam Pendidikan

Secara umum diakui bahwa pendidikan secara luas dihormati sebagai “pembentukan moral”. Para guru yang baik selalu menarik perhatian dalam:  apa yang  dikatakan atau diajarkan? Apa yang dilaksanakan dan bagaimana para siswa hendaknya bertindak?  Mereka mempunyai kaitan dengan memberikan atau menyampaikan nilai-nilai moral dan meningkatkan induvidual dan perilaku sosial. Dengan demikian, maka siapapun yang menjadi guru yang mengambil lapangan kerjanya  dengan serius harus mencari untuk menjawab menata nilai-nilai moralnya . Di sini studi etika akan menolong seorang guru dalam melaksanakan tugas mengajar yang menuntut keputusan-keputusan etis.

Mengamati apa yang dikatakan di atas maka pergumulan guru tentang etika sebenarnya merupakan sebuah studi berharga baginya dalam kerjanya di dunia ini. Dalam konteks ini seorang guru berhadapan dengan pertanyaan seperti : Bagaimana  hidup dalam berprilaku yang baik untuk semua orang? Bagaimana seharusnya atau sebaiknya manusia atau warga pembelajar untuk bertindak? Hal ini mempunyai kaitan dengan " hak atau  kebenaran" serta nilai-nilai sebagai basis untuk tindakan benar. Pada suatu waktu sistem etis telah dihubungkan ke agama. Hari ini, bagaimanapun, sistem yang etis Dunia Barat, walaupun sebagian besar memperoleh dari pengajaran religius, pada umumnya dibenarkan pada lain-lain alasan.

 

Intuitionism dan Naturalism

Dua jenis teori etis yang penting  adalah: teori Intuitionism dan teori naturalism. Intutionism menyatakan nilai-nilai moral itu ditawan oleh individu yang secara langsung. Kita menyerap kesalahan atau kebenaran itu sesuatu  yang terjadi  dan dirasakan. Nilai-Nilai Moral yang menawan dengan cara ini benar di (dalam) diri mereka Kebenaran mereka tidak bisa dibuktikan secara logika atau menguji dengan pengalaman itu hanya dapat dimengerti secara intuisi (perasaan atau pengalaman). Sedangkan naturalism menekan pada proses yanga alamiah.

Contohnya:  jika seseorang percaya bahwa hubungan seksual sebelum nikah secara moral salah, tidak perlu melakukannya oleh karena pertimbangan etis telah dibuat atas pokok ini, tetapi akan diteliti maka studi seperti itu harus melihat konsekwensi dari pengamatan pribadi atau efek studi ilmiah terhadap hubungan seperti itu. Seseorang  yang menerima penafsiran etika naturalistic memilih atau membenarkan nilai-nilai moral menurut penyelidikan ilmiah terhadap apa yang  diungkapkan disekitar kebenaran dan bersalah kepada perilaku dan apa pengalaman hidup yang diuji adalah jalan atau cara yang terbaik untuk manusia yang melakukan sesuatu untuk dirinya. Dengan kata lain,  penyelidik alam memelihara nilai-nilai moral yang ditemukan pada suatu pengujian yang obyektif sebagai konsekwensi praktis tentang  tindakan manusia.

Apakah nilai-nilai moral yang diajar sama dengan atau berdasarkan fakta pengetahuan yang diajarkan?  Socrates menjawab: kebaikan moral  tersembunyi pada setiap individu. Guru bisa membawa nilai-nilai moral itu ke dalam kesadaran siswa yang diajarnya. Kebaikan, si siswa boleh dikatakan, dapat diajar, jika dengan pengajaran kebaikan dari guru. Ini berarti guru membantu para siswa menjadi sadar akan kebenaran atau nilai-nilai moral. Siswa akan bertindak sesuai dengan apa yang telah dipelajarinya.  Kita semua mengenali bahwa seorang siswa yang dengan susah mempelajari apa yang dikatakan kepadanya sudah benar-benar mempelajari sesuatu kecuali jika ia bisa mematuhi itu. Di sini kemudian terjadi konflik:  jika dengan pengajaran dan pelajaran guru yang gampang berarti memberikan atau menyampaikan dan memperoleh pengetahuan dari tentang perbuatan baik atau akhlak, kemudian nilai adalah sesuatu yang dapat diajarkan.

Selanjutnya, bahwa para guru dapat juga menguji para siswa untuk menemukan berapa banyak mereka memahami tentang nilai-nilai moral dan dapat membantu mereka didalam memilih antara bermacam tindakan alternatif. Tetapi tidak ada guru dapat menjamin, bahkan setelah melakukan atau menyelenggarakan tugasnya secara tekun dan melakukan semuanya itu, maka hasilnya:  siswa mempunyai moral yang tinggi. Apa yang dilakukan guru, paling tidak hasilnya bahwa siswa:  (a) mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, (b) mengetahui kenapa maka, dan (c) mempunyai beberapa gagasan untuk apa yang ia hendaknya lakukan sekitar apa yang ia ketahui. Jika, sebagai tambahan, siswa yang benar-benar terlibat dalam hak atau  kebenaran melakukan, guru akan telah (menjadi) lebih dari yang dihadiahi untuk usahanya.[172]

            Itu sedikitnya mungkin untuk pertimbangkan  nilai-nilai etis sebagai  menjadi dua macam, terakhir dan segera. Yang Barang-Barang Moral yang aku mencari yang yang terakhir dan segera ku. Yang Barang-Barang Moral yang aku mencari yang pengalaman yang segera ku adalah nampaknya akan ditentukan oleh yang baik akhirnya dan yang terakhir yang aku mengerti sebagai akhir dan gol ke tempat  yang mana  semua hidup ku berada atau tinggal. Jika aku memberi alasan bahwa pemimpin yang baik dalam hidup adalah kesenangan, kemudian di saat ini melakukan dari tiap hari yang aku akan memilih yang aktivitas itu memberi kesenangan terbesar dan merasakan bahwa diri ditetapkan dalam  tujuan lebih tinggi dengan mengidentifikasi diri di depan umum dengan masyarakat yang beragama. Persahabatan, merasa inspirasi dan daya apung/ kegembiraan mendapat dari komuni kelompok yang religius, jaminan, hukuman yang di belakang dunia yang luar biasa adalah suatu Tuhan penuh kasih yang genap berpesan kejatuhan burung pipit, berharap merasa optimisme dalam kehendak yang baik menaklukkan kejahatan, bahwa yang percaya boleh masuk setelah hidup ini.[173]

 

Pokok Percakapan Estetika dalam Pendidikan

Estetika adalah studi  berharga di  dunia kecantikan. Nilai-Nilai estetika pada umumnya sukar untuk menilai sebab bersifat penilaian pribadi atau lebih tepat subyektifitas individu yang menilai itu.  Seni karya yang baik tertentu  menimbulkan bermacam-macam tanggapan dalam arti penilaian yang berbeda dari setiap orang pun berbeda. Tidak gustibus bukan disputandum est. Siapakah yang tanggapannya semakin sesuai semakin sesuai?

Seseorang dapat menilai atau menghakimi kecantikan dengan penggunaan ukuran-ukuran berwibawa, dan boleh mengakui bahwa semua seni karya yang baik yang mencetak (prestasi) rendah atas ukuran-ukuran ini akan mempunyai suatu waktu sulit menemukan tempatnya di dalam sejarah. Ukuran-ukuran Objektive  adalah berguna bagi orang baru, dan mereka bertindak sebagai standard kritik kronis. Buku teks di dalam literatur, seni, dan musik bersandar pada yang baku ini ketika memberi tahu para siswa pada atas berbagai hal yang menyertakan penilaian dan penghargaan. Fakta, bagaimanapun, kritikus yang berwenang atau berwibawa itu boleh berbeda secara luas ketika menafsir suatu seni karya yang baik membawa kita kembali ke pertanyaan sebelumnya: Siapakah yang menyatakan tanggapan yang sungguh-sungguh sesuai?

Berabad-abad suatu pertanyaan penting membahas estetika seperti ini: Perlukah seni jadilah wakil, atau haruskah produk imajinasi pencipta?

 

1.      Seni perlu dengan setia refflect hidup dan pengalaman manusia. Kita dengan jelas mengenali peristiwa; pemandangan tentang musim gugur atau memudarnya matahari terbenam melukiskan suatu pemandangan yang mengecat. Kita harus digembirakan oleh suatu lukisan dari benda mati suatu mangkuk atau pasu berbunga, masing-masing bunga mengetsa sangat baik, daun bunga nya yang sangat seperti kehidupan, bahwa kita merasakan terdorong untuk menggapai ke luar dan menyentuh rekanya!

2.      Seniman menyatakan dirinya spontancously sekitar manapun aspek atau pengarah hidup yang minat dia. " Suatu gambaran," yang dikatakan tegas, " harus tidak pernah jadilah suatu copy... Angkasa kita melihat lukisan kaum tua tidak pernah angkasa kita bernafas/meniup." Seniman sendiri. Ia menciptakan ke luar dari pengarah yang pribadi nya dan pengalaman. Ia menyatakan perasaan nya tentang kecantikan atau kejelekan dunia dan, barangkali, menunjukkan apa yang ia berpikir dunia itu seharusnya. Di dalam memandang ini, pencipta menikmati kebebasan tak habis-habis untuk menggunakan medium nya dengan cara yang memenuhi himbauan yang kreatif di dalam dia.

 

Di dalam keduanya memandang, pertanyaan yang muncul menyangkut lingkup dan pokok seni yang sesuai. Sebagian orang memelihara bahwa jika seni adalah suatu ungkapan hidup, berhadapan dengan semua dari yang hidup: yang buruk, yang menyimpang dari kebiasaan, yang fantastis, dan yang unik. Orang lain percaya bahwa seni  melaksanakan suatu fungsi sosial. Seniman perlu berbicara kepada semua orang-orang waktu nya,  bukan suatu persekongkolan kecil sekarang atau alam selanjutnya. Meski demikian yang lain skeptis terhadap yang disebut tanggung jawab sosial seniman itu. Masyarakat berubah. Suatu seniman lahir satu generasi mungkin (adalah) menciptakan untuk yang berikutnya. Akan ia disalahkan untuk tidak berhasil untuk menyenangkan yang zaman ini? Seniman yang mana atau siapa seniman  yang telah senang kritikus nya mungkin pada ujung kuasa-kuasa berdayacipta nya, untuk atau karena kritiknya tertuju untuk menilai atau menghakimi seturut standard berlaku. Tentu saja, seniman yang ditolak oleh kritikus boleh sungguh pembaharu benar.

Di sini bahwa nilai Esthetic adalah sedikit lebih keras untuk membedakan atau melihat. Siapakah Orang-Orang yang menikmatinya tidak melakukan suatu pekerjaan yang baik menceritakan sisa apa yang  mereka adalah; dan mereka yang siapa yang tidak lihat  dengan sepenuhnya pada bagian luar dari rombongan yang secara diam-diam menikmatinya. Tetapi barangkali mengapa kita  sedang menikmati perkiraan kecantikan tanpa pengetahuan. Jadi ethichs (teori moral baik) adalah salah satu dari bidang yang paling tua di dalam filosofi. Dan estetika yang dipahami sebagai teori kecantikan, mempunyai merindukan bertaut perhatian ahli filsafat yang serius. Tetapi di akhir-akhir ini banyak orang sudah menyimpulkan bahwa ada landasan umum yang bersama oleh bidang ini seperti halnya oleh semua lain tahap dari yang hidup kita adalah councerned dengan yang berharga.

Ada, tentu saja, teori berbeda berharga; dan di sana adalah jenis  nilai yang berbeda  juga. Sebagian dari teori yang berbeda berharga akan jadi diuji dalam buku ini di dalam tempat sesuai mereka, ketika masing-masing bagian-bagian dari systematik studi dari tiap yang empat filosofi. Secara alami, macam yang berbeda berharga adalah banyak. Mereka yang menerima lebih mengarahkan perhatian sejauh ini dari ahli filsafat adalah yang etis, aesthetic, religius, dan nilai sosial. Beberapa lain  adalah yang ekonomi, politis, bidang pendidikan, bermanfaat, recretional, dan nilai-nilai kesehatan.[174]

           

Konflik antara Etika dan Estetika dalam Pandangan Umum

 

Berdasarkan apa yang dikemukan di atas, konflik antara etika dan estetika tidak berada pada etika dan estetika itu sendiri tetapi pada manusia yang melakukan penilaian atas apa yang baik dan buruk (etika) dan atas apa yang indah dan apa yang jelek. Setiap manusia mempunyai standar yang berbeda dalam menilai dua bidang filsafat ini. Di sini  bahwa ada “penilaian yang berhubungan dengan agama”. Artinya penilaian tentang baik buruknya prilaku seseorang dinilai berdasarkan standar ajaran agama. Demikian pula bidang estetika, penilaian tentang indah dan jelek juga dihubungkan dengan agama. Keindahan dan kejelekan atas suatu objek pengamatan seni juga dipengaruhi oleh ajaran agama yang dianutnya. Misalnya kasus pornografi di Indonesia dinilai secara beragam oleh berbagai agama yang ada di Indonesia. Pada akhirnya ada yang menyatakan tidak boleh tetapi ada juga yang menyatakan boleh karena dilihat dari sisi estetika. Dalam kasus lain: wanita yang berpakaian menutup seluruh tubuhnya sehingga keindahan wajah dan rambut tidak dapat disaksikan atau dilihat orang lain. Dan seterusnya.

Sering juga konflik antara etika dan estetika disebabkan oleh sudut pandang disiplin ilmu pengetahuan yang dipakai untuk menilainya. Misalnya bagaimana ilmu social menilai etika dan estetika, dan disiplin ilmu lainnya juga dapat dipakai untuk menilai etika dan estetika.

           

Konflik antara Etika dan Estetika dalam Pandangan Iman Kristen

 

            Teori Marthen menyatakan: “… Orang – orang Kristen hidup secara serempak di dalam dua kerajaan, yaitu kerajaan Allah dan kerajaan dunia ini. Karena mereka bertentangan dan  arena orang-orang Kristen memiliki tanggungjawab di dalam keduanya, tidak terelakkan bahwa akan terjadi konflik-konflik”.[175] Di sini konflik termasuk konflik antara etika dan estetika disebabkan karena manusia yang menilai baik dan buruk (etika), indah dan jelek (estetika)  adalah manusia yang telah jatuh dalam dosa sehingga selalu ia terlibat dalam konflik-konflik penilaian terhadap sesuatu karena manusia tidak sempurna lagi. Ketika manusia berdosa dipulihkan Tuhan masih juga terbuka peluang-peluang konflik karena manusia sedang berada dalam dua kerajaan seperti yang dimaksud Marthin Luther.

            Dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan Agama Kristen bahwa seorang guru pendidikan Kristen akan terlibat dalam sebagai berikut:

1.      pergumulan etika (penilaian baik dan buruk) terhadap seluruh siswa atas prilakunya dalam pembelajaran di sekolah maupun di luar sekolah.

2.      guru PAK juga terlibat dalam penilaian terhadap indah dan jelek dalam proses pembelajaran yang dilakukannya.

            Jadi seorang guru PAK adalah seorang etikus dan estetis dalam menjalankan tugas pembelajaran di sekolah. Dalam prilaku-prilaku akademis seorang guru harus mengedepankan etika tetapi serempak dengan itu ia terlibat dalam estetika sehingga pergumulan ini kadang membuat konflik antara etika dan estetika dalam diri guru PAK.

Hubungan Konsep Axiologi, Etika dan Estetika

dalam Kaitannya dengan Filsafat Pendidikan

 

Aksiologi sebagai cabang filsafat dapat dibedakan menjadi dua: etika dan estetika. Istilah etika berasal dari kata “ethos” (Yunani), yang berarti “adat kebiasaan” (moral). Dagobert Runes mengatakan: “ethics is that study or discipline which concerns itself with judgments of approval or disapproval, judgments as to rightness or wrongness, goodness or badness, veitue or vice, desirability or wisdom of action, ends or objects, or state of affairs.”[176]  Sedangkan “estetika” merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan kreasi seni dengan pengalaman-pengalaman seseorang yang berhubungan dengan seni. Kadang-kadang estetika diartikan sebagai filsafat seni, tetapi kadang-kadang pula prinsip-prinsip yang berhubungan dengan estetika dinyatakan sebagai hakikat keindahan. Namun, sesungguhnya konsep keindahan hanya salah satu dari sejumlah konsep-kosnep dalam filsafat seni.[177]

 


 

 

VII. Aliran-aliran Filsafat yang

MempengAruhi Pendidikan

 

Aliran-aliran Filsafat yang  Mempengaruhi Pendidikan yang dibahas bagian ini sebagai berikut: Aliran-aliran Filsafat yang  Mempengaruhi Pendidikan: (1) Traditional Philosophies of Education:  Idealism, Realism, Materialisme,  Tradisionalis (Neo-Thomism); (2) Modern Philosophies of Education:  Pragmatism (Experimentalism), Eksistensialisme; (3) Contemporary Theories of Education: Progresivisme, Perenialisme,  Esensialisme  dan Rekonstruksionisme.[178]

 

 

Filsafat Pendidikan Idealism

 

Idealisme telah menunjukkan minat yang besar terhadap pendidikan dan telah memutuskan untuk mempengaruhi pemikiran dan praktek pendidikan.  William T. Harris, salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam bidang pendidikan di Amerika, adalah seorang idealis. Dan dalam satu atau dua generasi setelah dia telah ada banyak para idealis yang menggunakan pendidikan sebagai ladang praktek mereka dimana mereka dapat menerapkan ide-ide mereka dengan hasil yang sangat besar.[179]

            Barangkali tidak ada seorang pun dalam pendidikan Amerika sekarang ini yang telah menonjolkan tradisi filsafat idealis seperti: Herman Harrell Horne (1874-1946) [180] yang telah menulis tentang idealisme dengan efek yang nyata; Rupert C. Lodge (1888-1961), profesor logika dan sejarah filsafat di University of Manitoba yang juga adalah murid dari Plato yang setia, telah menulis buku yang sangat baik, yaitu Philosophy of Education dan satu lagi adalah sebuah studi tentang teori pendidikan Plato. Di luar Amerika ada Giovanni Gentile, yang mengerjakan reformasi pendidikannya di Italia tentang prinsip-prinsip idealisme, sebagai oposisi dari filsafat positivisme dan naturalisme.

 

Tokoh Penggagas

Idealisme adalah filosofi yang sangat tua yang sampai bisa ditelusuri ke pemikiran Yunani kuno dan beberapa kebudayaan Timur. Karena merupakan salah satu filsafat tertua, sketsa mengenai perkembangannya harus dimulai dari jaman dulu kala. Di dunia Barat, di mana sejarah idealisme ini akan dibatasi, Socrates dan Plato yang pertama kali menggagas konsep penting dalam filsafat idealis ini.

Plato (427? – 347 SM) menjadi murid Socrates di usia 20 tahun. Dia seorang yang luar biasa berbakat sehingga bisa menuai manfaat penuh dari pengajaran Socrates. Ia berasal dari keluarga bangsawan kaya, tampan, bertubuh bagus, cerdas, dan memiliki kecintaan yang kuat pada kebijaksanaan. Mengawali pencarian kebenaran di bawah bimbingan Socrates, ia melanjutkannya sepanjang 80 tahun usianya. Setelah kematian Socrates, Plato mula-mula merantau, dan kemudian menetapkan karirnya dalam filsafat yang menjadikannya guru besar sebagaimana kemudian ia dikenal sepanjang masa. Ia membuka Academia di Athena, dan di sana mengembangkan dan mengajarkan doktrinnya. Ia menyusun banyak dialognya, yang mengandung banyak kebijaksanaan filsafat untuk digali oleh semua pemikir, bahkan pemikir masa kini.

Tulisan-tulisannya merupakan produk dari periode di mana pikiran manusia semakin menyadari dirinya dan hubungannya dengan alam semesta. Dialog adalah diskusi-diskusi filsafat yang dibingkai dalam drama. Di dalamnya, gaya naratifnya berkembang saat Socrates, biasanya dalam peran sebagai interogator utama, bertanya jawab dengan Parmenides, Protagoras, atau siapa saja yang berdiskusi dengannya. Tokoh-tokoh dalam dialognya menggambarkan manusia sebagai pemikir, yang menyelidiki sebanyak mungkin pemikiran yang bisa ia dapatkan mengenai dunia, dirinya sendiri, dan kehidupan secara umum.

Salah satu topik utama Plato adalah doktrinnya yang terkenal mengenai ide. Ini adalah konsep mengenai “bentuk” (forms) atau universal-universal yang secara metafisik mendahului sekaligus merupakan idea bagi hal-hal tertentu yang terjadi dalam dunia manusia. Kami harus buru-buru melakukan tindakan pencegahan agar tidak melakukan penyederhanaan berlebihan yang tidak bisa terelakkan dalam pernyataan singkat seperti ini. Dialog Plato sangat beragam dan luas sampai kita harus benar-benar menahan diri untuk tidak menggolongkan “bapa” filsafat Barat ini dengan memberinya label. Apalagi, usaha untuk menjadikan doktrin idenya sebagai sebuah langkah dalam pembentukan idealisme diperumit oleh banyaknya sumber yang bisa ditemukan dalam Dialog, selain oleh tahapan-tahaman berbeda dalam  pemikiran Plato yang terwakili di sana.

Menurut Plato, ada ide-ide yang nyata dan abadi sampai obyek-obyek indrawi sangat mudah berlalu jika dibandingkan. Bahkan, benda-benda fisik hanyalah perwujudan tidak sempurna dari ide-ide, artinya dari ide-ide yang berhubungan yang diwakilinya. Ada ide universal “tempat tidur,” di mana semua tempat tidur yang ada adalah ekspresi yang tidak sempurna. Juga ada ide-ide yang tidak diwakili dalam bentuk fisik termasuk kecantikan, kebaikan, dan esensi mutlak. Ini adalah realitas agung. Sedikitnya dapat dipahami,  kalau pemuliaan ide-ide seperti itu dapat disebut “isme,” maka “idealisme” menjadi nama yang logis. Jika nama “idealisme” berasal dari “ideaisme  huruf l itu tidak meragukan lagi ditambahkan untuk euphony, untuk memberi nama yang lebih enak didengar dan lebih mudah disebutkan.

Namun sebenarnya ada akar lain untuk filsafat Plato yang mungkin lebih signifikan lagi. Setidaknya itu bebas dari ambiguitas doktrin ide yang menjadikannya bisa digunakan oleh beberapa realis selain bagi kalangan idealis. Konsep lain Plato adalah kebaikan sejati (the good), yang paling sering dilambangkan dalam alegori goa. Kebaikan yang satu ini bukan hanya kebaikan “ideal” yang harus dikejar setiap orang, namun juga merupakan sejenis cahaya yang memungkinkan pikiran manusia memikirkan apa pun yang dipikirkannya. Secara simbolis, bagi pikiran manusia itu sama seperti matahari bagi penglihatan fisik manusia; segala sesuatu yang dilihat manusia dengan matanya bukan dilihatnya dengan kekuatan penglihatannya sendiri, melainkan oleh cahaya yang menjadikan penglihatan mungkin. Bagi manusia, “kebaikan sejati” ini bisa dikatakan hal yang paling utama.

 

Tokoh-tokoh Idealism:[181]

William T. Harris

Rene Descartes (1596-1650).

Baruch Spinoza (1632 -1677)

Leibniz (1646-1716)

George Berkeley (1685-1753)

Immanuel Kant (1724-1804)

Hegel (1770-1831)

Herman Harrell Horne (1874-1946)

Rupert C. Lodge (1888-1961)

 

Sintesis

Jika sintesis dibatasi pada kepercayaan yang lebih sentral yang biasanya diulang-ulang sepanjang perkembangan idealisme yang dapat ditarik untuk membantu menunjukkan posisi idealisme secara ringkas, maka hal yang harus berhubungan dengan tiga subyek utama: Tuhan, diri, dan pengetahuan, sebagai berikut:

 

Tentang Tuhan

1.      Realitas tertinggi memiliki substansi yang sama dengan ide-ide. – Plato dan Hegel.

2.      Di balik dunia fenomenal terdapat Roh tak terbatas yang merupakan substruktur sekaligus pencipta kosmos – Leibniz dan Berkeley.

3.      Salah satu dari dua atribut Tuhan adalah pemikiran (thought) – Spinoza.

4.      Eksistensi Tuhan menjadi keharusan karena faktor-faktor tertentu dalam kualitas-kualitas yang membentuk individualitas seseorang (selfhood) adalah: (a) Fakta bahwa saya memiliki ide mengenai entitas (being) sempurna mengharuskan entitas sempurna itu ada. –Descartes. (b) Fakta bahwa saya dapat mengindera kualitas-kualitas dalam dunia obyektif mengharuskan adanya Tuhan untuk menciptakan kualitas-kualitas ini. – Berkeley. (c) Fakta bahwa adanya kategori imperatif dalam diri mengharuskan adanya Tuhan sebagai penjamin komitmen sebagai penyerta ketaatan moral. – Kant

 

Mengenai Diri (Self)

1.         Diri adalah realitas utama dalam pengalaman seseorang. – Descartes

2.        Diri manusia memiliki kemiripan dengan Tuhan dalam artian bahwa itu  adalah roh, namun tidak seperti Tuhan, manusia terbatas. – Leibniz

3.        Manusia adalah sosok berpikir selain bagian dari Tuhan. – Spinoza

4.        Diri manusia memiliki kebebasan kehendak. – Leibniz dan Kant.

 

Mengenai Pengetahuan

1.            Dengan menelaah ide-idenya sendiri dan menguji konsistensinya, manusia dapat mencapai kebenaran. – Plato, Leibniz, dan Hegel.

2.            Diri membaca arti dan kesatuan dalam dunia obyektif. – Berkeley dan Kant.

3.            Nilai dan makna diperoleh dengan menghubungkan bagian-bagian dengan keseluruhan-keseluruhan. – Hegel

 

Pendidikan sebagai Sebuah Institusi Sosial

Pendidikan adalah sebuah institusi yang dibentuk berdasarkan kebutuhan manusia akan budaya. Karena manusia hanya dapat menjadi manusia melalui sebuah kelahiran budaya. Seperti pendapat Comenius sebagai seorang realist  mengatakan bahwa apabila seorang manusia ingin menjadi manusia, pendidikan harus berasal dari manusia. Salah satu alasan pentingnya sekolah dalam makna yang lebih luas adalah untuk memberikan kelahiran budaya dalam kehidupan kontemporer manusia serta sejarahnya.

            Hal yang sama antara idealisme dan realisme adalah tentang dasar pemikiran sekolah, yaitu bagaimana sekolah membentuk seorang anak untuk memiliki kekayaan makna yang implisit dan menjadi seorang manusia, serta memberikan dasar-dasar bagi dia tentang natur dari Tuhan yang Utama dan Ilahi. Dasar lain bagi pentingnya keberadaan institusi pendidikan adalah natur sosial manusia. Tema ini ditekankan oleh kaum pragmatisme dalam seting metafisika bahwa pendidikan adalah sebuah proses sosial dan sama sekali bukan individualistik.

Apabila makna dari menjadi seorang manusia, adalah berada dalam natur yang sosial, maka seorang manusia harus memiliki setting sosial supaya dia menjadi manusia seutuhnya. Inilah sebabnya mengapa pendidikan harus diformalkan menjadi sebuah institusi. Intinya adalah kaum idealis menekankan dimensi sosial dari seorang individu yang membuat sebuah pendidikan harus bersifat sosial.

Beberapa kaum idealis menekankan bahwa sekolah adalah sebuah agen kemasyarakatan. Akan tetapi apabila itu artinya, maka sekolah berada di bawah kendali masyarakat dan diharapkan menghasilkan individu-individu yang seragam terhadap budaya. Ada kalanya peran intelektual dari sekolah dimainkan oleh seorang idealis sebagai dasar dari keberadaan dengan cara memberikan sekolah hak prerogatif yang tidak dimiliki oleh institusi lainnya. Sehingga sekolah seharusnya secara unik merupakan sebuah institusi pemikiran karena memberikan kepemimpinan dan bimbingan pemikiran. Sekolah akan mendorong pemikiran dan “fungsi pemikiran” bagi institusi lainnya dan bukan sebaliknya.

Hal ini membawa kita kepada karakteristik ketiga dari peran sekolah, yaitu sekolah secara unik adalah institusi yang merealisasikan makna. Tentu saja setiap institusi yang memiliki alasan untuk menjadi sebuah institusi memiliki koneksi dengan sebuah transisi atau transfer nilai. Namun hanya sekolah sajalah yang mampu berdiri seimbang antara masa lalu dan masa kini.

 

Murid

Sekarang kita harus mendefinisikan murid sebagaimana dia terlihat apabila idealisme dijadikan sebagai filsafat penuntun pendidikan. Bagi para penganut idealisme, pendekatan kepada murid adalah sangat penting. Sehingga Giovanni Gentile mengatakan:

 

Guru tidak boleh berhenti pada tingkat klasifikasi murid atau observasi eksternal dari wajah atau perilakunya. Guru harus masuk ke dalam pikiran seorang murid dimana kehidupannya berpusat dan berada. ... (Dia) tidak boleh membaca seorang anak secara spontan dan berdasarkan pemahamannya sendiri.[182]

 

Murid  sebagai Seorang Pribadi

Sistem idealis berasal dari kepercayaan yang berpusat pada keyakinan bahwa inti utama pengalaman individual adalah seorang pribadi yang spiritual. Hal ini pasti memberikan pengaruh secara langsung kepada cara berpikir di dalam kelas. Sehingga guru yang idealis, percaya kepada keberadaan diri murid sebagai realita spiritual, yang tidak bisa melihat murid hanya sebagai tubuh tanpa roh. Melainkan  guru akan melihat lebih jauh ke dalam individu murid yang sesungguhnya yaitu roh.

Selanjutnya Horne menulis (1904) dalam bukunya Filsafat Pendidikan yang lebih lengkap tentang natur seorang murid sebagai “kesatuan organik” demikian”: “Kesadaran, seperti yang kita tahu, memanifestasikan keberadaan diri hanya sebagai hal yang berhubungan dengan sebuah sistem syaraf... Tubuh adalah rumah dari pikiran, yang dalam Perjanjian Baru disebut dengan “Bait Roh Kudus.”

Murid sebagai seorang individu keseluruhan dan dia juga bagian dari keseluruhan yang lebih besar. Ini merupakan natur dari seorang individu yang pribadi dan sosial. Individualitas bukanlah gambaran yang sempit, tetapi sebuah lingkaran besar yang inklusif dari sesamanya. Seorang individu akan menemukan kesatuannya di dalam pelayanan kepada orang lain.

Dalam kontek di atas, maka Horne menyimpulkan pendapatnya tentang murid bahwa seorang murid adalah seorang pribadi yang terbatas, yang bertumbuh, yang apabila dididik dengan benar akan menjadi seorang individu yang tidak terbatas; karena itulah asal mula keberadaannya yang ilahi  itu adalah inti dari kemerdekaan dan nasibnya yang immortal.[183]

 

Murid ada dalam Proses Menjadi Seseorang

Seorang guru idealis  tidak akan melepaskan pengajarannya dari situasi moral dunia. Dia tidak akan berusaha menyembunyikan kejahatan moral yang terjadi untuk melindungi muridnya sehingga membuat kelas menjadi tempat yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan dunia. Guru menyadari bahwa seorang murid berada dalam proses perkembangan untuk menjadi seseorang, maka menganalisa natur murid yang berhadapan dengan masalah immoralitas dunia adalah sangat penting.

Horne mengatakan bahwa baik murid maupun proses pendidikan adalah dapat dimengerti hanya ketika dilihat sebagai sesuatu yang berdasar kepada Pikiran yang Kekal yaitu Allah sendiri. Dan inilah yang disebut proses menjadi sebuah pribadi atau keberadaan. Konkritnya para idealis mengatakan bahwa pada saat kelahirannya seorang murid tidak bisa dikatakan baik atau buruk. Itu tergantung kepada lingkungannya yaitu pendidikan, dan tentu saja juga tidak mengabaikan kehendaknya sendiri.

            Pemahaman kaum idealis tentang seorang murid tidak meminimalkan kenyataan bahwa para murid sama seperti kita seringkali tidak peduli, dipengaruhi dan dikendalikan oleh perilaku buruk. Namun, hal semacam itu justru memberikan penekanan akan pentingnya pendidikan. Itu bukan berarti bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak terdidik. Mereka sebenarnya adalah orang-orang yang belum terdidik, dan tidak akan pernah selesai dalam pendidikannya.

 

Tujuan Pendidikan

Pada dasarnya idealisme telah menerapkan kepentingan pendidikan sebagai tonggak yang menopang tanggung jawab sosial. Tujuan pendidikan idealisme memiliki kerangka baik secara individu maupun sosial.

 

 Tujuan bagi Individua

Gentile, seorang idealis dari Italia berbicara tentang realisasi diri sebagai tujuan utama dari pendidikan, yang artinya sebuah proses keberadaan yang spiritual. Proses perkembangan ini merupakan sebuah ritme yang mengalir di dalam pengalaman seseorang antara dirinya sebagai subyek yang aktif pada saat ini dan fase masa lalunya yang belum dewasa. Di dalam proses ini dirinya yang sekarang ini secara aktif menemukan pengetahuan baru, mengasimilasikan segala sesuatu yang berkaitan dengan dirinya menjadi satu kesatuan yang utuh, sehingga pada akhirnya dia dapat memahami dirinya sendiri dengan sepenuhnya.

            Bogoslovsky menjelaskan tujuan pendidikan bagi seorang individu

 

“adalah menolong para murid untuk memiliki kehidupan yang kaya dan bermakna, untuk membangun kepribadian yang harmonis dan berwarna, untuk menikmati kemuliaan yang utama dan menjadi bahagia, untuk menghadapi penderitaan dengan harga diri dan keberanian, dan akhirnya untuk menolong orang lain agar memiliki kehidupan yang superior.[184]

 

            Horne mengatakan bahwa kebenaran, keindahan, dan kebaikan adalah idealisme spiritual bagi manusia, oleh sebab itu tujuan pendidikan adalah menyeimbangkan seorang anak kepada “realita yang penting ini sehingga sejarah manusia dapat digenapi.” Di dalam pernyataan terakhirnya Horne menambahkan,

 

“Namun yang tertinggi dari semuanya adalah ibadah yang membawa manusia kepada kesadaran akan Allah yang menciptakan alam semesta. Sehingga ibadah harus menjadi karakter dari setiap individu dan keadilan di masyarakat yang membawa kehendak manusia kepada kebenaran yang kekal. Baru kemudian memampukan mandiri secara ekonomi, yang juga berkaitan dengan karakter personal dan keadilan sosial, yang juga membawa manusia kepada keharmonisan dengan alam semesta yang kreatif... Idealisme percaya seorang individu yang terintegrasi di dalam sebuah masyarakat yang terintegrasi akan bertumbuh di dalam alam semesta yang terintegrasi.[185]

 

Tujuan bagi Masyarakat

            Salah satu masalah utama dalam menformulasikan tujuan sosial pendidikan di dalam alam yang demokratis adalah kaitan antara pendidikan dan perbedaan kelas dalam masyarakat. Horne setuju bahwa tingkatan pekerjaan dan budaya adalah penting. Tetapi dia mengatakan bahwa keduanya sama sekali tidak identik. Bogoslovsky berpikir bahwa membedakan tingkatan bukan merupakan solusi tetapi akan memberikan “kesempatan yang sesuai dengan kemampuan masing-masing orang untuk dapat menggunakannya.”

Horne lebih lanjut mengatakan bahwa pembedaan tingkatan dilakukan untuk meningkatkan efisiensi sosial. Menurut dia “demokrasi adalah kesatuan spiritual dalam keragaman sosial.” Bogoslovsky menambahkan, “persaudaraan merupakan jiwa dan inti dari demokrasi yang sesungguhnya”.  Oleh sebab itu tujuan sosial pendidikan, setidaknya dalam sebuah demokrasi adalah: “Di dalam semangat persaudaraan dan pendekatan terhadap sesama, tidak mengklaim haknya sendiri atau mendeklarasikan status sosial mereka, melainkan sebagai seorang pribadi kepada pribadi lainnya dalam pengertian bersama dan kasih”.[186]

 

 Sintesis

Menurut Horne dalam bukunya The Psychological Principles of Education, pendidikan ideal harus mencakup semua sejarah ideal yang beragam, termasuk setiap bagian sebagai bagian dari keseluruhan, dimana kebenaran dapat ditemukan. Bagi seorang individu, pendidikan harus mencakup “budaya, pengetahuan, dan perkembangan.”[187] Dengan tujuan yang didedikasikan kepada masyarakat, “ia harus menghasilkan efisiensi, karakter dan kependudukan.”

            Definisi Horne tentang pendidikan menjadi sangat terkenal dan merupakan dasar untuk menentukan tujuan pendidikan bagi kaum idealis yaitu, “Pendidikan adalah proses kekal dari penyesuaian superior dari mental dan fisik yang dikembangkan, bebas, sadar, manusia menjadi seperti Allah, yang dimanifestasikan dalam intelektual, emosi dan lingkungan manusia yang mendukung”.[188] Inti dari definisi tersebut berkaitan erat dengan tujuan utama pendidikan, yaitu: Pendidikan merupakan proses kekal dari penyesuaian superior dari sebuah kebebasan dan kesadaran manusia akan Tuhan.

 

Proses Pendidikan

Salah satu karakteristik umum dari pendidikan idealis adalah berpusatkan kepada idealisme. Sepenuhnya berpusat kepada anak, subyek yang diajarkan, dan bukan sosial kemasyarakatan. Selanjutnya untuk mengerti filsafat idealisme tentang pendidikan kita perlu mengingat bahwa eksponen dari filsafat ini adalah semata-mata sebuah metafisika idealis dan selanjutnya adalah tentang perhatian moral dan sosial serta yang menjadi perhatian utama adalah Roh, yaitu Roh yang adalah kebenaran.

Pribadi seorang anak di dalam kelas pada dasarnya jauh dari kebenaran Tuhan di dalam pencapaian moral mereka; dan oleh karena itu masyarakat tidak dapat menjadi Kota Allah. Sehingga pendidikan harus membawa anak-anak kepada Tuhan dan bukan kepada masyarakat yang selalu tidak pasti dan berubah. Mereka berpusat kepada idealisme karena itu semua yang lain sifatnya adalah sementara.[189]

            Untuk membahas lebih lanjut tentang pendidikan yang berpusatkan kepada yang ideal, kita perlu mendiskusikan beberapa faktor yang mempengaruhi pendidikan antara lain: pertama guru karena perannya yang sangat penting, lalu imitasi dan ketertarikan serta usaha dan disiplin, selanjutnya aktivitas pribadi murid yang merupakan hati dari pendidikan. Penggunaan material juga akan didiskusikan termasuk metode pengajaran.

 

 Guru

Menurut idealisme fungsi guru sebagai berikut:[190]

  1. Guru merupakan personifikasi dari realita murid. Bagi mereka yang belum dewasa, guru adalah semesta yang dijadikannya personal.
  2. Seorang guru harus mengenal murid-muridnya.
  3. Seorang guru haruslah seorang ahli secara teknis dalam mengajar.
  4. Guru harus mampu membangkitkan rasa hormat para murid melalui kebaikan yang ada di dalam dirinya.
  5. Seorang guru harus menjadi teman pribadi dari para murid.
  6. Seorang guru harus mampu membangkitkan minat murid untuk belajar.
  7. Guru harus menguasai seni kehidupan. Seseorang yang memiliki seni kehidupan dapat membawa para murid dalam sebuah proses spiritual dengan kreativitas yang dia miliki.
  8. Seorang guru harus bekerjasama dengan Tuhan untuk menyempurnakan para murid.
  9. Seorang guru harus mempu mengkomunikasikan materi yang dia ajarkan.
  10. Seorang guru haruslah seorang yang mengapresiasi materi yang dia ajarkan.
  11. Seorang guru yang benar-benar mengajar selalu belajar pada saat yang sama ketika dia mengajar.
  12. Seorang guru adalah seorang rasul sebuah perkembangan. Mengajar merupakan pekerjaan penting untuk menolong orang lain atau generasi baru secara spiritual yang terkait dengan tujuan kemana realisasi dari sejarah bergerak.
  13. Seorang guru harus menjadi pembuat demokrasi. Apabila dia menangkap semangat pengajaran yang murni, kelasnya akan mempraktekkan demokrasi dan muridnya juga akan mendapatkan pengalaman demokrasi di dalam kelas sehingga mereka akan dapat memberikan pengaruh demokrasi di kelompok lainnya.
  14. Karaktersisasi final dari seorang guru yang ideal adalah dia harus selalu mengeliminasikan dirinya sendiri. Guru yang baik harus secara sensitif membangun para murid tanpa meninggikan dirinya sendiri dan membantu para murid untuk bertumbuh menjadi diri mereka apa adanya sehingga mereka dapat mencapai kehidupan yang lebih tinggi.

 

 Imitasi

            Idealisme mengatakan kebiasaan umum yang sama muncul karena orang-orang yang lebih muda terbiasa untuk meniru orang-orang yang lebih tua dan melalui proses pendewasaan, kadangkala mereka mencapai level lebih tinggi dari pada orang yang mereka tiru. Karena imitasi adalah natural, maka mereka percaya bahwa para pendidik bagaimana pun juga dipaksa untuk menghadapi hal ini; dan karena hal itu dipastikan akan menghasilkan hasil yang diharapkan, maka strategi terbaik adalah menerapkannya di sekolah maupun di tempat kerja.

            Hocking berpendapat bahwa meniru adalah bagian dari proses masyarakat untuk membawa sebuah kehendak baru kepada keberadaan individual. Sedangkan salah satu manfaat dari imitasi adalah untuk menetapkan satu model bagi para murid untuk mendapatkan kesempurnaan dan memimpin mereka ke dalam pola yang harus diikuti. Demiashkevitch berpendapat "keoriginalitasan didapatkan setelah studi yang mendalam serta mengimitasi guru dalam hal tertentu—sampai dia melampaui gurunya.”[191] Namun demikian, sikap umum dalam filsafat pendidikan idealisme adalah bahwa pemakaian yang paling efektif dari imitasi adalah fokus kepada kepribadian yang besar.

Karena menjadi seorang pribadi yang sempurna lebih penting daripada melakukan pekerjaan dengan sempurna, maka seorang anak sebaiknya berada dekat dengan seseorang yang dapat memberikan inspirasi yang baik. Bogoslovsky mengatakan bahwa kita harus memanfaatkan “harta karun yang telah ditinggalkan oleh orang-orang genius dan artis yang telah menciptakan hidup yang indah...” [192] Lebih lanjut ia mengatakan bahwa karena manusia secara alami lebih condong kepada kehancuran atau hal-hal yang buruk daripada yang baik, maka sekolah harus memberikan kepada para murid pengalaman yang bermakna.

Hocking memberitahu kita bahwa anak-anak akan cepat mengadopsi kepercayaan orang yang “tampak bahagia, dan bukan yang lainnya.” Horne melihat bahwa moral dan agama terlibat dalam imitasi proses. Oleh sebab itu wajib bagi setiap guru untuk berusaha menjadi model yang baik bagi para murid. Hambatan di sekolah karena sulitnya pengajaran agama secara terbuka bisa diatasi melalui kepribadian seroang guru yang baik dan layak diimitasi oleh para murid.

 

Minat Usaha dan Disiplin

            Sudah dapat dipastikan bahwa minat, usaha dan disiplin merupakan faktor yang tidak dapat dilepaskan dari pendidikan. Apabila seorang guru yang terlalu condong kepada minat biasanya dia diberi label sebagai guru yang “lemah”, dan apabila dia terlalu condong kepada usaha dan disiplin dia diberi label sebagai guru yang “keras”. Oleh sebab itu pemakaian ketiga hal ini dalam pendidikan perlu mendapat perhatian khusus.

            Untuk lebih jelas kita akan melihat definisi dari ketiga hal ini. Minat adalah sebuah ketertarikan total dari seorang murid terhadap suatu pekerjaan tertentu yang dia lakukan dengan usaha dan tanpa dorongan yang keras dari gurunya. Usaha kerja keras yang dilakukan dengan sadar dan sukarela dari seorang murid yang membuat dia melakukan sebuah pekerjaan tertentu. Disiplin tindakan ekstra dari seorang guru untuk membawa muridnya berhasil menyelesaikan tugas yang harus mereka kerjakan.

Menurut Horne ada dua jenis minat: yang dekat dan yang jauh. Minat yang dekat inilah yang menghasilkan aktivitas spontan dan membawa kepada usaha yang sukarela. Minta yang jauh, sangat terkait dengan kepuasaan saat ini, yang juga menghasilkan usaha yang sukarela. Karena hidup membutuhkan baik minat yang jauh dan yang dekat, pendidikan harus menuntut kedua hal itu dalam diri murid.

 Berdasarkan pemaparan tersebut dapat dikatakan bahwa minat menghasilkan usaha, dan aktivitas yang menarik dilakukan karena minat cukup menimbulkan usaha untuk membawa seseorang mampu menyelesaikan tugas. Namun perlu ditekankan bahwa usaha bukan pengganti minat, usaha adalah kemauan untuk melakukan tugas ketika orang lain tidak mau melakukannya.

            Gentile menganggap disiplin sebagai bagian yang intim dari kepribadian dan aktivitas yang membimbing dari seorang guru. Sudah pasti bahwa di dalam pengajaran yang murni ada disiplin, dan guru itu sendiri adalah bagian yang penting dari disiplin. Akan tetapi disiplin sendiri apabila tidak dikaitkan dengan pengajaran akan menjadi sia-sia. Untuk menjadi orang yang disiplin ada sebuah proses panjang yang menyakitkan. “Otoritas yang dimulai dari eksternal, dan dikerjakan melalui pembentukan kebiasaan serta pengendalian diri, akan menjadi internal.”[193]

 

Aktivitas Diri

Dimanakah pendidikan yang sejati terjadi? Kapan seorang murid benar-benar mempelajari sesuatu, mendapatkan pengetahuan baru, atau mengambil langkah yang aktual untuk mendapatkan pertumbuhan ke arah kedewasaan? dimanakah dari seluruh proses tersebut perubahan terjadi? Para idealis mengatakan bahwa itu semua terjadi di dalam diri para murid. Murid adalah seorang pribadi yang sangat mudah diarahkan melalui adanya minat. Mereka adalah jiwa yang mampu untuk mengambil inisiatif murni, dan respon-respon mereka merupakan pergumulan dari inisiatif tersebut yang bertumbuh mekar.

            Horne mengatakan, “proses pendidikan tidak memiliki banyak stimulus untuk membentuk seorang individu... semua pengalaman pendidikan adalah personal di dalam karakter. Pribadi itulah yang memiliki pengalaman.”[194] Karena itu, pertumbuhan hanya bisa diperoleh melalui aktifitas diri. Hanya melalui proses inilah mental seorang murid dapat dikembangkan. Dan ini berarti bimbingan terhadap diri sendiri.

            Aktivitas diri akan membawa kepada perkembangan pribadi, menurut kaum idealis aktivitas diri bukanlah sebuah proses yang abstrak yang memiliki sedikit hubungan dengan faktor temporal. Untuk mengembangkan kepribadian sudah pasti memerlukan pendidikan fisik. Akan tetapi tentu saja perkembangan tubuh terbatas kepada mengembangkan dan memperkuat apa yang telah diberikan pada saat kita dilahirkan. Pendidikan tidak dapat menambah syaraf-syaraf otak, tetapi dapat mengembangkan kapasitas potensial yang telah dimiliki oleh setiap individu.[195]

Demiashkevitch mengatakan penting bagi setiap guru untuk menyadari bahwa ada banyak anak-anak yang “tidak menyukai pekerjaan manusia dan yang berharap menemukan aktivitas untuk mendapatkan ekspresi dari apa yang disebut dengan pekerjaan mental murni.” Bogoslovsky memberikan sebuah contoh yang baik tentang hal ini. Dia merasa bahwa apresiasi terhadap seni, sekalipun tampak pasif, merupakan sebuah tindakan yang aktif seperti penciptaan karya seni.[196]

            Inilah yang merupakan inti dari pendidikan idealis, dan tentu saja kehendak bebas tidak dapat dipisahkan dari karakter pendidikan. Horne percaya bahwa kehendak bebas adalah salah satu hal yang utama dalam karakter yang baik. Demiashkevitch mengatakan “kehendak secara aktif mempromosikan kebaikan dan melawan kejahatan, dan melakukan hal ini secara konstan itulah yang seharusnya.”[197] Membuat penjelasan yang lebih spesifik tentang kebebasan, Horne mengatakan bahwa kebebasan bukanlah “melakukan segala sesuatu di segala waktu” tetapi “sesuatu pada saat tertentu.”[198]

            Hocking membedakan antara kehendak dan kehendak bebas, dengan mengatakan bahwa kehendak harus dikembangkan di dalam diri seseorang sebelum dia dapat memiliki kehendak bebas. Seorang anak tidak tahu apa yang dia inginkan. Tugas pertama dari pendidikan adalah untuk membawa kehendaknya kepada suatu eksistansi. Makna keseluruhan dari pendidikan adalah dibungkus dalam proses membangkitkan kehendak.

            Ketika seorang anak mencapai kedewasaan, pertumbuhan ini mengambil bentuk yang mendesak, yaitu kesiapan untuk mengambil tanggung jawab. Dua ekspresi umum dari tanggung jawab ini adalah membangun filsafat diri dan keinginan untuk menemukan jalannya di dunia. Hocking mengintepretasikan filsafat diri masa muda sebagai orang yang “menghargai kehidupan yang untuk pertama kalinya bisa dikendalikan sendiri; dia menemukan dirinya secara moral sendiri; dia tidak dapat lagi melihat segala sesuatu berdasarkan kacamata orang lain.” Untuk tanggung jawab Hocking menekankan bahwa satu-satunya lingkungan yang tepat untuk “kesiapan mengambil tanggung jawab” adalah tanggung jawab actual yang tercipta. Berikan kepada mereka pekerjaan yang nyata, dan biarkan mereka mengalami tanggung jawab. “Seorang anak yang menjadi dewasa tanpa mengetahui perasaan tentang resiko melakukan sebuah pekerjaan satu hari dengan upah satu hari tidak hanya akan menjadi seseorang yang dangkal tetapi juga tidak akan memiliki prestasi yang baik di sekolah.”[199]

 

Kurikulum

            Menurut Horne, cara untuk mendapatkan fondasi yang kuat dalam  pengembangan kurikulum adalah dengan memaparkan secara jelas “karakter ideal manusia dan karakteristik dari masyarakat yang ideal.”[200] Kemudian memilih pengalaman, aktivitas, situasi hidup dan pelajaran yang sesuai dengan standar tersebut sehingga dapat memberikan kontribusi terbaik mencapai hasil yang ideal. Secara lebih spesifik, setiap kurikulum yang baik harus melibatkan ruang kelas yang mencakup tiga aspek yaitu intelektual, emosi dan kehendak. Untuk itu Horne mengatakan, “harus ada beberapa ilmu science, seni dan minat”  dalam setiap program studi murid.

            Dengan demikian kurikulum tidak dapat dibatasi hanya dengan intruksi-instruksi belaka tetapi juga harus mencakup “pekerjaan, produksi, prestasi, latihan dan aktivitas. Buku-buku yang dibaca oleh murid tidak akan dengan sendirinya memberikan realita yang obyektif. Mereka adalah bejana tanah liat yang mana harta karun natural dan kemanusiaan disimpan.”[201] Sudah pasti ada banyak materi yang perlu dipelajari namun perlu diingat bahwa semua materi tersebut hanya digunakan sebagai alat untuk mendapatkan akhir yang besar dari kehidupan yang lengkap melalui pemahaman akan kehidupan. Informasi akan menjadi pengetahuan, buku-buku akan menjadi alat, dan ide-ide yang besar akan menjadi ideal.

            Bogoslovsky mengajukan empat area studi general[202] di dalam kurikulum yang dia bentuk untuk sekolah ideal-nya sebagai berikut: (a) Divisi alam semesta, yang merupakan departemen science dimana para murid akan belajar “kekuatan alam, asal usul dari system solar, perkembangan kehidupan dan semua latar belakang dari kehidupan manusia.”  (b) Divisi peradapan, yang menawarkan studi secara mendalam tentang ilmu social. Dia mengatakan “melalui peradaban kita akan memahami semua aktivitas, prestasi dan institusi kemanusiaan yang mengendalikan lingkungan kita untuk memberikan makna hidup, keamanan, dan kenyamanan—semua yang kita perlukan untuk membuang bahaya, rasa takut dan kesendirian. Makanan, pakaian, perumahan, teknologi, komunikasi dan pemerintahan akan dipelajari dalam divisi ini.”  (c) Divisi kebudayaan, “filsafat, seni, literature, agama, intepretasi dan evaluasi terhadap lingkungan”  (d) Divisi kepribadian, yang menawarkan studi tentang “factor-faktor fisik, psikologi, emosi dan intektual yang semuanya itu membentuk manusia menjadi…orang yang memiliki tipe kepribadian yang berbeda dan… menjadi seorang individu yang paling menarik yang pernah diciptakan oleh seni.”

            Keempat divisi tersebut diikat bersama melalui sesi pengembangan kepribadian yang merupakan “kesimpulan final, koordinasi atau integrasi dari semua yang telah dilakukan dalam divisi tersebut diatas untuk menolong murid secara sistematis dan tekun, untuk menjadi seorang pribadi yang lebih baik lagi.”

            Demiashkevitch juga mengatakan bahwa sekolah menengah umum harus dapat memperkaya dan menstimulasi kultur pendidikan secara umum. Untuk mewujudkan itu semua, dia menentukan tiga tujuan[203]  yang harus dipenuhi yaitu:  (a) Murid harus memiliki informasi umum yang cukup untuk mengetahui bagaimana dan kapan dia harus mencari informasi yang dapat diandalkan untuk menyelesaikan masalah yang akan dia hadapi. (b) Dia harus memiliki “pengetahuan yang cukup akan kebenaran, moral, social, serta ilmu science yang mendasar, dan ketidaktahuan akan semua itu bisa membahayakan dirinya dan orang lain.” (c) Pemikiran para murid harus dipenuhi dengan “standar pemikiran yang baik dan sehat serta akurat” serta “kebiasaan untuk berpikir keras dan akurat.”

            Demiashkevitch mengakui bahwa pengalaman langsung akan lebih berkesan daripada pengalaman yang diperoleh secara tidak langsung dan disimpan dalam memori kita. Isi dari pengalaman itulah yang penting, dan pengetahuan serta informasi yang banyak akan bermanfaat bagi masa depan. Beralih kepada aspek social dari masalah pengalaman langsung dan tidak langsung bahwa bentuk demokrasi pemerintahan sebagian besar berdasarkan kepada pengalaman tidak langsung, karena orang yang mengambil suara harus dibimbing oleh “pengalaman orang lain yang direkam”.[204]

 

 Metode

            Aspek final dari pendidikan idealis adalah metode mengajar. Pertama-tama, para idealis selalu menekankan bahwa mereka adalah pencipta dan penentu dari pendidikan mereka. Secara umum dapat kita katakan bahwa kaum idealis lebih memilih dialek informal di dalam kelas daripada para murid dikonfrontasi dengan arahan-arahan spesifik yang telah ditetapkan bagi mereka. Idealis lebih memilih setidaknya ada pemikiran alternatif kalau tidak tindakan alternatif. Para murid diharapkan untuk dapat dikonfrontasi dengan keputusan dan pilihan yang dapat mengembangkan pemikirannya sebagai berikut:

 

1.      Pertanyaan dan diskusi merupakan metode utama bagi para idealis. Karena dengan demikian para guru dapat menciptakan situasi dialektikal yang dapat memampukan para murid mengemukakan pendapatnya yang dilatarbelakangi oleh berbagai macam keunikan individu mereka. “Keberhasilan di dalam kelas tidak hanya menuntut adalanya pemimpin yang baik, tetapi pengalaman, studi, observasi serta pengetahuan akan mereka yang mengambil bagian.”

2.      Pengajaran merupakan metode yang juga akan digunakan oleh para idealis. Presentasi yang baik dari seorang guru adalah yang dipresentasikan untuk memberikan nasehat dan bimbingan. Hal yang harus dihindari adalah pengajaran yang memaksakan kehendak dan ide guru kepada murid sehingga tidak ada ruang untuk tanya jawab, respon ataupun penilaian.

3.      Metode yang ketiga adalah proyek, dimana para murid diberikan tugas untuk dapat mereka selesaikan. Sekalipun para idealis percaya bahwa tidak semua pendidikan adalah tentang melakukan sesuatu, namun mereka tetap mengakui bahwa proyek merupakan bagian yang penting dalam proses pendidikan. Dalam hal ini Horne mengatakan bahwa menurut pendapatnya sekitar 50 persen orang setuju dengan apa yang disebut sebagai praktek yang progresif dari pendidikan.

 

 

 

Filsafat Pendidikan Realism

 

            Realisme adalah salah satu mazhab dari filsafat pendidikan. Realisme adalah filsafat yang bermula sebagai reaksi yang berlawanan dengan pandangan filsafat idealisme. Realisme, dipelopori oleh Aristoteles (384-322 B.C.), seorang murid Plato. Mereka adalah tokoh-tokoh penting pada Filsafat Barat. Di satu sisi, Aristoteles sangat dipengaruhi oleh Plato, gurunya, tetapi di sisi lain pemikirannya menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan dengan idealisme Plato. ”Bertentangan dengan Plato, Aristoteles berpendapat bahwa dunia yang sesungguhnya adalah dunia real, yaitu dunia konkret, yang bermacam-macam, bersifat relatif, dan berubah-ubah. Dunia ide adalah dunia abstrak yang bersifat semu dan terlepas dari pengalaman. Itulah sebabnya mengapa pandangan Aristoteles dikenal sebagai paham realisme”.[205]

Aristoteles berpegang bahwa komponen dasar dari setiap obyek adalah form dan matter. Form dapat dikatakan memiliki kesamaan dengan konsep Plato tentang Ide.  Menurut Aristoteles, form tidak dapat nyata tanpa matter, tetapi tidak mungkin ada matter tanpa form. Aristoteles tidak merendahkan pentingnya form atau ide, tetapi perbedaan radikal yang menyebabkan ia berbeda dengan gurunya adalah datang karena kepercayaan bahwa pemahaman yang lebih baik atas ide universal dapat dicapai melalui studi atas matter.

            Fokus Aristoteles pada kemungkinan terbentuknya konsep universal tentang ide melalui studi matter (material), membawa dia menjadi orang yang meletakkan dasar susunan pada ilmu fisika modern, kehidupan, dan ilmu-ilmu sosial. Aristoteles adalah seorang organisator dan katagorisator yang ternama. Ia seorang ilmuwan yang berbagai bidang seperti: fisika, botani, biologi, sosiologi, psikologi, logika, dan berbagai aspek filsafat formal. Dapat dikatakan Aristoteles telah membangun ilmu pengetahuan modern.[206]

            Dasar bagi realisme adalah keyakinan pada realitas dari matter (benda). Alam semesta, dalam pandangan ini, bukanlah sebuah ilusi, tetapi sesuatu yang nyata dan berada secara konkret.[207] Dengan demikian semua matter, seperti:  pohon, gunung, kota, dan benda-benda lainnya bukanlah suatu ide belaka dalam pikiran peneliti. Mereka nyata dalam keberadaannya sendiri, terlepas dari pikiran atau pengetahuan manusia.

            Dasar keyakinan realisme pada dunia benda ini sangat mempengaruhi pendirian mereka tentang realitas, pengetahuan, dan nilai yang keberadaannya tidak tergantung pada pikiran manusia. Dengan demikian semakin jelas bahwa realisme menolak pandangan kaum idealis yang menyatakan bahwa dunia ide-lah yang sesungguhnya nyata.[208]

Dasar pemikiran kaum Realist adalah bahwa obyek dari indra kita nyata dan tidak bergantung dari pemikiran atau pengetahuan kita. Realisme berpendapat bahwa hakikat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia rohani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subyek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak, dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan sebagai obyek pengetahuan manusia.  Perbedaan mendasar antara realisme dengan idealisme dapat diilustrasikan dengan contoh pohon di sebuah padang di suatu pulau. Menurut kaum realist bahwa pohon itu nyata hanya jika dapat dipikirkan (termasuk pemikikiran tentang keberadaan yang transenden) atau jikalau terdapat pengetahuan tentang itu. Kaum realist, di pihak lain berpegang bahwa pohon itu nyata tidak bergantung pada pikiran atau pengetahuan manusia.

 

Tokoh-tokoh Realisme:[209]

Aristotelian Realism: Aristotle (384-322 BC)

Religious Realism: Thomas Aquinas (1225-1274)

Development of Modern Realism: Francis Bacon (1561-1626), John Locke (1632-1704)

Contemporary Realism: Alfred North Whitehead (1861-1947), Bertrand Russell (1872-1970)

 

Bentuk-bentuk Realisme

            Realisme adalah aliran Filsafat yang bersifat khusus dengan pandangan yang khusus pula berkenaan dengan realitas, epistemologi dan axiologi yang tidak bergantung pada pikiran atau pengetahuan manusia. Namun demikian, aliran filsafat ini memiliki keragaman bentuk, menurut para tokoh pencetusnya. Hal ini menyebabkan berbagai macam kebingungan dalam mempelajari filsafat realisme ini. Menurut Kneller bahwa  realisme dapat dibagai menjadi dua bentuk, yaitu:  Realisme Rasional dan Realisme Naturalis.[210]

 

Realisme Rasional

Bentuk pertama dari realisme ini dapat dibagi lagi menjadi dua aliran, yaitu: realisme rasional klasik, filsafat Yunani yang dipelopori oleh Aristoteles dan realisme rasional religius, terutama scholastisisme yang dipelopori oleh Thomas Aquinas yang juga mempelopori filsafat Thomisme. Sebagai bagian dari realisme, keduanya berpendapat bahwa dunia benda adalah real, tidak bergantung pada pikiran atau pengetahuan manusia sebagai berikut:

 

1.      Realisme klasik (humanisme rasional) berpandangan bahwa manusia pada hakikatnya memiliki ciri rasional. Dunia dikenal melalui akal, dimulai dengan prinsip ”self evident”, di mana manusia dapat menjangkau kebenaran umum. Self evident ini merupakan azas bagi pengetahuan, artinya bahwa pengetahuan yang benar buktinya ada di dalam pengetahuan atau kebenaran pengetahuan itu sendiri. Bahan pendidkan yang esensial bagi aliran ini adalah pengalaman manusia.

2.      Realisme religius lebih cenderung dualistik yang berpendapat bahwa terdapat dua order yang terdiri atas order natural dan order supranatural. Kedua order ini berpusat pada Tuhan. Tuhan adalah pencipta alam semesta dan kekal. Pendidikan merupakan suatu proses untuk meningkatkan diri guna mencapai yang kekal. Menurut realisme religius, karena keteraturan dan keharmonisan alam semesta sebagai ciptaan Tuhan, maka manusia harus mempelajari alam semesta sebagai ciptaan Tuhan. Selanjutnya realisme religius juga berpandangan bahwa hukum moral juga diciptakan Tuhan. Comenius adalah pemikir pendidikan Kristen yang dapat digolongkan dalam aliran realime religius. Ia mengemukakan bahwa semua manusia harus berusaha untuk mencapai dua tujuan, yaitu pertama, keselamatan dan kebahagiaan hidup yang abadi. Kedua, keadaan dan kehidupan dunia yang sejahtera serta damai. 

 

Realisme Naturalis

 Bentuk kedua dari realisme ini menyertai lahirnya sains di Eropa pada abad ke- 15 dan 16  yang dipelopori oleh: Francis Bacon, John Lock, Galileo, David Hume, John Stuart Mill, dan lain-lain. Pada abad 20 tercatat pemikir-pemikir seperti: Ralp Borton Perry, Alfred Nort Whitehead, dan Bertrand Russel. Aliran ini menyatakan  bahwa manusia adalah organisme biologis dengan sistim syaraf yang kompleks dan secara inheren berpembawaan sosial. Apa yang dinamakan berpikir merupakan fungsi yang sangat kompleks dari organisme yang berhubungan dengan lingkungannya. Kebanyakan dari mereka menolak kehendak bebas manusia. Menurut realisme naturalis, realitas haruslah korespondensi. Pengetahuan yang benar hanya diperoleh melalui pengalaman empiris, dan nilai-nilai sangat bergantung pada pemahaman manusia tentang alam.

Naturalisme merupakan teori yang menerima “nature” (alam) sebagai keseluruhan realitas. Istilah “nature” telah dipakai dalam filsafat dengan bermacam-macam arti, mulai dari dunia fisik yang dapat dilihat oleh manusia, sampai kepada sistem total dari fenomena ruang dan waktu. Natura adalah dunia yang diungkapkan kepada manusia oleh sains alam. Istilah naturalisme adalah sebaliknya dari istilah supernaturalisme yang mengandung pandangan dualistik terhadap alam dengan adanya kekuatan yang ada (wujud) di atas atau di luar alam.[211]

Naturalisme berasal dari kata “nature.” Kadang pendefinisikan “nature” hanya dalam makna dunia material saja, sesuatu selain fisik secara otomatis menjadi “supranatural.” Tetapi dalam realita, alam terdiri dari alam material dan alam spiritual, masing-masing dengan hukumnya sendiri. Era Pencerahan, misalnya, memahami alam bukan sebagai keberadaan benda-benda fisik tetapi sebagai asal dan fondasi kebenaran. Ia tidak memperlawankan material dengan spiritual, istilah itu mencakup bukan hanya alam fisiktetapi juga alam intelektual dan moral. Salah satu ciri yang paling menakjubkan dari alam semesta adalah keteraturan. Benak manusia sejak dulu menangkap keteraturan ini. Terbit dan tenggelamnya matahari, peredaran planet-planet dan susunan bintang-bintang yang bergeser teratur dari malam ke malam sejak pertama kali manusia menyadari keberadaannya di dalam alam semesta, hanya merupakan contoh-contoh sederhana. Ilmu pengetahuan itu sendiri hanya menjadi mungkin karena keteraturan tersebut yang kemudian dibahasakan lewat hukum-hukum matematika. Tugas ilmu pengetahuan umumnya dapat dikatakan sebagai menelaah, mengkaji, menghubungkan semua keteraturan yang teramati. Ilmu pengetahuan bertujuan menjawab pertanyaan bagaimana dan mengapa. Namun khusus untuk kosmologi, pertanyaan ‘mengapa’ ini di titik tertentu mengalami kesulitan yang luar biasa.[212]

 

 

Posisi Filosofi Realisme

            Pada bagian ini dipaparkan posisi filosofi realisme, yaitu pendirian realisme atas realitas, pengetahuan dan nilai yang dipahami secara umum sebagai berikut:

 

1.      Realitas (Ontologi). Realitas dari benda-benda. Bagi kaum realist, kebenaran akhir dari realitas bukan pada alam pemikiran. Alam semesta dibentuk atas matter, sehingga demikianlah dunia fisik di mana manusia hidup dan membuatnya nyata. Ini adalah suatu pendekatan jujur pada dunia benda-benda yang bergerak menurut hukum-hukum alam yang melahirkan alam semesta. Alam semesta yang sangat besar menunjukkan keterbatasan manusia dan pengetahuannya. Alam semesta bukanlah seperti mesin raksasa di mana manusia sebagai penonton dan yang mengambil bagian di dalamnya. Hukum-hukum alam mengontrol alam semesta, tidak hanya pada bidan fisik, tetapi juga masalah moral, psikologi, sosial, politik, dan ekonomi. Dengan kata lain, kaum realist memandang realitas dalam batas sebagai sesuatu yang digerakkan menurut hukum alam. Dalam hal ini, realisme menjadi dasar atas berbagai filsafat dan pengetahuan modern. Untuk memperjelas pemahaman kita tentang pendirian realitas kaum realis sangat baik menyimak dengan teliti lima pertanyaan yang diajukan oleh Jack Terry berkenaan dengan ontologi kaum realis sebagai berikut:[213]

 

a)      Bagaimana kepercayaan secara umum kaum realist tentang inti akhir yang menjadikan kosmos? Ternyata mereka ada kecenderungan pada pandangan pluralistik dari pada pandangan monistik.

b)      Apakah kaum realis percaya tentang kebebasaan dan keharusan dalam tingkah laku manusia? Ternyata kaum realis lebih dekat pada determinisme dalam filosofi tentang metafisika, sekalipun mereka menolak determinisme mekanikal.

c)      Apakah konsep kaum realist tentang pikiran? Pertama adalah pandangan yang lebih external daripada pikiran sebagai satu hubungan organisme dan objek dalam ruang waktu dunia. Konsep realist daripada pikiran adalah satu deskripsi pikiran sebagai pengalaman didalam diri  subjek dan tingkah laku. Ketiga adalah pikiran dalam susunan metafisik daripada realist adalah bahwa pikiran dan kesadaran adalah unik sebagai sesuatu yang dibandingkan pada hal-hal fisik.

d)      Seperti apakah bentuk penjelasan kaum realis tentang alam semesta?  Ternyata kaum Realist setuju bahwa alam semesta adalah satu macam kosmos teratur dalam keperluan istillah , kosmos sama dengan pandangan naturalistik.

e)      Apakah kaum realist percaya pada keberadaan (makhluk) kekal? Tentu ada diantara realist yang atheis dan mereka yang mendefinisikan pikiran dalam istilah zat atau proses fisik punya sedikit atau tidak ada tempat bagi Allah.

 

2.      Epistemologi kaum realis. Menurut mereka, pengetahuan diperoleh melalui observasi. Epistemologi realisme adalah pendekatan umum pada dunia dengan metode sensori persepsi. Realisme menuntut manusia untuk tidak memberi penilaian atas segala sesuatu, tetapi membiarkan obyek berbicara tentang keberadaan mereka sendiri. Kebenaran bagi kaum realist adalah sebagai kenyataan hasil observasi. Persepsi indra manusia sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan. Realisme memakai pendekatan induktif untuk meneliti dunia nyata dan menggunakan prinsip-prinsip umum dalam melakukan observasi. Kaum realist mencari dan meneliti bagaimana dunia bekerja dengan mengalaminya. Kebenaran harus sudah dikonfirmasi pada situasi aktual sebagaimana dilakukan oleh para peneliti (observer).

 

3.      Axiologi kaum realis (Nilai-nilai dari alam). Menurut kaum realist, nilai-nilai juga dicapai melalui observasi atas alam itu sendiri. Melalui studi pada susunan alam akan sampai pada pengetahan akan hukum-hukum alam yang memberikan dasar bagi penilaian etika dan estetika. Dasar etika kaum realist dapat dilihat sebagai hukum alam. Alam menurut kaum realist adalah hukum moral. Senada dengan pernyataan ini, Terry mengatakan  bahwa di antara kaum realist terdapat dua dasar teori yang secara umum  berbicara tentang nilai: pertama, Nilai adalah unsur yang tidak dapat didefinisikan dengan mudah yang dialami sebagaimana saat kita mengalaminya. Kedua, Nilai bergantung pada sikap dan seseorang yang mengalaminya. Nilai etika, Kebaikan moral dapat didefinisikan dan segi menguntungkan dan masyarakat sebagai “Kebahagiaan terbesar dan jumlah yang terbesar”. Nilai agama Terry jelaskan sebagai, “Theistic dan melioristic dalam agamanya.” Nilai sosial ditentukan oleh masyarakat tentang apa yang diinginkan dan dorongan riil yang akan membuat orang bertindak pada nilai-nilai itu.[214]

 

 

Realisme dalam Pendidikan

            Pada bagian ini diuraikan aplikasi filsafat dalam pendidikan. Dalam hal ini aplikasi dari pendirian kaum realist berkenaan dengan ontologi, epistemologi, dan axiologi mereka sebagai berikut:

Pelaku Pendidikan

Pelaku pendidikan adalah salah satu komponen pendidikan yang harus dipahami dengan baik, yaitu guru dan murid. Dalam pemahaman realisme maka didapat pemahaman tentang guru dan murid sebagai berikut:

 

1.      Guru. Guru dipandang sebagai pribadi yang mengetahui, seorang peneliti yang mengetahui hukum-hukum alam semesta, maka tugas guru adalah memberikan informasi yang akurat berkenaan dengan realitas kepada para murid dengan cara yang cepat dan efisien. Untuk alasan ini, seorang guru harus menuntun murid untuk mengadakan penelitiannya sendiri.  Terry menyatakan bahwa inisiatif dalam pendidikan terletak pada pribadi guru. Guru yang bertanggung jawab untuk memutuskan pengetahuan apa yang akan dipelajari oleh murid atau peserta didik. Tentang guru ini, Terry mengutip beberapa pendapat:

 

a)      Brubacher yang menyarankan bahwa seorang guru adalah seorang ”authoritarian”.

b)      Komentar Morris: seorang guru realist harus menyajikan materi pelajaran kepada peserta didik dalam tata cara yang sistematis, meggunakan buku teks, dan kuliah.

c)      Kneller: memperingatkan para guru realist untuk tidak dialihkan kepada tren yang sifatnya sementara dari menyelesaikan tugas yang sesungguhnya, yaitu untuk mengimpartasikan pengetahuan substantif kepada dunia nyata.

d)     Brown mengindikasikan bahwa seorang guru realist akan tidak memberi perhatian pada perkembangan pribadi atau perkembangan sifat, tetapi hanya sebagai murid “conditioned” untuk mencari kebenaran objektive dan benda dalam dunia tentang mereka secara bersemangat.  “Dan ia tidak akan ada respek bagi Inspirational value” daripada sejarah, sebab lalu adalah sesuatu juga diketahui secara objektip.[215]

 

Murid

Murid. Bagi kaum realist, murid dipandang sebagai organisme biologis dengan sistim syaraf yang kompleks dan secara inheren berpembawan sosial. Murid dengan pengalaman sensorinya mengetahui susunan alam dari dunia ini dan dapat membuat hubungan (kontak) dengan realitas. Murid adalah pribadi yang dapat melihat, merasa. Dan mengecap. Dunia adalah ”sesuatu” dan murid adalah pribadi yang dapat mengetahui dunia ini dengan indranya. Banyak kaum realist yang memandang murid sebagai pribadi yang adalah subyek bagi hukum-hukum alam, sehingga mereka tidak memiliki kehendak bebas. Dengan kata lain mereka menolak eksistensi kehendak bebas (free will). Mereka berbeda pendapat dalam hal bahwa individu ditentukan oleh akibat lingkungan fisik dan sosial dalam struktur genetiknya. Apa yang tampaknya bebas memilih, kenyataannya merupakan suatu ketentuan sebab-akibat. Itu sebabnya, para murid dapat diprogram sebagaimana komputer yang dapat diprogramkan. Terry sependapat dengan Morris bahwa realisme memandang murid sebagai wadah atau tempat untuk informasi sehingga dapat diberi ilmu pengetahuan.[216] Dengan ini, para murid harus di dorong, didisiplin, dan dibentuk sehingga mereka belajar dan memberikan respon yang diinginkan.

 

Kurikulum

Senada dengan pandangan metafisis dan epistemologi kaum realist, kurikulum sekolah-sekolah mereka menekankan pada ”subject matter” dari dunia fisik. Ilmu pengetahuan adalah pusat dari kurikulum mereka.sejak hukum-hukum alam dapat dipahami dengan baik melalui subject matter dari alam. Matematika juga mejadi bagian penting dalam kurikulum sejak matematika sebagai contoh dari form dan order. Matematika dengan tepat, dapat menjelaskan dan sebagai sistem simbol untuk menjelaskan hukum-hukum alam.  Pengertian kaum realist atas alam semesta telah banyak membentuk pengetahuan kita tentang ilmu-ilmu sosial yang menekankan pada statistik dan studi kuantitatif. Kaum realist memandang kurikulum sebagai pengetahuan yang dapat diukur. Terry mengemukakan lima tingkat dari kurikulum yaitu:

 

1.      Murid seharusnya belajar untuk dapat menggunakan instrumen dasar dari pengetahuan, khususnya  dalam bahasanya sendiri. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas dan obyektif, murid harus memiliki beberapa pengetahuan, setidaknya pengetahuan bahasa asing dengan baik. Murid juga harus diajar tentang logika manusia dan matematika dasar.

2.      Selanjutnya, murid harus diperkenalkan dengan metde-metode dalam alam fisika, kimia, dan biologi, serta dasar-dasar fakta yang berhubungan dengan ilmu-ilmu tersebut.

3.      Murid harus mempelajari sejarah dan berbagai ilmu pengetahuan manusia.

4.      Murid seharusnya akrab dengan tokoh-tokoh besar klasik melalui berbagai literartur dan seni.

5.      Akhirnya, ditingkat akhir pada proses pelatihan/pendidikan, murid seharusnya diperkenalkan  dengan filsafat dan persoalan-persoalan dasar yang muncul dari usaha mengintegrasikan antara pengetahuan dan praktek.[217]

 

Metode

Metode instruksional kaum realist sangat erat kaitannya dengan epistemologi mereka. Jika kebenaran harus dicapai dengan sensori persepsi, kemudian pengalaman belajar harus diorganisasikan dengan cara pengalaman indrawi. Kaum realist modern sangat suka mendemonstrasikan pengetahuan, mengadakan studi lapangan, dan menggunakan audio visual dalam proses pembelajaran. Metode mengajar kaum realist meliputi pengajaran akan kenyataan-kenyataan untuk membangun suatu pemahaman akan hukum-hukum alam. Mereka sangat memperhatikan pengalaman penelitian murid berkenaan dengan dasar-dasar hukum alam.

 

Outcome

Outcome. Menurut kaum realist, tujuan pendidikan adalah untuk memperlengkapi peserta didik untuk membangun suatu hubungan antara manusia sebagai individu dan lingkungannya. Seorang murid realist harus dapat memiliki hubungan yang seimbang, toleransi secara mental dan fisik dengan lingkungan disekitarnya.

 

 

 

Filsafat Pendidikan Naturalis  dan Materialisme

 

Materialisme  adalah suatu istilah yang sempit dari dan merupakan bentuk dari naturalisme yang lebih terbatas. Namun demikian aliran ini pada akhirnya lebih populer daripada induknya, naturalism,[218] karena pada akhirnya menjadi ideologi utama pada negara-negara sosialis seperti Uni Soviet (kini Rusia) dan Republik Rakyat Cina (RRC). Materialisme umumnya mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada kecuali materi, atau bahwa nature (alam) dan dunia fisik adalah satu.[219]

Materialisme dapat diberikan definisi sebagai berikut:[220]  pertama: materialisme adalah teori yang mengatakan bahwa atom materi yang berada sendiri dan bergerak merupakan unsur-unsur yang membentuk alam, dan bahwa akal dan kesadaran (consiousness) termasuk di dalamnya. Segala proses fisikal merupakan mode materi tersebut dan dapat disederhanakan menjadi unsur-unsur fisik. Kedua, definisi tersebut mempunyai implikasi yang sama, walaupun condong untuk menyajikan bentuk materialisme yang lebih tradisional. Belakangan, doktrin tersebut dijadikan sebagai “energism” yang mengembalikan segala sesuatu kepada bentuk energi, atau sebagai suatu bentuk dari “positivisme” yang memberi tekanan untuk sains dan mengingkari hal-hal seperti ultimate nature of reality (realitas yang paling tinggi). Inilah yang pada akhirnya mereka ragu-ragu apakah tuhan benar-benar ada atau tidak, yang jelas mereka tidak mampu menjangkaunya. Bahkan sebagian mengingkari sama sekali sehingga menjadi atheis.[221]

Materialisme modern mengatakan bahwa alam (universe) merupakan kesatuan material yang tak terbatas; alam termasuk di dalamnya segala materi dan energi (gerak atau tenaga) selalu ada dan akan tetap ada. Dan bahwa alam (world) adalah realitas yang keras, dapat disentuh, material, objektif, yang dapat diketahui oleh manusia. Materialisme modern mengatakan, materi ada sebelum jiwa (mind), dan dunia material adalah yang pertama. Sedangkan pemikiran tentang dunia ini adalah nomor dua.[222]

 

Filsafat  Pendidikan Naturalisme

Dari perkembangan di atas, maka lahirlah aliran filsafat pendidikan Naturalisme. Ia lahir sebagai reaksi terhadap aliran filsafat pendidikan Aristotalian-Thomistik.[223] Naturalisme lahir pada abad ke 17 dan mengalami perkembangan pada abad ke 18. Naturalisme berkembang dengan cepat di bidang sains. Ia berpandangan bahwa "Learned heavily on the knowledge reported by man's sense". Filsafat pendidikan ini didukung oleh tiga aliran besar yaitu: Realisme, Empirisme dan Rasionalisme. Semua penganut Naturalisme merupakan penganut Realisme, tetapi tidak semua penganut Realisme merupakan penganut Naturalisme. Realisme merupakan anak dari Naturalisme.[224] Oleh sebab itu, banyak ide-ide pemikiran Realisme sejalan dengan Naturalisme. Salah satunya adalah nilai estetis dan etis dapat diperoleh dari alam, karena di alam tersedia kedua hal tersebut.

Dimensi utama dan pertama dari pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme di bidang pendidikan adalah pentingnya pendidikan itu sesuai dengan perkembangan alam. Filsuf yang pertama kali memperhatikan dan memberikan konsidensi terhadap orientasi pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme adalah John Amos Comenius (1592-1670). Sebagai pendeta Protestan sekaligus paedagog, ia berpandangan bahwa manusia itu diciptakan oleh Tuhan dan untuk Tuhan. Manusia diciptakan dan ditempatkan di atas semua makhluk, karena kemampuannya dalam berfikir. Percikan pemikiran Comenius berpengaruh pada teori-teori pendidikannya. Salah satunya adalah peserta didik harus dipersiapkan kepada dan untuk Tuhan. Untuk itu pendidikan yang signifikan dengan pandangannya adalah pendidikan ketuhanan, budi pekerti dan intelek. Pendidikan tidak hanya sekedar untuk menjadikan seseorang mau belajar, melainkan juga untuk menjadikan seseorang lebih arif dan bijaksana.[225]

Dalam pendidikan dan pengajaran, Comenius menggunakan hukum-hukum alam sebagai contoh yang senantiasa tertib dan teratur. Hukum alam memiliki ciri sebagai berikut: pertama, segalanya berkembang dari alam. Kedua, perkembangan alam serba teratur, tidak meloncat-loncat melainkan terjadi secara bertahap. Ketiga, alam, berkembang tidak tergesa-gesa melainkan menunggu waktu yang tepat, sambil mengadakan persiapan. Dalam bukunya yang berjudul  Didagtica Magna (The Great Didactic) ia berkomentar: “If we wish to find a remedy for the defects of nature, it is in nature herself that we must look for it. Since it is certain that art can do nothing unless it imitates nature.”[226]

 Dalam proses pendidikan, seperti pendahulunya Wolfgang Ratke, Comenius juga berpendapat tentang prosedur dalam bidang pendidikan bahwa dari pada membuat kerusakan pada proses alam, lebih baik bersahabat dengan proses alam tersebut. Pendapatnya ini berimplikasi pada pelaksanaan pendidikan dengan keharusan tidak merusak alam dan meniru perkembangan alam. Alam berkembang dengan teratur dan menurut aturan waktu tertentu. Tidak pernah terjadi dalam perkembangan alam, seekor kupu-kupu tiba-tiba dapat terbang tanpa terlebih dahulu mengalami proses perkembangan mulai dari ulat menjadi kepompong dan seterusnya berubah menjadi kupu-kupu. Begitu juga perkembangan alam yang lain, buah apapun di dunia, selalu bermula dari bunga. Tidak pernah terjadi lompatan tiba-tiba sebatang pohon mangga mengeluarkan buah mangga tanpa sebelumnya didahului oleh munculnya bunga mangga. Apabila pendidikan menganut aliran ini, maka setiap proses pendidikan hendaknya mengikuti pola bertahap sesuai dengan perkembangan alam. Artinya proses pendidikan tidak dilakukan secara tergesa-gesa, melainkan dilakukan secara terencana dan bertahap sesuai dengan tahapan perkembangan fisik dan psikis peserta didik.[227]

Perkembangan yang terjadi di alam merupakan cermin bagi manusia bahwa tidak pernah terjadi dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan makhluk yang ada di alam menyimpang dari potensi yang dimilikinya. Semuanya tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi masing-masing. Thomas Armstrong barangkali merupakan pakar pendidikan yang dapat mengelaborasi dengan baik pembelajaran dengan cara bertahap dan sesuai dengan perkembangan alam. Dalam In Their Own Way: Discovering and Encouraging Your Child's Multiple Intelleigences, Asmtrong mengilustrasikan dengan sangat baik bagaimana sebuah sekolah yang ingin dibangun oleh para binatang besar untuk binatang kecil di dalam hutan. Sejak awal para binatang besar bingung menentukan materi ajar terpenting yang akan dipakai di sekolah tersebut, meskipun pada akhirnya disepakati bahwa semua binatang kecil harus mengikuti materi ajar yang diberlakukan, yaitu: berlari, berenang, terbang, memanjat, dan menggali. Semula sekolah tersebut penuh keceriaan dan menyenangkan. Namun pada hari-hari berikutnya persoalan mulai muncul ketika Kelinci yang memiliki potensi alamiah dan jago dalam berlari harus mengikuti materi pelajaran renang. Hampir saja si Kelinci tenggelam. Malu bercampur haru menjadi satu dalam diri Kelinci dan pada akhirnya Kelinci pun minder pada binatang lain, terutama pada ikan. Ia berusaha sedemikian rupa agar bisa berenang, sehingga tidak pernah lagi dapat berlari secepat sebelumnya. Potensi berlari yang merupakan kemampuan alami utamanya terlupakan dan menjadi "loyo" akibat kebanyakan mengikuti les renang.

Problem yang sama dialami juga oleh binatang yang lain, tidak terkecuali oleh burung Elang yang jago terbang. Ketika burung Elang mengikuti materi pelajaran menggali, ia tidak mampu melakukan tugas-tugas yang diberikan oleh binatang besar sebagai gurunya. Elang pun sedih, karena nilai raportnya merah dan harus mengulang materi pelajaran menggali. Pelajaran menggali rupanya menyita waktu Elang, sehingga ia lupa cara terbang yang sebelumnya sangat dikuasai dan menjadi potensin alamnya yang menonjol. Semakin hari sekolah tersebut bukan menjadikan binatang kecil semakin mahir dalam mengembangkan potensi alamiyah dan bakat masing-masing, tetapi justru mengileminir potensi dan bakat beberapa binatang yang mengikuti pembelajaran. Hal ini terjadi karena para binatang kecil dipaksa melakukan hal-hal yang tidak menghargai potensi, sifat dan bakat alami mereka. Pemikiran kritis seperti ini diangkat sedemikian rupa oleh Asmtrong dengan baik agar dalam pendidikan segalanya dapat berkembang sesuai dengan potensi dan bakat masing-masing yang telah diberikan oleh alam.

Dimensi kedua dari filsafat pendidikan Naturalisme yang juga dikemukakan oleh Comenius adalah penekanan bahwa belajar itu merupakan kegiatan melalui Indra. Belajar melalui indra merupakan inti dari metode belajar Naturalistik. Di sini baik Comenius maupun pendahulunya Wolfgang Ratke menekankan pentingnya pengalaman pemahaman tentang sesuatu. Seperti yang disarankan oleh Wolfgang Ratke pada para guru. Guru, kata Ratke pertamakali hendaknya mengenalkan benda kepada anak lebih dahulu, baru setelah itu penjelasan yang diperinci (exposition) tentang benda tersebut. Sedang Comenius menasehatkan kepada para guru bahwa sesuatu itu harus digambarkan dengan simbol secara bersama-sama (Thing and symbol should accompany each other). Dalam mempresentasikan gagasan ini Comenius menulis sebuah buku berjudul Orbis Pictus (Dunia dalam Gambar).

Naturalisme di bidang pendidikan juga dielaborasi oleh kerangka pemikiran John Locke (1632-1704) dalam buku Essay Concerning Human Understanding. Ia mengemukakan bahwa teori dalam jiwa diperoleh dari pengalaman nyata. Dalam formulasi redaksi yang berbeda dengan maksud yang sama John Locke mengatakan bahwa, tidak ada sesuatu dalam jiwa tanpa melalui indra.[228]

Kesimpulan lebih lanjut dari statement Locke adalah jiwa senantiasa kosong dan hanya terisi apabila ada pengalaman. Oleh karena alam merupakan spot power bagi pengisian jiwa, maka proses pendidikan harus mengikuti tata-tertib perkembangan alam. Kalau alam serba teratur, ia menghendaki pengajaran pun harus teratur. Mata pelajaran harus diajarkan secara berurutan (sequence), step by step dan tidak bersamaan, misalnya: membaca dulu sampai bisa, kemudian diikuti dengan pembelajaran menulis, demikian selanjutnya.

Ide-ide Locke tersebut berseberangan dengan pandangan Platonic Notion, yang mengatakan bahwa manusia itu lahir dengan ide (gagasan) pembawaan seperti ide tentang Tuhan, rasa tentang benar dan salah, kemampuan-kemampuan logik tentang prinsip-prinsip kontradiksi yang secara otomatis tanpa melalui belajar. Bagi Locke semua itu harus dipelajari melalui pemahaman. Oleh sebab itu, Locke berkata "baik buruknya anak (peserta didik) tergantung pada pendidikannya". Teori inilah yang kemudian melahirkan konsep Tabularasa atau Blanksheet dalam pendidikan.

Dimensi ketiga dari filsafat pendidikan Naturalisme adalah pentingnya pemberian pemahaman pada akal akan kejadian atau fenomena dan hukum alam melalui observasi. Observasi berarti mengamati secara langsung fenomena yang ada di alam ini secara cermat dan cerdas. Seperti yang dialami Copernicus, bahwa pemahaman kita akan menipu kita, apabila kita berfikir bahwa mataharilah yang mengelilingi bumi, padahal sebenarnya bumilah yang mengelilingi matahari. Pendapat Copernicus di atas sangat berpengaruh pada abad ke 18, sehingga abad ini dikenal dengan sebutan abad rasio (age of reason) atau Rasionalisme. Berkaitan hal ini, maka J. H. Pastolozzi seorang paedagog berkebangsaan Swiss merupakan orang yang pertamakali sukses dalam menempatkan antara teori dan praktek pendidikan menjadi satu kesatuan hukum-hukum potensi manusia. Oleh sebab itu Pastolozzi berkata, pendidikan hendaknya dilaksanakan secara harmonis, yaitu yang meliputi berbagai segi dari hukum-hukum potensi manusia (multy purposes), segi jasmani, kejiwaan, segi sosial, segi susila, dan segi agama. Dengan demikian tujuan pendidikan adalah memimpin anak menjadi orang baik dengan jalan mengembangkan daya-daya pada anak, karena pendidikan pada hakekatnya tidak lain daripada pemberian pertolongan, agar anak dapat menolong dirinya. Dalam bahasanya sendiri ia mengatakan pendiddikan adalah "Pertolongan untuk pertolongan diri" (Hilfe zur Selbsthilte).

Dimensi terakhir dari percikan pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme juga dikembangkan oleh Jean Jacques Rousseau berkebangsaan Prancis yang naturalis mengatakan bahwa pendidikan dapat berasal dari tiga hal, yaitu: alam, manusia dan barang. Bagi Rousseau seorang anak harus hidup dengan prinsip-prinsip alam semesta. Rousseau (1712 - 1778) menghasilkan buku yang sangat monumental berjudul Emile Ou de L'Education. Buku ini terdiri atas lima jilid dan merupakan buku roman pendidikan dengan pemeran utama Emile dan Sophie. Secara bertahap Rousseau menuangkan pikiran-pikirannya tentang pendidikan dalam buku ini. Jilid pertama berisi tentang perawatan jasmani peserta didik (Emile) yang dapat dilakukan sampai umur 7 tahun. Sementara jilid kedua berisi tentang pendidikan jasmani Emile. Jilid ketiga berisi tentang pendidikan intelek, jilid keempat mengupas pendidikan akhlak dan agama serta jilid terakhir atau kelima mengulas tentang pendidikan wanita dan kesusilaan.[229]

 

Tokoh-tokoh Filsafat Pendidikan Naturalism:[230]

Thomas Hobbes (1588-1679)

Jean Jacques Rousseau (1712-1778)

Herbert Spencer (1820-1903)

 

 

Naturalisme dan Pendidikan

Naturalisme dalam filsafat pendidikan mengajarkan bahwa guru paling alamiah dari seorang anak adalah kedua orang tuanya. Oleh karena itu, pendidikan bagi naturalis dimulai jauh hari sebelum anak lahir, yakni sejak kedua orang tuanya memilih jodohnya. Tokoh filsafat pendidikan naturalisme adalah John Dewey, disusul oleh Morgan Cohen yang banyak mengkritik karya-karya Dewey. Baru kemudian muncul tokoh-tokoh seperti Herman Harrell Horne, dan Herbert Spencer yang menulis buku berjudul Education: Intelectual, Moral, and Physical. Herbert menyatakan bahwa sekolah merupakan dasar dalam keberadaan naturalisme, sebab belajar merupakan sesuatu yang natural hal tersebut karena itu fakta bahwa hal itu memerlukan pengajaran juga merupakan sesuatu yang natural juga. Paham naturalisme memandang guru tidak mengajar subjek, melainkan mengajar murid.[231]

Terdapat lima tujuan pendidikan paham naturalisme yang sangat terkenal yang diperkenalkan Herbert Spencer melalui esai-esainya yang terkenal berjudul “Ilmu Pengetahuan Apa yang Paling Berharga?” Kelima tujuan itu adalah: (1) Pemeliharaan diri; (2) Mengamankan kebutuhan hidup; (3) Meningkatkan anak didik; (4) Memelihara hubungan sosial dan politik; dan (5) Menikmati waktu luang.[232]

Spencer juga menjelaskan enam prinsip dalam proses pendidikan beraliran naturalisme. Delapan prinsip tersebut adalah: (1) Pendidikan harus menyesuaikan diri dengan alam; (2) Proses pendidikan harus menyenangkan bagi anak didik; (3) Pendidikan harus berdasarkan spontanitas dari aktivitas anak; (4) Memperbanyak ilmu pengetahuan merupakan bagian penting dalam pendidikan; (5) Pendidikan dimaksudkan untuk membantu perkembangan fisik, sekaligus otak; (6) Praktik mengajar adalah seni menunda; (7) Metode instruksi dalam mendidik menggunakan cara induktif; (8) Hukuman dijatuhkan sebagai konsekuensi alam akibat melakukan kesalahan. Kalaupun dilakukan hukuman, hal itu harus dilakukan secara simpatik.[233]

 

Implikasi Bidang Pendidikan

Implikasi Naturalisme di bidang Pendidikan adalah lahirnya berbagai model pendidikan yang menjadikan alam sebagai tempat dan pusat kegiatan pembelajarannya. Pembelajaran tidak lagi dilakukan di dalam kelas yang dibatasi oleh ruang dan waktu, tetapi lebih fokus pada pemanfaatan alam sebagai tempat dan sumber belajar. Belajar di dan dengan alam yang telah menyediakan beragam fasilitas dan tantangan bagi peserta didik akan sangat menyenangkan. Tinggal kemampuan kita bagaimana "mengeksploitasi" sumber daya alam menjadi media, sumber dan materi pembelajaran yang sangat berguna.

Dalam buku Quantum Learning Bobbi De Porter mengatakan "Dengan mengendalikan lingkungan Anda, Anda melakukan langkah efektif pertama untuk mengendalikan seluruh pengalaman belajar Anda. Bahkan sekiranya saya harus menyebutkan salah satu alasan mengapa program kami berhasil membuat orang belajar lebik baik, saya harus menyebutkan karena kami berusaha menciptakan lingkungan optimal, baik secara fisik maupun emosional”. Berkaitan hal tersebut, maka Bobbi De Porter yang pertama kali mengenalkan model pendidikan Quantum secara terprogram dengan nama “Super Camp”. Ia menjadikan alam sebagai tempat pembelajaran. Peserta didik dengan bebas "mengeksploitasi" apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan di alam. Guru menempatkan dirinya sebagai mitra peserta didik dalam berdiskusi menyelesaikan problem yang ditemukan di alam. “Out put” dari model pendidikan Quantum ini terbukti memiliki keunggulan kompetitif lebih baik dibandingkan “out put” model pendidikan konvensional yang dilakukan di dalam kelas. Melalui “Super Camp” peserta didik lebih leluasa memanifestasikan subyektifitasnya yang sangat jarang ditemukan dalam praktik pendidikan konvensioal dalam kelas di sekolah. Jika di dalam kelas subyektifitas peserta didik tertekan oleh otoritas guru, maka di alam, guru dan peserta didik dapat dengan leluasa menciptakan hubungan yang lebih akrab satu sama lain. Dari hubungan yang akrab ini lebih lanjut terjadi hubungan emosional yang mendalam antara guru dengan peserta didiknya. Dalam kondisi seperti ini, subyektifitas peserta didik dengan sendirinya akan mengalir dalam diskusi dengan guru di mana telah tercipta suasana belajar yang kondusif.[234]

Dengan demikian bahwa menyatunya para siswa dengan alam sebagai tempat belajar dapat memuaskan keingintahuannya (curiousity), sebab mereka secara langsung face to face berhadapan dengan sumber dan materi pembelajaran secara riil. Hal yang sangat jarang terjadi pada pembelajaran di dalam kelas. Di alam mereka akan melihat langsung bagaimana sapi merumput, mereka mendengar kicau burung, mereka juga merasakan sejuknya air, mencium harum bunga, memetik sayur dan buah yang semuanya merupakan pengalaman nyata tidak terlupakan. Mereka belajar dengan nyaman, asyik dan berlangsung dalam suasana menyenangkan, sehingga informasi terekam dengan lebih baik dalam otak para siswa. Melalui proses eksploratoris seperti di atas, para siswa telah melakukan apa yang dikenal dengan istilah global learning (belajar global), sebuah cara belajar yang begitu efektif dan alamiah bagi manusia.



 

 Filsafat Pendidikan Materialisme

Kata materialisme terdiri dari kata “materi” dan “isme”. Materi dapat dipahami sebagai bahan; benda; segala sesuatu yang tampak. Materialisme adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata, dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra. Sementara itu, orang-orang yang hidupnya berorientasi kepada materi disebut sebagai materialis. Orang-orang ini adalah para pengusung paham (ajaran) materialisme atau juga orang yang mementingkan kebendaan semata (harta, uang, dan sebagainya).

 

Tokoh-tokoh dan Karya-karya Materialisme

Ludwig Feuerbach: Filsuf dari Jerman yang Mendukung Materialisme. Filsuf yang pertama kali memperkenalkan paham ini adalah Epikuros. Ia merupakan salah satu filsuf terkemuka pada masa filsafat kuno.  Selain Epikuros, filsuf lain yang juga turut mengembangakan aliran filsafat ini adalah Demokritos dan Lucretius Carus. Pendapat mereka tentang materialisme, dapat kita samakan dengan materialisme yang berkembang di Prancis pada masa pencerahan. Dua karangan karya La Mettrie yang cukup terkenal mewakili paham ini adalah L'homme machine (manusia mesin) dan L'homme plante (manusia tumbuhan).

Dalam waktu yang sama, di tempat lain muncul seorang Baron von Holbach yang mengemukakan suatu materialisme ateisme. Materialisme ateisme serupa dalam bentuk dan substansinya, yang tidak mengakui adanya Tuhan secara mutlak. Jiwa sebetulnya sama dengan fungsi-fungsi otak. Pada Abad 19, muncul filsuf-filsuf materialisme asal Jerman seperti Feuerbach, Moleschott, Buchner, dan Haeckel. Merekalah yang kemudian meneruskan keberadaan materialisme.

 

Ciri-ciri Paham Materialisme

Setidaknya ada beberapa dasar ideologi yang dijadikan dasar keyakinan paham ini sebagai berikut: (1) Segala yang ada (wujud) berasal dari satu sumber yaitu materi (ma’dah). (2) Tidak meyakini adanya alam ghaib. (3) Menjadikan panca indra sebagai satu-satunya alat mencapai ilmu. (4) Memposisikan ilmu sebagai pengganti agama dalam peletakan hukum. (5) Menjadikan kecondongan dan tabiat manusia sebagai akhlak. (6) adalah sebuah paham garis pemikiran, dimana manusia sebagai nara sumber dan juga sebagai resolusi dari tindakan yang sudah ada dengan jalan dialetis.

 

Karakterisik Umum

Karakteristik umum materialisme pada abad delapan belas berdasarkan pada suatu asumsi bahwa realitas dapat dikembangkan pada sifat-sifat yang sedang mengalami perubahan gerak dalam ruang. Asumsi tersebut menunjukkan bahwa:

1.      Semua sains seperti:  biologi, kimia, psikologi, fisika, sosiologi, ekonomi, dan yang lainnya ditinjau dari dasar fenomena materi yang berhubungan secara kausal (sebab akibat).jadi,semua sains merupakan cabang dari sains mekanika;

2.      Apa yang dikatakan “jiwa” (mind) dan segala kegiatannya (berpikir, memahami) adalah merupakan suatu gerakan yang kompleks dari otak,system urat saraf, atau orga-organ jasmani yang lainnya.

3.      Apa yang disebut dengan nilai dan cita-cita,makna dan tujuan hidup, keindahan dan kesenangan, serta kebebasan, hanyalah sekedar nama-nama atau semboyan, simbol subjektif manusia untuk situasi atau hubungan fisik yang berbeda.

 

Ludwig Feuerbach (1804-1872) mencanangkan suatu metafisika materialistis, suatu etika yang humanistis, dan suatu epistemology yang menjungjung tinggi pengenalan inderawi.oleh karena itu, ia ingin mengganti idealisme Hegel (guru Feuerbach) dengan materialisme. Jadi, menurut Feuerbach, yang ada hanyalah materi, tidak mengenal alam spiritual. Kepercayaan kepada Tuhan hanyalah merupakan suatu proyeksi dari kegagalan atau ketidakpuasan manusia untuk mencapai  cita-cita kebahagiaan dalam hidupnya. Dengan kegagalan tersebut manusia memikirkan suatu wujud yang bahagia secara absolut, oleh karena itu, Tuhan hanyalah merupakan hasil khayalan manusia. Tuhan diciptakan oleh manusia sendiri,secara maya,padahal wujudnya tidak ada.

Cabang materialisme yang banyak diperhatikan orang dewasa ini,dijadikan sebagai landasan berpikir adalah “Positivisme”.  Menurut positivism, kalau sesuatu itu memang ada, maka adanya itu adalah jumlahnya.

Zaman positif  adalah zaman dimana orang tahu,bahwa tiada gunanya untuk berusaha mencapai pengetahuan yang mutlak,baik pengenalan teologi maupun pengenalan metafisik. Ia tidak lagi melacak awal dan tujuan akhir dari seluruh alam semesta,atau melacak hakikat yang berada dibelakang segala sesuatu.sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan aturan yang terdapat pada fakta-fakta yang telah dikenal atau yang disajikan kepadanya,yaitu dengan mengamati semua fakta-fakta yang positif yang menampakkan pada pancaindera dan menggunakan akalnya.  Jadi, dikatakan positivisme,karena mereka beranggapan bahwa yang dapat kita pelajari hanyalah yang mendasarkan fakta-fakta, berdasarkan data-data yang nyata, yaitu yang mereka namakan positif.

Berkaitan di atas, maka Thomas Hobbes, sebagai pengikut empirisme materialistis. Ia berpendapat bahwa pengalaman merupakan awal dari segala pengetahuan,juga awal pengetahuan tentang asas-asas yang diperoleh dan dikukuhkan oleh pengalaman. Hanya pengalamanlah yang memberikan kepastian pengetahuan melalui akal hanya memiliki fungsi mekanis semata, sebab pengenalan dengan akal mewujudkan suatu proses penjumlahan dan pengurangan.

 

Materialisme dalam Pendidikan

Materialisme pada dasarnya tidak menyusun konsep pendidikan secara eksplisit. Bahkan menurut Henderson (1959), materialism belum pernah menjadi penting dalam menentukan sumber teori pendidikan.  Berkaitan hal ini, maka  Waini Rasyidin (1992), filsafat positivisme sebagai cabang dari materialisme lebih cenderung menganalisis hubungan factor-faktor  yang mempengaruhi upaya dan hasil pendidikan secara factual. Memlih aliran positivisme berarti menolak filsafat pendidikan dan mengutamakan sains pendidikan.

Menurut Behaviorisme, apa yang disebut dengan kegiatan mental kenyataannya tergantung pada kegiatan fisik, yang merupakan berbagai kombinasi dan materi dalam gerak. Gerakan fisik yang terjadi dalam otak, kita sebut berpikir, dihasilkan oleh peristiwa lain dalam dunia materi, baik materi yang berada dalam tubuh manusia maupun materi yang berada diluar tubuh manusia. Behaviorisme yang berakar pada positivisme dan materialisme telah populer dalam menyusun teori pendidikan, terutama dalam teori belajar, yaitu apa yang disebut dengan “conditioning theory”, yang dikembangkan oleh E.L. Thomdike dan B.F. Skinmer.

Menurut behavorisme, perilaku manusia adalah hasil pembentukan melalui kondisi lingkungan (seperti contoh anak dan kucing di atas). Yang dimaksud dengan perilaku adalah hal-hal yang berubah dapat diamati,dan dapat diukur (materialisme dan positivisme).

Power (1982) mengemukakan beberapa implikasi pendidikan positivisme behaviorisme yang bersumber pada filsafat materialisme, sebagai berikut:

 

1.      Tema: Manusia yang baik dan efisien dihasilkan dengan proses pendidikan terkontrol secara ilmiah dan seksama.

2.      Tujuan pendidikan:  Perubahan perilaku mempersiapkan manusia sesuai dengan kapasitasnya untuk tanggung jawab hidup sosial dan pribadi yang kompleks.

3.      Kurikulum: Isi pendidikan mencakup pengetahuan yang dapat dipercaya (handal), dan diorganisasi,selalu berhubungan dengan sasaran perilaku.

4.      Metode:  Semua pelajaran dihasilkan dengan kondisionisasi  (SR conditioning. operant conditioning, reinforcement, pelajaran berprogram dan kompetensi.

5.      Kedudukan siswa:  Tidak ada kebebasan.perilaku ditentukan oleh kekuatan dari luar.pelajaran sudah dirancang.siswa dipersiapkan untuk hidup. Mereka dituntut untuk belajar.

6.      Peranan guru:  Guru memiliki kekuasan untuk merancang dan mengontrol proses pendidikan. Guru dapat mengukur kualitas dan karakter hasil belajar siswa.



 

Filsafat Pendidikan Tradisionalis (Neo-Thomism)

 

            Manusia adalah makhluk berpikir. Dengan kapasitas otaknya, sebuah “supercomputer biologis”, manusia merasa mampu untuk mengetahui segalanya. Dengan otaknya, yang memiliki 200 sel syaraf sehingga mampu menyimpan 100 milyar bit informasi dan berpikir dengan kecepatan 300 mil per jam. Dengan demikian, manusia dapat mengembangkan cara berpikir rasional yang hebat. Karena itu, maka sejak dulu, manusia yang berkembang dengan mengandalkan pikiran rasionalnya selalu mengalami konflik dengan masalah iman. Antara akal dan iman seringkali bertentangan dan berseberangan. Dengan iman, manusia percaya akan Tuhan. Dengan akalnya, manusia tidak ragu untuk menolak adanya Tuhan. Pertentangan akal dan iman terjadi dari masa ke masa.

            Dalam kondisi di atas munculnya Thomas Aquinas (1225-1274) merupakan sebuah fenomena. Menurut Thomas, tidak ada pertentangan antara iman dan rasio (filsafat), bahkan keduanya saling berkait satu sama lain.[235] Melalui pemikiran-pemikiran rasional, hal-hal yang bersifat imani – misalnya Tuhan – dapat dipahami. Pemikiran-pemikiran filsafat Thomas Aquinas disebut sebagai Thomisme.

            Bertahun-tahun kemudian, filsuf Jacques Maritain (lahir tanggal 18 November 1882) memunculkan dan mengembangkan kembali Thomisme. Menurutnya, masalah-masalah filsafat (pikiran-pikiran rasional) modern harus dipahami dengan prinsip-prinsip Thomisme yang telah diajarkan oleh Thomas Aquinas di masa silam.[236] Pemikiran Maritain ini disebut Neo-Thomisme.

            Neo-Thomisme  menjadi dasar pengembangan pendidikan modern:  Idealisme, realisme, pragmatisme, existensialisme, dan aliran-aliran filsafat lain dipakai oleh para ahli untuk mengembangkan sistem pendidikan. Demikian juga Thomisme (Neo-Thomisme), bisa dipakai menjadi dasar pengembangan pendidikan modern.

            Pada jaman modern sekarang, ketika rasio menjadi semacam dewa, kehadiran Neo-Thomisme akan menjadi penyeimbang. Dalam konteks Indonesia yang percaya akan Tuhan dan hal-hal rohani, filsafat Neo-Thomisme perlu menjadi pertimbangan untuk pengembangan sistem pendidikannya.  Tetapi  ketika membicarakan Pendidikan Agama Kristen (PAK), perlu dikaji lebih lanjut sejauh mana filsafat Neo-Thomisme ini dapat diterapkan. Pengembangan PAK bukan hanya mempertimbangkan masalah keseimbangan akal dan iman, tetapi  juga masalah Alkitab. Sejauh mana Neo-Thomisme bersesuaian dengan pandangan Alkitab.

           

Filsafat Neo-Thomisme

            Neo-Thomisme pada dasarnya adalah pengembangan lanjut dari Thomisme. Thomisme sendiri adalah sebutan untuk pemikiran filsafat dari filsuf Thomas Aquinas. Neo-Thomisme dikembangkan oleh filsuf bernama Jacques Maritain.

 

Thomas Aquinas (1225-1274)

            Filsuf yang lahir di kota kecil bernama Aquino yang terletak antara Roma dan Napoli ini bertumbuh menjadi rohaniawan dan kemudian cedekiawan. Pada usia 20 tahun, ia bergabung dengan Ordo Santo Dominikus (Ordo Dominikan) dan menjadi imam Katolik dan biarawan. Ia belajar di bawah asuhan Albertus Magnus (Albertus Agung). Kemudian, sejak tahun 1252 sampai akhir hayatnya, Aquinas menjadi pengajar di universitas-universitas di Italia dan Perancis. 

            Thomas Aquinas hidup pada jaman tumbuhnya pemikiran Skolastik dan ketokohannya menjadikan dirinya salah satu pemikir utama Skolastik Barat.[237] Filsafat skolastik adalah pertemuan antara pemikiran Aristoles yang rasional dan iman Kristen.[238] Para filsuf skolastik yang lain adalah: Boethius (480-524), Albertus Magnus atau Albertus Agung (1206-1280), Johanes Fidanza atau Bonaventura (1221-1257), dan Yohanes Duns Scotus (1266-1308).

            Pada dasarnya, skolastik tidak memisahkan antara filsafat dan teologi Kristen, filsafat merupakan bagian integral dari teologia Kristen.[239] Para filsufnya berusaha mempertemukan antara akal dan iman. Pemakaian akal yang rasional justru membawa pemikiran-pemikiran yang imani.

            Selama hidupnya, Thomas Aquinas mengembangkan pemikiran untuk memperdamaikan pertentangan antara iman dan akal.[240] Menurut Gaarder, Thomas Aquinas telah ’mengkristenkan’ Aristoteles dengan cara seperti  St. Agustinus ’mengkristenkan’ Plato pada awal abad pertengahan.[241] Maksudnya, Thomas Aquinas menafsirkan dan menjelaskan pemikiran-pemikiran Aristoteles dengan cara sedemikian rupa sehingga tidak lagi bertentangan dan dianggap mengancam dogmatika Kristen.[242] Filsafat Aristoteles yang serba rasional dimodifikasi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan agama Kristen.

            Menurut klasifikasi Hawasi, pemikiran-pemikiran Thomas Aquinas meliputi beberapa topik di bawah ini:[243]

 

Tujuan Hidup Manusia

Baik Aristoteles maupun Aquinas sama-sama memikirkan masalah ”mencapai hidup yang baik” (euzen). Tujuan hidup menurut keduanya adalah mencapai kebahagiaan. Perbedaannya, Aristoteles berpendapat bahwa kebahagiaan itu adalah capaian yang melulu urusan duniawi. Dan, manusia pada dasarnya tidak bisa mencapainya, hanya mendekatinya saja.

Aquinas memberi masukan baru tentang tujuan kebahagiaan tersebut. Menurut Aquinas, manusia baru akan bahagia ketika ketemu dengan Tuhan setelah mati. Artinya, kebahagiaan itu adalah masalah transenden. Dari pemikiran ini, terlihat bahwa Aquinas berusaha menggiring pemikiran rasional dari Aristoteles ke arah dogmatika Kristen. Ia mencari kesemaan – soal tujuan mencapai kebahagiaan – dan kemudian memberi makna baru sesuai ajaran Kristen.

Prinsip tujuan kebahagiaan transendental versi Aquinas ini mempunyai implimasi pemaknaan baru. Filsafat Aquinas menekankan hal-hal spiritual dan cenderung menomorduakan kebahagiaan duniawi.

 

Kemampuan Akal Manusia

Menurut Thomas Aquinas, manusia adakah mahkluk berakal budi (intellectus) yang mempunyai kemampuan berpikir tak terbatas.[244] Karena itu, manusia bisa memikirkan hal-hal yang tidak rasional yang kalau kemudian menjadi kepercayaan maka disebut sebagai iman. Kaitannya dengan tujuan hidup bahagia, manusia hanya bisa meraihnya dengan akal dan iman sekaligus.

 

Manusia dan Kehendak Bebas

Menurut Franz Magnis Suseno, Thomas Aquinas membedakan dua macam kegiatan manusia sebagai berikut:[245] Pertama, ”kegiatan manusia” (actioneshominis) yang secara alamiah mencakup pula ciri perilaku yang ada pada tumbuhan (vegetatif) dan juga hewan. Tidak mengherankan jika terkadang perilaku manusia bersifat seperti bitanang (biadab). Kedua, ”kegiatan manusiawi” (actiones humanae), yaitu kegiatan yang dilakukan manusia yang berbeda – lebih tinggi kualitasnya –  dibanding mahkluk-mahluk di luar manusia. Itulah yang menjadi ciri manusia sebagai mahluk yang berakal budi dan berbudaya, tidak sekedar hidup dengan naluri saja.

Menurut Aquinas, manusia memiliki kehendak bebas. Untuk melakukan atau tidak melakukan actiones humanae, itu merupakan sebuah pilihan hidup. Perintah moral yang paling dasar menurut Aquinas, seperti ditulis dalam Summa Theologiae, adalah ”Lakukanlah yang baik dan jangan melakukan yang jahat”.[246] Dengan pemikiran itu, Thomas membawa pemikiran akaliah menjadi imaniah.

 

 

 

Hukum Kodrat

Pandangan Thomas Aquinas tentang kodrat adalah sebagai berikut:[247]

1.      Hukum kodrat adalah hukum yang berasal dari Tuhan. Dengan demikian, mematuhi hukum kodrat berarti taat kepada Tuhan.

2.      Hukum kodrat adalah prinsip-prinsip aatau norma-norma moral universal.

3.      Manusia mempunyai kehendak bebas. Ia bebas untuk taat atau tidak mentaati hukum kodrat yang dari Tuhan itu.

4.      Manusia akan hidup dengan baik bila hidup sesuai dengan kodratnya. Jadi manusia sebaiknya taat melakukan hukum kodrat itu.

 

Hati Nurani dan Suara Hati

Thomas Aquinas membedakan antara hati nurani (synteresis) dan suara hati (conscientia).[248] Hati nurani adalah perasaan tentang apa yang bernilai luhur, semacam orientasi dasar yang ada di dalam lubuk hati yang terdalam. Hati nurani ini berasal dari Tuhan dan tidak mungkin keliru.

Prinsipnya, hati nurani merupakan ”pengetahuan intuitif” tentang prinsip-prinsip moral. Selanjutnya, hati nurani (synteresis) akan menjadi suara hati (conscientia) yang mengatakan dalam jiwa kita tentang apa yang harus kita lakukan. Prinsipnya, hati nurani tidak bisa salah, namun suara hati nurani bisa saja salah.

 

Konsep tentang Tuhan

Mengenai Tuhan, Thomas Aquinas melontarkan beberapa pemikiran sebagai berikut: Pertama, Tuhan adalah aktus murni (actus purus), artinya Tuhan itu sempurna adanya.[249] Di dalam diri Tuhan, segala sesuatu telah sampai pada perealisasiannya, antara hakikat (essentia) dan eksistensi (existentia) adalah identik.[250] Hal itu berbeda dengan manusia, di mana eksistensi atau keberadaannya merupakan sesuatu yang ditambahkan pada hakikatnya.

Kedua, Aquinas mengembangkan ”teologia naturalis” yang mengajarkan bahwa manusia dapat mengenal Tuhan dengan pertolongan akal pikirannya sendiri.[251] Artinya, manusia dapat memikirkan tentang Tuhan, membuat konsep tentang Tuhan, memikirkan sifat-sifat Tuhan dan seterusnya. Setelah mengemukakan pertanyaan-pertanyaan filosofis mengenai dirinya sendiri misalnya, manusia kemudian dapat mengembangkan pemikiran tentang Tuhan.

Ketiga, Aquinas memberikan lima bukti dan argumentasi tentang adanya Tuhan adalah:[252]  (1) Argumen Ontologis. Karena semua manusia mempunyai gagasan tentang Tuhan dan prinsip bahwa realitas itu selalu lebih sempurna dari pada ide, maka Tuhan itu pasti ada dan realitas-Nya pasti lebih sempurna daripada apa yang digagas oleh manusia. (2) Argumen Kosmologis. Setiap akibat pasti mempunyai sebab. Dunia (kosmos) adalah akibat, Tuhan adalah penyebab adanya kosmos itu. Tuhan adalah pencipta kosmos. (3) Argumen Teleologis. Segala sesuatu pasti memiliki tujuan, misalnya mata untuk melihat, kaki untuk berjalan. Jadi, pasti ada yang mengkonsep dan mengatur tujuan-tujuan itu, Dialah Tuhan. (4) Argumen Moral. Manusia adalah mahkluk bermoral, bisa membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang benar dan salah. Itu menunjukkan bahwa ada dasar dan sumber moralitas, dan itu adalah Tuhan. (5) Argumen Teologis. Adanya geraj di dunia mengharuskan kita menerima bahwa ada penggerak pertama, yaitu Tuhan.

Keempat, Aquinas merekomendasikan cara berpikir analogis sebagai jalan untuk memahami adanya Tuhan. Aquinas memperlihatkan 3 jalan (tripleex via) untuk memahami Tuhan secara analogis adalah:[253] (1) Via Positiva atau Via Affirmativa. Berdasar ”analogi entis” disimpulkan bahwa ada kesamaan antara manusia dengan Tuhan. Berarti, segala sifat yang baik pada manusia pasti ada pada Tuhan. (2) Via Negativa. Berdasar pemikiran bahwa ada perbedaan antara manusia dengan Tuhan, maka disimpulkan bahwa hal-hal yang buruk pada manusia pasti tidak ada dalam diri Tuhan. (3) Via Eminentiae. Prinsipnya, apa yang baik dalam diri manusia pasti ada dalam diri Tuhan, dan pasti ada lebih baik dalam diri Tuhan yang sempurna.

 

Kosmologi

Mengenai penciptaan alam semesta, Aquinas berpendapat bahwa Tuhan adalah Sang Pencipta. Aquinas mengajarkan prinsip ”creatio ex nihilo”, artinya adalah ”penciptaan dari yang tidak ada menjadi ada”. Jadi, dunia ini (ciptaan) tidak diadakan dari semacam bahan dasar yang sudah tersedia lebih dulu, entah bahan itu adalah Tuhan sendiri maupun bahan lain disamping Tuhan. Kecuali itu, penciptaan adalah perbuatan Tuhan yang terus menerus (creatio continua atau creatio conservatio).[254] Artinya, Tuhan adalah Sang Pencipta untuk selamanya dan Ia senantiasa memelihara segala sesuatu yang diciptakannya.

 

Antropologi

Dalam memandang masalah manusia, Aquinas menyempurnakan pemikiran Aristoteles dan menolak pemikiran Plato. Aquinas menekankan bahwa manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Namun, ia tidak setuju dengan Plato yang mengajarkan bahwa antara jiwa dan tubuh tidak berhubungan dan masing-masing berdiri sendiri-sendiri.

Menurut Aquinas, terdapat nisbah (pertautan) antara jiwa (bentuk) dan tubuh (materi). Hubungan jiwa dan tubuh juga merupakan hubungan antara aktus (perealisasian) dan potensi (bakat). Manusia merupakan satu substansi di mana jiwa menjadi bentuk badan (anima forma corporis).[255]

 

Neo-Thomisme

Pada awal abad 20, pemikiran Thomas Aquinas (Thomisme) dibangkitkan kembali oleh filsuf bernama Jacques Maritain (lahir tahun 1882). Murid dari Henri Bergson ini menjadi penganut Roma Katolik yang taat pada tahun 1906. Ia mengajar di Institut Katolik di Paris (1914-1940). Kemudian, ia menjadi profesor filsafat di Colombia University (1940-1941), menjadi proferos filsafat di Ecole Libre des Hautes Etudes di New York (1945-1948). Akhirnya, setelah mengajar filsafat di Princeton University, Maritain emiritus sejak pada tahun 1953.

Usaha Maritain membangkitkan kembali Thomisme dikenal dengan istilah Neo-Thomisme. Pada dasarnya, ia mengajarkan bahwa semua masalah filsafat modern sekarang (teori-teori sains, filsafat sosial dan politik, dan filsafat seni) ini harus dipahami dengan prinsip-prinsip filsafat Thomas Aquinas.[256]

Dalam menjelaskan pemikiran-pemikirannya, Maritain telah menulis lebih dari 20 buku. Beberapa di antaranya adalah: Art and Scolasticism (1932), Degrees of Knowledge (19938), Art and Poetry (1943), Existence and the Existent (1948), The Range of Reason (1952), On the Philosophy of History (1957), dan The Responsibility of the Artist (1960). 

            Pada awal abad 20, Neo-Thomisme yang disebut juga Neo-Skolastikisme berkembang pesat di kalangan filsuf Katolik.[257] Pada dasarnya, Neo-Thomisme adalah kebangkitan kembali ajaran-ajaran Thomas Aquinas. Pada tanggal 27 Juli 1914, Paus Pius X mendeklarasikan 24 tesis yang berisi pemikiran-pemikiran filsafat Thomas Aquinas. Menurut pakarnya, Neo-Thomisme menjadikan Thomisme sebagai rambu-rambu, namun tidak menjadikannya sebagai batasan.

            Neo-Thomisme pada dasarnya merupakan pengembangan lanjut dari Thomisme (ajaran Thomas Aquinas). Di dalamnya, ajaran-ajaran Aquinas diperluas dan dijadikan lebih komprehensif sehingga menjadi kontemporer dan sesuai dengan tuntutan-tuntutan intelektual masa kini.

            Kalau ajaran Thomas Aquinas di masa silam dirasa terlalu kaku, Neo-Thomisme merupakan modifikasi yang sifatnya lebih fleksibel dan dinamis. Karena itu, di dalam Neo-Thomisme, beberapa pemikiran Aquinas yang dianggap salah dan kurang bermanfaat ditinggalkan.

 

Perbedaan Thomisme dan Neo-Thomisme

 

Thomisme (Ajaran Thomas Aquinas)

Neo-Thomisme

Pemikiran filsafat Thomas Aquinas yang berkembang pada abad 13. Sifatnya luas dan rigid.

Ajaran Thomisme yang diperluas, diperkomprehensif, dibuat kontemporer. Ajaran Thomisme yang salah dan tak bermenfaat dibuang.

Thomas Aquinas

Jacques Maritain, cendekiawan Katolik

Abad 13

Abad 19-20

 

 

Filsafat Neo-Thomisme untuk Pendidikan

            Ketika Neo-Thomisme dipakai sebagai landasan pemikiran bagi pengembangan pendidikan, perspektif filsafat itu akan mewarnai semua unsure-unsur atau komponen-komponen pendidikan. Komponen-komponen itu mencakup adalah:  (1) tujuan pendidikan, (2) pelaku pendidikan, yaitu:  guru dan murid, (3) kurikulum pendidikan,  dan (4) metode pendidikan. 

 

Tujuan Pendidikan

Neo-Thomisme mengacu pada ajaran Thomas Aquinas yang menekankan tujuan hidup yang bukan hanya mengejar kebahagiaan duniawi, tetapi kebahagiaan spiritual yang bersifat transcendental. Pemikiran fillosofis ini sangat bagus sebagai counter atas pola piker dan pola hidup duniawi yang berkembang pada masa kini. Sekarang orientasi hidup yang bersifat kapitalistik, hipokrit, tidak adil, hedonistik, dan materialistik berkembang mewarnai seluruh aspek kehidupan.

 

 

Kapitalisme

Perkembangan pesat industrialisasi pada abad 21 telah mengembangkan filsafat hidup ”positivisme-materislistik” dan gaya hidup ”ekonomi-kapitalistik”.[258] Orientasi hidup manusia melulu untuk mencari kekayaan material sebanyak mungkin dengan jalan apapun, bahkan menghalalkan segala cara. Akibatnya, persaingan ekonomi cenderung mendorong tumbuhnya sistem ekonomi kapitalistik dengan memonopoli barang-barang produksi mulai dari proses produksi sapai mekanisme pasar.

Watak kapitalistik adalah melakukan kegiatan produksi secara monopolistik dengan menguasai pasar untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal itu menumbuhkan sikap ketidakpedulian para orang kecil. Yang miskin semakin miskin dan yang kaya akan semakin kaya. Para kapitalis juga menggunakan cara apapun – tanpa mempertimbangkan aspek-aspek etika – untuk mendulang keuntungan dari konsumen-konsumennya. Itulah sebabnya, acara-acara televisi misalnya, tidak bersifat mendidik. Yang penting, masyarakat senang sehingga para produsen dapat mengeruk keuntungan. Dengan demikian, kapitalisme ini mendorong sebuah kehidupan yang tidak bermoral tinggi, yang penting adalah ”kenikmatan duniawi”. Inilah yang dikejar dan dijual oleh para kapitalis.

 

Kemunafikan Politik

Krisis kehidupan masa kini juga ditandai dengan adanya kemunafikan politik. Politik sekarang meninggalkan nilai substansial politik, yaitu kecerdasan (shrewdness) dalam mengambil kebijakan, dan bergeser menjadi kelicikan (slyness).[259] Perilaku ini juga tidak lepas dari semangat ekonomi kapitalistik yang melanda para pemimpin politik. Mereka memanaatken kedudukan dan kekuasaannya untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya dengan cara memeras rakyat dan melakukan korupsi,

 

Ketidakadilan

Selanjutnya, semangat dan gaya hidup kapitalistik yang memicu kesewenang-wenangan politik, menyebabkan tumbuhnya kehidupan “hukum rimba” (homo homini lupus). Premanisme menyebabkan ketidakdilan di dalam masyarakat.

Ketidakadilan menyebabkan berbagai bentuk pemberontakan. Kelompok yang dirugikan atau ditindas akan melawan dengan cara-cara yang tidak bermoral juga. Itulah sebabnya tumbuh terorisme. Umat Muslim yang merasa ditindas oleh Amerika dan kroni-kroninya, melakukan perlawanan dengan melakukan aksi-aksi teror di seluruh dunia.

 

Hedonisme-Materialisme

Perubahan dari kehidupan masyarakat agraris ke industri menyebabkan pergeseran orientasi dari kehidupan spiritual ke kehidupan materialistik. Dalam kehidupan agraris, sistem-sistem kepercayaan berkembang. Dalam masyarakat industri yang sarat dengan teknolosi, pemikiran rasional mengedepan dan orientasi pada materi menjadi sangat kuat. Akibatnya, masyarakat modern meninggalkan kehidupan beragama.

Bagi masyarakat industri, tujuan hidup bukan lagi “surga” tetapi “dunia”. Surga telah digantikan oleh segala bentuk kenikmatan material dunia ini. Akibatnya, manusia berlomba-lomba mengejar kenikmatan dunia. Makan enak, tidur nyenyak, dan aneka kemewahan materialistik menjadi cita-cita manusia. Akhirnya, manusia menjadi biadab, tidak berbudaya.

 

Pelaku Pendidikan: Pendidik dan Anak Didik

            Penggunaan Neo-Thomisme sebagai landasan filsafat pendidikan mempengaruhi pembentukan pribadi pendidik dan anak didik. Karakteristik pendidik dan anak didik menurut pandangan neo-thomisme sebagai berikut: (1) Bertumbuh seimbang dalam pengembangan akal dan iman. (2) Maksimal dalam pertumbuhan intelektual sehingga bukan hanya memahami hal-hal yang duniawi namun juga rohani. (3) Menjaga etika dengan menghormati hukum-humum moral universal sebagai hukum kodrat yang harus ditaati. (4) Memiliki kepekaan dalam hati nurani dan suara hati sehingga selalu hidup dalam jalan-jalan moral yang baik.

Dengan demikian, Pendidikan yang unggul dan komprehensif akan dapat berfungsi memberikan pencerahan (enlightment) kehidupan dengan membangun multi-kecerdasan pada diri para murid sebagai berikut:[260] (1) Kecerdasan spiritual, yaitu memiliki pengetahuan yang enar mengenai hakikat asal mula, tujuan, dan eksistensi kehidupan sehingga memiliki filsafat hidup spiritual-metafisis. (2) Kecerdasan intelektual, yaitu menguasai sains secara rasional, tajam, kreatif, dan inovatif. (3) Kecerdasan emosional, yaitu memiliki pertumbuhan dalam mentalitas dan karakter yang unggul sebagai mahluk individu dan makhluk sosial yang bertaggung jawab.

 

Kurikulum Pendidikan

            Mengacu pada Neo-Thomisme, bahan-bahan ajar dalam pendidikan perlu mencakup topik-topik sebagai berikut: (1) Sains, baik ilmu pengetahuan alam maupun ilmu pengetahuan sosial. (2) Filsafat, pemikiran-pemikiran filosofis dan pola-pola pikir rasional yang logis. (3) Teologi, pelajaran-pelajaran agama yang dikemas secara ilmiah (akademis). (4) Etika, pengetahuan tentang moral dan nilai-nilai kebudayaan.

Bagi pendidikan sekuler masa kini, pemakaian Neo-Thomisme menolong supaya pendidikan tidak terjerat pada ateisme karena tetap menekankan iman kepada Tuhan. Kecuali itu, Neo-Thomisme juga menjaga pengembangan pendidikan untuk tidak menjadi post-modernistik yang tidak menghargai meta-narasi. Posmodernisme adalah pemikiran tentang pluralisme kebudayaan yang bersifat relativistik.[261] Sedangkan meta-narasi adalah kebenaran-kebenaran universal seperti halnya filsafat dan agama.[262]

 

Metode Pendidikan

            Penggunaan Neo-Thomisme sebagai dasar filsafat mempengaruhi pemilihan metode-metode yang akan dipakai dalam proses belajar-mengajar. Metode-metode yang sesuai adalah sebagai berikut: (1) Metode-metode yang menggunakan kreatifitas akali, misalnya diskusi ilmiah dan penelitian ilmiah. (2) Metode-metode yang memancing kreatifitas, misalnya metode penemuan gagasan baru dan studi kasus.

Sesuai pengajarannya yang mengatakan bahwa hal-hal rohani dapat dipahami melalui pemikiran rasioal, metode-metode ilmiah dapat dipakai untuk menjelaskan hal-hal rohani. Sebagai contoh, untuk menjelaskan sorga atau neraka, dapat dipakai metode-metode dan juga alat-alat peraga yang rasional.

 

 

Neo-Thomisme dan PAK 

            Karya-karya Thomas Aquinas diakui sebagai karya-karya terpenting dari seluruh kesusastraan Kristiani.[263] Semua karyanya dikumpulkan dalam 34 jilid. Karya utamanya adalah Summa Theologiae I-III,  tetapi untuk penerapannya dalam Pendidikan Agama Kristen (PAK), harus ditinjau secara kritis dari sudut pandang Alkitab tanpa mengurangi apresiasi terhadap kontribusinya dalam kesusastraan Kristiani.

 

Konsep PAK

Untuk melihat bagaimana posisi PAK terhadap filsafat (dan juga sains), harus dipahami terlebih dahulu konsep tentang PAK itu sendiri. Werner Graendorf memberi gambaran sebagai berikut:

 

Pendidikan Kristen adalah proses belajar-mengajar yang berdasar Alkitab, dikuatkan [didorong] oleh Roh Kudus, yang membimbing orang percaya dalam setiap tahapan pertumbuhan rohaninya, melalui pengajaran yang kontemporer; yang mengarah pada pemahaman dan pengalaman akan tujuan dan rencana Tuhan di dalam Kristus dalam setiap aspek kehidupan, dan yang memperlengkapi mereka (anak didik) untuk melayani secara efektif; dengan berpusat pada Kristus sebagai Guru Agung dan perintah untuk melakukan pemuridan).[264]

           

Meskipun PAK merupakan proses pendidikan kontemporer, ciri yang membedakan dengan pendidikan sekuler, salah satunya, adalah penggunaan Alkitab sebagai dasar pengetahuan. Alkitab bukan hanya sebagai bahan ajar namun sumber dari segala sumber pengatahuan atau epistemology yang dipegang.

Dengan demikian PAK yang Alkitabiah tidak dibangun di atas dasar filsafat yang merupakan buah pikiran manusia. Namun, dasar PAK adalah Alkitab yang adalah buah pikiran Tuhan. PAK bertolak dari prinsip bahwa Alkitab adalah Firman Tuhan tanpa salah (inerrancy).

 

 Tinjauan Alkitab terhadap Neo-Thomisme

            Merunut dari prinsip di atas, Neo-Thomisme yang merupakan bentuk filsafat, merupakan buah pikiran manusia. Thomisme sendiri merupakan pengembangan pemikiran dari filsafat Aristoteles. Meskipun bukan tidak mungkin Aquinas menerima penerangan (iluminasi) Roh Kudus pada saat melakukan perenungan filsafat, harus dipegang prinsip bahwa Neo-Thomisme bukanlah Firman Tuhan.

            Karena itu, meskipun mengapresiasi pemikiran Neo-Thomisme, para pendidik dalam PAK perlu mengkritisi pemikiran tersebut. Pemikiran-pemikiran Neo-Thomisme yang pararel dengan Alkitab bisa diadopsi. Namun, beberapa hal lain harus ditinjau ulang dan dikoreksi. Sebagai contoh, adalah pemikiran tentang penciptaan dan tentang hakikat mansia.

 

 

 

 

 

Penciptaan Kosmos

Aquinas mengajarkan prinsip ”creatio ex nihilo”, artinya adalah ”penciptaan dari yang tidak ada menjadi ada”. Pandangan ini sangat Injili, waktu Allah menciptakan, Ia tidak memakai sesuatu bahan yang telah ada, sebelum penciptaan tak ada fenomena keberadaan apapun.[265]

            Prinsip penciptaan itu terungkap jelas dalam kitab Kejadian. Kata bara yang dipakai dalam Kejadian 1:1, 21, 27 tidak mengandung pengertian memakai maeri yang telah ada. Kata bara sama dengan asa yang berarti melakukan atau membuat (Kej. 1:25; Kel. 20:11; Neh. 9:6).

            Dengan demikian Neo-Thomisme memberi sumbangsih besar bagi penumbuhan iman tentang Tuhan Sang Pencipta. Ajaran Thomas Aquinas ini perlu dijadikan referensi baik di dalam pendidikan sekuler maupun dalam PAK. Ini merupakan pengakuan filsafat (pikiran rasional) terhadap kebenaran Alkitab-Firman Tuhan.

 

Hakikat Manusia

Padangan Neo-Thomisme tentang manusia perlu dikritisi secara mendalam menurut perspektif Alkitab. Harus diwaspadai bahwa ajaran Thomisme bertolak dari ajaran Aristoteles tentang dikotomi manusia: jiwa dan tubuh. Neo-Thomisme pada dasarnya merupakan pemikiran Katolik. Konsentrasi pada masalah dikotomi (jiwa dan tubuh) ini menyembabkan tumbuhnya pemikiran baru tentang trikotomi (roh-jiwa-tubuh). Menurut Charles Ryrie, pandangan dikotomi (jiwa-tubuh) dan trikotomi (roh-jiwa-tubuh) mempunyai banyak kekurangan, yang tepat adalah pandangan bahwa manusia terdiri dari dua segi (segi materi dan segi rohani).[266]

            Selanjutnya, segi rohani manusia itu sangat kompleks, mancakup unsur-unsur sebagai berikut:[267] (1) Jiwa (nefesy), pusat berbagai pengalaman rohani dan emosi. (2) Roh (ruakh, pneuma), mengacu pada totalitas dari manusia. (3) Hati, wadah kehidupan intelektual, emosi, kemauan. (4) Hati nurani (kesadaran), seperti ”saksi” dalam diri seseorang yang memberitahukan bahwa orang tersebuh harus melakukan apa yang benar dan menghindari yang salah. (5) Pikiran (fronei, neous, sunesis), kemampuan mengenal, menganalisis, menilai, dan juga mengambil keputusan. (6) Kehendak, kemauan, keinginan.

 

Masalah Akal dan Iman

Kontribusi besar Thomas Aquinas adalah usaha untuk mempertmukan antara akal dan iman. Bahwasanya hal-hal yang imani sesungguhnya dapat dipahami secara rasional. Pada tataran tertentu, filsafat seperti itu akan menjaga seseorang untuk tidak menjadi ateis setelah belajar  banyak tentang sains. Namun, pada titik tertentu, itu bisa mereduksi kualitas iman Kristen.

Hal-hal rohani yang imani tidak selamanya selalu dapat diterangkan secara rasional. Usaha merasionalisasikan hal-hal yang hanya bisa dipahami secara iman seringkali justru mereduksi iman Kristen. Sebagai contoh, ada usaha untuk menjelaskan (secara rasional) tentang mujizat. Misalnya, tembok Yeriko runtuh karena teriakan orang-orang Isreal pada waktu itu begitu nyaring (mencapai sekian desibel) sehingga menimbulkan getaran kuat yang akhirnya merobohkan tembok. Penjelasan seperti itu justru mengurangi iman bahwa robohnya tembok saat itu adalah karena mujizat Tuhan. Mujizat Yesus memberi makan pada 5000 orang dengan modal 5 Roti  dan 2 ikan juga pernah dicoba dijelaskan secara ilmiah. Menurut para sosiolog, multiplikasi makanan itu terjadi karena ketika Yesus menunjukkan kepada khalayak tentang keberadaan 5 Roti  dan 2 ikan itu, tumbuhlah jiwa sosial dan kepedulian sosial sehingga banyak orang mengeluarkan bekal makanan masing-masing. Nah, setelah terjadi panggalangan makanan, akhirnya bisa memberi makan untuk 5000 orang. Penjelasan semacam ini justru meniadakan arti pentingnya mujizat. Demikian juga penjelasan tentang mengapa Petrus dapat berjalan di atas air. Kalau itu dijelaskan karena adanya faktor kadar garam tinggi (seperti pada Laut Mati) berarti menihilkan arti mujizat supranatural yang telah terjadi.

Dengan demikian, keselarasan antara akal dan iman tidak selamanya harus dipaksakan. Ada hal-hal rohani yang memang bisa dipahami secara akal budi. Namun ada banyak hal yang hanya bisa diterima dengan iman tanpa harus dikritisi secara rasional.

            Dalam pandangan Alkitabiah, iman itu berbeda dengan akal, seperti terjelaskan melalui tabel sebagai berikut:

 

Perbedaan antara Akal dan Iman

 

Akal

Iman

·         Asal = Pikiran otak manusia

·         Memakai logika dan prosedur ilmiah

·         Analisis empiris-skeptif, membuktikan kebenaran berdasar fakta

·         Spirit: bertanya dan meragukan segala sesuatu

·         Asal = Tuhan, Firman Tuhan (Rm. 10:17)

·         Tidak memerlukan bukti fakta (Rm. 4:18; Ibr. 11:1)

·         Spirit : menerima pewahyuan (Firman, Alkitab) sebagai kebenaran tanpa perbantahan dan keraguan

 

 

 

 

 

Filsafat Pendidikan Pragmatism (Experimentalism)

 

Pragmatisme[268] merupakan sistem filsafat yang dibangun 100 tahun lalu  dipandang sebagai filsafat Amerika asli.  George F. Kneller mengatakan sebagai filsafat pribumi orang-orang Amerika.[269] Sebenarnya bahwa pragmatisme berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami.[270]

 Pragmatisme berasal dari akar kata bahasa Yunani, artinya “work”. Banyak definisi yang muncul, antara lain sebagai berikut: Pragmatisme adalah “a philosophy that encourages us to seek out the processes and do the things that work best to help us achieve desirable ends”.[271] William James mendefinisikan sebagai “the attitude of looking away from first things, principles, categoies, supposed necessities; and of looking towards last things, fruits, consequences, facts”.[272]  Sedangkan Charles S. Pierce mengatakan bahwa pragmatisme merupakan kesatuan kerja antara pikiran, perbuatan, dan intelek. Ia mengatakan: “pikiran itu hanya berguna bagi manusia apabila pikiran itu “bekerja” yaitu memberikan pengalaman (hasil) baginya. Fungsi berpikir tidak lain daripada membiasakan manusia untuk berbuat. Perasaan dan gerak jasmaniah (perbuatan) adalah manifestasi-manifestasi yang khas dari aktivitas manusia, dan kedua hal itu dapat dipisahkan dari kegiatan intelek (berpikir). Jika dipisahkan, perasaan dan perbuatan menjadi abstrak dan menyesatkan manusia.[273]

Berkaitan hal ini, George R. Knight mengatakan bahwa pragmatisme menekankan pada pengetahuan yang empiris, merubah dunia bersama persoalan-persoalannya, dan sifatnya sebagai  “all inclusive reality beyond which their faith in science would not allow them to go”.[274]

Kata kunci untuk menjelaskan pragmatisme adalah “experience” (pengalaman).[275] Pengalaman itu apa yang diperbuat manusia, dilakukan, dan dipikirkan. Dalam hal ini, maka John Dewey mengatakan bahwa pengalaman adalah “body of information and skills we apply intelligently to inquiry”.[276] Tetapi,  George R. Geiger  mengatakan kunci pragmatisme adalah teori pengetahuan dan nilai.[277]

 

Tokoh-tokoh Pragmatism:[278]

Francis Bacon (1561-1626) “a New Way of Thinking”

John Locke (1632-1704) “The Centrality of Experiencee”

Jean-Jacques Rousseau (1712-1778)

Auguste Comte (1798-1857) “Science and Society”

Charles Darwin (1809-1882)

Charles Sanders Peirce (1839-1914) “The American Pragmatists”

William James (1842-1910)

John Dewey (1859-1952)

 

 

 

Realitas, Pengetahuan, dan Nilai

Ada beberapa hal yang menjadi puncak pemikiran pragmatisme adalah: realitas, pengetahuan dan nilai. “Realitas” merupakan interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Manusia dan lingkungannya berdampingan, dan memiliki tanggung jawab yang sama terhadap realita.  Dunia akan bermakna sejauh manusia  mempelajari makna yang terkandung di dalamnya. Perubahan merupakan esensi realitas, dan manusia harus siap mengubah cara-cara yang akan dikerjakannya. Manusia pada hakekatnya plastis dan dapat berubah. “Pengetahuan”  merupakan akal manusia aktif dan selalu ingin meneliti, tidak pasif dan tidak begitu saja menerima pandangan tertentu yang belum dibuktikan kebenarannya secara empirirs. Pikiran (rasio) tidak bertentangan dan tidak terpisah dari dunia, melainkan merupakan bagian dari dunia. “Nilai”  itu relative. Keindahan-keindahan moral dan etik tidak tetap, melainkan harus berubah, seperti perubahan kebudayaan dan masyarakat. Pragmatis menyarankan untuk menguji kualias nilai dengan cara yang sama seperti seseorang menguji kebenaran pengetahuan dengan metode empiris.  Nilai moral maupun etis akan terlihat dari perbuatannya, bukan dari segi teorinya. Jadi pendekatan nilai adalah cara empiris berdasarkan pengalaman-pengalaman manusia, khususnya kehidupan sehari-hari.[279]  Berkaitan hal tersebut, maka George Kneller mengatakan ada empat point prinsip pragmatisme sebaga berikut: (1) the reaity of change, (2) the essentially social and biological nature of man, (3) the relativity of values, dan (4) the use of critical intelligence.[280]

Selanjutnya Redja Mudyahardjo menguraikan tentang filsafat pragmatisme mencakup sebagai berikut: pertama, metafisika dengan catatan: (1) Anti metafisika: suatu teori umum tentang kenyataan tidaklah mungkin dan juga tidak perlu. (2) Kenyataan yang sebenarnya adalah kenyataan fisik. (3) Segala sesuatu dalam alam dan kehidupan adalah berubah. Hakikat segala sesuatu adalah perubahan itu sendiri. (4) Hidup adalah sebuah proses pembaharuan diri sendiri yang terus berlangsung dalam interaksinya dengan lingkungan. Kedua, adalah epistemology, mencakup: (a) Pengetahuan adalah relatif, dan terus berkembang. Pengetahuan yang benar diperoleh melalui pengalaman. (b) Karakteristik pengalaman adalah pengalaman pertama-tama merupakan peristiwa pasif-aktif, dan mengukuran nilai suatu pengalaman terletak pada persepsi hubungan-hubungan atau kontinuitas-kontinuitas yang menyebabkan pengalaman tersebut meningkat. (c) Pengetahuan yang benar adalah pengalaman yang berguna kehidupan. Ketiga, adalah aksiologi adalah ukuran tingkah laku perseorangan dan sosial ditentukan secara eksperimental dalam pengalaman-pengalaman hidup. Dengan demikian tidak ada nilai absolute.[281]

 

Kebenaran

Teori Pragmatisme (pragmatism theory) merupakan salah satu dari teori kebenaran.  Pragmatisme  berpendapat bahwa kebenaran tidak bisa bersesuaian dengan kenyataan, sebab seseorang hanya bisa mengetahui dari pengalamannya saja. Pragmatisme berpendirian bahwa mereka tidak mengetahui apapun (agnostik) tentang wujud, esensi, intelektualitas, dan rasionalitas. Oleh karena itu, pragmatisme menentang otoritarianisme, intelektualisme, dan rasionalisme. Penganut pragmatisme merupakan penganut empirisme yang fanatik untuk memberikan interpretasi terhadap pengalaman. Menurut pragmatisme, tidak ada kebenaran yang mutlak dan abadi. Kerbenaran ini dibuat dalam proses penyesuaian manusia.[282]  Schiller, pengikut pragmatisme di Inggris, mengemukakan bahwa kebenaran merupakan suatu bentuk nilai, artinya apabila seseorang menyatakan benar terhadap sesuatu, berarti ia memberikan penilaian terhadapnya. Istilah benar adalah suatu pernyataan yang berguna, sedangkan istilah salah merupakan pernyataan yang tidak berguna.[283] Ernest E. Bayles mengatakan kebenaran adalah “one  of the great concerns of man is to obtain insights that are true”[284] tetapi kebenaran harus diuji melalui interaksi dan melalui pengalaman.

 Teori Pragmatis tentang kebenaran mengatakan bahwa sesuatu itu dianggap benar jika berdasarkan nilai manfaat dari pengetahuan atau kebenaran itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Contoh: orang perlu percaya kepada Yesus karena ada dampak dalam kehidupan. Yesus membuat mampu orang yang percaya menghadapi masalah secara berkemenangan.

 

Pragmatisme tentang Pendidikan

Pragmatisme sangat mempengaruhi pada abad 21 dalam pespektif teori dan praktek. Bahkan juga sangat mempengaruhi dunia pendidikan, secara langsung maupun tidak langsung, melalui perumusan kembali sistem pendidikan, pendidikan masa depan, dan pendidikan kemanusiaan. Contohnya pragmatisme pendidikan mempengaruhi sebagian besar  pendidikan di Amerika dengan gagasan adalah “yang menanggapi kepentingan masyarakat sebagai unsur terpenting dalam pendidikan. Inilah yang dinamakan pendidikan yang community-centered, dimana diusahakan agar peserta didik mempunyai pengertian yang baik-baiknya mengenai alam sekelilingnya dan juga agar pada diri peserta didik terpupuk rasa cinta dan setia pada cita-cita demokrasi sebagaimana dijunjung tinggi dan dipraktekan di negerinya. Dan menjadi ciri khas pendidikan di Amerika yaitu bahwa titik berat pengajaran terletak pada belajar dalam kumpulan (kelompok) dan kerjasama. Yang dipelajari biasanya adalah suatu topik.”[285]

Berkaitan di atas, maka John Dewey (1859-1952), salah pendiri filsafat pragmatisme Amerika (selain  Charles Sandre Peirce;  1839-1914 dan William James; 1842-1910), yang mengembangkan teori pendidikan dalam perspektif pragmatisme. Ia mengatakan bahwa pendidikan adalah konservatif dan “unfolding theory” (teori pemerkahan).[286] 

Konservatif mengatakan bahwa pendidikan adalah sebagai suatu pembentukan terhadap pribadi anak didik tanpa  memperhatikan kekuatan-kekuatan atau potensi-potensi yang ada dalam diri anak didik.  Pendidikan akan menentukan segalanya. Hal itu dikarenakan pendidikan merupakan suatu proses pembentukan jiwa dari luar, di mana mata pelajaran telah ditentukan menurut kemauan pendidik, sehingga anak didik tinggal menerima saja.[287]

 “Unfolding theory” adalah anak akan berkembangn dengan sendirinya, di mana perkembangan anak didik telah memiliki tujuan yang pasti. Tujuan yang dimaksud selalu digambarkan sebagai suatu yang lengkap dan pasti.[288] 

 

 

Proses Pendidikan

Pemahaman-pemahaman pendidikan di atas, bagi pragmatisme, perlu melalui proses pendidikan dengan memperhatikan dua segi, yaitu: psikologi dan sosiologis. Dari segi psikologis, pendidik harus dapat mengetahui tenaga-tenaga atau daya-daya yang ada pada anak didik yang akan dikembangkan. Psikologinya seperti yang berpengaruh di Amerika, yaitu psikologis, pendidik harus mengetahui ke mana tenaga-tenaga itu harus dibimbingnya. Dewey mengatakan bahwa tenaga-tenaga itu harus diabadikan pada kehidupan sosial, jadi mempunyai tujuan sosial. Maka pendidikan adalah sosial dan sekolah adalah suatu lembaga sosial. Pendidikan adalah alat kebudayaan yang paling baik. Dengan pendidikan sebagai alat, manusia dapat menjadi “The Master, not the slaves of social as well as other kinds of natural change”.[289]

 

Kedudukan Pendidikan

Pragmatisme mempunyai model-model kedudukan pendidikan. Dewey melihat bahwa kedudukan pendidikan bisa dilihat dari berbagai model sebagai berikut:[290] Pertama, adalah education as a necessity of life. Pendidikan berorientasi kepada kebutuhan hidup anak didik. Kedua, education as a social fungstion.  Pendidikan menyiapkan anak didik dewasa hidup di tengah sosialnya. Ketiga, adalah  education as direction. Pendidikan mengarahkan pencapaian tujuan anak didik pada kehidupan masa depan yang telah direncanakan. Keempat, education as growth. Pendidikan mengarahkan anak didik menjadi bertumbuh dalam segala hal khusunya dalam aspek psikologis dan sosiologis.  Kelima, adalah education as preparation. Pendidikan membentuk karakter-karakater yang lemah menjadi kuat dan yang kuat menjadi berprestasi. Keenam, adalah  education as unfolding. Pendidikan yang menjadikan anak didik berkembang dengan sendirinya.  Ketujuh, adalah education as training of faculties. Pendidikan yang menyiapkan sumber daya staf. Kedelapan, adalah education as formation. Pendidikan yang membentuk  formasi yang dibutuhkan oleh tujuan pendidikan. Kesembilan, adalah education as recapitulation and retrospection. Pendidikan yang mengarhkan kepada pemikirna-pemikiran reflektif. Kesepuluh, adalah  education as reconstruction. Pendidika yang mengarahkan pembangunan kembali dasar-dasar yang dimaksud oleh tujuan pendidikan. Kesebelas, adalah education as national and as social. Pendidikan yang menyiapkan anak didik siap mandiri di tengah masyarakat atau sosialnya.

 

 Proses Pendidikan Pragmatisme

Proses pendidikan pragmatisme mencakup beberapa hal sebagai berikut: tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, metode pendidikan, pendidik dan anak didik.[291]

 

Tujuan Pendidikan

Dewey dan paragmatist percaya bahwa “education is necessity of life”. Pendidikan bukan mempersiapkan seseorang untuk hidup tetapi ia sendiri adalah hidup.  Hidup anak-anak sebagai anak-anak dan hidup orang dewasa sebagai orang dewasa. Pendidikan membuat anak-anak hidup dalam lingkungannya  dan pendidikan orang dewasa membuat dirinya tertarik dan memotivasi lingkungannya. Tujuan pragmatisme menolong anak atau orang dewasa menguasai motivasi diri yang tinggi dan menaklukan lingkungannya. Dengan demikian bahwa pendidikan dapat menyelesaikan masalah-masalah lingkungan yang muncul menghadangnya. Pendidikan dapat melakukan transmitted dari generasi ke generasi melalui komunikasi lingkungan, aktifitas, pemikiran dan perasaan dari yang tua ke yang muda.[292] Sidney Hook merumuskan tujuan pendidikan adalah pendidikan untuk bertumbuh bersama dalam masyarakat demokrasi.[293]

William Heard mengatakan bahwa tujuan pendidikan: Pertama, adalah mempersiapkan kesempatan untuk hidup. Kedua, adalah mempersiapkan belajar berpengalaman. Ketiga, adalah mempersiapkan pertumbuhan karakter.[294] Sedangkan George R. Geiger  mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah “change in the experience and conduct of persons (chiefly, but not necessarily, young persons) engineered by an organized and conscious group – the oral implications are indeed staggering”.[295]

Dengan demikian bahwa pendidikan itu sangat penting karena elemen tujuan pendidikan ada beberapa point sebagai berikut: pendidikan merupakan kebutuhan untuk hidup, pendidikan sebagai pertumbuhan, dan pendidikan sebagai fungsi sosial. Karena itu, hendaklah tujuan pendidikan memperhatikan: Pertama, adalah ditentukan dari kegiatan yang didasarkan atas kebutuhan instrinsik anak dididk. Kedua, adalah harus mampu memunculkan suatu metode yang dapat mempersatukan aktivitas pengajaran yang sedang berlangsung. Ketiga, adalah spesifik dan langsung di mana pendidikan harus tetap menjaga untuk tidak mengatakan yang berkaitan dengan tujuan umum dan tujuan akhir.[296]

Dari pemikiran di atas dapat ditajamkan bahwa tujuan pendidikan pragmatisme adalah:  pertama, pendidikan adalah hidup, pertumbuhan sepanjang hidup, proses rekonstruksi yang berlangsung terus dari pengalaman yang terakumulasi dari sebuah proses sosial. Kedua, tujuan pendidikan adalah memperoleh pengalaman yang berguna untuk memecahkan masalah-masalah baru dalam kehidupan perorangan dan bermasyarakat. Ketiga, tujuan pendidikan tidak ditentukan dari luar kegiatan pendidikan, tetapi terdapat dalam setiap proses pendidikan. Oleh karena itu, tidak ada tujuan pendidikan umum pendidikan atau tujuan akhir pendidikan.

 

Kurikulum Pendidikan

Kurikulum pragmatisme  menekankan pada pengalaman sosial. Kurikulum bukan berisi mengenai fakta-fakta, ide-ide atau isi pengetahuan, tetapi pengalaman yang berkelanjutan baik dalam kelas maupun di luar kelas.  Kurikulum selalu mengarah pada perubahan dan menjadi jalan pemecahan bagi perbagai persoalan hidup.[297]  Dewey mengatakan bahwa  kurikulum bergantung pada definisinya tentang pendidikan dan pandanganya tentang tujuan pendidikan. Istilah pendidikkan berkenan dengan proses pemberian “impulse” dan tujuannya adalah meningkatkan lembaga-lembaga yang membentuk masyarkat. Isi kurikulum adalah mata pelajaran-mata pelajaran yang memberikan “impulse” kepada anak didik. Isi tersebut meliputi managemen dan pelaksanaan perusahaan dan industri, IPS dan IPA, mata pelajaran liberal dan klasikal humanistik dan kesenian. Semua mata pelajaran diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan.[298]  Dengan demikian maka kurikulum mencakup sebagai berikut: pertama, kurikulum berisi pengalaman-pengalaman yang telah teruji serta minat-minat dan kebutuhan-kebutuhan anak didik. Hal terakhir yang menyebabkan perlunya sekolah membuat kurikulum darurat untuk memenuhi minat dan kebutuhan anak didik. Kedua. pendidikan umum yang menghilangkan pemisah antara pendidikan umum dan pendidikan praktis.

Kurikulum yang bagus adalah type “core curriculum” ialah sejumlah pengalaman belajar di sekitar kebutuhan umum. Oleh karena tidak adanya standar yang universal, maka kurikulum harus terbuka dari kemungkinan untuk dilakukan peninjauan dan penyempurnaan.[299] Karena itu, sifat kurikulum haruslah fleksibilitas. Dengan demikian, maka  kurukulum dapat membuka kemungkinan  bagi pendidikan untuk memperhatikan tiap anak didik dengan sifat-sifat dan kebutuhannya masing-masing. Selain ini semuanya diharapkan dapat sesuai dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Oleh karena sifat kurikulum yang tidak beku dan dapat direvisi ini, maka jenis yang memadai adalah kurikulum yang berpusat pada pengalaman. Jenis ini dilukiskan oleh Theodore Brameld sebagai kurikulum yang melepaskan semua garis penyekat mata pelajaran dan menekankan pada unit-unit.[300]

 

Metode Pendidikan

Metode pendidikan pragmatism adalah berpikir reflektif atau metode pemecahan masalah yang dihadapinya. Metode tersebut mempunyai langkah-langkah sebagai berikut: penyadaran suatu masalah, observasi kondisi-kondisi yang hadir,  perumusan dan elaborasi tetang suatu kesimpulan, dan  pengetesan melalui eksperimen. Berkaitan hal tersebut, Dewey mengatakan bahwa semua pendidikan yang sejati muncul melalui pengalaman. Meskipun begitu, maka tidaklah cukup untuk tetap bertahan pada perlunya pengalaman saja dan tidak juga pada perlunya aktivitas dalam pengalaman, tetapi segala sesuatu tergantung pada kualitas pengalaman yang dimiliki yang bersangkutan. Jadi, urusan pendidikan adalah mengatur jenis pengalaman yang, meski pengalaman itu tidak menarik anak didik, melibatkan aktivitas anak didik yang dirasakan, dan meningkatkan pengalaman pada masa depan yang diinginkan.[301]

 

Pendidik dan Anak Didik

Peranan pendidikan dan anak didik merupakan suatu hal sangat penting dalam proses pendidikan pragmatisme. Kegiatan tersebut sebagai berikut: pertama, adalah pendidik sebagai “research-project director” (the chairman of the board of directors of a learning industry).[302] Pendidik mengawasi dan membimbing pengalaman belajar tanpa terlampau banyak mencampuri urusan minat kebutuhan anak didik.Semua itu dikarenakan pendidik bukan pendidikan yang tradisional melainkan  dia tidak hanya  mengetahui yang anak didik butuhkan untuk masa depannya melainkan ia memberi pengetahuan dasar kepada anak didik  untuk melakukan perubahan.

Kedua, adalah anak didik adalah suatu organisasi yang rumit yang mampu tumbuh. George Knight  mengatakan bahwa  anak didik adalah seseorang yang mempunyai pengalaman secara individu yang mampu menggunakan intelektualnya dalam memecahkan berbagai persoalan.[303] Pengalaman itu diperoleh dalam pembelajaran kurikulum, lingkungan sekolah, merumuskan ide-ide dan merumuskan kebenaran yang diterapkan dalam kehidupannya sehari-hari.  Penerapan pengalaman itulah proses kreatif yang terjadi dalam pembelajaran.[304]

Ketiga, adalah konsep pembelajaran dimulai dari ketertarikan anak didik terhadap sesuatu yang hendak dibelajarkannya. Sifat belajar adalah melakukan perubahan tingkahlaku sesuai dengan tujuan yang sudah ditentukan oleh anak didik. Belajar merupakan proses perubahan untuk mencapai tujuan yang dimaksud atau yang sudah direncanakan oleh anak didik.[305]

 

Pendekatan Pengalaman terhadap Persoalan Pendidikan

 

Pendekatan-pendekatan Pengalaman

Pendekatan-pendekatan  pengalaman dapat menolong berbagai persoalan pendidikan yang sering dihadapinya oleh kelompok-kelompok pluralism, growth, dan the use of intelligence. Pendekatan pengalaman dapat dilakukan dengan beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, adalah meletakan konsep perubahan arti dan akhir dari pendidikan. Pendekatan pengalaman harus dapat melakukan perubahan dengan leluasa, tanpa diberi beban rintangan di dalamnya.

Kedua, adalah demokrasi pendidikan membuat pendidik tidak memandang anak didik adalah mempunyai posisi apa, sehingga pluralisme akan dapat bertumbuh bersama dengan pengalaman-pengalaman yang dimiliki setiap pembelajaran. Karena demokrasi pendidkan mengasumsikan bahwa semua laki-laki maupun semua perempuan adalah anak didik. Ernest E. Bayles mendefinisikan demokrasi adalah:  “equality of opportunity on the part of the members to participate in he establishment of whatever rules and regulations (or law) are deemed needful, and equality of obligation to abide by them until they are abolished or changed.”[306] 

 

Obyek demokrasi perlunya fokus terhadap: belajar berpikir, merefleksikan pemikiran diri sendiri,   merefleksikan pengajaran, dan mencari solusi terhadap berbagai masalah yang dihadapi.

Ketiga, memberi pemahaman arti bahwa pendidikan liberal yang dianut oleh pragmatisme adalah menolong anak didik berpikir bebas (terbuka), bukan berpikir dengan rasa takut karena ketidakcocokan pamahaman dengan pendidiknya atau lingkungannya. Di sini ada toleransi proses belajar-mengajar yang cukup tinggi antara pendidik dengan anak didik sehingga terjadi proses kreatifitas berpikir yang meluas dan tajam.[307]   

 

Kriteria Pengalaman

Dewey menekankan kriteria pengalaman sebagai berikut:[308] pertama, adalah kategori kesinambungan atau rangkaian kesinambungan pengalaman (experinal continuum). Prinsip ini dilibatkan karena ada usaha untuk memisahkan antara pengalaman yang secara edukatif bermanfaat dan yang tidak bermanfaat.  Prinsip ini bersandar pada fakta kebiasaan jika kebiasaan ditafsirkan secara biologis. Ciri dasar kebiasaan adalah setiap pengalaman yang dimainkan dan dialami mengubah orang yang bertindak dan mengalaminya, sedangkan perubahan itu mempengaruhi, entah seseorang inginkan atau tidak, kualitas pengalaman berikutnya. Prinsip ini membentukan sikap yang emosional dan intelektual.

Kedua, adalah  interaksi merupakan prinsip utama untuk menafsirkan pengalaman dalam fungsi dan daya pendidikan. Ia menetapkan hak-hak yang sama kepada kedua faktor dalam pengalaman – kondisi obyektif dan internal.  Pengalaman yang normal apa pun merupakan saling pengaruh dari kedua perangkat kondisi ini. Jika keduanya didekatkan, atau berada dalam interaski, keduanya membentuk apa yang dinamakan “situasi”. Interaksi sedang terjadi antara individu, benda, dan orang lain. Konsepsi tentang situasi dan interaksi tidak terjadi antara individu dan apa yang pada waktu itu merupakan lingkungan, apakah lingkungan itu terdiri atas orang dengan siapa dia sedang membicarakan topik atau kejadian tertentu.

Dua prinsip kontinuitas dan interaksi satu sama lain tidak terpisahkan. Boleh dikatakan bahwa mereka merupakan obyek pengalaman yang bersifat vertikal dan horizontal. Prinsip interaksi menjelaskan bahwa kegagalannya menyesuaikan materi dengan kebutuhan dan kapasitas individu dapat menyebabkan pengalaman menjadi sungguh tidak mendidik sebagaimana gagalnya individu beradaptasi dengan materi. Namun prinsip kontinuitas dalam aplikasi pendidikan mengandung arti bahwa masa depan harus diperhitungkan pada setiap tingkat proses pendidikan.

 

 

 

Filsafat Pendidikan Eksistensialisme

 

Eksistensialisme,  aliran filsafat yang  muncul pada abad XX adalah pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.

Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat Barat. Eksistensialisme mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat kebebasan. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme adalah melulu soal kebebasan. Apakah kebebasan itu? Bagaimanakah manusia yang bebas itu? dan sesuai dengan doktrin utamanya yaitu kebebasan, eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan itu sendiri.

Berkaitan di atas, maka Jean-Paul Sartre, yang terkenal dengan diktumnya "human is condemned to be free" mengatakan bahwa manusia dikutuk untuk bebas, maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Pertanyaan yang paling sering muncul sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah:  sejauh mana kebebasan tersebut bebas?  Apakah eksistensialisme mengenal "kebebasan yang bertanggung jawab"? Bagi eksistensialis, ketika kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari setiap individu adalah kebebasan individu lain.  Tetapi bukan melulu harus menjadi seorang yang lain-daripada-yang-lain,  Eksistensialis sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme. Sebagai contoh: seseorang akan terjun ke berbagai profesi seperti: dokter, desainer, insinyur, pebisnis dan sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah:  apakah kita menjadi dokter atas keinginan orang tua, atau keinginan sendiri.

 

Tokoh-tokoh Existentialism:[309]

Soren Kierkegaard (1813-1855)

Martin Buber (1878-1965)

Martin Heidegger (1889-1976)

Jean-Paul Sartre (1905-1980)

 

Existentialism in Modern Life:

Edmud Husserl (1859-1938)

Maurice Merleau-Ponty (1908-1961)

 

 

Pokok Pemasalahan

  1. Apa filsafat eksistensialisme itu?
  2. Bagaimana ciri-cirinya?
  3. Apa saja konsep-konsep yang ditawarkan filsafat eksistensialisme?
  4. Siapa saja tokoh-tokohnya?
  5. Bagaimana implikasinya terhadap pendidikan?

 

Ciri- ciri Eksistensialisme

Meskipun terdapat perbedaan-perbedan yang besar antara para pengikut aliran ini, tetapi ada  tema-tema yang sama sebagai ciri khas aliran Eksistensialisme sebagai berikut:

 

1.      Eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan masyarakat modern, khususnya terhadap idealisme Hegel.

2.      Eksistensialisme adalah suatu proses atas nama individualis terhadap konsep-konsep, filsafat akademis yang jauh dari kehidupan konkrit.

3.      Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman industri modern dan teknologi, serta gerakan massa.

4.      Eksistensialisme merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fasis, komunis, yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan di dalam kolektif atau massa.

5.      Eksistensialisme menekankan situasi manusia dan prospek (harapan) manusia di dunia.

6.      Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung.

 

 

Konsep-konsep Filsafat Eksistensialisme

Realitas    

Eksistensialisme merupakan filsafat yang memandang segala gejala berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara manusia berada di dunia. Cara berada manusia berbeda dengan cara beradanya benda-benda materi. Keberadaan benda-benda materi berdasarkan ketidaksadaran akan dirinya sendiri, dan juga tidak terdapat komuikasianatara satu dengan yang lainnya. Tidak demikian halnya dengan beradanya manusia. Manusia berada bersama dengan manusia lainnya sama sederajat.. benda-benda materi akan bermakna karena manusia.

Eksistensialisme berasal dari pemikiran Soren Kierkegaard. Inti masalah yang menjadi pemikiran eksistensialisme adalah sekitar adalah: Apa kehidupan manusia? Apa pemecahan yang konkret terhadap persoalan makna “eksis“ (berada)?

Bagi ekistensialisme, benda-benda materi, alam fisik, dunia yang berada di luar manusia tidak akan bermakna atau tidak memiliki tujuan apa-apa kalau terpisah dengan manusia. Jadi dunia ini bermakna karena manusia. Eksistensialisme mengakui bahwa apa yang dihasilkan sains cukup asli, tetapi  tidak memiliki makna kemanusian secara langsung.

Di antara pandangan eksistensialisme  sebagai berikut: (a) Motif pokok dari flsafat eksistensialisme adalah apa yang disebut ‘eksistensi’, yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Pusat perhatian ini ada pada manusia. Oleh karena itu, bersifat humanistis. (b) Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan didinya secara aktif, berbuat, menjadi, dan merencanakan. (c) Manusia dipandang sebagai makhluk terbuka, realitas yang belum selesai, yang masih dalam proses menjadi. Pada hakikatnya manusia teriakat pada dunia sekitarnya, terlebih lagi terhadap sesama manusia. Eksistensialisme memberi tekanan pada pengalaman yang konkrit, pengalaman yang eksistensial.

 

Pengetahuan

Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi, suatu pandanga yang menggambarkan penampakan benda-benda dan peristiwa-peristiwa sebagaimana benda-benda tersebut menampakkan dirinya terhadap kesadaran manusia. Pengetahuan manusia tregantung pada interpretasi manusia terhadap realitas.

Pengetahuan yang diberikan di sekolah bukan sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan atau karir anak, melainkan untuk dapat dijadikan alat untuk merealisasikan diri, bukan merupakan suatu disipilin yang kaku di mana anak harus patuh dan tunduk terhadap isi pelajaran tersebut. Biarkanlah pribadi anak berkembang untuk menemukan kebenaran-kebenaran dalam kebenaran.

 

Nilai

Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai, menekankan kebebasan dalam tindakan. Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan merupakan suatu potensi untuk suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, tetapi  menentukan pilihan-pilihan di antara pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang paling sukar. Berbuat akan menghasilkan akibat, di mana seseorang harus menerima akibat-akibat tersebut sebagai pilihannya. Kebebasan tidak pernah selesai, karena setiap akibat akan melahirkan kebutuhan untuk pilihan berikutnya. Tindakan moral mungkin dilakukan untuk moral itu sendiri, dan mungkin juga untuk suatu tujuan. Apabila seseorang mengambil tujuan kelompok atau masyarakat, maka ia harus menjadikan tujuan-tujuan tersebut:  sebagai miliknya, sebagai tujuannya sendiri, yang harus ia capai dalam setiap situasi. Jadi, tujuan diperoh dalam situasi.

 

 

 

 

 

Pemikiran Ringkas Tokoh Eksistensialisme

Adapun pemikiran ringkas para tokoh aliran filsafat eksistensialisme sebagai berikut:

 

1.      Soren Aabye Kiekeegaard: Inti pemikirannya adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan.

2.      Friedrich Nietzsche: Menurutnya, manusia yang berkesistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.

3.      Karl Jaspers: Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan semua pengetahuan obyektif serta mengatasi pengetahuan obyektif itu, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri. Ada dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.

4.      Martin Heidegger: Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena itu benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.

5.      Jean Paul Sartre: Menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk menentukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri.

 

Eksistensialisme dalam Pendidikan

 

Dalam Konteks Relative

1.      Secara relative,  eksistensialisme tidak begitu dikenal dalam dunia pendidikan, tidak menampakkan pengaruh yang besar pada sekolah. Sebaliknya, penganut eksistensialisme kebingungan dengan apa yang akan mereka temukan melalui pembangunan pendidikan. Mereka menilai bahwa tidak ada yang disebut pendidikan, tetapi bentuk propaganda untuk memikat orang lain.

2.      Mereka menunjukkan bahwa bagaimana pendidikan memunculkan bahaya yang nyata. Sejak penyiapan murid sebagai konsumen atau menjadikan mereka penggerak mesin pada teknologi industri dan birokrasi modern. Malahan sebaliknya pendidikan tidak membantu membentuk kepribadian dan kreativitas, sehingga para eksistensialis mengatakan, sebagian besar sekolah  melemahkan dan mengganggu atribut-atribut esensi kemanusiaan.

3.      Mereka mengkritik kecenderungan masyarakat masa kini dan praktik pendidikan bahwa ada pembatasan realisasi diri karena ada tekanan sosio-ekonomi yang membuat persekolahan hanya menjadi pembelajaran peran tertentu.

4.      Sekolah menentukan peran untuk kesuksesan ekonomi seperti: memperoleh pekerjaan dengan gaji yang tinggi dan menaiki tangga menuju ke kalangan ekonomi kelas atas; sekolah juga menentukan tujuan untuk menjadi warga negara yang baik, juga menentukan apa yang menjadi kesuksesan sosial di masyarakat. Siswa diharapkan untuk belajar peran-peran ini dan berperan dengan baik pula. Dalam keadaan yang demikian, kesempatan bagi pilihan untuk merealisasikan diri secara asli  dan autentik menjadi hilang atau sangat berkurang.

 

Dalam Konteks Filosofis

Secara filosofis, hal tersebut merupakan pemberontakan terhadap cara hidup individu dalam budaya populer. Harapan kaum eksistensialis,  individu menjadi pusat dari upaya pendidikan. Maka, sebagaimana dikatakan oleh Van Cleve Morris bahwa penganut eksestensialis dalam pendidikan lebih fokus untuk membantu secara individual dalam merealisasikan diri secara penuh melalui beberapa pernyataan berikut:

 

1.      Saya sebagai wakil dari kehendak, tidak sanggup menghindar dari kehendak hidup yang telah ada.

2.      Saya sebagai wakil yang bebas, bebas mutlak dalam menentukan tujuan hidup.

3.      Saya wakil yang bertanggung jawab, pribadi yang terukur untuk memilih secara bebas yang tampak pada cara saya menjalani hidup.

 

Dalam Konteks Psikologi

Dalam konteks psikologi pendidikan menekankan keuntungan dari “diri sendiri” (self) sebagai berikut:

 

1.      I am a choosing agent, unable to avoid choosing my way through life.

2.      I am a free agent, absolutely free to set the goals of my own life.

3.      I am a responsible agent, personally accountable for my free choices as they are revealed in how I live my life.[310]

 

Dalam konteks inilah, maka guru menciptakan suasana belajar bukan hanya di kelas saja tetapi juga dibawa ke rumah di mana secara individu murid terus menerus belajar untuk mengembangkan dirinya sendiri (self) di mana ia berada.

 

Dalam Konteks Pendidikan

Beberapa implikasi filsafat pendidikan eksistensialisme menurut Power:

 

1.      Tujuan pendidikan: Memberi bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan.

2.      Status siswa: Makhluk rasional dengan pilihan bebas dan bertanggung jwab atas pilihannya.

3.      Kurikulum: Yang diutamakan adalah kurikulum liberal. Kurikulum liberal merupakan landasan bagi kebebasan manusia. Oleh karena itu di sekolah-sekolah diajarkan pendidiakan sosial, untuk mengajar respek (rasa hormat) terhadap kebebasan untuk semua. Respek kebebasan bagi yang lain adalah esensial. Kebebasan dapat menimbulkan konflik.

4.      Peranan Guru: Melindungi dan memelihara kebebasan akademik, di mana guru pada hari ini, besok lusa mungkin menjadi murid.

5.      Metode: Tidak ada pemikiran yang mendalam tentang metode, tetapi metode apapun yang dipakai harus merujuk pada cara untuk mencapai kebahagiaan.

 

Filsafat Pendidikan Progresivisme

 

Progresivisme yang lahir sekitar abad ke-20 merupakan filsafat yang bermuara pada aliran filsafat pragmatisme yang diperkenalkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859- 1952), yang menitikberatkan pada segi manfaat bagi hidup praktis.

 

Prinsip Progressivisme

Progressivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi masalah yang menekan atau mengecam adanya manusia itu sendiri. Prinsip Progressivisme mengakui dan berusaha mengembangakan asas Progressivisme dalam semua realitas, terutama dalam kehidupan adalah tetap survive terhadap semua tantangan hidup manusia dan harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya. Berhubungan dengan itu progressivisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoriter, baik yang timbul pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang.

Pendidikan yang bercorak otoriter ini dapat diperkirakan mempunyai kesulitan untuk mencapai tujuan, karena kurang menghargai dan memberikan tempat semestinya kepada kemampuan-kemampuan tersebut dalam proses pendidikan. Pada hal semuanya itu ibaratkan motor penggerak manusia dalam usahanya untuk mengalami kemajuan atau progress. Oleh karena itu kemajuan atau progress ini menjadi inti perhatian progressivisme, maka  beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan dipandang oleh progresivisme merupakan bagian-bagian utama dari kebudayaan.

 

1.      Progresivisme dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, kesejahteraan, mengembangkan kepribadian manusia.

2.      Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran tersebut menyadari dan mempraktekkan asas eksperimen yang merupakan untuk menguji kebenaran suatu teori.

3.      Dinamakan environmetalisme karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu mempengaruhi pembinaan kepribadian.

 

Dipengaruhi Filsafat Pragmatisme

Filsafat progressivisme dipengaruhi oleh ide-ide dasar filsafat pragmatisme di mana telah memberikan konsep dasar dengan azas yang utama, yaitu:  manusia dalam hidupnya untuk tetap survive terhadap semua tantangan dan  harus pragmatis memandang sesuatu dari segi manfaatnya. Di sini kita bisa menganggap bahwa filsafat progressivisme merupakan The Liberal Road of Culture (kebebasan mutlak menuju kearah kebudayaan) maksudnya nilai-nilai yang dianut adalah:

 

  1. bersifat fleksibel terhadap perubahan,
  2. toleran
  3. terbuka sehingga menuntut untuk selalu maju bertindak secara konstruktif,
  4. inovatif dan reformatif,
  5. aktif
  6. dinamis

 

Untuk mencapai perubahan tersebut manusia harus memiliki pandangan hidup yang bertumpu pada sifat-sifat: fleksibel, curious (ingin mengetahui dan menyelidiki), toleran dan open minded.

 

Meletakkan Dasar Pendidikan

Filsafat progressivisme telah memberikan kontribusi yang besar di dunia pendidikan, di mana telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada peserta didik. Anak didik diberikan kebebasan secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangakan bakat, kreatifitas dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Berdasarkan pandangan di atas maka sangat jelas sekali bahwa filsafat progressivisme bermaksud menjadikan anak didik yang memiliki kualitas dan terus maju sebagai generasi yang akan menjawab tantangan zaman peradaban baru.

 

 

Pembahasan

Ontologi

Sifat utama dari pragmatisme mengenai realita. John Dewey, dalam bukunya Creative Intelligence, mengatakan:  “….. dengan tepat bahwa tiada teori realita yang umum.” Di antara kaum pragmatis – jadi progresivis – John Dewey mempunyai pandangan yang ekstrim, sebab tokoh-tokoh lain tidaklah demikian. Mereka mengatakan bahwa metafisika itu ada, karena pragmatisme mempunyai konsep tentang eksistensi. Misalnya, dari sudut eksistensi alam bukanlah diartikan sebagai pengertian yang substansial, melainkan diartikan atau dipandang dari sudut prosesnya.

Uraian di atas menunjukkan bahwa ontologi progresivisme mengandung pengertian dan kualitas evolusionistis yang kuat. Pengalaman diartikan sebagai ciri dinamika hidup, dan hidup adalah perjuangan, tindakan dan perbuatan. Manusia akan tetap hidup berkembang, jika ia mampu mengatasi perjuangan, perubahan dan berani bertindak. Dengan demikian, maka jelaslah, bahwa selain kemajuan atau progress, lingkungan dan pengalaman mendapatkan perhatian yang cukup dari progresivisme. Sehubungan dengan ini, menurut progresivisme, ide-ide, teori-teori atau cita-cita tidaklah cukup diakui sebagai hal-hal yang ada, tetapi yang ada ini haruslah dicari artinya bagi suatu kemajuan atau maksud-maksud yang lainnya. di samping itu manusia harus dapat memfungsikan jiwanya untuk membina hidup yang mempunyai banyak persoalan dan yang silih berganti. 

Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti: Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang belum membedakan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri.

 

Epistimologi

Epistemologi (Teori Pengetahuan), dari bahasa Yunani episteme  artinya “pengetahuan”  dan logos (kata; pembicaraan; ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya: tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya,  hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan. Epistomologi atau Teori Pengetahuan berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya dan pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, di antaranya:  metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.

Tinjauan mengenai realita di atas memberikan petunjuk pragmatisme lebih mengutamakan pembahasan mengenai epistemologi daripada metafisika. Misal yang jelas adalah tinjauan mengenai kecerdasan dan pengalaman – yang keduanya tidak dapat dilepaskan satu sama lain – agar dapat dimengerti arti masing-masing itu. 

Pengetahuan yang merupakan hasil dari aktivitas tertentu diperoleh manusia baik secara langsung melalui pengalam dan kontak dengan segala realita dalam lingkungan hidupnya, ataupun pengetahuan yang diperoleh melalui catata-catatan – buku-buku, kepustakaan.

Selanjutnya bahwa untuk mengetahui teori pengetahuan yang dimaksud, perlu kiranya menunjau istilah-istilah dan arti seperti induktif, rasional dan empirik. Induktif merupakan usaha untuk memperoleh pengetahuan dengan mengambil data khusus terlebih dahulu dan diikuti dengan penarikan kesimpulan secara umum. Deduktif adalah sebaliknya, artinya dengan pengetahuan yang diperoleh dengan berlandaskan ketentuan umum yang berupa postulat –postulat dan spekulatif.

Dalam epistemologi, rasional berarti suatu pandangan bahwa akal adalah instrument utama bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan. Empirik adalah sifat pandangan bahwa persepsi indera adalah media yang memberikan jalan bagi manusia untuk memahami lingkungan. Fakta yang masih murni saja – yang belum diolah atau disusun – belum merupakan pengetahuan. Sehingga masih membutuhkan pengorganisasian tertentu dari “bahan-bahan mentah” tersebut. Selanjutnya bahwa pengetahuan harus disesuaikan dan dimodifikasi dengan realita baru di dalam lingkungan. Oleh sebab adanya prisip-prinsip epistemologi tersebut di atas, progresivisme mengadakan pembedaan anatara pengetahuan dan kebenaran. Pengetahuan adalah kumpulan kesan-kesan dan penerangan yang terhimpun dari pengalaman yang siap untuk digunakan. Sedangkan kebenaran ialah hasil tertentu dari usaha untuk mengetahui, memiliki dan mengarahkan beberapa segmen pengetahuan agar dapat menumbuhkan petunjuk atau penyelesaian pada situasi tertentu yang mungkin keadaannya kacau.

Dalam hubungan ini kecerdasan merupakan faktor utama yang mempunyai kedudukan sentral. Kecerdasan adalah faktor yang dapat mempertahankan adanya hubungan anatara manusia dengan lingkungan, baik yang berwujud lingkungan fisik, maupun kebudayaan atau manusia. Sementara kaum realis modern, pragmatis, empirisis logis, atau naturalis mengambil tesis falibilistik bahwa pengetahuan adalah bersifat kontingen dari perubahan serta kebenaran bersifat relatif sesuai dengan kondisinya. Dari sini, epistemologi adalah bidang tugas filsafat yang mencakup identifikasi dan pengujian kriteria pengetahuan dan kebenaran. Pernyataan kategoris yang menyebutkan bahwa “ini kita tahu” atau “ini adalah kebenaran” merupakan pernyataan-pernyataan yang penuh dengan makna bagi para pendidik karena sedikit banyak hal tersebut bertaut dengan tujuan pendidikan yang mencakup pencarian pengetahuan dan perburuan kebenaran.

 

 

Axiologi

Aksiologi berasal dari kata “axios” dan “logos”. Axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, logos artinya akal, teori. Axiology artinya “teori nilai, penyelidikan tentang kodrat, kriteria dan status metafisik dari nilai”. Nilai tidak timbul dengan sendirinya, melainkan ada faktor-faktor yang merupakan pra syarat. Nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa, sehingga memungkinkan adanya relevansi seperti yang ada dalam masyarakat pergaulan. Oleh karena adanya faktor-faktor yang menentukan adanya nilai, maka makna nilai itu tidaklah bersifat eksklusif. Ini berarti berbagai jenis nilai seperti benar atau salah, baik atau buruk dapat dikatakan ada bila menunjukkan adanya kecocokan dengan hasil pengujian yang dialami manusia dalam pergaulan.

Berdasarkan pandangan di atas, progresivisme tidak mengadalkan pembedaan tegas antara nilai instrinsik dan nilai instrumental. Dua jenis nilai ini saling bergantung satu sama lain seperti juga halnya pengetahuna dan kebenaran. Misalnya bila dikatakan bahwa kesehatan itu selalu bernilai baik tidaklah semata-mata suatu ilustrasi tentang nilai instrinsik. Nilai kesehatan akan dihayati oleh manusia dengan lebih nyata bila dihubungkan dengan segi-segi yang bersifat operasional; bahwa kesehatan yang baik akan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat.

Hubungan timbal balik dua sifat nilai instrinsik dan instrumental ini – menyebabkan adanya sifat perkembangan dan perubahan pada nilai. Nilai-nilai yang sudah tersimpan sebagai bagian dari kebudayaan itu ditampilkan sebagai bagian dari pengalaman, sedang individu-individu mampu untuk mengadakan tinjauan dan penentuan mengenai standar sosial tertentu. Karena itu nilai merupakan bagian integral dari pengalaman dan bersifat relative, temporal dan dinamis. Maka sifat perkembangannya berdasarkan pada dua hal; untuk diri sendiri dalam arti kebaikan instrinsik dan untuk lingkungan yang lebih luas dalam arti kebaikan instrumental.

Aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought / should). Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.

Terdapat dua kategori dasar aksiologis adalah: (1) objectivism dan (2) subjectivism. Keduanya beranjak dari pertanyaan yang sama: apakah nilai itu bersifat bergantung atau tidak bergantung pada manusia (dependent upon or independent of mankind)? Dari sini muncul empat pendekatan etika adalah: dua yang pertama beraliran obyektivis dan  dua berikutnya beraliran subyektivis.

 

 

 

 

Filsafat Pendidikan Perenialisme

 

            Filsafat ini didukung oleh Idealism. Perenialisme berpendirian bahwa untuk  mengembalikan keadaan yang kacau seperti sekarang ini, jalan yang harus ditempuh adalah  kembali pada prinsip-prinsip umum yang telah teruji. Menurut prealisme, kenyataan yang kita hadapi adalah dunia dengan segala isinya.

Perenialisme berpandangan bahwa persoalan nilai adalah masalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sesuatu yang dinilai indah haruslah dapat dipandang baik. Menurut Idealisme ini nilai akan menjadi kenyataan (ada) atau disadari oleh setiap orang apabila orang yang bersangkutan berusaha mengetahui atau menyesuaikan diri dengan sesuatu yang menunjukan nilai kepadanya.

Selain orang tersebut mempunyai pengalaman emosional yang berupa pemahaman dan perasaan senang tidak senang mengenai nilai tersebut.

            Beberapa pandangan tokoh Perenialisme terhadap pendidikan  sebagai berikut:

1.      Program pendidikan yang ideal harus didasarkan atas paham adanya nafsu, kemauan dan akal (Plato)

2.      Perkembangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat untuk mencapainya (Aristoteles)

3.      Pendidikan menuntun kemampuan-kemampuan yang masih tidur agar menjadi aktif dan nyata (Thomas Aquinas)

 

Norma fundamental pendidikan adalah cinta kebenaran, cinta kebaikan dan keadilan, kesederhanaan dan sifat terbuka terhadap eksistensi serta cinta kerjasama

 

Tempat Asal Aliran Perenialisme Dikembangkan

Di zaman kehidupan modern ini banyak menimbulkan krisis di berbagai bidang kehidupan manusia, terutama dalam bidang pendidikan. Untuk mengembalikan keadaan krisis ini, maka perenialisme memberikan jalan keluur yaitu:  berupa kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji ketangguhannya. Untuk itulah pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Jelaslah bila dikatakan bahwa pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kepada masa lampau. Karena dengan mengembalikan keapaan masa lampau ini, maka kebudayaan yang dianggap krisis ini dapat teratasi melalui perenialisme. Dengan demikian maka ia dapat mengarahkan pusat perhatiannya pada pendidikan zaman dahulu dengan sekarang. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktek bagi kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang.

Dari pendapat ini sangatlah tepat jika dikatakan bahwa perenialisme mcmandang pendidikan itu sebagai jalan kembali, yaitu: sebagai suatu proses mengembalikan kebudayaan sekarang (zaman modern) in terutama pendidikan zaman sekarang ini perlu dikembalikan ke masa lampau.

Perenialisme merupakan aliran filsafat yang susunannya mempunyai kesatuan, di mana susunannya itu merupakan hasil pikiran yang memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap yang tegas dan lurus. Karena itulah perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat khususnya filsafat pendidikan.  Setelah perenialisme menjadi terdesak karena perkembangan politik industri yang cukup berat timbulah usaha untuk bangkit kembali. Di sini bahwa perenialisme berharap agar manusia kini dapat memahami ide dan cita filsafatnya yang menganggap filsafat sebagai suatu azas yang komprehensif.  Perenialisme dalam makna filsafat sebagai satu pandangan hidup yang bcrdasarkan pada sumber kebudayaan dan hasil-hasilnya.

 

Tokoh-tokoh Perenialisme

Aristoteles: Pendiri Perenialisme adalah Aristoteles. Kemudian ia didukung dan dilanjutkan oleh St. Thomas Aquinas sebagai pemburu dan reformer utama dalam abad ke-13. Ia memandang bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan zaman sekarang. Sikap ini bukanlah nostalgia (rindu akan hal-hal yang sudah lampau semata-mata) tetapi telah berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut berguna bagi abad sekarang. Jadi sikap untuk kembali ke masa lampau itu merupakan konsep bagi perenialisme di mana pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali ke masa lampau dengan berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan itu berguna bagi abad sekarang ini.

Plato: Asas-asas filsafat perenialisme bersumber pada filsafat dan  kebudayaan yang mempunyai dua sayap, yaitu:  (1)  perenialisme yang teologis yang ada dalam pengayoman supermasi gereja Katholik, khususnya menurut ajaran dan interpretasi Thomas Aquinas. (2) Perenialisme sekular yakni yang berpegang kepada ide dan cita filosofis Plato dan Aristoteles.
Pendapat di atas sejalan Aristoteles sebagai mengembangkan philosophia perenis, yang sejauh mana seseorang dapat menelusuri jalan pemikiran manusia itu sendiri. ST. Thomas Aquinas telah mengadakan beberapa perubahan sesuai dengan tuntunan agama Kristen tatkala agama itu datang. Kemudian lahir apa yang dikenal dengan nama Neo-Thomisme. Tatkala Neo-Thomisme masih dalam bentuk awam maupun dalam paham gerejawi sampai ke tingkat kebijaksanaan, maka ia terkenal dengan nama perenialisme.

 

Pandangan-pandangan Thomas Aquinas di atas berpengaruh besar dalam lingkungan gereja Katholik. Demikian pula pandangan-pandangan aksiomatis lain seperti yang diutarakan oleh Plato dan Aristoteles. Lain dari itu juga semuanya mendasari konsep filsafat pendidikan perenialisme.

Neo-Scholastisisme atau Neo-Thomisme ini berusaha untuk menyesuaikan ajaran-ajaran Thomas Aquinas dengan tuntutan abad ke dua puluh. Misalnya mengenai perkembangan ilmu pengetahuan cukup dimengerti dan disadari adanya. Namun semua yang bersendikan empirik dan eksprimentasi hanya dipandang sebagai pengetahuan yang fenomenal, maka metafisika mempunyai kedudukan yang lebih penting. Mengenai manusia di kemukakan bahwa hakikat pengertiannya adalah di tekankan pada sifat spiritualnya. Simbol dari sifat ini terletak pada peranan akal yang karenanya, manusia dapat mengerti dan memaham’i kebenaran-kebenaran yang fenomenal maupun yang bersendikan religi. Jadi aliran perenialisme dipakai untuk program pendidikan yang didasarkan atas pokok-pokok aliran Aristoteles dan S.T Thomas Aquinas. Tokoh-tokoh yang mengembangkan ini timbul dari lingkungan agama Katholik atau diluarnya.


Pandangan Perenialisme

Ilmu pengetahuan merupakan filsafat yang tertinggi menurut perenialisme, karena dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat berpikir secara induktif yang bersifat analisa. Jadi dengan berpikir maka kebenaran itu akan dapat dihasilkan melalui akal pikiran. Menurut epistemologi Thomisme sebagian besarnya berpusat pada pengolahan tenaga logika pada pikiran manusia. Apabila pikiran itu bermula dalam keadaan potensialitas, maka dia dapat dipergunakan untuk menampilkan tenaganya secara penuh.

Jadi epistemologi dari perenialisme, harus memiliki pengetahuan tentang pengertian dari kebenaran yang sesuai dengan realita hakiki. Hal tersebut dibuktikan dengan kebenaran yang ada pada diri sendiri dengan menggunakan tenaga pada logika melalui hukum berpikir metode dedduksi. Pembuktian itu merupakan metode filsafat yang menghasilkan kebenaran hakiki. Tujuan dari epistemologi perenialisme dalam premis mayor dan metode induktifnya sesuai dengan ontologi tentang realita khusus.

 

Penerapannya di Bidang Pendidikan

Anak didik yang diharapkan menurut perenialisme adalah mampu mengenal dan mengembangkan karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karya-karya ini merupakan buah pikiran tokoh-tokoh besar pada masa lampau. Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol dalam bidang-bidang seperti bahasa dan sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika, ilmu pengetahuan alam dan lain-lainnya, telah banyak yang mampu memberikan ilmunisasi zaman yang sudah lampau.
Dengan mengetahui tulisan yang berupa pikiran dari para ahli yang terkenal tersebut, yang sesuai dengan bidangnya maka anak didik akan mempunyai dua keuntungan yakni:

1.      Anak-anak akan mengetahui apa yang terjadi pada masa lamp au yang telah dipikirkan oleh orang-orang besar.

2.      Mereka memikirkan peristiwa-peristiwa penting dan karya­karya tokoi1 terse but untuk diri sendiri dan sebagai bahan pertimbangan (reverensi) zaman sekarang.

Jelaslah bahwa dengan mengetahui dan mengembangkan pemikiran karya-karya buah pikiran para ahli tersebut pada masa lampau, maka: (1) anak-anak didik dapat mengetahui bagaimana pemikiran para ahli terse­but dalam bidangnya masing-masing. (2) dapat mengetahui bagaimana peristiwa pada masa lampau tersebut sehingga dapat berguna bagi diri mereka sendiri. (3)  sebagai bahan pertimbangan pemikiran mereka pada zaman sekarang ini. Hal inilah yang sesuai dengan aliran filsafat pereni­alisme tersebut.

Tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan anak didik ke arah kemasakan. Masak dalam arti hidup akalnya. ladi akal inilah yang perlu mendapat tuntunan ke arah kemasakan tersebut. Sekolah rendah memberikan pendidikan dan pengetahuan serba dasar. Dengan pengetahuan yang tradisional seperti membaca, menulis dan berhitung anak didik memperoleh dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan yang lain.

Sekolah sebagai tempat utama dalam pendidikan yang mempersiapkan anak didik ke arah kemasakan melalui akalnya dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan sebagai tugas utama dalam pendidikan adalah guru-guru, di mana tug as pendidikanlah yang memberikan pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada anak didik. Faktor keberhasilan anak dalam akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajarkan.
Adapun mengenai hakikat pendidikan tinggi ini, Robert Hutchkins mengutarakan lebih lanjut, bahwa kalau pada abad pertengahan filsafat teologis, sekarang seharusnya bersendikan filsafat metafisika. Filsafat ini pada dasarnya adalah cinta intelektual dari Tuhan. Di samping itu, dikatakan pula bahwa karena kedudukan sendi-sendi tersebut penting maka perguruan tinggi tidak seyogyanya bersifat utilistis.

Dari ungkapan yang diutarakan oleh Robert Hutchkins di atas mengenai hakikat pendidikan tinggi itu, jelaslah bahwa pendidikan tinggi sekarang ini hendaklah berdasarkan pada filsafat metafisika yaitu filsafat yang berdasarkan cinta intelektual dari Tuhan. Kemudian Robert Hutchkins mengatakan bahwa oleh karena manusia itu pada hakikatnya sama, maka perlulah dikembangkan pendidikan yang sama bagi semua orang, ini disebut pendidikan umum (general education). Melalui kurikulum yang satu serta proses belajar yang mungkin perlu disesuaikan dengan sifat tiap individu, diharapkan tiap individu itl! terbentuk atas dasar landasan kejiwaan yang sama.

 

Pandangan secara Ontologi

Ontologi perenialisme terdiri dari pengertian-pengertian seperti: benda individuIl, esensi, aksiden dan substansi. Perenialisme membedakan suatu realita dalam aspek-aspek perwujudannya menurut istilah ini. Benda individual di sini adalah benda sebagaimana nampak diha­dapan manusia dan yang ditangkap dengan panca indera seperti:  batu, lembu, rumput, orang dalam bentuk, ukuran, warna dan aktifitas tertentu. Misalnya bila manusia ditinjau dari esensinya adalah makhluk berpikir. Adapun aksiden adalah keadaan-keadaan khusus yang dapat berubah-ubah dan yang sifatnya kurang penting dibandingkan dengan esensial, misalnya: orang suka bermain sepatu roda, atau suka berpakaian bagus, sedangkan substansi adalah kesatuan dari tiap-tiap individu, misalnya: partikular dan uni versal, ma­terial dan spiritual.  Jadi segala yang ada di alam semesta ini seperti: halnya manusia, batu bangunan dasar, hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya mem­pakan hal yang logis dalam karakternya. Setiap sesuatu yang ada, tidak hanya merupakan kambinasi antara zat atau bend a tapi merupakan unsur patensialitas dengan bentuk yang merupakan unsur aktualitas sebagaimana yang diutarakan aleh Aristateles tetapi ia juga merupakan sesuatu yang datang bersama-sama dari sesuatu “apa” yang terkandung dalam inti (essence) dan potensialitas dengan tindakan untuk “berada” yang merupakan unsur aktualitas sebagaimana yang diungkapkan oleh ST. Thomas Aquinas.

Uraian di atas sejalan dengan apa yang dikatakan I.R Poedjawijatna bahwa esensi dari pada kenyataan itu adalah menuju ke arah aktualitas, sehingga makin lama makin jauh dari patensialitasnya. Bila dihubungkan dengan manusia, maka manusia itu setiap waktu adalah patensialitas yang sedang berubah menjadi aktualitas. Misalnya meskipun manusia dalam hidupnya jarang dikuasai oleh sifat eksistensi kemanusiaan, tidak jarang pula dimilikinya akal, perasaan dan kemauan­nya. Schula ini dapat dikurangi. Hal-hal yang bersifat partikular yang merintangi kehidupan dapat diatasi. Maka dengan peningkatan suasana hidup spiritual ini manusia dapat makin mendekatkan diri kepada gerak yang tanpa gerak itu, ialah tujuan dan bentuk terakhir dari segalanya.

Jadi dengan demikian bahwa segala yang ada di alam ini terdiri dari materi dan bentuk atau badan dan jiwa yang disebut dengan substansi, bila dihubungkan dengan manusia maka manusia itu adalah patensialitas yang di dalam hidupnya tidak jarang dikuasai oleh sifat eksistensi keduniaan, tidak jarang pula dimilikinya akal, perasaan dan kemauannya semua ini dapat diatasi. Maka dengan suasana ini manusia dapat bergerak untuk menuju tujuan (teleologis) dalam hal ini untuk mendekatkan diri pada supernatural (Tuhan) yang merupakan pencipta manusia itu sendiri dan merupakan tujuan akhir.


Pandangan Epistemologis

Perenialisme berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan adalah apa yang terlindung pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian antara pikir dengan benda-benda. Benda-benda di sini maksudnya adalah hal-hal yang adanya bersendikan atas prinsip-prinsip keabadian. lni berarti bahwa perhatian mengenai kebenaran adalah perhatian mengenai esensi dari sesuatu. Kepercayaan terhadap kebenaran itu akan terlindung apabila segala sesuatu dapat diketahui dan nyata. Jelaslah bahwa penge­tahuan itu inerupakan hal yang sangat penting karena ia merupakan pengolahan akal pikiran yang konsekuen.

Menurut perenialisme filsafat yang tertinggi adalah ilmu metafisika. Sebab science sebagai ilmu pengetahuan menggunakan metode induktif yang bersifat analisa empiris kebenarannya terbatas, relatif atau kebenaran probability. Tetapi filsafat dengan metode deduktif bersifat anological analysis, kebenaran yang dihasilkannya bersifat self evidence universal, hakiki dan berjalan dengan hukum-hukum berpikir sendiri yang berpangkal pada hukum pertama, bahwa kesimpulannya bersifat mutlak asasi.

 


Pandangan Aksiologi

Perenialisme memandang masalah nilai berdasarkan azas-azas supernatural, yakni menerima universal yang abadi. Dengan azas seperti itu, tidak hanya ontologi dan epistemologi yang didasarkan atas prinsip teologi dan supernatural, melainkan juga aksiologi. Khususnya dalam tingkah laku manusia, maka manusia sebagai subyek telah memiliki potensi-potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya, di samping itu adapula kecenderungan-kecenderungan dan dorongan-dorongan kearah yang tidak baik.

Masalah nilai itu merupakan hal yang utama dalam perenialisme, karena ia berdasarkan pada azas-azas supernatural yaitu:  menerima universal yang abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jadi hakikat manusia itu yang pertama-tama adalah pada jiwanya. Oleh karena itulah hakekat manusia itu juga menentukan hakikat perbuatan-perbuatannya, dan persoalan nilai adalah persoalan spiritual. Dalam aksiologi, prinsip pikiran itu bertahan dan tetap berlaku. Secara etika, tindakan itu ialah yang bersesuaian dengan sifat rasional seorang manusia, karena manusia itu secara alamiah condong kepada kebaikan.

Jadi manusia sebagai subyek dalam bertingkah laku, telah memiliki potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya, di samping adapula kecenderungan-kecenderunngan dan dorongan-dorongan kearah yang tidak baik. Tindakan yang baik adalah yang bersesuaian dengan sifat rasional (pikiran) manusia. Kodrat wujud manusia yang pertama-tama adaJah lercermm dari jlwa dan pikirannya yang disebut dengan kekuatan  potensial yang membimbing tindakan manusia menuju pada Tuhan at au menjauhi Tuhan. Dengan kata lain melakukan kebaikan atau kejahatan di mana kebaikan tertinggi adalah mendekatkan diri kepada Tuhan sesudah tingkatan ini baru kehidupan berpikir rasional.

Dalam bidang pendidikan perenialisme sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokohnya, seperti: Plato, Aristoteles dan Thomas Aquinas. Menurut Plato, manusia secara kodrat memiliki tiga potensi yaitu: nafsu, kemauan dan pikiran. Pendidikan hendaknya berorientasi pada potensi itu dan kepada masyarakat, agar kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat bisa terpenuhi. Dengan demikian jelaslah bahwa perenialisme itu menghendaki agar pendidikan disesuaikan dengan keadaan manusia yang mempunyai nafsu, kemauan dan pikiran sebagaimana yang dimiliki secara kodrat. Dengan memperhatikan hal ini, maka pendidikan yang berorientasi pada potensi dan masyarakat akan dapat terpenuhi.

Ide-ide Plato ini kemudian dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih mendekatkan kepada dunia kenyataan. Bagi Aristoteles tujuan pendidikan adalah “kehahagiaan”. Untuk mencapai pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi dan intelek harus dikembangkan secara seimbang.  Tujuan pendi­dikan yang dikehendaki oleh Thomas Aquinas ialah sebagai usaha mewujudkan kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas, aktif dan nyata. Dalam hal ini peranan guru adalah mengajar dan memberikan bantuan pada anak didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada padanya.

Manusia adalah animal rasionale, maka tujuan pendidikan adalah mengembangkan akal budi supaya anak didik dapat hidup penuh kebijaksanaan demi kebaikan hidup itu sendiri. Oleh karenanya tujuan pendidikan di sekolah perlu sejalan dengan pandangan dasar di atas, mempertinggi kemampuan anak untuk memiliki akal sehat. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pada pendidikan yang hendak dicapai oleh para ahli tersebut di atas adalah untuk mewujudkan agar anak didik dapat hidup bahagia demi kebaikan hidupnya sendiri. Jadi dengan akalnya dikembangkan maka dapat mempertinggi kemam­puan akal pikirannya. Dari prinsip-prinsip pendidikan perenialisme tersebut maka perkembangannya telah mempengaruhi sistem pendidikan modern, seperti pembagian kurikulum untuk sekolah dasar, menengah, perguruan tinggi.

 

 

 

 

Filsafat Pendidikan Esensialisme

 

Esensialisme adalah suatu aliran filsafat yang menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan lama. Mereka beranggapan bahwa kebudayaan lama itu telah banyak memperbuat kebaikan-kebaikan untuk umat manusia. Yang mereka maksud dengan kebudayaan lama itu adalah yang telah ada semenjak peradaban manusia yang pertama-tama dahulu. Akan tetapi yang paling mereka pedomani adalah peradaban semenjak zaman Renaissance, yaitu yang tumbuh dan berkembang di sekitar abad 11, 12, 13 dan ke-14 Masehi. Di dalam zaman Renaissance itu telah berkembang dengan megahnya usaha-usaha untuk menghidupkan kembali ilmu pengetahuan,  kesenian dan kebudayaan purbakala, terutama di zaman Yunani dan Romawi purbakala. Renaissance itu merupaka reaksi terhadap tradisi dan sebagai puncak timbulnya individualisme dalam berpikir dan bertindak dalam semua cabang dari aktivitas manusia. Sumber utama dari kebudayaan itu terletak dalam ajaran para ahli filsafat, ahli-ahli pengetahuan yang telah mewariskan kepada umat manusia segala macam ilmu pengetahuan yang telah mampu menembus lipatan gurun dan waktu yang telah banyak menimbulkan kreasi-kreasi bermanfaat sepanjang sejarah umat manusia.

Lebih dalam lagi bahwa esensialisme modern dalam pendidikan adalah gerakan pendidikan yang memprotes terhadap skeptisisme dan sinisme dari gerakan progrevisme terhadap nilai-nilai yang tertanam dalam warisan budaya atau sosial. Menurut Esensialisme, nilai-nilai kemanusiaan yang terbentuk secara berangsur-angsur dengan melalui kerja keras dan susah payah selama beratus-ratus tahun, dan di dalamnya berakar gagasan-gagasan dan cita-cita yang telah teruji dalam perjalanan waktu. Bagi aliran ini, maka “pendidikan sebagai Pemelihara Kebudayaan”. Karena ini aliran Esensialisme dianggap para ahli “Conservative Road to Culture”, yakni aliran ini ingin kembali kekebudayaan lama, warisan sejarah yang telah membuktikan kebaikan-kebaikannya bagi kehidupan manusia. Esensialisme percaya bahwa pendidikan itu harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Karena itu esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama sehingga memberikan kestabilan dan arah yang jelas.

 

 

 

Progressivisme dan Esensialisme

Esensialisme yang berkembang pada zaman Renaissance mempunyai tinjauan yang berbeda dengan progressivisme mengenai pendidikan dan kebudayaan sebagai berikut:

 

 

Progressivisme

Esensialisme

Pendidikan yang penuh fleksiblitas

Pendidikan yang bertumpuh pada dasar pandangan fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbul pandangan yang berubah-rubah

Serba terbuka untuk perubahan

Mudah goyah dan kurang terarah dan tidak menentu kurang stabil

Tidak ada keterkaitan dengan doktrin

Tidak ada keterkaitan dengan doktrin

Toleransi

Stabil dan teruji oleh waktu dan tahan lama

Nilai-nilai dapat berubah dan berkembang

Nilai-nilai yang memiliki kejelasam dan terseleksi

 

Jika progressivisme menganggap pendidikan yang penuh fleksibelitas, serba terbuka untuk perubahan, tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu, toleran dan nilai-nilai dapat berubah dan berkembang, maka aliran Esensialisme ini memandang bahwa pendidikan yang bertumpu pada dasar pandangan fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, mudah goyah dan kurang terarah dan tidak menentu serta kurang stabil. Karenanya pendidikan haruslah di atas pijakan nilai yang dapat mendatangkan kestabilan dan telah teruji oleh waktu, tahan lama dan nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan terseleksi

Nilai-nilai yang dapat memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif, selama empat abad belakangan ini, dengan perhitungan zaman Renaisans, sebagai pangkal timbulnya pandangan-pandangan Esensialistis awal. Puncak refleksi dari gagasan ini adalah pada pertengahan kedua abad ke sembilan belas.

 

Pembentukan dari Idealisme dan Realisme

Idealisme dan Realisme adalah aliran-aliran filsafat yang membentuk corak Esensialisme. Sumbangan yang diberikan oleh masing-masing ini bersifat eklektik, artinya dua aliran filsafat ini bertemu sebagai pendukung Esensialisme, tetapi tidak lebur menjadi satu. Berarti, tidak melepaskan sifat-sifat utama masing-masing. Sedangkan Realisme modern yang menjadi salah satu eksponen esensialisme, titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik; sedangkan idealisme modern sebagai eksponen yang lain, pandangan-pandangannya bersifat spiritual.

Idealisme modern mempunyai pandangan bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan-gagasan (ide-ide). Di balik duni fenomenal ini ada jiwa yang tidak terbatas yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos. Manusia sebagai makhluk yang berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan. Dengan menguji menyelidiki ide-ide serta gagasan-gagasannya, manusia akan dapat mencapai kebenaran, yang sumbernya adalah Tuhan sendiri.

 

 

 

Tokoh Esensialisme

William C. Bagley (1874-1946)

George  Wilhelm Friedrich Hegel (1770 – 1831)

Thomas Briggs

Frederick Breed

Isac L. Kandell

 

Ajaran Esensialisme

Pandangan Ontologi Esensialisme

  1. Sintesa ide idealisme dan realisme tentang hakikat realita berarti essensialisme mengakui adanya realita obyektif di samping pre-determinasi, supernatural dan transcendal.
  2. Aliran ini dipengaruhi penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern baik Fisika maupun Biologi. Karena itu realita menurut analisa ilmiah dapat dihayati dan diterima oleh Essensialisme. Jadi, Semesta ini merupakan satu kesatuan yang mekanis, menurut hukum alam obyektif (Kausalitas). Manusia adalah bagian alam semesta dan terlihat, tunduk pada hukum alam.
  3. Penafsiran Spiritual atas sejarah. Teori filsafat Heggel yang mensitesakan science dengan religi dalam kosmologi, berarti sebagai interpretasi sepiritual atas sejarah perkembangan realita semesta. Hukum apakah yang mengatur tiap fase perubahan dan tiap peristiwa sejarah, perubahan-perubahan social, dijawab problem itu secara prinsip: “Bahwa sejarah itu adalah pikiran Tuhan – pikiran yang di ekspresikan, dinamika abadi yang merubah dunia, yang mana ia secara sepiritual adalah realitas”.
  4. Faham Makrokosmos dan Mikrokosmos. Makrokosmos adalah keseluruhan alam semesta raya dalam suatu deign dan kesatuan menurut teori kosmologi. Mikrokosmos ialah bagian tunggal, suatu fakta yang terpisah dari keseluruhan itu, baik pada tingkat umum, pribadi manusia, ataupun lembaga.

                                             

Pandangan Epistemologi Essentialisme

       Teori kepribadian manusia sebagai refleksi Tuhan adalah jalan untuk mengerti epistemologi Essentialisme. Sebab, jika manusia mampu menyadari realita dirinya sebagai mikrokosmos dalam makrokosmo, maka manusia pasti mengetahui dalam tingkat atau kualitas apa rasionya mampu memikirkan kesemestaan itu. Dari berdasarkan kualitas itulah dia memproduksi secara tepat pengetahuannya dalam bidang-bidang: Ilmu alam, Biologi, Sosial, Estetika, dan Agama.

 

1.      Kontraversi jasmaniah-rohaniah. Perbedaan Idealisme dengan realisme ialah karena yang pertama menganggap bahwa rohaniah adalah kunci kesadaran tentang realita. Manusia hanya mengetahu melalui ide atau rohaniah. Sebaliknya realis berpendapat bahwa kita hanya mengetahui sesuatu realita di dalam dan melalui jasmani.

2.      Pengetahuan: (a). Idealisme: Kita hanya mengerti rohani kita sendiri. Tetapi pengertian ini memberi kesadaran untuk mengerti realita yang lain (Personalisme);  Menurut Hegel: “Substansi mental tercermin pada hukum logika (Mikrokosmos) dan hukum alam (Makrokosmos). Hukum dialegtika berfikir, berlaku pula hukum perkembangan sejarah dan kebudayaan manusia (Teori Dinamis); Saya sebagai finite being (Makhluk terbatas) mengetahui hukum dan kebenaran universal sebagai realisasi resonasi jiwa saya dengan Tuhan. (Teori Absolutisme). (b)   Realisme: Realisme dalam pengetahuan sangat dipengaruhi oleh Newton dengan ilmu pengetahuan alamnya, cara menafsirkan manusia dalam realisme adalah: Teori Associationisme: Teori ini sangat dipengaruhi oleh filsafat empirisme John Locke, atau ide-ide dan isi jiwa adalah asosiasi unsure-unsur penginderaan dan pengamatan. Penganut teori ini juga menggunakan metode introspeksi yang dipakai oleh kaum idealis (T.H. Green); Teori Behaviorisme: Aliran behaviorisme berkesimpulan bahwa perwujudan kehidupan mental tercermin pada tingkah laku;  Teori Connectionisme: Teori Connectionisme menyatakan semua makhluk hidup, termasuk manusia terbentuk tingkah lakunya oleh pola-pola connections between (Hubungan-hubungan antara) stimulus (S) dan Respone (R).

 

Pandangan Axiologi Essentialisme

       Pandangan ontologi dan epistemologinya amat mempengaruhi pandangan axiology ini. Bagi aliran ini, nilai-nilai, seperti juga kebenaran berakar dalam dan berasal dari sumber objektif. Watak sumber ini dari mana nilai-nilai berasal, tergantung pada pandangan-pandangan idealisme dan realisme, sebab Essentialisme terbina oleh kedua sayap tersebut.

 

Teori Nilai sebagai berikut:

1.      Menurut Idealisme: (a) Idealisme: “Menurut aliran ini bahwa hukum etika adalah kosmos, karena itu seseorang dikatakan baik hanya jika ia secara active berada di dalam dan melaksanakan hukum-hukum itu”. (b) Idealisme Modern: “Idealisme lebih di ungkapkan oleh E. Kant: Bahwa manusia yang baik adalah manusia yang bermoral”. (c) Teori Sosial Idealisme: “Disini E. Kant menekankan akan adanya rasa sosialis, kekluargaan, patriotisme, dan nasionalisme. Yang dimaksud E. Kant adalah adanya kemerdekaan individu agar bisa bersosialisasi dengan manusia lainnya. (d) Teori Estetika: “Bahwa yang disebut nilai adalah suatu keindahan” (E. Kant).

2.      Menurut Realisme: (a) Etika Determinisme: “Semua unsur semesta, termasuk manusia adalah satu kesatuan dalam satu rantai yang tak berakhir dan dalam kesatuan hukum kausalitas. Seseorang tergantung seluruhnya pada sebab-akibat kodrati itu dan yang menentukan keadaannya sekarang, baik ataupun buruk. (b) Teori Sosial: Teori ini lebih menekankan kepada unsure ekonomi, social, politi dan Negara. Free man (Bertrand Russel). Dan lebih menekankan kepada kehidupan sekarang. (c) Teori Estetika: Menurut paham ini bahwa keindahan itu tidak hanya sesuatu yang bagus, namun ada pula yang buruk.

 

Prinsip-prinsip Essensialisme

Prinsip-prinsip Essensialisme adalah:

1.      Esensialisme berakar pada ungkapan realisme objektif dan idealisme objektif yang moderen, yaitu alam semesta diatur oleh hukum alam sehingga tugas manusia memahami hukum alam adalah dalam rangka penyesuaian diri dan pengelolaannya.

2.      Sasaran pendidikan adalah mengenalkan siswa pada karakter alam dan warisan budaya. Pendidikan harus dibangun atas nilai-nilaiyang kukuh, tetap dan stabil.

3.      Nilai (kebenaran bersifat korespondensi ).berhubungan antara gagasan dengan fakta secara objekjtif.

4.      Bersifat konservatif (pelestarian budaya) dengan merefleksikan humanisme klasik yang berkembang pada zaman renaissance.

 

 

 

Ciri-ciri Filsafat Pendidikan Esesensialisme

Ciri-ciri Filsafat Pendidikan Esesensialisme, yang disarikan oleh William C. Bagley adalah sebagai berikut:

1.      Minat-minat yang kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upaya-upaya belajar awal yang memikat atau menarik perhatian bukan karena dorongan dari dalam jiwa.

2.      Pengawasan, pengarahan, dan bimbingan orang yang belum dewasa adalah melekat dalam masa balita yang panjang atau keharusan ketergantungan yang khusus pada spesies manusia.

3.      Oleh karena kemampuan untuk mendisiplinkan diri harus menjadi tujuan pendidikan, maka menegakkan disiplin adalah suatu cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Di kalangan individu maupun bangsa, kebebasan yang sesungguhnya selalu merupakan sesuatu yang dicapai melalui perjuangan, tidak pernah merupakan pemberian.

4.      Esesensialisme menawarkan teori yang kokoh kuat tentang pendidikan, sedangkan sekolah-sekolah pesaingnya (progresivisme) memberikan sebuah teori yang lemah. Apabila terdapat sebuah pertanyaan di masa lampau tentang jenis teori pendidikan yang diperlukan sejumlah kecil masyarakat demokrasi di dunia, maka pertanyaan tersebut tidak ada lagi pada hari ini.

 

Pandangan Essensialisme mengenai Belajar

Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai pribadi individu dengan menitik beratkan pada aku. Menurut idealisme, bila seorang itu belajar pada taraf permulaan adalah memahami akunya sendiri, terus bergerak keluar untuk memahami dunia obyektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Segala pengetahuan yang dicapai oleh manusia melalui indera merperlukan unsur apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu. Bila orang berhadapan dengan benda-benda, tidak berarti bahwa mereka itu sudah mempunyai bentuk, ruang dan ikatan waktu. Bentuk, ruang dan waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman atau pengamatan. Jadi, apriori yang terarah bukanlah budi kepada benda, tetapi benda-benda itu yang terarah kepada budi. Budi membentuk, mengatur dalam ruang dan waktu.

Dengan mengambil landasan pikir tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai jiwa yang berkembang pada sendirinya sebagai substansi spiritual. Jiwa membina dan menciptakan diri sendiri. Pandangan-pandangan realisme mencerminkan adanya dua jenis determinasi mutlak dan determinasi terbatas adalah: (1) Determinisme mutlak, menunjukkan bahwa belajar adalah mengalami hal-hal yang tidak dapat dihalang-halangi adanya, jadi harus ada, yang bersama-sama membentuk dunia ini. Pengenalan ini perlu diikuti oleh penyesuaian supaya dapat tercipta suasana hidup yang harmonis. (2) Determinisme terbatas, memberikan gambaran kurangnya sifat pasif mengenai belajar. Bahwa meskipun pengenalan terhadap hal-hal yang kausatif di dunia ini berarti tidak dimungkinkan adanya penguasaan terhadap mereka, namun kemampuan akan pengawas yang diperlukan.

Pada prinsipnya, proses belajar menurut Essensialisme adalah melatih daya jiwa potensial yang sudah ada dan proses belajar sebagai proses absorbtion (menyerap) apa yang berasal dari luar. Yaitu warisan-warisan sosial yang disusun dalam kurikulum  tradisional, dan guru berfungsi sebagai perantara.

 

Pandangan Essensialisme mengenai Kurikulum

       Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu hendaklah berpangkal pada landasan idiil dan organisasi yang kuat. Kurikulum itu bersendikan alas fundamen tunggal, yaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang serba baik. Atas ketentuan ini kegiatan atau keaktifan anak didik tidak terkekang, asalkan sejalan dengan fundamen-fundamen yang telah ditentukan.

       Menurut Essensialisme: “Kurikulum yang kaya, yang berurutan dan sistematis yang didasarkan pada target yang tidak dapat dikurangi sebagai suatu kesatuan pengetahuan, kecakapan- kacakapan  dan  sikap  yang  berlaku  di  dalam  kebudayaaan  yang  demokratis. Kurikulum dibuat memang sudah didasarkan pada urgensi yang ada di dalam kebudayaan tempat hidup si anak”.

 

Peranan Sekolah menurut Essensialisme

Sekolah berfungsi sebagai pendidik warganegara supaya hidup sesuai dengan  prinsip-prinsip dan lembaga-lembaga sosial yang ada di dalam masyarakatnya serta  membina kembali tipe dan mengoperkan kebudayaan, warisan sosial, dan membina  kemampuan penyesuaian diri individu kepada masyarakatnya dengan menanamkan pengertian tentang fakta-fakta, kecakapan-kecakapan dan ilmu pengetahuan.

 

Penilaian Kebudayaan menurut Essensialisme

Essensialisme sebagai teori pendidikan dan kebudayaan melihat kenyataan  bahwa lembaga-lembaga dan praktik-praktik kebudayaan modern telah gagal dalam banyak hal untuk memenuhi harapan zaman modern. Maka untuk menyelamatkan manusia dan kebudayaannya, harus diusahakan melalui pendidikan.[311]

 

Teori Pendidikan

  1. Tujuan Pendidikan: Tujuan pendidikan adalah menyampaikan warisan budaya dan sejarah melalui suatu inti pengetahuan yang telah terhimpun, yang telah bertahan sepanjang waktu dan dengan demikian adalah berharga untuk diketahui oleh semua orang. Pengetahuan ini diikuti oleh keterampilan. Keterampilan-keterampilan, sikap-sikap, dan nilai-nilai yang tepat, membentuk unsur-unsur yang inti (esensial) dari sebuah pendidikan. Pendidikan bertujuan untuk mencapai standar akademik yang tinggi, pengembangan  intelek atau kecerdasan.
  2. Metode Pendidikan: (1) Pendidikan berpusat pada guru (teacher centered). (2) Umumnya diyakini bahwa pelajar tidak betul-betul mengetahui apa yang diinginkan, dan mereka haru dipaksa belajar. Oleh karena itu pedagogi yang bersifat lemah-lembut harus dijauhi, dan memusatkan diri pada penggunaan metode-metode tradisional yang tepat. (3)    Metode utama adalah latihan mental, misalnya melalui diskusi dan pemberian tugas; dan penguasan pengetahuan, misalnya melalui penyampaian informasi dan membaca.
  3. Kurikulum: (1) Kurikulum berpusat pada mata pelajaran yang mencakup mata-mata pelajaran akademik yang pokok. (2) Kurikulum Sekolah Dasar ditekankan pada pengembangan keterampilan dasar dalam membaca, menulis, dan matematika. (3) Kurikulum Sekolah Menengah menekankan pada perluasan dalam mata pelajaran matematika, ilmu kealaman, humaniora, serta bahasa dan sastra. Penguasaan terhadap mata-mata pelajaran tersebut dipandang sebagai suatu dasar utama bagi pendidikan umum yang diperlukan untuk dapat hidup sempurna. Studi yang ketat tentang disiplin tersebut akan dapat mengembangkan kesadaran pelajar, dan pada saat yang sama membuat mereka menyadari dunia fisik yang mengitari mereka. Penguasaan fakta dan konsep-konsep pokok dan disiplin-disiplin yang inti adalah wajib.
  4. Pelajar: Siswa adalah makhluk rasional dalam kekuasaan fakta dan keterampilan-keterampilan pokok yang siap melakukan latihan-latihan intelektif atau berpikir. Sekolah bertanggungjawab atas pemberian pelajaran yang logis atau dapat dipercaya. Sekolah berkuasa untuk menuntut hasil belajar siswa.
  5. Pengajar: (1) Peranan guru kuat dalam mempengaruhi dan mengawasi kegiatan-kegiatan di kelas. (2)  Guru berperanan sebagai sebuah contoh dalam pengawalan nilai-nilai dan penguasaan pengetahuan atau gagasan-gagasan.

 

 

 

 

Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme

 

Rekronstruksionisme  lahir  didasari atas suatu anggapan bahwa kaum progresif  hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada pada masyarakat sekarang ini. Dapat dikatakan bahwa rekonstruksionisme  adalah merupakan kelanjutan dari gerakan  progresivisme. Rekonstruktionisme lahir pada tahun 1930 dan dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg. Ia ingin membangun masyarakat baru, yaitu:  suatu masyarakat yang pantas dan adil. Sekolah harus melakukan perbaikan masyarakat yang spesifik.

 Aliran progresivisme berpendapat bahwa sekolah harus mengarahkan perubahan  terhadap tatanan sosial saat ini. Ada dua alasan mengapa perubahan perlu dilakukan lewat pendidikan sebagai berikut:  (1) Karena masyarakat sedang mengalami suatu krisis yang hebat akibat perang dunia kedua. Peradaban manusia yang sangat sangat luar biasa dan dibangun dalam waktu yang lama, dapat dihancurkan oleh manusia hanya dalam waktu satu malam saja. (2) Manusia memiliki potensi intellectual, teknologi dan moral untuk menciptakan suatu peradaban baru, yaitu suatu perubahan pada masyarakat kea rah “kesejahteraan, kesehatan dan keadilan”.  Oleh karena itu sekolah harus menjadi agen utama untuk merencanakan dan mengarah pada perubahan social.

             Sedangkan aliran Rekonstruktionisme berpendapat kita telah beralih dari masyarakat agraris pedesaan ke masyarakat urban yang berteknologi tinggi, namun masih terdapat kelambatan budaya yang serius, yaitu:  dalam kemampuan manusia menyesuaikan  diri terhadap masyarakat teknologi. Apa yang diperlukan masyarakat yang memiliki perkembangan teknologi yang cepat adalah rekonstruksi masyarakat dan pembentukan serta perubahan tatanan dunia baru.

 

Tokoh-Tokoh Rekonstruksionisme[312]

George S. Counts (1889-1974)

Theodore Brameld (1904-1987)

 

Dua Kelompok Rekonstruksionisme

Dalam  gerakan rekonstruksionisme terdapat dua kelompok utama yang sangat berbeda pandangannya tentang kurikulum, yakni:  Rekonstruksionisme Konservatif dan Rekonstruksionisme Radikal.

 

Rekonstruksionisme Konservatif

         Pendidikan ditujukan kepada peningkatan mutu kehidupan individu maupun masyarakat dengan mencari penyelesaian masalah-masalah yang paling mendesak yang dihadapi masyarakat. Masalah dapat bersifat local, nasional, regional maupun international. Dalam penerapannya problem-solving memegang peranan utama dengan menggunakan bahan dari berbagai displin ilmu.

 

Rekonstruksionisme Radikal

Pendidikan formal maupun non formal mengabdikan diri demi tercapainya orde sosial baru berdasarkan pembagian kekuasaan dan kekayaan yang lebih adil dan merata. Aliran ini berpendapat bahwa kurikulum yang sekadar mencari pemecahan masalah sosial tidaklah memadai. Masalah sosial justru merupakan indicator adanya masalah lain yang lebih mendalam mengenai struktur masyarakat. Pendidikan haruslah digunakan untuk merombak tata sosial dan lembaga-lembaga sosial yang ada dan membangun struktur sosial baru.

Arah Pendidikan Rekontruksionisme

            Arah pendidikan rekonstruksionisme mengarahkan para siswa mempelajari metoda-metoda yang tepat untuk berurusan dengan krisis-krisis yang sedang dihadapi oleh masyarakat, baik secara lokal, regional maupun yang dihadapi oleh dunia secara global seperti:  perang, depressi ekonomi, terorisme international, kelaparan, inflasi, ketimpangan sosial maupun percepatan teknologi.  Kurikulum disusun untuk mampu menyoroti kebutuhan-kebutuhan terhadap beragamnya problema sosial. Siswa dimungkinkan untuk memiliki pengalaman tangan pertama dalam berbagai  kegiatan reformasi sosial.  Guru berperan sebagai kontrol dan membantu para siswa dalam memecahkan masalah-masalah sosial tanpa berpengaruh di dalamnya.

Proses edukatif  harus didasarkan pada suatu pencarian yang terus menerus untuk suatu masyarakat yang lebih baik, dan hasil dari pencarian ini akan menjadi  realisasi suatu demokrasi dunia yang luas.  Jika seseorang dengan aktif berusaha menciptakan dunia baru melalui aplikasi kecerdasan dan pengetahuan serta teknologi yang berkembang pada saat ini, ia akan menghadapi risiko di mana kekuatan-kekuatan destruktif dunia akan menentukan kondisi dunia ini, di mana manusia yang akan hidup di masa mendatang berada di dalamnya.

 

Sekolah sebagai Agen Perubahan Sosial

            George S. Counts sebagai pelopor rekonstruksionisme mengemukakan, “ bahwa sekolah akan betul-betul berperan apabila sekolah menjadi pusat bangunan masyarakat baru secara keseluruhan, membasmi kemelaratan, peperangan  dan kesukuan”. Masyarakat yang menderita kesulitan ekonomi dan masalah-masalah social yang besar marupakan tantangan bagi pendidikan untuk menjalankan perannya sebagai agen pembaharuan dan rekonstruksi social, daripada pendidikan hanya mempertahankan status guo.

 Sekolah  harus bersatu dengan kekuatan buruh progressif, wanita, para petani dan kelompok minoritas untuk mengadakan  perubahan-perubahan yang diperlukan. Tujuan pendidikan adalah menumbuhkan kesadaran terdidik yang berkaitan dengan masalah-masalah social, sekonomi, politik yang dihadapi manusia dalam skala global, dan memberi ketrampilan kepada mereka agar memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Tujuan akhir pendidikan adalah terciptanya masyarakat baru, yaitu suatu masyarakat global yang memiliki saling ketergantungan.

 Kurikulum haruslah berisikan masalah-masalah sosial, ekonomi, politik yang beraneka ragam, yang dihadapi oleh umat manusia, termasuk masalah-masalah sosial dan pribadi. Isi kurikulum haruslah berguna dalam penyusunan disiplin ilmu sosial dan proses penemuan ilmiah sebagai metode kerja untuk masalah-masalah soslal.

Guru harus mampu menyadarkan peserta didik terhadap masalah-masalah yang dihadapi, membantu mereka mengidentifikasikan masalah-masalah untuk dipecahkan, sehingga memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah tersebut. Guru harus mendorong peserta didik untuk dapat berpikir alternative dalam memecahkan dihadapi baik secara pribadi maupun dihadapi oleh masyarakat. Lebih jauh, guru harus mampu menciptakan aktivitas belajar yang berbeda-beda secara serempak.

Sekolah berfungsi sebagai agen utama untuk perubahan sosial, politik dan ekonomi dimasyarakat. Sekolah bertugas untuk mengembangkan “rekayasa sosial” dan bertujuan untuk mengubah secara radikal wajah masyarakat saat ini dan masa yang akan datsng. Sekolah berfungsi untuk mempelopori masyarakat kea rah masyarakat baru yang diinginkan. Apabila fungsi itu tidak dapat dilakukan, maka masyarakat akan bertindak menyelesaikan masalah-masalah secara individu dan tidak mampu menghasilkan perubahan sosial, melainkan akan menimbulkan berbagai komplik dalam masyarakat.

 

 Teori Pendidikan

            Brameld (Kneller, 19771) 5 tesis dalam pendidikan rekonstruksionisme, yaitu: (1) .  Pendidikan harus dilaksanakan di sini dan sekarang. Pendidikan haruslah dilaksanakan kini dan di sini dalam rangka menciptakan tatanan sosial yang baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya masyarakat dan selaras dengan mendasari  kekuatan-kekuatan ekonomi dan sosial dalam masyarakat modern. Pendidikan harus dapat mensponsori perubahan yang benar dalam nurani manusia. Kekuatan teknologi yang hebat harus dimanfaatkan untuk membangun umat manusia dan bukan untuk menghancurkannya.  Masyarakat diubah bukan dengan kekuatan politik, melainkan melalui pendidikan yang mendasar bagi warganya, menuju suatu pandangan baru tentang hidup dan kehidupan bersama. (2) Pendidikan menuju kehidupan demokrasi.     Pendidikan harus mampu mewujudkan kehidupan demokrasi sejati pada masyarakat, dimana sumber dan lembaga utama dalam masyarakat dikontrol oleh warganya sendiri. Semua aspek kehidupan masyarakat seperti; sandang, pangan, papan, kesehatan, industri dan  sebagainya menjadi tanggungjawab masyarakat melalui wakil-wakilnya yang dipili, dan harus direalisasikan secara demokrasi. Masyarakat ideal adalah, masyarakat yang demokratis dan pendapat masyarakat adalah merupakan hal yang sangat dasar. (3) Kondisi Pendidikan. Peserta didik, lembaga sekolah dan proses pendidikan dikondisikan oleh kekuatan budaya dan sosial masyarakat setempat. Hidup beradab adalah hidup berkelompok bukan hidup sendiri-sendiri. Kelompoklah yang meainkan peranan penting di sekolah. Pendidikan merupakan  realisasi dari sosial. Melalui pendidikan individu akan dapat mengembangkan aspek-aspek sosialnya dan bagaimana mengembangkan keterlibatannya dalam perencanaan sosial. (4) Peranan Pendidik.       Dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik, guru haruslah meyakini dirinya sebagai guru yang bijaksana dan demokratis. Pengujian fakta-fakta haruslah dilakukan secara terbuka, walaupun hal itu bertentangan dengan pandangannya. Guru harus dapat menghadirkan pemecahan alternative dengan jelas, dan ia memperkenankan siswanya untuk mempertahankan pandangan-pandangan mereka sendiri. Peranan guru ialah sebagai orang yang menganjurkan perubahan dan mendorong siswa menjadi partisipan aktif dalam proses perbaikan masyarakat.       Guru adalah seorang perombak. Ia membantu pelajar meninggalkan yang lama supaya dapat mengalami yang baru. Huru dan murid bekerja sama mempelajari seni meninggalkan kepribadian yang lama dan menggantikannya dengan kepribadian yang baru yang sesuai dengan tuntutan masa kini. Proses meninggalkan yang lama bukanlah sesuatu yang mudah, namun hal itu sudah diyakini sebagai hal yang baik dan dapat menjawab kebutuhan-kebutuhannya selama ini.  Untuk dapat mendorong pembaharuan bagi peserta didik, maka guru harus menyadari bahwa pada dasarnya individu   telah terbentuk dengan cara-cara tersebut di bawah ini adalah: (a) Keperluan pribadi dan lingkungannya mendesaknya untuk mengembangkan cara-cara bertindak yang paling sesuai dengan keperluan-keperluannya. (b) Perlahan-lahan keperluan dan kemauan lingkungannya berubah. (c) Cara-cara bertindak yang dikembangkan sebelumnya, yang cukup efektif itu, menjadi semakin tidak efektif bahkan  telah  dapat merugikan. (d) Setiap individu tetap mengungkapkan segala cara yang telah dipergunakannya pada masa lampau. (e) Cara bertindak seseorang terus menerus diubah untuk melayani keperluan-keperluan dan kehendak-kehendak baru. (f) Dengan adanya kehendak yang terus menerus, individu yang sedang berkembang itu membentuk suatu gaya hidup atau suatu cara menghadapi segala masalah hidup yang dihadapinya. (g) Gaya  seseorang akan lebih sulit berubah apabila ia telah menjadi tua. Salah satu tugas penting dari guru ialah membantu agar proses perkembangan itu berlangsung terus. Pendidikan yang paling baik ialah pendidikan yang membantu pelajar menghadapi masa kininya yang sangat penting itu sehingga ia mampu menangani secara efektif masa depannya yang dekat yang akan selalu menjadi masa kini juga. (h)  Cara dan tujuan Pendidikan.  Cara dan tujuan pendidikan haruslah bertujuan untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan krisis budaya dewasa ini, dan menyesuaikan kebutuhan dengan sains sosial. Sains sosial haruslah  bertujuan untuk mendorong kita untuk menemukan nilai-nilai yang bersifat universal. (i) Penyusunan Kurikulum.  Kurikulum pendidikan harus terus menerus ditinjau ulang, agar sesuai dengan kebutuhan dan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat.  Oleh karena itu, isi  pelajaran, metode yang dipakai, struktur administrasi dan cara bagaimana guru dilatih haruslah terus disesuaikan dengan kebutuhan kebutuhan masyarakat pada masa kini. Dengan demikian pendidikan akan menjadi relevan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan dapat menghasilkan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

 

 

Implikasi Pendidikan

             Power (1982) mengemukakan implikasi pendidikan rekonstruksionisme sebagai berikut:

1.      Tema: Pendidikan merupakan usaha sosial dan Misi sekolah adalah untuk meningkatkan rekonstruksi sosial.

2.      Tujuan Pendidikan: Menciptakan aturan sosial yang ideal. Budaya harus melihat kemajemukan masyarakat dan memanfaatkannya untuk perubahan sosial kea rah yang lebih baik.

3.      Kurikulum: Kurikulum tidak boleh didominasi oleh budaya mayoritas maupun oleh budaya yang ditentukan atau yang disukai. Semua budaya dan nilai-nilai yang terdapat pada masyarakat berhubungan dan berhak untuk mendapatkan tempat dalam kurikulum.

4.      Kedudukan siswa: Nilai-nilai budaya siswa yang dibawa  ke sekolahg merupakan hal yang berharga.Keluhan pribadi dan tanggung jawab sosial harus terus ditingkatkan dan harus dapat menghormati semua latar belakang budaya yang ada disekitarnya.

5.      Metode: Metode yang harus terus dikembangkan adalah “Learning by doing”.

6.      Peranan Guru: Guru harus menunjukkan rasa hormat yang sejati terhadap semua budaya, baik dalam memberi pelajaran maupun dalam hal lainnya. Pelajaran di sekolah haruslah mewakili budaya masyarakat yang ada.

 

Potret Guru

          Seorang guru rekonstruksionisme dengan sekuat tenaga mendorong siswa mempelajari mengenai permasalahan-permasalahan sosial dan juga menemukan apa yang dapat merekam lakukan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut

 

 


 

VIII. PENUTUP

 

Dari kajian Filsafat Pendidikan Agama Kristen di atas (bab per bab) maka saya dapat simpulkan dengan membuat Tabel “Sirkulasi Filsafat Pendidikan Agama Kristen” yang saling berkesinambungan dari pengertian filsafat pendidikan, nilai-nilai dasarnya, model-model aliran filsafat yang mempengaruhi pendidikan, unsur-unsurnya hingga menghasilkan tenaga professional siap pakai di tengah masyarakat.  Tabel “Sirkulasi Filsafat Pendidikan Agama Kristen”  sebagai berikut:

 

Tabel “Sirkulasi Filsafat Pendidikan Agama Kristen”

 

Filsafat Pendidikan

Nilai-nilai Dasar

Model-Model Aliran Filsafat yang Mempengaruhi Pendidikan

Unsur-unsur Pendidikan

Tenaga Siap Pakai

Definisi

Filsafat pendidikan:

aktifitas pikiran teratur yang membentuk wolrdview seseorang sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan

Makna Ontologi

 

Idealism,

Realism,

Materialisme,

 Tradisionalis (Neo-Thomism),

Pragmatism (Experimentalism), Eksistensialisme, Progresivisme, Perenialisme, 

Esensialisme  dan Rekonstruksionisme

 

Input: Calon Peserta Didik

 

 

 

Tenaga profesional di tengah masyarakat

Visi

Makna Epistemologi

 

Tujuan

Kurikulum

Proses Belajar Mengajar (Guru-Metode-Murid)

Makna Aksiologi

Hasil belajar

Output: Alumni

 

 

Keterangan  singkat dari Tabel “Sirkulasi Filsafat Pendidikan Agama Kristen”  di atas sebagai berikut:

 

  1. Filsafat pendidikan adalah aktifitas pikiran teratur yang membentuk wolrdview seseorang sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan.

 

  1. Tetapi dalam pekerjaannya maka filsafat pendidikan tergantung dengan nilai-nilai dasar filsafat: makna ontology, makna epistemology dan makna aksiologi.  (a) Makna ontology  (metafisika umum) membahas segala sesuatu yang ada secara menyeluruh dan sekaligus. Pembahasan ini dilakukan dengan membedakan dan memisahkan eksistensi “dari segala sesuatu”. Pertanyaan-pertanyaan ontologi yang utama dan paling sering diajukan adalah sebagai berikut: apakah suatu realitas itu beraneka ragam dan berbeda-beda? Apakah hakekatnya satu atau tidak? Apabila  memang benar satu, apakah realitas yang satu itu.apakah eksistensi yang sesungguhnya dari segala sesuatu yang ada itu merupakan realitas yang tampak atau tidak? (b) Makna epistemology membahas tentang: Apa pengetahuan itu? Apakah yang menjadi sumber dan dasar pengetahuan itu? Apakah pengetahuan itu berasal dari pengamatan, pengalaman, atau akal budi? Apakah pengetahuan itu adalah kebenaran yang pasti ataukah hanya merupakan dugaan?  (c)Axiologi menunjuk pada suatu nilai tertentu.  Nilai suatu obyek sangat dipengaruhi nilai subyek yang ada.  Manusia memiliki nilai, sehingga nilai seseorang dari apa yang diungkapkan maupun dilakukan. Nilai-nilai sangat relative, tetapi ada nilai yang jauh lebih mutlak dan ditempat tinggi dibanding dengan nilai-nilai relative yang dibawah. Manusia berbuat baik karena mengetahui nilai yang ada pada dirinya. Pada axiologi yang mengarah suatu kebaikan yang tertinggi berupa kebahagiaan dan cinta kasih Tuhan.

 

  1. Aliran-aliran Filsafat yang  Mempengeruhi Pendidikan: Idealism, Realism, Materialisme,  Tradisionalis (Neo-Thomism), Pragmatism (Experimentalism), Eksistensialisme, Progresivisme, Perenialisme,  Esensialisme  dan Rekonstruksionisme. Aliran tersebut selalu membagi menjadi tiga nilai dasar (ontologi, epistimologi dan aksiologi) yang membicarakan unsure-unsur pendidikan.

 

  1. Unsur-unsur pendidikan adalah: Input (peserta didik), Visi – Tujuan – Kurikulum – Proses Belajar Mengajar (Guru –  Metode - Murid)  – Hasil Belajar – Output (Alumni).

 

5.      Para alumni akan mampu menjadi  tenaga profesional di tengah  masyarakat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

 

Diagram Perbandingan Tiga Problema dengan Lima Pandangan Filsafat

 


Sekolah  Tinggi Theologia Bethanyn Surabaya

Filsafat Pendidikan Agama Kristen

(2 sks)

Dosen: Eko Basuki

Surabaya, 6 Juli 2015

 

 



[1]Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1981) 10.

[2]B. Samuel Sidjabat, Strategi Pendidikan Kristen (Yogyakarta: Andi Offset, 1994)  2.

[3]Titus,  et.al., Persoalan-persoalan Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) 7-9.

[4]C. A. van Peursen, Orientasi di Alam Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1980) 10-11.

[5]Ibid. 11; 17.

[6]George R. Knight, Issues and Alternatives in Educational Philosophy (Michigan: Andrews University Press,  1982) 4-5. 

[7]Mohammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila  (Surabaya: Usaha Nasional, 1986)  24.

[8] Ibid.

[9]Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek (Bandung:  Remaja Rosda Karya, 2005) 14.

[10]Arifin H.M.,  Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teori dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipline (Jakarta:Bina Aksara, 1993) 2.

[11]M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan: Teoritis dan Praktis (Bandung: Remadja Karya, 1988) 1.

[12]Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996)  82.

[13]Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek, 14.

[14]Arifin H.M., Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teori dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipline (Jakarta: Bina Aksara, 1993) 2. 

[15]Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode (Yogyakarta: Andi Offset, 1994) 14.

[16]Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997) 4.

[17]Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat,  83.

[18]B. Samuel Sidjabat, Strategi Pendidikan Kristen, 8.

[19]B.S. Mardiatmadja, Tantangan Dunia Pendidikan (Yogyakarta: Kanisius, 1986) 19.

[20]M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan: Teoritis dan Praktis, 11. 

[21]Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan, 14.

[22]Arifin H.M., Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teori dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipline, 1.

[23]Baca John S. Brubacher, Modern Philosophies of Education (Tokyo: McGraw Hill Book Comnpany, 1978).

[24]John W.M. Verhaar SJ, Filsafat yang Mengelak (Yogyakarta: Kanisius, 1980)  69, 70.

[25]Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, 14.

[26]Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan, 17.

[27]Jan Hendrik Rapar, Pengantar Fislafat, 44.

[28]Ibid. 44.

[29]Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, 16.

[30]Ibid. 45.

[31]Ibid.

[32]Ibid. 46.

[33]Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan  (Bandung: Alfabeta, 2003) 29; baca juga Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, 16.   

[34]Ibid. 37.

[35]Ibid.

[36]Jan Hendrik Rapar, Pengantar  Filsafat, 37.

[37]Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, 39.

[38]Ibid. 39.

[39]Dagobert Rune, Dictionary of  Philosophy (New Jersey: Litlefield Adams, 1963) 32.

[40]Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan (Bandung: Remadja Rosdakarya, 2001) 232.

[41]Baca Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992) 333-348.

[42]Ibid. 332.

[43]Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan, 232.

[44]S. Nasution,  Pengembangan Kurikulum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990) 3.

[45]Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan, 233.

[46]Ibid.

[47]J.E. Sahetapy, “Tinjauan Kritis atas Isu-isu Hak Asasi Manusia”, Simposium PASTI ke IX di  Surabaya, 5-6 September (2000)  8.

[48]W. Gulo, “Penampakan Identitas dan Ciri Khas dalam Penyelenggaraan Sekolah Kristen”,  Identitas & Ciri Khas Pendidikan Kristen di Indonesia antara Konseptual dan Operasional (2000) 90.

[49]Purnawan Tenibemas, “Cermin Besar bagi Sekolah Alkitab atau Teologi”, Jurnal Pengarah, April (2005) 4.   

[50]Muhammad Ali, Pengembangan Kurikulum di Sekolah (Bandung: Sinar Baru, 1992) 3.

[51]M. Moh. Rifai, Administrasi dan Supervisi Pendidikan (Bandung: Jemmars, 1982) 115.

[52]Muhammad Ali, Pengembangan Kurikulum di Sekolah, 2.

[53]Ibid., 2-3.

[54]Eli Tanya, Gereja dan Pendidikan Agama Kristen (Cipanas: STT Cipanas, 1999)  27.

[55]Randolph C. Miller, Education for Christian Living (New Jersey: Prentice Hall, 1956) 44.

[56]Abdul Rajak Husain, Penyelenggaraan Pendidikan Nasional (Solo: CV Aneka, 1995) 34.

[57]W.P. Napitupulu, Dimensi-dimensi Pendidikan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1969) 58.

[58]Ornstein/Levine, Foundations of Education (Dallas: Houghton Mifflin Company, 1989) 528.

[59]Muhammad Ali, Pengembangan Kurikulum di Sekolah, 52-60.

[60]Baca Ralph Tyler, Basic Principles of Curriculum and Instruction (Chicago-London: The University of Chicago Press, 1970). 

[61]Paul H. Vieth, The Church and Christian Education (ST. Louis: Bethany Press, 1951) 36-37.

[62]Eli Tanya, Gereja dan Pendidikan Agama Kristen,  29.

[64]Greta Hofmann Nemiroff, Reconstructing Education (New York: Bergin & Garvey, 1992) 143.

[65]Muhammad Ali, Pengembangan Kurikulum di Sekolah , 4-14.

[66]Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek, 4.

[67] Bebby C.E., Pendidikan di Indonesia, Penilaian dan Pedoman Perencanaan (Jakarta: LP3S, 1993) 144.

[68]Berlatar belakang nilai-nilai agama di mana proses pendidikan menitikberatkan kepada ketuhanan atau agama. Semua pendidikan dimaksudkan untuk membawa si anak agar ia selalu berbakti kepada Tuhannya, selalu hidup menuruti dan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh agamanya.

[69]Berlatar belakang pengetahuan di mana proses pendidikan menitikberatkan ke duniawian. Mereka mendidik anak-anak untuk dapat dan sanggup hidup di dunia ini yang penuh dengan rintangan-rintangan dan kesukaran-kesukaran yang harus diatasinya, untuk mencapai kebahagiaan hidupnya. Hal ini terjadi pada abad ke-18 dan ke-19 (abad rasio), yang pada waktu itu teknik dan ilmu pengetahuan alam sedang maju pesat. Waktu itu orang lebih mengutamakan hal-hal yang berhubungan  dengan kehidupan duniawi dan kebendaan daripada hal-hal yang bersifat kerohanian.

[70]S. Nasution, Pengembangan Kurikulum, 49-50.

[71]Purnawan Tenibemas, “Cermin Besar bagi Sekolah Alkitab atau Teologi”.

[72]Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat,  82.

[73]Ibid.

[74]Stella van Petten Henderson, Introduction to Philosophy of Education (Chicago: The University of Chicagi Press, 1959) 237.

[75]Stephen Tong. Arsitek Jiwa II (Jakarta: Lembaga Reformed, 1995) 32.

[76]Edward dan F.Simpson, “Principles of Biblical Teaching and Learning”, Introduction to Bibical Christian Education. Edit:  Werner C. Graendorf (Chicago: Moody, 1988) 71.

[77]C. H. Benson, Teknik Mengajar (Malang: Gandum Mas,1980) 8.

[78]Mary G. Setiawani, Pembaharuan Mengajar (Jakarta: Kalam Hidup, 1996) 62.

[79]Homrighausen dan Enklaar, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: BPK, 1984) 13-16.

[80]Edward L. Hayes, The Biblical Foundation of Christian Education”, 28.

[81]Homrighausen dan Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, 13-14.

[82]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 19.

[83]J.M. Price, Yesus Guru Agung (Bandung: LLB, 1997) 54.

[84]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 23

[85]William Barclay, Duta bagi Kristus (Jakarta: Gunung Mulia, 1985) 11-13.

[86]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 68.

[87]Edward L. Hayes, 30.

[88]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 25.

[89]Ibid. 112.

[90]B.S. Sijabat, Strategi Pendidikan Kristen, 1.

[91]Ibid. 248.

[92]Homrighausen & Enklaar, 180-181.

[93]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 68.

[94]Benson, 6.

[95]Ibid. 6-7.

[96]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 35.

[97]Homrighausen & Enklaar, 181.

[98]Stephen Tong, Arsitek Jiwa II, 23-25.

[99]Jachin Karuniadi, Kelahiran Baru (Bandung: LLB, 1979) 6, 7-32, 36-38.

[100]Benson, 12.

[101]Ibid. 7.

[102]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 34.

[103]Stephen Tong, Arsitek Jiwa I (Jakarta: Lembaga Reformed, 2001) 33-35.

[104]Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Paraktek PAK. Jilid 1 (Jakarta: Gunung Mulia, 1997) 247.

[105]Stephen Tong, Arsitek Jiwa II, 25-26.

[106]Homrighausen dan Enklaar, 182.

[107]B.S. Sijabat, Strategi Pendidikan Kristen, 249.

[108]Homrighausen & Enklaar, 180.

[109]Ibid. 181.

[110]Stephen Tong, Arsitek Jiwa I, 51.

[111]Wayne R. Rood, The Art of Teaching Christianity (New York: Abingdon Press, 1968) 51.

[112]John T.Sisemore, Guru dan Murid: Teman Sekerja (Bandung: LLB, t.t.) 6-17.

[113]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 90-91.

[114]Ibid. 109.

[115]C.H. Benson, 68, 93.

[116]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 113.

[117]Ibid.

[118]Edward dan F. Simpson, 72-73.

[119]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 113.

[120]Stephen Tong, Arsitek Jiwa I, 53.

[121]John M. Gregory, 7 Hukum Mengajar (Malang: Gandum Mas, t..t.) 47.

[122]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 112-113.

[123]Stephen Tong, Arsitek Jiwa II, 32.

[124]C.H. Benson, 8.

[125]Edward dan F. Simpson, 71.

[126]Stephen Tong, Arsitek Jiwa I, 54.

[127]Mary Go Setiawani, 78.

[128]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 108.

[129]Tong Stephen, Arsitek Jiwa II, 85-99.

[130]Ibid.

[131]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 112.

[132]Stephen Tong, Arsitek Jiwa II, 85-99.

[133]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 112.

[134]Hasan Alwi (pemred.), Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002) 17.

[135]Winarno Surakhmad, Pengantar Interaksi Mengajar-Belajar (Bandung: Tarsito, 1982) 34.

[136]Linda J. Vogel, Mengajar dan Belajar di dalam Kelompok Masyarakat Iman (Semarang: STBI, tp.th) 55.

[137]Ad. Rooijakkers, Mengajar dengan Sukses (Jakarta: Grasindo,1982)  6.

[138]Ibid. 58.

[139]Ibid. 60-61.

[140]Ratna Wilis Dahar,  Teori-Teori Belajar (Bandung:  Erlangga,  1989) 11.

[141]Muhibbin  Syah,  Psikologi Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995) 88.

[142]Ibid. 90.

[143]B.S. Sidjabat,  Menjadi Guru yang Profesional, 40.

[144]E.P. Hutabarat, Cara Belajar, 12.

[145]Zainudin Arif, Andragogi (Bandung: Angkasa, 1994)  5.

[146]Ibid. 6.

[147]Ibid. 7.

[148]Winarno Surakhmad, Pengantar Interaksi Mengajar Belajar, 66. 

[149]Hutabarat E.P.,  Cara Belajar (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986) 20.

[150]Ibid. 25.

[151]Winarno Surakhmad,  Pengantar Interaksi Mengajar Belajar,  66.

[152]Muhibbin Syah,  Psikologi Pendidikan, 227. 

[153]Ibid.

[154]Zainudin Arif, Andragog, 78-80.

[155]B.S.  Sidjabat, Menjadi Guru yang Profesional, 93.  

[156]Baca H.R. Mill,   Teaching and Training A Handbook for Intruction (New York:  Micmillan, 1977).

[157]Baca David Kolb, Styles of Learning Invertory (1981).

[158]Mary Go Setiawani, Pembaruan Mengajar (2004) 22-33.

[159]Jay Kesler, Tolong Saya Punya Anak Remaja (Jakarta: BPK, 1986).

[160]O.  Hallesby, Temperamen dan Iman Kristen (Jakarta: Tenda Artika, 1989) 7.

[161] H. Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, 2002, 108.

[162]Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, 29.

[163]Ibid. 35.

[164]Ibid. 35.

[165] Jujun S. Suriasumantri,  Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999) 32.

[166] Ibid.

[167] Mark B. Woodhouse, Berfilsafat sebuah Langkah Awal  (Yogyakarta: Kanisius, 2000) 34.

[168] Ibid. 35.

[169] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, 89.

[170] Ibid. 90.

[171] Ibid.

[172] George F. Kneller, Introduction To The Philosophy of Education (The United States of America, 1971) 29-30.

[173]J. Donald Butle1, Four Philosopy  (New York: Harper & Brothers Publishing, 1950) 34.

[174]J. Donald Butler, Four Philosophies And Their Practice in Education and Religion (New York: Harper & Brothers Publishers, 1957) 35-37.

[175]Norman L. Geisler, Etika Kristen Pilihan dan Isu (Malang: SAAT, 2000) 122.

[176]Dagobert Rune, Dictionary of  Philosophy, 98.

[177]Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, 41.

[178]George R. Knight, Philosophy and Education (Michigan: Andrew University Press, 1980)  41-112;  Michael L. Peterson, Philosophy of Education (Leicester: InterVarsity Press,  1986) 23-76. 

[179] J. Donald Butler, Idealism in Education (New York: Harper & Row, 1966) 80.

[180]Ibid. 81.

[181]J. Donald Butle, Idealism in Education (New York: Harper & Row, 1966) 5-37. 

[182]J. Donald Butler, Idealism in Education, 85.

[183]Ibid. 87.

[184]Ibid. 92.

[185]Ibid. 93.

[186]Ibid.

[187]Ibid. 96.

[188]Ibid.

[189]Ibid. 97.

[190]Ibid. 99-102.

[191]Ibid.

[192]Ibid. 104.

[193]Ibid.

[194]Ibid. 110.

[195]Ibid. 111.

[196]Ibid.

[197]Ibid. 112.

[198]Ibid.

[199]Ibid. 113.

[200]Ibid. 114.

[201]Ibid.

[202]Ibid. 114-115.

[203]Ibid. 115.

[204]Ibid. 117.

[205]Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan (Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2007) 41.

[206]George R. Knight,  Philosophy and Education (London: Andrews University Press, 1980) 52.

[207] Jack Terry tt, Education Philosophy (Texsas: SBTC, 1982) 101.

[208]Ozmon & Craver, Philosophical Foundations of Education (Virginia: Commonwealth Univercity, 1995) 39.

[209]Howard A. Ozmon dan Samuel M. Craver, Philosophical Foundations of Education (New Jersey: Prentice Hall, 1991) 39-53.

[210]Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, 103-112.

[211]Wakhudin dan Trisnahada, Filsafat Naturalisme (Bandung: PPS-UPI, 2009); akhmadsudrajat.wordpress.com. (Diambil tanggal 17 Januari 2009).

[213]Jack Terry, Education Philosophy, 101-103.

[214]Ibid. 104-105.

[215]Ibid. 105-106.

[216]Ibid. 106.

[217]Ibid. 107;  WM. Oliver Martin, Realism in Education (Newk York: Harper & Row Publishers, 1969) 148-156.

[218]Cek pembahasan tentang Filsafat Pendidikan Realism:  Naturalisme berasal dari kata “nature.” Kadang pendefinisikan “nature” hanya dalam makna dunia material saja, sesuatu selain fisik secara otomatis menjadi “supranatural.” Tetapi dalam realita, alam terdiri dari alam material dan alam spiritual, masing-masing dengan hukumnya sendiri. Era Pencerahan, misalnya, memahami alam bukan sebagai keberadaan benda-benda fisik tetapi sebagai asal dan fondasi kebenaran. Ia tidak memperlawankan material dengan spiritual, istilah itu mencakup bukan hanya alam fisiktetapi juga alam intelektual dan moral. Salah satu ciri yang paling menakjubkan dari alam semesta adalah keteraturan. Benak manusia sejak dulu menangkap keteraturan ini. Terbit dan tenggelamnya matahari, peredaran planet-planet dan susunan bintang-bintang yang bergeser teratur dari malam ke malam sejak pertama kali manusia menyadari keberadaannya di dalam alam semesta, hanya merupakan contoh-contoh sederhana. Ilmu pengetahuan itu sendiri hanya menjadi mungkin karena keteraturan tersebut yang kemudian dibahasakan lewat hukum-hukum matematika. Tugas ilmu pengetahuan umumnya dapat dikatakan sebagai menelaah, mengkaji, menghubungkan semua keteraturan yang teramati. Ilmu pengetahuan bertujuan menjawab pertanyaan bagaimana dan mengapa. Namun khusus untuk kosmologi, pertanyaan ‘mengapa’ ini di titik tertentu mengalami kesulitan yang luar biasa.

[219]K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1979) 75.

[220]Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997) 66-67; baca juga Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan,113-116.

[221]Democritus adalah seorang filosof Yunani Kuno yang hidup sekitar tahun 460-370 SM. Ia adalah atomis pertama, materialis pertama dan perintis sains mekanik. Ketika ditanya, “Alam ini dibuat dari apa?” atau “Apakah yang riil itu” ia menjawab, “Alam terdiri dari dua bagian. Pertama adalah atom, bagian yang sangat kecil sekali dan tak terbatas jumlahnya, mempunyai kualitas yang sama, tetapi mengandung perbedaan yang bemacam-macang tentang besar dan bentuknya. Kedua adalah ruang kosong di mana atom-atom tersebut bergerak.

Atom adalah terlalu kecil untuk dilihat mata, dan tak dapat rusak. Atom menggabungkan diri berkombinasi dengan cara bermacam-macam membentuk manusia, binatang, tanam-tanaman, batu-batuan dan sebagainya. Jika atom itu dalam jumlah yang sangat besar bertabrakan serta terpental ke berbagai jurusan, timbullah bermacam-macam benda. Atom ini bersama gerakan-gerakannya di angkasa merupakan penjelasan tentang fenomena-fenomena. Democritus merupakan seorang rasionalis yang mengatakan bahwa akal itu tahu benda-benda yang benar. Persepsi indra hanya memberi pengetahuan yang relatif.

[222]Kelompok materialis, sebagaimana kelompok aliran-aliran lainnya tidak sepakat atas segala persoalan, atau tidak berpegang seluruhnya kepada persoalan-persoalan tersebut di atas. Dalam dunia sekarang, materialisme dapat mengambil salah satu dari dua bentuk, satu mekanisme atau materialisme mekanik (mechanistic materialism) dengan tekanan pada sains alam; dan kedua materialisme dialektik (dialectical materialsm) yang merupakan filsafat resmi Rusia, Cina, dan kelompok-kelompok komunis lainnya di seluruh dunia. Materialisme mekanik mempunyai daya tarik yang sangat besar oleh karena kesederhanaannya. Dengan menerima pendekatan itu, seseorang merasa telah dapat membebaskan diri dari problema-problema yang membingungkan yang selama beabad-abad. Apa yang riil (benar, sungguh-sungguh ada) dalam manusia adalah badannya, dan ukuran kebenaran atau realitas adalah sentuhan penglihatan dan suara, yakni alat-alat verifikasi eksperimental (Juhaya S. Pradja, 1987).

[223]Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, 65.

[224]J. Donald Butler, Four Philosophies, 81-82.

[225]Gerald L. Gutek, Historical and Philosophical Foundations of Education (New Jersey: Prentice-Hall, inc., 1997) 103.

[226]Gerald L. Gutek, Historical and Philosophical Foundations of Education, 104.

[227]Ibid.

[228]M.A.W. Brouwer, Sejarah Barat Modern dan Sejaman (Bandung: Alumni, 1980) 11-12; baca juga Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980) 36-37.

[229]J. Donald Butler, Four Philosophies, 72-73.

[230]J. Donald Butler, Four Philosophies and Their Practice in Education and Religion ( New York: Harper & Brother Publishers, 1957)  64-79.

[231]Gerald L. Gutek, Historical and Philosophical Foundations of Education, 279-80.

[232]Ibid.

[233]J. Donald Butler, Four Philosophies, 76-77.

[234]Bobbi De Porter & Mike Hernacki, Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan (Bandung: Kaifa, 2000) 44.

[235]Hawasi, Thomas Aquinas: Menyelaraskan antara Iman dan Akal (Jakarta: Polyama, 2003) iii.

[236]The World University Encyclopedia (Washington DC: Publisher Company Inc, 1965) 3088.

[237]Hawasi, Thomas Aquinas, iv.

[238]Darmodiharjo, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Jakarta: Gramedia) 68.

[239]Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: Rajagrafindo Perkasa, 1996) 32.

[240] Hawasi, Thomas Aquinas, 6.

[241]Jostein Gaarder, Dunia Sophie (Bandung: Mizan, 1999) 201.

[242]Hawasi, Thomas Aguinas, 7.

[243]Ibid. 10.

[244]Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika:Sejak Jaman Yunani sampai Abad ke 19  (Yogyakarta, Kanisius, 1997) 85.

[245]Ibid. 22-23.

[246]Hawasi, Thomas Aquinas, 24.

[247] Ibid. 26-27.

[248]Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika:Sejak Jaman Yunani sampai Abad ke-19, 85.

[249]Hawasi, Thomas Aquinas, 32.

[250]Anton Bakker, Ontologi Metafisika Umum  (Yogyakarta: Kanisius, 1992) 33.

[251]Hawasi, Thomas Aquinas, 35.

[252]Harun Hadiwijono, Sari FIlsafat Barat I (Yogyakarta: Kanisius, 1992) 107-108.

[253]Hawasi, Thomas Aquinas, 39.

[254]Ibid. 43.

[255]Ibid. 46.

[256]The World University Encyclopedia (Washington DC: Publisher Company Inc, 1965) 3088.

[257] Lihat http//en.wikipedia.org/wiki/neothomisme (Diambil 25 Agustus 2000).

[258]Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, 18.

[259]Ibid. 23.

[260]Ibid. 34.

[261] Dominic Strinati, Popular Culture: Pengantar Menuj Teori Budaya Populer (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995) 17.

[262]Ibid. 18.

[263]Hawasi, Thomas Aquinas, 4.

[264]Werner C Graendorf, Introduction of Biblical Christian Education (Chicago: Moody Press, 1981) 16.

[265]Charles Ryrie, Teologi Dasar I (Yogyakarta: Andi, 1991) 245.

[266]Ibid. 265.

[267]Ibid. 266-268.

[268]Jack Terry, Education Philosophy, 111 mengatakan bahwa pragmatisme mempunyai banyak nama seperti:  “experimentalism”, “progressivism”, “instrumentalism”, bahkan “reconstructionism”.  Berkaitan ini,  Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan (Bandung: Rosdakarya, 2004) 235-240 mengatakan bahwa salah satu aliran filsafat pendidik dari beberapa aliran filsafat yang ada seperti: idealisme, realisme, scholastisisme, empirisme,  dan neopositivisme.

[269]George F. Kneller, Introduction to the Philosophy of`Education (New York: John Wiley & Sons, Inc., 1971)  13; baca juga J. Donald Butler, Four Philosophies (New York: Harper & Brothers Publisher, 1957) 417.

[270]Howard A. Ozmon & Samuel M. Craver, Philosophical Foundations of Education (New Jersey: Prentice Hall, 1995) 121-170;  J. Donald Butler, Four Philosophies, 417-443; baca  juga Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: CV Alfabeta, 2003)  118 mengatakan bahwa pendiri filsafat pragmatisme di Amerika adalah Charles Sandre Peirce (1839-1914), William James (1842-1910), dan John Dewey (1859-1952). Ketiga filosof tersebut berbeda, baik dalam metodologi maupuan dalam kesimpulannya. Pragmatisme Pierce dilandasi oleh fisika dan matematika, filsafat Dewey dilandasi oleh sains-sains sosial dan biologi, sedangkan filsafat  James adalah personal, psikologis, dan bahkan mungkin religius. Tetapi sebenarnya, latarbelakang pragmatisme  dapat ditemukan hasil kerja dari: Francis Bacon (a new way of thinking), John Locke dan Jean-Jacques Rousseau (the centrality of Experience), Auguste Comte dan Charles Darwin dan (science and society). Sedangkan tokoh yang mempengharuhi semua itu para filosos Yunani mulanya seperti: Heraclitus dan The Sophists.

[271]Howard A. Ozmon & Samuel M. Craver, Philosophical Foundations of Education,  121. Istilah lainnya yang dapat diberikan para filsafat pragmatisme adalah intrumentalisme dan eksperimentalisme. Disebut instrumentalisme, karena mengganggap bahwa dalam hidup ini tidak dikenal tujuan akhir, melainkan hanya tujuan berikutnya, termasuk dalam pendidikan tidak mengenal tujuan akhir. Dikatakan eksperimentalisme, karena filsafat ini menggunakan metode eksperimen dan berdasarkan atas pengalaman dalam menentukan kebenarannya.

[272] William James, Pragmatism (New York: Longmans, 1907) 54-55.

[273] Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004) 42.

[274]George R. Knight, Philosophy and Education (Michigan: Andrews University Press, 1980) 67-68.

[275]Jack Terry, Education Philosophy, 112. 

[276]Nel Noddings, Philosophy of Education (USA: Westview Press, 1995)  31.

[277]George R. Geiger, “An Experimentalist Approach to Education”, Modern Philosophies and Education, ed. Nelson B. Henry (1955) 138.

[278]Howard A. Ozmon dan Samuel M. Craver, Philosophical Foundations of  Education, 122- 131.

[279]Baca Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan,119-123.

[280]George R. Knight, Philosophy and Education, 13.

[281]Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan,235-237.

[282]Ibid. 35.

[283]Ibid. 35.

[284]Ernest E. Bayles, Pragmatism in Education (New York: Harper & Row, 1966) 42.

[285]J.P. Sarumpaet, Perbandingan Pendidikan, Perancis, Inggris, Amerika Serikat dan Uni Soviet (Jakarta: Djambatan, 1965) 144-145.

[286]Baca John Dewey, Democracy and Education (New York: The McMillan Company, 1964) 69.

[287]Ibid.; baca Gerald L. Gutek, Historical and Philosophical Foundations of Education (New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1997) 318-321.

[288]Ibid. 56.

[289]Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif, 55.

[290]Ibid. 83-89.

[291]Ernest E. Bayles, Pragmatism in Education (Newk York: Harper & Row Publishers, 1966)  92-108.

[292]Howard A. Ozmon & Samuel M. Craver, Philosophical Foundations of Education, 145-146.

[293] Baca Sidney Hook, in Education for Modern Man (New York: Knopf, 1963).

[294]William Heard Kilpatrick, In Education for a Changing Civilization (New York: Macmillan, 1927).

[295]George R. Geiger, “An Experimentalist Approach to Education”, 144.

[296]Ibid. 100.

[297]Jack Terry, Education Philosophy, 123.

[298]Wasty Soemanto dan Hendyat Soetopo,  Dasar & Teori Pendidikan Dunia Tantangan bagi Para Pemimpin Pendidikan (Surabaya: Usaha Nasional, 1982) 121-125.

[299]Imam Barnadib, Fisafat Pendidikan, Sistem dan Metode, 29.

[300]Baca Theodore Brameld, The Pattern of Educational Philosophy (New York: The Mac. Milland Company, 1956).

[301]John Dewey, Experience and Education: Pendidikan Berbasis Pengalaman (Bandung: Teraju, 2004) 10,12.

[302]Jack Terry, Education Philosophy, 123.

[303]George R. Knight, Philosophy and Education, 73.

[304]Jack Terry, Education Philosophy, 122.

[305]Ernest E. Bayles, Pragmatism in Education, 21.

[306]Ibid. 69.

[307]George R. Geiger, “An Experimentalist Approach to Education”, 149-153.

[308]Baca  John Dewey, Experience and Education, 19-33.

[309]Howard A. Ozmon dan Samuel M. Craver, Philosophical Foundations of Education,  244-256.

[310]Van Cleve Morris, Existentialism in Education: What it Mean’s `(Newk York: Harper & Row Publishers, 1966) 134.

[311]George F. Kneller, Introduction to the Philosophy of  Education (New York:  John Wiley & Sons, Inc., 1964)  57-60.

[312]Howard A. Ozmon dan  Samuel M. Craver, Philosophical Foundations of  Education, 175-184.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN

  BAB 1 PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN   A. Pengertian Pendidikan (secara umum): 1. Apakah arti pendidikan ? Lebih daripada sekedar s...