Sekolah Tinggi Teologi
Bethany
Silabus
Mata Kuliah : Filsafat PAK
Bobot : 2 sks
Dosen : Eko Basuki
Waktu : 19-23 Januari 2016
Penjelasan
Seminar
ini membicarakan ruang lingkup dan metode filsafat pendidikan sebagai berikut:
perbendaharaan kata dan persoalan Filsafat Pendidikan (Ontologi, Epistemologi,
Axiologi), Proses Pendidikan: In put,
Institusi Pendidikan, Proses belajar mengajar
ada lima komponen proses (Guru, Kurikulum (Bahan Ajar), Metode Pembelajaran,
Media pembelajaran, Anak Didik (Murid) dan
Evaluasi Hasil Akhir), Out Put dan income;
teori tentang Kebenaran, konflik antara etika dan estetika, yang
berkaitan dengan berbagai pandangan Filsafat yang
mempengaruhi Pendidikan: (1) Traditional
Philosophies of Education: Idealism,
Realism, Materialisme dan Naturalism,
Tradisionalis (Neo-Thomism); (2) Modern
Philosophies of Education:
Pragmatism (Experimentalism), Eksistensialisme; (3) Contemporary Theories of Education: Progresivisme,
Perenialisme, Esensialisme dan Rekonstruksionisme.
Tujuan Umum (Kompetensi Dasar)
Melalui keseluruhan studi ini diharapkan setiap peserta
dapat: menjelaskan pengertian
konsep-konsep filsafat pendidikan (Ontology, Epistemologi, Axiology; Idealism,
Realism, Neo Thomisme, Pragmatisme, dan Existentialism) antara istilah dan
problemanya yang dihadapinya dalam kerangka input
– instiusi pendidikan -- Proses Belajar Mengajar – Output -- income.
Tujuan Khusus (Hasil Belajar)
1.
Mahasiswa
mampu menjelaskan arti, ruanglingkup dan kajian filsafat dan filsafat
pendidikan.
2.
Mahasiswa
mampu mengemukakan peran filsafat dalam pendidikan kristiani, serta aspek
metafisika, epistemologi dan aksiologi dalam praktek pendidikan kristian.
3.
Mahasiswa
mampu menjelaskan istilah seperti: ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
4.
Mahasiswa
mengidentifikasi aliran-aliran filsafat pendidikan seperti: idealism, realism
pragmatism, existentialsm, perenialisme, progresivisme dan konstruksionisme.
5.
Mahasiswa
mampu mengidentifikasikan corak filsafat pendidikan yang mewarnai pendidikan
nasional di Indonesia dan inplikasinya bagi PAK di sekolah dan perguruan
tinggi.
6.
Mahasiswa
mampu merumuskan pemahamannya sendiri dalam bentuk sebuah tulisan ilmiah,
tentang filsafat pendididkan kristiani dalam konteks pelayanan yang tengah dan
akan dikerjakannya.
Pokok-pokok
Bahasan
1. Silabus
2. Perbendaharaan
Kata Filsafat Pendidikan
3. Identitas Tiga Problem Dasar dalam Filsafat
Pendidikan: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
4. Proses Pendidikan: input – instiusi pendidikan
-- Proses Belajar Mengajar – Output -- income.
5. Hubungan Filsafat Pendidikan dengan
Agama dan Sekuler
6.
Teori Kebenaran: Konsisten, Koresponden dan
Pragmatis
7.
Konflik antara Etika dan Estetika
8. Aliran-aliran
Filsafat yang Mempengaruhi Pendidikan: (1)
Traditional Philosophies of Education: Idealism, Realism, Materialisme dan
Naturalism, Tradisionalis (Neo-Thomism);
(2) Modern Philosophies of Education:
Pragmatism (Experimentalism),
Eksistensialisme; (3) Contemporary
Theories of Education: Progresivisme, Perenialisme, Esensialisme dan Rekonstruksionisme
9.
Formulasi
Filsafat Pendidikan Pribadi: Mahasiswa mengembangkan filsafat pendidikan secara
perorangan dalam satu paper.
Bahan
Utama
Harianto
GP. 2015. Diktat
Filsafat Pendidikan Agama Kristen. Surabaya: STT Bethany.
Bahan
Acuan Utama
Astley, Jeff. 1994. The
Philosophy of Christian Religious Education. Birmingham: Religious
Education Press.
Bayles, Ernest E. 1996. Pragmatism
in Education. New York: Harper & Row.
Bernadib, Imam. 2002. Filsafat
Pendidikan. Yogyakarta: Adicita karya Nusa.
Boehlke, Robert. 1997. Sejarah
Perkembangan Pikiran dan Praktek Agama Kristen. Jilid II. Jakarta: BPK
Gunung Mulia.
Boehlke, Robert. 1991. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek
Agama Kristen. Jilid 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Butle, J.Donald. 1966. Idealism
in Education. New York: Harper & Row.
Butler, J. Donald. 1957. Four
Philosophies. New York: Harper & Brothers Publisher.
Daniels, Norman and Keith
Lehrer (eds.). 1995. Philosophy of Education. Colorado:
Westview Press, Inc.
Geisler, Norman L. &
Paul D. Feinberg. 2002. Filsafat dari
Perspektif Kristiani. Malang: Gandum Mas.
Gutek, Gerald L. 1997. Historical
and Philosophical Fourdations of Education. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Henry, Nelson B. (ed.). 1955.
Modern Philosophies and Education.
Part 1. Chicago: University of Chicago Press.
Kneller, George F. 1971. Introduction to the Philosophy of Education.
New York: John Wiley & Sons, Inc.
Knight, Goerge R. 1980. Philosophy and Education. Berrien
Springs: Andrews University Press.
Martin, WM. Oliver. 1969. Realism
in Education. New York: Harper & Row.
Morris, Van Cleve. 1966. Existentialism in Education. New York: Harper & Row.
Mudyahardjo, Redja. 2004. Filsafat Ilmu Pendidikan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Ozmon, Howard A. and Samuel M. Craver. 1995. Philosophical
Foundations of Education. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Peterson,
Michael L. 1986. Philosophy of Education. Downers Grove: InterVarsity Press.
Sadulloh, Uyoh. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung:
CV Alfabeta.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat
Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Metode
Dalam mewujudkan tujuan khusus atau hasil belajar di atas,
kegiatan belajar mengajar ditempuh dengan pendekatan berikut:
1.
Ceramah
(penjelasan dari dosen), diskusi dan tanya jawab
2.
Inquiry,
Solving Problem
3.
Presentasi
4.
Diskusi
5.
Tugas-tugas
pendalaman
Evaluasi
dan Kriteria Penilaian
1. Aktifitas dan kehadiran = 10%
2. Tugas UTS = 40%. Pembuatan
Rumusan Filsafat Pendidikan (Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi) berdasarkan
Nilai-nilai Alkitab. Bagian ini mahasiswa hanya mengumpulkan ayat-ayat Alkitab
dan memberi tafsiran. Setiap mahasiswa
merumuskan nilai-nilai Alkitab dari 3 kitab.
3. Tugas
UAS = 50% Judul paper “Evaluasi di antara Ontologi (pilih
Ontologi, Epistemologi atau Aksiologi) berdasarkan Kitab Daniel (pilih 1 Kitab) dengan Pragmatisme (pilih 1 model
Filsafat pendidikan) dan penerapannya di Sekolah
Minggu Gereja Bethany Nginden Surabaya”. Fisafat Pendidikan pilih dari Ontologi, Epistemologi atau
Aksiologi) berdasarkan Nilai-nilai Alkitab. Bagian ini terdiri dari 5 bab
adalah: Bab I Pendahuluan, Bab II Filsafat Pendidikan Berdasarkan Kitab …; Bab
III memilih satu model filsafat pendidikan
yang Saudara sukai, Bab IV Evaluasi di antara Filsafat pendidikan
berdasarkan Kitab …. (1 Kitab) dengan model Filsafat pendidikan (1 model saja)
dan penerapannya terhadap instiusi pendidikan di Indonesia; Bab V Kesimpulan
dan saran.
Jadwal Kegiatan
Belajar
Selasa, 19 Januari 2016
1.
Session 1
Silabus, Perbendaharaan Kata Filsafat Pendidikan, dan Identitas Tiga Problem Dasar dalam Filsafat Pendidikan: Ontology, Epistemologi, dan Axiology
2. Session
2 Lima Komponen Dasar dalam Proses
Filsafat Pendidikan: Guru, Murid, Kurikulum, Metode dan Hasil Akhir, Hubungan
Filsafat Pendidikan dengan Agama dan Sekuler dan Teori
Kebenaran: Konsisten, Koresponden dan Pragmatis
Rabu, 20 Januari 2016
1. Session
3 Konflik antara Etika dan Estetika, Idealism; Presentasi
1- Realism
2.
Session 4 Presentasi 2-Materialisme; Presentasi 3-Tradisionalis
(Neo-Thomism)
Kamis, 21 Januari 2016
1. Session
5 Presentasi 4- Pragmatism (Experimentalism)
2. Session
6 Presentasi 5 - Eksistensialisme
Jumat, 22 Januari 2016
1. Session
7 Presentasi 6 - Progresivisme
2.
Session 8 Presentasi
7 - Perenialisme
Sabtu, 23 Januari 2016
1. Session
9 Presentasi 8 - Esensialisme
2.
Session 10 Presentasi
9 - Rekonstruksionisme dan Pendalaman
Tugas Paper
I. PERBENDAHARAAN KATA
FILSAFAT PENDIDIKAN
Pengertian Filsafat
Filsafat
berasal dari dua istilah Yunani “philos” dan “sophia”, yang berarti “cinta
kebijaksanaan”; “cinta akan hikmat”; “cinta akan pengetahuan”. Seorang “filsuf”
adalah seorang “pencinta”, “pencari” (philos)
hikmat atau pengetahuan (sophia).[1]
Karena kecintaan, keinginan atau kerinduannya orang berupaya mencari, menggali
dan merumuskan kebenaran. Kebenaran hal ini menyangkut pertanyaan-pertanyaan
tentang makna dan tujuan hidup yang paling hakiki (the quest of life).[2]
Selanjutnya dengan kehidupan atau perkembangan peradaban manusia dan problema
kehidupan yang dihadapinya, maka pengertian yang bersifat teoris seperti yang dilahirkan filsafat Yunani di atas
kehilangan kemampuannya untuk memberi jawaban yang layak tentang kebenaran itu.
Peradaban itu telah menyebabkan manusia melakukan loncatan besar dalam bidang
sains, teknologi, kedokteran dan pendidikan.[3]
Misalnya
peradaban manusia Eropa pada abad pertengahan hidup dalam kesadaran bahwa kenyataan bersifat sakramental, artinya
merupakan tanda dan lambang mengenai kenyataan ilahi. Itulah pengalaman
hidupnya. Berbeda dengan waktu Renaissance timbullah pengalaman bahwa kenyataan
itu merupakan dunia kebendaan, materi, yang hakekatnya bersifat matematis,
dapat digariskan, dipatoki dengan jelas dan cermat.[4] Dari
sini filsafat menjadi pengalaman kehidupan sehari-hari. Filsafat dapat
“mengkodratkan” pengalaman dan menjadikannya kesadaran dalam satu sistem.[5]
Berkaitan
dengan konsep filsafat di atas, maka George Knight menjabarkan lebih jelas. Ia merumuskan
bahwa filsafat memiliki tiga dimensi sebagai berikut: pertama,
sebagai “subject matter” atau konsep: filsafat mempelajari masalah-masalah metafisika (apa yang nyata),
epistemology (pengetahuan dan bagaimana mengetahui), dan aksiologi (nilai, etika
dan keindahan). Kedua, sebagai
kegiatan: filsafat menempuh langkah-langkah analisis, sintesis, spekulatif
dan preskriptif. Ketiga, filsafat melibatkan sikap (attitude): kesadaran diri,
penetratif, komprehensif, dan fleksibilitas.[6] Jadi,
filsafat adalah kegiatan yang senantiasa bertujuan untuk membentuk atau
merumuskan “pandangan dunia” (worldview)
dalam rangka mencari hikmat atau pengetahuan.
Metode Filsafat
Filsafat mempergunakan banyak cara, berbagai
metode, dan multi metode. Metode berasal dari perkataan Yunani “Methodos”, yang
artinya: (1) sesuatu prosedur yang dipakai untuk mencapai sesuatu tujuan; (2)
sesuatu teknik mengetahui yang dipakai dalam proses mencari ilmu pengetahuan
dari sesuatu materi tertentu; (3) sesuatu ilmu yang merumuskan aturan-aturan
dari suatu prosedur.[7] Mohammad Noor Syam
mengatakan ada beberapa metode filsafat sebagai berikut: pertama, contemplative
(perenungan). Merenung berarti memikirkan sesuatu, atau segala sesuatu, tanpa
keharusan adanya kontak langsung dengan obyeknya. Obyek perenungan dapat berupa
apa saja, misalnya tentang makna hidup, mati, kebenaran, keadilan, keindahan
dan sebagainya. Hal ini cara filsafat
untuk memikirkan segalanya secara mendalam.
Kedua, speculative (perenungan
atau merenung). Merenung lebih mendalam untuk mencari hakekat ilmu dengan
pikiran yang tenang, kritis, pikiran murni dan cenderung menganalisa,
menghubungkan antara masalah, dan berulang-ulang sampai mantap. Ketiga,
deductive. Metode deductive adalah berpikir dan
penyelidikan ilmiah umumnya menggunakan metode induktif. Proses induktif adalah
penyelidikan berdasarkan eksperimen yang dimulai dari obyek yang khusus untuk
mendapat kesimpulan yang bersifat umum.[8]
Ruang Lingkup Kajian Filsafat
Dari
definisi “filsafat” di atas, maka ruang lingkup kajian filsafat dapat diartikan
sebagai aktifitas pikiran teratur yang
membentuk worldview seseorang sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan
memadukan proses pendidikan. Jadi, filsafat
menggambarkan satu aspek dari aspek-aspek pelaksanaan falsafah umum dan
menitikberatkan kepada pelaksanaan prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasar
dari filsafat umum dalam upaya memecahkan persoalan pendidikan secara praktis.
Bila
diberi contoh kaitannya dengan pendidikan, maka Donald Butler mengatakan bahwa
filsafat memberikan arah dan metodologi terhadap praktek pendidikan, sedangkan
praktek pendidikan memberikan bahan-bahan bagi pertimbangan-pertimbangan
filosofis. Keduanya sangat berkaitan erat.[9] Berkaitan dengan hal tersebut, maka John
Dewey mengatakan filsafat merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang
fundamental, baik menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan
(emosional), menuju ke arah karakter manusia, maka filsafat bisa juga diartikan
“sebagai teori umum pendidikan”.[10]
Metode Filsafat Pendidikan
Dalam
dunia pendidikan dikenal istilah “paedagogie” artinya “pendidikan” dan istilah
“paedagogiek” artinya ilmu pendidikan. Pedagogik atau ilmu pendidikan ialah
ilmu pengetahuan yang menyelidiki, merenungkan tentang gejala-gejala perbuatan
mendidik. Pedagogik berasal dari kata
Yunani “paedagogia” yang berarti “pergaulan dengan anak-anak”. Paedagogos (paedos “anak”; agoge “saya membimbing,
memimpin”) ialah seorang pelayan dalam zaman Yunani kuno, yang pekerjaannya
mengantar dan menjemput anak-anak ke dan dari sekolah. Juga di rumahnya, anak-anak tersebut selalu
dalam pengawasan dan penjagaan dari
para paedagogos itu. Jadi nyatalah bahwa
pendidikan anak-anak Yunani kuno sebagian dibesar dan diserahkan kepada
paedagogos.[11] Sedangkan dalam kata Latin terdiri dari kata “educare” artinya “merawat, memperlengkapi dengan gizi,
agar sehat dan kuat” dan kata “educere” artinya “membimbing keluar dari”.
Secara historis filsafat pendidikan
dikembangkan oleh Aristoteles, Augustinus, dan John Locke adalah filsafat
tentang proses pendidikan sebagai bagian
dari sistem filsafat mereka dalam konteks teori-teori etika, politik,
epistemologi, dan metafisika yang mereka
anut. Sedangkan filsafat pendidikan yang dikembangkan akhir-akhir ini, oleh pengaruh
filsafat analitik, merupakan filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan dalam
konteks dasar-dasar pendidikan (foundations of education) yang
dihubungkan dengan bagian-bagian lain
dalam disiplin ilmu pendidikan, yaitu sejarah pendidikan, psikologi pendidikan,
dan sosiologi pendidikan.[12]
Berkaitan di atas, maka Donald Butler mengatakan bahwa filsafat memberikan arah
dan metodologi terhadap praktek pendidikan, sedangkan praktek pendidikan
memberikan bahan-bahan bagi pertimbangan-pertimbangan filosofis. Keduanya
sangat berkaitan erat.[13]
John Dewey mengatakan filsafat pendidikan
merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut
daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional), menuju ke arah
karakter manusia, maka filsafat bisa juga diartikan “sebagai teori umum
pendidikan”.[14]
Sedangkan Barnadib mengatakan bahwa filsaat pendidikan ialah ilmu yang pada
hakikatnya merupakan “jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam bidang
pendidikan”. Karenanya, dengan bersifat filosofi maka filsafat pendidikan
merupakan “aplikasi sesuatu filosofis terhadap bidang pendidikan”.[15]
Brubachen mengatakan bahwa filsafat dipandang sebagai bunga, bukan sebagai akar
tunggal pendidikan. Filsafat pendidikan berdiri secara bebas dengan memperoleh keuntungan karena
mempunyai kaitan dengan ilmu umum, meskipun demikian tidak penting tetapi yang
terjadi ialah sesuatu keterpaduan antara pandangan filosofis dengan filsafat
pendidikan. Hal itu terjadi karena filsafat sering diartikan sebagai teori
pendidikan dalam segala tahap.[16]
Sedangkan Jan Hendrik Rapar mengatakan bahwa filsafat pendidikan adalah
pemikiran-pemikiran filsafati tentang pendidikan atau pemikiran-pemikiran
filsafat tentang proses pendidikan.[17]
Dalam Ensiklopedi
Pendidikan (1982) secara umum pendidikan dapat diartikan sebagai
“semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya,
pengalamannya, kecakapannya, serta keterampilannya kepada generasi muda sebagai
usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun
rohaniah”. Penegasan itu menyatakan
bahwa pendidikan merupakan usaha atau upaya sadar tujuan, atau bersahaja, dan
karena itu, ia menuntut perencanaan, strategi atau pendekatan.[18]
Berkaitan di atas, B.S. Mardiaatmadja mengatakan
bahwa pendidikan adalah suatu usaha bersama dalam proses terpadu-terorganisir untuk membantu
manusia mengembangkan diri dan menyiapkan diri
guna mengambil tempat semestinya dalam pengembangan masyarakat dan
dunianya di hadapan Sang Pencita.[19] Ngalim
Purwanto juga mendefinisikan bahwa pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya
dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah
kedewasaan atau agar berguna bagi diri sendiri dan bagi masyarakat.[20] Poerbakawatja juga sependapat dengan definisi
pendidikan yang sebelumnya adalah usaha secara sengaja dari orang dewasa yang
mana dengan pengaruhnya meningkatkan kedewasaan dari anak yang selalu diartikan
kemampuan untuk memikul tanggung jawab moril dari segala perbuatannya.[21]
Jadi, pendidikan secara menyeluruh menyangkut segala segi hidup manusia. John
Dewey mengatakan bahwa pendidikan adalah sebagai proses pembentukan kemampuan
dasar yang fundamental, yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya
rasa (emosi) manusia.[22] Jadi
dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa filsafat pendidikan adalah aktifitas
pikiran teratur yang membentuk wolrdview seseorang sebagai jalan untuk
mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan.
Karena sifat filsafat pendidikan begitu luas maka
filsafat pendidikan tidak berdiri pada satu sisi lingkup saja melainkan
mempunyai berbagai ruang yang menjadi kajiannya. Brubacher mengatakan bahwa
sifat filsafat pendidikan sebagai berikut: Pertama,
spekulatif (sinoptik maupun sintesis) di mana dengan
prinsip ini seseorang berpikir secara menyeluruh, komprehensif dan integrative;
berpikir tentang sesuatu dari berbagai sudut pandang. Kedua, normative di mana
ada sesuatu yang dianggap ideal atau standar, yang dijadikan sebagai titik tolak
ataupun patokan, serta kriteria penilaian. Ketiga,
kritis (critical) di mana seseorang
mampu memberi penjelasan terhadap makna dari istilah atau konsep yang
digunakan.[23]
Berkaitan dengan sifat filsafat pendidikan (spekulatif,
normative, dan critical), maka John Verhaar memperlihatkannya bagaimana kerjanya dalam pendidikan akademis.
Verhaar merumuskan dalam tiga taraf, yaitu: instruksi,
edukasi, dan formasi. Pada tataran instruksi
yang disajikan kepada para mahasiswa ialah informasi, bukan pendapat; atau
sejumlah pendapat tentang sesuatu masalah, tetapi hanya sebagai inventaris
pendapat. Taraf instruksi dibedakan dari taraf edukasi atau formasi. Taraf edukasi dan formasi perlu refleksi, introspeksi,
mawas diri. Pada tataran edukasi terlaksanalah hal-hal yang perlu untuk
integrasi intelektual dari data-data
termasuk informasi dari tataran instruksi. Pada umumnya di tataran
edukasi itu dikembangkan kemampuan untuk berpikir secara kritis, dengan suatu
metode yang konsekuen dan untuk membangun sesuatu teori. Pada tataran formasi
ialah penyadaran tentang dirinya sebagai “person” yang mempunyai banyak
keterbatasannya-keterbatasannya dalam pergaulan dengan orang lain.[24] Sedangkan Harry Hamersma membagi menjadi empat bidang
besar sebagai berikut: Pertama,
filsafat tentang pengetahuan: epistemology, logika, dan kritik ilmu-ilmu. Kedua, filsafat tentang keseluruhan
kenyataan: metafisika umum (atau ontology) dan metafisika khusus (teori
metafisika, antropologi, dan kosmologi). Ketiga, filsafat tentang
tindakan: etika dan estetika. Keempat,
sejarah filsafat.[25]
Lebih dalam, maka Jalaluddin dan Idi merumuskan bahwa
ruang lingkup filsafat pendidikan terbagi menjadi dua bagian sebagai berikut:
secara makro (umum) apa yang menjadi obyek pemikiran filsafat dan obyek
pemikiran filsafat pendidikan, yaitu: dalam ruang lingkup yang menjangkau
permasalahan kehidupan manusia, alam semesta dan alam sekitarnya. Secara mikro (khusus) meliputi: Pertama, merumuskan secara tegas sifat
hakikat pendidikan (the nature of
education). Kedua, merumuskan
sifat hakikat manusia, sebagai subyek dan obyek pendidikan (the nature of man). Ketiga, merumuskan secara tegas hubungan antara filsafat, filsafat
pendidikan, agama dan kebudayaan. Keempat,
merumuskan hubungan antara filsafat,
filsafat pendidikan dan teori pendidikan. Kelima,
merumuskan hubungan antara filsafat Negara (ideologi), filsafat pendidikan dan
politik pendidikan (sistem pendidikan). Keenam,
merumuskan sistem nilai-norma atau isi moral pendidikan yang merupakan tujuan
pendidikan.[26]
II. Identitas Tiga
Problem Dasar
dalam Filsafat
Pendidikan
Identitas tiga probem dasar dalam filsafat
pendidikan adalah menekankan pada ontology (metafisika), epistemology dan aksiologi. Ketiga hal tersebut adalah dasar atau pintu
filsafat pendidikan.
Makna Ontologi (Metafisika)
Metafisika
berasal dari bahasa Yunani Kuno, yang terdiri dari dua kata “meta” dan
“fisika”. Meta berarti “sesudah di belakang”, atau “melampaui”, dan “fisika”
berarti alam nyata. Istilah metafisika merupakan judul yang diberikan oleh
Andronikos dari Rhodes terhadap empat belas buku yang ditulis oleh Aristoteles,
yang ditempatkan sesudah fisika yang terdiri dari delapan buku. Aristoteles
sendiri tidak menggunakan istilah metafisika dan fisika, melainkan “filsafat
pertama untuk metafisika” dan “filsafat kedua untuk fisika”.[27]
Kata
“metafisika” itu saat ini memiliki berbagai arti. Metafisika bisa berarti upaya
untuk mengkarakterisasi eksistensi atau realitas sebagai suatu keseluruhan,
atau berarti sebagai usaha untuk menyelidiki alam yang berada di luar
pengalaman atau menyelidiki apakah hakikat yang berada di balik realitas.
Tetapi secara umum, metafisika menunjuk pada arti suatu pembahasan filsafati yang
komprehensif mengenai seluruh realitas atau tentang segala sesuatu yang ada.
Metafisika
dibagi menjadi dua sebagai berikut: metafisika umum (ontologi) dan metafisika
khusus (kosmologi, teologi metafisik, dan filsafat antropologi).[28] Ontolongi membahas tentang teori umum
mengenai semua hal, sedangkan metafisika khusus membahas esensi dari yang ada,
hakikat dari segala wujud yang ada: siapa manusia, dari mana asal usulnya, apa
yang dituju manusia, dan untuk apa hidup di dunia ini.[29]
Pembahasan
ontologi dilakukan dengan membedakan dan memisahkan eksistensi “dari segala
sesuatu”. Pertanyaan-pertanyaan ontologi yang utama dan paling sering diajukan
adalah sebagai berikut: apakah suatu realitas itu beraneka ragam dan
berbeda-beda? Apakah hakekatnya satu atau tidak? Apabila memang benar satu, apakah realitas yang satu
itu.apakah eksistensi yang sesungguhnya dari segala sesuatu yang ada itu
merupakan realitas yang tampak atau tidak?
Ada tiga teori ontologis[30]
antara lain: Pertama, idealisme,
teori ini mengajarkan bahwa ada yang sesungguhnya berada di dunia ide. Segala
sesuatu yang tampak dan mewujudkan nyata dalam alam indrawi hanya merupakan
gambaran atau bayangan dari yang sesungguhnya yang berada di dunia ide. Kedua, materialisme menolak hal-hal
yang tidak kelihatan. Bagi materialisme, ada yang sesungguhnya adalah yang
keberadaannya semata-mata bersifat material atau sama sekali tidak bergantung
pada material. Jadi realitas sesungguhnya adalah alam kebendaan dan segala
sesuatu yang mengatasi alam kebendaan itu haruslah dikesampingkan.[31] Ketiga,
dualisme mengajarkan bahwa substansi individual terdiri dari dua fundamental
yang berbeda dan tak dapat direduksikan kepada yang lainnya. Kedua tipe
fundamentalis dari substansional itu ialah material dan mental.[32]
Dengan demikian dualisme mengakui bahwa realitas terdiri dari materi atau yang
ada secara fisis dan mental atau yang beradanya tidak kelihatan secara fisis.
Dualisme harus dibedakan dari monisme dan pluralisme. Monisme dan Pluralisme
adalah teori tentang jumlah substansi dan bukan mempersoalkan tipe fundamental
dari substansi itu.
Epistemologi
Istilah
“epistemologi” berasal dari bahasa Yunani Kuno, dengan asal kata “episteme”
yang berarti “pengetahuan” dan “logos” (kata, pikiran, percakapan atau ilmu),
yang berarti “teori”. Secara etimologi, epistemologi berarti teori pengetahuan.
Epistemologi membahas atau mengkaji tentang asal, struktur, metoda, serta
keabsahan pengetahuan.[33]
Epistemologi adalah
suatu cabang filsafat yang bersangkut paut dengan teori pengetahuan.[34] Istilah epistemologi berasal dari bahasa
Yunani, yang terdiri dari dua kata
“Episteme” (pengetahuan) dan “logos”
(kata; pikiran; ilmu). Jadi jikalau disimpulkan maknanya, maka istilah
epistemologi berarti “kata, pikiran, percakapan tentang pengetahuan atau ilmu
pengetahuan”. [35]
Sedangkan,
secara tradisional yang menjadi pokok persoalan epistemologi ialah sumber,
asal-usul, sifat dasar pengetahuan; bidang, batas, dan jangkauan
pengetahuan; serta validitas dan
reliabilitas (reability) dari
berbagai klaim pengetahuan. Oleh sebab itu, rangkaian pertanyaan yang biasa
diajukan untuk mendalami permasalahan yang dipersoalkan dalam epistemologi
adalah sebagai berikut: Apa pengetahuan
itu? Apakah yang menjadi sumber dan dasar pengetahuan itu? Apakah pengetahuan itu
berasal dari pengamatan, pengalaman, atau akal budi? Apakah pengetahuan itu
adalah kebenaran yang pasti ataukah hanya merupakan dugaan?[36]
Jika dikatakan bahwa
seseorang mengetahui sesuatu, itu berarti ia memiliki pengetahuan tentang
sesuatu itu. Dengan demikian,
pengetahuan adalah suatu kata yang
digunakan untuk menunjuk kepada apa yang diketahui oleh seseorang tentang
sesuatu. Pengetahuan memiliki subyek yaitu yang mengetahui, karena tanpa ada
yang mengetahui tidak mungkin ada pengetahuan. Jika ada subyek, pasti ada
obyeknya, yakni sesuatu hal yang
seseorang ketahui atau dihendaki untuk diketahui.
Pengetahuan dibagi dalam tiga jenis
yaitu: Pertama, pengetahuan biasa (ordinary knowledge). Kedua,
pengetahuan ilmiah (scientific knowledge).
Ketiga, pengetahuan filsafat (philosophical
knowledge). [37]
Berkaitan hal tersebut, maka sumber utama pengetahuan bisa bersumber dari akal
budi atau rasio.[38]
Aksiologi
Secara
etimologi, istilah “aksiologi” berasal dari bahasa Yunani Kuno, terdiri dari
kata “aksios” yang berarti “nilai” dan kata “logos” yang berarti “teori”. Aksiologi mempelajari
nilai. Jadi, aksiologi adalah teori nilai yang membahas hekikat nilai, tipe
nilai, kriteria nilai, dan status metafisika nilai.[39]
Aksiologi menunjuk pada suatu nilai
tertentu. Nilai suatu obyek sangat
dipengaruhi nilai subyek yang ada.
Manusia memiliki nilai, sehingga nilai seseorang dari apa yang
diungkapkan maupun dilakukan. Nilai-nilai sangat relative, tetapi ada nilai
yang jauh lebih mutlak dan ditempat tinggi dibanding dengan nilai-nilai
relative yang dibawah. Manusia berbuat baik karena mengetahui nilai yang ada
pada dirinya. Pada aksiologi yang mengarah suatu kebaikan yang tertinggi berupa
kebahagiaan dan cinta kasih Tuhan.[40]
Bagi
Louis Kattsoff bahwa nilai merupakan kualitas empiris yang tidak dapat
didefinisikan dan sebagai obyek suatu kepentingan.[41]
Meskipun begitu, nilai mempunyai macam makna sebagai berikut: (1) mengandung
nilai (artinya, berguna); (2) merupakan nilai (artinya, “baik” atau “benar”
atau “indah”); (3) mempunyai nilai (artinya, merupakan obyek keinginan,
mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan orang mengambil sikap “menyetujui”,
atau mempunyai sifat nilai tertentu); (4) memberi nilai (artinya, menanggapi
sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai
tertentu).[42]
Berkaitan
dengan makna nilai, maka timbul beberapa pertanyaan: Apakah yang dinamakan
nilai itu? Apakah yang menyebabkan bahwa suatu obyek atau perbuatan bernilai,
dan bagaimanakah cara mengetahui? Bilamanakah sebutan nilai dapat diterapkan?
Proses kejiwaan apakah yang tersangkut dalam tanggapan-tanggapan penilaian?
Bagaimanakah cara menentukan makna-makna yang dikandungnya serta verifikasi
yang dapat dilakukan terhadapnya?
Nilai suatu obyek sangat dipengaruhi oleh
nilai subyek yang ada. Manusia memiliki nilai,
sehingga nilai seseorang dari apa yang diungkapkan maupun dilakukan.
Nilai-nilai sangat relative, tetapi ada nilai yang jauh lebih mutlak dan
ditempat tinggi dibanding dengan nilai-nilai relative yang dibawah. Manusia
berbuat baik karena mengetahui nilai yang ada pada dirinya. Pada aksiologi yang
mengarah suatu kebaikan yang tertinggi berupa kebahagiaan dan cinta kasih
Tuhan.[43]
III. Lima Komponen Dasar
dalam Proses Filsafat Pendidikan
Lima
komponen dasar dalam proses filsafat pendidikan mengidentifikasikan: Kurikulum, Guru, Metode, Murid dan
Hasil Akhir dalam proses Filsafat Pendidikan. Tetapi, S. Nasution mengatakan ada empat elemen filsafat pendidikan sebagai
berikut: tujuan pendidikan, mata
pelajaran, proses belajar-mengajar, dan evaluasi hasil akhir.[44]
Pemahaman di atas diuraikan sebagai berikut:
Visi ke Tujuan Pendidikan
Pemahaman tujuan pendidikan dilihat dari scholastisisme dan empirisme. Secara “scholastisisme” di mana Thoma Aquinus dan kawan-kawan
mengatakan bahwa tujuan-tujuan pendidikan adalah: Pertama, tidak
semata-mata ditujukan untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia, tetapi
terutama untuk mencapai kebahagiaan hidup di akhirat dalam pengenalan jiwa
dengan Tuhan. Kedua, untuk
mencapai tujuan tersebut pendidikan harus tertuju pada pengembangan keseluruhan
potensi manusia yang mencakup: intelektual, fisik (jasmaniah), volitional (kemauan), dan vokasional
(bekerja).[45]
Sedangkan
secara “empirisme”, maka John Locke dan kawan-kawan mengatakan bahwa
bertujuan adalah: Pertama, membentuk manusia yang berwatak atau
berkebajikan (gentlemen; gentlewoman) yaitu, manusia yang dapat
mengendalikan segala perasaan kecenderungan dan berbuat semata-mata berdasarkan
pikiran sehat. Kedua, manusia berwatak mempunyai ciri-ciri: bijaksana
dalam mengambil keputusan, cermat dalan
berbuat, dan sungguh-sungguh dalam berpikir.[46]
Bila
dikaitan dengan pendidikan maka tujuan-tujuan di atas bermula dari sebuah visi.
Visi menjabarkan tujuan-tujuan. Visi merupakan perwujudan proses pendidikan.
Visi adalah rumusan konsep permulaan untuk diwujudkan dalam bentuk-bentuk aktifitas (misi) dalam proses
pendidikan. Berkaitan dengan visi maka
J.E. Sahetapy mengatakan bahwa
“tanpa visi maka hidup seseorang akan terombang-ambing. Ia seperti kehilangan kompas bila berada di lautan
kehidupan bergelombang ganas di malam gelap.
Tanpa misi hidup seseorang akan steril, tak berbuah, tidak berbunga dan
tak berkembang”.[47] W. Gulo
berpendapat bahwa ada dua dimensi yang menyatu dalam visi, yaitu dimensi
“atas-bawah” dan dimensi “akan-kini”. Dimensi atas-bawah itu tidak lain dari
pernyataan Allah yang mengandung nilai-nilai yang ingin diwujudkan dalam
situasi yang konkrit seperti: kasih, keadilan, dan kebenaran. Dimensi akan-kini
menunjukkan hubungan antara realitas dan idealis. Menurut Gulo, visi dibangun
di atas kenyataan yang ada, dimana pemahaman di atas kenyataan yang ada itu
dihadirkan yang ideal, yaitu pernyataan Allah.[48] Visi seperti inilah yang diharapkan menjadi landasan
konseptual bagi pengelola pendidikan baik secara formal maupun nonformal yang
sebagai dasar untuk menjabarkan tujuan. Apabila visi adalah pendorong atau
pedoman konseptual, maka tujuan adalah sasaran operasional, dimana untuk
mencapai tujuan dimaksud maka perlu untuk menetapkan misinya. Misi ini adalah
landasan bagi tatalaksana operasional dari lembaga pendidikan (Sekolah Alkitab
atau Teologi) itu, dimana untuk melaksanakan misinya, setiap lembaga pendidikan
perlu menetapkan kurikulum pengajaran.[49] Dengan demikian, maka adanya tujuan yang
dinyatakan dari visi dalam proses pendidikan sangatlah penting. Kalau tanpa
visi segala kegiatan adalah liar, maka proses pendidikan tanpa tujuan adalah
sia-sia.
Mata Pelajaran (Kurikulum)
Bahan pelajaran adalah bahan yang diajarkan
kepada peserta didik. Bahan pelajaran dalam arti sempit disebut “kurikulum”
(arti luas kurikulum: tujuan pendidikan, bahan pelajaran, proses
belajar-mengajar “pendidik dan peserta didik,
dan evaluasi hasil akhir).
Kurikulum dalam Arti Sempit
Secara tradisional (arti sempit), istilah
kurikulum diartikan sebagai rencana tentang sejumlah mata pelajaran atau bahan
ajaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga pendidikan untuk dipelajari oleh
siswa dalam mengikuti pendidikan di lembaga itu.[50] Dalam kamus “Webster’s New International
Dictionary” yang sudah memasukan istilah
kurikulum sejak tahun 1953, memberi arti kepada istilah kurikulum sebagai
berikut: 1) sebagai sejumlah pelajaran yang ditetapkan untuk dipelajari
oleh siswa di suatu sekolah atau perguruan tinggi, untuk memperoleh suatu
ijazah atau gelar. 2) keseluruhan mata pelajaran yang ditawarkan oleh suatu
lembaga pendidikan atau suatu departemen tertentu.
Memang umumnya kurikulum dipahami orang
sebagai bahan-bahan tercetak (buku, majalah) berisikan pelajaran,
petunjuk-petunjuk, gambar-gambar, soal-soal dan sebagainya. Kata lain kurikulum sebagai bahan pelajaran (subject
matter).[51]
Kurikulum dalam Arti Luas
Sebelum abad ke-20, istilah kurikulum belum
banyak digunakan dalam konteks pendidikan.
Konsep-konsep kurikulum mulai berkembang sejak dipublikasikannya buku
“The Curriculum” yang ditulis oleh Franklin Bobbitt (1918). Di sini kurikulum
mempunyai arti yang lebih meluas. Kurikulum adalah suatu rencana yang menjadi
panduan dalam menyelenggarakan proses pendidikan.[52]
Melanjutkan pemikiran di atas, maka Saylor, Alexander dan Lewis merumuskan
kurikulum sebagai berikut: pertama, kurikulum sebagai rencana tentang
mata pelajaran atau bahan-bahan pelajaran. Kedua, kurikulum sebagai
rencana tentang pengalaman belajar. Ketiga, kurikulum sebagai rencana
tentang tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Keempat, kurikulum
sebagai rencana tentang tempat belajar.[53] Tak heran bila Eli Tanya merumuskan kurikulum berarti “sepanjang hidup belajar,
meringkas segala pengalaman dan pengaruh-pengaruh yang terdapat di sekeliling
murid.[54]
International Council of Religious Education mendefinisikan kurikulum adalah
“pengalaman si pelajar di bawah bimbingan.”[55]
Abdul Rajak Husain mengatakan kurikulum
adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar.[56]
Unsur-unsur Design
Kurikulum Arti Luas
W.P. Napitupulu
merumuskan bahwa komponen kurikulum sebagai berikut: guru – murid -- bahan
pelajaran -- alat-alat pendidikan. Di sini guru
memegang peran penting dan terberat.
Keberhasilan proses belajar ditentukan oleh seorang guru.[57] Sementara Ornstein
mengatakan bahwa proses kurikulum antara caranya (metode proses belajar-mengajar) dengan materinya
(bahan pelajaran). Kedua merupakan proses yang berjalan bersama-sama.[58] Tetapi rumusan ini sudah tertinggal karena
muncul rumusan yang dirangkum oleh Muhammad Ali. Ia merumuskan komponen-komponen kurikulum
sebagai berikut: komponen tujuan, komponen isi atau materi, komponen metode atau
organisasi, dan komponen evaluasi.[59] Uraian komponen-komponen di atas sebagai
berikut:
Komponen Tujuan
Komponen tujuan adalah arah atau
sasaran yang hendak dituju oleh proses penyelenggara pendidikan. Dalam setiap kegiatan sepatutnya mempunyai
tujuan, karena tujuan menuntun kepada apa yang hendak dicapai, atau sebagai
gambaran tentang hasil akhir dari suatu kegiatan.
Penerapan konsep tujuan
kurikulum pertama kali dikemukakan oleh Franklin Bobbit. Prosedur yang
digunakan dalam pengembangan kurikulum dengan menerapkan konsep ini adalah
dengan merumuskan tujuan-tujuan.
Prosedur Bobbit ini selanjutnya oleh Ralp Tyler lebih dirinci yang pertama kali
dimunculkan tahun 1949. Tyler mengatakan bahwa prinsip-prinsip perencanaan
kurikulum dan pengajaran dengan mengajukan empat pertanyaan: “Tujuan apa yang
ingin dicapai? Pengalaman belajar apa yang perlu disiapkan untuk mencapai tujuan
itu? Bagaimana kegiatan-kegiatan belajar itu diorganisasi secara efektif?
Bagaimana menilai keberhasilan pencapaian tujuan?”[60]
Komponen Isi Kurikulum
Komponen isi kurikulum adalah materi bahan belajar. Wujud isi
kurikulum ada beberapa sebagai berikut: pertama, “Uniform Lesson”
(pelajaran seragam). Bahan pelajaran
yang sama ditujukan untuk semua golongan umur. Kedua, “Group-graded
Lesson” (pelajaran yang disesuaikan dengan kelompok). Bahan pelajaran yang
berbeda ditujukan untuk kelompok umur yang berlainan. Ketiga,
“Closely-graded Lesson” (pelajaran yang disesuaikan secara ketat). Misalnya
bahan pelajaran khusus untuk satu tahun saja. Keempat, buku-buku
pelajaran untuk sekolah. Di Indonesia ditujukan untuk pelajaran-pelajaran
tingkat SD, SMP, dan SMU. Kelima, bahan-bahan pelajaran lain.[61]
Wujud kurikulum (bahan
pelajaran) yang lainnya adalah: pertama, kurikulum denominasi di mana
yang diterbitkan oleh denominasi tertentu, untuk kalangan sendiri. Kedua,
kurikulum bukan denominasi di mana penerbitnya bukan denominasi, tetapi
komersial. Ketiga, kurikulum usaha bersama
di mana diterbitkan dari beberapa
denominasi bersama-sama. Keempat, kurikulum yang berpusatkan isi (Content-centered
Curriculum) di mana memusatkan pelajaran Alkitab, membahas bagian-bagian
Alkitab satu per satu. Kelima, kurikulum yang berpusatkan pengalaman (Experience
Centered Curriculum) di mana isinya menitikberatkan pada pengalaman murid,
kemudian menghubungkannya dengan Alkitab atau imam Kristen. Keenam,
kurikulum berdasarkan studi unit (Unit of Study) di mana tujuannya
adalah memberi pelajaran yang lebih luas, baik pengalaman atau pokok pelajaran.[62]
Komponen Metode
Komponen metode atau organisasi adalah bagaimana isi
kurikulum yang berupa bahan pelajaran disampaikan kepada siswa. Komponen ini
juga disebut kegiatan belajar mengajar
atau “administrasi kurikulum” (di
luar negeri disebut “Administration of the Instructional Program”). Kegiatan ini merupakan pusat dari semua
kegiatan-kegiatan sekolah. Semua mengaturan dan pengaturan mengenai: murid agar
dapat belajar dengan tenang, guru-guru supaya dapat mengajar dengan teratur,
tenang dan tertib pula; penggunaan alat pelajaran yang efektif dan efisien;
penggunaan waktu untu belajar, untuk rekreasi, untuk kegiatan co-curriculair;
untuk ulangan-ulangan dan ujian, dan
sebagainya. Semua itu bertujuan agar proses belajar mengajar semakin lancar.
Komponen Evaluasi
Komponen evaluasi adalah bagian yang sangat
penting di mana hasil evaluasi dapat memberi petunjuk kepada sasaran yang ingin
dituju dapat tercapai atau tidak.
Hubungan Kurikulum dan Rencana
Kurikulum
Kurikulum bukan suatu
yang statis melainkan dinamis tetapi seseorang tidak dapat menawarkan sebuah
kurikulum yang mendapatkan hasil akhir sempurna.[63] Yang ada adalah
kurikulum yang efektif dapat memaksimalkan hasil yang maksimal.[64] Karena itu, maka
kurikulum terus berkembangan sesuai dengan kebutuhan zaman karenanya kurikulum
perlu mempunyai perencanaan. Muhammad Ali menawarkan berbagai perencanaan
kurikulum seperti: kurikulum sebagai
pengalaman belajar, kurikulum sebagai rencana belajar, kurikulum humanistis,
kurikulum sebagai rekonstruksi sosial, kurikulum sebagai teknologi, kurikulum akademis, dan banyak lagi.[65]
Kurikulum Sentral Proses Pendidikan
Kurikulum
mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum
mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan
pendidikan.[66] Kurikulum adalah
tak peduli bagaimana rancangan detailnya, terdiri atas unsur-unsur
tertentu. Suatu kurikulum biasanya mengandung suatu kenyataan mengenai maksud
dan tujuan tertentu. Kurikulum memberi petunjuk tentang beberapa pilihan dan
susunan isinya. Kurikulum menyuratkan pola-pola belajar dan mengajar tertentu,
baik karena dikehendaki oleh tujuannya maupun oleh susunan isinya. Akibatnya
kurikulum memerlukan suatu program pengevaluasian hasil-hasilnya.[67] Jadi, ruang lingkup filsafat pendidikan berbicara
menjawab segala persoalan pendidikan
(termasuk kurikulum) baik yang berorientasi kepada nilai-nilai agama[68] atau pengetahuan (duniawi).[69]
Relasi Visi dengan Kurikulum
Dari pemahaman “visi” dan “kurikulum” dapat direlasikan
bahwa keduanya mempunyai keterkaitan
satu dengan yang lain. Visi adalah
perumusan apa yang mau dicapai sedangkan kurikulum (misi) adalah proses bekerja untuk mewujudkan visi. Jadi,
kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan dan selalu menjadi satu kesatuan
dalam filsafat pendidikan. Relasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Falsafah hidup (worldview)
(Visi)
filsafat pendidikan
(frame dan isi “pendidikan”)
Ruang lingkup filsafat pendidikan
yang berbentuk kurikulum
(tujuan, bahan pelajaran,
proses belajar-mengajar, dan evaluasi)
Alumni di lapangan
(hasil proses pendidikan )
Semula seseorang (pengelola pendidikan) mempunyai
falsafah hidup (worldview). Dalam mengisi hidupnya, misalnya ia mempunyai visi
“memberitakan Injil”. Untuk mewujudkan visi itu maka ia mendirikan “lembaga
pendidikan formal”. Visi itu mewarnai
frame (filsafat) dan isi (pendidikan). Visi “memberitakan Injil” mengisi kerja ruang lingkup filsafat
pendidikan (elemen-elemen kurikulum).
Memang isi kurikulum tunduk
terhadap visi tetapi elemen-elemen kurikukum tergantung kepada filsafat
pendidikan (tujuan, bahan pelajaran, proses belajar-mengajar, dan evaluasi).
Dari visi dirumuskanlah tujuan pendidikan, lalu menyusun
bahan pelajaran yang sesuai dengan
tujuan pendidikan, mengembangkan strategi proses belajar-mengajar dan memberi
penilaian yang berorentasi kepada visi.
Hasil dari kurikulum (proses pendidikan) adalah alumni di lapangan (praktek).
Proses Kurikulum
Proses kurikulum merupakan cerminan suatu visi. Kegagalan menterjemahkan visi dalam kurikulum adalah
menghasilkan kesenjangan antara teori dengan prakteknya. Karena itu, setiap
komponen kurikulum haruslah saling kait mengkait dengan tujuan, bahan
pelajaran, proses belajar-mengajar, dan penilaian. Jadi, agar kesenjangan teori
dan praktek tidak begitu melebar, maka perlu membuat rumusan tujuan
pendidikan. Berhasil tidaknya visi
tergantung pada tujuan pendidikan yang dirumuskannya. Tujuan pendidikan berdasarkan pada visi.
Bejamin Bloom, dkk, membagi tujuan pendidikan menjadi tiga bagian sebagai
berikut: Pertama, tujuan kognitif meliputi segi intelektual (mengetahui,
memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi). Kedua, tujuan afektif meliputi kesadaran akan sesuatu, perasaan,
dan penilaian sesuatu (memperhatikan, merespon, menghargai, mengorganisasi, dan
mengkarakterisasi nilai-nilai). Ketiga,
tujuan psikomotor meliputi tingkat kegiatan (melakukan gerakan fisik,
menunjukan kemampuan perseptual, memperlihatkan kemampuan fisik yang mengandung ketahanan kekuatan, melakukan gerakan yang
terampil, dan mengadakan komunikasi).[70]
Untuk mentransmisi bahan pelajaran yang berpusat kepada
visi membawa transformasi maka
dibutuhkan proses belajar-mengajar (pendidik dan yang dididik) yang relevan. Proses tersebut tidak saja dipahami
adalah metode menyampaikan bahan pelajaran kepada peserta didik di kelas tetapi
kehidupan pengajar itu sendiri adalah metode yang efektif dalam mengajar.
Kurikulum yang menghasilkan transformasi seperti di atas
dapat mengikuti teori “Holland’s Two-Track Analogy Adapted Model” yang diadaptasi oleh J. Robert Clinton dari disertasi Fred Holland di Fuller
Theological Seminary sangat kuat
mempengaruhi pada kehidupan mahasiswanya.
Teori ini mengatakan ada empat elemen sebagai berikut: pertama, input (bahan pengajaran atau
kuliah yang disampaikan oleh pendidik). Kedua,
pengalaman pelayanan (peluang para mahasiswa untuk mempraktekan bahan yang
telah diterimanya dalam pertemuan berkala baik yang terstruktur maupun tidak
terstruktur di dalam kehidupan nyata). Ketiga,
refleksi dinamis (pertemuan berkala yang wujudnya bisa pertemuan kelas, diskusi
berkala ataupun tutorial). Keempat,
pembinaan rohani (segala kegiatan yang difasilitasi lembaga pendidikan untuk
membina dan meningkatkan kualitas kerohanian mahasiswanya).[71]
Untuk menentukan keberhasilan proses belajar-mengajar di
atas, maka diperlukan alat penilaian
atau evaluasi. Tentu saja dinyatakan bahwa proses pendidikan berhasil bila
alumni di lapangan melayani sesuai dengan visi yang sudah dirumuskan oleh
tujuan pendidikan. Misalnya bila visi suatu lembaga pendidikan adalah dalam
bidang pastoral maka proses pendidikan menghasilkan alumni-alumni yang melayani
bidang pastoral. Juga bila visinya adalah missioner (pemberita Injil) maka alumni dari proses pendidikan tersebut
pelayanan bidang pemberitaan Injil. Tetapi, proses pendidikan dinyatakan kurang
begitu berhasil bila antara visi tidak
dijawab oleh praktek.
Proses Belajar Mengajar
Proses belajar mengajar
terdiri dari pendidik (guru) dan peserta didik (murid).Tentu saja agar
pengajaran menjadi efektif, maka perlu dikembangan metode mengajar (ceramah,
tanya-jawab, kombinasi keduanya, atau yang lainnya). Berkaitan
hal tersebut, maka filsafat
pendidikan (dalam arti luas) ialah pemikiran-pemikiran fisafati tentang
pendidikan, atau filsafat tentang proses pendidikan, atau filsafat tentang
disiplin ilmu pendidikan (the philosophy
of the discipline of education). Filsafat tentang proses pendidikan
bersangkut-paut dengan cita-cita, bentuk, metode, atau hasil dari proses
pendidikan.[72] Secara sejarah, proses filsafat pendidikan dikembangkan oleh
para filsuf seperti Aristoteles, Augustinus dan Locke sebagai bagian dari
sistem filsafat mereka dalam konteks
teori-teori etika, politik, epistemologi, dan metafisika yang mereka anut.[73]
Filsafat pendidikan
dapat dibedakan menjadi dua bagian adalah filsafat pendidikan praktek dan
filsafat ilmu pendidikan. Filsafat pendidikan praktek adalah analisis kritis dan komprehensif
tentang bagaimana seharusnya pendidikan diselenggarakan dan dilaksanakan dalam
kehidupan manusia. Filsafat praktek pendidikan dapat dibedakan menjadi:
filsafat proses pendidikan (biasa disebut “filsafat pendidikan”) dan filsafat
sosial pendidikan. Filsafat proses pendidikan adalah analisis kritis dan
komprehensif tentang bagaimana
seharusnya kegiatan dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Filsafat proses pendidikan biasanya membahas
tiga masalah pokok, yaitu: Apakah sebenarnya pendidikan itu? Apakah tujuan
pendidikan itu sebenarnya? Bagaimana cara mencapai tujuan pendidikan?[74]
Hubungan Guru-Murid
Istilah “hubungan
guru–murid” adalah “interpersonal
relationship” atau hubungan pribadi demi pribadi.[75] Pada pengertian ini, hubungan itu menempatkan
guru maupun murid sebagai dua pihak yang menjalin relasi sejajar melalui
sesuatu yang dapat mengikat mereka.
Pengikatan hubungan tersebut terjadi melalui periode tertentu. Penopang
hubungan guru-murid adalah penggunaan waktunya, demikian keyakinan Howard
Mayes. Hubungan adalah suatu keadaan relasi yang sangat berharga dan yang
memerlukan waktu untuk menciptakannya.[76] Hubungan guru-murid adalah hubungan antara
dua pihak oleh karena suatu ikatan, dan memerlukan waktu untuk menumbuhkannya.
Dalam buku Teknik
Mengajar, Benson mengemukakan mengatakan bahwa “Faktor yang juga menentukan
keberhasilan seorang guru ialah sifat hubungan guru dengan anak didiknya. Mengajar meliputi hubungan pribadi dan
persahabatan yang akrab antara pengajar dan muridnya. Kasih seorang guru masih dikenang setelah
fakta yang diajarkannya sudah lama terlupakan.”[77]
Hubungan pribadi guru-murid adalah bagian penting
dari proses pengajaran. Baik buruknya
hubungan antara pembimbing dan yang dibimbing merupakan unsur yang amat penting
dalam menentukan berhasil atau tidaknya bimbingan yang diberikan.[78] Hubungan guru-murid memiliki berperan penting
bagi pengajaran.
Model–Model
Hubungan
Model-Model hubungan berikut ini berdasarkan
kesimpulan dari tindakan dan perilaku dari tokoh atau kelompok orang dalam
masanya, seperti dikisahkan Alkitab.
Tokoh, orang atau kelompok yang diambil adalah yang menampakkan pola
tertentu dalam praktik mengajarnya.
Hubungan Model Perjanjian Lama
Proses pendidikan pada masa Perjanjian Lama
memiliki cakupan sangat luas karena menyangkut berbagai aspek kehidupan. Metode yang digunakan lebih bersifat
indoktrinasi yang dilakukan oleh pihak guru, yaitu orang tua, nabi, atau orang
yang dipercaya mengajar. Usaha
indoktrinasi dilakukan untuk menjaga iman secara turun-temurun.[79]
Edward L. Hayes menyakini bahwa kata “Lamath”
adalah yang paling sering digunakan untuk maksud mengajar. Kata itu sendiri berarti “mengajar”, yang secara harfiah berarti “memukul dengan tongkat”. Maksud mengajar di sini adalah mendorong
murid untuk peniruan atau latihan.[80] Hubungan guru-murid pada masa itu, dapat
disimpulkan dari cara guru mengajar yang otoriter itu. Tindakan indoktrinasi dan otoriter itu untuk
suatu tujuan yang jelas dan benar yaitu menengakkan iman dan pengabdian kepada
Allah.[81] Tepatlah bila hubungan guru-murid pada masa
itu disebut model “hubungan otoriter
bertujuan”.
Hubungan Model Yesus
Yesus sebagai guru telah mengajar berdasarkan
otoritas, wibawa atau kuasa. Orang yang
mendengar pengajaran-Nya menjadi takjub, terpukau, dan kemudian memberi respon
positif (Matius 7:28-29). Murid-murid
dan orang banyak memanggil Dia sebagai “Rabi”,
artinya “Yang Agung” (Matius
26:25,49; Markus 9:5; 11:21; Yohanes 1:38,49; 3:2; 4:31).[82] J.M. Price dalam buku Yesus Guru Agung juga menyatakan bahwa Yesus menekankan hubungan
perseorangan dalam pengajaran-Nya.
Sebagian besar waktu-Nya dihabiskan bersama dengan pribadi-pribadi atau
kelompok kecil. Yesus menaruh simpati,
berbicara, memberi makan dan menyembuhkan mereka.[83] Yesus meneladankan sebuah model hubungan yang
baik, berwibawa tetapi bersahabat.
Hubungan yang dikembangkan-Nya adalah “hubungan kewibawaan yang bersahabat”.
Hubungan Model Paulus
Paulus mengajar dengan menggunakan pendekatan
dialogis, tanya jawab dan diskusi.[84] Pendapat itu dilengkapi dengan informasi dari
William Barclay bahwa Paulus adalah seorang rabi, yang pada masa kini setara
dengan guru besar. Ia memiliki kemahiran
dan kepandaian dalam bidangnya.[85] Kecakapan Paulus dalam mengajar sangat
mengagumkan pendengarnya. Ia dapat
mengelola proses belajar dengan menempatkan dirinya sebagai otoritas namun
tidak berlaku secara otoritatif.[86] Hubungan guru-murid yang dikembangkan oleh
Paulus adalah “hubungan kewibawaan yang
dialogis”.
Hubungan Model Jemaat Mula-Mula
Edward L. Hayes berpendapat, bahwa kehidupan
orang Kristen mula-mula menyatu dalam wujud ibadah, persekutuan, dan belajar.[87] Di antara jemaat ada semangat untuk saling
mengajar dalam rangka penumbuhan iman. Paulus, seperti yang dikisahkan dalam
Kolose 3:16 dan 1 Korintus 14:26, berperan memberi dorongan agar mereka saling
mengajar dalam suasana terbuka, bebas mengemukakan pendapat, serta berdiskusi
untuk menanggapi firman Tuhan.[88] Hubungan guru-murid yang terbentuk dapat
dibayangkan melalui suasana belajar mereka.
“Hubungan kebersamaan dan saling
menumbuhkan” tampaknya dapat ditetapkan sebagai sebutan bagi model hubungan
guru-murid yang terjadi pada waktu itu.
Penerapan Model Hubungan
Model hubungan guru-murid yang diciptakan oleh
seorang guru sesungguhnya tidak ekstrem.
Guru-guru Kristen akan menerapkan unsur hubungan dengan variasi dan
kombinasi-kombinasi. Guru yang
berdisiplin, ternyata juga mengusahakan hubungan akrab dengan
murid-muridnya. Sebaliknya, guru yang
sangat akrab dengan murid, sesungguhnya memperhatikan disiplin di kelas juga.
Ada relatifitas pilihan guru dalam menciptakan hubungan dan gaya
kepemimpinan. Ada titik-titik koordinat
yang adalah titik temu antara satu ektrem dengan ekstrem yang lain atau bagian
kecil suatu ekstrem dengan bagian besar ekstrem lainnya.[89] Ada aspek-aspek yang belum diusahakan dengan
baik oleh guru bagi hubungan guru-murid yang efektif. Secara faktual model suatu hubungan tidak
diterapkan sepenuhnya oleh guru dalam membina hubungan dengan murid, tetapi
secara ideal dan untuk efektivitas pengajaran ternyata guru juga belum
mengusahakannya dengan baik.
Hubungan guru-murid yang efektif bagi proses
pengajaran ditentukan oleh beragam faktor.
Berdasarkan pendapat-pendapat beberapa ahli pendidikan, hal-hal yang
perlu diteliti berkaitan dengan hal ini adalah filsafat guru, kerohanian guru,
kepribadian guru, kebijakan pengelolaan pengajaran khususnya pemilihan metode,
kebijakan memimpin kelas, hubungan pribadi dengan murid, dan cara
berkomunikasi.
Faktor
Keadaan Diri Guru
Pemahaman tentang keadaan diri guru adalah hal
penting yang perlu diteliti berkaitan dengan hubungan guru-murid, sebab guru adalah
penentu kualitas hubungan tersebut.
Aspek atau faktor pada diri guru sangat beragam. Ada beberapa aspek di
bawah ini yang relevan dengan persoalan ini.
Faktor-Faktor Pendorong
Filsafat pendidikan yang dipahami akan turut
memberi dampak terhadap pemikiran tentang kebijakan serta pelaksanaan
pendidikan.[90]
Pandangan hidup yang dimiliki seorang guru mendasari kualitas guru.[91] Pandangan hidup guru menjadi titik tolak
bagaimana guru akan mengajar dan menjalin hubungan dengan murid.
Guru Kristen perlu termotivasi mengajar oleh
karena panggilannya menjadi guru adalah rahmat Allah. Berdasarkan Efesus 4:11-12 dan Roma 12:7,
karunia guru dan keguruan yang diberikan Allah adalah karunia yang sejajar
dengan karunia lainnya. Itulah motivasi yang baik bagi seorang guru. Tugas guru sangat penting, dan tanggung
jawabnya berat. Di dalam pekerjannya ia
menghadapi jiwa manusia yang besar nilainya di hadapan Allah.[92] Motivasi itu akan memberi dorongan yang baik
untuk menjalankan tugas pengajaran, termasuk bagaimana membangun hubungan
dengan murid sebagai bagian dari proses pengajaran itu sendiri.
Motivasi yang baik harus disertai tujuan yang
baik. Sasaran akhir seluruh upaya
mengajarkan iman Kristen mestinya membimbing, menuntun, memberi pengarahan, dan
dorongan bagi individu dan kelompok sedemikian rupa sehingga mereka menyadari
dan menjalani panggilan hidupnya dalam kerangka menjadi murid Kristus (Mat.
28:19-20).[93] Tujuan guru yang baik adalah membawa ajaran
sehat dan jujur (Tit. 1:9; 2:7), yang berakar di dalam ajaran Kitab Suci (2Tim.
3:16), yang perlu terus ditekuni (2Tes. 2:15; Kol. 2:7). Tujuan pemuridan adalah tujuan tertinggi yang
harus disimak oleh guru dalam menjalankan tugasnya. Sebab dalam kerangka menjadi murid Yesus-lah
individu dan kelompok akan semakin mengenal jati dirinya dan akan semakin
mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan perbuatan (Mat.
22:37-39). Tujuan tertinggi dari setiap
kegiatan belajar mengajar yang dikelola haruslah membawa dan mendorong peserta
didik untuk lebih banyak belajar mengenal Allah.
Iman dan Kerohanian
Iman dan kerohanian seorang guru sangat
berperan dalam proses pendidikan dan pengajaran. Hubungan guru-murid sebagai faktor penting
keberhasilan pengajaran, ditentukan juga oleh kualitas iman dan kerohanian guru.[94] Iman dan kerohanian seorang guru harus
sungguh bermutu.
Benson menguraikan kualitas iman itu sebagai
kualitas iman kepada Allah, kepada Alkitab dan kepada panggilan Allah. Iman seorang guru Kristen yang efektif
haruslah iman yang aktif, iman yang tergetar akan keajaiban Alkitab dan iman
yang sadar secara mendalam akan panggilan mengajar.[95] Pemikiran itu serupa dengan pendapat Sijabat
bahwa kualitas guru memang menyangkut kualitas iman guru itu, yang terdiri atas
iman tentang kedududukannya dalam Kristus, tentang panggilan dan tentang
penyerahan hidup.[96] Guru yang dapat menciptakan hubungan efektif
dengan murid adalah yang memiliki iman berkualitas.
Seorang guru harus mempunyai pengalaman
rohani, demikian dikatakan Homrighausen dan Enklaar.[97] Ia harus mengenal Tuhan Yesus dan hatinya
dijamah oleh Roh Kudus. Tuntutan dasar bagi kerohanian seorang guru adalah
sudah dilahirkan kembali. Kelahiran
kembali adalah suatu perubahan menyeluruh secara terpadu dan dramatis yang
dapat disamakan dengan kelahiran, kejadian, kembali atau kebangkitan.[98] Seseorang yang sudah dilahirkan kembali pasti
sudah mengalami: pengakuan dosa (Rm. 3:23), kesadaran akan akibat dosa (Rm.
6:23), pertobatan yang benar (Luk. 13 :5), kesadaran akan perlunya Tuhan dan
Juru Selamat (Kis. 4:12), dan percaya kepada Tuhan Yesus (Yoh. 1:12-13). Karena itu, dalam diri seorang guru yang
sudah dilahirkan kembali terlihat: imannya nyata (Yak. 2:26), membenci dosa
(1Yoh. 3:9; 5:18); mengalahkan keduniawian (1Yoh. 5:4); memiliki pengetahuan
yang benar tentang Allah (Kol. 3:10); tampak serupa dengan pribadi Allah (Ef.
4:24; Kol. 3 :10); tampak serupa dengan Kristus (Rm. 8:29; 1Yoh. 3;2); serta
menyukai hukum Allah (Rm. 7:22).[99] Kelahiran kembali adalah faktor kerohanian
yang sangat perlu dimiliki guru dalam proses pengajaran.
Kepribadian Guru
Benson juga menyebutkan bahwa aspek
kepribadian guru turut mempengaruhi hubungan guru tersebut dengan orang-orang
lain.[100] Aspek kepribadian yang sangat penting bagi
hubungan guru dengan orang lain, dalam hal ini murid, ditegaskan Benson dengan
mengatakan:
“Setiap orang (khususnya murid) yang
berhubungan dengan dia (guru) terpengaruh oleh kehidupannya karena kuasa Roh
kudus sangat nyata di dalam dirinya.
Setiap guru Kristen perlu bertumbuh menuju kepribadian matang yang
seperti Kristus”.[101]
Kepribadian yang matang dapat diawali dengan
adanya konsep diri positif dan profesionalisme pada diri guru.[102] Aspek kepribadian itu bersangkut paut dengan
aspek fisik, pikiran, temperamen, dan spiritual.[103] Sesungguhnya dapat dipahami bahwa kepribadian
guru, yakni keberadaan hati, watak, perilaku dan akal budi perlu berkualitas
baik. Hal itu sesuai dengan Firman Tuhan
dalam Markus 12:30 agar manusia mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati, jiwa
dan akal budi.
Pada segi lain, hati seorang guru seharusnya
penuh kasih. Guru harus mengasihi Allah
(Mzm. 97:10), taat kepada Allah (1Yoh. 5:3), bersukacita (Mzm. 5:12), mengasihi
murid-muridnya, dan mengasihi firman Tuhan.
Dalam 1 Korintus 13 disebutkan bahwa kasih itu sabar, murah hati, tidak
cemburu, tidak sombong, sopan, tidak egois, tidak pemarah, tidak mendendam, dan
tidak suka ketidakadilan. Pestalozzi
yang diakui sebagai pendiri Sekolah Dasar Modern, mengatakan:
“guru harus memiliki kasih yang menjadi dasar
bagi hubungan antara orang, ketertiban yang berlaku dalam ruang kelas dan
kemampuan mengendalikan diri yang dihargai lebih tinggi ketimbang kepintaran…”[104]
Perilaku guru yang berkualitas tampak dari
watak yang baik pula. Guru yang baik dengan karakter dasar apapun akan tampak
penuh kasih, pengabdian, bijaksana, dan adil.[105] Pengabdiannya diberikan dengan semangat
kerelaan.[106] Watak, sifat dan yang tampak dalam perilaku
guru yang baik menjadi tanda adanya komitmen penyerahan hidup yang benar.[107]
Faktor
Kepemimpinan Instruksional
Hubungan guru-murid yang terjadi di kelas
ditentukan melalui peranan guru.
Kepemimpinan guru di kelas merupakan bentuk nyata dari peran guru di
kelas.
Peran Guru
Homrighausen dan Enklaar berpendapat bahwa
guru adalah penafsir iman, seorang gembala bagi murid-muridnya, pedoman dan
pemimpin, dan seorang penginjil.[108] Sijabat menambahkan, peranan guru juga
sebagai seorang ahli, motivator, fasilitator, pemimpin, komunikator, agen
sosialisasi, dan pelajar. Guru yang
memiliki ragam peran dalam proses pengajaran itu pasti tidak akan terpisah dari
persoalan interaksi dengan murid. Pada
seluruh peranan tersebut, guru menjadi pusat interaksi dalam menjalankan setiap
peranan tersebut. Tugas dan peran guru
penting dan tanggung jawabnya sangat berat, termasuk ketika berinteraksi dengan
muridnya.[109]
Tugas dan perannya yang sangat penting membuat
guru layak disebut sebagai “Arsitek Jiwa”,
demikian Stephen Tong memberikan sebutan bagi guru. Guru bukan sekedar tukang batu yang sedang
membangun rumah. Guru adalah seorang
perancang total yang meliputi segala aspek.[110] Satu aspek yang penting adalah peran guru
sebagai “a center of constantly changing
relationship”, demikian dinyatakan Wayne R. Rood, dalam buku The Art of Teaching Christianity. Guru adalah pusat perubahan dari
hubungan-hubungan, termasuk hubungan guru-murid. Sikap, kebijakan dan perilaku guru di kelas
adalah yang menentukan bagaimana hubungannya dengan murid berubah lebih baik
atau buruk.[111] Jelaslah, peran guru sangat penting dalam
proses pengajaran, terutama dalam menciptakan keberadaan suatu hubungan
guru-murid.
Mendisain Pengajaran
Seperti yang dikatakan Sijabat, bahwa filsafat
seseorang akan mempengaruhi kebijakan pelaksanaan pengajarannya di kelas. Karena itu, filsafat dan keyakinan guru
menentukan cara guru merencanakan pengajarannya, termasuk dalam memilih metode
mengajar.
Guru yang berkomitmen untuk memiliki hubungan
baik dengan murid serta mengajar dengan baik akan melakukan perencanaan dan
persiapan mengajar dengan baik pula.
Persiapan mengajar adalah hal yang perlu dan baik untuk dilakukan. John T. Sisemore memberikan alasan tentang
perlunya perencanaan, yaitu bahwa Alkitab mengutamakan perencanaan pengajaran
yang: terencana (2Tim. 2:15), dan teratur (2Tim. 3:16). Roh Kudus menghormati perencanaan, karena
dapat: menolong guru (1Kor. 2:12), dan memberi kekuatan (Yoh. 14:26).[112] Perencanaan yang baik membuat guru siap,
yakin, kuat dan mantap dalam mengajar.
Keadaan baik dari guru ini membuat proses mengajar berjalan baik, dan
murid dilayani dengan baik. Perencanaan
sangat penting dilakukan guru untuk mengawali terciptanya hubungan yang baik.
Perihal pemilihan metode juga menentukan
kualitas hubungan guru-murid. Sijabat
menyatakan bahwa pemilihan metode mengajar akan mempengaruhi kualitas interaksi
guru-murid.[113] Pendapat tersebut yang didasarkan juga kepada
pendapat ahli lainnya, yakni Lawrense O. Richards dan Jim Wilhoit, menandakan
bahwa pemilihan metode mempengaruhi interaksi dan hubungan guru-murid.
Kebijakan Pengelolaan Kelas
Guru yang memimpin dan mengelola kelas
mempunyai berbagai kebijakan-kebijakan.
Sijabat mengusulkan ada tiga hal penting, yaitu mengaturan lingkungan
kelas, pengaturan disiplin yang berhubungan dengan peraturan dan pembinaan
motivasi. Dua di antaranya, yakni
penentuan peraturan dan bimbingan motivasi adalah yang menentukan penciptaan
hubungan guru-murid. Sijabat memberikan
penegasan bahwa pengelolaan peraturan harus dilakukan dalam suasana hubungan
antar pribadi yang tulus dan terbuka.[114] Sedangkan untuk menimbulkan motivasi yang
baik, seorang guru perlu menghargai murid dan membina hubungan persahabatan. Kecermatan pengambilan kebijakan guru dalam
mengelola kelas sangat menentukan keadaan hubungan guru-murid yang terjadi.
Pengelolaan kelas yang didasari persahabatan
akan menjadi landasan bagi guru untuk memiliki kebijakan pengelolaan kelas yang
tepat. Benson menekankan, bahwa
keterlibatan murid dalam pengajaran adalah penting bagi hubungan yang hangat
dan saling menerima antara guru-murid.
Situasi itu akan berguna sekali untuk memecahkan masalah disiplin, dan
kelakuan yang berkaitan dengan peraturan dan kebijakan di kelas.[115] Guru disarankan memelihara situasi agar murid
merasa terlindungi, baik hak dan harga dirinya dalam setiap kesempatan
interaksi.[116] Guru juga disarankan mengembangkan suasana
humor tanpa sarkastik terhadap murid.
Guru mengajak murid menertawakan diri sendiri agar merasa aman dan tidak
dijadikan lelucon.[117] Pengelolaan kelas efektif adalah yang
melibatkan murid, ada keakraban, dan ada kerjasama guru-murid.
Kerjasama dan keakraban dengan murid-murid di
kelas dapat mendukung suasana nyaman dalam belajar. Guru dan murid yang dapat mengusahakan
suasana demikian telah menciptakan pola saling membangun, seperti yang dikatakan
dalam Roma 14:19, “Sebab itu marilah kita mengejar apa yang mendatangkan damai
sejahtera dan yang berguna untuk saling membangun.” Situasi kelas, di mana guru dan murid-murid
saling bekerjasama dan bersahabat merupakan simpul hubungan guru-murid yang efektif.
Berkomunikasi di Kelas
Hukum penting dalam pengajaran yang dinamis adalah
komunikasi yang jernih. Hukum yang
berdasarkan 1 Korintus 2:4; 14:9 itu menuntut guru untuk menggunakan kata dan
konsep yang mudah dipahami. Agar
komunikasi dapat jernih disarankan guru menurunkan ketegangan, membuang
istilah–istilah, menggunakan kata yang jelas dan menggunakan bermacam
pendekatan indera.[118] Cara berkomunikasi sangat perlu diatur oleh
guru supaya proses pengajaran dan interaksi guru-murid lebih lancar.
Kualitas isi perkataan guru adalah penting. Guru harus tahu bahwa perkataan yang
diucapkannya senantiasa “memiliki kuasa”
apakah untuk membangun atau sebaliknya meruntuhkan semangat. Menurut Efesus 4:29 “Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah
perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu supaya mereka yang
mendengarnya beroleh kasih karunia.”
Guru harus belajar menetapkan sikapnya agar senantiasa dapat
mengeluarkan perkataan yang membangun dan memberi harapan.[119] Pengendalian kualitas isi komunikasi bicara
sangat mendukung kualitas hubungan dengan muridnya.
Guru yang baik, saat mengajar matanya melihat
seluruh pendengar, dan menggunakan sorotan mata untuk bisa menguasai setiap
pendengar, sehingga jiwa-jiwa itu terpaku kepadanya.[120] John M.Gregory, menyatakan, “gerakan tangan seorang penceramah, cahaya
mukanya yang tersenyum dan penuh semangat,..sering kali lebih banyak menarik
perhatian pendengar daripada isinya.”[121]
Pengaturan ekspresi wajah berperan penting dalam komunikasi antara
guru-murid. Pandangan mata, dan cahaya
muka turut menentukan efektivitas komunikasi tanpa bahasa. Gerakan tangan, kaki dan keseluruhan badan
akan melengkapi peran komunikasi non-verbal selama proses pengajaran.
Ekspresi wajah yang baik memang diharapkan ada
pada seorang guru. Penulis kitab
Pengkotbah menyatakan, “..Hikmat manusia
menjadikan wajahnya bercahaya dan berubahlah kekerasan wajahnya.” (Pkh.
8:1). Ini menguatkan keyakinan bahwa
guru yang wajahnya berseri bercahaya menandakan pada dirinya terdapat
hikmat. Sedangkan guru yang berhikmat
mengasihi murid dan selalu mengusahakan hubungan yang baik dengan murid.
Faktor Kepemimpinan Edukasional
Kepemimpinan guru kepada murid adalah praktek
guru sebagai pemimpin yang berperan menciptakan hubungan-hubungan yang bersifat
pribadi atau perseorangan kepada setiap murid.
Seorang guru perlu mengenal, menjalin hubungan, membimbing dan memimpin
murid secara perorangan. Hubungan
guru-murid secara perorangan ini setidaknya berkaitan dengan hubungan pribadi
guru-murid, serta bagaimana penerapkan disiplin dan penghargaan.[122]
Hubungan Pribadi Guru-Murid
Hubungan pribadi guru-murid perlu ditumbuhkan.
Jika setiap murid dipandang sebagai oknum pribadi demi pribadi maka dengan
sendirinya guru telah menyatakan kehangatan “interpersonal-relationship”.
Di dalamnya ada keprihatinan, kesabaran, kehangatan, perhatian, dan
ketekunan yang sungguh-sungguh.[123] Hubungan guru-murid memang meliputi usaha
guru memiliki hubungan pribadi yang akrab dengan murid.[124] Pendapat tersebut diatas berdasarkan refleksi
hubungan Tuhan Allah dengan manusia yang diikat oleh karena ikatan yang unggul,
yakni kasih.
Menurut Edward dan F. Simpson, salah satu dari
sepuluh hukum mengajar adalah terjalinnya “Relationship
of love”, yakni “hubungan dalam kasih” antara pribadi guru dan murid. Pendapat mereka berdasarkan Galatia 5:22,
yang mendorong guru untuk menyatakan kasih kepada muridnya.[125] Kasih perlu melandasi guru dalam
berkomunikasi antar pribadi dengan murid.
Hubungan pribadi yang didasari kasih jika dijalankan dengan benar akan
menghasilkan ikatan dan kontak yang sangat dalam. Stepen Tong menyebutnya
sebagai kontak dari jiwa ke jiwa, dari hati ke hati, dari pikiran ke pikiran,
dari emosi ke emosi.[126] Sebuah hubungan pribadi yang mendalam seperti
Paulus menyebut Timotius sebagai “anakku
yang terkasih” (2Tim. 1:2). Hubungan
pribadi yang begitu dalam pasti memberi jaminan kualitas hubungan guru-murid.
Hubungan pribadi guru-murid adalah interaksi
antar pribadi yang nyata dalam hal praktis.
Guru harus mengetahui perkembangan jiwa murid dan masalah pribadi
mereka. Mengerti guru-murid adalah syarat utama dalam komunikasi timbal-balik. Komunikasi yang baik dapat membuat penyaluran
pengetahuan menjadi lebih efektif.[127]
Hubungan pribadi yang semakin akrab antara guru dan murid turut membangun
komunikasi yang baik. Interaksi positif
antar pribadi akan menciptakan hubungan guru-murid yang baik.
Penerapan Disiplin, Kebebasan, dan Penghargaan
Guru harus terlibat dalam tugas kedisiplinan,
seperti yang diteladankan Allah kepada manusia dalam Ibrani 12:5-10.[128] Kedisiplinan yang dimaksud di sini meliputi
penetapan dan penegakan peraturan, bimbingan untuk pencapaian tugas belajar,
teguran-teguran, dan hukuman-hukuman.
Pelaksanaannya perlu bijaksana, tetapi tetap terjaga dan efektif. Jika seorang guru memiliki kasih yang
berlimpah, namun tidak memiliki ketegasan dan keadilan, keberanian dan wibawa
untuk menghadapi dosa, ia akan menjadi guru yang tidak berotoritas.[129] Kedisiplinan bukan suatu pilihan bagi guru,
tetapi tugas yang harus dilakukannya agar hubungan dengan murid terjaga,
sehingga proses pengajaran berjalan baik.
Ada segi lainnya yang perlu mendasari dan menjadi
penyeimbang dalam pelaksanaan pengajaran, khususnya dalam membina hubungan,
yakni kasih. Stephen Tong menyatakan:
“guru yang memiliki keadilan, kekerasan,
disiplin yang kuat sekali, tanpa mempunyai cinta kasih, akhirnya akan
menjadikan dia seorang yang kejam dan tidak berperikemanusiaan yang cukup, dan
akan lebih banyak menyakiti daripada membangun, lebih banyak meruntuhkan
daripada mendirikan, dan mendatangkan rendah diri (inferiority) yang hebat lebih daripada memberikan keyakinan diri (confidence) orang yang dididik.”[130]
Kasih hraus mendasari dan menjadi fokus
penting. Jika murid menanggapi dengan
kurang tepat, sikap guru yang baik hanyalah “menghargai”-nya. Selajalan
dengan Roma 14:1-2, guru hendaknya memberi penghargaan dulu kepada murid yang telah
berpendapat, lalu guru mengoreksi secara positif untuk membimbing kepada usulan
perbaikan pemikiran.[131] Pemberian penghargaan kepada murid adalah
tindakan positif yang dapat mendukung hubungan yang efektif.
Selain penghargaan dalam bentuk tindakan, penghargaan
dalam bentuk pujian perlu dilakukan pula.
Murid yang memang patut memperoleh pujian dapat diberikan hadiah,
ucapan, kata-kata atau nilai yang membangun semangat. Penghargaan-penghargaan itu dapat turut
membangun semangat murid dalam belajar.
Tindakan itu sejalan dengan firman Tuhan, “Kita yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan
jangan kita mencari kesenangan kita sendiri.
Setiap orang di antara kita harus mencari kesenangan sesama kita demi
kebaikan untuk membangunnya” (Rm. 15:1-2). Pemberian pujian kepada murid
adalah untuk kebaikan murid, kelas, dan juga untuk membangun hubungan
guru-murid yang baik
Kedisiplinan adalah hal penting, demikian juga
penerapan kasih. Agar dapat menerapkan
dengan tepat, sifat dasar dari Allah adalah rujukannya. Allah adalah adil dan
disiplin, tetapi juga penuh dengan cinta kasih.
Kedua sifat itu harus diseimbangkan dan diharmoniskan di dalam jiwa
seorang guru. Kekerasan dan ketegasan
dari Allah diharmoniskan dengan cinta kasih dan kelembutan Allah di dalam diri
seorang guru, sehingga ia mempunyai otoritas yang luar biasa.[132] Firman Tuhan di dalam Amsal 23:13 dan Amsal
13:24, memang mengijinkan pendidikan secara keras tetapi, bagian lain firman
Tuhan berkata: “..janganlah bangkitkan
amarah anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan”
(Ef. 6:4). Kebijaksanaan dan
keseimbangan dalam menerapkan disiplin dan kasih sangat diharapkan untuk
dilakukan oleh seorang guru.
Secara praktis konsep teologis itu
menganjurkan guru untuk selalu membina persahabatan dengan murid tanpa
mengorbankan tujuan disiplin.[133] Guru hendaknya tidak melemahkan disiplin
terhadap murid karena persahabatan, atau menjaga jarak untuk melemahkan
persahabatan demi disiplin. Guru
hendaknya lebih pandai dalam membawa diri agar dapat menghadapi tugas yang
menuntut pencapaian tujuan, namun sekaligus membina persahabatan yang terbuka
dan tegas.
Metode Mengajar
Kata “mengajar” (verb) berarti “memberi pelajaran (guru –
murid), melatih, memarahi (memukuli, menghukum, dsb) supaya jera.[134]
: ia – berenang. Mengajar adalah peristiwa bertujuan, terarah pada tujuan dan
dilaksanakan khusus untuk mencapai tujuan itu. Apabila yang dituju atau yang
akan dicapai titik C, maka dengan sendirinya proses mengajar belum dapat
dianggap selesai apabila yang dicapai di dalam kenyataan barulah titik A atau
B.[135] Dengan demikian, taraf pencapaian tujuan
pengajaran merupakan petujuk praktis tentang sejauh manakah interaksi edukatif
itu harus di bawa untuk mencapai tujuan yang terakhir. Linda J. Vogel
mengatakan bahwa mengajar memberi kuliah atau berceramah.[136]
Kekuatan dan Kelemahan
Kekuatan mengajar ditentukan oleh tiga faktor
sebagai berikut: Pertama, gaya
pribadi si pengajar dan bentuk
pengajaran yang digunakan. Kedua, mata kuliah atau mata pelajaran
yang diajarkan. Ketiga, keterampilan mengajar yang digunakan. Faktor
pertama dan kedua merupakan hal yang sudah
pasti serta tak bisa diubah. Artinya, hal tersebut sudah jelas, pasti
pada saat memilih seorang pengajar tertentu untuk suatu vak tertentu. Tetapi, faktor ketiga, yaitu keterampilan
mengajar merupakan hal yang bisa diubah
atau diperbaiki dengan cara: persiapan jam pelajaran atau jam kuliah,
pelaksanaan, dan umpan balik.[137]
Tetapi sebaliknya, bila mengajar akan menjadi lemah kalau tidak memperhatikan
ketiga faktor tersebut.
Guru yang Terbaik dan Guru yang Terjelek
Tiga guru yang terbaik
sebagai berikut: pertama, guru secara aktif harus dapat menterjemahkan
sendiri jiwa tujuan umum dalam bentuk-bentuk yang khusus, yang dikaitkan dengan
tujuan akhir. Tujuan akhir adalah agar dengan pengetahuan membaca itu anak-anak
dapat mendalami tata susila, ilmu kebijaksanaan di dalam berbagai hasil
kebudayaan (buku dan lain-lain). Kedua, setiap guru bertolak dari suatu
filsafat. Artinya, seorang guru mendapat kepercayaan dan kehormatan mengajar,
kepadanya juga dipercayakan kemampuan untuk mengambil keputusan yang bersifat
normative; keputusan-keputusan dipandang sebagai “penjelmaan filsafat hidup”
yang dianutnya. Filsafat guru berwujud dalam perumusan tujuan pendidikan. Tujuan
pendididikan memberi arah yang umum pada filsafat yang mendasari segala
kegiatan pendidikan. Ketiga, metode guru mengajar berpedoman pada tujuan
pendidikan artinya memilih metoda yang
wajar harus antara lain berpedoman pada tujuan khusus yang akan dicapainya.
Hakekat tujuan inilah yang dipakai oleh guru sebagai petunjuk untuk memilih
satu atau serangkaian metoda yang efektif.[138]
Tiga guru yang terjelek
sebagai berikut: bila guru itu tidak cakap dan
tidak mempunyai filosofi pengetahuan dasar sebagai seorang guru di mana
guru: tidak mengenal setiap muridnya yang dipercayakan kepadanya, tidak memiliki kecakapan memberi
bimbingan, tidak memiliki dasar
pengetahuan yang luas tentang tujuan pendidikan, dan ia tidak memiliki
pengetahuan yang bulat dan baru mengenal ilmu yang diajarkan.[139]
Belajar
Gage
mengatakan bahwa belajar sebagai suatu proses dimana suatu organisma berubah
perilakunya sebagai akibat pengalaman.[140] Pengertian belajar
mengandung makna adanya perubahan perilaku, perilaku terbuka, belajar dan
pengalaman, belajar dan kematangan. Selanjutnya, perubahan perilaku yang ada
pada anak didik setelah belajar merupakan hasil yang harus dicapai dalam
pendidikan. Perubahan yang menyeluruh dalam segala aspek belajar, misalnya
aspek pengetahuan (kognitif) harus ada perubahan dari yang belum tahu menjadi
tahu. Perubahan aspek sikap (afektif), anak didik setelah belajar ada perubahan
dari yang tidak baik menjadi baik, buruk menjadi baik. Hal tersebut misalnya
seorang jahat menjadi orang yang jujur atau ramah dan suka menolong.
Selanjutnya menurut Gage juga mengatakan bahwa anak didik dalam belajar ada
perubahan secara aspek ketrampilan (Psikomotor). Aspek ketrampilan ini diharapkan anak didik
setelah belajar dari tidak trampil menjadi trampil.
Berkaitan
di atas, Muhahibin mengatakan bahwa pendidikan adalah belajar menekankan
tercapainya pemahaman yang lebih luas dan mendalam terhadap apa yang
dipelajari. [141] Jadi, belajar semata-mata mengumpulkan atau
menghafalkan yang tersaji dalam bentuk informasi atau materi pelajaran.
Skinner
berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah
laku yang berlangsung secara progresif. Timbulnya tingkah laku itu lantaran adanya
hubungan antara “stimulus” atau “rangsangan” (S) dengan “respon” atau
“tanggapan, reaksi” ( R ). Berkaitan dengan sebelumnya, maka Caplin berpendapat
belajar sebagai pusat latihan dan pengalaman. Begitu juga Hintsman menekankan adanya
belajar apabila mempengaruhi organisme lain (manusia lain), sedang Wittig
berpendapat belajar lebih bersifat perubahan yang reltif tetap yang terjadi
dalam segala macam atau keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil
pengalaman.[142] Jadi, belajar berarti perubahan semua aspek tingkah
laku, yang didapatkan dari latihan dan pengalaman.
Belajar Imitasi dan
Observasi
Prosedur
lain yang juga penting dan menjadi bagian yang integral (menyatu) dengan
prosedur-prosedur belajar menurut teori social
learning, ialah proses imitasi atau peniruan. Dalam hal ini, seorang guru dan orang tua
harus menjadi “model”, figur atau tokoh yang dijadikan contoh perilaku sosial
yang sangat mempengaruhi kehidupan yang merupakan hasil belajar anak.
Rate Penerimaan Belajar
Penerimaan Belajar dan
Penemuan Belajar
Klasifikasi Perubahan dalam Belajar
Jika
dalam mengajar dipahami sebagai upaya menciptakan terjadinya peristiwa belajar,
sudah tentu kegiatan belajar mengajar merupakan perbuatan yang tidak
terpisahkan satu sama lain. Karena itu
konsep mengajar harus terlebih dahulu kita tinjau dari segi pengertian belajar. Belajar dapat diartikan sebagai proses
perubahan yang dialami seseorang, yang melibatkan salah satu atau keseluruhan
dimensi kepribadiannya.
Menurut Sidjabat perubahan dalam belajar harus
mencakup tiga aspek belajar. Tiga aspek belajar yang dimaksud yaitu aspek
kognitif (pengetahuan), aspek afektif (sikap), dan aspek psikomotor
(ketrampilan). Anak belajar ada
perubahan dari belum tahu menjadi tahu (perubahan pengetahuan), perubahan
belajar dari perilaku yang buruk berubah menjadi perilaku yang baik (perubahan
sikap), dan perubahan belajar dari tidak
bisa menjadi bisa (mampu) ada perubahan ketrampilan.[143]
Jadi
dalam proses belajar maka seharusnyalah terjadi perubahan setelah belajar.
Perubahan dapat terjadi dari segi intelek atau kemampuan berpikir. Perubahan dapat pula terjadi dengan
melibatkan segi rohani, emosi,tingkah laku, ketrampilan dan segi-segi
fisik. Perubahan sebagai hasil peristiwa
belajar senantiasa menghasilkan hal-hal dn keadaan baru dalam diri peserta
didik.
Klasifikasi dan Definisi Empat bidang Hasil
Belajar
Empat hasil belajar
sebagai berikut: pertama, pengetahuan,
yaitu dalam bentuk bahan informasi, fakta, gagasan, keyakinan, prosedur, hukum,
kaidah, standar dan konsep lainnya. Kedua, kemampuan, yaitu dalam bentuk kemampuan untuk menganalisis,
mereproduksi, mencipta, mengatur, merangkumkan, membuat generalisasi, berpikir
rasional dan menyesuaikan. Ketiga, kebiasaan
dan keterampilan, yaitu dalam bentuk
kebiasaan perilaku dan keterampilan dalam menggunakan semua kemampuan. Keempat,
sikap, yaitu dalam bentuk apresiasi,
minat, pertimbangan dan selera.[144]
Kesiapan untuk Belajar
Arti Kesiapan untuk
Belajar
Hasil studi terakhir menunjukkan bahwa orang dewasa mempunyai masa
kesiapan untuk belajar dibandingkan dengan anak-anak. Masa ini sebagai akibat
dari peranan sosialnya. Berkaitan hal tersebut, maka Robert J. Havighurst membagi masa dewasa itu
atas beberapa fase dan mengidentifikasikan 10 peranan sosial dalam
masa dewasa. Ketiga fase masa dewasa itu adalah masa dewasa pertengahan umur
antara 30-45 tahun dan masa dewasa akhir berumur 55 tahun lebih. Sedangkan
kesepuluh peran sosial pada masa dewasa adalah sebagai: pekerja, kawan,
orangtua kepala rumah tangga, anak dari orang tua yang sudah berumur, warga
negara, anggota organisasi, kawan sekerja, anggota keagamaan dan pemakai waktu
luang. Melengkapi hal tersebut, maka Havighurst
mengatakan bahwa, penampilan orang dewasa dalam melaksanakan peranan sosialnya
berubah sejalan dengan perubahan dari ketiga fase masa dewasa itu, sehingga hal
ini mengakibatkan pula perubahan dalam kesiapan belajar.[145]
Kesiapan belajar bagi
orang dewasa dengan anak-anak berbeda. Anak-anak cenderung mempunyai perspektif
untuk menunda aplikasi apa yang ia pelajari. Bagi anak-anak, pendidikan
dipandang sebagai suatu proses
penumpukan pengetahuan dan keterampilan, yang nantinya diharapkan akan
dapat bermanfaat dalam kehidupannya kelas. Sebaliknya, bagi orang dewasa,
mereka cenderung untuk mempunyai perspektif untuk secepatnya mengaplikasikan
apa yang mereka pelajari. Mereka terlibat dalam kegiatan belajar, sebagian
besar karena adanya respon terhadap apa yang dirasakan dalam kehidupannya sekarang.
Karenanya, pendidikan bagi orang dewasa dipandang sebagai suatu proses untuk
meningkatkan kemampuannya dalam memecahkan masalah hidup yang ia hadapi.[146]
Praktek yang Bertentangan
dengan Maksud Kesiapan belajar
Praktek
yang bertentangan dengan maksud kesiapan belajar sebagai berikut:
Pertama, para pendidik orang dewasa dianggap berperan sebagai
seorang guru yang mengajarkan mata pelajaran tertentu. Memang kesehariannya begitu, tetapi fungsi pendidik
sebenarnya bukan begitu, melainkan
pendidik berperan sebagai pemberi bantuan kepada orang yang belajar.
Akibatnya, tingkat belajar menjadi tinggi bila pendidik dapat memuaskan
kebutuhannya. Kedua, peserta
didik belajar dengan materi yang tidak dibutuhkan dalam perencanaan hidupnya
atau kebutuhan untuk ingin menjadi ahli (salah jurusan). Akibatnya, kesiapan
belajar jadi merosot dan belajar tidak secara maksimal. Ketiga, pendapat
E.L. Thorndike yang mengatakan bahwa kemampunan
untuk belajar seseorang menurun secara perlahan sesudah umur 20 tahun.
Memang hal itu tidak salah tetapi banyak orang salah mengartikan “kemampuan
belajar yang menurun” dianggap sebagai kekuatan inteleknya tidak (kurang) mampu
belajar. Irving Lorge meneliti hal
tersebut dan hasilnya bahwa “menurunya itu” hanya dalam kecepatan belajarnya
dan bukan dalam kekuatan inteleknya.[147]
Mengevaluasi Variabel
Anak Didik yang Menentukan Kesiapannya
Belajar sebagai proses perubahan tingkah laku
merupakan proses yang terjadi di dalam satu situasi, bukan di dalam satu ruang
hampa. Situasi belajar ditandai dengan adanya motif-motif yang ditetapkan atau diterima oleh murid.[148] Kesulitan yang ada pada
umumnya dihadapi oleh orang yang belajar adalah tidak cukupnya pengetahuan
mereka mengenai cara-cara belajar.
Dalam proses belajar murid memerlukan
kesiapan. Beberapa faktor yang mempengaruhi kesiapan belajar adalah: pertama, kurang dapat memusatkan perhatian kepada
pelajaran yang sedang dihadapi. Kedua, tidak dapat menguasai kaidah yang
berkaitan sehingga tidak dapat memahami pelajaran. Ketiga, lambat
membaca sehingga tidak dapat membaca bahan yang seharusnya dibaca.[149] Karena itu, perlunya
motivasi dalam diri murid untuk belajar. Motivasi belajar adalah jantung
kegiatan belajar dan suatu pendorong
yang membuat seseorang belajar.[150] Jadi, keras tidaknya
usaha belajar dilakukan seseorang
bergantung kepada besar tidaknya motivasi belajar.
Evaluasi akhir terhadap
anak didik adalah apabila usaha murid telah menghasilkan pola tingkah laku yang
dituju semula di mana proses belajar dapat dikatakan mencapai titik akhir
sementara. Hasil utama adalah “tambahan“
perubahan tingkah laku. Dengan demikian, akhirnya terdapat satu kesatuan yang
menyeluruh (kebulatan tingkah laku).[151]
Hubungan Guru dengan Anak Didik
Hubungan antara keberhasilan
pengajaran dan sifat Guru dalam Domain Kognitif. Seorang pendidik harus banyak
membaca dan selalu mengikuti perkembangan informasi yang terjadi dalam
masyarakat. Keterbukaan seorang guru dalam menerima segala informasi dari luar
sangat mempengaruhi pengetahuan seorang anak didik yang diajar. Dengan
demikian, maka:
1. Guru dihadapan siswa
sebagai sumber informasi. Dengan banyaknya pengetahuan dan wawasan guru, maka
keberhasilan dalam mengajar dapat dirasakan bagi siswa yang diajar.[152]
2. Hubungan antara
keberhasilan pengajaran dan sifat dalam Domain Affektif. Seorang guru harus
menjadi teladan hidup bagi anak didiknya.
Sikap guru yang baik akan sangat menolong siswa berinteraksi dengan baik kepada gurunya. Seorang guru
harus menjaga hubungan yang harmonis dengan anak didiknya. Dengan menjaga
hubungan baik, maka anak didik merasa tenang dan nyaman. Dengan demikian proses
belajar pun akan berjalan dengan lancar.
Sebaliknya jika seorang guru memiliki karakter yang kurang baik,
interaksi dengan anak didik pun merasa tidak harmonis sehingga menimbulkan
ketidaktenangan.[153]
3. Guru yang memiliki sifat
otoriter, yaitu seorang guru
menyampaikan materi dalam proses belajar mengajar memiliki sifat
menguasa kepada anak didik. Siswa harus mengikuti apa yang guru kehendaki.
Siswa tidak ada kesempatan untuk bertanya atau memberikan usulan saat terjadi
proses belajar mengajar. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman seorang guru
dalam mengajar tidak memperhatikan pentingnya mengembangkan keaktifan siswa.
Dengan demikian secara tidak langsung membentuk anak didik menjadi seorang yang
berjiwa melawan atau menentang.
4. Proses pembelajaran guru
memberi kesempatan kepada anak didik untuk bersama-sama menciptakan suasana
kekeluargaan dan suasana demokratis. Guru dan siswa saling menghargai satu
dengan yang lain. Dengan demikian proses belajar dapat berjalan dengan baik
sesuai yang diharapakan dalam tujuan pembelajaran.
Dengan uraian di atas,
maka dapat dilihat bahwa seorang guru wajib memberi kesempatan kepada siswa
untuk berhasil dan guru pun sangat membuka diri untuk menerima masukan-masukan dari siswa jika
hal itu dirasa perlu.
Bagaimana Belajar itu Terjadi?
Definisi “Piramid Pengalaman Belajar”
“Kerucut Pengalaman”
belajar dari Edgar Dale memperhatikan hubungan bahan dan sarana belajar sebagai
berikut: Pertama, buku teks. Buku merupakan modal dalam belajar. Buku
merupakan sumber belajar apabila oleh peserta dipergunaan untuk memperoleh
informasi yang diperlukan. Pengajaran yang berpusat pada buku-buku teks
biasanya peserta disuruh membaca buku itu, selanjutnya mengulang isinya dan
yang terakhir mengevaluasi apa yang telah diperoleh dari buku tersebut. Kedua,
bahan belajar yang dibuat sendiri oleh fasilitator. Apabila buku teks tidak ada
untuk keperluan kegiatan belajar, maka fasilitator dapat membuat sendiri bahan
belajar tersebut sesuai dengan kebutuhan peserta selanjutnya didistribusikan
kepada peserta. Ketiga, alat pandang dengar. Dalam menggunakan alat
pandang dengar, ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan, di antaranya: (1)
perencanaan pemakaian alat pandang dengar harus direncanakan oleh fasilitator
dan perseta sesuai dengan teknik dan isi satuan pelajaran. (2) seleksi alat pandang,
(3) mempersiapkan peralatan, (4) mempersiapkan peserta, (5) meringkaskan
informasi, dan (6) mendiskusikan informasi.[154]
Contoh pengalaman yang dinyatakan
“Pyramid Pengalaman Belajar”. Dalam
belajar melibatkan keseluruhan dimensi dari individu karena manusia adalah
makhluk utuh yang memiliki dimensi: lahiriah, jasmaniah, pribadi dan
sosial. Setiap individu memiliki
pancaindra. Karena alasan itulah proses belajar yang baik melibatkan
keseluruhan panca indera semaksimal mungkin.
Melibatkan
pancaindera dalam kegiatan belajar:
1. Dengar-à 2. Lihat-à 3. Bicara-à 4.Berbuat-à dan 5. Berbicara dan Berbuat[155]
Belajar harus
mengaktifkan pendengaran, penglihatan, perasaan, penciuman, perabaan dan
pengalaman bahkan gerak. Berkaitan hal itu, maka H.R Mill dalam piramid belajar, mengatakan
dari segi pengembangan pengetahuan bahwa seseorang untuk memperoleh
pengetahuan biasanya seseorang lebih banyak belajar melalui: penglihatan (75%)
daripada pendengaran (25%). Selanjutnya pandangan belajar dari segi
pengembangan ketrampilan, yaitu: seseorang meningkatkan ketrampilan, maka
seseorang belajar melalui praktek (65%) daripada penglihatan (25%) dan
pendengaran (10%).[156]
Berkaitan dengan pemahaman belajar, maka David Kolb mengatakan bahwa ada
empat Styles of Learning Inventory (pengalaman belajar)[157] sebagai berikut: Pertama, “tipe converger”, yaitu
belajar melalui proses konseptualisasi abstrak (berpikir) dan eksperimentasi
(berbuat). Kedua, tipe diverger, yaitu belajar melalui
pengalaman-pengalamaan konkret (perasaan) dan observasi reflektif (pengamatan).
Dengan tipe ini anak
didik lebih didominasi oleh intuisi, perasaan, dan sensitivitas. Ketiga,
tipe assimilator, belajar melalui konseptualisasi abstrak (kuat dalam berpikir)
dengan observasi reflektif (pengamatan).
Keempat, tipe accomodator yaitu belajar melalui pengalaman
konkret (perasaan dan ekperimental aktif (berbuat).
Murid (Peserta Didik)
Mengenal
peserta didik berarti perlu mengenal sifat-sifat positif maupun negatif anak
didik sebagai berikut:
Sifat-sifat
Positif Anak Didik
Sifat Anak Didik
Berkembang
Inteligensinya
Inteligensi merupakan sifat dasar
anak didik yang sifatnya berkembang. Oleh karena itu, maka pendidikan
memberikan kesempatan kepada anak didik untuk intelektualnya berkembang secara
maksimal. Ada beberapa tokoh psikologi yang mendefinisikan inteligensi sebagai berikut: (1) Terma: Inteligensi adalah kemampuan untuk melakukan berpikir
abstrak. Dengan memanipulasi simbol-simbol, terutama kata-kata. Tindakan yang
intelligent meliputi: pengarahan, penyesuaian dan kritik terhadap diri sendiri
dalam adaptasi mental. (2) Thorndike: Inteligensi adalah kemampuan
melakukan respons yang baik dan diperlihatkannya dengan kecakapannya untuk
berhubungan secara efektif dengan situasi-situasi yang baru, baik situasi
abstrak, mekanis maupun sosial. (3) Stoddart:
Inteligensi adalah kemampuan untuk memahami masalah-masalah yang ditandai
dengan adanya: (a) kesulitan, (b) kompleksitas, (c) keabstrakan, (d) ekonomi,
(e) kesesuaian terhadap tujuan, (f) nilai sosal, dan (g) originalitas. (4) Wechsler: Inteligensi adalah kecakapan
global dari individu untuk bertindak
secara bertujuan, berpikir secara rasional dan berhubungan dengan lingkungan
secara efektif.
Dari uraian definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa Inteligensi adalah kemampuan untuk memudahkan penyesuaian secara
tepat terhadap berbagai segi dari keseluruhan lingkungan seseorang.
Fungsi
Intelingensi
Fungsi
inteligensi adalah:
1. untuk
memahami situasi-situasi yang beraneka ragam,
2. untuk
belajar memahami dan membandingkan fakta-fakta yang luas, halus, abstrak dengan
cepat dan tepat,
3. memusatkan
proses mental terhadap masalah-masalah
4. menunjukkan
fleksibelitas dan kecerdikan dalam upaya mencari cara-cara penyelesaian
Pertumbuhan
Secara
teoritis pertumbuhan atau perkembangan intelektual berhenti pada usia 20 atau
25 tahun. Bagi orang yang lebih
inteligen pertumbuhan berlangsung lebih cepat dan terus berlangsung dalam waktu
yang lebih lama. Sebaliknya orang yang kurang inteligen berkembang lebih lambat
dan pertumbuhan ini akan berhenti lebih awal.
Berbeda
dengan kemampuan mental. Menurut Wechsler, kemajuan kemampuan mental seseorang
bisa berlangsung hingga usia 30 tahun dan sedikit menurun sampai usia 60 tahun.
Menurut Hereditas, bahwa potensi untuk perkembangan inteligensi diwariskan
melalui orang tua.
Menurut Bernard, berdasarkan hasil
penelitiannya dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menunjang perkembangan
intelektual yang optimal adalah: (a) Orang tua yang menaruh minat terhadap
anak-anak: menyediakan waktu untuk bercengkerama dengan mereka, menjawab
pertanyaan-pertanyaan mereka. (b) Faktor-faktor cinta dan kasih sayang,
penerimaann terhadap anak, perlakuan konsisten yang menunjang kesehatan mental.
(c) Meninjau tempat-tempat penting seperti museum, kebun binatang,
perpustakaan, konser, teater dan taman.
Salah satu bukti bahwa inteligensi
anak didik berkembang dapat kita ketahui
di sekolah bahwa di antara mereka ada: anak yang cerdas dan ada anak yang lamban.
Bagi
anak yang cerdas, ciri-cirinya: ia mempunyai energi yang lebih besar,
dorongan ingin tahu lebih besar, sikap sosialnya lebih baik, aktif, lebih mampu
melakukan abstraksi, lebih cepat dan lebih jelas menghayati hubungan-hubungan
bekerja atas dasar rencana dan inisiatif sendiri, suka menyelidiki sesuatu yang
baru dan lebih luas, lebih mantap dengan tugas-tugas rutin yang sederhana,
lebih cepat mempelajari proses-proses mekanis, tidak menyukai tugas-tugas yang
belum dimengertti, tidak suka menggunakan
cara hafalan dengan ingatan, malas mempelajari hal-hal yang tidak menarik minatnya. Selain
itu, ia dapat menempatkan dan mengatur bahan-bahan, menemukan dan merumuskan
hubungan-hubungan dan kesimpulan-kesimpulan, membaca bahan-bahan yang lebih
sulit. Ia dapat membantu anak-anak yang lebih rendah. Ia dapat diberi tugas
yang lebih luas dan lebih rumit.
Bagi
anak yang lamban, ciri-cirinya: ia belajar dalam unit-unit yang lebih
sempit, kemajuannya ingin sering diperiksa, perlu banyak perbaikan,
perbendaharaan kata lebih terbatas,
memerlukan banyak kata baru untuk memperjelas pengertian, sulit membuat
kesimpulan-kesimpulan, tidak mudah mengerti, kurang memiliki kreatifitas dan
perencanaan, ia lamban menguasai ketrampilan mekanis dan metodis, lebih mudah
mengerjakan tugas-tugas rutin, cepat mengambil kesimpulan tetapi kurang kritis
dan mudah puas dengan jawaban yang dangkal. Ia kurang senang dengan kemajuan
orang lain, mudah marah, kurang percaya
diri, lebih berminat terhadap kehidupan di luar sekolah.
Berkembang
Emosi
Emosi adalah sifat dasar anak didik yang bisa berkembang.
Emosi merupakan gejolak atau goncangan perasaan di dalam organisme, atau
pengalaman afektif yang mengiringi suasana bergejolak dalam organisme. Emosi yang negatif dapat
berupa kebencian dan teror yang berakhir pada perkelahian, tetapi emosi yang
positif dapat berupa: kasih sayang dan perhatian, cinta dan ambisi.
Implikasinya adalah bahwa para siswa
harus ditolong untuk dapat mengontrol emosinya agar berkembang ke arah hal-hal
yang positif dan konstruktif. Sedangkan bahwa dalam hubungannya dengan emosi anak didik, guru
hendaknya mempelajari keadaan rumah atau masyarakat sekitar tempat tinggal
anak-anak. Adanya masalah dalam keluarga atau masyarakat tempat ia
bergaul akan berpengaruh terhadap emosi anak. Dengan demikian, maka secara
mental akan tampak kurang berminat untuk belajar. Menurut Beatty, bimbingan dalam pengenalan
dan penanganan masalah emosi ini: apabila dintegrasikan kedalam transaksi
belajar-mengajar, akan memperbaiki cara-cara anak menyesuaikan diri dan akan
mendorong kemajuan dalam bidang akademis.
Ada beberapa sumber emosi sebagai berikut: (1) sumber emosi yang negatif
perlu diketahui. Beberapa anak didik sering datang ke sekolah dengan emosi yang
tidak baik, misalnya: lekas marah dan
mudah tersinggung. Hal ini mungkin disebabkan oleh: sakit kepala kerena
gangguan mata, kurang tidur atau lapar, tegang dengan orang tua,
ketidakseimbangan kelenjar-kelenjar, atau kondisi sekolah sendiri yang kaku dan
terlalu banyak tuntutan kepada anak. (2) Sumber emosi yang positif dan
konstruktif dapat kita ketahui antara lain: adanya perhatian yang cukup dari
orang tua, atau guru atau orang dewasa lainnya, anak mendapat rasa kasih sayang baik dari orang tua maupun guru, suasana yang
penuh persahabatan dan persaudaraan, anak cukup mendapat reward, suasana yang
humoris, orang tua dan guru yang mau mengerti kesulitan-kesulitan anak.
Pada posisi di sinilah bahwa tugas
guru adalah membina dan mengembangkan emosi anak didik ke arah yang positif.
Anak sekolah perlu diarahkan menuju ke tingkat kematangan emosi.
Para remaja harus dilatih dan
dididik agar menyadari kematangan emosinya sehingga mampu bertingkahlaku yang
lebih baik di tengah-tengah perkembangannya menuju ke tingkat kedewasaan
emosionalnya. Dengan demikian, maka prestasi
belajar berhubungan erat dengan stabil tidaknya emosi anak didik. Jadi, bagi anak didik yang emosinya stabil
dan tenang akan menghasilkan prestasi belajar yang tinggi. Sebaliknnya emosi
yang tidak stabil dan hati yang
kacau akan menghasilkan prestasi belajar
yang rendah.
Berkembang
Bakat
Bakat adalah sebagai sifat dasar
anak didik telah ada sejak dalam
kandungan ibunya. Semua manusia mempunyai sifar dasar ini. Kenyataan adanya
bakat itu bisa diketahui setelah anak menginjak umur 4-5 tahun. Pada usia ini
sudah bisa kita ketahui bakatnya, misalnya: bakat bernyanyi. Bagi yang berbakat menyannyi
pada usia ini mereka sudah bisa menyanyi dengan nada yang tepat dan bisa menyelaraskan
suaranya dengan nada alat musik tertentu. Setelah mereka masuk sekolah, peranan
sekolah mengembangkan bakat anak didik itu dengan cara mengadakan latihan pada
hari-hari tertentu.Selanjutnya untuk anak tingkat SMA, suatu bakat bisa
dikembangkan melalui jalur Intra dan Ekstra Kurikuler.
Dengan
demikian, maka tujuan akhir pengembangan
bakat adalah menjadi pribadi
yang mahir, mandiri
dan profesional dalam bidang kemampuan ketrampilan (life skilnya).
Berkembang
Gairah Kerohanian
Mary Go Setiawani mengatakan bahwa perkembangan kerohanian anak didik dapat
dikenali sejak usia 2-3 tahun. Pada usia tersebut sikap rohaninya meniru
tingkah laku orang tuannya, suka mendengar cerita Alkitab dan tahu kasih Allah.
Penuturannya selanjutnya sebagai
berikut:[158]
Ciri khas kerohanian anak didik
setiap jenjang usia mengalami perkembangan ke arah yang lebih dewasa dan lebih
baik sebagai berikut: (a) kondisi
kerohanian anak usia 4-5 tahun: mengenal Allah melalui kasih orang dewasa
terhadap diri mereka, iman terhadap Allah dinyatakan melalui percayanya terhadap orang dewasa, dapat
belajar mengenal Allah melalui kebaktian, memiliki kesadaran akan hal salah dan
benar, dan baru dapat belajar berdoa. (b) kondisi kerohanian anak usia 6-8 tahun: imannya menaruh minat terhadap kebenaran, dapat
berdoa dengan kata-kata sendiri secara spontan, mempunyai rasa ingin tahu
tentang surga dan neraka, semua pengalaman rohaninya adalah meniru tingkah laku
dan teladan orang dewasa dan pada umumnya suka pergi ke sekolah minggu. (c) kondisi
kerohanian anak usia 9-11 tahun: sudah mulai matang untuk menerima keselamatan,
memuja tokoh-tokoh pahlawan, suka membaca Alkitab dan berdoa, dapat menerima
pengajaran Alkitab yang agak mendalam dan memperhatikan keselamatan jiwa orang
lain. (d) kondisi kerohanian anak usia 12-14 tahun: siap sedia menerima
keselamatan, mulai memiliki pendirian sendiri untuk beribadah, bukan paksaan
orang tua lagi, menerima pengalaman agama yang nyata, banyak bertanya tentang
agama, sedang mencari kebenaran sejati, dan dapat mengalami kehidupan yang
berpusat kepada Kristus. (e) kondisi
kerohanian pada usia 15-17 tahun: waktu yang tepat untuk menerima keselamatan
pribadi, timbul keraguan terhadap bermacam-macam persoalan kepercayaan, tidak
tahan melihat orang yang tak selaras dalam tutur kata dan perbuatan, menitikberatkan
pengalaman nyata agama yang dianutnya, dan mudah terdorong emosi, dan bertekat
mau menyerahkan diri kepada Tuhan. (f) kondisi kerohanian pada usia 18-25 tahun:
menuntut kebenaran yang logis, ingin mengalami sendiri kesungguhan dari agama
yang dianutnya, dan memberikan respons
panggilan Tuhan dan mulai dapat melayani Tuhan dengan giat.
Berkembang
Mentalnya
Sifat dasar anak didik yang perlu
diperhatikan perkembangannya adalah sisi mentalnya sebagai berikut: (a) kondisi mental pada usia 6-8 tahun: daya khayalnya sangat kuat, masih berpikir
secara harafiah, belum dapat menerima hal-hal yang abstrak, kemampuan membaca
masih rendah dan semakin bertambah, memiliki daya ingat yang sangat baik, dan kemampuan
untuk berpikir secara logis masih terbatas. (b) kondisi mental pada usia 9-11
tahun: suka koleksi benda-benda, daya kreativitasnya tinggi, mulai bisa
berpikir secara logis, suka bertanya, memiliki daya ingat yang baik, pengertiannya
terhadap hal-hal yang rumit dan abstrak masih terbatas, dan dapat membaca. (c) kondisi
mental pada usia 12-14 tahun: suka mengkritik, menuntut segala sesuatu yang
logis, daya pengertian kurang pengalaman, bisa mengerti hal-hal yang abstrak, daya
ingat cukup baik, tetapi menuntut alasan, terlalu cepat mengambil keputusan dan
kesimpulan, kemampuan membaca berkembang dengan pesat, suka mengkhayal dan
mungkin ada kaitannya dengan pertumbuhan jasmaninya yang begitu pesat. (d) kondisi
mental pada usia 15-17 tahun: kemampuan berpikir secara logis sudah mencapai
tahap kedewasaan, mempunyai daya imajinasi yang penuh kreatif, menuntut
berdikari, suka berdebat, tidak bisa menerima pendapat oranng begitu saja, memperhatikan
masa depan dan memiliki cita-cita
sendiri. (e) kondisi mental pada usia 18-25 tahun: mulai timbul pemikiran-pemikiran yang
bijaksana, menerima pemikiran yang baru, timbul keraguan atas kepercayaan dan
otoritas, memiliki keinginan untuk menuntut kebenaran, mengenal kemampuan diri
sendiri untuk memilih karier, dan mulai bisa komitmen pada kejujuran.
Berkembang
Cita-citanya
Cita-cita anak didik sifatnya ada
yang tetap, ada yang bingung dan ada yang berkembang terus. Dari sejak usia pra-sekolah
sudah banyak anak didik yang menetapkan cita-cita mereka. Ada yang bercita-cita
menjadi guru sejak usia Sekolah Dasar, cita-cita ini tidak berubah dan
kenyataan akhir ia menjadi seorang guru. Ada juga yang cita-citanya berkembang
terus.
Setelah
SMP melihat seorang guru yang menjadi idolanya ia bercita-cita menjadi seorang
guru. Setelah SMA ia berkembang cita-citanya bahwa ia akan menjadi seorang
manager suatu perusahaan atau teknisi informatika atau programmer
komputerisasi. Tentunya untuk mencapai cita-cita itu harus disesuaikan dengan
bakatnya.
Pada tingkat SMA, cita-cita yang
terus berkembang perlu mendapat arahan dan wawasan karier dari seorang guru
pembimbing. Pada umumnya hal ini diperhadapkan dan ditangani oleh guru
Bimbingan dan Konseling (Guru BK). Di tangan guru BK cita-cita anak dapat
diarahkan dalam memilih dan menentukan perguruan tinggi mana yang sesuai dengan
bakatnya, karena cita-cita yang baik
untuk diidamkan adalah cita-cita yang bisa tercapai dengan dasar bakat yang
dimilkinya. Dengan demikian, maka dalam mencari pekerjaan ia tidak ragu-ragu
menempatkan diri dan tidak merasa takut tidak mampu bekerja. Ia akan memliki
rasa percaya diri yang kuat dan akan menjadi seorang pekerja yang handal dan
profesional.
Dari pemahaman di atas, maka dengan
tegas dikatakan bahwa salah satu fungsi
sekolah adalah memupuk bakat dan memantapkan cita-cita peserta didik sampai
pada tingkat pengakuan atau pernyataan yang tepat pada diri siswa.
Sifat Anak Didik
yang Berubah (Tidak Stabil)
Sifat dasar anak didik yang bersifat
berubah-ubah atau belum stabil adalah: fisiknya, tingkah lakunya, prinsipnya
dan jati dirnya. Uraian tersebut sebagai berikut:
Berubah
Fisik (Jasmaninya)
Berubah fisiknya atau jasmaninya sebagai berikut: (a).
kondisi fisik pada usia 6-8 tahun: Jasmaninya terus bertumbuh, jasmaninya cepat
letih, dan dapat menyesuaikan diri dalam permainan kelompok. (b) kondisi fisik
pada usia 9-11 tahun: keadaan kesehatan cukup baik, semangatnya berkobar-kobar,
mudah lapar dan selera makannya cukup baik, dan daya tahan tubuh semakin kuat.
(c) kondisi fisik pada usia 12-14 tahun:
pertumbuhan fisiknya berkembang dengan sangat pesat dan mengakibatkan ketidakstabilan emosi, berat dan tinggi badan bertambah, anak
perempuan lebih cepat daripada laki-laki, Sedang mengalami proses kematangan
seksual, anak perempuan lebih cepat, dan pita suara semakin dewasa, yang menyebabkan suarra anak laki-laki berubah.
(d) kondisi fisik pada usia 15-17 tahun: pertumbuhan jasmani semakin lambat, tatapi
semakin bertambah dewasa, anak putri mulai mementingkan kecantikan secara
lahiriah, nafsu makan besar, apalagi anak putra, dan sering mengikuti aktivitas
dengan melampaui batas dan melalaikan disiplin hidup. (e) kondisi fisik pada
usia 18-25 tahun: tubuh kuat dan tidak mudah letih, mengalami kematangan
seksual, mulai sibuk beraktivitas, mulai berusaha menyesuaikan diri dengan
teman sebaya, dan mulai saling tertarik dan ingin mendekati lawan jenisnya.
Pada
umumnya anak putra remaja atau pemuda akan merasakan gairah seksual dari
pengalaman-pengalaman: bergurau dengan
lawan jenisnya, sentuhan fisik dengan lawan jenisnya, berkencan dengan lawan
jenisnya, membicarakan maslah seksual dengan teman-teman, membaca media cetak
atau elektronika mengenai uraian tentang seksual, melihat foto gambar porno,
melihat foto lawan jenis yang telanjang, melihat blue film atau VCD porno.
Jikalau kehilangan bimbingan yang tepat, tidak sedikit remaja yang akan
tersesat dan cabul atau melakukan penyimpangan seksual sebelum menikah
Keadaan jasmani anak berbeda-beda
dalam hal tinggi, berat dan koordinasi
organ-organ tubuhnya. Ada yang badannya tinggi kurus, ada pula bentuk
badannya yang atletis. Ada pula yang mendapat gangguan fisik, seperti kurang
jelas penglihatannya, berpenyakit asma, mudah pusing kepala, gangguan sakit
gigi, gangguan cacat. Keadaan jasmani yang kurang baik seperti itu akan membawa pengaruh kurang efisien dan gairah belajar. Guru harus peduli.
Berubah
Tingkah Lakunya
Jika
kita menyimak tingkah laku anak didik dari tingkat SD hingga Perguruan Tinggi
ada banyak perubahan tingkah laku dalam diri mereka, baik yang positif maupun
yang negatif. Factor lingkungan sekolah sangat besar pengaruhnya terhadap
perkembangan perilaku anak sebagai berikut:
1. Perilaku
dan pribadi guru besar pengaruhnya
terhadap perkembangan perilaku anak didik. Guru yang berlaku negatif, seperti
pemarah, mudah tersinggung, kurang adil,
kurang bertanggungjawab, sikap pasif dan tidak kreatif dapat mempengaruhi
perilaku anak didik sehingga mereka cenderung beperilaku negatif juga.
2. Perilaku
teman sekolah juga turut mempengaruhi perkembangan perilaku anak karena mereka
sering bergaul dan saling meniru satu dengan yang lainnya. Sifat perilaku teman
ada dua macam, ada yang baik dan ada
yang nakal. Perilaku teman yang baik akan mempengaruhi tingkah laku yang baik
untuk teman yang baik maupun yang kurang baik; ada juga teman yang baik mau
dipengaruhi perilaku yang kurang baik dari anak yang nakal sehingga menjadi
nakal. Ada yang berperilaku tidak baik setelah mendapat teman yang baik, ia
berubah menjadi anak yang baik.
3. Kondisi
bangunan sekolah dan ruang kelas yang
tidak memenuhi syarat, juga bisa mengakibatkan tumbuhnya perilaku anak yang
kurang harmonis satu sama lain dan anak malas ke sekolah.
4. Kurikulum:
5. Sistim
intruksional yang terlalu berat dan kaku serta suasana yang otoriter
memberikkan pengaruh destruktif tertentu terhadap perkembangan perilaku anak.
Berubah
Prinsipnya
Tidak
semua anak memiliki prinsip yang kuat dan patut dipertahankan. Diantara mereka
ada yang prinsipnya salah atau kurang sesuai dengan perkembangan usia dan
tingkat pendidikan yang sedang berlangsung.
Alangkah baiknya jika para pendidik dapat mengetahui apa prinsip
masing-masing anak didiknya di dalam keluarga, di sekolah, dalam belajar, dalam
pergaulan. Sehingga jika kita temui bahwa prinsip mereka kurang tepat, tidak
sesuai dengan hukum pendidikan, maka pendidik bisa mengarahkan, bahkan merubah
total suatu prinsip yang dipandang perlu diluruskan atau dipengaruhi, sehingga anak didik
memiliki prinsip yang benar-benar tepat bagi dirinya menurut kalangan pendidik
maupun orang tua mereka.
Tentu tidak tepat jika anak didik
prinsipnya di sekolah “ yang penting sekolah”. Mestinya prinsip yang tepat anak
sekolah adalah “ saya harus pintar dan meraih juara atau ranking satu” di kelas
saya; atau “saya harus menjadi juara umum”.
Contoh prinsip dalam belajar yang
tepat misalnya: “saya akan belajar bukan dari guru saja”. Prinsip ini tentunya dapat
disetujui baik oleh rata-rata pendidik maupun orang tua, karena belajar yang
baik bukan hanya dari guru saja tetapi bisa dari teman, dari internet atau dari
berbagai media baik cetak maupun elektronika. Contoh prinsip anak dalam
keluarga yang tepat misalnya: “pertama-tama saya akan membahagiakan orang tua
dan kedua saya bisa berguna bagi keluarga”. Jika ada peserta didik yang
berprinsip dalam hal pergaulan
mengatakan :” saya bergaul dengan siapa saja-tidak pandang bulu”. Prinsip
seperti tersebut tersirat ada sikap bergaul yang ngawur dan tidak selektif. Hal
ini perlu diarahkan oleh pendidik atau
orang tua bahwa setiap
orang harus bergaul
dengan orang yang
memiliki
kebiasaan baik, dengan kata lain “orang baik” sebab sebuah kitab suci
menuturkan prinsip yang tepat dalam pergaulan berbunyi:”pergaulan yang buruk
akan merusak kebiasaan yang baik”. Para pendidik yang mampu menempatkan prinsip
yang tepat akan membawa perubahan prinsip
bagi banyak peserta didik yang berhati baik. Hal ini sesuai dengan
pepatah jawa bahwa guru itu patut di gugu dan di tiru .
Suatu prinsip ada gunanya. Dengan
memiliki prinsip, seorang anak didik akan mempelajari sesuatu yang baru atau
dapat menentukan tindakan-tindakan apa yang selanjutnya perlu dikerjakan atau
dilakukannya. Dengan prinsip yang jelas memungkinkan anak didik belajar serius
dan pengajaran bisa terlaksana dengan baik. Pengajaran yang lebih tinggi dapat berlangsug secara efektif jika anak
didik telah memiliki prinsip mengenai berbagai mata ajaran yang telah diberikan
pada jenjang sekolah sebelumnya.
Berubah
Jati Dirinya
Jati
diri seseorang bisa berubah. Hal ini tergantung bagaimana sesorang mampu
tidaknya menemukan makna hidup yang sesungguhnya, mampu tidaknya mengenal diri
sendiri. Dalam rangka mencari jati diri
dan makna hidup yang sesungguhnya, manusia harus bisa menjawab sebuah
pertanyaan esensial yaitu siapa dirinya atau siapa saya. Pertanyaan seperti ini
agak bersifat filosofis, tetapi amat penting untuk membangun karakter atau
mengembangkan diri. Mengapa? Karena jika seseorang bisa mengenal dirinya
sendiri, ia akan mampu menempatkan diri dalam setiapsituasi hidup. Banyak anak
didik yang masih mencari jati diri atau
identitas diri dengan cara yang kurang tepat, misalnya: ikut-ikutan, tidak punya pendirian, atau tidak
berani mengambil keputusan.
Setiap manusia memiliki kelebihan
dan kekurangan, kekuatan dan kelemahan. Dalam hal ini setiap orang dituntut
untuk jujur mengakui keberadaannya, termasuk bisa menemukan kelemahan dan
kekuatan diri atau potensi yang ada dalam dirinya. Dengan kata lain setiap
orang harus bisa mengenal diri sendiri. Orang yang bisa mengenal diri sendiri
itulah orang yang sesungguhnya memiliki jati diri. Bagaimana seseorang bisa
mengenal diri sendiri? Jawabnya harus bisa menilai diri sendiri. Dari sini dapat kita ketahui bahwa jati diri
seseorang bisa berubah tergantung bagaimana dia mampu atau tidak menilai dirinya sendiri. Jika dia mampu
menilai dirinya, maka ia akan mampu menemukan jati dirinya. Tentu jika dia
sadar menemukan dirinya banyak kekurangan atau kelemahan tidak akan diam
membiarkan kelemahannya itu. Ia harus tekun mengusahakan perbaikan hingga
menghasilkan perubahan yang benar-benar bisa menunjukkan jati diri apa adanya.
Beberapa penyebab seorang anak bisa
kehilangan jati diri atau jati dirinya berubah, antara adanya rasa malu akibat
julukan negatif pada dirinya dari orang
lain. Ada kalanya anak sering mendapat julukan negatif dari keluarga,
teman-teman atau guru. Misalnya, si garong, si badut, si kunyuk, si tukul, si
betet, si cebol, si pesek, si kentung, si jabrik, si banci dsb. Terkadang si
pemberi julukan atau label tidak sadar terhadap efek atau akibat serta pengaruh
negatifnya terhadap perilaku yang dijuluki. Kenyataan yang tidak bisa
dipungkiri bahwa julukan semacam itu meninggalkan kesan pada anak yang dijuluki
bahwa ia akan menerima dirinya apa kata orang lain, tidak percaya diri,
menyesali diri karena timbul sikap
membandingkan diri dengan orang lain kenapa saya tidak seperti dia,
kenapa saya jelek seperti ini, kenapa saya dilahirkan menerima nasib tidak
baik.
Bila julukan-julukan tersebut
diterima pada saat seseorang masih muda atau pada masa usia sekolah, hal
semacam itu akan mempengaruhi pembentukan jati diri dan kepribadian. Usia
anak-anak yang dirinya bebas dari julukan atau label negatif dari orang lain,
mereka akan tumbuh kepribadian yang wajar dan percaya diri yang kuat sehingga mudah dirinya untuk
menyampaikan penilaian terhadap dirinya secara jujur. Dia akan merasa tidak
keberatan jika hal-hal negatif atau kekurangan dan hal-hal positif atau
kekuatannya diketahui oleh orang lain. Dengan demikian, maka setiap orang bisa
membentuk jati diri yang benar tanpa goyah karena julukan dari orang lain asal
dirinya bersedia dinasehati, dikoresi
orang lain dan berpikir positif untuk bisa menerima dirinya sebagaimana adanya.
Oleh karena itu teman-teman, orang tua atau pendidik. Jangan suka memberi julukan yang negatif
kepada orang lain karena jika hal itu membawa perubahan negatif pada jati diri
seseorang, sangat sulit memulihkan untuk tidak rendah diri, untuk memiliki rasa
percaya diri, untuk mudah mengenal diri sendiri, mudah menerima saran
dan membuang rasa malu.
Dari uraian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa jati diri bisa berubah, tetapi kita tidak harus sama dengan orang lain, atau
menjadi seperti yang orang lain katakan terhadap diri kita. Bila perlu agar
kita memilki jati diri yang kuat kita harus berani menyangkal apa kata orang
lain, sekiranya tidak bersifat konstruktif. Sedangkan, bagi anak didik yang kehilangan jati diri gara-gara sedikit julukan membutuhkan kasih
yang tulus dari orang lain. Jika ia bertemu dengan orang yang tulus, maka ia
akan membuka diri dari luka masa lalunya, sehingga sedikit demi sedikit pribadinya
akan berubah ke arah yang lebih baik.
Sifat Anak Didik
yang Berbeda
Sifat dasar anak didik adalah perbedaan
dalam hal adalah: individu dan latar belakang keluarga. Uraian hal tersebut
sebagai berikut:
Perbedaan Individu
Semua guru pasti tahu bahwa dalam kegiatan belajar mengajar
menemukan perbedaan individu maupun kelompok. Anak didik sebagai individu
berbeda dalam banyak hal. Beberapa kriteria perbedaan yaitu: yang menyangkut aspek usia dan perkembangan,
seksualitas, temperamen, prestasi akademis, dan gaya belajar.
Perbedaan
segi Usia dan Perkembangan
Guru harus menyadari bahwa dalam
setiap kelas bahkan setiap tingkatan kelas di sekolah ada perbedaan di antara
anak didik dari faktor usia dan
perkembangan. Sehubugan dengan Usia dan perkembangan, setiap anak didik
mengalami pertumbuhan dan perkembangan baik secara jasmani, mental, social, dan
spiritual.
Mengenai perbedaan faktor Usia dan
Perkembangan dapat diuraikan dari perbedaan
usia pra sekolah (TK) sampai usia orang dewasa.
Anak Usia Pra
Sekolah (4-5 tahun).
Dalam keadaan normal anak usia ini
menunjukkan pertumbuhan fisik yang cepat. Pada usia ini mereka sulit untuk
diam. Mereka maunya bergerak terus, jalan dan bermain. Sebenarnya geraknya yang
lincah itu merupakan sarana untuk mengembangkan kekuatan otot dan tulang.
Melalui bermainnya anak belajar mengenal
lingkungannya, sesamanya dan melatih jiwanya siap menentukan pilihan yang
terbaik baginya. Karena itu
dalam membina anak usia ini dibutuhkan adalah: ruang yang cukup besar, waktu yang lebih banyak, dan bimbingan terhadap sifat khasnya.
Mereka memiliki
rasa ingin tahu yang cukup tinggi. Mereka sering mengajukan banyak pertanyaan
kepada orang yang lebih dewasa, khususnya yang berkaitan dengan soal “apa” dan
“mengapa” dari obyek atau peristiwa yang dilihatnya. Kesukaan bertanya itu
penting baginya, karena secara tidak langsung mereka ingin menambah
perbendaharaan pengetahuan, kata, dan menginterpreatasikan simbol-simbol yang
ada dalam pikiranya sendiri ke dalam kata. Anak usia ini banyak bertanya dan
berbicara merupakan upaya dirinya secara
tidak langsung ingin mendapat perhatian dan penerimaan dari orang-orang
sekitarnya.
Cara berpiikir anak usia ini sangat
terbatas dan sempit. Ia belum mampu mengambil kesimpulan dengan tepat, apalagi
yang cukup luas. Hal ini disebabkan oleh egosentrisnya yang kuat. Dalam
hubungannya dengan rohani, tentang Tuhan khususnya, mereka bisa tahu dan
menerima pendapat bahwa Tuhan itu pencipta langit dan bumi, maha kuasa, maha
kasih, mengampuni dosa dan mempedulikan anak-anak.
Anak Usia
Sekolah Dasar (6-12 tahun)
Pada usia ini pada umumnya anak
bersifat egois, cenderung agresif, keras, pendiam dan teguh pada aturan. Di sisi lain mereka
cenderung fleksibel, mudah bergaul, banyak bicara, intuitif dan imajinatif
serta emosional. Di lain pihak mereka cenderung mempertahankan relasi, mudah
bergaul (adaptif) dan pengamat yang baik
dari interaksi sekelilingnya. Dengan demikian, maka mereka tidak mudah
mengambil keputusan untuk menjadi prinsip hidup yang kuat. Sifat yang lain,
mereka cenderung menuntut perhatian, sangat bergantung kepada orang lain dan
selalu mengasihani diri. Bagi anak tunggal banyak mengajukan tuntutan atau
permohonan kepada orang tuanya. Tidak adanya kakak atau adik di rumah,
membuatnya merasa “serba sendiri”. Karena itu konsep berbagi rasa terhadap
sesama kurang atau sukar bertumbuh secara luwes.
Cara berpikir anak usia ini terus
berkembang dan bergerak dari cara kongkret ke cara abstrak. Ia mulai
mempelajari segi-segi keteraturan, tata tertib, otoritas dalam kelompok, dan penghargaan yang
diterima dari orang lain, seperti: sebutan “anak manis”, “anak baik” “anak rajin”
atau “anak pandai”. Anak usia ini ingin
dibina dalam kerjasama yang produktif dan kontruktif. Jika tidak pernah mendapat penghargaan,
pujian dan dorongan dari orang-orang yang membinanya, maka dirinya akan cepat
rendah diri dan kurang percaya diri.
Anak Usia
SMP-SMA (13-17 tahun)
Pada usia ini mereka pada umumnya
menghadapi krisis identitas, kebingungan dalam memainkan peran-peran yang tepat
atau sebagaimana adanya. Ada kegelisahan dalam diri mereka sebagai akibat dari
pertumbuhan hormon atau zat-zat kimiawi tertentu dalam tubuh. Pada usia ini
juga muncul konsep diri negatif atau positif yang mempengaruhi kemampuan dan
minat belajar mereka, kurang harmonisnya
relasi dengan sesama, guru serta orang
tua. Mereka lebih condong menerima norma moral dari teman-teman maupun kelompok
mereka dibandingkan saudara sendiri atau kakak adik mereka. Meskipun demikian, penghargaan,
pengertian dan penerimaan dari
pihak-pihak terdekat, kerabat atau keluarga, tetap saja sangat
dibutuhkan mereka dalam menghadapi keadaan sulit dan tidak stabil yang mereka
rasakan.
1. Anak
usia ini cukup kritis terhadap banyak hal, termasuk mengkritisi iman dan
agamanya. Kebenaran iman yang pernah diterimanya pada masa taman kanak-kanak
atau sekolah dasar mulai dipertanyakan.
Hal ini terjadi karena cara berpikirnya meningkat ke arah abstrak.
Karena itu pula maka anak usia ini
senang beradu argumentasi, menunjukkan kreatifitas dan inajinasi, idealisme,
cepat menghafalkan penilaian, dan menginginkan hal-hal yang humoris.
2. Dalam
pembicaraan tentang masalah-masalah rohani, anak usia ini membutuhkan
pembahasan praktis dan bersifat pribadi. Karena agama dipandang sangan pribadi
dan emosional, ada kalanya ia memiliki keraguan akan iman atau agamanya, namun
sangat menyenangi situasi ibadah yang sesuai dengan situasi emosinya.
Berkaitan
hal di atas maka Jay Kesler mengatakan
bahwa faktor penting dalam pembinaan anak usia ini adalah keterbukaan dalam komunikasi. Pembina harus bersedia mendengar
keluhan dan pendapat remaja supaya mereka merasa diperlakukan dan diterima sebagai “orang dewasa”.
Problematik anak usia ini dirinya ingin dianggap sebagai pribadi-pribadi mandiri. Mereka perlu ditolong untuk merasakan dan mengalami
hal itu. Peraturan-peraturan, tatatertib, dan disiplin yang akan diterapkan
perlu didiskusikan terlebih dahulu agar dalam diri mereka timbul perasaan
“memiliki peraturan itu”. Mereka tidak rela dipaksa, apalagi ditindas untuk
melakukan hal-hal yang tidak disenanginnya.
Mereka ingin dilibatkan dalam pengambilan keputusan tentang hal-hal yang kemudian munngkin akan mempengaruhi
sikap dan tingkah lakunya. Di satu sisi mereka tidak mudah taat, tetapi di sisi
lain mereka sangat takut terhadap hukuman atas suatu pelanggaran.[159]
Usia Pemuda dan Dewasa
Muda (18-35 tahun)
Pemuda dan orang dewasa muda umumnya
telah mampu berpikir abstrak. Dalam hidupnya, secara umum mereka ingin
mengembangkan norma moral Universal, yakni norma yang timbul dan bergerak dari
keyakinan diri yang sejati (idealisme). Norma atau prinsip hidup demikian tidak
semata-mata muncul sebagai akibat dari pengaruh hidup orang lain. Pada umumnya
pada tahab selanjutnya pemuda dan orang
dewasa muda larut dan bergumul dengan masalah karier, panggilan hidup, teman
hidup, keluarga (membina anak-anak) dan
relasi-relasi sosial (peranan yang cocok dalam sistim nilai budaya, adat dan
tradisi). Dalam kaitan dengan kehidupan iman, kelompok usia ini ingin sekali
melihat keterkaitan antara dirinya dengan situasi dan kehidupan sehari-hari.
Orang-orang yang telah memasuki usia dewasa dan keluarga
(18-35 tahun), umumnya menghadapi:
1. masalah
keuangan dalam memenuhi tuntutan hidup sehari-hari
2. masalah
liku-liku atau persoalan dalam membina relasi dengan kerabat yang lebih luas,
disamping berkeinginan kuat untuk mengelola rumah tangga dengan baik, khususnya
dalam mendidik anak secara baik.
Ditinjau
dari proses belajar, mereka dalam kategori memiliki: (1) potensi yang cukup besar untuk belajar mereka
sangat optimal. (2) mereka memiliki keinginan untuk lebih menyimak hubungan
antara hal-hal yang dipelajari dengan kebutuhan dan pergumulan hidup yang
dihadapi. (3) Mereka sudah dapat mengembangkan cara berpikir
praktis dan realistis. Oleh sebab itu
jika mereka menjadi peserta didik harus sudah diberi kesempatan mengembangkan bakat dan intelektualnya dengan
mengerjakan tugas-tugas individu maupun kelompok berupa karya tulis dan sebagainya.
Semua
individu berbeda. Karena semua individu berbeda, tidak dapat diharapkan
bahwa dua orang tertentu akan bereaksi dengan cara yang sama terhadap
rangsangan lingkungan yang sama.
Anak-anak penakut tidak sama reaksinya dengan anak-anak yang agresif. Mereka
yang tenang dan santai tidak merasa terganggu dengan kesibukan orang lain di sekitarnya
yang tergesa-gesa dan ingin cepat menyelesaikan tugasnya dibanding dengan anak
yang peka dan pemalu.
Karena tidak ada dua indiividu yang
memiliki sifat-sifat bawaan dan pengalaman-pengalaman lingkungan yang sama ,
maka tidak pernah ada orang yang dapat meramalkan secara tepat bagaimana orang
akan bereaksi terhadap situasi, sekalipun ada informasi yang luas tentang kemampuan-kemampuan mereka
yang diturunkan dan sekalipun diketahui bagaiman pada umumnya berperilaku dalam situasi yang sama. Juga orang tidak
bisa mengharapkan hasil yang sama dari orang dengan perkembangan usia dan intelektual yang sama. Namun akhirnya,
perbedaan individual justru berarti karena perbedaan ini diperlukan bagi individualitas dalam pembentukan
kepribadian. Individualitas bukan hanya membuat orang menyenangkan, tetapi juga
memungkinkan kemajuan sosial.
Perbedaan Segi Dorongan Seksualitas
Masalah perbedaan dalam segi seksualitas
perlu kita sadari secara seksama, khususnya yang berkaitan dengan perbedaan sifat dan gaya hidup pria dan
wanita. Sifat khas ini cukup berpengaruh
positif atau negatif dalam proses belajar, selain terhadap perkembangan
spiritualitasnya sebagai berikut: (1) Kaum pria lebih dikenal agresif, rasional
(logis), sistimatis. Mereka umumnya sangat visual dalam arti menerima informasi
melalui bacaan dan penglihatan, serta berorientasi kepada apa yang di luar
dirinya. (2) Kaum wanita umumnya lebih dikenal sensitive, emosional dan
menekankan rasa harmonis serta berorientasi ke dalam dirinya. Mereka lebih
banyak menimba informasi dari pendengarannya dan perasaannya atau sentuhan
hati.
Perbedaan kodrat ini ada kalanya
membuat guru tersinggung dengan sikapnya yang kurang baik saat belajar di
kelas, dikarenakan temperamennya yang berubah ubah, sikapnya yang sering
melamun, mencari sensasi dan membuat kacau karena becanda dengan lawan jenis.
Guru harus menyadari faktor penyebab perasaan itu. Guru kurang tepat apabila
menuntut kesamaan prestasi dari kedua belah pihak peserta didik, karena pada
dasarnya mereka sudah punya dasar yang berbeda atas dorongan seksualitasnya.
Perbedaan
Segi Prestasi
Perbedaan indiviidu yang perlu disadari oleh guru adalah dalam
segi prestasi. Setiap orang pada umumnya
secara individu maupun kelompok senantiasa berbeda dalam segi prestasi atau
kemampuan akademis. Ada banyak faktor
yang menyebabkannya, antara lain: cara
belajarnya yang pernah ditempuhnya pada masa lalu. Ada juga faktor latar
belakang ekonomi dan sosio-kultural, nilai
dan sikap hidup, minat serta pengenalan dan harga diri. Pengenalan dan penerimaan diri yang masih
negatif, biasanya sangat melemahkan minnat dan semangat belajar, keharmonisan
dalam segi relasi dan kerjasama.
Perbedaan Segi Temperamen
Perbedaan individu atas dasar
temperamen perlu dipahami dan diterima oleh guru dengan sebaik-baiknya. Artinya
guru harus memandang keragaman teemperamen peserta didik sebagai kekayaan
kepribadian dalam hidup kebersamaan. Berkaitan hal tersebut, maka Hallesby menuturkan
bahwa temperamen sesorang berakar dalam jiwa dan roh, dan merasuk serta
berpengaruh kuat pada tubuh jasmaninya. Karena itu temperamen menjadi
karakteristik individu yang paling hakiki yang dibawanya sejak lahir.
Temperamen terefleksi secara otomatis dalam perasaan, sikap dan tingkah laku
individu. Tidak perlu diatur oleh
logika, intelek, dan kehendak. Seseorang memberi respons terhadap lingkungannya
atas dasar temperamennya sendiri.[160]
Ada empat jenis temperamen sebagai
berikut: (1) Sanguin (Yun,:sanguis=darah), yakni temperamen yang aktif,
ceria atau emosional, sensitive namun mudah berubah. Dengan temperamen sanguine seseorang mampu menyelami perasaan dan pikiran orang lain. Ia halus dan
simpatik, dan memiliki potensi unntuk hidup gembira senantiasa. Akan tetapi,
dengan temperamen ini individu cenderung berpikir dangkal dan labil serta
kurang setia dalam menghadapi kesukaran.
Sebab itu di dalam pergaulan orang sanguine sering dikenal sebagai
pribadi yang “tak mudah dipercaya”. (2) Melankolik (Yun. melancholia = empedu hitam), yakni
temperamen individu yang introvert
(orientasi ke dalam diri), sangat tertutup, pemurung, merasa mudah tersinggung,
merasa tertekan, sukar bergaul, pesimis dan terkesan angkuh. Meskipun demikian
individu dengan temperamen ini sensitive, selalu mendalam dan seksama (berpikir
mendetail). Meskipun tak banyak mempunyai teman akrab, namun ia seorang kawan
yang setia dan dapat diandalkan. (3) Kolerik (Yun. Chole = empedu kuning), yakni temperamen individu yang penuh semangat,
berkehendak (memiliki prinsip) kuat, enerjik, memilki akal budi yang tajam dan
praktis dalam tindakan, berani menghadapi resiko tinggi atas perbuatannya, dan
keputusannya cenderung selalu tepat atau relevan. Akan tetapi, dengan
temperamen ini, individu ini dikenal keras, tak mudah diubah, cepat bertindak dan pemarah, sangat percaya diri, dan karena
itu terkenal sombong atau licik, tak begitu suka dengan kelembutan dan keindahan,
cenderung membalas (tak ingin mempunyai saingan). (4) Plegmatik (Yun. cairan tubuh yang lembab, lamban), yakni
temperamen yang membuat individu lamban, seperti: pemalas, oleh karena itu ia harus selalu
dipaksa. Individu yang plegmatis
bersifat opportunis, seolah tak peduli
dengan orang lain dan lingkungannya, dan karena itu terkesan congkak.
Meskipun demikian, dengan temperamen itu, individu dikenal baik hati, dan tidak
mudah tersinggung, selalu tenang dalam situasi yang cukup mengkuatirkan
sekalipun, percaya diri dan praktis.
Kekuatan empat temperament anak
didik tersebut di atas perlu mendapat
pembinaan dari guru. Dengan sadar guru harus cakap menghadapi anak didik yang temperamennya
berbeda-beda. Segi-segi negatif
temperamen itu akan
dapat muncul dalam interkasi belajar mengajar yang
dipimpinnya. Menurut penulis, dalam pengalaman iman Kristen, temperamen seseorang bisa diubah menjadi yang
terbaik melalui kuasa dan kehadiran Roh Kudus dan Firman Tuhan. Jadi jika
sesorang bersedia memberikan dirinya
dipenuhi Roh Kudus, maka temperamennya akan lebih menonjol yang positif darri
pada yang negatif. Tugas guru mengajar.Namun juga harus terpanggil
mendorong anak didiknya agar mengalami
perubahan temperamen.
Perbedaan Segi Gaya Belajar
Setiap
individu mempunyai gaya belajar yang berbeda. Menurut David Kolb (Styles of
Learning Inventory, 1981) ada empat (4) jenis atau tipe gaya belajar
sebagai berikut: (1) Tipe Converger – belajar melalui proses
konseptualisasi abstrak (berpikir) dan eksperimentasi (berbuat). Artinya,
dengan kecenderunngan ini gaya belajar anak didik lebih didominasi oleh intelek
(pemikiran) dan perbuatan mencoba-coba (dengan pengalaman praktis). Dengan demikian
anak didik menghindari pengjaran yang
semata-mata teoritis. Hal teoritis dan praktis harus berjalan seimbang. Gaya
semacam ini umumnya mendominasi hidup teknokrat. (2) Tipe Diverger - belajar melalui pengalaman-pengalaman konkrit
(perasaan) dan observasi reflektif (pengamatan). Dengan tipe ini peserta didik
lebih didominasi oleh intuisi, perasaan,
dan sensitivitas. Ia mengamati contoh yang didemontrasikan oleh guru, dan
menyimak hal-hal yang erat kaitannya
dengan emosi seperti keindahan gerak dan suasana. Banyak seniman
memiliki kecenderungan belajar semacam ini. (3) Tipe Assimilator -
belajar melalui konseptualisasi abstrak (kuat dalam berpikir) dengan observasi
reflektif (pengamatan). Anak didik dengan gaya belajar ini cenderung bersifat
teoritis, enggan berbuat. Ia berorientasi kepada buku-buku bacaan dan
contoh-contoh. Dari situ ia membangun teori atau keyakinannya. Pada umumnya
teorian dan para filsuf (pemikir) berkembang dengan tipe belajar demikian. (4) Tipe
Accomodator - belajar melalui pengalaman
konkret (perasaan) dan eksperimentasi
aktif (berbuat). Anak didik dengan
kecenderungan belajar ini lebih didominasi oleh situasi dan hal-hal praktis.
Intuisi dan tindakan praktis sangat diutamakan. Ia tidak merasakan perlunya
teori-teori yang berorientasi kepada buku sumber saja. Baginya pengalaman dan
perbuatan aktif di lapangan adalah guru
yang terbaik Umumnya kalangan bisnis
meminati gaya belajar ini.
Perbedaan
gaya belajar individu juga dapat kita pahami dari segi pengaruh konteks. Ada banyak orang
yang sangat peka terhadap nilai dan suasana konteksnya. Anak didik dengan
kepekaan demikian dikenal memiliki gaya belajar yang high context. Sebaliknya ada pula orang yng kurang
menguamakan keadaan di dalam konteksnya. Anak didik dengan kecenderungan demikian dikenal memiliki gaya belajar yang low
context.
Selanjutnya,
dengan kecenderungan belajar high context individu atau kelompok sangat
menekankan relasi antar pribadi, pengalaman dan pengamatan (contoh hidup). Anak
didik begitu sensitive terhadap konteks belajar, seperti: keadaan ruang, obyek
dan peristiwa di sekitarnya. Kemudian, dengan model belajar low contect individu menekankan konsep, ide, teori atau prinsip, menghargai
keteraturan, eksperimentasi dan menyenangiliterartur (bahan bacaan. Tak peduli
apakah bahan yang dipelajari itu relevan dengan konteks hidupnya atau tidak.
Juga tidak terlalu penting baginya pengaruh lingkungan belajar, terhadap
pembentukan pemikiran atau pemahamannya.
Perbedaan Latar Belakang Keluarga
Bemacam-macam keadaan keluarga
setiap anak didik. Ada yang keluarganya harmonis dan ada yang tidak harmonis.
Ada yang bahagia dan yang tidak bahagia. Ada yang orang tuanya cerai dan yang
tidak bercerai. Ada yang keluarganya kaya ada yang miskin. Ada yang menjadi pegawai
negeri ada yang wira usaha dan karyawan pabrik. Ada yang petani dan ada yang berjualan di
pasar dan sebagainya. Semua perbedaan latar belakang keluarga tersebut dalam
banyak hal berpengaruh pada perbedaan sikap dan tingkah laku, gaya hidup dan
motivasi di sekolah.
Anak-anak yang dibesarkan dalam
keluarga yang erat beragama dan menjadi anggota suatu lembaga keagamaan
cenderung lebih tertarik pada agama dari pada anak-anak yang dibesarkan dalam
keluarga yang kurang peduli pada agama. Anak-anak yang tinggal di pedesaan dan
dipinggir kota menunjukkan minat yang lebih besar pada agama daripada anak-anak
yang tinggal di kota.
Sifat Anak Didik
yang Murni
Tidak
sedikit anak didik yang memiliki sifat murni (polos). Mereka mudah
percaya, patuh (taat), baik dan
bijaksana, ingin bersahabat dan demokrasi,
tidak mudah lupa.
Pada hakekatnya hati seorang anak
didik pada usia tertentu sebelum mendapat pengaruh nakal dari temannya adalah
murni, misalnya: anak tidak mau menyontek dari buku atau dari temannya, ia
percaya diri mengandalkan kemampuannya sendiri dan menerima hasil ujiannya
dengan ikhlas berapapun nialinya.
Mudah percaya. Pemikiran apapun
yang diberikan orang tua, guru atau orang yang lebih dewasa dari mereka semua
yang dianggap baik diterima begitu saja tanpa perdebatan. Apalagi jika mereka
tahu bahwa yang menyampaikan itu orang yang sangat berpengaruh atau ia segani
bahkan tokoh yang diidolakan.
Patuh (taat). Setiap anak
pada dasarnya memiliki sifat taat. Anak menjadi tidak taat atau taat terus menerus tergantung pembinaannya
atau pengaruh pergaulannya. Oleh karenanya supaya anak mampu mempertahankan sifat patuh (taat) harus
terus menerus mendapat kesempatan pendidikan yang baik dan pembinaan yang
disertai nilai keteladanan perihal ketaatan dari pendidik, orang tua atau teman
–teman dekatnya.
Baik dan Bijaksana. Seorang yang bernama Alexander S. Neil
mempunyai pandangan bahwa pada hakekatnya manusia itu “baik dan bijaksana”.
Dari sifat ini sering kita dengar
ungkapan dari guru atau orang tua
yang mengatakan,”biarkan dia mengambil keputusan sendiri dan
bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri”. Dengan demikian bisa saja kita
memberi kesempatan kepada anak didik kita bebas menentukan sendiri apa yang
harus dipelajari.
Karena
sifatnya yang berkembang maka anak didik yang bersifat bai ini harus dibina dan
dikendalikan secara tepat dan cermat supaya kebaikan yang dimilkinya tidak
kebaikan semu atau subyektif melainkan
kebaikan yang obyektif.
Sifat kemurnian lain yang anak didik
miliki adalah dorongan bersahabat dan demokrasi. Hal ini tebukti pada anak usia
remaja. Bagi anak remaja memilih teman berawal dari adanya kegemaran dan
kegiatan-kegiatan yang sama. Selanjutnya berkembang dalam memilih teman harus
mereka yang mempunyai minat dan nilai-nilai yang sama, yang dapat mengerti dan membuatnya merasa aman, dan yang
kepadanya ia dapat mempercayakan
masalah-masalah dan membahas hal-hal yang tidak dapat dibicarakan dengan
orang tua maupun guru. Teman atau
sahabat yang diinginkan mereka adalah seorang yang dapat dipercaya, yang
dapat diajak bicara, seorang yang dapat diandalkan. Oleh karena adanya
perubahan nilai.maka teman semasa kanak-kanak belum tentu menjadi teman dalam
masa remaja. Namun sebaliknya ada yang menjalin persahabatan dari masa anak-anak
sampai lanjut usia.
Dorongan untuk bersahabatan secara
murni juga tidak lagi hanya menaruh minat pada teman-teman sejenis. Untuk anak
didik remaja, minat berteman dengan lawan jenis bertambah besar. Sehingga dalam
suatu waktu para remaja lebih menyukai lawan jenis sebagai teman meskipun tetap
masih melanjutkan persahabatan dengan beberapa teman sejenis.
Demokrasi.
Bagi anak didik yang berusia muda, popularitas berarti mempunyai teman banyak,
dan dalam memilih teman tidak lagi bergantung campur tangan orang tua. Mereka
sudah mulai mengembangkan cara-cara demokratis. Demokrasi berimplikasi adanya
rasa saling menghormati, perencanaan yang kooperatif, tanggungjawab bersama.
Banyak perilaku anak didik yang perlu dipahami dan dilayani secara bijaksana oleh guru. Mereka memiliki
dorongan yang kuat untuk membantu kelompoknya.
Ingin
bersahabat. Memperhatikan sifat ini, di sekolah, suara-suara anak
didik hendaknya diperhitungkan dalam merumuskan tujuan-tujuan
dan perencanaan-perencanaan kegiatan. Suara-suara mereka harus didengar agar mereka merasa cukup dihargai dan diperhitungkan, bahkan mereka bisa merasa
ikut bertanggung jawab apapun akibatnya.
Oleh sebab itu guru harus dapat mengenal baik karakteristik anak didik
sehingga ia mengetahui apa yang dapat diharapkan dari mereka. Selain itu guru juga harus dapat
memperlihatkan sikap bersahabatnya dengan selalu bersikap ramah-tamah,
menyediakan waktu untuk mendengarkan
pendapat saat berdiskusi maupun saat demo.
Tidak
mudah: lupa juga merupakan sifat
kemurnian anak didik. Apa yang ditanamkan orang tua, guru, teman pada saat yang
tepat diserap oleh mereka, maka apa bila mereka menangkapnya sangat sulit
mereka melupakan kesan yang pernah mereka terima. Oleh sebab itu mulai mereka
memasuki dunia pendidikan, siapapun yang berperan memberi masukan ilmu
pengetahuan, pendapat secara
formil, informal dan non formal jangan asal-asal atau salah-salah,
jangan yang bersifat destruktif tetapi yang sebenar-benarnya dan bersifat
kontruktif. Dengan daya ingat yang tahan
lama ini maka perlu anak didik diberikan pengetahuan seobyektif mungkin baik
fakta, istilah maupun prinsip-prinsip yang berguna bagi hidupnya pada masa kini
maupun masa yang akan datang.
Sifat-sifat
Negatif Anak Didik
Tentang
sifat dasar negatif anak didik adalah: pertama,
melawan (tidak disiplin, mudah
terpengaruh, tidak cukup konsentrasi atau kurang memperhatikan, pembohong atau kurang
jujur). Kedua, Egois (suka menuntut,
ingin diprioritaskan, menang sendiri atau tidak mau kalah). Ketiga,
berperilaku menyimpang (takut, kurang percaya diri, cemas, malas, keras
hati dan cuek atau pasif).
Masalah
tidak disiplin merupakan sifat dasar negatif semua anak didik. Misalnya: malas ke sekolah, datang selalu terlambat,
mengganggu anak lain yang sedang belajar, membuat keributan, mencontek pada
waktu ulangan, membolos atau pulang sebelum waktunya dan melakukan
tindakan-tindakan agresif. Berkaitan hal
tersebut, maka bahwa masalah perilaku
tak disiplin ini disebabkan dua faktor, yaitu: faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal adalah yang bersumber dari dalam diri anak sendiri, yang
disebabkan oleh implikasi perkembangannya sendiri, misalkan: kebutuhan tak terpuaskan, kurang cerdas,
kurang kuat ingatannya, atau karena energi yang berlebihan. Faktor eksternal adalah yang bersumber
pengaruh-pengaruh dari luar, seperti: pelajaran yang sulit dipahami, cara guru
mengajar kurang efektif, kurang menarik minat, sikap guru yang menekan, sikap
yang tidak adil, bahasa guru yang sulit dipahami atau ditangkap dan alat belajar yang kurang lengkap.[161]
Mudah
terpengaruhi sebagai sifat dasar negatif anak didik harus mendapat
perhatian yang serius baik dari pihak sekolah maupun orang tua. Anak didik
mudah terpengaruh pergaulan yang kurang baik. Terhadap sesuatu yang tidak baik
tanpa belajar secara formal mereka langsung bisa terbawa arus. Namun dalam
kontek anak didik, lingkungan sekolah sangat besar pengaruhnya terhadap perilaku
anak didik. Yang dimaksud lingkungan sekolah adalah perilaku dan pribadi guru, perilaku teman sekolah,
kondisi bangunan sekolah, kurikulum dan
sistim intruksional yang diterapkan terhadap anak didik.
Perilaku
dan pribadi guru. Guru yangberlaku negatif danberpribadi belum matang atau tidak
terintegrasi akan mengakibatkan anak-anak akan melakukan hal yang sama, karena
selama di sekolah, terjadi transaksi
yang terus menerus antara anak dan gurunya
dengan cara peniruan, identifikasi, dan penyesuaian. Gejala perilaku
guru yang frustrasi, pemarah dan mudah tersinggung, suka mencontoh dan kurang
percaya diri, kurang adil dan kurang bertanggung jawab, sikap pasif dan tidak
kreatif dapat mempengaruhi perilaku anak didik sehingga mereka cenderung
berperilaku yang sama.
Perilaku teman sekolah juga turut
mempengaruhi perkembangan perilaku anak karena mereka saling bergaul dan saling
meniru satu sama lainnya. Kenakalan anak-anak, perilaku melanggar disiplin,
sikapmementingkan kelompok dan mengganggu kelompok lainnya adalah beberapa
contoh akibat pengaruh perilaku teman-temannya yang bersifat negatif serta
cenderung merugikan orang lain.
Kondisi
bangunan sekolah yang tidak memenuhi
syarat, misalnya: keadaan
yang kotor,
ventilasi yang kurang memadai, ruang yang gelap, peralatan yang serba tak
terpelihara. Hal tersebut merupakan beberapa contoh yang umumnya mengakibatkan
gangguan konsentrasi belajar dan pada gilirannya anak didik malas bersekolah,
senang bermain di luar sekolah, dan mengabaikan pelajaran gurunya, sehingga tumbuh berbagai bentuk
perilaku yang kurang harmonis.
Kurikulun
dan sistim intruksional yang terlalu berat dan kaku serta suasana yang
otoriter memberikan pengaruh destruktif
tertentu terhadap perkembangan perilaku anak didik.
Hasil Akhir
Evaluasi hasil akhir merupakan data
keberhasilan atau kegagalan dalam proses filsafat pendidikan tersebut. Hasil
akhir disebut berhasil bilsa hasil evaluasi menjawab tujuan pendidikan.
Hasil belajar
merupakan perubahan perilaku peserta didik yang diperoleh setelah mengikuti pembelajaran
selama kurun waktu tertentu yang relatif menetap. Lebih dalam, maka Hamalik (2002) mengatakan
bahwa hasil belajar tampak
sebagai terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa, yang dapat diamati
dan diukur dalam perubahan pengetahuan sikap dan keterampilan. Perubahan dapat
diartikan terjadinya peningkatan dan pengembangan yang lebih baik dibandingkan
dengan sebelumnya, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, sikap tidak sopan
menjadi sopan dan sebagainya. Selanjutnya Dimyati (2002) mengatakan bahwa hasil belajar
merupakan hasil
dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar
diakhiri dengan proses evaluasi belajar. Dari sisi siswa, hasil belajar
merupakan berakhirnya penggal dan puncak proses belajar. Salah satu
upaya mengukur hasil
belajar
siswa dilihat dari hasil belajar siswa itu sendiri. Bukti dari usaha yang dilakukan
dalam kegiatan belajar
dan proses belajar
adalah hasil
belajar
yang biasa diukur melalui tes.
Dari
urian di atas, maka dapat dikatakan bahwa
Hasil belajar (achievement) itu sendiri
dapat diartikan sebagai tingkat keberhasilan murid dalam mempelajari materi
pelajaran di pondok pesantren atau sekolah, yang dinyatakan dalam bentuk skor
yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu.
IV. Hubungan Filsafat Pendidikan
dengan Agama dan Sekuler
Agama dan sekuler merupakan nilai-nilai dari
filsafat pendidikan. Kalau filsafat pendidikan diberi nilai-nilai agama, maka
filsafat pendidikan akan berbasis agama sedangkan kalau filsafat pendidikan
diberi muatan sekuler, maka filsafat pendidikan akan basis sekuler. Dengan
demikian, maka apakah itu
Agama? Agama ialah segala aktivitas hidup manusia dalam dengan suatu usahanya
untuk mewujudkan rasa bakti dan mempersentasikan keterhubungan manusia kuasa
yang diyakini bersifat supranatural dan mengatasi dirinya (transeden). Di sini
bahwa agama sebagai aktivitas hidup manusia membutuhkan bentuk – bentuk konkret
dalam sikap hidup dan tindakan. Jadi, beragama bukan sekedar meyakini sesuatu,
tetapi bertindak sesuai dengan yang diyakininya. Bahkan beroleh agama
seharusnya terwujud dalam totalitas kehidupan dan diamalkan dalam setiap
tingkah laku, sehingga beragama tidak berarti bagi diri sendiri, melainkan juga
bagi sesama dan lingkungan tempat seseorang berada.
Aktivitas beragama
dilakukan dalam rangka usaha
merealisasikan rasa bakti dan keterhubungan manusia dengan kuasa yang disembah.
Sebagai yang demikian, maka agama memerlukan dan menggunakan cara – cara yang
bersifat manusiawi. Dengan kata lain, ekspresi kehidupan beragama selalu
bersifat antropomorfistik. Dalam hal ini perlu disadari pengaruh budaya
setempat terhadap warna kehidupan agama. Jadi, sebagai ibadah (rasa bakti)
kepada kuasa yang disembah, agama melibatkan seluruh segi kehidupan manusia
yang disimbolisasikan dalam bentuk ritus – ritus, tata cara peribadahan dan
pranata – pranata tertentu. Juga terwujud dalam sikap dan tindakan terhadap
sesama manusia dan lingkungannya. Disinilah dapat dipahami bahwa ibadah yang
benar harus mencakup tindakan – tindakan, baik yang bersifat supra social
maupun social.
Salah satu unsur yang menjadi dasar bagi seluruh
bangunan keagamaan adalah keyakinan. Dengan dasar tersebut hidup keagamaan akan
mengandung subjektivitas. Keyakinan subjektif yang menjadi landasan kehidupan
agama tidak menuntut pembuktian kebenarannya secara akali. Menurut Hans Kung,
seorang teolog Katolik, agama merupakan sesuatu dalam diri manusia untuk
dihayati, bukan sekedar konsep teknis yang abstrak, merupakan iman yang
konkret, bukan sekadar lembaga. Agama selalu menyangkut basic trust seseorang
akan hidup. Sadar atau tidak, secara eksistensial manusia membutuhkan komitmen
dasar, komitmet pada makna, nilai dan norma. Agama memberikan makna yang
komprehensif tentang hidup, menjadi jaminan bagi nilai – nilai tertinggi dan
norma – norma yang bersifat tanpa syarat, memberikan komunitas dan rumah
rohani.
Keberadaanya
melekat pada kemanusiaan manusia, bersifat konkret, berkaitan dengan keberadaan
manusia, dan bertolak dari pandangannya tentang kuasa supranatural, dunia,
manusia, dan keterhubungannya satu sama lain, serta diwujudnyatakan dalam
kehidupan, peribadahan, sikap, perilaku, dan lain sebagainya. Dalam rasa
keagamaan, manusia insaf akan adanya suatu kekuasaan yang melebihi segala –
galanya dan sangat penting untuk keselamatannya. Dari segi lain, manusia-baik
sebagai maupun kelompok – memiliki keunikan masing – masing. Kemanusiaanya
tumbuh dan terbentuk oleh suatu lingkungan dan kondisi, lengkap dengan norma,
tata nilai dan cara pemaknaan terhadap realitas yang dihadapinya. Oleh karena
itu, sah dan wajar jika dalam berolah agama terjadi perbedaan.
Dengan
demikian bahwa keberagamaan tidak dapat dilepaskan dari keterhubungannya dengan
spiritualitas. Terjadi kuasa transeden di mana penghayatan tersebut menumbuhkan
relasi, mungkin personal, mungkin juga impersonal. Namun yang jelas, titik
tolaknya adalah realiatas hidup yang dihadapi yang dialami serta gerak hati
untuk memberikan tanggapan spiritual terhadap kuasa transeden itu. Pengungkapan
spiritualitas dan kedalam sentuhannya tidak dapat dilepaskan dari jalinan
budayawi seseorang secara kontekstual. Karena itu, pengembangan spiritualitas
menggunakan wahana kebudayaan adalah wajar, bahkan harus.
Dari
konteks di atas, maka tidak dapat disangkal sekalipun spiritualitas terkait
erat dengan penghayatan personal dan bersifat individual, maka implikasinya
bersentuhan pula dengan komunitas sosial. Itulah yang menyebabkan dimungkinan
terjadinya kelompok orang, yang secara bersama – sama terikat dalam kesamaan
pengungkapan spiritulitas ke dalam wadah agamawi. Wadah itupun akan menemukan
spesifikasinya lebih lanjut dalam jalinan kebudayaan yang melingkupinya. Dengan
demikian, terjadinya bentuk – bentuk pengungkapan spiritualitas (sebagai inti
kehidupan keagamaan) yang berbeda – beda merupakan hal yang wajar dan
(semestinya) tidak perlu mengundang ketegangan.
Agama sebagai Suatu Simbol
Simbol
mempunyai makan yang lebih dalam dan lebih rumit daripada tanda. Dalam simbol
objek, fakta atau peristiwa sebagai realitas lain, yang biasanya berada di luar
jangkauan pengalaman indrawi manusia. Signifikansi simbol memuat berbagai
pemahaman yang dalam, misterium dan mengatasi indrawi manusia yang terbatas.
Sekalipun demikian, manusia selalu membutuhkan dan menggunakan simbol – simbol
itu. Bahkan sebagai mahluk yang berakal budi, manusia dapat menciptakan simbol
– simbol untuk mengaktualisasikan pikiran dan kehendaknya. Dengan pikirannya
manusia menciptakan simbol – simbol tersebut merupakan penjelmaan dari
kebebasan dan dinamika budi manusia.
1. Supranatural
2. Keyakinan: kepercayaan
3. Budaya
Pendidikan Agama (di Indonesia)
Pendidikan
Zaman Purba
Kebudayaan penduduk asli pada zaman
purba disebut kebudayaan Palaeolitis, artinya kebudayaan yang sudah tua
(palaios = tua, lama), seperti yang kita jumpai pada orang orang Kubu, Wedda,
dan Negrito. Sedangkan kebudayaan Indonesia asli pada kira – kira 1500 SM
disebut kebudayaan Neolitis (Neo = baru), yang sisa-sisanya banyak kita jumpai
di pedalaman Kalimantan dan Sulawesi. Adapun ciri-cirinya ialah bahwa
kebudayaan maritim, artinya ada hubungan dengan laut.
Kepercayaan: ada yang animism,
artinya mempercayai adanya roh pada setiap benda, baik pada benda hidup maupun
benda mati. Ada pula yang dinamisme, artinya mempercayai kekuatan gaib pada setiap benda, baik pada benda hidup
Pendidikan
Zaman Hindu - Budha
Karena makin lancarnya perdagangan
antara Negara–negara di dunia, maka di Indonesia terjadi diplomatik antara raja
India dengan ketua-ketua adat. Lama
kelamaan ketua-ketua adat tersebut ingin menyamai raja India, maka akhirnya
mereka ada yang dinobatkan menjadi raja.
Seirama dengn struktur social di
India, maka keadaan masyarakat Indonesia dibagi menjadi 2 bagian adalah: Golongan kasta Brahmana dan Ksatria,
yaitu para raja maupun pada benda mati. Masyarakat pada saat itu masih sangat
bersifat gotong royong, akrab, statis.
Mengenai tujuan pendidikan pada
zaman itu ialah, anak – anak harus dipersiapkan agar mempunyai kecakapan
istimewa dan kekuasaan istimewa pada masyarakat. Manusia yang dicita-citakan
ialah; manusia yang bersemangat gotong royong, menghormati para Empu dan taat
pada adat. Kepala adat dapat memegang peranan segala – galanya adalah (1) dengan
pegawai – pegawainya. Golongan ini termasuk kasta yang dijamin oleh rakyat. (2)
Golongan kasta Waisya dan Sudra, yaitu golongan rakyat biasa. Golongan ini
termasuk golongan yang menjamin pada golongan pertama.
Zaman
Hindu
1.
Agama Hindu atau
agama Brahma dapat dikatakan politheisme, yaitu mempertuhankan kepada banyak
dewa. Dewa-dewa itu antara lain; Surya (dewa matahari), Yama (dewa laut), Agni
(dewa api), dst. Adapun dewa yang tertinggi ialah: Brahma ,Wisnu, Syiwa.
Ketiganya disebut Trimurti.
2.
Menurut agama
Hindu, setiap manusia hidup adalah selalu dalam keadaan samsara (sengsara),
artinya selalu mengalami perpindahan jiwa yang tidak berkeputusan. Ia mengalami
proses lahir kemudian mati, terus lahir lagi begitulah seterusnya. Dan akhirnya
sampailah ia mencapai moksha (bersatu dengan dewa).
3.
Menurut faham
Hindu, khususnya para pengikut dewa Syiwa, mengatakan bahwa hidup manusia
mengalami proses bertingkat ,yaitu: debu – tanaman – hewan – sudra – waisya –
ksatria – brahmana – moksha (bersatu dengan dewa)
4.
Mengenai hukum
karma, agama Hindu beranggapan bahwa tiap – tiap kebaikan akan berakibat baik,
dan sebaliknya tiap – tiap kejahatan akan berakibat pula kejahatan.
Zaman Budha
1. Budha
tidak menyetujui pembagian kasta sebagaimana dalam agama Hindu, dan pendirian
bahwa semua orang itu sama tingkatannya.
2. Ajaran pokok dari agama Budha adalah: (a) Lahir,menjadi
tua dan mati adalah menderita. (b) Apakah yang
menyebabkan menderita itu? Yaitu karena adanya keinginan-keinginan dan
hawa nafsu. (c) Penderitaan akan lenyap, bila hawa nafsu tersebut dapat
dihilangkan. (d) Adapun cara untuk melenyapkan penderitaan itu ialah harus menjalani
8 jalan kebenaran yang diberikan oleh
Budha,yakni:
pandangan-niat-bicara-berbuat-berpenghidupan-berusaha-perhatian-memusatkan
pikiran, semuanya harus baik dan benar.
3. Tujuan
hidup manusia ialah untuk mencapai keselamatan diri, yaitu lepas dari “samsara”
(sengsara), lepas dari peredaran hidup mati, sehingga dapat mencapai nirwana.
4. Pada
awal tahun Masehi agama Budha pecah menjadi 2 aliran yaitu aliran Hinayana dan
Mahayana. Di Indonesia kebanyakan
mengikuti aliran Mahayana.
5. Keadaan
Pendidikannya: (a) Yang mula-mula menjadi guru ialah kaum Brahmana. Kemudian lama-kelamaan para empu di
Indonesia menjadi guru sebagai pengganti
kedudukan Brahmana. Pada saat itu terdapat 2 macam tingkatan guru,yaitu: guru
kraton, di mana yang menjadi murid-muridnya ialah anak-anak raja dan bangsawan;
dan guru pertapa yang lebih berjiwa kerakyatan. Cita-citanya ingin mengangkat
derajat rakyat jelata. (b) Sistem pendidikannya adalah sistem guru kula, jadi
disesuaikan dengan cara di India. Murid-murid tinggal serumah dengan guru. Guru
dianggap sakti dan harus selalu dihormati. Penghasilan guru diperoleh dari
pemberian sukarela dari orang tua murid-murid.
Zaman Sriwijaya
Menurut sejarah,kurang lebih 500 tahun
sebelum Masehi, pernah merantaulah suatu bangsa yang berasal dari India
Belakang ke Kepulauan Nusantara. Setelah mengadakan hubungan dagang dan
kebudayaan, maka abad 7-8 terbentuklah Negara-negara seperti: Sriwijaya,
Tarumanegara, Mataram Lama, dan sebagainya yang pada hakikatnya terbentuk dari
persatuan desa-desa yang telah ada pada beberapa daerah di kepulauan Nusantara
itu.
Tentang pendidikan-pendidikan pada
saat itu dapat kita bicarakan sebagai berikut: (a) Dasar pendidikannya: agama
Budha. (b) Tujuannya: Tiap-tiap orang yang beragama Budha supaya menjadi
manusia yang sempurna dan dapat masuk nirwana. (c) Kurikulumnya: Bahan yang
diajarkan adalah isi dari buku-buku Budha,yaitu Upanishad (sebagai buku suci),
dan guru yang terkenal ialah: Darmapala.
(d) Bentuk sistemnya: Para pelajar dan mahasiswa bersama-sama guru hidup dalam
suatu tempat tertentu disebut asrama, yang merupakan tempat belajar dan
mengajar. Hubungan guru dan murid adalah erat sekali, sehingga besar
pengaruhnya dalam pendidikan. Irama-metodiknya cara mengajar, murid-murid
menghafalkan dan diberi buku pelajaran untuk dihafalkan, sehingga dapat
dikatakan benar-benar menguasai.
Perlu diketahui bahwa bangsa yang
pindah ke Indonesia dari India Belakang itu telah mempunyai nilai kebudayaan
yang tinggi yaitu: (a) Mereka telah mengenal cara bercocok tanam. (b) Mereka
telah pandai mendirikan rumah. (c) Mereka telah mengenal ilmu perbintangan dan
sebagainya.
Pendidikan
Zaman Permulaan Agama Islam
Dengan terbukanya perdagangan
internasional, maka datanglah agama Islam ke Indonesia oleh para pedagang.
Agama tersebut kemudian berkembang melalui guru-guru pertapa yang telah di
Islamkan oleh para wali. Di daerah pedalaman kebudayaan Islam tersebut kemudian
bercampur dengan kebudayaan Hindu-Budha, akibatnya: (a) Pemujaan terhadap raja
tetap bergelora. (b) Bentuk masyarakat tetap feodal. (c) Adanya 2 golongan
dalam masyarakat (yang dijamin), meskipun agama Islam sudah berasas demokratis.
Agama Islam
Islam berasal dari kata bahasa
Arab “salima” yang berarti sejahtera,
tidak bercela. Atau dari kata aslama
yang berarti menyerah, artinya patuh menerima/menganut agama Islam. Orang yang
melakukan aslama disebut muslim,yang berarti patuh karena Allah. Pada
kepatuhannya itu akan bergantung keselamatan dan kebahagiaanya.
Langgar
Langgar adalah merupkan pengajaran
permulaan. Mula-mula diberikan pelajaran
huruf Arab, dan kemudian dengan mengaji ayat-ayat Al-Qur’an. Sistem
pengajarannya : per kepala, yaitu murid menirukan contoh guru. Tujuan
pengajaran ialah agar murid-murid dapat membaca Al-Qur’an sampai tamat.
Lama belajar tidak terbatas,
tergantung dari kemauan murid. Biasanya
lamanya 1 tahun, bahkan kadang-kadang kurang.
Waktu belajar : pagi hari dan malam hari.
Gurunya : seseorang yang
berpengetahuan agama yang betul-betul mendalam, sekurang-kurangnya agak
mendalam. Murid tidak boleh mengecam guru, sebab mengecam guru adalah berdosa.
Uang sekolah tidak dipungut sama
sekali. Apabila sudah menamatkan membaca AL-Qur’an, maka kemudian diadakan
shadaqah khataman.
Pesantren
Tempat ini memberikan pengajaran lebih
lanjut dan mendalam. Murid-muridnya disebut santri, dan biasanya telah memiliki
pengetahuan dasar yang mereka peroleh di langgar.
Tempat
tinggal mereka dalam suatu pondok (semacam asrama,di dekatnya terdapat mesjid
dan rumah guru. Guru hidup bersama-sama muridnya. Guru mendapat sebutan kyai
atau ajengan. Lama belajar tidak ditentukan, ada yang 1 tahun, 2 tahun, dan ada
pula yang sampai 10 tahun.
Kegiatan Harian Pesantren sebagai
berikut: (a)Sesudah shalat shubuh, diberi pelajaran. (b) Kemudian bekerja
membersihkan halaman, berkebun, bekerja di sawah dan lain-lain. (c) Sesudah
makan siang, istirahat pelajaran dan menghafal. (d) Sesudah shalat maghrib dan
isya’ diberi pelajaran lagi.
Bagi yang dipandang tinggi
tingkatannya, diberi pelajaran dengan system klasikal. Mata pelajaran yang
diberikan ialah: (a) Ilmu Tauhid, yaitu pokok-pokok ajaran Islam. (b) Usul
Fiqih, yaitu alat untuk menggali hukum-hukum Islam. (c) Ilmu Arabiyah, yaitu
ilmu untuk mendalami bahasa Arab.
Di Sumatera Barat tidak ada
perbedaan antara langgar dan pesantren , kesemuannya disebut surau. Sedang
pusat pendidikan Islam pada umumnya ialah masjid, yang kemudian timbul
madrasah-madrasah. Mulai abad ke-11 di madrasah-madrasah tersebut mulai
diberikan pelajaran pengetahuan umum.
Metodiknya: Cara yang biasa
dipakai oleh guru ialah cara member pelajaran secara menghafal, misalnya
menghafal Al-Qur’an. Mula-mula santri-santri itu menirukan berkali-kali dari
Kyai, sehingga hafal. Demikian pula cara
memberi pelajaran masih individual yaitu satu per-satu. Keistimewaannnya para santri ialah, bahwa
mereka tidak ingin menjadi pegawai, melainkan ingin hidup bebas, beramal dan
hakikatnya para santri dan Kyai mengadakan hubungn erat.
Pendidikan
Muhamadiyah
Persyarikatan Muhamadiyah adalah
gerakan Islam yang didirikan pada tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta oleh
KH. Ahmad Dahlan . Asas persyarikatan tersebut ialah: (a) Asas gerak amalnya:
Islam. (b) Asas tujuannya : mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
(c) Asas perjuangannya: Dakwah Islamiyah, amar ma’ruf nahi mungkar (memerintah
kebajikan dan mencegah kejahatan) dalam bidang kemasyarakatan. (d) Asas
usahanya: mencakup semua bidang kegiatan dan kehidupan masyarakat.
Prinsip Kehidupan
Muhamadiyah
Pendidikan Muhamadiyah berasakan
Islam, berpedoman Qur’an dan Hadits.
Tujuannya: membentuk manusian muslim berakhlak mulia, cakap, percaya pada diri
sendiri dan berguna bagi masyarakat. Sebagai orang muslim harus mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut: (a) Berjiwa
tauhid yang murni. (b) Beribadah kepada Allah. (c) Berbakti kepada orang tua
dan baik kepada kerabatnya. (d) Memiliki akhlak yang mulia dan halus
perasaannya. (e) Berilmu pengetahuan dan mempunyai kecakapan. (f) Cakap
memimpin keluarga dan masyarakat.
Dasar-dasar Pendidikan
Muhamadiyah
1.
Kemasyarakatan:
Artinya memikirkan aspek masyarakat di samping aspek individu. Maksudnya agar
anak-anak kelak tidak menjadi orang yang setengah-setengah/ canggung dalam
masyarakat. Untuk ini maka harus dididik supaya dapat berdiri sendiri
(selfstanding) dan tidak menjadi parasit.
2.
Tajdid
(progressivitas) = pembaruan. Artinya kita usahakan nilai-nilai dan cara-cara
baru, agar perguruan itu tetap up to date.
3.
Aktivitas Anak-anak dididik menjadi orang yang aktif
dengan latihan-latihan kerja, juga dalam kerja kelompok dan sebagainya. Kita
ubah sistem guru sentries menjadi paedocentris (berpusat pada anak-anak).
4.
Kreativitas:
Yaitu menimbulkan daya cipta dengan memberikan beberapa mata pelajaran,
misalnya teknologi.
5.
Optimisme:
Artinya bila syarat-syarat tersebut sudah terpenuhi, kita bersangka baik
terhadap hasil pendidikan kita.
Tujuan
Muhamadiyah
Memperluas
dan mempertinggi pendidikan agama Islam modern, serta memperteguh keyakinan tentang agama Islam,
sehingga terwujudlah masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Usaha-usahanya:
1. Mendirikan
sekolah-sekolah yang tersebar di seluruh Indonesia, di bawah pimpinan bagian
pengajaran. Sekolah-sekolah tersebut di samping memberikan pelajaran agama
Islam, juga pelajaran-pelajaran sebagaimana di sekolah-sekolah umum/negeri.
2. Memperluas
pengajian-pengajian, di bawah pimpinan bagian tabligh, menyebarkan
bacaan-bacaan agama, mendirikan masjid, madrasah, pesantren dan sebagainya.
3. Mendirikan
rumah-rumah yatim piatu, rumah sakit dan poliklinik-poliklinik untuk memelihara
kesehatan rakyat, di bawah asuhan PKU (Pertolongan Kesehatan Umum.)
4. Selain
tersebut di atas ada pula bagian-bagian lain seperti bagian wanitanya yang
dinamakan Aisyiyah, bagian pemudanya yang dinamakan Pemuda Muhamadiyah. Semboyan
Muhamadiyah: Sedikit bicara, banyak bekerja.
Berlomba-lombalah dalam kebaikan.
Penyelenggaraan Sekolah-sekolah
Muhamadiyah
1. Pada
zaman Belanda sudah mempunyai bagian,
misalnya sekolah Bustanul Atfal (TK), sekolah kelas II, HIS, Mulo, Kweekschool
dan AMS.
2. Sekolah-sekolah
agama misalnya : Ibtidaiyah (SD), Tsanawijah (SLTP), Muallimin/Mu’allimat (SPG)
dan sebagainya.
3. Pada
zaman Jepang sekolah-sekolahnya berjalan terus tetapi terjadi
kegoncangan-kegoncangan di sana-sini.
4. Pada
zaman Kemerdekaan lebih berkembang lagi, sehingga mempunyai bagian-bagian
sebagai berikut: Madrasah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Diniyah, Mu’allimin/
Mu’allima, TK, SD, SMEP, SMEA. SMA, SMOA, SKKP, SKKA, IKIP, dan masih ada lagi.
Dan sampai sekarang sudah banyak Perguruan Tinggi dalam bentuk Universitas.
5. Tidak
sedikit jumlah sekolah-sekolah Muhamadiyah yang mendapat subsidi dari
pemerintah,dan juga mendapat bantuan/sumbangan.
Seiring dengan perkembangan Islam, maka pendidikan agama Islam begitu berkembang
secara pesat. Sekarang ini banyak kita
temui sekolah-sekolah Islam yang maju dan bermuru tinggi seperti sekolah
Al-hazar, Muhamadiah dan Pesantren-pesantren modern.
Pendidikan Agama
dalam Alkitab
Perjanjian Lama
Nenek moyang kaum Israel, Abraham,
Ishak, dan Yakub menjadi guru bagi seluruh keluarganya. Sebagai bapak-bapak
dari bangsanya, mereka bukan saja menjadi imam yang merupakan pengantara antara
Tuhan dengan umat-Nya, tetapi juga menjadi guru yang mengajarkan tentang
perbuatan-perbuatan Tuhan yang mulia itu dengan segala janji Tuhan yang membawa
berkat kepada Israel turun-menurun. Tuhan telah memilih dan memanggil Abraham
dari jauh untuk melayani kehendak-Nya yang agung, guna keselamatan seluruh umat manusia.
Bimbingan dan maksud Tuhan itu perlu dijelaskan kepada segala anak-cucunya.
Dalam
Mazmur 78: 3-7 sekurang-kurangnya lima angkatan yang berkenaan dengan pembinaan
rohani.
“Yang kami dengar dan yang kami ketahui,
dan yang diceritakan kepada kami oleh nenek moyang kami, kami tidak hendak
sembunyikan kepada anak-anak mereka, tetapi kami akan ceritakan kepada angkatan
kemudian . . . supaya dikenal angkatan kemudian, supaya anak-anak, yang akan
lahir kelak, bangun dan menceritakannya kepada anak-anak mereka, supaya mereka
menaruh kepercayaan kepada Allah dan tidak melupakan perbuatan-perbuatan Allah,
tetapi memegang perintah-perintahNya.”
Dari
lima generasi yang dijelaskan dalam ayat ini adalah nenek moyang (Ay. 3,),
Anak-anak mereka (ay. 4), Angkatan Kemudian (Ay. 4), Anak-anak yang akan lahir
kelak (Ay. 6), Anak-anak mereka (Ay. 6b). Pendidikan Iman harus dipelihara dari
generasi ke generasi berikutnya. Pembinaan rohani harus berlangsung secara
kontinyu dari angkatan demi angkatan untuk memelihara kelestarian umat Allah
sesuai dengan pola Alkitab.
Ishak meneruskan pengajaran yang
penting itu dan kemudian anaknya Yakub pula menanamkan segala perkara ini ke
dalam batin anak-anaknkya. Yusuf menyimpan pelajaran-pelajaran itu di dalam
hatinya kemana saja ia pergi, biar dalam pengasingan sekalipun, sehingga
pengetahuan akan janji-janji Tuhan itu tetap terpelihara oleh bangsa Israel.
Tuhan telah memasuki hidup mereka,
karena Tuhan ingin memakai bangsa itu sebagai alat-Nya. Atas perintah Tuhanlah
keinsafan itu dipupuk dan diperdalam, dengan jalan pengajaran kepada kepada
tiap-tiap angkatan muda.
Nabi Musa dipilih pula oleh Tuhan
untuk membebaskan umat-Nya dari penindasan. Musalah yang diangkat menjadi
panglima dan pemimpinnya, tetapi juga menjadi guru dan pemberi hokum-hukum bagi
mereka. Justru fungsi terakhir itu yang merupakan tugasnya yang paling penting,
mengingat pertumbuhan suku-suku Israel pada zaman itu menjadi satu bangsa yang
utuh dan istimewa sifatnya. Musa mendidik mereka di padang belantara dan
mengatur pendidikan itu dengan jitu dan tepat, agar pengajaran agama, yang memberi
dasar seluruh kehidupan umat Tuhan itu, akan dilanjutkan pula oleh
pengganti-penggantinya kemudian.\
Demikianlah kita dapat meninjau masa
demi masa, sambil menunjukkan segala perhatian kita kepada segala aspek
pendidikan agama di antara bangsa Israel
tatkala sudah mendiami Tanah perjanjian itu. Dapatlah kita menunjuk kepada
zaman Para Hakim, dimana muncul seorang pemimpin dan juga guru yang besar,
ialah Samuel, dan kepada tokoh-tokoh para nabi, baik yang bekerja di masa
raja-raja pertama, maupun yang tampil ke muka dengan khotbahnya yang berapi-api
itu sewaktu raja-raja berikutnya. Tentu saja mereka sekalian mengajarkan Firman
Tuhan dengan rajin dan setia supaya umat Israel kembali kepada sumber
keselamatannya.
Selain dari mereka itu, jangan
hendaknya kita lupa akan pendidikan yang diselenggarakan oleh imam-imam dalam
Bait Suci. Merekalah yang menerangkan dan memeliharakan undang-undang mengenai
kebaktian. Mereka juga yang mengajarkan hukum-hukum tentang kebersihan dan
kesehatan, makanan pantangan dan perhubungan kelamin, dan banyak hukum lagi,
yang harus diketahui dan dituruti oleh umat suci itu.
Tiap-tiap keturunan orang Israel
menyampaikan pula segala pengajaran dan peraturan itu kepada keturunan yang
berikut.Proses ini terus berlangsung terus beratus-ratus tahun lamanya. Kita
heran membaca dalam Perjanjian Lama betapa banyak hal yang beraneka ragam
selalu diajarkan kepada angkatan muda dari kaum Israel itu. Ada hukum-hukum
mengenai pembangunan rumah-rumah dan mengenai sistem pengadilan; ada yang mengenai
pakaian dan riba, perkawinan dan perceraian nikah, pertanian dan perternakan,
dan sebagainya. Tegasnya, rencana pelajaran oaring-orang Israel itu sangat luas
dan teratur baik.
Di Israel segala sesuatu harus
saling membantu dan bekerja sama untuk mendidik anak-anak dan orang dewasa agar
menjadi anggota-anggota persekutuan agama itu, yang insaf akan panggilannya dan
dengan segenap hatinya ingin mengabdi kepada Tuhan dalam segala gerak-gerik di
hidup mereka. Untuk itu juga dipergunakan masa-masa raya yang memperingatkan
kaum Israel akan peristiwa-peristiwa yang besar
yang dialami nenek moyang mereka zaman dulu, misalnya perayaan Paskah.
Berhubungan dengan hari-hari raya itu, bapa-bapa meneceritakan kepada anak-anaknya
tentang segala pimpinan dan berkat Tuhan pada masa lampau, supaya menjadi
pelajaran dan penghiburan bagi mereka sekalian pada masa kini.
Seluruh pendidikan Israel bersifat
agama, tak ada sebagian juga pun dari
segala lapangan hidup manusia yang tidak dipengaruhi dan dikuasai agama. Pendidikan itu mulai dalam masing-masing
rumah tangga dan diteruskan dalam kebaktian–kebaktian umum dan di dalam
pengajaran tentang taurat Tuhan. Tuhan
Allah sendirilah yang merupakan pusat dan tujuan segala pendidikan masyarakat
bangsa Israel, maka sudah tentu segala hal-ihwal masyarakat umum pula
dipelajari dan diatur dalam terang penyataan Tuhan.
Bahkan nama-nama tempat di daerah
Palestina itu pun sering mengajarkan orang Israel tentang pentingnya agama.
Kita teringat umpamanya akan arti gunung-gunung Ebal dan Gerizim. Setelah masuk
ke tanah Kanaan, maka atas perintah Tuhan
dari puncak gunung Ebal itu dibacakan kutuk-kutuk bagi segala orang yang
tidak taat kepada pimpinan Tuhan dan Taurat-Nya yang suci itu, dari atas gunung
Gerizim diserukan berkat-berkat yang dijanjikan kepada sekalian rakyat yang mau
mengabdi kepada Tuhan. Dengan demikian setiap kali orang-orang Israel kemudian
melalui lembah anatar dua gunung itu mereka diingatkan akan keharusan bagi
manusia untuk memilih anatra melawan atau menuruti Tuhan, menolak atau mengaku
kuasa Tuhan atas hidup kita. Lembah itu seakan-akan menjadi “Lembah Keputusan”,
yang memaksa manusia untuk menentukan apakah ia mau hidup di bawah berkat atau
kutuk Tuhan (bnd. Ul. 11: 29; 27:1-26. Yos. 8: 30-35).
Selama masa pembuangannya ke Babel,
kaum Yahudi itu makin lama makin sadar lagi akan amanat dan panggilannya. Para
katib mereka banyak mencurahkan perhatian kepada kitab-kitab suci bangsanya.
Dibangunlah rumah-rumah sembahyang dan sekolah-sekolah agama, tempat diajarkannya
kepada jemaat Yahudi itu segala tradisi agama yang telah diserahkan nenek
moyangnya berabad-abad lamanya. Dan sekembalinya kaum Yahudi itu ke tanah
airnya, maka pembacaan taurat mulai memegang peranan yang sangat penting di
pusat banyak sarjana Yahudi yang
menyelidiki dan menafsirkan kitab-kitab suci dengan teliti. Sekolah-sekolah dan
mazhab-mazhab rabbi yang masyhur itu mulai muncul, berkembang dan
berkuasa.
Keyakinan
teologis yang menjadi dasar pendidikan Yahudi adalah ajaran
tentang manusia. Secara singkat, menurut Perjanjian Lama, manusia
diciptakan menurut gambar Allah untuk memelihara lingkungan hidup, menurut
peerintah Penciptanya dan hidup dengan setia sebagai anggota umat
terpilih/kawan sekerja perjanjian. Pada pokoknya semua panggilan tersebut
bergantung pada sifat manusia. Manusia adalah makhluk khusus yang mampu dan
wajib mengambil keputusan pada setiap saat dari hidupnya. Dia terpanggil untuk
membedakan antara nilai-nilai yang muncul dalam kebudayaan dan berporos kepada
kehendak Tuhan. Apabila ia mengacaukan keduanya, dalam arti tidak melihat nilai
ketegangan antara nilai kebudayaan dan maksud Tuhan, maka keadaannya mirip yang
dikatakan Nabi Yeremia atas nama Tuhan : Israel telah “. . . . meningggalkan
Aku, sumber air yang hidup, untuk menggali kolam bagi mereeka sendiri, yakni
kolam yang bocor, yang tidak dapat menahan air” (Yer. 2: 13b).
Tujuan
umum pendidikan agama Yahudi yang berlaku bagi paguyuban Yahudi sebelum musibah
Pembuangan ke Babel ialah Melibatkan angkatan muda dan dewasa dalam sejumlah
penglaman belajar yang menolong mereka mengingat perbuatan-perbuatan ajaib yang
dilaksanakan Allah pada masa lampau, serta membimbing mereka mengharapkan
terjadinya perbuatan sama dengan penyataan di tengah-tengah kehidupan mereka
guna memenuhi syarat-syarat perjanjian, baik berkaitan dengan kebaktian
keluarga dan seluruh persekutuan maupun yang mencakup perilaku yang sesuai
dengan Kehendak Tuhan, sebagaimana ia diejawantahkan dalam urusan soaial dan
pemeliharaan ciptaan yang dinamakan baik oleh Tuhan.
Sebenarnya, pada zaman Tuhan Yesus
pengajaran agama kaum Yahudi sudah sangat berkurang mutu rohaninya.
Penyelidikan dan pengajaran tentang taurat telah bersifat formal dan kaku.
Huruf hokum-hukum itu terlampau diutamakan. Pengajaran agama mulai menitikberatkan
derajat tinggi kaum Yahudi secara bangsa dan jenis manusia. Jiwa taurat telah
menang atas sifat rohani dari agama Israel semula. Katib-katib bersifat
congkak. Tetapi kendatipun demikian, pendidikan agama kaum Yahudi itu tetap
merupakan dasar dan latar belakang bagi pendidikan agama Kristen di kemudian
hari. Dengan itu kita tiba pada masa Perjanjian Baru.
Perjanjian
Baru
Demikian
pula halnya dengan Perjanjian Baru. Segala kitabnya ditulis dengan tujuan
tertentu, ialah untuk mengajar umat Kristen tentang pernyataan Allah dalam
Yesus Kristus dan pengaruhnya bagi umat manusia. Kitab-kitab Injil hendak
memelihara tradisi lisan mengenai pekerjaan dan pemberitaan Tuhan Yesus, agar
rohani jemaat Kristen dibangunkan, imannnya diperkokoh dan pengetahuannya akan
Juruselamat itu diperdalam. Dan surat-surat Rasul Paulus misalnya, semuanya
menyinggung pelbagai masalah yang perlu diterangkan kepada jemaat. Dengan tiada
lelah Paulus senantiasa berdaya-upaya untuk mendidik jemaat Kristen dalam
segala soal iman dan kesusilaan Kristen , dan kita bersyukur kepada Tuhan bahwa
surat-suratnya, yang penuh dengan pengajaran dan nasihat tidak ternilai
harganya, semuanya diserahkan kepada kita. Marilah sekarang kita menyelidiki
dengan lebih saksama lagi tentang kedudukan dan fungsi pendidikan agama itu di
dalam Alkitab sebagai berikut:
Yesus
Apabila
kita hendak menyelidiki soal pendidikan agama dalam hubungan Perjanjian Baru,
tentu saja pertama – tama dan khususnya kita harus mengarahkan pandangan kita
kepada Tuhan Yesus sendiri. Disamping jabatan-Nya sebagai Penebus dan Pembebas,
Tuhan Yesus juga menjadi Guru Yang Agung. Keahlian-Nya sebagai seorang guru
umumnya diperhatikan dan dipuji oleh rakyat Yahudi; mereka dengan sendirinya
menyebut Dia “Rabbi”. Ini tentu suatu gelar kehormatan, yang menyatakan betapa
ia sangat disegani dan dikagumi oleh orang sebangsa-Nya selaku seorang pengajar
yang mahir dalam segala soal ilmu ketuhanan. Sebab Ia mengajar mereka “sebagai
orang yang berkuasa, tidak seperti ahli – ahli Taurat yang biasa mengajar
mereka” (Mat. 7:29).
Tuhan Yesus mengajar di mana saja:
di atas bukit, dari dalam perahu, disisi orang sakit, ditepi sumur, di rumah
yang sederhana, dan dirumah orang kaya, di depan pembesar-pembesar agama dan
pemerintah, bahkan di kayu palang salib sekalipun. Tuhan Yesus tidak memerlukan
sekolah atau gedung yang tertentu. Tiap – tiap keadaan dan pertemuan
dipergunakan-Nya untuk memberitakan Firman Allah.
Tuhan Yesus dalam pengajaran-Nya
tidak terikat pula pada waktu tertentu. Siang – malam, pada setiap saat Ia
bersedia menerangkan Jalan Keselamatan dan Kerajaan Sorga yang telah dating itu
kepada siapa saja yang ingin belajar kepada-Nya.
Yang menjadi tujuan pengajaran Tuhan
Yesus itu bukanlah untuk membahas pelbagai pokok agama dan susila secara ilmiah
atau secara teori saja, melainkan untuk melayani tiap-tiap manusia yang datang
kepada-Nya. Setiap orang itu dikenal-Nya, dan dipahami-Nya masalah-masalah yang
dipergumulkan orang itu.
Cara mengajar-Nya sangat istimewa
pula. Biasanya Tuhan Yesus tidak membentangkan sesuatu ajaran dengan menyuruh
orang mempercayai itu, tetapi Ia menolong mereka berpikir sendiri dan menarik
kesimpulan-Nya sendiri dari apa yang telah dijelaskan-Nya pada mereka. Tak
selalu Ia mencapai hasil-Nya, karena sering pendengar – pendengarNya
mengeraskan hatinya, tetapi tentu Ia senantiasa menyatakan Diri sebagai guru
yang tak ada taranya karena Ia sendiri adalah Kebenaran.
Banyak metode yang dipakai-Nya, dan
segala metode itu masih penting dan perlu dipelajari oleh segala guru agama
masa kini. Adakalanya Tuhan Yesus bercerita. Sering Ia memakai
perumpamaan-perumpamaan. Acap pula Ia mengemukakan pertanyaan-pertanyaan, yang
kemudian menjadi bahan pengajaran-Nya. Kadang – kadang suatu percakapan kita
berkembang menjadi suatu pengajaran yang indah. Tetapi bukan saja dengan
perkataan-Nya Tuhan Yesus mengajar. Juga dengan jalan memperlihatkan apa yang
dimaksudkan-Nya seperti tatkala Ia memeluk anak-anak dan memberkati mereka, itu
menjadi teguran pada murid-murid-Nya, atau ketika ia membasuh kaki mereka untuk
mengajar mereka supaya rendah hati.
Bahkan seluruh kehidupan Tuhan Yesus
sendiri merupakan pengajaran sampai saat yang terakhir, karena justru dalam
sengsara dan kematian-Nya Ia menyungguhkan segala pengajaran-Nya dengan pengorbanan
Diri-Nya sendiri.
Paulus
Rasul
Paulus juga seorang guru yang ulung. Ia merupakan tokoh penting di lapangan
pendidikan agama. Paulus sendiri dididik untuk menjadi seorang rabbi bagi
bangsanya. Ia mahir dalam pengetahuan akan Taurat dan Ia dilatih untuk mengajar
orang lain tentang agama kaum Yahudi.
Setelah Tuhan Yesus memasuki
hidupnya, Paulus menjadi seorang hamba Tuhan yang terdorong oleh hasrat yang
berapi – api untuk memansyurkan nama Tuhan Yesus itu. Kemanapun Paulus pergi, segala kesempatannya digunakan
untuk mengajar orang Yahudi dan kaum kafir tentang kehidupan bahagia yang
terdapat dalam Injil Yesus Kristus. Paulus berkhotbah di hadapan imam-imam dan
rabbi-rabbi Yahudi di hadapan rakyat jelata di segala kota dan desa-desa yang dikunjunginya.
Ia mengajar raja-raja dan wali-wali negri, orang cendikiawan dan kaum budak,
orang laki-laki, kaum wanita, orang Asia,orang Yunani, orang Romawi, pendek
kata segala golongan manusia yang ditemuinya pada perjalanan-perjalanannya yang
banyak dan panjang itu.
Paulus berkeyakinan kuat dan beriman
teguh. Selalu ia siap sedia untuk bertukar pikiran, mengajar menegur dan
mengajak. Pasti ia orang yang ahli pidato dan besar bakatnya. Meskipun tidak
tampan raut muka dan tokoh badannya, tetapi khotbahnya penuh semangat dan
terang isinya, sehingga mengagumkan para pendengar. Dan banyak orang merasa
sangat tersinggung, tetapibanyak pula yang segera ditawan oleh kuasa bahasanya.
Paulus mengajar di rumah-rumah
tempat ia menumpang, di gedung-gedung yang disewanya, di lorong-lorong kota
atau di padang-padang, di atas kapal, dan dalam bengkelnya, di pasar dan dalam kumpulan kaum filsuf. Tak ada
tempat yang dianggapnya kurang layak untuk menyampaikan beritanyatentang Juruselamat
dunia.
Rasul Paulus juga banyak mengajar
melalui surat-surat. Segala soal dan kesulitan yang muncul dalam jemaat-jemaat
yang didirikan itu, ataupun yang timbul di
antara kaum Kristen yang belum dikunjunginya, semua itu dipakainya untuk
menguraikan pokok-pokok kepercayaan atau kesusilaan Kristen yang bersangkutan
dengan hal-hal itu. Kebiasaannya itu sungguh menguntungkan seluruh umat Kristen
di kemudian hari. Bukankah surat-surat Paulus itu sampai sekarang merupakan
pengajaran yang tak ternilai harganya bagi sekalian orang Kristen di segala
tempat?
Jemaat yang Mula-mula
Sejak mulai berdirinya maka jemaat Kristen
menjunjung pengajaran agama. Seperti diketahui, orang-orang Kristen muda itu
mula-mula masih berpaut kepada adat agama Yahudi, tetapi lambat laun mereka
mengembangkan perkumpulan-perkumpulannya sendiri. Di dalam perkumpulan itu
mereka berdoa, berbicara tentang pengajaran dan perbuatan-perbuatan Tuhan Yesus
Kristus, makan sehidangan dan merayakan Perjamuan Suci. Mereka yakin sejak
turunnya Roh Kudus jemaat mereka merupakan Israel baru. Yesus Kristus telah
menciptakan Israel baru itu dengan Roh-Nya sendiri. Sekarang mereka berdiri
dalam dunia ini dengan keadaan baru dan dengan tugas yang baru pula.
Akibatnya
ialah mereka mulai berkhotbah dan mengajar, supaya banyak orang lain pula akan
percaya pada Yesus sebagai Penebus dan Tuhan. Setiap orang yang mau bertobat
danmau bergabung dengan jemaat Kristen itu,dididik dengan saksama. Di dalam dan
di luar kebaktian, mereka belajar
tentang Diri Kristen di dalam dunia ini. Jemaat-jemaat muda itu mempelajari
nubuat-nubuat para nabi dulu kala mengenai Yesus Kristus dan pemimpin gereja .
Mereka menganggap dirinya suatu persekutuan suci,seperti Israel dulu,tetapi
dengan mengaku Yesus Kristus selaku Raja, Nabi, dan Imamnya yang satu-satunya.
Kerajinan
dan kesetiaan Israel dalam menjalankan pendidikan agama dituruti pula, hanya
perbedaannya ialah sekarang bukan lagi Taurat yang menjadi dasar dan pusat
pendidikan itu, melainkan Yesus Kristus. Dengan demikian, jemaat purba itu
mengajarkan agama Kristen di dalam rumah-rumahnya kepada tetangganya, di dalam
kebaktian dan kumpulannya, bahkan kepada siapa saja yang suka mendengarkan
berita kesukaan yang mereka siarkan.
Dari uraian
pendek ini kita dapat segera menarik kesimpulan bahwa agama Kristen itu
merupakan suatu agama yang sangat mementingkan pendidikan Agama. Agama kita
yakin bahwa sekalian penganutnya sekali-kali tak boleh melupakan
perbuatan-perbuatan yang mahabesar, yang telah dilakukan Tuhan Allah bagi
mereka di dalam Yesus Kristus. Anggota-anggota gereja, baik orang dewasa maupun
anak-anak kecil, semuanya wajib mempelajari perkerjaan Tuhan yang telah
mendatangkan keselamatan itu. Peristiwa-peristiwa yang agung itu harus
diajarkan, diterangkan dan dipercaya, sehingga segala orang yang mengaku Yesus
Kristus kehilangan tabiatnya yang lama dan
menjadi ciptaan baru dalam Dia. Jikalau demikian, Gereja Kristen di
dunia ini menjadi suatu terang yang dapat menujuk jalan keselamatan banyak
orang lain pula.
Sedari
zaman Perjanjiab Baru jemaat Kristen sangat mementingkan pendidikan agama.
Tugas mengajar itu tentu diserahkan
khususnya kepada kaum guru yang telah mempunyai karunia dan latihan istimewa
untuk pekerjaan yang mulia itu, tetapi
seluruh jemaat tetap mendukung dan mendoakan mereka itu. Mulai dari abad pertama
tarikh Masehi, Pendidikan agama Kristen menyiapkan orang untuk masuk ke dalam
persekutuan jemaat Kristus, dan setelah disambut dalam jemaat itu mereka
dididik terus supaya semakin lama semakin berakar dalam pengetahuan dan
pengenalan yang mendalam tentang Yesus Kristus, Kepala Gereja itu.
Koherensi Agama
dengan Pendidikan
Bilamanakah
mulainya pendidikan agama itu? Mungkin
ada yang menyangka bahwa pendidikan agama itu baru mulai diselenggarakan pada
masa modern, pendapat itu ternyata salah. Pendidikan agama mulai ketika agama
sendiri mulai muncul dalam hidup manusia. Tiap-tiap agama di dunia ini memiliki
system pendidikannya sendiri – sendiri. Entah bagaimana pun isi, cara dan
bentuknya pendidikan itu, namun pasti ada. Setiap agama merasa perlu mengajar
anak-anak muda tentang kepercayaan, adat istiadat, dan kebaktian agama itu.
Sebelum mereka dapat ditahbiskan menjadi anggota penuh dari persekutuan agama
itu, wajiblah mereka diajar dan dilatih dalam segala teori dan praktik agamanya
itu.Demikian pula tuntutan agama terhadap orang-orang yang hendak masuk dari
luar. Siapa yang ingin memeluk agama baru, tentu saja diwajibkan mempelajari
pokok-pokok kepercayaan dan adat kebiasaan dalam agama itu lebih dulu.
Berkenaan
dengan itu tiap-tiap agama mempunyai guru-guru dan lembaga-lembaganya yang ditugaskan menjalankan pendidikan
agama itu. Tegasnya, selama ada agama, ada pula pendidikan agama. Setiap
pendiri agama seperti Konfusius, Sidharta Gautama, Muhammad sekaligus juga
menjadi pendidik pada umat yang mengikutinya, bahkan tokoh-tokoh genersi kedua
dan ketiga dan seterusnya selalu menampilkan sosok Pendidik bagi umat. Begitu
muncul agama disana pulalah pendidikan agama dimulai. Karena Agama pasti
menyentuh semua sendi-sendi kepribadian manusia. Pendidkan mengatur dan
mengarahkan tingkah laku manusia.
Demikian
pula dalam agama Kristen, kapan pendidikan agama Kristen mulai? Pendidikan
agama Kristen berpangkal kepada persekutuan umat Tuhan di dalam Perjanjian
Lama. Jadi pada hakikatnya dasar-dasarnya sudah terdapat dalam Sejarah Suci
purbakala. PAK itu mulai dengan terpanggilnya Abraham menjadi nenek-moyang umat
pilihan Tuhan, bahkan PAK berpokok kepada Allah sendiri, karena Allah yang
menjadi Pendidik Agung bagi umat-Nya.
Pendidikan
agama Kristen khususnya sejak awalnya sama dengan pikiran dan praktiknya selama
masa Abad Pertengahan berakar baik dalam kebudayaan-Yunani-Romawi maupun
Yahudi. Dari yang pertama itu, yaitu melalui pendekatan Socrates, misalnya,
para pendidik Kristen belajar bagaimana menjernihkan pemikiran melalui seri
pertanyaan yang semakin mendalam. Kemudian, pikiran salah satu muridnya yang
bernama Plato dimanfaatkan para pemimpin Kristen untuk menyoroti inti sari
pendidikan sebagai proses mengantar orang untuk meninggalkan perasaan aman
mereka yang berporos dunia bayang-bayang agar bertindak sesuai dengan dunia
yang nyata. Jadi sebagian pendidikan berarti memeriksa kembali pandangan yang
lazimnya diterima dan menolaknya kalau memang data baru itu menuntut berbuat
demikian. Oleh sebab itu, untuk
menemukan akar-akar dari Pendidikan Agama Kristen, haruslah kita menggali dalam
Alkitab, tempat Tuhan menyatakan rahasia keselamatan-Nya kepada bangsa Israel.
Alkitab itu merupakan satu-satunya sumber pengetahuan itu mengenai rancangan
keselamatan itu,dan Alkitablah yang melukiskan dengan terang bagaimanakah wujud
dan maksud pendidikan agama itu. Banyak sekali keterangannya yang menarik hati
mengenai isi dan cara melaksanakan pendidikan agama itu. Pada hakikatnya
kebanyakan kitab-kitab yang termuat dalam Kitab Suci itu, dikarang dengan
maksud untuk mengajar dan mendidik para pembaca yang beriman itu.
Di dalam Kitab-Kitab Perjanjian Lama
tersimpanlah kesaksian mengenai perkara-perkara yang Maha Agung, yang telah
dialami umat Tuhan di bawah pimpinan-Nya sepanjang sejarah.
Murid Plato
paling termasyur yang bernama Aristoteles mengajar Gereja bagaimana
menggolongkan pengetahuan yang ditemukan agar lebih gampang memperolehnya
kembali bilamana diperlukan lagi. Ia pun menunjukkan mengajarkan akal manusia untuk
mempertimbangkan bobot sejumlah tujuan usaha insane termasuk pendidikannya
dengan salah satu akibatnya yang dianggap paling kuat. Demikian pula “jalan
kebenaran yang dikemukakannya sebagai asa pokok, hendaknya dipakai untuk
mengambil keputusan etis. Semua macam pendidikan tersebut diarahkan kepada
perkembangan seorang pribadi yang mampu melihat hubungan-hububan sejati serta
bertindak sesuai dengan pengetahuan tersebut.
Pikiran
Quintilianes, seorang warga kebudayaan yang menjunjung tinggi kemampuan bertindak
semaksimal mungkin, menjadi sumber yang dimanfaatkan untuk menyoroti cara
mendidik secara praktis dan manusiawi.
Selama
abad – abad permulaan abad bangsa Israel sampai pembuangannya ke Babel dapat dicatat empat pokok pendidikan
utama adalah: (1) Dasar teologi
pendidikan agama Yahudi yang mencakup tiga ajaran yaitu, bangsa yang terpilih,
pernyataan dan ajaran tentang manusia. (2) Dari ketiga dasar tersebut ditarik
isi tujuan pendidikan agama Yahudi. (3) Pengajar–pengajar. Pada dasarnya, Allah
diterima sebagai pengajar utama yang mempercayakan pelayanan mengajar pada
empat golongan pemimpin pada umumnya dan kepada kedua orang tua khususnya.
Keempat golongan mencakup jabatan berikut: imam, nabi, penyair, dan orang
bijak. Tugasnya sebagai pengajar umum masih diteruskan pada zaman pembuangan ke
Babel dan kembalinya ke Palestina. Keprihatinan khas mereka masing – masing
cenderung menghasilkan pendekatan mendidik yang berimbangan kepada tiap-tiap
keturunan yang baru, dan sebab itu hikayatnya dipaparkan dalam Kitab pula
Perjanjian Lama. (4) Kurikulumnya. Dalam ruang lingkup terdapat tema berikut:
“pemilihan Abraham dengan keturunannya, penciptaan langit dan bumi, perlepasan
dari perbudakan di Mesir, pemberian perjanjian/hukum Taurat, pendudukan tanah
yang dijanjikan, permulaan kerajaan dan kesaksian kaum nabi tentang
kecenderungan umat Israel yang menyeleweng dari persyaratan yang termuat dalam
perjanjian”.
Dalam
pokok tersebut tersirat pula bimbingan menuju perilaku yang sesuai dengan
panggilan umat Israel. Mulai dengan dampaknya yang hebat atas diri kaum Israel
sebagai akibat pembuangannya ke Babel sampai permulaan zaman Masehi, pendidikan
agama Yahudi berkaitan secara khusus dengan empat pokok adalah: (1) Dasar
teologi yang mencakup peninjauan ulang
statusnya sebagai bangsa yang terpilih dan pernyataan. (2) Karena mereka jauh dari Bait Allah yang
ada di Yerusalem, yaitu pusat kebaktiannya, dan arena ketidak mampuan orangtua
memenuhi mandatNya untuk mengajar, umat Allah di Babel mengembangkan rumah
ibadah dan sekolah. Yang pertama merupakan prakarsa yang sama sekali baru dalam
sejarah agama, dalam arti pada pertama kalinya pendidikan berkaitan dengan
ritus ibadah. Tentang sekolah tersebut terdapat dua taraf pokok, yaitu sekolah
dasar (Beth - Hasepher) dan sekolah menengah pertama (Beth Talmud). Di dalamnya
nampaklah penghargaan yang sungguh – sungguh terdapat kesepakatan belajar dan
rasa hormat terhadap jabatan seeorang guru. (3) Pendekatan mendidik yang manusiawi dan
yang bersandar banyak pada metode menghafal. (4) Para pelajar. Yang dididik di
sekolah ialah anak laki – laki saja, tetapi barangkali di sana – sini anak
permpuan dididik tentang keterampilan dan isi yang serupa dengan kesempatan
yang disediakan bagi anak laki – laki.
Dalam
bangsa Yahudi begitu melekatnya pendidikan karena dalam penyampaian pesan-pesan
Allah tidak mudah dilakukan banga Israel, mereka melanggar ketetapan Tuhan
sehingga Allah melakukan hukuman bagi mereka dan konsekwensi itu suatu bentuk
pendidikan.
V.Teori Kebenaran:
Korespondensi, Koherensi (KOnsisten) dan Pragmatis
Ada beberapa teori
yang dapat dijadikan acuan untuk menentukan apakah pengetahuan itu benar atau
salah, yaitu: teori korespondenasi, teori koherensi, dan teori pragmatisme.
Teori Korespondensi (Correspondence Theory)
Kebenaran merupakan
persesuaian antara fakta dan situasi nyata. Kebenaran merupakan
pesesuaian antara pernyataan dalam pikiran dengan situasi lingkungannya.
Sesuatu dikatakan benar jika sesuatu yang seseorang ketahui itu setia terhadap realitas obyektif, tidak bertentangan, dan
tidak bertolak belakang. Contoh: kalau Alkitab memberi pengertian bahwa manusia
berada dalam dilema, dan bahwa upah dosa adalah maut, hal itu dapat dilihat
sesuai dengan pengalaman hidupnya. Manusia mengalami konflik dalam dirinya,
yakni perjuangan antara ingin berbuat baik dengan bertindak sebaliknya.
Seseorang dapat melihat bahwa upah dosa
dan perbuatan dosa senantiasa membawa kerugian bagi kehidupan manusia.
Teori Koherensi (Coherence Theory)
Kebenaran bukan
persesuaian antara pikiran dengan kenyataan, melainkan kesesuaian secara
harmonis antara pendapat atau pikiran seseorang
dengan pengetahuannya yang telah dimiliki. Pengertian persesuaian dalam
teori ini berarti terdapat konsistensi (teori ini disebut juga teori
“konsistensi”) yang merupakan ciri logis hubungan antara pikiran-pikiran
(ide-ide) yang telah seseorang miliki satu dengan yang lain. Kalau seseorang
menerima pengetahuan baru, karena pengetahuan tersebut sesuai dengan
pengetahuan yang ia miliki, atau apabila seseorang melepaskan pendapat lama,
karena pendapat baru tersebut lebih bertautan secara harmonis, karena pendapat
baru tersebut lebih bertautan secara harmonis dengan keseluruhan pengalaman dan
pengetahuannya.[162]
Teori Pragmatisme (Pragmatism Theory)
Kebenaran tidak bisa bersesuaian dengan kenyataan, sebab
seseorang hanya bisa mengetahui dari pengalamannya saja. Pragmatisme
berpendirian bahwa mereka tidak mengetahui apapun (agnostik) tentang wujud,
esensi, intelektualitas, dan rasionalitas. Oleh karena itu, pragmatisme
menentang otoritarianisme, intelektualisme, dan rasionalisme. Penganut
pragmatisme merupakan penganut empirisme yang fanatik untuk memberikan
interpretasi terhadap pengalaman. Menurut pragmatisme, tidak ada kebenaran yang
mutlak dan abadi. Kerbenaran ini dibuat dalam proses penyesuaian manusia.[163] Schiller,
pengikut pragmatisme di Inggris, mengemukakan bahwa kebenaran merupakan suatu
bentuk nilai, artinya apabila seseorang menyatakan benar terhadap sesuatu,
berarti ia memberikan penilaian terhadapnya. Istilah benar adalah suatu
pernyataan yang berguna, sedangkan istilah salah merupakan pernyataan yang
tidak berguna.[164]
Teori Pragmatis tentang kebenaran mengatakan bahwa
sesuatu itu dianggap benar jika berdasarkan nilai manfaat dari pengetahuan atau
kebenaran itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Contoh: orang perlu percaya
kepada Yesus karena ada dampak dalam kehidupan. Yesus membuat mampu orang yang
percaya menghadapi masalah secara berkemenangan.
VI. Konflik antara Etika dan
Estetika
Percakapan
tentang etika dan astetika menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
dunia pendidikan, khususnya Pendidikan Agama Kristen. Pentingnya percakapan ini
disebabkan karena persoalan “etika” dan “estetika” menjadi bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari warga pembelajar, baik bagi pendidikan (guru dan dosen) maupun peserta didik. Di sini bahwa Etika dan Estetika (Astetika) yang
dipercakapkan menjadi bagian dari pokok
permasalahan yang dikaji dalam Filsafat.[165]
Artinya pokok persoalan yang dikaji filsafat mencakup tiga segi, yakni: logika,
etika dan estetika.
Filsafat
etika membahas tentang apa yang dianggap
baik dan mana yang dianggap buruk. Sedangkan Filsafat estetika membicarakan
apa yang termasuk indah dan apa yang
termasuk jelek.[166]
Dengan kata lain etika diartikan “studi tentang prinsip-prinsip dan
konsep-konsep yang mendasari penilaian terhadap perilaku
manusia”.[167]
Sedangkan estetika adalah “studi tentang prinsip-prinsip yang mendasari penilaian
kita atas berbagai bentuk seni. Apakah tujuan seni? Apa peranan rasa
dalam pertimbangan estetis? Bagaimana kita mengenali sebuah karya besar seni?”[168]
Kegunaan
Etika dan Estetika
Apa
kegunaan pengetahuan tentang etika bagi seorang guru? Apakah pengetahuan
tentang etika dapat membantu guru memecahkan banyak dilemma yang muncul di
kelas? Seringkali, para guru harus mengambil tindakan dalam situasi-situasi di
mana mereka tidak mampu mengumpulkan semua fakta relevan dan dimana tidak ada
arah tindakan yang tunggal yang secara total benar atau salah.[169] Kegunaan
etika dan estetika sebagai berikut:
1.
Sejauh mana etika
dapat menyumbangkan kepada guru cara-cara berpikir mengenai
permasalahan-permasalahan yang sulit untuk menentukan arah tindakan yang benar.
Cabang dari filsafat ini juga membantu guru memahami bahwa pemikiran etis dan
pembuatan keputusan bukanlah semata-mata mengikuti aturan-aturan.[170]
2.
Estetika itu
berhubungan dengan dengan nilai-nilai yang berkaitan dengan keindahan dan seni.
Estetika membantu guru meningkatkan keefektifannya pengajaran, karena dapat
dipandang sebagai suatu bentuk ekspresi artistic, dapat dinilai menurut
standar-standar artistic dari keindahan dan kualitas. Dalam konteks ini guru
adalah seorang seniman dan secara terus menerus berusaha meningkatkan kualitas
kerjanya.[171]
Bila
kajian etika menyangkut baik dan buruk
serta estetika menyangkut indah dan jelek
maka pada sisi apa kedua bidang ilmu ini dapat hidup berdampingan secara
rukun, dan pada konteks apa kedua bidang ini menyebabkan terjadinya konflik.
Dalam bagian terakhir inilah pembahasan ini dilakukan. Dengan kata lain tugas
yang diberi kepada saya adalah membahas “konflik antara etika dan estetika”.
Konflik antara
Etika dan Estetika
Pokok Percakapan
Etika dalam Pendidikan
Secara umum diakui bahwa pendidikan secara luas dihormati sebagai “pembentukan
moral”. Para guru yang baik selalu menarik perhatian dalam: apa yang
dikatakan atau diajarkan? Apa yang dilaksanakan dan bagaimana para siswa
hendaknya bertindak? Mereka mempunyai
kaitan dengan memberikan atau menyampaikan nilai-nilai moral dan meningkatkan
induvidual dan perilaku sosial. Dengan demikian, maka siapapun yang menjadi
guru yang mengambil lapangan kerjanya
dengan serius harus mencari untuk menjawab menata nilai-nilai moralnya .
Di sini studi etika akan menolong seorang guru dalam melaksanakan tugas
mengajar yang menuntut keputusan-keputusan etis.
Mengamati apa yang dikatakan di atas maka pergumulan guru tentang
etika sebenarnya merupakan sebuah studi berharga baginya dalam kerjanya di
dunia ini. Dalam konteks ini seorang guru berhadapan dengan pertanyaan seperti
: Bagaimana hidup dalam berprilaku yang
baik untuk semua orang? Bagaimana seharusnya atau sebaiknya manusia atau warga
pembelajar untuk bertindak? Hal ini mempunyai kaitan dengan " hak atau kebenaran" serta nilai-nilai sebagai
basis untuk tindakan benar. Pada suatu waktu sistem etis telah dihubungkan ke
agama. Hari ini, bagaimanapun, sistem yang etis Dunia Barat, walaupun sebagian
besar memperoleh dari pengajaran religius, pada umumnya dibenarkan pada
lain-lain alasan.
Intuitionism dan Naturalism
Dua jenis teori etis yang penting adalah: teori Intuitionism dan teori
naturalism. Intutionism menyatakan
nilai-nilai moral itu ditawan oleh individu yang secara langsung. Kita
menyerap kesalahan atau kebenaran itu sesuatu
yang terjadi dan dirasakan.
Nilai-Nilai Moral yang menawan dengan cara ini benar di (dalam) diri mereka
Kebenaran mereka tidak bisa dibuktikan secara logika atau menguji dengan
pengalaman itu hanya dapat dimengerti secara intuisi (perasaan atau pengalaman).
Sedangkan naturalism menekan pada proses yanga alamiah.
Contohnya: jika seseorang
percaya bahwa hubungan seksual sebelum nikah secara moral salah, tidak perlu
melakukannya oleh karena pertimbangan etis telah dibuat atas pokok ini, tetapi
akan diteliti maka studi seperti itu harus melihat konsekwensi dari pengamatan
pribadi atau efek studi ilmiah terhadap hubungan seperti itu. Seseorang yang menerima penafsiran etika naturalistic
memilih atau membenarkan nilai-nilai moral menurut penyelidikan ilmiah terhadap
apa yang diungkapkan disekitar kebenaran
dan bersalah kepada perilaku dan apa pengalaman hidup yang diuji adalah jalan
atau cara yang terbaik untuk manusia yang melakukan sesuatu untuk dirinya.
Dengan kata lain, penyelidik alam memelihara nilai-nilai moral yang ditemukan pada
suatu pengujian yang obyektif sebagai konsekwensi praktis tentang tindakan
manusia.
Apakah nilai-nilai moral yang diajar sama dengan atau berdasarkan
fakta pengetahuan yang diajarkan? Socrates
menjawab: kebaikan moral tersembunyi pada
setiap individu. Guru bisa membawa nilai-nilai moral itu ke dalam kesadaran
siswa yang diajarnya. Kebaikan, si siswa boleh dikatakan, dapat diajar, jika
dengan pengajaran kebaikan dari guru. Ini berarti guru membantu para siswa
menjadi sadar akan kebenaran atau nilai-nilai moral. Siswa akan bertindak
sesuai dengan apa yang telah dipelajarinya.
Kita semua mengenali bahwa seorang siswa yang dengan susah mempelajari
apa yang dikatakan kepadanya sudah benar-benar mempelajari sesuatu kecuali jika
ia bisa mematuhi itu. Di sini kemudian terjadi konflik: jika dengan pengajaran dan pelajaran guru yang
gampang berarti memberikan atau menyampaikan dan memperoleh pengetahuan dari
tentang perbuatan baik atau akhlak, kemudian nilai adalah sesuatu yang dapat
diajarkan.
Selanjutnya, bahwa para guru dapat juga menguji para siswa untuk
menemukan berapa banyak mereka memahami tentang nilai-nilai moral dan dapat
membantu mereka didalam memilih antara bermacam tindakan alternatif. Tetapi
tidak ada guru dapat menjamin, bahkan setelah melakukan atau menyelenggarakan
tugasnya secara tekun dan melakukan semuanya itu, maka hasilnya: siswa mempunyai moral yang tinggi. Apa yang
dilakukan guru, paling tidak hasilnya bahwa siswa: (a) mengetahui apa yang benar dan apa yang
salah, (b) mengetahui kenapa maka, dan (c) mempunyai beberapa gagasan untuk apa
yang ia hendaknya lakukan sekitar apa yang ia ketahui. Jika, sebagai tambahan,
siswa yang benar-benar terlibat dalam hak atau kebenaran melakukan, guru akan telah (menjadi)
lebih dari yang dihadiahi untuk usahanya.[172]
Itu
sedikitnya mungkin untuk pertimbangkan
nilai-nilai etis sebagai menjadi
dua macam, terakhir dan segera. Yang Barang-Barang Moral yang aku mencari yang
yang terakhir dan segera ku. Yang Barang-Barang Moral yang aku mencari yang
pengalaman yang segera ku adalah nampaknya akan ditentukan oleh yang baik
akhirnya dan yang terakhir yang aku mengerti sebagai akhir dan gol ke
tempat yang mana semua hidup ku berada atau tinggal. Jika aku
memberi alasan bahwa pemimpin yang baik dalam hidup adalah kesenangan, kemudian
di saat ini melakukan dari tiap hari yang aku akan memilih yang aktivitas itu
memberi kesenangan terbesar dan merasakan bahwa diri ditetapkan dalam tujuan lebih tinggi dengan mengidentifikasi
diri di depan umum dengan masyarakat yang beragama. Persahabatan, merasa
inspirasi dan daya apung/ kegembiraan mendapat dari komuni kelompok yang
religius, jaminan, hukuman yang di belakang dunia yang luar biasa adalah suatu
Tuhan penuh kasih yang genap berpesan kejatuhan burung pipit, berharap merasa
optimisme dalam kehendak yang baik menaklukkan kejahatan, bahwa yang percaya
boleh masuk setelah hidup ini.[173]
Pokok
Percakapan Estetika dalam Pendidikan
Estetika adalah studi
berharga di dunia kecantikan.
Nilai-Nilai estetika pada umumnya sukar untuk menilai sebab bersifat penilaian
pribadi atau lebih tepat subyektifitas individu yang menilai itu. Seni karya yang baik tertentu menimbulkan bermacam-macam tanggapan dalam
arti penilaian yang berbeda dari setiap orang pun berbeda. Tidak gustibus
bukan disputandum est.
Siapakah yang tanggapannya semakin sesuai semakin sesuai?
Seseorang dapat menilai atau menghakimi kecantikan dengan
penggunaan ukuran-ukuran berwibawa, dan boleh mengakui bahwa semua seni karya
yang baik yang mencetak (prestasi) rendah atas ukuran-ukuran ini akan mempunyai
suatu waktu sulit menemukan tempatnya di dalam sejarah. Ukuran-ukuran
Objektive adalah berguna bagi orang
baru, dan mereka bertindak sebagai standard kritik kronis. Buku teks di dalam
literatur, seni, dan musik bersandar pada yang baku ini ketika memberi tahu
para siswa pada atas berbagai hal yang menyertakan penilaian dan penghargaan.
Fakta, bagaimanapun, kritikus yang berwenang atau berwibawa itu boleh berbeda
secara luas ketika menafsir suatu seni karya yang baik membawa kita kembali ke
pertanyaan sebelumnya: Siapakah yang menyatakan tanggapan yang sungguh-sungguh
sesuai?
Berabad-abad suatu pertanyaan penting membahas estetika seperti
ini: Perlukah seni jadilah wakil, atau
haruskah produk imajinasi pencipta?
1.
Seni
perlu dengan setia refflect hidup dan pengalaman manusia. Kita dengan jelas
mengenali peristiwa; pemandangan tentang musim gugur atau memudarnya matahari
terbenam melukiskan suatu pemandangan yang mengecat. Kita harus digembirakan
oleh suatu lukisan dari benda mati suatu mangkuk atau pasu berbunga,
masing-masing bunga mengetsa sangat baik, daun bunga nya yang sangat seperti
kehidupan, bahwa kita merasakan terdorong untuk menggapai ke luar dan menyentuh
rekanya!
2.
Seniman
menyatakan dirinya spontancously sekitar manapun aspek atau pengarah hidup yang
minat dia. " Suatu gambaran," yang dikatakan tegas, " harus
tidak pernah jadilah suatu copy... Angkasa kita melihat lukisan kaum tua tidak
pernah angkasa kita bernafas/meniup." Seniman sendiri. Ia menciptakan ke
luar dari pengarah yang pribadi nya dan pengalaman. Ia menyatakan perasaan nya
tentang kecantikan atau kejelekan dunia dan, barangkali, menunjukkan apa yang
ia berpikir dunia itu seharusnya. Di dalam memandang ini, pencipta menikmati
kebebasan tak habis-habis untuk menggunakan medium nya dengan cara yang
memenuhi himbauan yang kreatif di dalam dia.
Di dalam keduanya memandang, pertanyaan yang muncul menyangkut
lingkup dan pokok seni yang sesuai. Sebagian orang memelihara bahwa jika seni
adalah suatu ungkapan hidup, berhadapan dengan semua dari yang hidup: yang
buruk, yang menyimpang dari kebiasaan, yang fantastis, dan yang unik. Orang
lain percaya bahwa seni melaksanakan
suatu fungsi sosial. Seniman perlu berbicara kepada semua orang-orang waktu
nya, bukan suatu persekongkolan kecil
sekarang atau alam selanjutnya. Meski demikian yang lain skeptis terhadap yang disebut tanggung jawab sosial seniman
itu. Masyarakat berubah. Suatu seniman lahir satu generasi mungkin (adalah)
menciptakan untuk yang berikutnya. Akan ia disalahkan untuk tidak berhasil
untuk menyenangkan yang zaman ini? Seniman yang mana atau siapa seniman yang telah senang kritikus nya mungkin pada
ujung kuasa-kuasa berdayacipta nya, untuk atau karena kritiknya tertuju untuk
menilai atau menghakimi seturut standard berlaku. Tentu saja, seniman yang
ditolak oleh kritikus boleh sungguh pembaharu benar.
Di sini bahwa nilai Esthetic adalah sedikit lebih keras untuk
membedakan atau melihat. Siapakah Orang-Orang yang menikmatinya tidak melakukan
suatu pekerjaan yang baik menceritakan sisa apa yang mereka adalah; dan mereka yang siapa yang
tidak lihat dengan sepenuhnya pada
bagian luar dari rombongan yang secara diam-diam menikmatinya. Tetapi
barangkali mengapa kita sedang menikmati
perkiraan kecantikan tanpa pengetahuan. Jadi ethichs (teori moral baik) adalah
salah satu dari bidang yang paling tua di dalam filosofi. Dan estetika yang
dipahami sebagai teori kecantikan, mempunyai merindukan bertaut perhatian ahli
filsafat yang serius. Tetapi di akhir-akhir ini banyak orang sudah menyimpulkan
bahwa ada landasan umum yang bersama oleh bidang ini seperti halnya oleh semua
lain tahap dari yang hidup kita adalah councerned dengan yang berharga.
Ada, tentu saja, teori berbeda berharga; dan di sana adalah
jenis nilai yang berbeda juga. Sebagian dari teori yang berbeda
berharga akan jadi diuji dalam buku ini di dalam tempat sesuai mereka, ketika
masing-masing bagian-bagian dari systematik studi dari tiap yang empat
filosofi. Secara alami, macam yang berbeda berharga adalah banyak. Mereka yang
menerima lebih mengarahkan perhatian sejauh ini dari ahli filsafat adalah yang
etis, aesthetic, religius, dan nilai
sosial. Beberapa lain adalah yang
ekonomi, politis, bidang pendidikan, bermanfaat, recretional, dan nilai-nilai
kesehatan.[174]
Konflik
antara Etika dan Estetika dalam Pandangan Umum
Berdasarkan
apa yang dikemukan di atas, konflik antara etika dan estetika tidak berada pada
etika dan estetika itu sendiri tetapi pada manusia
yang melakukan penilaian atas apa yang baik dan buruk (etika) dan atas apa
yang indah dan apa yang jelek. Setiap manusia mempunyai standar yang berbeda
dalam menilai dua bidang filsafat ini. Di sini
bahwa ada “penilaian yang berhubungan dengan agama”. Artinya penilaian
tentang baik buruknya prilaku seseorang dinilai berdasarkan standar ajaran
agama. Demikian pula bidang estetika, penilaian tentang indah dan jelek juga
dihubungkan dengan agama. Keindahan dan kejelekan atas suatu objek pengamatan
seni juga dipengaruhi oleh ajaran agama yang dianutnya. Misalnya kasus
pornografi di Indonesia dinilai secara beragam oleh berbagai agama yang ada di
Indonesia. Pada akhirnya ada yang menyatakan tidak boleh tetapi ada juga yang
menyatakan boleh karena dilihat dari sisi estetika. Dalam kasus lain: wanita
yang berpakaian menutup seluruh tubuhnya sehingga keindahan wajah dan rambut
tidak dapat disaksikan atau dilihat orang lain. Dan seterusnya.
Sering
juga konflik antara etika dan estetika disebabkan oleh sudut pandang disiplin
ilmu pengetahuan yang dipakai untuk menilainya. Misalnya bagaimana ilmu social
menilai etika dan estetika, dan disiplin ilmu lainnya juga dapat dipakai untuk
menilai etika dan estetika.
Konflik
antara Etika dan Estetika dalam Pandangan Iman Kristen
Teori Marthen
menyatakan: “… Orang – orang Kristen hidup secara serempak di dalam dua
kerajaan, yaitu kerajaan Allah dan kerajaan dunia ini. Karena mereka
bertentangan dan arena orang-orang
Kristen memiliki tanggungjawab di dalam keduanya, tidak terelakkan bahwa akan
terjadi konflik-konflik”.[175] Di sini
konflik termasuk konflik antara etika dan estetika disebabkan karena manusia
yang menilai baik dan buruk (etika), indah dan jelek (estetika) adalah manusia yang telah jatuh dalam dosa
sehingga selalu ia terlibat dalam konflik-konflik penilaian terhadap sesuatu
karena manusia tidak sempurna lagi. Ketika manusia berdosa dipulihkan Tuhan
masih juga terbuka peluang-peluang konflik karena manusia sedang berada dalam
dua kerajaan seperti yang dimaksud Marthin Luther.
Dalam dunia pendidikan, khususnya
pendidikan Agama Kristen bahwa seorang guru pendidikan Kristen akan terlibat
dalam sebagai berikut:
1.
pergumulan etika
(penilaian baik dan buruk) terhadap seluruh siswa atas prilakunya dalam
pembelajaran di sekolah maupun di luar sekolah.
2.
guru PAK juga
terlibat dalam penilaian terhadap indah dan jelek dalam proses pembelajaran
yang dilakukannya.
Jadi seorang guru PAK adalah seorang
etikus dan estetis dalam menjalankan tugas pembelajaran di sekolah. Dalam prilaku-prilaku
akademis seorang guru harus mengedepankan etika tetapi serempak dengan itu ia
terlibat dalam estetika sehingga pergumulan ini kadang membuat konflik antara
etika dan estetika dalam diri guru PAK.
Hubungan Konsep Axiologi, Etika dan Estetika
dalam Kaitannya dengan Filsafat Pendidikan
Aksiologi sebagai
cabang filsafat dapat dibedakan menjadi dua: etika dan estetika. Istilah etika
berasal dari kata “ethos” (Yunani), yang berarti “adat kebiasaan” (moral). Dagobert Runes mengatakan: “ethics
is that study or discipline which concerns itself with judgments of approval or
disapproval, judgments as to rightness or wrongness, goodness or badness,
veitue or vice, desirability or wisdom of action, ends or objects, or state of
affairs.”[176] Sedangkan “estetika” merupakan nilai-nilai
yang berkaitan dengan kreasi seni dengan pengalaman-pengalaman seseorang yang
berhubungan dengan seni. Kadang-kadang estetika diartikan sebagai filsafat
seni, tetapi kadang-kadang pula prinsip-prinsip yang berhubungan dengan estetika
dinyatakan sebagai hakikat keindahan. Namun, sesungguhnya konsep keindahan
hanya salah satu dari sejumlah konsep-kosnep dalam filsafat seni.[177]
VII. Aliran-aliran Filsafat yang
MempengAruhi Pendidikan
Aliran-aliran
Filsafat yang Mempengaruhi Pendidikan
yang dibahas bagian ini sebagai berikut: Aliran-aliran Filsafat yang Mempengaruhi Pendidikan: (1) Traditional Philosophies of Education: Idealism, Realism, Materialisme, Tradisionalis (Neo-Thomism); (2) Modern Philosophies of Education: Pragmatism (Experimentalism),
Eksistensialisme; (3) Contemporary
Theories of Education: Progresivisme, Perenialisme, Esensialisme
dan Rekonstruksionisme.[178]
Filsafat
Pendidikan Idealism
Idealisme telah
menunjukkan minat yang besar terhadap pendidikan dan telah memutuskan untuk
mempengaruhi pemikiran dan praktek pendidikan. William T. Harris, salah
satu tokoh yang paling berpengaruh dalam bidang pendidikan di Amerika, adalah
seorang idealis. Dan dalam satu atau dua generasi setelah dia telah ada banyak
para idealis yang menggunakan pendidikan sebagai ladang praktek mereka dimana
mereka dapat menerapkan ide-ide mereka dengan hasil yang sangat besar.[179]
Barangkali
tidak ada seorang pun dalam pendidikan Amerika sekarang ini yang telah
menonjolkan tradisi filsafat idealis seperti: Herman Harrell Horne (1874-1946) [180]
yang telah menulis tentang idealisme dengan efek yang nyata; Rupert C. Lodge
(1888-1961), profesor logika dan sejarah filsafat di University of Manitoba
yang juga adalah murid dari Plato yang setia, telah menulis buku yang sangat
baik, yaitu Philosophy of Education dan satu lagi adalah sebuah studi
tentang teori pendidikan Plato. Di luar Amerika ada Giovanni Gentile, yang
mengerjakan reformasi pendidikannya di Italia tentang prinsip-prinsip
idealisme, sebagai oposisi dari filsafat positivisme dan naturalisme.
Tokoh Penggagas
Idealisme adalah filosofi
yang sangat tua yang sampai bisa ditelusuri ke pemikiran Yunani kuno dan
beberapa kebudayaan Timur. Karena merupakan salah satu filsafat tertua, sketsa
mengenai perkembangannya harus dimulai dari jaman dulu kala. Di dunia Barat, di
mana sejarah idealisme ini akan dibatasi, Socrates dan Plato yang pertama kali
menggagas konsep penting dalam filsafat idealis ini.
Plato (427? – 347 SM)
menjadi murid Socrates di usia 20 tahun. Dia seorang yang luar biasa berbakat
sehingga bisa menuai manfaat penuh dari pengajaran Socrates. Ia berasal dari
keluarga bangsawan kaya, tampan, bertubuh bagus, cerdas, dan memiliki kecintaan
yang kuat pada kebijaksanaan. Mengawali pencarian kebenaran di bawah bimbingan
Socrates, ia melanjutkannya sepanjang 80 tahun usianya. Setelah kematian
Socrates, Plato mula-mula merantau, dan kemudian menetapkan karirnya dalam
filsafat yang menjadikannya guru besar sebagaimana kemudian ia dikenal
sepanjang masa. Ia membuka Academia di Athena, dan di sana mengembangkan dan mengajarkan
doktrinnya. Ia menyusun banyak dialognya, yang mengandung banyak kebijaksanaan
filsafat untuk digali oleh semua pemikir, bahkan pemikir masa kini.
Tulisan-tulisannya
merupakan produk dari periode di mana pikiran manusia semakin menyadari dirinya
dan hubungannya dengan alam semesta. Dialog
adalah diskusi-diskusi filsafat yang dibingkai dalam drama. Di dalamnya, gaya
naratifnya berkembang saat Socrates, biasanya dalam peran sebagai interogator
utama, bertanya jawab dengan Parmenides, Protagoras, atau siapa saja yang
berdiskusi dengannya. Tokoh-tokoh dalam dialognya menggambarkan manusia sebagai
pemikir, yang menyelidiki sebanyak mungkin pemikiran yang bisa ia dapatkan
mengenai dunia, dirinya sendiri, dan kehidupan secara umum.
Salah satu topik utama
Plato adalah doktrinnya yang terkenal mengenai ide. Ini adalah konsep mengenai
“bentuk” (forms) atau
universal-universal yang secara metafisik mendahului sekaligus merupakan idea
bagi hal-hal tertentu yang terjadi dalam dunia manusia. Kami harus buru-buru
melakukan tindakan pencegahan agar tidak melakukan penyederhanaan berlebihan
yang tidak bisa terelakkan dalam pernyataan singkat seperti ini. Dialog Plato sangat
beragam dan luas sampai kita harus benar-benar menahan diri untuk tidak
menggolongkan “bapa” filsafat Barat ini dengan memberinya label. Apalagi, usaha
untuk menjadikan doktrin idenya sebagai sebuah langkah dalam pembentukan
idealisme diperumit oleh banyaknya sumber yang bisa ditemukan dalam Dialog,
selain oleh tahapan-tahaman berbeda dalam
pemikiran Plato yang terwakili di sana.
Menurut Plato, ada
ide-ide yang nyata dan abadi sampai obyek-obyek indrawi sangat mudah berlalu
jika dibandingkan. Bahkan, benda-benda fisik hanyalah perwujudan tidak sempurna
dari ide-ide, artinya dari ide-ide yang berhubungan yang diwakilinya. Ada ide
universal “tempat tidur,” di mana semua tempat tidur yang ada adalah ekspresi
yang tidak sempurna. Juga ada ide-ide yang tidak diwakili dalam bentuk fisik
termasuk kecantikan, kebaikan, dan esensi mutlak. Ini adalah realitas agung.
Sedikitnya dapat dipahami, kalau
pemuliaan ide-ide seperti itu dapat disebut “isme,” maka “idealisme” menjadi
nama yang logis. Jika nama “idealisme” berasal dari “ideaisme” huruf l itu tidak meragukan lagi ditambahkan
untuk euphony, untuk memberi nama
yang lebih enak didengar dan lebih mudah disebutkan.
Namun sebenarnya ada akar
lain untuk filsafat Plato yang mungkin lebih signifikan lagi. Setidaknya itu
bebas dari ambiguitas doktrin ide yang menjadikannya bisa digunakan oleh
beberapa realis selain bagi kalangan idealis. Konsep lain Plato adalah kebaikan sejati (the good), yang paling
sering dilambangkan dalam alegori goa. Kebaikan yang satu ini bukan hanya
kebaikan “ideal” yang harus dikejar setiap orang, namun juga merupakan sejenis cahaya yang memungkinkan
pikiran manusia memikirkan apa pun yang dipikirkannya. Secara simbolis,
bagi pikiran manusia itu sama seperti matahari bagi penglihatan fisik manusia;
segala sesuatu yang dilihat manusia dengan matanya bukan dilihatnya dengan
kekuatan penglihatannya sendiri, melainkan oleh cahaya yang menjadikan penglihatan mungkin. Bagi manusia, “kebaikan
sejati” ini bisa dikatakan hal yang paling utama.
Tokoh-tokoh Idealism:[181]
William T. Harris
Rene Descartes (1596-1650).
Baruch Spinoza (1632 -1677)
Leibniz (1646-1716)
George Berkeley (1685-1753)
Immanuel Kant (1724-1804)
Hegel (1770-1831)
Herman Harrell Horne (1874-1946)
Rupert C. Lodge (1888-1961)
Sintesis
Jika sintesis dibatasi
pada kepercayaan yang lebih sentral yang biasanya diulang-ulang sepanjang
perkembangan idealisme yang dapat ditarik untuk membantu menunjukkan posisi
idealisme secara ringkas, maka hal yang harus berhubungan dengan tiga subyek
utama: Tuhan, diri, dan pengetahuan, sebagai berikut:
Tentang Tuhan
1.
Realitas tertinggi memiliki substansi yang sama dengan ide-ide. –
Plato dan Hegel.
2.
Di balik dunia fenomenal terdapat Roh tak terbatas yang merupakan
substruktur sekaligus pencipta kosmos – Leibniz dan Berkeley.
3.
Salah satu dari dua atribut Tuhan adalah pemikiran (thought) – Spinoza.
4.
Eksistensi Tuhan menjadi keharusan karena faktor-faktor tertentu dalam
kualitas-kualitas yang membentuk individualitas seseorang (selfhood) adalah: (a) Fakta bahwa saya memiliki ide mengenai
entitas (being) sempurna mengharuskan
entitas sempurna itu ada. –Descartes. (b) Fakta bahwa saya dapat mengindera
kualitas-kualitas dalam dunia obyektif mengharuskan adanya Tuhan untuk
menciptakan kualitas-kualitas ini. – Berkeley. (c) Fakta bahwa adanya kategori imperatif dalam diri
mengharuskan adanya Tuhan sebagai penjamin komitmen sebagai penyerta ketaatan
moral. – Kant
Mengenai Diri (Self)
1.
Diri
adalah realitas utama dalam pengalaman seseorang. – Descartes
2.
Diri manusia memiliki kemiripan dengan Tuhan
dalam artian bahwa itu adalah roh, namun
tidak seperti Tuhan, manusia terbatas. – Leibniz
3.
Manusia adalah sosok berpikir selain bagian
dari Tuhan. – Spinoza
4.
Diri manusia memiliki kebebasan kehendak. –
Leibniz dan Kant.
Mengenai Pengetahuan
1.
Dengan menelaah ide-idenya sendiri dan menguji konsistensinya, manusia
dapat mencapai kebenaran. – Plato, Leibniz, dan Hegel.
2.
Diri membaca arti dan kesatuan dalam dunia obyektif. – Berkeley dan
Kant.
3.
Nilai dan makna diperoleh dengan menghubungkan bagian-bagian dengan
keseluruhan-keseluruhan. – Hegel
Pendidikan sebagai
Sebuah Institusi Sosial
Pendidikan adalah sebuah
institusi yang dibentuk berdasarkan kebutuhan manusia akan budaya. Karena
manusia hanya dapat menjadi manusia melalui sebuah kelahiran budaya. Seperti
pendapat Comenius sebagai seorang realist
mengatakan bahwa apabila seorang manusia ingin menjadi manusia,
pendidikan harus berasal dari manusia. Salah satu alasan pentingnya sekolah
dalam makna yang lebih luas adalah untuk memberikan kelahiran budaya dalam
kehidupan kontemporer manusia serta sejarahnya.
Hal yang sama antara
idealisme dan realisme adalah tentang dasar pemikiran sekolah, yaitu bagaimana
sekolah membentuk seorang anak untuk memiliki kekayaan makna yang implisit dan
menjadi seorang manusia, serta memberikan dasar-dasar bagi dia tentang natur
dari Tuhan yang Utama dan Ilahi. Dasar lain bagi pentingnya keberadaan
institusi pendidikan adalah natur sosial manusia. Tema ini ditekankan oleh kaum
pragmatisme dalam seting metafisika bahwa pendidikan adalah sebuah proses
sosial dan sama sekali bukan individualistik.
Apabila makna dari menjadi seorang manusia,
adalah berada dalam natur yang sosial, maka seorang manusia harus memiliki
setting sosial supaya dia menjadi manusia seutuhnya. Inilah sebabnya mengapa
pendidikan harus diformalkan menjadi sebuah institusi. Intinya adalah kaum
idealis menekankan dimensi sosial dari seorang individu yang membuat sebuah
pendidikan harus bersifat sosial.
Beberapa kaum idealis
menekankan bahwa sekolah adalah sebuah agen kemasyarakatan. Akan tetapi apabila
itu artinya, maka sekolah berada di bawah kendali masyarakat dan diharapkan
menghasilkan individu-individu yang seragam terhadap budaya. Ada kalanya peran
intelektual dari sekolah dimainkan oleh seorang idealis sebagai dasar dari
keberadaan dengan cara memberikan sekolah hak prerogatif yang tidak dimiliki
oleh institusi lainnya. Sehingga sekolah seharusnya secara unik merupakan
sebuah institusi pemikiran karena memberikan kepemimpinan dan bimbingan
pemikiran. Sekolah akan mendorong pemikiran dan “fungsi pemikiran” bagi
institusi lainnya dan bukan sebaliknya.
Hal ini membawa kita
kepada karakteristik ketiga dari peran sekolah, yaitu sekolah secara unik
adalah institusi yang merealisasikan makna. Tentu saja setiap institusi yang
memiliki alasan untuk menjadi sebuah institusi memiliki koneksi dengan sebuah
transisi atau transfer nilai. Namun hanya sekolah sajalah yang mampu berdiri
seimbang antara masa lalu dan masa kini.
Murid
Sekarang kita harus mendefinisikan murid
sebagaimana dia terlihat apabila idealisme
dijadikan sebagai filsafat penuntun pendidikan.
Bagi para penganut idealisme, pendekatan kepada murid adalah sangat penting.
Sehingga Giovanni Gentile mengatakan:
Guru
tidak boleh berhenti pada tingkat klasifikasi murid atau observasi eksternal
dari wajah atau perilakunya. Guru harus masuk ke dalam pikiran seorang murid
dimana kehidupannya berpusat dan berada. ... (Dia) tidak boleh membaca seorang
anak secara spontan dan berdasarkan pemahamannya sendiri.[182]
Murid sebagai
Seorang Pribadi
Sistem idealis berasal
dari kepercayaan yang berpusat pada keyakinan bahwa inti utama pengalaman
individual adalah seorang pribadi yang spiritual. Hal ini pasti memberikan
pengaruh secara langsung kepada cara berpikir di dalam kelas. Sehingga guru
yang idealis, percaya kepada keberadaan diri murid sebagai realita spiritual,
yang tidak bisa melihat murid hanya sebagai tubuh tanpa roh. Melainkan guru akan melihat lebih jauh ke dalam
individu murid yang sesungguhnya yaitu roh.
Selanjutnya Horne menulis
(1904) dalam bukunya Filsafat Pendidikan yang lebih lengkap tentang natur seorang murid sebagai “kesatuan
organik” demikian”: “Kesadaran, seperti yang kita
tahu, memanifestasikan keberadaan diri hanya sebagai hal yang berhubungan
dengan sebuah sistem syaraf... Tubuh adalah rumah dari pikiran, yang
dalam Perjanjian Baru disebut dengan “Bait Roh Kudus.”
Murid
sebagai seorang individu keseluruhan dan dia juga bagian dari keseluruhan yang
lebih besar. Ini merupakan natur dari seorang individu yang pribadi dan sosial.
Individualitas bukanlah gambaran yang sempit, tetapi sebuah lingkaran besar
yang inklusif dari sesamanya. Seorang individu akan menemukan kesatuannya di
dalam pelayanan kepada orang lain.
Dalam
kontek di atas, maka Horne menyimpulkan pendapatnya tentang murid bahwa seorang murid adalah seorang pribadi yang terbatas, yang bertumbuh,
yang apabila dididik dengan benar akan menjadi seorang individu yang tidak
terbatas; karena itulah asal mula keberadaannya yang ilahi itu adalah inti dari kemerdekaan dan nasibnya
yang immortal.[183]
Murid ada dalam Proses Menjadi Seseorang
Seorang guru idealis tidak akan melepaskan pengajarannya dari
situasi moral dunia. Dia tidak akan berusaha menyembunyikan kejahatan moral
yang terjadi untuk melindungi muridnya sehingga membuat kelas menjadi tempat
yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan dunia. Guru menyadari bahwa seorang
murid berada dalam proses perkembangan untuk menjadi seseorang, maka
menganalisa natur murid yang berhadapan dengan masalah immoralitas dunia adalah
sangat penting.
Horne mengatakan bahwa baik murid maupun
proses pendidikan adalah dapat dimengerti hanya ketika dilihat sebagai sesuatu
yang berdasar kepada Pikiran yang Kekal yaitu Allah sendiri. Dan inilah yang
disebut proses menjadi sebuah pribadi atau keberadaan. Konkritnya para idealis
mengatakan bahwa pada saat kelahirannya seorang murid tidak bisa dikatakan baik
atau buruk. Itu tergantung kepada lingkungannya yaitu pendidikan, dan tentu
saja juga tidak mengabaikan kehendaknya sendiri.
Pemahaman kaum idealis tentang seorang murid
tidak meminimalkan kenyataan bahwa para murid sama seperti kita seringkali
tidak peduli, dipengaruhi dan dikendalikan oleh perilaku buruk. Namun, hal
semacam itu justru memberikan penekanan akan pentingnya pendidikan. Itu bukan
berarti bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak terdidik. Mereka sebenarnya
adalah orang-orang yang belum terdidik, dan tidak akan pernah selesai dalam
pendidikannya.
Tujuan Pendidikan
Pada dasarnya idealisme telah menerapkan
kepentingan pendidikan sebagai tonggak yang menopang tanggung jawab sosial.
Tujuan pendidikan idealisme memiliki kerangka baik secara individu maupun
sosial.
Tujuan bagi Individua
Gentile, seorang idealis
dari Italia berbicara tentang realisasi diri sebagai tujuan utama dari
pendidikan, yang artinya sebuah proses keberadaan yang spiritual. Proses
perkembangan ini merupakan sebuah ritme yang mengalir di dalam pengalaman
seseorang antara dirinya sebagai subyek yang aktif pada saat ini dan fase masa
lalunya yang belum dewasa. Di dalam proses ini dirinya yang sekarang ini secara
aktif menemukan pengetahuan baru, mengasimilasikan segala sesuatu yang
berkaitan dengan dirinya menjadi satu kesatuan yang utuh, sehingga pada
akhirnya dia dapat memahami dirinya sendiri dengan sepenuhnya.
Bogoslovsky
menjelaskan tujuan pendidikan bagi seorang individu
“adalah
menolong para murid untuk memiliki kehidupan yang kaya dan bermakna, untuk
membangun kepribadian yang harmonis dan berwarna, untuk menikmati kemuliaan
yang utama dan menjadi bahagia, untuk menghadapi penderitaan dengan harga diri
dan keberanian, dan akhirnya untuk menolong orang lain agar memiliki kehidupan
yang superior.[184]
Horne
mengatakan bahwa kebenaran, keindahan, dan kebaikan adalah idealisme spiritual
bagi manusia, oleh sebab itu tujuan pendidikan adalah menyeimbangkan seorang
anak kepada “realita yang penting ini sehingga sejarah manusia dapat digenapi.”
Di dalam pernyataan terakhirnya Horne menambahkan,
“Namun
yang tertinggi dari semuanya adalah ibadah yang membawa manusia kepada
kesadaran akan Allah yang menciptakan alam semesta. Sehingga ibadah harus
menjadi karakter dari setiap individu dan keadilan di masyarakat yang membawa
kehendak manusia kepada kebenaran yang kekal. Baru kemudian memampukan mandiri
secara ekonomi, yang juga berkaitan dengan karakter personal dan keadilan
sosial, yang juga membawa manusia kepada keharmonisan dengan alam semesta yang
kreatif... Idealisme percaya seorang individu yang terintegrasi di dalam sebuah
masyarakat yang terintegrasi akan bertumbuh di dalam alam semesta yang
terintegrasi.[185]
Tujuan bagi Masyarakat
Salah satu masalah
utama dalam menformulasikan tujuan sosial pendidikan di dalam alam yang
demokratis adalah kaitan antara pendidikan dan perbedaan kelas dalam
masyarakat. Horne setuju bahwa
tingkatan pekerjaan dan budaya adalah penting. Tetapi dia mengatakan bahwa
keduanya sama sekali tidak identik. Bogoslovsky berpikir bahwa membedakan
tingkatan bukan merupakan solusi tetapi akan memberikan “kesempatan yang sesuai dengan kemampuan masing-masing orang untuk dapat
menggunakannya.”
Horne lebih lanjut mengatakan
bahwa pembedaan tingkatan dilakukan untuk meningkatkan efisiensi sosial.
Menurut dia “demokrasi adalah kesatuan
spiritual dalam keragaman sosial.” Bogoslovsky menambahkan, “persaudaraan merupakan jiwa dan inti dari
demokrasi yang sesungguhnya”. Oleh sebab
itu tujuan sosial pendidikan, setidaknya dalam sebuah demokrasi adalah: “Di dalam semangat persaudaraan dan
pendekatan terhadap sesama, tidak mengklaim haknya sendiri atau mendeklarasikan
status sosial mereka, melainkan sebagai seorang pribadi kepada pribadi lainnya
dalam pengertian bersama dan kasih”.[186]
Sintesis
Menurut Horne dalam
bukunya The Psychological Principles of Education, pendidikan ideal
harus mencakup semua sejarah ideal yang beragam, termasuk setiap bagian sebagai
bagian dari keseluruhan, dimana kebenaran dapat ditemukan. Bagi seorang
individu, pendidikan harus mencakup “budaya, pengetahuan, dan perkembangan.”[187]
Dengan tujuan yang didedikasikan kepada masyarakat, “ia harus menghasilkan
efisiensi, karakter dan kependudukan.”
Definisi
Horne tentang pendidikan menjadi sangat terkenal dan merupakan dasar untuk
menentukan tujuan pendidikan bagi kaum idealis yaitu, “Pendidikan adalah
proses kekal dari penyesuaian superior dari mental dan fisik yang dikembangkan,
bebas, sadar, manusia menjadi seperti Allah, yang dimanifestasikan dalam
intelektual, emosi dan lingkungan manusia yang mendukung”.[188] Inti
dari definisi tersebut berkaitan erat dengan tujuan utama pendidikan, yaitu: Pendidikan
merupakan proses kekal dari penyesuaian superior dari sebuah kebebasan dan
kesadaran manusia akan Tuhan.
Proses Pendidikan
Salah satu karakteristik umum dari pendidikan
idealis adalah berpusatkan kepada idealisme. Sepenuhnya berpusat kepada anak,
subyek yang diajarkan, dan bukan sosial kemasyarakatan. Selanjutnya untuk
mengerti filsafat idealisme tentang pendidikan kita perlu mengingat bahwa
eksponen dari filsafat ini adalah semata-mata sebuah metafisika idealis dan
selanjutnya adalah tentang perhatian moral dan sosial serta yang menjadi
perhatian utama adalah Roh, yaitu Roh yang adalah kebenaran.
Pribadi seorang anak di dalam kelas pada dasarnya jauh dari kebenaran
Tuhan di dalam pencapaian moral mereka; dan oleh karena itu masyarakat tidak
dapat menjadi Kota Allah. Sehingga pendidikan
harus membawa anak-anak kepada Tuhan dan bukan kepada masyarakat yang selalu
tidak pasti dan berubah. Mereka berpusat kepada idealisme karena itu semua yang
lain sifatnya adalah sementara.[189]
Untuk membahas lebih
lanjut tentang pendidikan yang berpusatkan kepada yang ideal, kita perlu
mendiskusikan beberapa faktor yang mempengaruhi pendidikan antara lain: pertama
guru karena perannya yang sangat penting, lalu imitasi dan ketertarikan serta
usaha dan disiplin, selanjutnya aktivitas pribadi murid yang merupakan hati dari
pendidikan. Penggunaan material juga akan didiskusikan termasuk metode
pengajaran.
Guru
Menurut idealisme fungsi guru sebagai berikut:[190]
- Guru merupakan personifikasi dari realita murid. Bagi mereka yang
belum dewasa, guru adalah semesta yang dijadikannya personal.
- Seorang guru harus mengenal murid-muridnya.
- Seorang guru haruslah seorang ahli secara teknis dalam mengajar.
- Guru harus mampu membangkitkan rasa hormat para murid melalui kebaikan
yang ada di dalam dirinya.
- Seorang guru harus menjadi teman pribadi dari para murid.
- Seorang guru harus mampu membangkitkan minat murid untuk belajar.
- Guru harus menguasai seni kehidupan. Seseorang yang memiliki seni kehidupan
dapat membawa para murid dalam sebuah proses spiritual dengan kreativitas
yang dia miliki.
- Seorang guru harus bekerjasama dengan Tuhan untuk menyempurnakan para
murid.
- Seorang guru harus mempu mengkomunikasikan materi yang dia ajarkan.
- Seorang guru haruslah seorang yang mengapresiasi materi yang dia
ajarkan.
- Seorang guru yang benar-benar mengajar selalu belajar pada saat yang
sama ketika dia mengajar.
- Seorang guru adalah seorang rasul sebuah perkembangan. Mengajar merupakan
pekerjaan penting untuk menolong orang lain atau generasi baru secara
spiritual yang terkait dengan tujuan kemana realisasi dari sejarah
bergerak.
- Seorang guru harus menjadi pembuat demokrasi. Apabila dia
menangkap semangat pengajaran yang murni, kelasnya akan mempraktekkan
demokrasi dan muridnya juga akan mendapatkan pengalaman demokrasi di dalam
kelas sehingga mereka akan dapat memberikan pengaruh demokrasi di kelompok
lainnya.
- Karaktersisasi final dari seorang guru yang ideal adalah dia harus
selalu mengeliminasikan dirinya sendiri. Guru yang baik harus secara
sensitif membangun para murid tanpa meninggikan dirinya sendiri dan
membantu para murid untuk bertumbuh menjadi diri mereka apa adanya
sehingga mereka dapat mencapai kehidupan yang lebih tinggi.
Imitasi
Idealisme
mengatakan kebiasaan umum yang sama muncul karena orang-orang yang lebih muda
terbiasa untuk meniru orang-orang yang lebih tua dan melalui proses
pendewasaan, kadangkala mereka mencapai level lebih tinggi dari pada orang yang
mereka tiru. Karena imitasi adalah natural, maka mereka percaya bahwa para
pendidik bagaimana pun juga dipaksa untuk menghadapi hal ini; dan karena hal
itu dipastikan akan menghasilkan hasil yang diharapkan, maka strategi terbaik
adalah menerapkannya di sekolah maupun di tempat kerja.
Hocking
berpendapat bahwa meniru adalah bagian dari proses masyarakat untuk membawa
sebuah kehendak baru kepada keberadaan individual. Sedangkan salah satu manfaat
dari imitasi adalah untuk menetapkan satu model bagi para murid untuk
mendapatkan kesempurnaan dan memimpin mereka ke dalam pola yang harus diikuti.
Demiashkevitch berpendapat "keoriginalitasan didapatkan setelah studi yang
mendalam serta mengimitasi guru dalam hal tertentu—sampai dia melampaui
gurunya.”[191] Namun
demikian, sikap umum dalam filsafat pendidikan idealisme adalah bahwa pemakaian
yang paling efektif dari imitasi adalah fokus kepada kepribadian yang besar.
Karena menjadi seorang
pribadi yang sempurna lebih penting daripada melakukan pekerjaan dengan
sempurna, maka seorang anak sebaiknya berada dekat dengan seseorang yang dapat
memberikan inspirasi yang baik. Bogoslovsky mengatakan bahwa kita harus
memanfaatkan “harta karun yang telah ditinggalkan oleh orang-orang genius dan
artis yang telah menciptakan hidup yang indah...” [192]
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa karena manusia secara alami lebih condong
kepada kehancuran atau hal-hal yang buruk daripada yang baik, maka sekolah
harus memberikan kepada para murid pengalaman yang bermakna.
Hocking memberitahu kita
bahwa anak-anak akan cepat mengadopsi kepercayaan orang yang “tampak bahagia,
dan bukan yang lainnya.” Horne melihat bahwa moral dan agama terlibat dalam
imitasi proses. Oleh sebab itu wajib bagi setiap guru untuk berusaha menjadi model
yang baik bagi para murid. Hambatan di
sekolah karena sulitnya pengajaran agama secara terbuka bisa diatasi melalui
kepribadian seroang guru yang baik dan layak diimitasi oleh para murid.
Minat Usaha dan Disiplin
Sudah dapat dipastikan
bahwa minat, usaha dan disiplin merupakan faktor yang tidak dapat dilepaskan
dari pendidikan. Apabila seorang guru yang terlalu condong kepada minat
biasanya dia diberi label sebagai guru yang “lemah”, dan apabila dia terlalu
condong kepada usaha dan disiplin dia diberi label sebagai guru yang “keras”.
Oleh sebab itu pemakaian ketiga hal ini dalam pendidikan perlu mendapat
perhatian khusus.
Untuk
lebih jelas kita akan melihat definisi dari ketiga hal ini. Minat adalah
sebuah ketertarikan total dari seorang murid terhadap suatu pekerjaan tertentu
yang dia lakukan dengan usaha dan tanpa dorongan yang keras dari gurunya. Usaha
kerja keras yang dilakukan dengan sadar dan sukarela dari seorang murid
yang membuat dia melakukan sebuah pekerjaan tertentu. Disiplin tindakan
ekstra dari seorang guru untuk membawa muridnya berhasil menyelesaikan tugas
yang harus mereka kerjakan.
Menurut Horne ada dua
jenis minat: yang dekat dan yang jauh. Minat yang dekat inilah
yang menghasilkan aktivitas spontan dan membawa kepada usaha yang sukarela.
Minta yang jauh, sangat terkait dengan kepuasaan saat ini, yang juga
menghasilkan usaha yang sukarela. Karena hidup membutuhkan baik minat yang jauh
dan yang dekat, pendidikan harus menuntut kedua hal itu dalam diri murid.
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat dikatakan
bahwa minat menghasilkan usaha, dan aktivitas yang menarik dilakukan karena
minat cukup menimbulkan usaha untuk membawa seseorang mampu menyelesaikan
tugas. Namun perlu ditekankan bahwa usaha bukan pengganti minat, usaha adalah
kemauan untuk melakukan tugas ketika orang lain tidak mau melakukannya.
Gentile menganggap disiplin sebagai bagian yang intim
dari kepribadian dan aktivitas yang membimbing dari seorang guru. Sudah pasti
bahwa di dalam pengajaran yang murni ada disiplin, dan guru itu sendiri adalah
bagian yang penting dari disiplin. Akan tetapi disiplin sendiri apabila tidak
dikaitkan dengan pengajaran akan menjadi sia-sia. Untuk menjadi orang yang
disiplin ada sebuah proses panjang yang menyakitkan. “Otoritas yang dimulai
dari eksternal, dan dikerjakan melalui pembentukan kebiasaan serta pengendalian
diri, akan menjadi internal.”[193]
Aktivitas Diri
Dimanakah
pendidikan yang sejati terjadi? Kapan seorang murid benar-benar mempelajari
sesuatu, mendapatkan pengetahuan baru, atau mengambil langkah yang aktual untuk
mendapatkan pertumbuhan ke arah kedewasaan? dimanakah dari seluruh proses
tersebut perubahan terjadi? Para idealis mengatakan bahwa itu semua terjadi di
dalam diri para murid. Murid adalah seorang pribadi yang sangat mudah diarahkan
melalui adanya minat. Mereka adalah jiwa yang mampu untuk mengambil inisiatif
murni, dan respon-respon mereka merupakan pergumulan dari inisiatif tersebut
yang bertumbuh mekar.
Horne mengatakan, “proses pendidikan tidak memiliki banyak
stimulus untuk membentuk seorang individu... semua pengalaman pendidikan adalah
personal di dalam karakter. Pribadi itulah yang memiliki pengalaman.”[194]
Karena itu, pertumbuhan hanya bisa diperoleh melalui aktifitas diri. Hanya
melalui proses inilah mental seorang murid dapat dikembangkan. Dan ini berarti
bimbingan terhadap diri sendiri.
Aktivitas diri akan membawa kepada perkembangan pribadi,
menurut kaum idealis aktivitas diri bukanlah sebuah proses yang abstrak yang
memiliki sedikit hubungan dengan faktor temporal. Untuk mengembangkan
kepribadian sudah pasti memerlukan pendidikan fisik. Akan tetapi tentu saja
perkembangan tubuh terbatas kepada mengembangkan dan memperkuat apa yang telah
diberikan pada saat kita dilahirkan. Pendidikan tidak dapat menambah
syaraf-syaraf otak, tetapi dapat mengembangkan kapasitas potensial yang telah
dimiliki oleh setiap individu.[195]
Demiashkevitch
mengatakan penting bagi setiap guru untuk menyadari bahwa ada banyak anak-anak
yang “tidak menyukai pekerjaan manusia dan yang berharap menemukan aktivitas
untuk mendapatkan ekspresi dari apa yang disebut dengan pekerjaan mental
murni.” Bogoslovsky memberikan sebuah contoh yang baik tentang hal ini. Dia
merasa bahwa apresiasi terhadap seni, sekalipun tampak pasif, merupakan sebuah
tindakan yang aktif seperti penciptaan karya seni.[196]
Inilah yang merupakan inti dari pendidikan idealis, dan
tentu saja kehendak bebas tidak dapat dipisahkan dari karakter pendidikan.
Horne percaya bahwa kehendak bebas adalah salah satu hal yang utama dalam
karakter yang baik. Demiashkevitch mengatakan “kehendak secara aktif
mempromosikan kebaikan dan melawan kejahatan, dan melakukan hal ini secara
konstan itulah yang seharusnya.”[197]
Membuat penjelasan yang lebih spesifik tentang kebebasan, Horne mengatakan
bahwa kebebasan bukanlah “melakukan segala sesuatu di segala waktu” tetapi
“sesuatu pada saat tertentu.”[198]
Hocking membedakan antara kehendak dan kehendak bebas,
dengan mengatakan bahwa kehendak harus dikembangkan di dalam diri seseorang
sebelum dia dapat memiliki kehendak bebas. Seorang anak tidak tahu apa yang dia
inginkan. Tugas pertama dari pendidikan adalah untuk membawa kehendaknya
kepada suatu eksistansi. Makna keseluruhan dari pendidikan adalah dibungkus
dalam proses membangkitkan kehendak.
Ketika seorang anak mencapai kedewasaan, pertumbuhan ini
mengambil bentuk yang mendesak, yaitu kesiapan untuk mengambil tanggung jawab.
Dua ekspresi umum dari tanggung jawab ini adalah membangun filsafat diri dan
keinginan untuk menemukan jalannya di dunia. Hocking mengintepretasikan
filsafat diri masa muda sebagai orang yang “menghargai kehidupan yang untuk
pertama kalinya bisa dikendalikan sendiri; dia menemukan dirinya secara moral
sendiri; dia tidak dapat lagi melihat segala sesuatu berdasarkan kacamata orang
lain.” Untuk tanggung jawab Hocking menekankan bahwa satu-satunya lingkungan
yang tepat untuk “kesiapan mengambil tanggung jawab” adalah tanggung jawab
actual yang tercipta. Berikan kepada mereka pekerjaan yang nyata, dan biarkan
mereka mengalami tanggung jawab. “Seorang anak yang menjadi dewasa tanpa
mengetahui perasaan tentang resiko melakukan sebuah pekerjaan satu hari dengan
upah satu hari tidak hanya akan menjadi seseorang yang dangkal tetapi juga
tidak akan memiliki prestasi yang baik di sekolah.”[199]
Kurikulum
Menurut Horne, cara untuk
mendapatkan fondasi yang kuat dalam
pengembangan kurikulum adalah dengan memaparkan secara jelas “karakter
ideal manusia dan karakteristik dari masyarakat yang ideal.”[200]
Kemudian memilih pengalaman, aktivitas, situasi hidup dan pelajaran yang sesuai
dengan standar tersebut sehingga dapat memberikan kontribusi terbaik mencapai
hasil yang ideal. Secara lebih spesifik, setiap kurikulum yang baik harus
melibatkan ruang kelas yang mencakup tiga aspek yaitu intelektual, emosi dan
kehendak. Untuk itu Horne mengatakan, “harus ada beberapa ilmu science, seni
dan minat” dalam setiap program studi
murid.
Dengan demikian kurikulum tidak dapat dibatasi hanya dengan intruksi-instruksi belaka
tetapi juga harus mencakup “pekerjaan, produksi, prestasi, latihan dan
aktivitas. Buku-buku yang dibaca oleh murid tidak akan dengan sendirinya
memberikan realita yang obyektif. Mereka adalah bejana tanah liat yang mana
harta karun natural dan kemanusiaan disimpan.”[201]
Sudah pasti ada banyak materi yang perlu dipelajari namun perlu diingat bahwa
semua materi tersebut hanya digunakan sebagai alat untuk mendapatkan akhir yang
besar dari kehidupan yang lengkap melalui pemahaman akan kehidupan. Informasi
akan menjadi pengetahuan, buku-buku akan menjadi alat, dan ide-ide yang besar
akan menjadi ideal.
Bogoslovsky mengajukan empat area
studi general[202]
di dalam kurikulum yang dia bentuk untuk sekolah
ideal-nya sebagai berikut: (a) Divisi alam semesta, yang
merupakan departemen science dimana para murid akan belajar “kekuatan alam,
asal usul dari system solar, perkembangan kehidupan dan semua latar belakang
dari kehidupan manusia.” (b) Divisi peradapan,
yang menawarkan studi secara mendalam tentang ilmu social. Dia mengatakan
“melalui peradaban kita akan memahami semua aktivitas, prestasi dan institusi
kemanusiaan yang mengendalikan lingkungan kita untuk memberikan makna hidup,
keamanan, dan kenyamanan—semua yang kita perlukan untuk membuang bahaya, rasa
takut dan kesendirian. Makanan, pakaian, perumahan, teknologi, komunikasi
dan pemerintahan akan dipelajari dalam divisi ini.” (c) Divisi
kebudayaan, “filsafat,
seni, literature, agama, intepretasi dan evaluasi terhadap lingkungan” (d) Divisi kepribadian, yang menawarkan
studi tentang “factor-faktor fisik, psikologi, emosi dan intektual yang
semuanya itu membentuk manusia menjadi…orang yang memiliki tipe kepribadian
yang berbeda dan… menjadi seorang individu yang paling menarik yang pernah
diciptakan oleh seni.”
Keempat divisi tersebut diikat
bersama melalui sesi pengembangan kepribadian yang merupakan “kesimpulan
final, koordinasi atau integrasi dari semua yang telah dilakukan dalam divisi
tersebut diatas untuk menolong murid secara sistematis dan tekun, untuk menjadi
seorang pribadi yang lebih baik lagi.”
Demiashkevitch juga mengatakan bahwa
sekolah menengah umum harus dapat memperkaya dan menstimulasi kultur pendidikan
secara umum. Untuk mewujudkan itu semua, dia menentukan tiga tujuan[203] yang harus dipenuhi yaitu: (a) Murid harus memiliki informasi umum yang
cukup untuk mengetahui bagaimana dan kapan dia harus mencari informasi yang
dapat diandalkan untuk menyelesaikan masalah yang akan dia hadapi. (b) Dia
harus memiliki “pengetahuan yang cukup akan kebenaran, moral, social, serta
ilmu science yang mendasar, dan ketidaktahuan akan semua itu bisa membahayakan
dirinya dan orang lain.” (c) Pemikiran para murid harus dipenuhi dengan
“standar pemikiran yang baik dan sehat serta akurat” serta “kebiasaan untuk
berpikir keras dan akurat.”
Demiashkevitch mengakui bahwa
pengalaman langsung akan lebih berkesan daripada pengalaman yang diperoleh
secara tidak langsung dan disimpan dalam memori kita. Isi dari pengalaman
itulah yang penting, dan pengetahuan serta informasi yang banyak akan
bermanfaat bagi masa depan. Beralih kepada aspek social dari masalah pengalaman
langsung dan tidak langsung bahwa bentuk demokrasi pemerintahan sebagian besar
berdasarkan kepada pengalaman tidak langsung, karena orang yang mengambil suara
harus dibimbing oleh “pengalaman orang lain yang direkam”.[204]
Metode
Aspek final dari
pendidikan idealis adalah metode mengajar. Pertama-tama, para idealis selalu
menekankan bahwa mereka adalah pencipta dan penentu dari pendidikan mereka.
Secara umum dapat kita katakan bahwa kaum idealis lebih memilih dialek informal
di dalam kelas daripada para murid dikonfrontasi dengan arahan-arahan spesifik
yang telah ditetapkan bagi mereka. Idealis lebih memilih setidaknya ada
pemikiran alternatif kalau tidak tindakan alternatif. Para murid diharapkan
untuk dapat dikonfrontasi dengan keputusan dan pilihan yang dapat mengembangkan
pemikirannya sebagai berikut:
1.
Pertanyaan
dan diskusi
merupakan metode utama bagi para idealis. Karena dengan demikian para guru
dapat menciptakan situasi dialektikal yang dapat memampukan para murid
mengemukakan pendapatnya yang dilatarbelakangi oleh berbagai macam keunikan
individu mereka. “Keberhasilan di dalam kelas tidak hanya menuntut adalanya
pemimpin yang baik, tetapi pengalaman, studi, observasi serta pengetahuan akan
mereka yang mengambil bagian.”
2.
Pengajaran
merupakan metode yang juga akan digunakan oleh para idealis. Presentasi yang
baik dari seorang guru adalah yang dipresentasikan untuk memberikan nasehat dan
bimbingan. Hal yang harus dihindari adalah pengajaran yang memaksakan kehendak
dan ide guru kepada murid sehingga tidak ada ruang untuk tanya jawab, respon
ataupun penilaian.
3.
Metode yang ketiga adalah
proyek, dimana para murid diberikan
tugas untuk dapat mereka selesaikan. Sekalipun para idealis percaya bahwa tidak
semua pendidikan adalah tentang melakukan sesuatu, namun mereka tetap mengakui
bahwa proyek merupakan bagian yang penting dalam proses pendidikan. Dalam hal
ini Horne mengatakan bahwa menurut pendapatnya sekitar 50 persen orang setuju
dengan apa yang disebut sebagai praktek yang progresif dari pendidikan.
Filsafat Pendidikan Realism
Realisme adalah salah satu mazhab dari filsafat
pendidikan. Realisme adalah filsafat yang bermula sebagai reaksi yang
berlawanan dengan pandangan filsafat idealisme. Realisme, dipelopori oleh
Aristoteles (384-322 B.C.), seorang murid Plato. Mereka adalah tokoh-tokoh
penting pada Filsafat Barat. Di satu sisi, Aristoteles sangat dipengaruhi oleh
Plato, gurunya, tetapi di sisi lain pemikirannya menunjukkan perbedaan yang
sangat signifikan dengan idealisme Plato. ”Bertentangan dengan Plato,
Aristoteles berpendapat bahwa dunia yang sesungguhnya adalah dunia real, yaitu
dunia konkret, yang bermacam-macam, bersifat relatif, dan berubah-ubah. Dunia
ide adalah dunia abstrak yang bersifat semu dan terlepas dari pengalaman.
Itulah sebabnya mengapa pandangan Aristoteles dikenal sebagai paham realisme”.[205]
Aristoteles berpegang
bahwa komponen dasar dari setiap obyek adalah form dan matter. Form dapat dikatakan memiliki kesamaan
dengan konsep Plato tentang Ide. Menurut
Aristoteles, form tidak dapat nyata
tanpa matter, tetapi tidak mungkin
ada matter tanpa form. Aristoteles tidak merendahkan pentingnya form atau ide, tetapi perbedaan radikal yang menyebabkan ia berbeda
dengan gurunya adalah datang karena kepercayaan bahwa pemahaman yang lebih baik
atas ide universal dapat dicapai melalui studi atas matter.
Fokus
Aristoteles pada kemungkinan terbentuknya konsep universal tentang ide melalui
studi matter (material), membawa dia menjadi orang yang meletakkan dasar
susunan pada ilmu fisika modern, kehidupan, dan ilmu-ilmu sosial. Aristoteles
adalah seorang organisator dan katagorisator yang ternama. Ia seorang ilmuwan
yang berbagai bidang seperti: fisika, botani, biologi, sosiologi, psikologi,
logika, dan berbagai aspek filsafat formal. Dapat dikatakan Aristoteles telah
membangun ilmu pengetahuan modern.[206]
Dasar
bagi realisme adalah keyakinan pada realitas dari matter (benda). Alam semesta,
dalam pandangan ini, bukanlah sebuah ilusi, tetapi sesuatu yang nyata dan
berada secara konkret.[207]
Dengan demikian semua matter, seperti: pohon, gunung, kota, dan benda-benda lainnya
bukanlah suatu ide belaka dalam pikiran peneliti. Mereka nyata dalam
keberadaannya sendiri, terlepas dari pikiran atau pengetahuan manusia.
Dasar
keyakinan realisme pada dunia benda ini sangat mempengaruhi pendirian mereka
tentang realitas, pengetahuan, dan nilai yang keberadaannya tidak tergantung
pada pikiran manusia. Dengan demikian semakin jelas bahwa realisme menolak
pandangan kaum idealis yang menyatakan bahwa dunia ide-lah yang sesungguhnya
nyata.[208]
Dasar pemikiran kaum
Realist adalah bahwa obyek dari indra kita nyata dan tidak bergantung dari
pemikiran atau pengetahuan kita. Realisme berpendapat bahwa hakikat realitas
ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia rohani. Realisme membagi realitas
menjadi dua bagian, yaitu subyek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak,
dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat
dijadikan sebagai obyek pengetahuan manusia.
Perbedaan mendasar antara realisme dengan idealisme dapat diilustrasikan
dengan contoh pohon di sebuah padang di suatu pulau. Menurut kaum realist bahwa
pohon itu nyata hanya jika dapat dipikirkan (termasuk pemikikiran tentang
keberadaan yang transenden) atau jikalau terdapat pengetahuan tentang itu. Kaum
realist, di pihak lain berpegang bahwa pohon itu nyata tidak bergantung pada
pikiran atau pengetahuan manusia.
Tokoh-tokoh Realisme:[209]
Aristotelian Realism: Aristotle (384-322 BC)
Religious Realism: Thomas Aquinas (1225-1274)
Development of Modern Realism: Francis Bacon
(1561-1626), John Locke (1632-1704)
Contemporary Realism: Alfred North Whitehead
(1861-1947), Bertrand Russell (1872-1970)
Bentuk-bentuk Realisme
Realisme
adalah aliran Filsafat yang bersifat khusus dengan pandangan yang khusus pula
berkenaan dengan realitas, epistemologi dan axiologi yang tidak bergantung pada
pikiran atau pengetahuan manusia. Namun demikian, aliran filsafat ini memiliki
keragaman bentuk, menurut para tokoh pencetusnya. Hal ini menyebabkan berbagai
macam kebingungan dalam mempelajari filsafat realisme ini. Menurut Kneller
bahwa realisme dapat dibagai menjadi dua
bentuk, yaitu: Realisme Rasional dan Realisme Naturalis.[210]
Realisme Rasional
Bentuk pertama dari realisme
ini dapat dibagi lagi menjadi dua aliran, yaitu: realisme rasional klasik, filsafat Yunani yang dipelopori oleh
Aristoteles dan realisme rasional
religius, terutama scholastisisme yang dipelopori oleh Thomas Aquinas yang
juga mempelopori filsafat Thomisme. Sebagai bagian dari realisme, keduanya
berpendapat bahwa dunia benda adalah real, tidak bergantung pada pikiran atau
pengetahuan manusia sebagai berikut:
1.
Realisme klasik (humanisme rasional)
berpandangan bahwa manusia pada hakikatnya memiliki ciri rasional. Dunia
dikenal melalui akal, dimulai dengan prinsip ”self evident”, di mana manusia
dapat menjangkau kebenaran umum. Self evident ini merupakan azas bagi
pengetahuan, artinya bahwa pengetahuan yang benar buktinya ada di dalam
pengetahuan atau kebenaran pengetahuan itu sendiri. Bahan pendidkan yang
esensial bagi aliran ini adalah pengalaman manusia.
2.
Realisme religius lebih cenderung
dualistik yang berpendapat bahwa terdapat dua order yang terdiri atas order
natural dan order supranatural. Kedua order ini berpusat pada Tuhan. Tuhan
adalah pencipta alam semesta dan kekal. Pendidikan merupakan suatu proses untuk
meningkatkan diri guna mencapai yang kekal. Menurut realisme religius, karena
keteraturan dan keharmonisan alam semesta sebagai ciptaan Tuhan, maka manusia
harus mempelajari alam semesta sebagai ciptaan Tuhan. Selanjutnya realisme
religius juga berpandangan bahwa hukum moral juga diciptakan Tuhan. Comenius
adalah pemikir pendidikan Kristen yang dapat digolongkan dalam aliran realime
religius. Ia mengemukakan bahwa semua manusia harus berusaha untuk mencapai dua
tujuan, yaitu pertama, keselamatan dan kebahagiaan hidup yang abadi. Kedua,
keadaan dan kehidupan dunia yang sejahtera serta damai.
Realisme Naturalis
Bentuk kedua dari realisme ini menyertai
lahirnya sains di Eropa pada abad ke- 15 dan 16
yang dipelopori oleh: Francis Bacon, John Lock, Galileo, David Hume,
John Stuart Mill, dan lain-lain. Pada
abad 20 tercatat pemikir-pemikir seperti: Ralp Borton Perry, Alfred Nort
Whitehead, dan Bertrand Russel. Aliran ini menyatakan
bahwa manusia adalah organisme biologis dengan sistim syaraf yang
kompleks dan secara inheren berpembawaan sosial. Apa yang dinamakan berpikir
merupakan fungsi yang sangat kompleks dari organisme yang berhubungan dengan
lingkungannya. Kebanyakan dari mereka menolak kehendak bebas manusia. Menurut
realisme naturalis, realitas haruslah korespondensi. Pengetahuan yang benar
hanya diperoleh melalui pengalaman empiris, dan nilai-nilai sangat bergantung
pada pemahaman manusia tentang alam.
Naturalisme merupakan teori yang menerima
“nature” (alam) sebagai keseluruhan realitas. Istilah
“nature” telah dipakai dalam filsafat dengan bermacam-macam arti, mulai dari
dunia fisik yang dapat dilihat oleh manusia, sampai kepada sistem total dari
fenomena ruang dan waktu. Natura adalah dunia yang diungkapkan kepada manusia
oleh sains alam. Istilah naturalisme adalah sebaliknya dari istilah
supernaturalisme yang mengandung pandangan dualistik terhadap alam dengan
adanya kekuatan yang ada (wujud) di atas atau di luar alam.[211]
Naturalisme
berasal dari kata “nature.” Kadang pendefinisikan “nature” hanya dalam makna
dunia material saja, sesuatu selain fisik secara otomatis menjadi
“supranatural.” Tetapi dalam realita, alam terdiri dari alam material dan alam
spiritual, masing-masing dengan hukumnya sendiri. Era Pencerahan, misalnya,
memahami alam bukan sebagai keberadaan benda-benda fisik tetapi sebagai asal
dan fondasi kebenaran. Ia tidak memperlawankan material dengan spiritual,
istilah itu mencakup bukan hanya alam fisiktetapi juga alam intelektual dan
moral. Salah satu ciri yang paling menakjubkan dari alam semesta adalah
keteraturan. Benak manusia sejak dulu menangkap keteraturan ini. Terbit dan
tenggelamnya matahari, peredaran planet-planet dan susunan bintang-bintang yang
bergeser teratur dari malam ke malam sejak pertama kali manusia menyadari
keberadaannya di dalam alam semesta, hanya merupakan contoh-contoh sederhana.
Ilmu pengetahuan itu sendiri hanya menjadi mungkin karena keteraturan tersebut
yang kemudian dibahasakan lewat hukum-hukum matematika. Tugas ilmu pengetahuan
umumnya dapat dikatakan sebagai menelaah, mengkaji, menghubungkan semua
keteraturan yang teramati. Ilmu pengetahuan bertujuan menjawab pertanyaan
bagaimana dan mengapa. Namun khusus untuk kosmologi, pertanyaan ‘mengapa’ ini
di titik tertentu mengalami kesulitan yang luar biasa.[212]
Posisi Filosofi Realisme
Pada
bagian ini dipaparkan posisi filosofi realisme, yaitu pendirian realisme atas
realitas, pengetahuan dan nilai yang dipahami secara umum sebagai berikut:
1.
Realitas (Ontologi). Realitas dari benda-benda.
Bagi kaum realist, kebenaran akhir dari realitas bukan pada alam pemikiran.
Alam semesta dibentuk atas matter, sehingga demikianlah dunia fisik di mana
manusia hidup dan membuatnya nyata. Ini adalah suatu pendekatan jujur pada
dunia benda-benda yang bergerak menurut hukum-hukum alam yang melahirkan alam
semesta. Alam semesta yang sangat besar menunjukkan keterbatasan manusia dan
pengetahuannya. Alam semesta bukanlah seperti mesin raksasa di mana manusia
sebagai penonton dan yang mengambil bagian di dalamnya. Hukum-hukum alam
mengontrol alam semesta, tidak hanya pada bidan fisik, tetapi juga masalah
moral, psikologi, sosial, politik, dan ekonomi. Dengan kata lain, kaum realist
memandang realitas dalam batas sebagai sesuatu yang digerakkan menurut hukum
alam. Dalam hal ini, realisme menjadi dasar atas berbagai filsafat dan
pengetahuan modern. Untuk memperjelas pemahaman kita tentang pendirian realitas
kaum realis sangat baik menyimak dengan teliti lima pertanyaan yang diajukan
oleh Jack Terry berkenaan dengan ontologi kaum realis sebagai berikut:[213]
a)
Bagaimana kepercayaan secara umum kaum realist
tentang inti akhir yang menjadikan kosmos? Ternyata mereka ada kecenderungan
pada pandangan pluralistik dari pada pandangan monistik.
b)
Apakah kaum realis percaya tentang kebebasaan dan
keharusan dalam tingkah laku manusia? Ternyata kaum realis lebih dekat pada
determinisme dalam filosofi tentang metafisika, sekalipun mereka menolak
determinisme mekanikal.
c)
Apakah konsep kaum realist tentang pikiran? Pertama adalah pandangan yang lebih external
daripada pikiran sebagai satu hubungan organisme dan objek dalam ruang waktu
dunia. Konsep realist daripada pikiran adalah satu deskripsi pikiran sebagai
pengalaman didalam diri subjek dan
tingkah laku. Ketiga adalah pikiran dalam susunan metafisik daripada realist
adalah bahwa pikiran dan kesadaran adalah unik sebagai sesuatu yang
dibandingkan pada hal-hal fisik.
d)
Seperti
apakah bentuk penjelasan kaum realis tentang alam semesta? Ternyata kaum Realist setuju bahwa alam semesta adalah satu macam kosmos teratur dalam
keperluan istillah , kosmos sama dengan pandangan naturalistik.
e)
Apakah kaum realist percaya pada keberadaan
(makhluk) kekal? Tentu ada diantara
realist yang atheis dan mereka yang mendefinisikan pikiran dalam istilah zat
atau proses fisik punya sedikit atau tidak ada tempat bagi Allah.
2.
Epistemologi kaum realis. Menurut mereka,
pengetahuan diperoleh melalui observasi. Epistemologi realisme adalah
pendekatan umum pada dunia dengan metode sensori persepsi. Realisme menuntut
manusia untuk tidak memberi penilaian atas segala sesuatu, tetapi membiarkan
obyek berbicara tentang keberadaan mereka sendiri. Kebenaran bagi kaum realist
adalah sebagai kenyataan hasil observasi. Persepsi indra manusia sebagai alat
untuk mendapatkan pengetahuan. Realisme memakai pendekatan induktif untuk
meneliti dunia nyata dan menggunakan prinsip-prinsip umum dalam melakukan
observasi. Kaum realist mencari dan meneliti bagaimana dunia bekerja dengan
mengalaminya. Kebenaran harus sudah dikonfirmasi pada situasi aktual
sebagaimana dilakukan oleh para peneliti (observer).
3.
Axiologi kaum realis (Nilai-nilai dari alam).
Menurut kaum realist, nilai-nilai juga dicapai melalui observasi atas alam itu
sendiri. Melalui studi pada susunan alam akan sampai pada pengetahan akan
hukum-hukum alam yang memberikan dasar bagi penilaian etika dan estetika. Dasar
etika kaum realist dapat dilihat sebagai hukum alam. Alam menurut kaum realist
adalah hukum moral. Senada dengan pernyataan ini, Terry mengatakan bahwa di antara kaum realist terdapat dua
dasar teori yang secara umum berbicara
tentang nilai: pertama, Nilai adalah
unsur yang tidak dapat didefinisikan dengan mudah yang dialami sebagaimana saat
kita mengalaminya. Kedua, Nilai
bergantung pada sikap dan seseorang yang mengalaminya. Nilai etika, Kebaikan
moral dapat didefinisikan dan segi menguntungkan dan masyarakat sebagai
“Kebahagiaan terbesar dan jumlah yang terbesar”. Nilai agama Terry jelaskan
sebagai, “Theistic dan melioristic dalam agamanya.” Nilai sosial ditentukan
oleh masyarakat tentang apa yang diinginkan dan dorongan riil yang akan membuat
orang bertindak pada nilai-nilai itu.[214]
Realisme dalam Pendidikan
Pada
bagian ini diuraikan aplikasi filsafat dalam pendidikan. Dalam hal ini aplikasi
dari pendirian kaum realist berkenaan dengan ontologi, epistemologi, dan
axiologi mereka sebagai berikut:
Pelaku Pendidikan
Pelaku pendidikan adalah
salah satu komponen pendidikan yang harus dipahami dengan baik, yaitu guru dan
murid. Dalam pemahaman realisme maka didapat pemahaman tentang guru dan murid
sebagai berikut:
1.
Guru. Guru dipandang sebagai pribadi yang
mengetahui, seorang peneliti yang mengetahui hukum-hukum alam semesta, maka
tugas guru adalah memberikan informasi yang akurat berkenaan dengan realitas
kepada para murid dengan cara yang cepat dan efisien. Untuk alasan ini, seorang
guru harus menuntun murid untuk mengadakan penelitiannya sendiri. Terry menyatakan bahwa inisiatif dalam
pendidikan terletak pada pribadi guru. Guru yang bertanggung jawab untuk
memutuskan pengetahuan apa yang akan dipelajari oleh murid atau peserta didik.
Tentang guru ini, Terry mengutip beberapa pendapat:
a)
Brubacher yang menyarankan bahwa seorang guru
adalah seorang ”authoritarian”.
b)
Komentar Morris: seorang guru realist harus
menyajikan materi pelajaran kepada peserta didik dalam tata cara yang
sistematis, meggunakan buku teks, dan kuliah.
c)
Kneller: memperingatkan para guru realist untuk
tidak dialihkan kepada tren yang sifatnya sementara dari menyelesaikan tugas
yang sesungguhnya, yaitu untuk mengimpartasikan pengetahuan substantif kepada
dunia nyata.
d)
Brown mengindikasikan bahwa seorang guru realist akan tidak memberi perhatian pada
perkembangan pribadi atau perkembangan sifat, tetapi hanya sebagai murid
“conditioned” untuk mencari kebenaran objektive dan benda dalam dunia tentang
mereka secara bersemangat. “Dan ia tidak
akan ada respek bagi Inspirational value” daripada sejarah, sebab lalu adalah
sesuatu juga diketahui secara objektip.[215]
Murid
Murid.
Bagi kaum realist, murid
dipandang sebagai organisme biologis dengan sistim syaraf yang kompleks dan
secara inheren berpembawan sosial. Murid dengan pengalaman sensorinya
mengetahui susunan alam dari dunia ini dan dapat membuat hubungan (kontak)
dengan realitas. Murid adalah pribadi yang dapat melihat, merasa. Dan mengecap.
Dunia adalah ”sesuatu” dan murid adalah pribadi yang dapat mengetahui dunia ini
dengan indranya. Banyak kaum realist yang memandang murid sebagai pribadi yang
adalah subyek bagi hukum-hukum alam, sehingga mereka tidak memiliki kehendak bebas.
Dengan kata lain mereka menolak eksistensi kehendak bebas (free will). Mereka
berbeda pendapat dalam hal bahwa individu ditentukan oleh akibat lingkungan
fisik dan sosial dalam struktur genetiknya. Apa yang tampaknya bebas memilih,
kenyataannya merupakan suatu ketentuan sebab-akibat. Itu sebabnya, para murid
dapat diprogram sebagaimana komputer yang dapat diprogramkan. Terry sependapat
dengan Morris bahwa realisme memandang murid sebagai wadah atau tempat untuk
informasi sehingga dapat diberi ilmu pengetahuan.[216]
Dengan ini, para murid harus di dorong, didisiplin, dan dibentuk sehingga
mereka belajar dan memberikan respon yang diinginkan.
Kurikulum
Senada dengan pandangan
metafisis dan epistemologi kaum realist, kurikulum sekolah-sekolah mereka
menekankan pada ”subject matter” dari dunia fisik. Ilmu pengetahuan adalah
pusat dari kurikulum mereka.sejak hukum-hukum alam dapat dipahami dengan baik
melalui subject matter dari alam. Matematika juga mejadi bagian penting dalam
kurikulum sejak matematika sebagai contoh dari form dan order. Matematika
dengan tepat, dapat menjelaskan dan sebagai sistem simbol untuk menjelaskan
hukum-hukum alam. Pengertian kaum realist atas alam
semesta telah banyak membentuk pengetahuan kita tentang ilmu-ilmu sosial yang
menekankan pada statistik dan studi kuantitatif. Kaum realist memandang
kurikulum sebagai pengetahuan yang dapat diukur. Terry mengemukakan lima
tingkat dari kurikulum yaitu:
1.
Murid seharusnya belajar untuk dapat menggunakan
instrumen dasar dari pengetahuan, khususnya
dalam bahasanya sendiri. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas
dan obyektif, murid harus memiliki beberapa pengetahuan, setidaknya pengetahuan
bahasa asing dengan baik. Murid juga harus diajar tentang logika manusia dan
matematika dasar.
2.
Selanjutnya, murid harus diperkenalkan dengan
metde-metode dalam alam fisika, kimia, dan biologi, serta dasar-dasar fakta
yang berhubungan dengan ilmu-ilmu tersebut.
3.
Murid harus mempelajari sejarah dan berbagai ilmu
pengetahuan manusia.
4.
Murid seharusnya akrab dengan tokoh-tokoh besar
klasik melalui berbagai literartur dan seni.
5.
Akhirnya, ditingkat akhir pada proses
pelatihan/pendidikan, murid seharusnya diperkenalkan dengan filsafat dan persoalan-persoalan dasar
yang muncul dari usaha mengintegrasikan antara pengetahuan dan praktek.[217]
Metode
Metode instruksional kaum
realist sangat erat kaitannya dengan epistemologi mereka. Jika kebenaran harus
dicapai dengan sensori persepsi, kemudian pengalaman belajar harus
diorganisasikan dengan cara pengalaman indrawi. Kaum realist modern sangat suka mendemonstrasikan pengetahuan,
mengadakan studi lapangan, dan menggunakan audio visual dalam proses
pembelajaran. Metode mengajar kaum realist meliputi pengajaran akan
kenyataan-kenyataan untuk membangun suatu pemahaman akan hukum-hukum alam.
Mereka sangat memperhatikan pengalaman penelitian murid berkenaan dengan
dasar-dasar hukum alam.
Outcome
Outcome. Menurut kaum
realist, tujuan pendidikan adalah untuk memperlengkapi peserta didik untuk
membangun suatu hubungan antara manusia sebagai individu dan lingkungannya.
Seorang murid realist harus dapat memiliki hubungan yang seimbang, toleransi
secara mental dan fisik dengan lingkungan disekitarnya.
Filsafat Pendidikan Naturalis dan Materialisme
Materialisme adalah suatu
istilah yang sempit dari dan merupakan bentuk dari naturalisme yang lebih
terbatas. Namun demikian aliran ini pada akhirnya lebih populer daripada
induknya, naturalism,[218]
karena pada akhirnya menjadi ideologi utama pada negara-negara sosialis seperti
Uni Soviet (kini Rusia) dan Republik Rakyat Cina (RRC). Materialisme umumnya
mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada kecuali materi, atau bahwa nature
(alam) dan dunia fisik adalah satu.[219]
Materialisme dapat diberikan definisi sebagai berikut:[220] pertama:
materialisme adalah teori yang mengatakan bahwa atom materi yang berada sendiri
dan bergerak merupakan unsur-unsur yang membentuk alam, dan bahwa akal dan
kesadaran (consiousness) termasuk di
dalamnya. Segala proses fisikal merupakan mode materi tersebut dan dapat
disederhanakan menjadi unsur-unsur fisik. Kedua,
definisi tersebut mempunyai implikasi yang sama, walaupun condong untuk
menyajikan bentuk materialisme yang lebih tradisional. Belakangan, doktrin
tersebut dijadikan sebagai “energism” yang mengembalikan segala sesuatu kepada
bentuk energi, atau sebagai suatu bentuk dari “positivisme” yang memberi
tekanan untuk sains dan mengingkari hal-hal seperti ultimate nature of reality (realitas yang paling tinggi). Inilah
yang pada akhirnya mereka ragu-ragu apakah tuhan benar-benar ada atau tidak,
yang jelas mereka tidak mampu menjangkaunya. Bahkan sebagian mengingkari sama
sekali sehingga menjadi atheis.[221]
Materialisme modern mengatakan bahwa alam (universe) merupakan kesatuan material yang tak terbatas; alam termasuk
di dalamnya segala materi dan energi (gerak atau tenaga) selalu ada dan akan
tetap ada. Dan bahwa alam (world) adalah realitas yang keras, dapat disentuh, material,
objektif, yang dapat diketahui oleh manusia. Materialisme modern mengatakan,
materi ada sebelum jiwa (mind), dan
dunia material adalah yang pertama. Sedangkan pemikiran tentang dunia ini
adalah nomor dua.[222]
Filsafat
Pendidikan Naturalisme
Dari perkembangan di atas, maka lahirlah aliran filsafat
pendidikan Naturalisme. Ia lahir sebagai reaksi terhadap aliran filsafat
pendidikan Aristotalian-Thomistik.[223]
Naturalisme lahir pada abad ke 17 dan mengalami perkembangan pada abad ke 18. Naturalisme
berkembang dengan cepat di bidang sains. Ia berpandangan bahwa "Learned
heavily on the knowledge reported by man's sense". Filsafat pendidikan ini
didukung oleh tiga aliran besar yaitu: Realisme, Empirisme dan Rasionalisme.
Semua penganut Naturalisme merupakan penganut Realisme, tetapi tidak semua
penganut Realisme merupakan penganut Naturalisme. Realisme merupakan anak dari
Naturalisme.[224]
Oleh sebab itu, banyak ide-ide pemikiran Realisme sejalan dengan Naturalisme.
Salah satunya adalah nilai estetis dan etis dapat diperoleh dari alam, karena
di alam tersedia kedua hal tersebut.
Dimensi
utama dan pertama dari pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme di bidang
pendidikan adalah pentingnya pendidikan itu sesuai dengan perkembangan alam. Filsuf yang pertama kali memperhatikan dan memberikan
konsidensi terhadap orientasi pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme adalah
John Amos Comenius (1592-1670). Sebagai pendeta Protestan sekaligus paedagog,
ia berpandangan bahwa manusia itu diciptakan oleh Tuhan dan untuk Tuhan.
Manusia diciptakan dan ditempatkan di atas semua makhluk, karena kemampuannya
dalam berfikir. Percikan pemikiran Comenius berpengaruh pada teori-teori
pendidikannya. Salah satunya adalah peserta didik harus dipersiapkan kepada dan
untuk Tuhan. Untuk itu pendidikan yang signifikan dengan pandangannya adalah
pendidikan ketuhanan, budi pekerti dan intelek. Pendidikan tidak hanya sekedar
untuk menjadikan seseorang mau belajar, melainkan juga untuk menjadikan
seseorang lebih arif dan bijaksana.[225]
Dalam pendidikan dan pengajaran, Comenius menggunakan
hukum-hukum alam sebagai contoh yang senantiasa tertib dan teratur. Hukum alam
memiliki ciri sebagai berikut: pertama,
segalanya berkembang dari alam. Kedua,
perkembangan alam serba teratur, tidak meloncat-loncat melainkan terjadi secara
bertahap. Ketiga, alam, berkembang
tidak tergesa-gesa melainkan menunggu waktu yang tepat, sambil mengadakan
persiapan. Dalam
bukunya yang berjudul Didagtica Magna (The Great Didactic) ia berkomentar: “If we wish to find a remedy
for the defects of nature, it is in nature herself that we must look for it.
Since it is certain that art can do nothing unless it imitates nature.”[226]
Dalam proses pendidikan, seperti pendahulunya
Wolfgang Ratke, Comenius juga berpendapat tentang prosedur dalam bidang
pendidikan bahwa dari pada membuat kerusakan pada proses alam, lebih baik
bersahabat dengan proses alam tersebut. Pendapatnya ini berimplikasi pada
pelaksanaan pendidikan dengan keharusan tidak merusak alam dan meniru perkembangan
alam. Alam berkembang dengan teratur dan menurut aturan waktu tertentu. Tidak
pernah terjadi dalam perkembangan alam, seekor kupu-kupu tiba-tiba dapat
terbang tanpa terlebih dahulu mengalami proses perkembangan mulai dari ulat
menjadi kepompong dan seterusnya berubah menjadi kupu-kupu. Begitu juga
perkembangan alam yang lain, buah apapun di dunia, selalu bermula dari bunga.
Tidak pernah terjadi lompatan tiba-tiba sebatang pohon mangga mengeluarkan buah
mangga tanpa sebelumnya didahului oleh munculnya bunga mangga. Apabila
pendidikan menganut aliran ini, maka setiap proses pendidikan hendaknya
mengikuti pola bertahap sesuai dengan perkembangan alam. Artinya proses
pendidikan tidak dilakukan secara tergesa-gesa, melainkan dilakukan secara
terencana dan bertahap sesuai dengan tahapan perkembangan fisik dan psikis
peserta didik.[227]
Perkembangan
yang terjadi di alam merupakan cermin bagi manusia bahwa tidak pernah terjadi
dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan makhluk yang ada di alam menyimpang
dari potensi yang dimilikinya. Semuanya tumbuh dan berkembang sesuai dengan
potensi masing-masing. Thomas Armstrong barangkali merupakan pakar pendidikan
yang dapat mengelaborasi dengan baik pembelajaran dengan cara bertahap dan
sesuai dengan perkembangan alam. Dalam In
Their Own Way: Discovering and Encouraging Your Child's Multiple Intelleigences,
Asmtrong mengilustrasikan dengan sangat baik bagaimana sebuah sekolah yang
ingin dibangun oleh para binatang besar untuk binatang kecil di dalam hutan.
Sejak awal para binatang besar bingung menentukan materi ajar terpenting yang
akan dipakai di sekolah tersebut, meskipun pada akhirnya disepakati bahwa semua
binatang kecil harus mengikuti materi ajar yang diberlakukan, yaitu: berlari,
berenang, terbang, memanjat, dan menggali. Semula sekolah tersebut penuh
keceriaan dan menyenangkan. Namun pada hari-hari berikutnya persoalan mulai
muncul ketika Kelinci yang memiliki potensi alamiah dan jago dalam berlari
harus mengikuti materi pelajaran renang. Hampir saja si Kelinci tenggelam. Malu
bercampur haru menjadi satu dalam diri Kelinci dan pada akhirnya Kelinci pun
minder pada binatang lain, terutama pada ikan. Ia berusaha sedemikian rupa agar
bisa berenang, sehingga tidak pernah lagi dapat berlari secepat sebelumnya.
Potensi berlari yang merupakan kemampuan alami utamanya terlupakan dan menjadi
"loyo" akibat kebanyakan mengikuti les renang.
Problem
yang sama dialami juga oleh binatang yang lain, tidak terkecuali oleh burung
Elang yang jago terbang. Ketika burung Elang mengikuti materi pelajaran
menggali, ia tidak mampu melakukan tugas-tugas yang diberikan oleh binatang
besar sebagai gurunya. Elang pun sedih, karena nilai raportnya merah dan harus
mengulang materi pelajaran menggali. Pelajaran menggali rupanya menyita waktu
Elang, sehingga ia lupa cara terbang yang sebelumnya sangat dikuasai dan
menjadi potensin alamnya yang menonjol. Semakin hari sekolah tersebut bukan
menjadikan binatang kecil semakin mahir dalam mengembangkan potensi alamiyah
dan bakat masing-masing, tetapi justru mengileminir potensi dan bakat beberapa
binatang yang mengikuti pembelajaran. Hal ini terjadi karena para binatang
kecil dipaksa melakukan hal-hal yang tidak menghargai potensi, sifat dan bakat
alami mereka. Pemikiran kritis seperti ini diangkat sedemikian rupa oleh
Asmtrong dengan baik agar dalam pendidikan segalanya dapat berkembang sesuai
dengan potensi dan bakat masing-masing yang telah diberikan oleh alam.
Dimensi
kedua dari filsafat pendidikan Naturalisme yang juga dikemukakan oleh Comenius
adalah penekanan bahwa belajar itu merupakan kegiatan melalui Indra. Belajar
melalui indra merupakan inti dari metode belajar Naturalistik. Di sini baik
Comenius maupun pendahulunya Wolfgang Ratke menekankan pentingnya pengalaman
pemahaman tentang sesuatu. Seperti yang disarankan oleh Wolfgang Ratke pada
para guru. Guru, kata Ratke pertamakali hendaknya mengenalkan benda kepada anak
lebih dahulu, baru setelah itu penjelasan yang diperinci (exposition) tentang benda tersebut. Sedang Comenius menasehatkan
kepada para guru bahwa sesuatu itu harus digambarkan dengan simbol secara
bersama-sama (Thing and symbol should
accompany each other). Dalam mempresentasikan gagasan ini Comenius menulis
sebuah buku berjudul Orbis Pictus
(Dunia dalam Gambar).
Naturalisme
di bidang pendidikan juga dielaborasi oleh kerangka pemikiran John Locke
(1632-1704) dalam buku Essay Concerning
Human Understanding. Ia mengemukakan bahwa teori dalam jiwa diperoleh dari
pengalaman nyata. Dalam formulasi redaksi yang berbeda dengan maksud yang sama
John Locke mengatakan bahwa, tidak ada sesuatu dalam jiwa tanpa melalui indra.[228]
Kesimpulan
lebih lanjut dari statement Locke adalah jiwa senantiasa kosong dan hanya
terisi apabila ada pengalaman. Oleh karena alam merupakan spot power bagi pengisian jiwa, maka proses pendidikan harus
mengikuti tata-tertib perkembangan alam. Kalau alam
serba teratur, ia menghendaki pengajaran pun harus teratur. Mata pelajaran
harus diajarkan secara berurutan (sequence),
step by step dan tidak bersamaan,
misalnya: membaca dulu sampai bisa, kemudian diikuti dengan pembelajaran
menulis, demikian selanjutnya.
Ide-ide Locke tersebut berseberangan dengan pandangan
Platonic Notion, yang mengatakan bahwa manusia itu lahir dengan ide (gagasan)
pembawaan seperti ide tentang Tuhan, rasa tentang benar dan salah,
kemampuan-kemampuan logik tentang prinsip-prinsip kontradiksi yang secara
otomatis tanpa melalui belajar. Bagi Locke semua itu harus dipelajari
melalui pemahaman. Oleh sebab itu, Locke berkata "baik buruknya anak
(peserta didik) tergantung pada pendidikannya". Teori inilah yang kemudian
melahirkan konsep Tabularasa atau Blanksheet dalam pendidikan.
Dimensi
ketiga dari filsafat pendidikan Naturalisme adalah pentingnya pemberian
pemahaman pada akal akan kejadian atau fenomena dan hukum alam melalui
observasi. Observasi berarti mengamati secara langsung fenomena yang ada di
alam ini secara cermat dan cerdas. Seperti yang dialami Copernicus, bahwa
pemahaman kita akan menipu kita, apabila kita berfikir bahwa mataharilah yang
mengelilingi bumi, padahal sebenarnya bumilah yang mengelilingi matahari.
Pendapat Copernicus di atas sangat berpengaruh pada abad ke 18, sehingga abad
ini dikenal dengan sebutan abad rasio (age
of reason) atau Rasionalisme. Berkaitan hal ini, maka J. H. Pastolozzi seorang
paedagog berkebangsaan Swiss merupakan orang yang pertamakali sukses dalam
menempatkan antara teori dan praktek pendidikan menjadi satu kesatuan
hukum-hukum potensi manusia. Oleh sebab itu Pastolozzi berkata, pendidikan
hendaknya dilaksanakan secara harmonis, yaitu yang meliputi berbagai segi dari
hukum-hukum potensi manusia (multy
purposes), segi jasmani, kejiwaan, segi sosial, segi susila, dan segi
agama. Dengan demikian tujuan pendidikan adalah memimpin anak menjadi orang
baik dengan jalan mengembangkan daya-daya pada anak, karena pendidikan pada
hakekatnya tidak lain daripada pemberian pertolongan, agar anak dapat menolong
dirinya. Dalam bahasanya sendiri ia mengatakan pendiddikan adalah
"Pertolongan untuk pertolongan diri" (Hilfe zur Selbsthilte).
Dimensi
terakhir dari percikan pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme juga
dikembangkan oleh Jean Jacques Rousseau berkebangsaan Prancis yang naturalis
mengatakan bahwa pendidikan dapat berasal dari tiga hal, yaitu: alam, manusia
dan barang. Bagi Rousseau seorang anak harus hidup dengan prinsip-prinsip alam
semesta. Rousseau (1712 - 1778) menghasilkan buku yang sangat monumental
berjudul Emile Ou de L'Education.
Buku ini terdiri atas lima jilid dan merupakan buku roman pendidikan dengan
pemeran utama Emile dan Sophie. Secara bertahap Rousseau menuangkan
pikiran-pikirannya tentang pendidikan dalam buku ini. Jilid pertama berisi
tentang perawatan jasmani peserta didik (Emile) yang dapat dilakukan sampai
umur 7 tahun. Sementara jilid kedua berisi tentang pendidikan jasmani Emile.
Jilid ketiga berisi tentang pendidikan intelek, jilid keempat mengupas
pendidikan akhlak dan agama serta jilid terakhir atau kelima mengulas tentang
pendidikan wanita dan kesusilaan.[229]
Tokoh-tokoh
Filsafat Pendidikan Naturalism:[230]
Thomas Hobbes
(1588-1679)
Jean Jacques
Rousseau (1712-1778)
Herbert Spencer
(1820-1903)
Naturalisme dan Pendidikan
Naturalisme dalam filsafat pendidikan
mengajarkan bahwa guru paling alamiah dari seorang anak adalah kedua orang
tuanya. Oleh karena itu, pendidikan bagi naturalis dimulai jauh hari sebelum
anak lahir, yakni sejak kedua orang tuanya memilih jodohnya. Tokoh filsafat
pendidikan naturalisme adalah John Dewey, disusul oleh Morgan Cohen yang banyak
mengkritik karya-karya Dewey. Baru kemudian muncul tokoh-tokoh seperti Herman
Harrell Horne, dan Herbert Spencer yang menulis buku berjudul Education: Intelectual, Moral, and Physical.
Herbert menyatakan bahwa sekolah merupakan dasar dalam keberadaan naturalisme,
sebab belajar merupakan sesuatu yang natural hal tersebut karena itu fakta
bahwa hal itu memerlukan pengajaran juga merupakan sesuatu yang natural juga.
Paham naturalisme memandang guru tidak mengajar subjek, melainkan mengajar
murid.[231]
Terdapat lima tujuan pendidikan paham
naturalisme yang sangat terkenal yang diperkenalkan Herbert Spencer melalui
esai-esainya yang terkenal berjudul “Ilmu Pengetahuan Apa yang Paling
Berharga?” Kelima tujuan itu adalah: (1) Pemeliharaan diri; (2) Mengamankan
kebutuhan hidup; (3) Meningkatkan anak didik; (4) Memelihara hubungan sosial
dan politik; dan (5) Menikmati waktu luang.[232]
Spencer juga menjelaskan enam prinsip dalam
proses pendidikan beraliran naturalisme. Delapan prinsip tersebut adalah: (1)
Pendidikan harus menyesuaikan diri dengan alam; (2) Proses pendidikan harus
menyenangkan bagi anak didik; (3) Pendidikan harus berdasarkan spontanitas dari
aktivitas anak; (4) Memperbanyak ilmu pengetahuan merupakan bagian penting
dalam pendidikan; (5) Pendidikan dimaksudkan untuk membantu perkembangan fisik,
sekaligus otak; (6) Praktik mengajar adalah seni menunda; (7) Metode instruksi
dalam mendidik menggunakan cara induktif; (8) Hukuman dijatuhkan sebagai
konsekuensi alam akibat melakukan kesalahan. Kalaupun dilakukan hukuman, hal
itu harus dilakukan secara simpatik.[233]
Implikasi Bidang Pendidikan
Implikasi Naturalisme di bidang Pendidikan adalah
lahirnya berbagai model pendidikan yang menjadikan alam sebagai tempat dan
pusat kegiatan pembelajarannya. Pembelajaran tidak lagi dilakukan di dalam
kelas yang dibatasi oleh ruang dan waktu, tetapi lebih fokus pada pemanfaatan
alam sebagai tempat dan sumber belajar. Belajar di dan dengan alam yang
telah menyediakan beragam fasilitas dan tantangan bagi peserta didik akan
sangat menyenangkan. Tinggal kemampuan kita bagaimana
"mengeksploitasi" sumber daya alam menjadi media, sumber dan materi
pembelajaran yang sangat berguna.
Dalam
buku Quantum Learning Bobbi De Porter
mengatakan "Dengan mengendalikan lingkungan Anda, Anda melakukan langkah
efektif pertama untuk mengendalikan seluruh pengalaman belajar Anda. Bahkan
sekiranya saya harus menyebutkan salah satu alasan mengapa program kami
berhasil membuat orang belajar lebik baik, saya harus menyebutkan karena kami
berusaha menciptakan lingkungan optimal, baik secara fisik maupun emosional”. Berkaitan hal tersebut, maka Bobbi De Porter yang pertama
kali mengenalkan model pendidikan Quantum secara terprogram dengan nama “Super
Camp”. Ia
menjadikan alam sebagai tempat pembelajaran. Peserta didik dengan bebas
"mengeksploitasi" apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan di alam.
Guru menempatkan dirinya sebagai mitra peserta didik dalam berdiskusi menyelesaikan
problem yang ditemukan di alam. “Out put” dari model pendidikan Quantum ini
terbukti memiliki keunggulan kompetitif lebih baik dibandingkan “out put” model
pendidikan konvensional yang dilakukan di dalam kelas. Melalui “Super Camp”
peserta didik lebih leluasa memanifestasikan subyektifitasnya yang sangat
jarang ditemukan dalam praktik pendidikan konvensioal dalam kelas di sekolah.
Jika di dalam kelas subyektifitas peserta didik tertekan oleh otoritas guru,
maka di alam, guru dan peserta didik dapat dengan leluasa menciptakan hubungan
yang lebih akrab satu sama lain. Dari hubungan yang akrab ini lebih lanjut
terjadi hubungan emosional yang mendalam antara guru dengan peserta didiknya.
Dalam kondisi seperti ini, subyektifitas peserta didik dengan sendirinya akan
mengalir dalam diskusi dengan guru di mana telah tercipta suasana belajar yang
kondusif.[234]
Dengan
demikian bahwa menyatunya para siswa dengan alam sebagai tempat belajar dapat
memuaskan keingintahuannya (curiousity),
sebab mereka secara langsung face to face
berhadapan dengan sumber dan materi pembelajaran secara riil. Hal yang sangat
jarang terjadi pada pembelajaran di dalam kelas. Di alam mereka akan melihat
langsung bagaimana sapi merumput, mereka mendengar kicau burung, mereka juga
merasakan sejuknya air, mencium harum bunga, memetik sayur dan buah yang
semuanya merupakan pengalaman nyata tidak terlupakan. Mereka belajar dengan
nyaman, asyik dan berlangsung dalam suasana menyenangkan, sehingga informasi
terekam dengan lebih baik dalam otak para siswa. Melalui proses eksploratoris
seperti di atas, para siswa telah melakukan apa yang dikenal dengan istilah global learning (belajar global), sebuah
cara belajar yang begitu efektif dan alamiah bagi manusia.
Filsafat Pendidikan Materialisme
Kata materialisme terdiri dari
kata “materi” dan “isme”. Materi dapat
dipahami sebagai bahan; benda; segala sesuatu yang tampak. Materialisme adalah
pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam
alam kebendaan semata-mata, dengan mengesampingkan segala sesuatu yang
mengatasi alam
indra. Sementara itu, orang-orang yang hidupnya berorientasi kepada materi
disebut sebagai materialis. Orang-orang ini adalah para pengusung paham
(ajaran) materialisme atau juga orang yang mementingkan kebendaan semata
(harta, uang, dan sebagainya).
Tokoh-tokoh dan Karya-karya Materialisme
Ludwig
Feuerbach: Filsuf dari Jerman yang Mendukung Materialisme. Filsuf yang pertama
kali memperkenalkan paham ini adalah Epikuros. Ia
merupakan salah satu filsuf
terkemuka pada masa filsafat
kuno. Selain Epikuros, filsuf
lain yang juga turut mengembangakan aliran filsafat ini adalah Demokritos dan Lucretius Carus.
Pendapat mereka tentang materialisme, dapat kita samakan dengan materialisme
yang berkembang di Prancis pada
masa pencerahan. Dua karangan karya La Mettrie yang
cukup terkenal mewakili paham ini adalah L'homme machine (manusia mesin) dan
L'homme plante (manusia tumbuhan).
Dalam waktu yang sama, di
tempat lain muncul seorang Baron von Holbach yang
mengemukakan suatu materialisme ateisme. Materialisme ateisme serupa
dalam bentuk dan substansinya, yang tidak mengakui adanya Tuhan secara mutlak. Jiwa sebetulnya sama
dengan fungsi-fungsi otak.
Pada Abad 19,
muncul filsuf-filsuf materialisme asal Jerman seperti Feuerbach,
Moleschott, Buchner, dan Haeckel. Merekalah yang kemudian
meneruskan keberadaan materialisme.
Ciri-ciri Paham Materialisme
Setidaknya ada beberapa dasar ideologi yang
dijadikan dasar keyakinan paham ini sebagai berikut: (1) Segala yang ada
(wujud) berasal dari satu sumber yaitu materi (ma’dah). (2) Tidak meyakini adanya
alam ghaib. (3) Menjadikan
panca indra sebagai satu-satunya alat mencapai ilmu. (4) Memposisikan
ilmu sebagai pengganti agama dalam peletakan hukum. (5) Menjadikan
kecondongan dan tabiat manusia sebagai akhlak. (6) adalah sebuah paham garis
pemikiran, dimana manusia sebagai nara sumber dan juga sebagai resolusi dari
tindakan yang sudah ada dengan jalan dialetis.
Karakterisik Umum
Karakteristik umum materialisme pada
abad delapan belas berdasarkan pada suatu asumsi bahwa realitas dapat
dikembangkan pada sifat-sifat yang sedang mengalami perubahan gerak dalam
ruang. Asumsi tersebut menunjukkan bahwa:
1.
Semua sains seperti: biologi, kimia, psikologi, fisika, sosiologi, ekonomi,
dan yang lainnya ditinjau dari dasar fenomena materi yang berhubungan secara
kausal (sebab akibat).jadi,semua sains merupakan cabang dari sains mekanika;
2.
Apa yang dikatakan “jiwa” (mind) dan segala kegiatannya
(berpikir, memahami) adalah merupakan suatu gerakan yang kompleks dari
otak,system urat saraf, atau orga-organ jasmani yang lainnya.
3.
Apa yang disebut dengan nilai dan cita-cita,makna dan tujuan
hidup, keindahan dan kesenangan, serta kebebasan, hanyalah sekedar nama-nama
atau semboyan, simbol subjektif manusia untuk situasi atau hubungan fisik yang
berbeda.
Ludwig Feuerbach (1804-1872)
mencanangkan suatu metafisika materialistis, suatu etika yang humanistis, dan
suatu epistemology yang menjungjung tinggi pengenalan inderawi.oleh karena itu,
ia ingin mengganti idealisme Hegel (guru Feuerbach) dengan materialisme. Jadi, menurut
Feuerbach, yang ada hanyalah materi, tidak mengenal alam spiritual. Kepercayaan
kepada Tuhan hanyalah merupakan suatu proyeksi dari kegagalan atau
ketidakpuasan manusia untuk mencapai cita-cita kebahagiaan dalam
hidupnya. Dengan kegagalan tersebut manusia memikirkan suatu wujud yang bahagia
secara absolut, oleh karena itu, Tuhan hanyalah merupakan hasil khayalan
manusia. Tuhan diciptakan oleh manusia sendiri,secara maya,padahal wujudnya
tidak ada.
Cabang materialisme yang banyak
diperhatikan orang dewasa ini,dijadikan sebagai landasan berpikir adalah
“Positivisme”. Menurut positivism, kalau
sesuatu itu memang ada, maka adanya itu adalah jumlahnya.
Zaman positif adalah zaman dimana orang tahu,bahwa tiada
gunanya untuk berusaha mencapai pengetahuan yang mutlak,baik pengenalan teologi
maupun pengenalan metafisik. Ia tidak lagi melacak awal dan tujuan akhir dari
seluruh alam semesta,atau melacak hakikat yang berada dibelakang segala
sesuatu.sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan aturan yang
terdapat pada fakta-fakta yang telah dikenal atau yang disajikan
kepadanya,yaitu dengan mengamati semua fakta-fakta yang positif yang
menampakkan pada pancaindera dan menggunakan akalnya. Jadi, dikatakan positivisme,karena mereka
beranggapan bahwa yang dapat kita pelajari hanyalah yang mendasarkan
fakta-fakta, berdasarkan data-data yang nyata, yaitu yang mereka namakan positif.
Berkaitan di atas, maka Thomas
Hobbes, sebagai pengikut empirisme materialistis. Ia berpendapat bahwa
pengalaman merupakan awal dari segala pengetahuan,juga awal pengetahuan tentang
asas-asas yang diperoleh dan dikukuhkan oleh pengalaman. Hanya pengalamanlah
yang memberikan kepastian pengetahuan melalui akal hanya memiliki fungsi
mekanis semata, sebab pengenalan dengan akal mewujudkan suatu proses
penjumlahan dan pengurangan.
Materialisme
dalam Pendidikan
Materialisme pada dasarnya tidak
menyusun konsep pendidikan secara eksplisit. Bahkan menurut Henderson (1959), materialism
belum pernah menjadi penting dalam menentukan sumber teori pendidikan. Berkaitan hal ini, maka Waini Rasyidin (1992), filsafat positivisme
sebagai cabang dari materialisme lebih cenderung menganalisis hubungan
factor-faktor yang mempengaruhi upaya dan hasil pendidikan secara
factual. Memlih aliran positivisme berarti menolak filsafat pendidikan dan
mengutamakan sains pendidikan.
Menurut Behaviorisme, apa yang
disebut dengan kegiatan mental kenyataannya tergantung pada kegiatan fisik, yang
merupakan berbagai kombinasi dan materi dalam gerak. Gerakan fisik yang terjadi
dalam otak, kita sebut berpikir, dihasilkan oleh peristiwa lain dalam
dunia materi, baik materi yang berada dalam tubuh manusia maupun materi yang
berada diluar tubuh manusia. Behaviorisme yang berakar pada positivisme dan
materialisme telah populer dalam menyusun teori pendidikan, terutama dalam
teori belajar, yaitu apa yang disebut dengan “conditioning theory”, yang
dikembangkan oleh E.L. Thomdike dan B.F. Skinmer.
Menurut behavorisme, perilaku
manusia adalah hasil pembentukan melalui kondisi lingkungan (seperti contoh
anak dan kucing di atas). Yang dimaksud dengan perilaku adalah hal-hal yang
berubah dapat diamati,dan dapat diukur (materialisme dan positivisme).
Power (1982) mengemukakan beberapa
implikasi pendidikan positivisme behaviorisme yang bersumber pada filsafat
materialisme, sebagai berikut:
1.
Tema: Manusia yang baik dan efisien dihasilkan dengan proses
pendidikan terkontrol secara ilmiah dan seksama.
2.
Tujuan pendidikan:
Perubahan perilaku mempersiapkan manusia sesuai dengan kapasitasnya
untuk tanggung jawab hidup sosial dan pribadi yang kompleks.
3.
Kurikulum: Isi pendidikan mencakup pengetahuan yang dapat
dipercaya (handal), dan diorganisasi,selalu berhubungan dengan sasaran
perilaku.
4.
Metode: Semua
pelajaran dihasilkan dengan kondisionisasi (SR conditioning. operant conditioning,
reinforcement, pelajaran berprogram dan kompetensi.
5.
Kedudukan siswa:
Tidak ada kebebasan.perilaku ditentukan oleh kekuatan dari luar.pelajaran
sudah dirancang.siswa dipersiapkan untuk hidup. Mereka dituntut untuk belajar.
6.
Peranan guru: Guru
memiliki kekuasan untuk merancang dan mengontrol proses pendidikan. Guru dapat
mengukur kualitas dan karakter hasil belajar siswa.
Filsafat
Pendidikan Tradisionalis (Neo-Thomism)
Manusia adalah makhluk berpikir.
Dengan kapasitas otaknya, sebuah “supercomputer biologis”, manusia merasa mampu
untuk mengetahui segalanya. Dengan otaknya, yang memiliki 200 sel syaraf
sehingga mampu menyimpan 100 milyar bit informasi dan berpikir dengan kecepatan
300 mil per jam. Dengan demikian, manusia dapat mengembangkan cara berpikir
rasional yang hebat. Karena itu, maka sejak dulu, manusia yang berkembang
dengan mengandalkan pikiran rasionalnya selalu mengalami konflik dengan masalah
iman. Antara akal dan iman seringkali bertentangan dan
berseberangan. Dengan iman, manusia percaya akan Tuhan. Dengan akalnya, manusia
tidak ragu untuk menolak adanya Tuhan. Pertentangan akal dan iman terjadi dari
masa ke masa.
Dalam kondisi di atas munculnya
Thomas Aquinas (1225-1274) merupakan sebuah fenomena. Menurut Thomas, tidak ada
pertentangan antara iman dan rasio (filsafat), bahkan keduanya saling berkait
satu sama lain.[235] Melalui pemikiran-pemikiran rasional, hal-hal yang
bersifat imani – misalnya Tuhan – dapat dipahami. Pemikiran-pemikiran filsafat
Thomas Aquinas disebut sebagai Thomisme.
Bertahun-tahun kemudian,
filsuf Jacques Maritain (lahir tanggal 18 November 1882) memunculkan dan
mengembangkan kembali Thomisme. Menurutnya, masalah-masalah filsafat
(pikiran-pikiran rasional) modern harus dipahami dengan prinsip-prinsip
Thomisme yang telah diajarkan oleh Thomas Aquinas di masa silam.[236] Pemikiran Maritain ini disebut Neo-Thomisme.
Neo-Thomisme menjadi dasar pengembangan pendidikan modern: Idealisme, realisme, pragmatisme,
existensialisme, dan aliran-aliran filsafat lain dipakai oleh para ahli untuk
mengembangkan sistem pendidikan. Demikian juga Thomisme (Neo-Thomisme), bisa
dipakai menjadi dasar pengembangan pendidikan modern.
Pada jaman modern
sekarang, ketika rasio menjadi semacam dewa, kehadiran Neo-Thomisme akan
menjadi penyeimbang. Dalam konteks Indonesia yang percaya akan Tuhan dan
hal-hal rohani, filsafat Neo-Thomisme perlu menjadi pertimbangan untuk
pengembangan sistem pendidikannya.
Tetapi ketika membicarakan
Pendidikan Agama Kristen (PAK), perlu dikaji lebih lanjut sejauh mana filsafat
Neo-Thomisme ini dapat diterapkan. Pengembangan PAK bukan hanya
mempertimbangkan masalah keseimbangan akal dan iman, tetapi juga masalah Alkitab. Sejauh mana Neo-Thomisme
bersesuaian dengan pandangan Alkitab.
Filsafat Neo-Thomisme
Neo-Thomisme pada
dasarnya adalah pengembangan lanjut dari Thomisme. Thomisme sendiri adalah
sebutan untuk pemikiran filsafat dari filsuf Thomas Aquinas. Neo-Thomisme
dikembangkan oleh filsuf bernama Jacques Maritain.
Thomas Aquinas (1225-1274)
Filsuf yang lahir di
kota kecil bernama Aquino yang terletak antara Roma dan Napoli ini bertumbuh
menjadi rohaniawan dan kemudian cedekiawan. Pada usia 20 tahun, ia bergabung
dengan Ordo Santo Dominikus (Ordo Dominikan) dan menjadi imam Katolik dan
biarawan. Ia belajar di bawah asuhan Albertus Magnus (Albertus Agung).
Kemudian, sejak tahun 1252 sampai akhir hayatnya, Aquinas menjadi pengajar di
universitas-universitas di Italia dan Perancis.
Thomas Aquinas hidup
pada jaman tumbuhnya pemikiran Skolastik dan ketokohannya menjadikan dirinya
salah satu pemikir utama Skolastik Barat.[237] Filsafat skolastik
adalah pertemuan antara pemikiran Aristoles yang rasional dan iman Kristen.[238]
Para filsuf skolastik yang lain adalah: Boethius (480-524), Albertus Magnus
atau Albertus Agung (1206-1280), Johanes Fidanza atau Bonaventura (1221-1257),
dan Yohanes Duns Scotus (1266-1308).
Pada dasarnya, skolastik
tidak memisahkan antara filsafat dan teologi Kristen, filsafat merupakan bagian
integral dari teologia Kristen.[239]
Para filsufnya berusaha mempertemukan antara akal dan iman. Pemakaian akal yang
rasional justru membawa pemikiran-pemikiran yang imani.
Selama hidupnya, Thomas
Aquinas mengembangkan pemikiran untuk memperdamaikan pertentangan antara iman
dan akal.[240]
Menurut Gaarder, Thomas Aquinas telah ’mengkristenkan’ Aristoteles dengan cara
seperti St. Agustinus ’mengkristenkan’
Plato pada awal abad pertengahan.[241]
Maksudnya, Thomas Aquinas menafsirkan dan menjelaskan pemikiran-pemikiran
Aristoteles dengan cara sedemikian rupa sehingga tidak lagi bertentangan dan
dianggap mengancam dogmatika Kristen.[242]
Filsafat Aristoteles yang serba rasional dimodifikasi sedemikian rupa sehingga
sesuai dengan agama Kristen.
Menurut klasifikasi
Hawasi, pemikiran-pemikiran Thomas Aquinas meliputi beberapa topik di bawah ini:[243]
Tujuan Hidup Manusia
Baik Aristoteles maupun Aquinas sama-sama memikirkan
masalah ”mencapai hidup yang baik” (euzen).
Tujuan hidup menurut keduanya adalah mencapai kebahagiaan. Perbedaannya,
Aristoteles berpendapat bahwa kebahagiaan itu adalah capaian yang melulu urusan
duniawi. Dan, manusia pada dasarnya tidak bisa mencapainya, hanya mendekatinya
saja.
Aquinas memberi masukan baru tentang tujuan kebahagiaan
tersebut. Menurut Aquinas, manusia baru akan bahagia ketika ketemu dengan Tuhan
setelah mati. Artinya, kebahagiaan itu adalah masalah transenden. Dari
pemikiran ini, terlihat bahwa Aquinas berusaha menggiring pemikiran rasional
dari Aristoteles ke arah dogmatika Kristen. Ia mencari kesemaan – soal tujuan
mencapai kebahagiaan – dan kemudian memberi makna baru sesuai ajaran Kristen.
Prinsip tujuan kebahagiaan transendental versi Aquinas
ini mempunyai implimasi pemaknaan baru. Filsafat Aquinas menekankan hal-hal
spiritual dan cenderung menomorduakan kebahagiaan duniawi.
Kemampuan Akal Manusia
Menurut Thomas Aquinas, manusia adakah mahkluk berakal
budi (intellectus) yang mempunyai
kemampuan berpikir tak terbatas.[244]
Karena itu, manusia bisa memikirkan hal-hal yang tidak rasional yang kalau
kemudian menjadi kepercayaan maka disebut sebagai iman. Kaitannya dengan tujuan
hidup bahagia, manusia hanya bisa meraihnya dengan akal dan iman sekaligus.
Manusia dan Kehendak Bebas
Menurut Franz Magnis Suseno, Thomas Aquinas membedakan
dua macam kegiatan manusia sebagai berikut:[245] Pertama, ”kegiatan manusia” (actioneshominis) yang secara alamiah
mencakup pula ciri perilaku yang ada pada tumbuhan (vegetatif) dan juga hewan.
Tidak mengherankan jika terkadang perilaku manusia bersifat seperti bitanang
(biadab). Kedua, ”kegiatan manusiawi”
(actiones humanae), yaitu kegiatan
yang dilakukan manusia yang berbeda – lebih tinggi kualitasnya – dibanding mahkluk-mahluk di luar manusia.
Itulah yang menjadi ciri manusia sebagai mahluk yang berakal budi dan
berbudaya, tidak sekedar hidup dengan naluri saja.
Menurut Aquinas, manusia memiliki kehendak bebas. Untuk
melakukan atau tidak melakukan actiones
humanae, itu merupakan sebuah pilihan hidup. Perintah moral yang paling
dasar menurut Aquinas, seperti ditulis dalam Summa Theologiae, adalah ”Lakukanlah yang baik dan jangan melakukan
yang jahat”.[246]
Dengan pemikiran itu, Thomas membawa pemikiran akaliah menjadi imaniah.
Hukum Kodrat
Pandangan Thomas Aquinas tentang kodrat adalah sebagai
berikut:[247]
1.
Hukum kodrat adalah hukum yang berasal dari Tuhan. Dengan demikian,
mematuhi hukum kodrat berarti taat kepada Tuhan.
2.
Hukum kodrat adalah prinsip-prinsip aatau norma-norma moral universal.
3.
Manusia mempunyai kehendak bebas. Ia bebas untuk taat atau tidak mentaati
hukum kodrat yang dari Tuhan itu.
4.
Manusia akan hidup dengan baik bila hidup sesuai dengan kodratnya. Jadi
manusia sebaiknya taat melakukan hukum kodrat itu.
Hati Nurani dan Suara Hati
Thomas Aquinas membedakan antara hati nurani (synteresis) dan suara hati (conscientia).[248]
Hati nurani adalah perasaan tentang apa yang bernilai luhur, semacam orientasi
dasar yang ada di dalam lubuk hati yang terdalam. Hati nurani ini berasal dari Tuhan dan tidak mungkin keliru.
Prinsipnya, hati nurani merupakan ”pengetahuan intuitif”
tentang prinsip-prinsip moral. Selanjutnya, hati nurani (synteresis) akan menjadi suara hati (conscientia) yang mengatakan dalam jiwa kita tentang apa yang harus
kita lakukan. Prinsipnya, hati nurani tidak bisa salah, namun suara hati nurani
bisa saja salah.
Konsep tentang Tuhan
Mengenai Tuhan, Thomas Aquinas melontarkan beberapa
pemikiran sebagai berikut: Pertama, Tuhan adalah
aktus murni (actus purus), artinya
Tuhan itu sempurna adanya.[249] Di
dalam diri Tuhan, segala sesuatu telah sampai pada perealisasiannya, antara
hakikat (essentia) dan eksistensi (existentia) adalah identik.[250] Hal
itu berbeda dengan manusia, di mana eksistensi atau keberadaannya merupakan
sesuatu yang ditambahkan pada hakikatnya.
Kedua, Aquinas mengembangkan ”teologia naturalis” yang
mengajarkan bahwa manusia dapat mengenal Tuhan dengan pertolongan akal
pikirannya sendiri.[251]
Artinya, manusia dapat memikirkan tentang Tuhan, membuat konsep tentang Tuhan,
memikirkan sifat-sifat Tuhan dan seterusnya. Setelah mengemukakan
pertanyaan-pertanyaan filosofis mengenai dirinya sendiri misalnya, manusia
kemudian dapat mengembangkan pemikiran tentang Tuhan.
Ketiga, Aquinas memberikan lima bukti dan argumentasi tentang
adanya Tuhan adalah:[252] (1) Argumen Ontologis. Karena semua manusia
mempunyai gagasan tentang Tuhan dan prinsip bahwa realitas itu selalu lebih
sempurna dari pada ide, maka Tuhan itu pasti ada dan realitas-Nya pasti lebih
sempurna daripada apa yang digagas oleh manusia. (2) Argumen Kosmologis. Setiap
akibat pasti mempunyai sebab. Dunia (kosmos) adalah akibat, Tuhan adalah
penyebab adanya kosmos itu. Tuhan adalah
pencipta kosmos. (3) Argumen Teleologis. Segala
sesuatu pasti memiliki tujuan, misalnya mata untuk melihat, kaki untuk
berjalan. Jadi, pasti ada yang mengkonsep dan mengatur tujuan-tujuan itu,
Dialah Tuhan. (4) Argumen Moral. Manusia adalah mahkluk bermoral, bisa
membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang benar dan salah. Itu menunjukkan bahwa ada dasar dan sumber
moralitas, dan itu adalah Tuhan. (5) Argumen Teologis. Adanya geraj di dunia
mengharuskan kita menerima bahwa ada penggerak pertama, yaitu Tuhan.
Keempat, Aquinas merekomendasikan cara berpikir analogis
sebagai jalan untuk memahami adanya Tuhan. Aquinas memperlihatkan 3 jalan (tripleex via) untuk memahami Tuhan
secara analogis adalah:[253] (1) Via Positiva atau Via Affirmativa. Berdasar ”analogi
entis” disimpulkan bahwa ada kesamaan antara manusia dengan Tuhan. Berarti,
segala sifat yang baik pada manusia pasti ada pada Tuhan. (2) Via Negativa. Berdasar pemikiran bahwa
ada perbedaan antara manusia dengan Tuhan, maka disimpulkan bahwa hal-hal yang
buruk pada manusia pasti tidak ada dalam diri Tuhan. (3) Via Eminentiae. Prinsipnya, apa yang baik dalam diri manusia pasti
ada dalam diri Tuhan, dan pasti ada lebih baik dalam diri Tuhan yang sempurna.
Kosmologi
Mengenai penciptaan alam semesta, Aquinas berpendapat
bahwa Tuhan adalah Sang Pencipta. Aquinas mengajarkan prinsip ”creatio ex nihilo”, artinya adalah ”penciptaan
dari yang tidak ada menjadi ada”. Jadi, dunia ini (ciptaan) tidak diadakan dari
semacam bahan dasar yang sudah tersedia lebih dulu, entah bahan itu adalah
Tuhan sendiri maupun bahan lain disamping Tuhan. Kecuali itu, penciptaan adalah
perbuatan Tuhan yang terus menerus (creatio
continua atau creatio conservatio).[254]
Artinya, Tuhan adalah Sang Pencipta untuk selamanya dan Ia senantiasa
memelihara segala sesuatu yang diciptakannya.
Antropologi
Dalam memandang masalah manusia, Aquinas menyempurnakan
pemikiran Aristoteles dan menolak pemikiran Plato. Aquinas menekankan bahwa
manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Namun, ia tidak setuju dengan Plato yang
mengajarkan bahwa antara jiwa dan tubuh tidak berhubungan dan masing-masing
berdiri sendiri-sendiri.
Menurut Aquinas, terdapat nisbah (pertautan) antara jiwa
(bentuk) dan tubuh (materi). Hubungan jiwa dan tubuh juga merupakan hubungan
antara aktus (perealisasian) dan potensi (bakat). Manusia merupakan satu
substansi di mana jiwa menjadi bentuk badan (anima forma corporis).[255]
Neo-Thomisme
Pada awal abad 20, pemikiran Thomas Aquinas (Thomisme)
dibangkitkan kembali oleh filsuf bernama Jacques Maritain (lahir tahun 1882).
Murid dari Henri Bergson ini menjadi penganut Roma Katolik yang taat pada tahun
1906. Ia mengajar di Institut Katolik di Paris (1914-1940). Kemudian, ia
menjadi profesor filsafat di Colombia
University (1940-1941), menjadi proferos filsafat di Ecole Libre des Hautes Etudes di New York (1945-1948). Akhirnya,
setelah mengajar filsafat di Princeton
University, Maritain emiritus sejak pada tahun 1953.
Usaha Maritain membangkitkan kembali Thomisme dikenal
dengan istilah Neo-Thomisme. Pada dasarnya, ia mengajarkan bahwa semua masalah
filsafat modern sekarang (teori-teori sains, filsafat sosial dan politik, dan
filsafat seni) ini harus dipahami dengan prinsip-prinsip filsafat Thomas
Aquinas.[256]
Dalam menjelaskan pemikiran-pemikirannya, Maritain telah
menulis lebih dari 20 buku. Beberapa di antaranya adalah: Art and Scolasticism (1932), Degrees of Knowledge (19938), Art and Poetry (1943), Existence and the Existent (1948), The Range of Reason (1952), On the Philosophy of History (1957), dan
The Responsibility of the Artist (1960).
Pada awal abad 20, Neo-Thomisme yang
disebut juga Neo-Skolastikisme berkembang pesat di kalangan filsuf Katolik.[257]
Pada dasarnya, Neo-Thomisme adalah kebangkitan kembali ajaran-ajaran Thomas
Aquinas. Pada tanggal 27 Juli 1914, Paus Pius X mendeklarasikan 24 tesis yang
berisi pemikiran-pemikiran filsafat Thomas Aquinas. Menurut pakarnya,
Neo-Thomisme menjadikan Thomisme sebagai rambu-rambu, namun tidak menjadikannya
sebagai batasan.
Neo-Thomisme pada dasarnya merupakan
pengembangan lanjut dari Thomisme (ajaran Thomas Aquinas). Di dalamnya,
ajaran-ajaran Aquinas diperluas dan dijadikan lebih komprehensif sehingga
menjadi kontemporer dan sesuai dengan tuntutan-tuntutan intelektual masa kini.
Kalau ajaran Thomas Aquinas di masa
silam dirasa terlalu kaku, Neo-Thomisme merupakan modifikasi yang sifatnya
lebih fleksibel dan dinamis. Karena itu, di dalam Neo-Thomisme, beberapa
pemikiran Aquinas yang dianggap salah dan kurang bermanfaat ditinggalkan.
Perbedaan
Thomisme dan Neo-Thomisme
Thomisme
(Ajaran Thomas Aquinas) |
Neo-Thomisme |
Pemikiran
filsafat Thomas Aquinas yang berkembang pada abad 13. Sifatnya luas dan
rigid. |
Ajaran
Thomisme yang diperluas, diperkomprehensif, dibuat kontemporer. Ajaran
Thomisme yang salah dan tak bermenfaat dibuang. |
Thomas Aquinas |
Jacques
Maritain, cendekiawan Katolik |
Abad 13 |
Abad 19-20 |
Filsafat
Neo-Thomisme untuk Pendidikan
Ketika Neo-Thomisme dipakai sebagai
landasan pemikiran bagi pengembangan pendidikan, perspektif filsafat itu akan
mewarnai semua unsure-unsur atau komponen-komponen pendidikan.
Komponen-komponen itu mencakup adalah: (1) tujuan pendidikan, (2) pelaku pendidikan,
yaitu: guru dan murid, (3) kurikulum
pendidikan, dan (4) metode
pendidikan.
Tujuan
Pendidikan
Neo-Thomisme
mengacu pada ajaran Thomas Aquinas yang menekankan tujuan hidup yang bukan
hanya mengejar kebahagiaan duniawi, tetapi kebahagiaan spiritual yang bersifat
transcendental. Pemikiran fillosofis ini sangat bagus sebagai counter atas pola piker dan pola hidup
duniawi yang berkembang pada masa kini. Sekarang orientasi hidup yang bersifat
kapitalistik, hipokrit, tidak adil, hedonistik, dan materialistik berkembang mewarnai
seluruh aspek kehidupan.
Kapitalisme
Perkembangan pesat industrialisasi pada abad 21 telah
mengembangkan filsafat hidup ”positivisme-materislistik” dan gaya hidup
”ekonomi-kapitalistik”.[258]
Orientasi hidup manusia melulu untuk mencari kekayaan material sebanyak mungkin
dengan jalan apapun, bahkan menghalalkan segala cara. Akibatnya, persaingan
ekonomi cenderung mendorong tumbuhnya sistem ekonomi kapitalistik dengan
memonopoli barang-barang produksi mulai dari proses produksi sapai mekanisme
pasar.
Watak kapitalistik adalah melakukan kegiatan produksi
secara monopolistik dengan menguasai pasar untuk memperoleh keuntungan yang
sebesar-besarnya. Hal itu menumbuhkan sikap ketidakpedulian para orang kecil.
Yang miskin semakin miskin dan yang kaya akan semakin kaya. Para kapitalis juga
menggunakan cara apapun – tanpa mempertimbangkan aspek-aspek etika – untuk
mendulang keuntungan dari konsumen-konsumennya. Itulah sebabnya, acara-acara
televisi misalnya, tidak bersifat mendidik. Yang penting, masyarakat senang
sehingga para produsen dapat mengeruk keuntungan. Dengan demikian, kapitalisme
ini mendorong sebuah kehidupan yang tidak bermoral tinggi, yang penting adalah
”kenikmatan duniawi”. Inilah yang dikejar dan dijual oleh para kapitalis.
Kemunafikan Politik
Krisis kehidupan masa kini juga ditandai dengan adanya
kemunafikan politik. Politik sekarang meninggalkan nilai substansial politik,
yaitu kecerdasan (shrewdness) dalam
mengambil kebijakan, dan bergeser menjadi kelicikan (slyness).[259] Perilaku ini juga tidak lepas
dari semangat ekonomi kapitalistik yang melanda para pemimpin politik. Mereka
memanaatken kedudukan dan kekuasaannya untuk meraih keuntungan
sebanyak-banyaknya dengan cara memeras rakyat dan melakukan korupsi,
Ketidakadilan
Selanjutnya, semangat dan gaya hidup kapitalistik yang
memicu kesewenang-wenangan politik, menyebabkan tumbuhnya kehidupan “hukum
rimba” (homo homini lupus).
Premanisme menyebabkan ketidakdilan di dalam masyarakat.
Ketidakadilan menyebabkan berbagai bentuk pemberontakan.
Kelompok yang dirugikan atau ditindas akan melawan dengan cara-cara yang tidak
bermoral juga. Itulah sebabnya tumbuh terorisme. Umat Muslim yang merasa
ditindas oleh Amerika dan kroni-kroninya, melakukan perlawanan dengan melakukan
aksi-aksi teror di seluruh dunia.
Hedonisme-Materialisme
Perubahan dari kehidupan masyarakat agraris ke industri
menyebabkan pergeseran orientasi dari kehidupan spiritual ke kehidupan
materialistik. Dalam kehidupan agraris, sistem-sistem kepercayaan berkembang.
Dalam masyarakat industri yang sarat dengan teknolosi, pemikiran rasional
mengedepan dan orientasi pada materi menjadi sangat kuat. Akibatnya, masyarakat
modern meninggalkan kehidupan beragama.
Bagi masyarakat industri, tujuan hidup bukan lagi “surga”
tetapi “dunia”. Surga telah digantikan oleh segala bentuk kenikmatan material
dunia ini. Akibatnya, manusia berlomba-lomba mengejar kenikmatan dunia. Makan
enak, tidur nyenyak, dan aneka kemewahan materialistik menjadi cita-cita
manusia. Akhirnya, manusia menjadi biadab, tidak berbudaya.
Pelaku Pendidikan: Pendidik dan Anak Didik
Penggunaan Neo-Thomisme
sebagai landasan filsafat pendidikan mempengaruhi pembentukan pribadi pendidik
dan anak didik. Karakteristik pendidik dan anak didik menurut pandangan
neo-thomisme sebagai berikut: (1) Bertumbuh seimbang dalam pengembangan akal
dan iman. (2) Maksimal dalam pertumbuhan intelektual sehingga bukan hanya
memahami hal-hal yang duniawi namun juga rohani. (3) Menjaga etika dengan
menghormati hukum-humum moral universal sebagai hukum kodrat yang harus
ditaati. (4) Memiliki kepekaan dalam hati nurani dan suara hati sehingga selalu
hidup dalam jalan-jalan moral yang baik.
Dengan demikian, Pendidikan yang unggul dan komprehensif
akan dapat berfungsi memberikan pencerahan (enlightment)
kehidupan dengan membangun multi-kecerdasan pada diri para murid sebagai
berikut:[260] (1) Kecerdasan spiritual, yaitu memiliki pengetahuan
yang enar mengenai hakikat asal mula, tujuan, dan eksistensi kehidupan sehingga
memiliki filsafat hidup spiritual-metafisis. (2) Kecerdasan intelektual, yaitu
menguasai sains secara rasional, tajam, kreatif, dan inovatif. (3) Kecerdasan
emosional, yaitu memiliki pertumbuhan dalam mentalitas dan karakter yang unggul
sebagai mahluk individu dan makhluk sosial yang bertaggung jawab.
Kurikulum Pendidikan
Mengacu pada
Neo-Thomisme, bahan-bahan ajar dalam pendidikan perlu mencakup topik-topik
sebagai berikut: (1) Sains, baik ilmu pengetahuan
alam maupun ilmu pengetahuan sosial. (2) Filsafat,
pemikiran-pemikiran filosofis dan pola-pola pikir rasional yang logis. (3) Teologi, pelajaran-pelajaran agama yang dikemas
secara ilmiah (akademis). (4) Etika, pengetahuan tentang moral dan nilai-nilai
kebudayaan.
Bagi pendidikan sekuler masa kini, pemakaian
Neo-Thomisme menolong supaya pendidikan tidak terjerat pada ateisme karena
tetap menekankan iman kepada Tuhan. Kecuali itu, Neo-Thomisme juga menjaga
pengembangan pendidikan untuk tidak menjadi post-modernistik yang tidak menghargai
meta-narasi. Posmodernisme adalah pemikiran tentang pluralisme kebudayaan yang
bersifat relativistik.[261]
Sedangkan meta-narasi adalah kebenaran-kebenaran universal seperti halnya
filsafat dan agama.[262]
Metode Pendidikan
Penggunaan
Neo-Thomisme sebagai dasar filsafat mempengaruhi pemilihan metode-metode yang
akan dipakai dalam proses belajar-mengajar. Metode-metode yang sesuai adalah
sebagai berikut: (1) Metode-metode yang menggunakan kreatifitas akali, misalnya
diskusi ilmiah dan penelitian ilmiah. (2) Metode-metode yang memancing
kreatifitas, misalnya metode penemuan gagasan baru dan studi kasus.
Sesuai pengajarannya yang mengatakan bahwa hal-hal
rohani dapat dipahami melalui pemikiran rasioal, metode-metode ilmiah dapat
dipakai untuk menjelaskan hal-hal rohani. Sebagai contoh, untuk menjelaskan
sorga atau neraka, dapat dipakai metode-metode dan juga alat-alat peraga yang
rasional.
Neo-Thomisme dan PAK
Karya-karya Thomas Aquinas
diakui sebagai karya-karya terpenting dari seluruh kesusastraan Kristiani.[263] Semua karyanya dikumpulkan dalam 34 jilid. Karya
utamanya adalah Summa Theologiae I-III, tetapi untuk penerapannya dalam Pendidikan
Agama Kristen (PAK), harus ditinjau secara kritis dari sudut pandang Alkitab
tanpa mengurangi apresiasi terhadap kontribusinya dalam kesusastraan Kristiani.
Konsep PAK
Untuk melihat bagaimana posisi PAK terhadap filsafat (dan
juga sains), harus dipahami terlebih dahulu konsep tentang PAK itu sendiri. Werner
Graendorf memberi gambaran sebagai berikut:
Pendidikan Kristen adalah
proses belajar-mengajar yang berdasar Alkitab, dikuatkan [didorong] oleh Roh
Kudus, yang membimbing orang percaya dalam setiap tahapan pertumbuhan
rohaninya, melalui pengajaran yang kontemporer; yang mengarah pada pemahaman
dan pengalaman akan tujuan dan rencana Tuhan di dalam Kristus dalam setiap
aspek kehidupan, dan yang memperlengkapi mereka (anak didik) untuk melayani
secara efektif; dengan berpusat pada Kristus sebagai Guru Agung dan perintah
untuk melakukan pemuridan).[264]
Meskipun
PAK merupakan proses pendidikan kontemporer, ciri yang membedakan dengan
pendidikan sekuler, salah satunya, adalah penggunaan Alkitab sebagai dasar
pengetahuan. Alkitab bukan hanya sebagai bahan ajar namun sumber dari segala
sumber pengatahuan atau epistemology yang dipegang.
Dengan
demikian PAK yang Alkitabiah tidak dibangun di atas dasar filsafat yang
merupakan buah pikiran manusia. Namun, dasar PAK adalah Alkitab yang adalah
buah pikiran Tuhan. PAK bertolak dari prinsip bahwa Alkitab adalah Firman Tuhan
tanpa salah (inerrancy).
Tinjauan Alkitab terhadap Neo-Thomisme
Merunut dari prinsip di atas,
Neo-Thomisme yang merupakan bentuk filsafat, merupakan buah pikiran manusia.
Thomisme sendiri merupakan pengembangan pemikiran dari filsafat Aristoteles.
Meskipun bukan tidak mungkin Aquinas menerima penerangan (iluminasi) Roh Kudus
pada saat melakukan perenungan filsafat, harus dipegang prinsip bahwa
Neo-Thomisme bukanlah Firman Tuhan.
Karena itu, meskipun mengapresiasi
pemikiran Neo-Thomisme, para pendidik dalam PAK perlu mengkritisi pemikiran
tersebut. Pemikiran-pemikiran Neo-Thomisme yang pararel dengan Alkitab bisa
diadopsi. Namun, beberapa hal lain harus ditinjau ulang dan dikoreksi. Sebagai
contoh, adalah pemikiran tentang penciptaan dan tentang hakikat mansia.
Penciptaan
Kosmos
Aquinas
mengajarkan prinsip ”creatio ex nihilo”,
artinya adalah ”penciptaan dari yang tidak ada menjadi ada”. Pandangan ini
sangat Injili, waktu Allah menciptakan, Ia tidak memakai sesuatu bahan yang
telah ada, sebelum penciptaan tak ada fenomena keberadaan apapun.[265]
Prinsip penciptaan itu terungkap jelas dalam kitab Kejadian. Kata bara yang dipakai dalam Kejadian 1:1,
21, 27 tidak mengandung pengertian memakai maeri yang telah ada. Kata bara sama dengan asa yang berarti melakukan atau membuat (Kej. 1:25; Kel. 20:11; Neh.
9:6).
Dengan demikian
Neo-Thomisme memberi sumbangsih besar bagi penumbuhan iman tentang Tuhan Sang
Pencipta. Ajaran Thomas Aquinas ini perlu dijadikan referensi baik di dalam
pendidikan sekuler maupun dalam PAK. Ini merupakan pengakuan filsafat (pikiran
rasional) terhadap kebenaran Alkitab-Firman Tuhan.
Hakikat Manusia
Padangan
Neo-Thomisme tentang manusia perlu dikritisi secara mendalam menurut perspektif
Alkitab. Harus diwaspadai bahwa ajaran Thomisme bertolak dari ajaran
Aristoteles tentang dikotomi manusia: jiwa dan tubuh. Neo-Thomisme pada
dasarnya merupakan pemikiran Katolik. Konsentrasi pada masalah dikotomi (jiwa
dan tubuh) ini menyembabkan tumbuhnya pemikiran baru tentang trikotomi
(roh-jiwa-tubuh). Menurut Charles Ryrie, pandangan dikotomi (jiwa-tubuh) dan
trikotomi (roh-jiwa-tubuh) mempunyai banyak kekurangan, yang tepat adalah
pandangan bahwa manusia terdiri dari dua segi (segi materi dan segi rohani).[266]
Selanjutnya, segi rohani manusia itu
sangat kompleks, mancakup unsur-unsur sebagai berikut:[267] (1) Jiwa
(nefesy), pusat berbagai pengalaman
rohani dan emosi. (2) Roh (ruakh, pneuma), mengacu pada totalitas dari manusia. (3) Hati,
wadah kehidupan intelektual, emosi, kemauan. (4) Hati nurani (kesadaran),
seperti ”saksi” dalam diri seseorang yang memberitahukan bahwa orang tersebuh
harus melakukan apa yang benar dan menghindari yang salah. (5) Pikiran (fronei, neous, sunesis), kemampuan
mengenal, menganalisis, menilai, dan juga mengambil keputusan. (6) Kehendak, kemauan,
keinginan.
Masalah Akal dan Iman
Kontribusi besar Thomas Aquinas adalah usaha untuk
mempertmukan antara akal dan iman. Bahwasanya hal-hal yang imani sesungguhnya
dapat dipahami secara rasional. Pada tataran tertentu, filsafat seperti itu
akan menjaga seseorang untuk tidak menjadi ateis setelah belajar banyak tentang sains. Namun, pada titik
tertentu, itu bisa mereduksi kualitas iman Kristen.
Hal-hal rohani yang imani tidak selamanya selalu dapat
diterangkan secara rasional. Usaha merasionalisasikan hal-hal yang hanya bisa
dipahami secara iman seringkali justru mereduksi iman Kristen. Sebagai contoh,
ada usaha untuk menjelaskan (secara rasional) tentang mujizat. Misalnya, tembok
Yeriko runtuh karena teriakan orang-orang Isreal pada waktu itu begitu nyaring
(mencapai sekian desibel) sehingga menimbulkan getaran kuat yang akhirnya
merobohkan tembok. Penjelasan seperti itu justru mengurangi iman bahwa robohnya
tembok saat itu adalah karena mujizat Tuhan. Mujizat Yesus memberi makan pada
5000 orang dengan modal 5 ekor ikan dan 2 ketul roti juga pernah dicoba
dijelaskan secara ilmiah. Menurut para sosiolog, multiplikasi makanan itu
terjadi karena ketika Yesus menunjukkan kepada khalayak tentang keberadaan 5
ekor iman dan 2 ketul roti itu, tumbuhlah jiwa sosial dan kepedulian sosial
sehingga banyak orang mengeluarkan bekal makanan masing-masing. Nah, setelah
terjadi panggalangan makanan, akhirnya bisa memberi makan untuk 5000 orang.
Penjelasan semacam ini justru meniadakan arti pentingnya mujizat. Demikian juga
penjelasan tentang mengapa Petrus dapat berjalan di atas air. Kalau itu
dijelaskan karena adanya faktor kadar garam tinggi (seperti pada Laut Mati)
berarti menihilkan arti mujizat supranatural yang telah terjadi.
Dengan demikian, keselarasan antara akal dan iman tidak
selamanya harus dipaksakan. Ada hal-hal rohani yang memang bisa dipahami secara
akal budi. Namun ada banyak hal yang hanya bisa diterima dengan iman tanpa
harus dikritisi secara rasional.
Dalam pandangan
Alkitabiah, iman itu berbeda dengan akal, seperti terjelaskan melalui tabel sebagai
berikut:
Perbedaan antara Akal dan Iman
Akal |
Iman |
·
Asal = Pikiran otak manusia ·
Memakai logika dan prosedu ilmiah ·
Analisis empiris-skeptif, membuktikan kebenaran berdasar fakta ·
Spirit: bertanya dan meragukan segala sesuatu |
·
Asal = Tuhan, Firman Tuhan (Rm. 10:17) ·
Tidak memerlukan bukti fakta (Rm. 4:18; Ibr. 11:1) ·
Spirit : menerima pewahyuan (Firman, Alkitab) sebagai kebenaran tanpa
perbantahan dan keraguan |
Filsafat Pendidikan Pragmatism (Experimentalism)
Pragmatisme[268]
merupakan sistem filsafat yang dibangun 100 tahun lalu dipandang sebagai filsafat Amerika asli. George F. Kneller mengatakan sebagai filsafat
pribumi orang-orang Amerika.[269]
Sebenarnya bahwa pragmatisme berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang
berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami.[270]
Pragmatisme berasal dari akar kata bahasa
Yunani, artinya “work”. Banyak definisi yang muncul, antara lain sebagai
berikut: Pragmatisme adalah “a philosophy
that encourages us to seek out the processes and do the things that work best
to help us achieve desirable ends”.[271]
William James mendefinisikan sebagai “the
attitude of looking away from first things, principles, categoies, supposed
necessities; and of looking towards last things, fruits, consequences, facts”.[272] Sedangkan Charles S. Pierce mengatakan bahwa pragmatisme merupakan kesatuan
kerja antara pikiran, perbuatan, dan intelek. Ia mengatakan: “pikiran itu hanya
berguna bagi manusia apabila pikiran itu “bekerja” yaitu memberikan pengalaman
(hasil) baginya. Fungsi berpikir tidak lain daripada membiasakan manusia untuk
berbuat. Perasaan dan gerak jasmaniah (perbuatan) adalah
manifestasi-manifestasi yang khas dari aktivitas manusia, dan kedua hal itu
dapat dipisahkan dari kegiatan intelek (berpikir). Jika dipisahkan, perasaan
dan perbuatan menjadi abstrak dan menyesatkan manusia.[273]
Berkaitan hal ini, George R. Knight mengatakan
bahwa pragmatisme menekankan pada pengetahuan yang empiris, merubah dunia
bersama persoalan-persoalannya, dan sifatnya sebagai “all
inclusive reality beyond which their faith in science would not allow them to
go”.[274]
Kata kunci untuk menjelaskan pragmatisme
adalah “experience” (pengalaman).[275]
Pengalaman itu apa yang diperbuat manusia, dilakukan, dan dipikirkan. Dalam hal
ini, maka John Dewey mengatakan bahwa pengalaman adalah “body of information
and skills we apply intelligently to inquiry”.[276]
Tetapi, George R. Geiger mengatakan kunci pragmatisme adalah teori
pengetahuan dan nilai.[277]
Tokoh-tokoh Pragmatism:[278]
Francis Bacon (1561-1626) “a New Way of Thinking”
John Locke (1632-1704) “The Centrality of Experiencee”
Jean-Jacques Rousseau (1712-1778)
Auguste Comte (1798-1857) “Science and Society”
Charles Darwin (1809-1882)
Charles Sanders Peirce (1839-1914) “The American Pragmatists”
William James (1842-1910)
John Dewey (1859-1952)
Realitas, Pengetahuan, dan Nilai
Ada beberapa hal yang menjadi puncak pemikiran
pragmatisme adalah: realitas, pengetahuan dan nilai. “Realitas” merupakan
interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Manusia dan lingkungannya
berdampingan, dan memiliki tanggung jawab yang sama terhadap realita. Dunia akan bermakna sejauh manusia mempelajari makna yang terkandung di
dalamnya. Perubahan merupakan esensi realitas, dan manusia harus siap mengubah
cara-cara yang akan dikerjakannya. Manusia pada hakekatnya plastis dan dapat
berubah. “Pengetahuan” merupakan akal
manusia aktif dan selalu ingin meneliti, tidak pasif dan tidak begitu saja
menerima pandangan tertentu yang belum dibuktikan kebenarannya secara empirirs.
Pikiran (rasio) tidak bertentangan dan tidak terpisah dari dunia, melainkan
merupakan bagian dari dunia. “Nilai” itu
relative. Keindahan-keindahan moral dan etik tidak tetap, melainkan harus
berubah, seperti perubahan kebudayaan dan masyarakat. Pragmatis menyarankan
untuk menguji kualias nilai dengan cara yang sama seperti seseorang menguji
kebenaran pengetahuan dengan metode empiris.
Nilai moral maupun etis akan terlihat dari perbuatannya, bukan dari segi
teorinya. Jadi pendekatan nilai adalah cara empiris berdasarkan
pengalaman-pengalaman manusia, khususnya kehidupan sehari-hari.[279] Berkaitan hal tersebut, maka George Kneller
mengatakan ada empat point prinsip pragmatisme sebaga berikut: (1) the reaity of change, (2) the essentially social and biological nature
of man, (3) the relativity of values,
dan (4) the use of critical intelligence.[280]
Selanjutnya Redja Mudyahardjo menguraikan
tentang filsafat pragmatisme mencakup sebagai berikut: pertama, metafisika dengan catatan: (1) Anti metafisika: suatu
teori umum tentang kenyataan tidaklah mungkin dan juga tidak perlu. (2)
Kenyataan yang sebenarnya adalah kenyataan fisik. (3) Segala sesuatu dalam alam
dan kehidupan adalah berubah. Hakikat segala sesuatu adalah perubahan itu
sendiri. (4) Hidup adalah sebuah proses pembaharuan diri sendiri yang terus
berlangsung dalam interaksinya dengan lingkungan. Kedua, adalah epistemology, mencakup: (a) Pengetahuan adalah
relatif, dan terus berkembang. Pengetahuan yang benar diperoleh melalui
pengalaman. (b) Karakteristik pengalaman adalah pengalaman pertama-tama
merupakan peristiwa pasif-aktif, dan mengukuran nilai suatu pengalaman terletak
pada persepsi hubungan-hubungan atau kontinuitas-kontinuitas yang menyebabkan
pengalaman tersebut meningkat. (c) Pengetahuan yang benar adalah pengalaman
yang berguna kehidupan. Ketiga,
adalah aksiologi adalah ukuran tingkah laku perseorangan dan sosial ditentukan
secara eksperimental dalam pengalaman-pengalaman hidup. Dengan demikian tidak
ada nilai absolute.[281]
Kebenaran
Teori Pragmatisme (pragmatism theory) merupakan salah satu dari teori kebenaran. Pragmatisme
berpendapat bahwa kebenaran tidak bisa bersesuaian dengan kenyataan,
sebab seseorang hanya bisa mengetahui dari pengalamannya saja. Pragmatisme
berpendirian bahwa mereka tidak mengetahui apapun (agnostik) tentang wujud, esensi, intelektualitas, dan rasionalitas.
Oleh karena itu, pragmatisme menentang otoritarianisme, intelektualisme, dan
rasionalisme. Penganut pragmatisme merupakan penganut empirisme yang fanatik
untuk memberikan interpretasi terhadap pengalaman. Menurut pragmatisme, tidak
ada kebenaran yang mutlak dan abadi. Kerbenaran ini dibuat dalam proses
penyesuaian manusia.[282] Schiller, pengikut pragmatisme di Inggris,
mengemukakan bahwa kebenaran merupakan suatu bentuk nilai, artinya apabila
seseorang menyatakan benar terhadap sesuatu, berarti ia memberikan penilaian
terhadapnya. Istilah benar adalah suatu pernyataan yang berguna, sedangkan
istilah salah merupakan pernyataan yang tidak berguna.[283]
Ernest E. Bayles mengatakan kebenaran adalah “one of the great concerns of man is to obtain
insights that are true”[284]
tetapi kebenaran harus diuji melalui interaksi dan melalui pengalaman.
Teori
Pragmatis tentang kebenaran mengatakan bahwa sesuatu itu dianggap benar jika
berdasarkan nilai manfaat dari pengetahuan atau kebenaran itu sendiri dalam
kehidupan sehari-hari. Contoh: orang perlu percaya kepada Yesus karena ada
dampak dalam kehidupan. Yesus membuat mampu orang yang percaya menghadapi
masalah secara berkemenangan.
Pragmatisme tentang Pendidikan
Pragmatisme sangat mempengaruhi pada abad 21
dalam pespektif teori dan praktek. Bahkan juga sangat mempengaruhi dunia
pendidikan, secara langsung maupun tidak langsung, melalui perumusan kembali
sistem pendidikan, pendidikan masa depan, dan pendidikan kemanusiaan. Contohnya
pragmatisme pendidikan mempengaruhi sebagian besar pendidikan di Amerika dengan gagasan adalah
“yang menanggapi kepentingan masyarakat sebagai unsur terpenting dalam
pendidikan. Inilah yang dinamakan pendidikan yang community-centered, dimana diusahakan agar peserta didik mempunyai
pengertian yang baik-baiknya mengenai alam sekelilingnya dan juga agar pada
diri peserta didik terpupuk rasa cinta dan setia pada cita-cita demokrasi
sebagaimana dijunjung tinggi dan dipraktekan di negerinya. Dan menjadi ciri
khas pendidikan di Amerika yaitu bahwa titik berat pengajaran terletak pada
belajar dalam kumpulan (kelompok) dan kerjasama. Yang dipelajari biasanya
adalah suatu topik.”[285]
Berkaitan di atas, maka John Dewey
(1859-1952), salah pendiri filsafat pragmatisme Amerika (selain Charles Sandre Peirce; 1839-1914 dan William James; 1842-1910), yang
mengembangkan teori pendidikan dalam perspektif pragmatisme. Ia mengatakan
bahwa pendidikan adalah konservatif dan “unfolding theory” (teori pemerkahan).[286]
Konservatif mengatakan bahwa pendidikan adalah
sebagai suatu pembentukan terhadap pribadi anak didik tanpa memperhatikan kekuatan-kekuatan atau
potensi-potensi yang ada dalam diri anak didik.
Pendidikan akan menentukan segalanya. Hal itu dikarenakan pendidikan
merupakan suatu proses pembentukan jiwa dari luar, di mana mata pelajaran telah
ditentukan menurut kemauan pendidik, sehingga anak didik tinggal menerima saja.[287]
“Unfolding theory” adalah anak akan
berkembangn dengan sendirinya, di mana perkembangan anak didik telah memiliki
tujuan yang pasti. Tujuan yang dimaksud selalu digambarkan sebagai suatu yang
lengkap dan pasti.[288]
Proses Pendidikan
Pemahaman-pemahaman pendidikan di atas, bagi
pragmatisme, perlu melalui proses pendidikan dengan memperhatikan dua segi,
yaitu: psikologi dan sosiologis. Dari segi psikologis, pendidik harus dapat
mengetahui tenaga-tenaga atau daya-daya yang ada pada anak didik yang akan
dikembangkan. Psikologinya seperti yang berpengaruh di Amerika, yaitu
psikologis, pendidik harus mengetahui ke mana tenaga-tenaga itu harus
dibimbingnya. Dewey mengatakan bahwa tenaga-tenaga itu harus diabadikan pada
kehidupan sosial, jadi mempunyai tujuan sosial. Maka pendidikan adalah sosial
dan sekolah adalah suatu lembaga sosial. Pendidikan adalah alat kebudayaan yang
paling baik. Dengan pendidikan sebagai alat, manusia dapat menjadi “The Master,
not the slaves of social as well as other kinds of natural change”.[289]
Kedudukan Pendidikan
Pragmatisme mempunyai model-model kedudukan
pendidikan. Dewey melihat bahwa kedudukan pendidikan bisa dilihat dari berbagai
model sebagai berikut:[290]
Pertama, adalah education as a necessity of life. Pendidikan berorientasi kepada
kebutuhan hidup anak didik. Kedua, education as a social fungstion. Pendidikan menyiapkan anak didik dewasa hidup
di tengah sosialnya. Ketiga,
adalah education as direction. Pendidikan mengarahkan pencapaian tujuan
anak didik pada kehidupan masa depan yang telah direncanakan. Keempat, education as growth. Pendidikan mengarahkan anak didik menjadi
bertumbuh dalam segala hal khusunya dalam aspek psikologis dan sosiologis. Kelima,
adalah education as preparation.
Pendidikan membentuk karakter-karakater yang lemah menjadi kuat dan yang kuat
menjadi berprestasi. Keenam, adalah education
as unfolding. Pendidikan yang menjadikan anak didik berkembang dengan
sendirinya. Ketujuh, adalah education as
training of faculties. Pendidikan yang menyiapkan sumber daya staf. Kedelapan, adalah education as formation. Pendidikan yang membentuk formasi yang dibutuhkan oleh tujuan
pendidikan. Kesembilan, adalah education as recapitulation and
retrospection. Pendidikan yang mengarhkan kepada pemikirna-pemikiran
reflektif. Kesepuluh, adalah education
as reconstruction. Pendidika yang mengarahkan pembangunan kembali
dasar-dasar yang dimaksud oleh tujuan pendidikan. Kesebelas, adalah education
as national and as social. Pendidikan yang menyiapkan anak didik siap
mandiri di tengah masyarakat atau sosialnya.
Proses Pendidikan Pragmatisme
Proses pendidikan pragmatisme mencakup
beberapa hal sebagai berikut: tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, metode
pendidikan, pendidik dan anak didik.[291]
Tujuan Pendidikan
Dewey dan paragmatist percaya bahwa “education
is necessity of life”. Pendidikan bukan mempersiapkan seseorang untuk hidup
tetapi ia sendiri adalah hidup. Hidup
anak-anak sebagai anak-anak dan hidup orang dewasa sebagai orang dewasa.
Pendidikan membuat anak-anak hidup dalam lingkungannya dan pendidikan orang dewasa membuat dirinya
tertarik dan memotivasi lingkungannya. Tujuan pragmatisme menolong anak atau
orang dewasa menguasai motivasi diri yang tinggi dan menaklukan lingkungannya.
Dengan demikian bahwa pendidikan dapat menyelesaikan masalah-masalah lingkungan
yang muncul menghadangnya. Pendidikan dapat melakukan transmitted dari generasi ke generasi melalui komunikasi
lingkungan, aktifitas, pemikiran dan perasaan dari yang tua ke yang muda.[292]
Sidney Hook merumuskan tujuan pendidikan adalah pendidikan untuk bertumbuh
bersama dalam masyarakat demokrasi.[293]
William Heard mengatakan bahwa tujuan
pendidikan: Pertama, adalah
mempersiapkan kesempatan untuk hidup. Kedua,
adalah mempersiapkan belajar berpengalaman. Ketiga,
adalah mempersiapkan pertumbuhan karakter.[294]
Sedangkan George R. Geiger mengatakan
bahwa tujuan pendidikan adalah “change in
the experience and conduct of persons (chiefly, but not necessarily, young
persons) engineered by an organized and conscious group – the oral implications
are indeed staggering”.[295]
Dengan demikian bahwa pendidikan itu sangat
penting karena elemen tujuan pendidikan ada beberapa point sebagai berikut:
pendidikan merupakan kebutuhan untuk hidup, pendidikan sebagai pertumbuhan, dan
pendidikan sebagai fungsi sosial. Karena itu, hendaklah tujuan pendidikan
memperhatikan: Pertama, adalah
ditentukan dari kegiatan yang didasarkan atas kebutuhan instrinsik anak dididk.
Kedua, adalah harus mampu memunculkan
suatu metode yang dapat mempersatukan aktivitas pengajaran yang sedang
berlangsung. Ketiga, adalah spesifik
dan langsung di mana pendidikan harus tetap menjaga untuk tidak mengatakan yang
berkaitan dengan tujuan umum dan tujuan akhir.[296]
Dari pemikiran di atas dapat ditajamkan bahwa
tujuan pendidikan pragmatisme adalah: pertama, pendidikan adalah hidup,
pertumbuhan sepanjang hidup, proses rekonstruksi yang berlangsung terus dari
pengalaman yang terakumulasi dari sebuah proses sosial. Kedua, tujuan pendidikan adalah memperoleh pengalaman yang berguna
untuk memecahkan masalah-masalah baru dalam kehidupan perorangan dan
bermasyarakat. Ketiga, tujuan
pendidikan tidak ditentukan dari luar kegiatan pendidikan, tetapi terdapat
dalam setiap proses pendidikan. Oleh karena itu, tidak ada tujuan pendidikan
umum pendidikan atau tujuan akhir pendidikan.
Kurikulum Pendidikan
Kurikulum pragmatisme menekankan pada pengalaman sosial. Kurikulum
bukan berisi mengenai fakta-fakta, ide-ide atau isi pengetahuan, tetapi
pengalaman yang berkelanjutan baik dalam kelas maupun di luar kelas. Kurikulum selalu mengarah pada perubahan dan
menjadi jalan pemecahan bagi perbagai persoalan hidup.[297] Dewey mengatakan bahwa kurikulum bergantung pada definisinya tentang
pendidikan dan pandanganya tentang tujuan pendidikan. Istilah pendidikkan
berkenan dengan proses pemberian “impulse” dan tujuannya adalah meningkatkan
lembaga-lembaga yang membentuk masyarkat. Isi kurikulum adalah mata
pelajaran-mata pelajaran yang memberikan “impulse” kepada anak didik. Isi
tersebut meliputi managemen dan pelaksanaan perusahaan dan industri, IPS dan
IPA, mata pelajaran liberal dan klasikal humanistik dan kesenian. Semua mata
pelajaran diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan.[298] Dengan demikian maka kurikulum mencakup
sebagai berikut: pertama, kurikulum
berisi pengalaman-pengalaman yang telah teruji serta minat-minat dan
kebutuhan-kebutuhan anak didik. Hal terakhir yang menyebabkan perlunya sekolah
membuat kurikulum darurat untuk memenuhi minat dan kebutuhan anak didik. Kedua. pendidikan umum yang
menghilangkan pemisah antara pendidikan umum dan pendidikan praktis.
Kurikulum yang bagus adalah type “core
curriculum” ialah sejumlah pengalaman belajar di sekitar kebutuhan umum. Oleh
karena tidak adanya standar yang universal, maka kurikulum harus terbuka dari
kemungkinan untuk dilakukan peninjauan dan penyempurnaan.[299]
Karena itu, sifat kurikulum haruslah fleksibilitas. Dengan demikian, maka kurukulum dapat membuka kemungkinan bagi pendidikan untuk memperhatikan tiap anak
didik dengan sifat-sifat dan kebutuhannya masing-masing. Selain ini semuanya
diharapkan dapat sesuai dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Oleh karena
sifat kurikulum yang tidak beku dan dapat direvisi ini, maka jenis yang memadai
adalah kurikulum yang berpusat pada pengalaman. Jenis ini dilukiskan oleh
Theodore Brameld sebagai kurikulum yang melepaskan semua garis penyekat mata
pelajaran dan menekankan pada unit-unit.[300]
Metode Pendidikan
Metode pendidikan pragmatism adalah berpikir
reflektif atau metode pemecahan masalah yang dihadapinya. Metode tersebut
mempunyai langkah-langkah sebagai berikut: penyadaran suatu masalah, observasi
kondisi-kondisi yang hadir, perumusan
dan elaborasi tetang suatu kesimpulan, dan
pengetesan melalui eksperimen. Berkaitan hal tersebut, Dewey mengatakan
bahwa semua pendidikan yang sejati muncul melalui pengalaman. Meskipun begitu,
maka tidaklah cukup untuk tetap bertahan pada perlunya pengalaman saja dan
tidak juga pada perlunya aktivitas dalam pengalaman, tetapi segala sesuatu
tergantung pada kualitas pengalaman yang dimiliki yang bersangkutan. Jadi,
urusan pendidikan adalah mengatur jenis pengalaman yang, meski pengalaman itu
tidak menarik anak didik, melibatkan aktivitas anak didik yang dirasakan, dan
meningkatkan pengalaman pada masa depan yang diinginkan.[301]
Pendidik dan Anak Didik
Peranan pendidikan dan anak didik merupakan
suatu hal sangat penting dalam proses pendidikan pragmatisme. Kegiatan tersebut
sebagai berikut: pertama, adalah pendidik sebagai
“research-project director” (the chairman
of the board of directors of a learning industry).[302]
Pendidik mengawasi dan membimbing pengalaman belajar tanpa terlampau banyak
mencampuri urusan minat kebutuhan anak didik.Semua itu dikarenakan pendidik
bukan pendidikan yang tradisional melainkan
dia tidak hanya mengetahui yang
anak didik butuhkan untuk masa depannya melainkan ia memberi pengetahuan dasar
kepada anak didik untuk melakukan
perubahan.
Kedua, adalah anak didik adalah suatu organisasi
yang rumit yang mampu tumbuh. George Knight
mengatakan bahwa anak didik
adalah seseorang yang mempunyai pengalaman secara individu yang mampu
menggunakan intelektualnya dalam memecahkan berbagai persoalan.[303]
Pengalaman itu diperoleh dalam pembelajaran kurikulum, lingkungan sekolah,
merumuskan ide-ide dan merumuskan kebenaran yang diterapkan dalam kehidupannya
sehari-hari. Penerapan pengalaman itulah
proses kreatif yang terjadi dalam pembelajaran.[304]
Ketiga, adalah konsep pembelajaran dimulai dari
ketertarikan anak didik terhadap sesuatu yang hendak dibelajarkannya. Sifat
belajar adalah melakukan perubahan tingkahlaku sesuai dengan tujuan yang sudah
ditentukan oleh anak didik. Belajar merupakan proses perubahan untuk mencapai
tujuan yang dimaksud atau yang sudah direncanakan oleh anak didik.[305]
Pendekatan Pengalaman terhadap Persoalan Pendidikan
Pendekatan-pendekatan Pengalaman
Pendekatan-pendekatan pengalaman dapat menolong berbagai persoalan
pendidikan yang sering dihadapinya oleh kelompok-kelompok pluralism, growth,
dan the use of intelligence. Pendekatan pengalaman dapat dilakukan dengan
beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, adalah meletakan konsep perubahan arti dan
akhir dari pendidikan. Pendekatan pengalaman harus dapat melakukan perubahan
dengan leluasa, tanpa diberi beban rintangan di dalamnya.
Kedua, adalah demokrasi pendidikan membuat pendidik
tidak memandang anak didik adalah mempunyai posisi apa, sehingga pluralisme
akan dapat bertumbuh bersama dengan pengalaman-pengalaman yang dimiliki setiap
pembelajaran. Karena demokrasi pendidkan mengasumsikan bahwa semua laki-laki
maupun semua perempuan adalah anak didik. Ernest E. Bayles mendefinisikan
demokrasi adalah: “equality of
opportunity on the part of the members to participate in he establishment of
whatever rules and regulations (or law) are deemed needful, and equality of
obligation to abide by them until they are abolished or changed.”[306]
Obyek demokrasi perlunya fokus terhadap:
belajar berpikir, merefleksikan pemikiran diri sendiri, merefleksikan pengajaran, dan mencari solusi
terhadap berbagai masalah yang dihadapi.
Ketiga, memberi pemahaman arti bahwa pendidikan
liberal yang dianut oleh pragmatisme adalah menolong anak didik berpikir bebas
(terbuka), bukan berpikir dengan rasa takut karena ketidakcocokan pamahaman
dengan pendidiknya atau lingkungannya. Di sini ada toleransi proses
belajar-mengajar yang cukup tinggi antara pendidik dengan anak didik sehingga
terjadi proses kreatifitas berpikir yang meluas dan tajam.[307]
Kriteria Pengalaman
Dewey menekankan kriteria pengalaman sebagai
berikut:[308] pertama, adalah kategori kesinambungan
atau rangkaian kesinambungan pengalaman (experinal
continuum). Prinsip ini dilibatkan karena ada usaha untuk memisahkan antara
pengalaman yang secara edukatif bermanfaat dan yang tidak bermanfaat. Prinsip ini bersandar pada fakta kebiasaan
jika kebiasaan ditafsirkan secara biologis. Ciri dasar kebiasaan adalah setiap
pengalaman yang dimainkan dan dialami mengubah orang yang bertindak dan
mengalaminya, sedangkan perubahan itu mempengaruhi, entah seseorang inginkan
atau tidak, kualitas pengalaman berikutnya. Prinsip ini membentukan sikap yang
emosional dan intelektual.
Kedua, adalah
interaksi merupakan prinsip utama untuk menafsirkan pengalaman dalam
fungsi dan daya pendidikan. Ia menetapkan hak-hak yang sama kepada kedua faktor
dalam pengalaman – kondisi obyektif dan internal. Pengalaman yang normal apa pun merupakan
saling pengaruh dari kedua perangkat kondisi ini. Jika keduanya didekatkan,
atau berada dalam interaski, keduanya membentuk apa yang dinamakan “situasi”.
Interaksi sedang terjadi antara individu, benda, dan orang lain. Konsepsi
tentang situasi dan interaksi tidak terjadi antara individu dan apa yang pada
waktu itu merupakan lingkungan, apakah lingkungan itu terdiri atas orang dengan
siapa dia sedang membicarakan topik atau kejadian tertentu.
Dua prinsip kontinuitas dan interaksi satu
sama lain tidak terpisahkan. Boleh dikatakan bahwa mereka merupakan obyek
pengalaman yang bersifat vertikal dan horizontal. Prinsip interaksi menjelaskan
bahwa kegagalannya menyesuaikan materi dengan kebutuhan dan kapasitas individu
dapat menyebabkan pengalaman menjadi sungguh tidak mendidik sebagaimana
gagalnya individu beradaptasi dengan materi. Namun prinsip kontinuitas dalam
aplikasi pendidikan mengandung arti bahwa masa depan harus diperhitungkan pada
setiap tingkat proses pendidikan.
Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
Eksistensialisme, aliran filsafat yang muncul pada abad XX adalah pahamnya berpusat
pada manusia individu yang
bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam
mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui
mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan
karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
Eksistensialisme adalah salah
satu aliran besar dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat Barat.
Eksistensialisme mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu
dihadirkan lewat kebebasan. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan
eksistensialisme adalah melulu soal kebebasan. Apakah kebebasan itu? Bagaimanakah
manusia yang bebas itu? dan sesuai dengan doktrin utamanya yaitu kebebasan,
eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan
kecuali kebebasan itu sendiri.
Berkaitan di atas, maka Jean-Paul
Sartre, yang terkenal dengan diktumnya "human is condemned to be
free" mengatakan bahwa manusia dikutuk untuk bebas, maka dengan
kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Pertanyaan yang paling sering
muncul sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah: sejauh mana kebebasan tersebut bebas? Apakah eksistensialisme mengenal
"kebebasan yang bertanggung jawab"? Bagi eksistensialis, ketika
kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari
kebebasan dari setiap individu adalah kebebasan individu lain. Tetapi bukan melulu harus menjadi seorang
yang lain-daripada-yang-lain, Eksistensialis sadar bahwa keberadaan dunia
merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi bukan membuat
sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme.
Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung
jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme. Sebagai contoh:
seseorang akan terjun ke berbagai profesi seperti: dokter, desainer, insinyur,
pebisnis dan sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah:
apakah kita menjadi dokter atas
keinginan orang tua, atau keinginan sendiri.
Tokoh-tokoh
Existentialism:[309]
Soren Kierkegaard (1813-1855)
Martin Buber (1878-1965)
Martin Heidegger (1889-1976)
Jean-Paul Sartre (1905-1980)
Existentialism in Modern Life:
Edmud Husserl (1859-1938)
Maurice Merleau-Ponty (1908-1961)
Pokok
Pemasalahan
1. Apa
filsafat eksistensialisme itu?
2. Bagaimana
ciri-cirinya?
3. Apa
saja konsep-konsep yang ditawarkan filsafat eksistensialisme?
4. Siapa
saja tokoh-tokohnya?
5. Bagaimana
implikasinya terhadap pendidikan?
Ciri-
ciri Eksistensialisme
Meskipun
terdapat perbedaan-perbedan yang besar antara para pengikut aliran ini, tetapi
ada tema-tema yang sama sebagai ciri
khas aliran Eksistensialisme sebagai berikut:
1.
Eksistensialisme
adalah pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan masyarakat modern,
khususnya terhadap idealisme Hegel.
2.
Eksistensialisme
adalah suatu proses atas nama individualis terhadap konsep-konsep, filsafat
akademis yang jauh dari kehidupan konkrit.
3.
Eksistensialisme
juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa kepribadian)
dari zaman industri modern dan teknologi, serta gerakan massa.
4.
Eksistensialisme
merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fasis,
komunis, yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan di dalam
kolektif atau massa.
5.
Eksistensialisme
menekankan situasi manusia dan prospek (harapan) manusia di dunia.
6.
Eksistensialisme
menekankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang
dalam dan langsung.
Konsep-konsep
Filsafat Eksistensialisme
Realitas
Eksistensialisme merupakan filsafat yang memandang segala
gejala berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara manusia berada di
dunia. Cara berada manusia berbeda dengan cara beradanya benda-benda materi.
Keberadaan benda-benda materi berdasarkan ketidaksadaran akan dirinya sendiri,
dan juga tidak terdapat komuikasianatara satu dengan yang lainnya. Tidak
demikian halnya dengan beradanya manusia. Manusia berada bersama dengan manusia
lainnya sama sederajat.. benda-benda materi akan bermakna karena manusia.
Eksistensialisme
berasal dari pemikiran Soren Kierkegaard. Inti masalah yang menjadi pemikiran
eksistensialisme adalah sekitar adalah: Apa kehidupan manusia? Apa pemecahan
yang konkret terhadap persoalan makna “eksis“ (berada)?
Bagi
ekistensialisme, benda-benda materi, alam fisik, dunia yang berada di luar
manusia tidak akan bermakna atau tidak memiliki tujuan apa-apa kalau terpisah
dengan manusia. Jadi dunia ini bermakna karena manusia. Eksistensialisme
mengakui bahwa apa yang dihasilkan sains cukup asli, tetapi tidak memiliki makna kemanusian secara
langsung.
Di antara pandangan eksistensialisme sebagai berikut: (a) Motif pokok dari flsafat
eksistensialisme adalah apa yang disebut ‘eksistensi’, yaitu cara manusia
berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Pusat perhatian ini ada pada
manusia. Oleh karena itu, bersifat humanistis. (b) Bereksistensi harus
diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan didinya secara
aktif, berbuat, menjadi, dan merencanakan. (c) Manusia
dipandang sebagai makhluk terbuka, realitas yang belum selesai, yang masih
dalam proses menjadi. Pada hakikatnya manusia teriakat pada dunia sekitarnya,
terlebih lagi terhadap sesama manusia. Eksistensialisme
memberi tekanan pada pengalaman yang konkrit, pengalaman yang eksistensial.
Pengetahuan
Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi
oleh filsafat fenomenologi, suatu pandanga yang menggambarkan penampakan
benda-benda dan peristiwa-peristiwa sebagaimana benda-benda tersebut
menampakkan dirinya terhadap kesadaran manusia. Pengetahuan manusia tregantung
pada interpretasi manusia terhadap realitas.
Pengetahuan yang diberikan di sekolah bukan sebagai alat
untuk memperoleh pekerjaan atau karir anak, melainkan untuk dapat dijadikan
alat untuk merealisasikan diri, bukan merupakan suatu disipilin yang kaku di
mana anak harus patuh dan tunduk terhadap isi pelajaran tersebut. Biarkanlah
pribadi anak berkembang untuk menemukan kebenaran-kebenaran dalam kebenaran.
Nilai
Pemahaman
eksistensialisme terhadap nilai, menekankan kebebasan dalam tindakan. Kebebasan
bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan merupakan
suatu potensi untuk suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, tetapi
menentukan pilihan-pilihan di antara
pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang paling sukar. Berbuat akan
menghasilkan akibat, di mana seseorang harus menerima akibat-akibat tersebut
sebagai pilihannya. Kebebasan tidak pernah selesai, karena setiap akibat akan
melahirkan kebutuhan untuk pilihan berikutnya. Tindakan moral mungkin dilakukan
untuk moral itu sendiri, dan mungkin juga untuk suatu tujuan. Apabila seseorang
mengambil tujuan kelompok atau masyarakat, maka ia harus menjadikan
tujuan-tujuan tersebut: sebagai
miliknya, sebagai tujuannya sendiri, yang harus ia capai dalam setiap situasi.
Jadi, tujuan diperoh dalam situasi.
Pemikiran
Ringkas Tokoh Eksistensialisme
Adapun pemikiran
ringkas para tokoh aliran filsafat eksistensialisme sebagai berikut:
1.
Soren Aabye Kiekeegaard: Inti
pemikirannya adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi
senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu
kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus
ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa
yang ia anggap kemungkinan.
2.
Friedrich Nietzsche: Menurutnya,
manusia yang berkesistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk
berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa
manusia harus menjadi manusia super (uebermensh)
yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat
dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih
aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.
3.
Karl Jaspers: Memandang
filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri.
Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan semua
pengetahuan obyektif serta mengatasi pengetahuan obyektif itu, sehingga manusia
sadar akan dirinya sendiri. Ada dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi
dan transendensi.
4.
Martin Heidegger: Inti
pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala
sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri,
dan benda-benda yang ada diluar manusia baru mempunyai makna apabila dikaitkan
dengan manusia karena itu benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan
manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.
5.
Jean Paul Sartre: Menekankan pada
kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk
menentukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah
makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri.
Eksistensialisme
dalam Pendidikan
Dalam
Konteks Relative
1.
Secara relative,
eksistensialisme tidak begitu dikenal
dalam dunia pendidikan, tidak menampakkan pengaruh yang besar pada sekolah. Sebaliknya, penganut eksistensialisme kebingungan
dengan apa yang akan mereka temukan melalui pembangunan pendidikan. Mereka
menilai bahwa tidak ada yang disebut pendidikan, tetapi bentuk propaganda untuk
memikat orang lain.
2.
Mereka menunjukkan bahwa bagaimana pendidikan memunculkan bahaya yang nyata.
Sejak penyiapan murid sebagai konsumen atau menjadikan mereka penggerak mesin
pada teknologi industri dan birokrasi modern. Malahan sebaliknya pendidikan
tidak membantu membentuk kepribadian dan kreativitas, sehingga para
eksistensialis mengatakan, sebagian besar sekolah melemahkan dan
mengganggu atribut-atribut esensi kemanusiaan.
3. Mereka mengkritik kecenderungan masyarakat masa kini dan
praktik pendidikan bahwa ada pembatasan realisasi diri karena ada tekanan
sosio-ekonomi yang membuat persekolahan hanya menjadi pembelajaran peran
tertentu.
4.
Sekolah menentukan peran untuk kesuksesan ekonomi seperti: memperoleh
pekerjaan dengan gaji yang tinggi dan menaiki tangga menuju ke kalangan ekonomi
kelas atas; sekolah juga menentukan tujuan untuk menjadi warga negara yang
baik, juga menentukan apa yang menjadi kesuksesan sosial di masyarakat. Siswa
diharapkan untuk belajar peran-peran ini dan berperan dengan baik pula. Dalam
keadaan yang demikian, kesempatan bagi pilihan untuk merealisasikan diri secara
asli dan autentik menjadi hilang atau sangat berkurang.
Dalam
Konteks Filosofis
Secara filosofis, hal tersebut merupakan pemberontakan
terhadap cara hidup individu dalam budaya populer. Harapan kaum
eksistensialis, individu menjadi pusat dari upaya pendidikan. Maka,
sebagaimana dikatakan oleh Van Cleve Morris bahwa penganut eksestensialis dalam
pendidikan lebih fokus untuk membantu secara individual dalam merealisasikan
diri secara penuh melalui beberapa pernyataan berikut:
1. Saya sebagai wakil dari kehendak, tidak sanggup
menghindar dari kehendak hidup yang telah ada.
2. Saya sebagai wakil yang bebas, bebas mutlak dalam
menentukan tujuan hidup.
3.
Saya wakil yang bertanggung jawab, pribadi yang terukur untuk memilih secara
bebas yang tampak pada cara saya menjalani hidup.
Dalam
Konteks Psikologi
Dalam
konteks psikologi pendidikan menekankan keuntungan dari “diri sendiri” (self)
sebagai berikut:
1.
I am a choosing
agent, unable to avoid choosing my way through life.
2.
I am a free
agent, absolutely free to set the goals of my own life.
3.
I am a
responsible agent, personally accountable for my free choices as they are
revealed in how I live my life.[310]
Dalam
konteks inilah, maka guru menciptakan suasana belajar bukan hanya di kelas saja
tetapi juga dibawa ke rumah di mana secara individu murid terus menerus belajar
untuk mengembangkan dirinya sendiri (self) di mana ia berada.
Dalam
Konteks Pendidikan
Beberapa
implikasi filsafat pendidikan eksistensialisme menurut Power:
1. Tujuan pendidikan: Memberi bekal pengalaman yang luas dan
komprehensif dalam semua bentuk kehidupan.
2. Status siswa: Makhluk rasional dengan pilihan bebas dan
bertanggung jwab atas pilihannya.
3. Kurikulum: Yang diutamakan adalah kurikulum liberal.
Kurikulum liberal merupakan landasan bagi kebebasan manusia. Oleh karena itu di
sekolah-sekolah diajarkan pendidiakan sosial, untuk mengajar respek (rasa
hormat) terhadap kebebasan untuk semua. Respek kebebasan bagi yang lain adalah
esensial. Kebebasan dapat menimbulkan konflik.
4. Peranan Guru: Melindungi dan memelihara kebebasan
akademik, di mana guru pada hari ini, besok lusa mungkin menjadi murid.
5.
Metode: Tidak ada pemikiran yang mendalam tentang metode, tetapi metode
apapun yang dipakai harus merujuk pada cara untuk mencapai kebahagiaan.
Filsafat Pendidikan Progresivisme
Progresivisme
yang lahir sekitar abad ke-20 merupakan filsafat yang bermuara pada aliran
filsafat pragmatisme yang diperkenalkan oleh William James (1842-1910) dan John
Dewey (1859- 1952), yang menitikberatkan pada segi manfaat bagi hidup praktis.
Prinsip Progressivisme
Progressivisme
mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia
itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi masalah yang
menekan atau mengecam adanya manusia itu sendiri. Prinsip Progressivisme
mengakui dan berusaha mengembangakan asas Progressivisme dalam semua realitas,
terutama dalam kehidupan adalah tetap survive terhadap semua tantangan hidup
manusia dan harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya.
Berhubungan dengan itu progressivisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang
bercorak otoriter, baik yang timbul pada zaman dahulu maupun pada zaman
sekarang.
Pendidikan
yang bercorak otoriter ini dapat diperkirakan mempunyai kesulitan untuk
mencapai tujuan, karena kurang menghargai dan memberikan tempat semestinya
kepada kemampuan-kemampuan tersebut dalam proses pendidikan. Pada hal semuanya
itu ibaratkan motor penggerak manusia dalam usahanya untuk mengalami kemajuan
atau progress. Oleh karena itu kemajuan
atau progress ini menjadi inti perhatian progressivisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu
menumbuhkan kemajuan dipandang oleh progresivisme merupakan bagian-bagian utama
dari kebudayaan.
1.
Progresivisme
dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan
intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, kesejahteraan, mengembangkan
kepribadian manusia.
2.
Dinamakan
eksperimentalisme, karena aliran tersebut menyadari dan mempraktekkan asas
eksperimen yang merupakan untuk menguji kebenaran suatu teori.
3.
Dinamakan
environmetalisme karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu mempengaruhi
pembinaan kepribadian.
Dipengaruhi
Filsafat Pragmatisme
Filsafat
progressivisme dipengaruhi oleh ide-ide dasar filsafat pragmatisme di mana
telah memberikan konsep dasar dengan azas yang utama, yaitu: manusia dalam hidupnya untuk tetap survive
terhadap semua tantangan dan harus
pragmatis memandang sesuatu dari segi manfaatnya. Di sini kita bisa menganggap
bahwa filsafat progressivisme merupakan The
Liberal Road of Culture (kebebasan mutlak menuju kearah kebudayaan)
maksudnya nilai-nilai yang dianut adalah:
1.
bersifat
fleksibel terhadap perubahan,
2. toleran
3. terbuka sehingga
menuntut untuk selalu maju bertindak secara konstruktif,
4.
inovatif
dan reformatif,
5.
aktif
6. dinamis
Untuk
mencapai perubahan tersebut manusia harus memiliki pandangan hidup yang
bertumpu pada sifat-sifat: fleksibel, curious
(ingin mengetahui dan menyelidiki), toleran dan open minded.
Meletakkan
Dasar Pendidikan
Filsafat
progressivisme telah memberikan kontribusi yang besar di dunia pendidikan, di mana
telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada peserta didik.
Anak didik diberikan kebebasan secara fisik maupun cara berpikir, guna
mengembangakan bakat, kreatifitas dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya
tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Berdasarkan
pandangan di atas maka sangat jelas sekali bahwa filsafat progressivisme
bermaksud menjadikan anak didik yang
memiliki kualitas dan terus maju sebagai generasi yang akan menjawab tantangan
zaman peradaban baru.
Pembahasan
Ontologi
Sifat
utama dari pragmatisme mengenai realita. John Dewey, dalam bukunya Creative Intelligence, mengatakan: “….. dengan tepat bahwa tiada teori realita
yang umum.” Di antara kaum pragmatis – jadi progresivis – John Dewey mempunyai
pandangan yang ekstrim, sebab tokoh-tokoh lain tidaklah demikian. Mereka
mengatakan bahwa metafisika itu ada, karena pragmatisme mempunyai konsep
tentang eksistensi. Misalnya, dari sudut eksistensi alam bukanlah diartikan
sebagai pengertian yang substansial, melainkan diartikan atau dipandang dari
sudut prosesnya.
Uraian
di atas menunjukkan bahwa ontologi progresivisme mengandung pengertian dan
kualitas evolusionistis yang kuat. Pengalaman diartikan sebagai ciri dinamika
hidup, dan hidup adalah perjuangan, tindakan dan perbuatan. Manusia akan tetap
hidup berkembang, jika ia mampu mengatasi perjuangan, perubahan dan berani
bertindak. Dengan demikian, maka jelaslah, bahwa selain kemajuan atau progress, lingkungan
dan pengalaman mendapatkan perhatian yang cukup dari progresivisme.
Sehubungan dengan ini, menurut progresivisme, ide-ide, teori-teori atau
cita-cita tidaklah cukup diakui sebagai hal-hal yang ada, tetapi yang ada ini
haruslah dicari artinya bagi suatu kemajuan atau maksud-maksud yang lainnya. di
samping itu manusia harus dapat memfungsikan jiwanya untuk membina hidup yang
mempunyai banyak persoalan dan yang silih berganti.
Ontologi
merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang
paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi
tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang
memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti: Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada
masanya, kebanyakan orang belum membedakan antara penampakan dengan kenyataan.
Thales terkenal sebagai filsuf yang
pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam
yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah
pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu
substansi belaka sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri.
Epistimologi
Epistemologi
(Teori Pengetahuan), dari bahasa Yunani episteme
artinya “pengetahuan” dan logos (kata; pembicaraan; ilmu)
adalah cabang filsafat yang
berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan. Topik
ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam
bidang filsafat, misalnya: tentang apa itu pengetahuan, bagaimana
karakteristiknya, macamnya, hubungannya
dengan kebenaran dan keyakinan. Epistomologi atau Teori Pengetahuan
berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian,
dasar-dasarnya dan pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan
yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia
melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, di antaranya: metode induktif, metode deduktif, metode
positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.
Tinjauan
mengenai realita di atas memberikan petunjuk pragmatisme lebih mengutamakan
pembahasan mengenai epistemologi daripada metafisika. Misal yang jelas adalah
tinjauan mengenai kecerdasan dan pengalaman – yang keduanya tidak dapat
dilepaskan satu sama lain – agar dapat dimengerti arti masing-masing itu.
Pengetahuan
yang merupakan hasil dari aktivitas tertentu diperoleh manusia baik secara
langsung melalui pengalam dan kontak dengan segala realita dalam lingkungan
hidupnya, ataupun pengetahuan yang diperoleh melalui catata-catatan –
buku-buku, kepustakaan.
Selanjutnya
bahwa untuk mengetahui teori pengetahuan yang dimaksud, perlu kiranya menunjau
istilah-istilah dan arti seperti induktif, rasional dan empirik. Induktif
merupakan usaha untuk memperoleh pengetahuan dengan mengambil data khusus
terlebih dahulu dan diikuti dengan penarikan kesimpulan secara umum. Deduktif
adalah sebaliknya, artinya dengan pengetahuan yang diperoleh dengan
berlandaskan ketentuan umum yang berupa postulat –postulat dan spekulatif.
Dalam
epistemologi, rasional berarti suatu pandangan bahwa akal adalah instrument
utama bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan. Empirik adalah sifat pandangan
bahwa persepsi indera adalah media yang memberikan jalan bagi manusia untuk
memahami lingkungan. Fakta yang masih murni saja – yang belum diolah atau
disusun – belum merupakan pengetahuan. Sehingga masih membutuhkan
pengorganisasian tertentu dari “bahan-bahan mentah” tersebut. Selanjutnya bahwa
pengetahuan harus disesuaikan dan dimodifikasi dengan realita baru di dalam
lingkungan. Oleh sebab adanya prisip-prinsip epistemologi tersebut di atas,
progresivisme mengadakan pembedaan anatara pengetahuan dan kebenaran.
Pengetahuan adalah kumpulan kesan-kesan dan penerangan yang terhimpun dari
pengalaman yang siap untuk digunakan. Sedangkan kebenaran ialah hasil tertentu
dari usaha untuk mengetahui, memiliki dan mengarahkan beberapa segmen
pengetahuan agar dapat menumbuhkan petunjuk atau penyelesaian pada situasi
tertentu yang mungkin keadaannya kacau.
Dalam
hubungan ini kecerdasan merupakan faktor utama yang mempunyai kedudukan
sentral. Kecerdasan adalah faktor yang dapat mempertahankan adanya hubungan
anatara manusia dengan lingkungan, baik yang berwujud lingkungan fisik, maupun
kebudayaan atau manusia. Sementara kaum realis modern, pragmatis, empirisis
logis, atau naturalis mengambil tesis falibilistik bahwa pengetahuan adalah
bersifat kontingen dari perubahan serta kebenaran bersifat relatif sesuai
dengan kondisinya. Dari sini, epistemologi adalah bidang tugas filsafat yang
mencakup identifikasi dan pengujian kriteria pengetahuan dan kebenaran.
Pernyataan kategoris yang menyebutkan bahwa “ini kita tahu” atau “ini adalah
kebenaran” merupakan pernyataan-pernyataan yang penuh dengan makna bagi para
pendidik karena sedikit banyak hal tersebut bertaut dengan tujuan pendidikan
yang mencakup pencarian pengetahuan dan perburuan kebenaran.
Axiologi
Aksiologi berasal dari kata “axios” dan “logos”. Axios artinya
nilai atau sesuatu yang berharga, logos artinya akal, teori. Axiology artinya “teori
nilai, penyelidikan tentang kodrat, kriteria dan status metafisik dari nilai”. Nilai
tidak timbul dengan sendirinya, melainkan ada faktor-faktor yang merupakan pra
syarat. Nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa, sehingga memungkinkan
adanya relevansi seperti yang ada dalam masyarakat pergaulan. Oleh karena
adanya faktor-faktor yang menentukan adanya nilai, maka makna nilai itu tidaklah
bersifat eksklusif. Ini berarti berbagai jenis nilai seperti benar atau salah,
baik atau buruk dapat dikatakan ada bila menunjukkan adanya kecocokan dengan
hasil pengujian yang dialami manusia dalam pergaulan.
Berdasarkan
pandangan di atas, progresivisme tidak mengadalkan pembedaan tegas antara nilai
instrinsik dan nilai instrumental. Dua jenis nilai ini saling bergantung satu
sama lain seperti juga halnya pengetahuna dan kebenaran. Misalnya bila
dikatakan bahwa kesehatan itu selalu bernilai baik tidaklah semata-mata suatu
ilustrasi tentang nilai instrinsik. Nilai kesehatan akan dihayati oleh manusia
dengan lebih nyata bila dihubungkan dengan segi-segi yang bersifat operasional;
bahwa kesehatan yang baik akan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat.
Hubungan
timbal balik dua sifat nilai instrinsik dan instrumental ini – menyebabkan
adanya sifat perkembangan dan perubahan pada nilai. Nilai-nilai yang sudah
tersimpan sebagai bagian dari kebudayaan itu ditampilkan sebagai bagian dari
pengalaman, sedang individu-individu mampu untuk mengadakan tinjauan dan
penentuan mengenai standar sosial tertentu. Karena itu nilai merupakan bagian
integral dari pengalaman dan bersifat relative, temporal dan dinamis. Maka
sifat perkembangannya berdasarkan pada dua hal; untuk diri sendiri dalam arti
kebaikan instrinsik dan untuk lingkungan yang lebih luas dalam arti kebaikan
instrumental.
Aksiologi
bisa disebut sebagai the theory of value
atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan
buruk (good and bad), benar dan salah
(right and wrong), serta tentang cara
dan tujuan (means and ends).
Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia
bertanya seperti apa itu baik (what is
good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang
untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep
semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought
/ should). Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan,
keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan
suatu teori nilai.
Terdapat
dua kategori dasar aksiologis adalah: (1) objectivism dan (2) subjectivism.
Keduanya beranjak dari pertanyaan yang sama: apakah nilai itu bersifat
bergantung atau tidak bergantung pada manusia (dependent upon or independent of mankind)? Dari sini muncul empat
pendekatan etika adalah: dua yang pertama beraliran obyektivis dan dua berikutnya beraliran subyektivis.
Filsafat Pendidikan Perenialisme
Filsafat
ini didukung oleh Idealism. Perenialisme berpendirian bahwa untuk
mengembalikan keadaan yang kacau seperti sekarang ini, jalan yang harus
ditempuh adalah kembali pada prinsip-prinsip umum yang telah teruji.
Menurut prealisme, kenyataan yang kita hadapi adalah dunia dengan segala
isinya.
Perenialisme berpandangan bahwa
persoalan nilai adalah masalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia
adalah pada jiwanya. Sesuatu yang dinilai indah haruslah dapat dipandang baik.
Menurut Idealisme ini nilai akan menjadi kenyataan (ada) atau disadari oleh
setiap orang apabila orang yang bersangkutan berusaha mengetahui atau
menyesuaikan diri dengan sesuatu yang menunjukan nilai kepadanya.
Selain orang tersebut mempunyai
pengalaman emosional yang berupa pemahaman dan perasaan senang tidak senang
mengenai nilai tersebut.
Beberapa
pandangan tokoh Perenialisme terhadap pendidikan sebagai berikut:
1.
Program
pendidikan yang ideal harus didasarkan atas paham adanya nafsu, kemauan dan
akal (Plato)
2.
Perkembangan
budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat
untuk mencapainya (Aristoteles)
3.
Pendidikan
menuntun kemampuan-kemampuan yang masih tidur agar menjadi aktif dan nyata (Thomas
Aquinas)
Norma fundamental pendidikan
adalah cinta kebenaran, cinta kebaikan dan keadilan, kesederhanaan dan sifat
terbuka terhadap eksistensi serta cinta kerjasama
Tempat Asal Aliran Perenialisme
Dikembangkan
Di zaman kehidupan modern ini
banyak menimbulkan krisis di berbagai bidang kehidupan manusia, terutama dalam
bidang pendidikan. Untuk mengembalikan keadaan krisis ini, maka perenialisme
memberikan jalan keluur yaitu: berupa
kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji
ketangguhannya. Untuk itulah pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat
perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Jelaslah
bila dikatakan bahwa pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kepada masa
lampau. Karena dengan mengembalikan keapaan masa lampau ini, maka kebudayaan
yang dianggap krisis ini dapat teratasi melalui perenialisme. Dengan demikian
maka ia dapat mengarahkan pusat perhatiannya pada pendidikan zaman dahulu
dengan sekarang. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau
proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang
berpengaruh baik teori maupun praktek bagi kebudayaan dan pendidikan zaman
sekarang.
Dari pendapat ini sangatlah
tepat jika dikatakan bahwa perenialisme mcmandang pendidikan itu sebagai jalan
kembali, yaitu: sebagai suatu proses mengembalikan kebudayaan sekarang (zaman
modern) in terutama pendidikan zaman sekarang ini perlu dikembalikan ke masa
lampau.
Perenialisme merupakan aliran
filsafat yang susunannya mempunyai kesatuan, di mana susunannya itu merupakan
hasil pikiran yang memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap yang
tegas dan lurus. Karena itulah perenialisme berpendapat bahwa mencari dan
menemukan arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat
khususnya filsafat pendidikan. Setelah
perenialisme menjadi terdesak karena perkembangan politik industri yang cukup
berat timbulah usaha untuk bangkit kembali. Di sini bahwa perenialisme berharap
agar manusia kini dapat memahami ide dan cita filsafatnya yang menganggap
filsafat sebagai suatu azas yang komprehensif. Perenialisme dalam makna filsafat sebagai satu
pandangan hidup yang bcrdasarkan pada sumber kebudayaan dan hasil-hasilnya.
Tokoh-tokoh Perenialisme
Aristoteles: Pendiri Perenialisme
adalah Aristoteles. Kemudian ia didukung dan dilanjutkan oleh St. Thomas
Aquinas sebagai pemburu dan reformer utama dalam abad ke-13. Ia memandang bahwa
kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu
dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan zaman sekarang. Sikap
ini bukanlah nostalgia (rindu akan hal-hal yang sudah lampau semata-mata)
tetapi telah berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut
berguna bagi abad sekarang. Jadi sikap untuk kembali ke masa lampau itu
merupakan konsep bagi perenialisme di mana pendidikan yang ada sekarang ini
perlu kembali ke masa lampau dengan berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan itu
berguna bagi abad sekarang ini.
Plato: Asas-asas filsafat
perenialisme bersumber pada filsafat dan kebudayaan yang mempunyai dua sayap, yaitu: (1) perenialisme yang teologis yang ada dalam
pengayoman supermasi gereja Katholik, khususnya menurut ajaran dan interpretasi
Thomas Aquinas. (2) Perenialisme sekular yakni yang berpegang kepada ide dan
cita filosofis Plato dan Aristoteles.
Pendapat di atas sejalan Aristoteles sebagai mengembangkan philosophia perenis,
yang sejauh mana seseorang dapat menelusuri jalan pemikiran manusia itu
sendiri. ST. Thomas Aquinas telah mengadakan beberapa perubahan sesuai dengan
tuntunan agama Kristen tatkala agama itu datang. Kemudian lahir apa yang
dikenal dengan nama Neo-Thomisme. Tatkala Neo-Thomisme masih dalam bentuk awam
maupun dalam paham gerejawi sampai ke tingkat kebijaksanaan, maka ia terkenal
dengan nama perenialisme.
Pandangan-pandangan Thomas
Aquinas di atas berpengaruh besar dalam lingkungan gereja Katholik. Demikian
pula pandangan-pandangan aksiomatis lain seperti yang diutarakan oleh Plato dan
Aristoteles. Lain dari itu juga semuanya mendasari konsep filsafat pendidikan
perenialisme.
Neo-Scholastisisme atau
Neo-Thomisme ini berusaha untuk menyesuaikan ajaran-ajaran Thomas Aquinas
dengan tuntutan abad ke dua puluh. Misalnya mengenai perkembangan ilmu
pengetahuan cukup dimengerti dan disadari adanya. Namun semua yang bersendikan
empirik dan eksprimentasi hanya dipandang sebagai pengetahuan yang fenomenal,
maka metafisika mempunyai kedudukan yang lebih penting. Mengenai manusia di
kemukakan bahwa hakikat pengertiannya adalah di tekankan pada sifat
spiritualnya. Simbol dari sifat ini terletak pada peranan akal yang karenanya,
manusia dapat mengerti dan memaham’i kebenaran-kebenaran yang fenomenal maupun
yang bersendikan religi. Jadi aliran perenialisme dipakai untuk program
pendidikan yang didasarkan atas pokok-pokok aliran Aristoteles dan S.T Thomas
Aquinas. Tokoh-tokoh yang mengembangkan ini timbul dari lingkungan agama
Katholik atau diluarnya.
Pandangan Perenialisme
Ilmu pengetahuan merupakan
filsafat yang tertinggi menurut perenialisme, karena dengan ilmu pengetahuanlah
seseorang dapat berpikir secara induktif yang bersifat analisa. Jadi dengan
berpikir maka kebenaran itu akan dapat dihasilkan melalui akal pikiran. Menurut
epistemologi Thomisme sebagian besarnya berpusat pada pengolahan tenaga logika
pada pikiran manusia. Apabila pikiran itu bermula dalam keadaan potensialitas,
maka dia dapat dipergunakan untuk menampilkan tenaganya secara penuh.
Jadi epistemologi dari
perenialisme, harus memiliki pengetahuan tentang pengertian dari kebenaran yang
sesuai dengan realita hakiki. Hal tersebut dibuktikan dengan kebenaran yang ada
pada diri sendiri dengan menggunakan tenaga pada logika melalui hukum berpikir
metode dedduksi. Pembuktian itu merupakan metode filsafat yang menghasilkan
kebenaran hakiki. Tujuan dari epistemologi perenialisme dalam premis mayor dan
metode induktifnya sesuai dengan ontologi tentang realita khusus.
Penerapannya di Bidang
Pendidikan
Anak didik yang diharapkan
menurut perenialisme adalah mampu mengenal dan mengembangkan karya-karya yang
menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karya-karya ini merupakan buah
pikiran tokoh-tokoh besar pada masa lampau. Berbagai buah pikiran mereka yang
oleh zaman telah dicatat menonjol dalam bidang-bidang seperti bahasa dan
sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika, ilmu pengetahuan alam
dan lain-lainnya, telah banyak yang mampu memberikan ilmunisasi zaman yang
sudah lampau.
Dengan mengetahui tulisan yang berupa pikiran dari para ahli yang terkenal
tersebut, yang sesuai dengan bidangnya maka anak didik akan mempunyai dua
keuntungan yakni:
1.
Anak-anak
akan mengetahui apa yang terjadi pada masa lamp au yang telah dipikirkan oleh
orang-orang besar.
2.
Mereka
memikirkan peristiwa-peristiwa penting dan karyakarya tokoi1 terse but untuk
diri sendiri dan sebagai bahan pertimbangan (reverensi) zaman sekarang.
Jelaslah bahwa dengan
mengetahui dan mengembangkan pemikiran karya-karya buah pikiran para ahli
tersebut pada masa lampau, maka: (1) anak-anak didik dapat mengetahui bagaimana
pemikiran para ahli tersebut dalam bidangnya masing-masing. (2) dapat
mengetahui bagaimana peristiwa pada masa lampau tersebut sehingga dapat berguna
bagi diri mereka sendiri. (3) sebagai
bahan pertimbangan pemikiran mereka pada zaman sekarang ini. Hal inilah yang
sesuai dengan aliran filsafat perenialisme tersebut.
Tugas utama pendidikan adalah
mempersiapkan anak didik ke arah kemasakan. Masak dalam arti hidup akalnya.
ladi akal inilah yang perlu mendapat tuntunan ke arah kemasakan tersebut.
Sekolah rendah memberikan pendidikan dan pengetahuan serba dasar. Dengan
pengetahuan yang tradisional seperti membaca, menulis dan berhitung anak didik
memperoleh dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan yang lain.
Sekolah sebagai tempat utama
dalam pendidikan yang mempersiapkan anak didik ke arah kemasakan melalui
akalnya dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan sebagai tugas utama dalam
pendidikan adalah guru-guru, di mana tug as pendidikanlah yang memberikan
pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada anak didik. Faktor keberhasilan
anak dalam akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah
mendidik dan mengajarkan.
Adapun mengenai hakikat pendidikan tinggi ini, Robert Hutchkins mengutarakan
lebih lanjut, bahwa kalau pada abad pertengahan filsafat teologis, sekarang
seharusnya bersendikan filsafat metafisika. Filsafat ini pada dasarnya adalah
cinta intelektual dari Tuhan. Di samping itu, dikatakan pula bahwa karena
kedudukan sendi-sendi tersebut penting maka perguruan tinggi tidak seyogyanya
bersifat utilistis.
Dari ungkapan yang diutarakan
oleh Robert Hutchkins di atas mengenai hakikat pendidikan tinggi itu, jelaslah
bahwa pendidikan tinggi sekarang ini hendaklah berdasarkan pada filsafat
metafisika yaitu filsafat yang berdasarkan cinta intelektual dari Tuhan.
Kemudian Robert Hutchkins mengatakan bahwa oleh karena manusia itu pada
hakikatnya sama, maka perlulah dikembangkan pendidikan yang sama bagi semua
orang, ini disebut pendidikan umum (general education). Melalui kurikulum yang
satu serta proses belajar yang mungkin perlu disesuaikan dengan sifat tiap
individu, diharapkan tiap individu itl! terbentuk atas dasar landasan kejiwaan
yang sama.
Pandangan
secara Ontologi
Ontologi perenialisme terdiri
dari pengertian-pengertian seperti: benda individuIl, esensi, aksiden dan
substansi. Perenialisme membedakan suatu realita dalam aspek-aspek
perwujudannya menurut istilah ini. Benda individual di sini adalah benda
sebagaimana nampak dihadapan manusia dan yang ditangkap dengan panca indera
seperti: batu, lembu, rumput, orang
dalam bentuk, ukuran, warna dan aktifitas tertentu. Misalnya bila manusia
ditinjau dari esensinya adalah makhluk berpikir. Adapun aksiden adalah
keadaan-keadaan khusus yang dapat berubah-ubah dan yang sifatnya kurang penting
dibandingkan dengan esensial, misalnya: orang suka bermain sepatu roda, atau
suka berpakaian bagus, sedangkan substansi adalah kesatuan dari tiap-tiap
individu, misalnya: partikular dan uni versal, material dan spiritual. Jadi segala yang ada di alam semesta ini
seperti: halnya manusia, batu bangunan dasar, hewan, tumbuh-tumbuhan dan
sebagainya mempakan hal yang logis dalam karakternya. Setiap sesuatu yang ada,
tidak hanya merupakan kambinasi antara zat atau bend a tapi merupakan unsur
patensialitas dengan bentuk yang merupakan unsur aktualitas sebagaimana yang
diutarakan aleh Aristateles tetapi ia juga merupakan sesuatu yang datang
bersama-sama dari sesuatu “apa” yang terkandung dalam inti (essence) dan
potensialitas dengan tindakan untuk “berada” yang merupakan unsur aktualitas
sebagaimana yang diungkapkan oleh ST. Thomas Aquinas.
Uraian di atas sejalan dengan
apa yang dikatakan I.R Poedjawijatna bahwa esensi dari pada kenyataan itu
adalah menuju ke arah aktualitas, sehingga makin lama makin jauh dari
patensialitasnya. Bila dihubungkan dengan manusia, maka manusia itu setiap
waktu adalah patensialitas yang sedang berubah menjadi aktualitas. Misalnya
meskipun manusia dalam hidupnya jarang dikuasai oleh sifat eksistensi
kemanusiaan, tidak jarang pula dimilikinya akal, perasaan dan kemauannya.
Schula ini dapat dikurangi. Hal-hal yang bersifat partikular yang merintangi
kehidupan dapat diatasi. Maka dengan peningkatan suasana hidup spiritual ini
manusia dapat makin mendekatkan diri kepada gerak yang tanpa gerak itu, ialah
tujuan dan bentuk terakhir dari segalanya.
Jadi dengan demikian bahwa
segala yang ada di alam ini terdiri dari materi dan bentuk atau badan dan jiwa
yang disebut dengan substansi, bila dihubungkan dengan manusia maka manusia itu
adalah patensialitas yang di dalam hidupnya tidak jarang dikuasai oleh sifat
eksistensi keduniaan, tidak jarang pula dimilikinya akal, perasaan dan
kemauannya semua ini dapat diatasi. Maka dengan suasana ini manusia dapat
bergerak untuk menuju tujuan (teleologis) dalam hal ini untuk mendekatkan diri
pada supernatural (Tuhan) yang merupakan pencipta manusia itu sendiri dan
merupakan tujuan akhir.
Pandangan Epistemologis
Perenialisme berpendapat bahwa
segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan adalah apa yang
terlindung pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan
kesesuaian antara pikir dengan benda-benda. Benda-benda di sini maksudnya
adalah hal-hal yang adanya bersendikan atas prinsip-prinsip keabadian. lni berarti
bahwa perhatian mengenai kebenaran adalah perhatian mengenai esensi dari
sesuatu. Kepercayaan terhadap kebenaran itu akan terlindung apabila segala
sesuatu dapat diketahui dan nyata. Jelaslah bahwa pengetahuan itu inerupakan
hal yang sangat penting karena ia merupakan pengolahan akal pikiran yang
konsekuen.
Menurut perenialisme filsafat
yang tertinggi adalah ilmu metafisika. Sebab science sebagai ilmu pengetahuan
menggunakan metode induktif yang bersifat analisa empiris kebenarannya
terbatas, relatif atau kebenaran probability. Tetapi filsafat dengan metode
deduktif bersifat anological analysis, kebenaran yang dihasilkannya bersifat
self evidence universal, hakiki dan berjalan dengan hukum-hukum berpikir
sendiri yang berpangkal pada hukum pertama, bahwa kesimpulannya bersifat mutlak
asasi.
Pandangan Aksiologi
Perenialisme memandang masalah
nilai berdasarkan azas-azas supernatural, yakni menerima universal yang abadi.
Dengan azas seperti itu, tidak hanya ontologi dan epistemologi yang didasarkan
atas prinsip teologi dan supernatural, melainkan juga aksiologi. Khususnya
dalam tingkah laku manusia, maka manusia sebagai subyek telah memiliki
potensi-potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya, di samping itu adapula
kecenderungan-kecenderungan dan dorongan-dorongan kearah yang tidak baik.
Masalah nilai itu merupakan hal
yang utama dalam perenialisme, karena ia berdasarkan pada azas-azas
supernatural yaitu: menerima universal
yang abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jadi hakikat manusia itu yang
pertama-tama adalah pada jiwanya. Oleh karena itulah hakekat manusia itu juga
menentukan hakikat perbuatan-perbuatannya, dan persoalan nilai adalah persoalan
spiritual. Dalam aksiologi, prinsip pikiran itu bertahan dan tetap berlaku.
Secara etika, tindakan itu ialah yang bersesuaian dengan sifat rasional seorang
manusia, karena manusia itu secara alamiah condong kepada kebaikan.
Jadi manusia sebagai subyek
dalam bertingkah laku, telah memiliki potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya,
di samping adapula kecenderungan-kecenderunngan dan dorongan-dorongan kearah
yang tidak baik. Tindakan yang baik adalah yang bersesuaian dengan sifat
rasional (pikiran) manusia. Kodrat wujud manusia yang pertama-tama adaJah
lercermm dari jlwa dan pikirannya yang disebut dengan kekuatan potensial yang membimbing tindakan manusia
menuju pada Tuhan at au menjauhi Tuhan. Dengan kata lain melakukan kebaikan
atau kejahatan di mana kebaikan tertinggi adalah mendekatkan diri kepada Tuhan
sesudah tingkatan ini baru kehidupan berpikir rasional.
Dalam bidang pendidikan
perenialisme sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokohnya, seperti: Plato,
Aristoteles dan Thomas Aquinas. Menurut Plato, manusia secara kodrat memiliki
tiga potensi yaitu: nafsu, kemauan dan
pikiran. Pendidikan hendaknya berorientasi pada potensi itu dan kepada
masyarakat, agar kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat bisa
terpenuhi. Dengan demikian jelaslah bahwa perenialisme itu menghendaki agar
pendidikan disesuaikan dengan keadaan manusia yang mempunyai nafsu, kemauan dan
pikiran sebagaimana yang dimiliki secara kodrat. Dengan memperhatikan hal ini,
maka pendidikan yang berorientasi pada potensi dan masyarakat akan dapat
terpenuhi.
Ide-ide Plato ini kemudian
dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih mendekatkan kepada dunia kenyataan.
Bagi Aristoteles tujuan pendidikan adalah “kehahagiaan”. Untuk mencapai
pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi dan intelek harus dikembangkan secara
seimbang. Tujuan pendidikan yang
dikehendaki oleh Thomas Aquinas ialah sebagai usaha mewujudkan kapasitas yang
ada dalam individu agar menjadi aktualitas, aktif dan nyata. Dalam hal ini
peranan guru adalah mengajar dan memberikan bantuan pada anak didik untuk
mengembangkan potensi-potensi yang ada padanya.
Manusia adalah animal rasionale,
maka tujuan pendidikan adalah mengembangkan akal budi supaya anak didik dapat
hidup penuh kebijaksanaan demi kebaikan hidup itu sendiri. Oleh karenanya
tujuan pendidikan di sekolah perlu sejalan dengan pandangan dasar di atas,
mempertinggi kemampuan anak untuk memiliki akal sehat. Hal tersebut dapat
disimpulkan bahwa tujuan dari pada pendidikan yang hendak dicapai oleh para
ahli tersebut di atas adalah untuk mewujudkan agar anak didik dapat hidup
bahagia demi kebaikan hidupnya sendiri. Jadi dengan akalnya dikembangkan maka
dapat mempertinggi kemampuan akal pikirannya. Dari prinsip-prinsip pendidikan
perenialisme tersebut maka perkembangannya telah mempengaruhi sistem pendidikan
modern, seperti pembagian kurikulum untuk sekolah dasar, menengah, perguruan
tinggi.
Filsafat Pendidikan Esensialisme
Esensialisme
adalah suatu aliran filsafat yang
menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan lama. Mereka
beranggapan bahwa kebudayaan lama itu telah banyak memperbuat kebaikan-kebaikan
untuk umat manusia. Yang mereka maksud dengan kebudayaan lama itu adalah yang
telah ada semenjak peradaban manusia yang pertama-tama dahulu. Akan tetapi yang
paling mereka pedomani adalah peradaban semenjak zaman Renaissance, yaitu yang
tumbuh dan berkembang di sekitar abad 11, 12, 13 dan ke-14 Masehi. Di dalam
zaman Renaissance itu telah berkembang dengan megahnya usaha-usaha untuk
menghidupkan kembali ilmu pengetahuan, kesenian dan kebudayaan purbakala, terutama di
zaman Yunani dan Romawi purbakala. Renaissance itu merupaka reaksi terhadap
tradisi dan sebagai puncak timbulnya individualisme dalam berpikir dan
bertindak dalam semua cabang dari aktivitas manusia. Sumber utama dari
kebudayaan itu terletak dalam ajaran para ahli filsafat, ahli-ahli pengetahuan
yang telah mewariskan kepada umat manusia segala macam ilmu pengetahuan yang
telah mampu menembus lipatan gurun dan waktu yang telah banyak menimbulkan
kreasi-kreasi bermanfaat sepanjang sejarah umat manusia.
Lebih
dalam lagi bahwa esensialisme modern dalam pendidikan adalah gerakan pendidikan
yang memprotes terhadap skeptisisme dan sinisme dari gerakan
progrevisme terhadap nilai-nilai yang tertanam dalam warisan budaya atau sosial.
Menurut Esensialisme, nilai-nilai kemanusiaan yang terbentuk secara
berangsur-angsur dengan melalui kerja keras dan susah payah selama
beratus-ratus tahun, dan di dalamnya berakar gagasan-gagasan dan cita-cita yang
telah teruji dalam perjalanan waktu. Bagi aliran ini, maka “pendidikan sebagai
Pemelihara Kebudayaan”. Karena ini aliran Esensialisme dianggap para ahli “Conservative
Road to Culture”, yakni aliran ini ingin kembali kekebudayaan lama,
warisan sejarah yang telah membuktikan kebaikan-kebaikannya bagi kehidupan
manusia. Esensialisme percaya bahwa pendidikan itu harus didasarkan kepada
nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Karena
itu esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai
yang memiliki kejelasan dan tahan lama sehingga memberikan kestabilan dan arah
yang jelas.
Progressivisme
dan Esensialisme
Esensialisme
yang berkembang pada zaman Renaissance mempunyai tinjauan yang berbeda dengan
progressivisme mengenai pendidikan dan kebudayaan sebagai berikut:
Progressivisme |
Esensialisme |
Pendidikan
yang penuh fleksiblitas |
Pendidikan
yang bertumpuh pada dasar pandangan fleksibilitas dalam segala bentuk dapat
menjadi sumber timbul pandangan yang berubah-rubah |
Serba terbuka
untuk perubahan |
Mudah goyah
dan kurang terarah dan tidak menentu kurang stabil |
Tidak ada
keterkaitan dengan doktrin |
Tidak ada
keterkaitan dengan doktrin |
Toleransi |
Stabil dan
teruji oleh waktu dan tahan lama |
Nilai-nilai
dapat berubah dan berkembang |
Nilai-nilai
yang memiliki kejelasam dan terseleksi |
Jika
progressivisme menganggap pendidikan yang penuh fleksibelitas, serba terbuka
untuk perubahan, tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu, toleran dan
nilai-nilai dapat berubah dan berkembang, maka aliran Esensialisme ini
memandang bahwa pendidikan yang bertumpu pada dasar pandangan fleksibilitas dalam
segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, mudah
goyah dan kurang terarah dan tidak menentu serta kurang stabil. Karenanya
pendidikan haruslah di atas pijakan nilai yang dapat mendatangkan kestabilan
dan telah teruji oleh waktu, tahan lama dan nilai-nilai yang memiliki kejelasan
dan terseleksi
Nilai-nilai
yang dapat memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang
korelatif, selama empat abad belakangan ini, dengan perhitungan zaman
Renaisans, sebagai pangkal timbulnya pandangan-pandangan Esensialistis awal.
Puncak refleksi dari gagasan ini adalah pada pertengahan kedua abad ke sembilan
belas.
Pembentukan
dari Idealisme dan Realisme
Idealisme
dan Realisme adalah aliran-aliran filsafat yang membentuk corak Esensialisme.
Sumbangan yang diberikan oleh masing-masing ini bersifat eklektik, artinya dua
aliran filsafat ini bertemu sebagai pendukung Esensialisme, tetapi tidak lebur
menjadi satu. Berarti, tidak melepaskan sifat-sifat utama masing-masing.
Sedangkan Realisme modern yang menjadi salah satu eksponen esensialisme, titik
berat tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik; sedangkan idealisme
modern sebagai eksponen yang lain, pandangan-pandangannya bersifat spiritual.
Idealisme
modern mempunyai pandangan bahwa realita adalah sama dengan substansi
gagasan-gagasan (ide-ide). Di balik duni fenomenal ini ada jiwa yang tidak
terbatas yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos. Manusia sebagai
makhluk yang berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan. Dengan menguji
menyelidiki ide-ide serta gagasan-gagasannya, manusia akan dapat mencapai
kebenaran, yang sumbernya adalah Tuhan sendiri.
Tokoh
Esensialisme
William C.
Bagley (1874-1946)
George Wilhelm Friedrich Hegel (1770 – 1831)
Thomas Briggs
Frederick Breed
Isac L. Kandell
Ajaran
Esensialisme
Pandangan Ontologi Esensialisme
1. Sintesa
ide idealisme dan realisme tentang hakikat realita berarti essensialisme
mengakui adanya realita obyektif di samping pre-determinasi, supernatural dan
transcendal.
2. Aliran
ini dipengaruhi penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern baik Fisika maupun
Biologi. Karena itu realita menurut analisa ilmiah dapat dihayati dan diterima
oleh Essensialisme. Jadi, Semesta ini merupakan satu kesatuan yang mekanis,
menurut hukum alam obyektif (Kausalitas). Manusia adalah bagian alam semesta
dan terlihat, tunduk pada hukum alam.
3. Penafsiran
Spiritual atas sejarah. Teori filsafat Heggel yang mensitesakan science dengan
religi dalam kosmologi, berarti sebagai interpretasi sepiritual atas sejarah
perkembangan realita semesta. Hukum apakah yang mengatur tiap fase perubahan
dan tiap peristiwa sejarah, perubahan-perubahan social, dijawab problem itu
secara prinsip: “Bahwa sejarah itu adalah pikiran Tuhan – pikiran yang di
ekspresikan, dinamika abadi yang merubah dunia, yang mana ia secara sepiritual
adalah realitas”.
4. Faham
Makrokosmos dan Mikrokosmos. Makrokosmos adalah keseluruhan alam semesta raya
dalam suatu deign dan kesatuan menurut teori kosmologi. Mikrokosmos ialah
bagian tunggal, suatu fakta yang terpisah dari keseluruhan itu, baik pada
tingkat umum, pribadi manusia, ataupun lembaga.
Pandangan
Epistemologi Essentialisme
Teori kepribadian manusia sebagai refleksi Tuhan adalah jalan untuk mengerti
epistemologi Essentialisme. Sebab, jika manusia mampu menyadari realita dirinya
sebagai mikrokosmos dalam makrokosmo, maka manusia pasti mengetahui dalam
tingkat atau kualitas apa rasionya mampu memikirkan kesemestaan itu. Dari
berdasarkan kualitas itulah dia memproduksi secara tepat pengetahuannya dalam
bidang-bidang: Ilmu alam, Biologi, Sosial, Estetika, dan Agama.
1.
Kontraversi
jasmaniah-rohaniah. Perbedaan Idealisme dengan realisme ialah karena yang
pertama menganggap bahwa rohaniah adalah kunci kesadaran tentang realita.
Manusia hanya mengetahu melalui ide atau rohaniah. Sebaliknya realis
berpendapat bahwa kita hanya mengetahui sesuatu realita di dalam dan melalui
jasmani.
2.
Pengetahuan:
(a). Idealisme: Kita hanya mengerti rohani kita sendiri. Tetapi pengertian ini
memberi kesadaran untuk mengerti realita yang lain (Personalisme); Menurut
Hegel: “Substansi mental tercermin pada hukum logika (Mikrokosmos) dan hukum alam (Makrokosmos).
Hukum dialegtika berfikir, berlaku pula hukum perkembangan sejarah dan
kebudayaan manusia (Teori Dinamis); Saya
sebagai finite being (Makhluk terbatas)
mengetahui hukum dan kebenaran universal sebagai realisasi resonasi jiwa saya
dengan Tuhan. (Teori Absolutisme). (b) Realisme: Realisme dalam
pengetahuan sangat dipengaruhi oleh Newton dengan ilmu pengetahuan alamnya,
cara menafsirkan manusia dalam realisme adalah: Teori Associationisme: Teori
ini sangat dipengaruhi oleh filsafat empirisme John Locke, atau ide-ide dan isi
jiwa adalah asosiasi unsure-unsur penginderaan dan pengamatan. Penganut teori
ini juga menggunakan metode introspeksi yang dipakai oleh kaum idealis (T.H.
Green); Teori Behaviorisme: Aliran behaviorisme berkesimpulan bahwa perwujudan
kehidupan mental tercermin pada tingkah laku; Teori Connectionisme: Teori Connectionisme
menyatakan semua makhluk hidup, termasuk manusia terbentuk tingkah lakunya oleh
pola-pola connections between (Hubungan-hubungan antara) stimulus (S) dan
Respone (R).
Pandangan Axiologi Essentialisme
Pandangan ontologi dan epistemologinya amat mempengaruhi pandangan axiology
ini. Bagi aliran ini, nilai-nilai, seperti juga kebenaran berakar dalam dan
berasal dari sumber objektif. Watak sumber ini dari mana nilai-nilai berasal,
tergantung pada pandangan-pandangan idealisme dan realisme, sebab Essentialisme
terbina oleh kedua sayap tersebut.
Teori Nilai
sebagai berikut:
1.
Menurut
Idealisme: (a) Idealisme: “Menurut aliran ini bahwa hukum etika adalah kosmos,
karena itu seseorang dikatakan baik hanya jika ia secara active berada di dalam
dan melaksanakan hukum-hukum itu”. (b) Idealisme Modern: “Idealisme lebih di
ungkapkan oleh E. Kant: Bahwa manusia yang baik adalah manusia yang bermoral”.
(c) Teori Sosial Idealisme: “Disini E. Kant menekankan akan adanya rasa
sosialis, kekluargaan, patriotisme, dan nasionalisme. Yang dimaksud E. Kant
adalah adanya kemerdekaan individu agar bisa bersosialisasi dengan manusia
lainnya. (d) Teori Estetika: “Bahwa yang disebut nilai adalah suatu keindahan”
(E. Kant).
2.
Menurut Realisme:
(a) Etika Determinisme: “Semua unsur semesta, termasuk manusia adalah satu
kesatuan dalam satu rantai yang tak berakhir dan dalam kesatuan hukum
kausalitas. Seseorang tergantung seluruhnya pada sebab-akibat kodrati itu dan
yang menentukan keadaannya sekarang, baik ataupun buruk. (b) Teori Sosial:
Teori ini lebih menekankan kepada unsure ekonomi, social, politi dan Negara.
Free man (Bertrand Russel). Dan lebih menekankan kepada kehidupan sekarang. (c)
Teori Estetika: Menurut paham ini bahwa keindahan itu tidak hanya sesuatu yang
bagus, namun ada pula yang buruk.
Prinsip-prinsip
Essensialisme
Prinsip-prinsip
Essensialisme adalah:
1.
Esensialisme
berakar pada ungkapan realisme objektif dan idealisme objektif yang moderen,
yaitu alam semesta diatur oleh hukum alam sehingga tugas manusia memahami hukum
alam adalah dalam rangka penyesuaian diri dan pengelolaannya.
2.
Sasaran
pendidikan adalah mengenalkan siswa pada karakter alam dan warisan budaya.
Pendidikan harus dibangun atas nilai-nilaiyang kukuh, tetap dan stabil.
3.
Nilai (kebenaran
bersifat korespondensi ).berhubungan antara gagasan dengan fakta secara
objekjtif.
4.
Bersifat
konservatif (pelestarian budaya) dengan merefleksikan humanisme klasik yang
berkembang pada zaman renaissance.
Ciri-ciri
Filsafat Pendidikan Esesensialisme
Ciri-ciri
Filsafat Pendidikan Esesensialisme, yang disarikan oleh William C. Bagley
adalah sebagai berikut:
1.
Minat-minat yang
kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upaya-upaya belajar awal yang memikat
atau menarik perhatian bukan karena dorongan dari dalam jiwa.
2.
Pengawasan,
pengarahan, dan bimbingan orang yang belum dewasa adalah melekat dalam masa
balita yang panjang atau keharusan ketergantungan yang khusus pada spesies
manusia.
3.
Oleh karena
kemampuan untuk mendisiplinkan diri harus menjadi tujuan pendidikan, maka
menegakkan disiplin adalah suatu cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan
tersebut. Di kalangan individu maupun bangsa, kebebasan yang sesungguhnya
selalu merupakan sesuatu yang dicapai melalui perjuangan, tidak pernah
merupakan pemberian.
4.
Esesensialisme
menawarkan teori yang kokoh kuat tentang pendidikan, sedangkan sekolah-sekolah
pesaingnya (progresivisme) memberikan sebuah teori yang lemah. Apabila terdapat
sebuah pertanyaan di masa lampau tentang jenis teori pendidikan yang diperlukan
sejumlah kecil masyarakat demokrasi di dunia, maka pertanyaan tersebut tidak
ada lagi pada hari ini.
Pandangan
Essensialisme mengenai Belajar
Idealisme,
sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai pribadi individu dengan
menitik beratkan pada aku. Menurut idealisme, bila seorang itu belajar pada
taraf permulaan adalah memahami akunya sendiri, terus bergerak keluar untuk
memahami dunia obyektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Segala
pengetahuan yang dicapai oleh manusia melalui indera merperlukan unsur apriori,
yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu. Bila orang berhadapan dengan
benda-benda, tidak berarti bahwa mereka itu sudah mempunyai bentuk, ruang dan
ikatan waktu. Bentuk, ruang dan waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada
pengalaman atau pengamatan. Jadi, apriori yang terarah bukanlah budi kepada
benda, tetapi benda-benda itu yang terarah kepada budi. Budi membentuk,
mengatur dalam ruang dan waktu.
Dengan
mengambil landasan pikir tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai jiwa
yang berkembang pada sendirinya sebagai substansi spiritual. Jiwa membina dan
menciptakan diri sendiri. Pandangan-pandangan realisme mencerminkan adanya dua
jenis determinasi mutlak dan determinasi terbatas adalah: (1) Determinisme
mutlak, menunjukkan bahwa belajar adalah mengalami hal-hal yang tidak dapat
dihalang-halangi adanya, jadi harus ada, yang bersama-sama membentuk dunia ini.
Pengenalan ini perlu diikuti oleh penyesuaian supaya dapat tercipta suasana
hidup yang harmonis. (2) Determinisme terbatas, memberikan gambaran kurangnya
sifat pasif mengenai belajar. Bahwa meskipun pengenalan terhadap hal-hal yang
kausatif di dunia ini berarti tidak dimungkinkan adanya penguasaan terhadap
mereka, namun kemampuan akan pengawas yang diperlukan.
Pada
prinsipnya, proses belajar menurut Essensialisme adalah melatih daya jiwa
potensial yang sudah ada dan proses belajar sebagai proses absorbtion
(menyerap) apa yang berasal dari luar. Yaitu warisan-warisan sosial yang
disusun dalam kurikulum tradisional, dan guru berfungsi sebagai perantara.
Pandangan
Essensialisme mengenai Kurikulum
Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu hendaklah berpangkal
pada landasan idiil dan organisasi yang kuat. Kurikulum itu bersendikan alas
fundamen tunggal, yaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang
ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang
serba baik. Atas ketentuan ini kegiatan atau keaktifan anak didik tidak
terkekang, asalkan sejalan dengan fundamen-fundamen yang telah ditentukan.
Menurut Essensialisme: “Kurikulum yang kaya, yang berurutan dan sistematis yang
didasarkan pada target yang tidak dapat dikurangi sebagai suatu kesatuan
pengetahuan, kecakapan- kacakapan dan sikap yang
berlaku di dalam kebudayaaan yang demokratis.
Kurikulum dibuat memang sudah didasarkan pada urgensi yang ada di dalam
kebudayaan tempat hidup si anak”.
Peranan
Sekolah menurut Essensialisme
Sekolah
berfungsi sebagai pendidik warganegara supaya hidup sesuai dengan
prinsip-prinsip dan lembaga-lembaga sosial yang ada di dalam
masyarakatnya serta membina kembali tipe dan mengoperkan kebudayaan,
warisan sosial, dan membina kemampuan penyesuaian diri individu kepada
masyarakatnya dengan menanamkan pengertian tentang fakta-fakta,
kecakapan-kecakapan dan ilmu pengetahuan.
Penilaian
Kebudayaan menurut Essensialisme
Essensialisme
sebagai teori pendidikan dan kebudayaan melihat kenyataan bahwa
lembaga-lembaga dan praktik-praktik kebudayaan modern telah gagal dalam banyak
hal untuk memenuhi harapan zaman modern. Maka untuk menyelamatkan manusia dan
kebudayaannya, harus diusahakan melalui pendidikan.[311]
Teori
Pendidikan
1. Tujuan
Pendidikan: Tujuan pendidikan adalah menyampaikan warisan budaya dan sejarah
melalui suatu inti pengetahuan yang telah terhimpun, yang telah bertahan
sepanjang waktu dan dengan demikian adalah berharga untuk diketahui oleh semua
orang. Pengetahuan ini diikuti oleh keterampilan. Keterampilan-keterampilan,
sikap-sikap, dan nilai-nilai yang tepat, membentuk unsur-unsur yang inti
(esensial) dari sebuah pendidikan. Pendidikan bertujuan untuk mencapai standar
akademik yang tinggi, pengembangan intelek atau kecerdasan.
2. Metode
Pendidikan: (1) Pendidikan berpusat pada guru (teacher centered). (2) Umumnya
diyakini bahwa pelajar tidak betul-betul mengetahui apa yang diinginkan, dan
mereka haru dipaksa belajar. Oleh karena itu pedagogi yang bersifat
lemah-lembut harus dijauhi, dan memusatkan diri pada penggunaan metode-metode
tradisional yang tepat. (3) Metode utama adalah latihan
mental, misalnya melalui diskusi dan pemberian tugas; dan penguasan
pengetahuan, misalnya melalui penyampaian informasi dan membaca.
3. Kurikulum:
(1) Kurikulum berpusat pada mata pelajaran yang mencakup mata-mata pelajaran
akademik yang pokok. (2) Kurikulum Sekolah Dasar ditekankan pada pengembangan
keterampilan dasar dalam membaca, menulis, dan matematika. (3) Kurikulum
Sekolah Menengah menekankan pada perluasan dalam mata pelajaran matematika,
ilmu kealaman, humaniora, serta bahasa dan sastra. Penguasaan terhadap
mata-mata pelajaran tersebut dipandang sebagai suatu dasar utama bagi
pendidikan umum yang diperlukan untuk dapat hidup sempurna. Studi yang ketat
tentang disiplin tersebut akan dapat mengembangkan kesadaran pelajar, dan pada
saat yang sama membuat mereka menyadari dunia fisik yang mengitari mereka.
Penguasaan fakta dan konsep-konsep pokok dan disiplin-disiplin yang inti adalah
wajib.
4. Pelajar:
Siswa adalah makhluk rasional dalam kekuasaan fakta dan
keterampilan-keterampilan pokok yang siap melakukan latihan-latihan intelektif
atau berpikir. Sekolah bertanggungjawab atas pemberian pelajaran yang logis
atau dapat dipercaya. Sekolah berkuasa untuk menuntut hasil belajar siswa.
5. Pengajar:
(1) Peranan guru kuat dalam mempengaruhi dan mengawasi kegiatan-kegiatan di
kelas. (2) Guru berperanan sebagai
sebuah contoh dalam pengawalan nilai-nilai dan penguasaan pengetahuan atau
gagasan-gagasan.
Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
Rekronstruksionisme lahir
didasari atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah
masyarakat yang ada pada masyarakat sekarang ini. Dapat dikatakan bahwa
rekonstruksionisme adalah merupakan
kelanjutan dari gerakan progresivisme.
Rekonstruktionisme lahir pada tahun 1930 dan dipelopori oleh George Count dan
Harold Rugg. Ia ingin membangun masyarakat baru, yaitu: suatu masyarakat yang pantas dan adil. Sekolah
harus melakukan perbaikan masyarakat yang spesifik.
Aliran progresivisme berpendapat bahwa sekolah
harus mengarahkan perubahan terhadap
tatanan sosial saat ini. Ada dua alasan mengapa perubahan perlu dilakukan lewat
pendidikan sebagai berikut: (1) Karena
masyarakat sedang mengalami suatu krisis yang hebat akibat perang dunia kedua.
Peradaban manusia yang sangat sangat luar biasa dan dibangun dalam waktu yang
lama, dapat dihancurkan oleh manusia hanya dalam waktu satu malam saja. (2)
Manusia memiliki potensi intellectual, teknologi dan moral untuk menciptakan
suatu peradaban baru, yaitu suatu perubahan pada masyarakat kea rah
“kesejahteraan, kesehatan dan keadilan”.
Oleh karena itu sekolah harus menjadi agen utama untuk merencanakan dan
mengarah pada perubahan social.
Sedangkan aliran Rekonstruktionisme
berpendapat kita telah beralih dari masyarakat agraris pedesaan ke masyarakat
urban yang berteknologi tinggi, namun masih terdapat kelambatan budaya yang
serius, yaitu: dalam kemampuan manusia
menyesuaikan diri terhadap masyarakat teknologi.
Apa yang diperlukan masyarakat yang memiliki perkembangan teknologi yang cepat
adalah rekonstruksi masyarakat dan pembentukan serta perubahan tatanan dunia
baru.
Tokoh-Tokoh
Rekonstruksionisme[312]
George S. Counts
(1889-1974)
Theodore Brameld
(1904-1987)
Dua
Kelompok Rekonstruksionisme
Dalam gerakan rekonstruksionisme terdapat dua
kelompok utama yang sangat berbeda pandangannya tentang kurikulum, yakni: Rekonstruksionisme
Konservatif dan Rekonstruksionisme Radikal.
Rekonstruksionisme
Konservatif
Pendidikan ditujukan kepada
peningkatan mutu kehidupan individu maupun masyarakat dengan mencari
penyelesaian masalah-masalah yang paling mendesak yang dihadapi masyarakat.
Masalah dapat bersifat local, nasional, regional maupun international. Dalam
penerapannya problem-solving memegang peranan utama dengan menggunakan bahan
dari berbagai displin ilmu.
Rekonstruksionisme
Radikal
Pendidikan
formal maupun non formal mengabdikan diri demi tercapainya orde sosial baru
berdasarkan pembagian kekuasaan dan kekayaan yang lebih adil dan merata. Aliran
ini berpendapat bahwa kurikulum yang sekadar mencari pemecahan masalah sosial
tidaklah memadai. Masalah sosial justru merupakan indicator adanya masalah lain
yang lebih mendalam mengenai struktur masyarakat. Pendidikan haruslah digunakan
untuk merombak tata sosial dan lembaga-lembaga sosial yang ada dan membangun
struktur sosial baru.
‘
Arah
Pendidikan Rekontruksionisme
Arah
pendidikan rekonstruksionisme mengarahkan para siswa mempelajari metoda-metoda
yang tepat untuk berurusan dengan krisis-krisis yang sedang dihadapi oleh
masyarakat, baik secara lokal, regional maupun yang dihadapi oleh dunia secara
global seperti: perang, depressi
ekonomi, terorisme international, kelaparan, inflasi, ketimpangan sosial maupun
percepatan teknologi. Kurikulum disusun
untuk mampu menyoroti kebutuhan-kebutuhan terhadap beragamnya problema sosial.
Siswa dimungkinkan untuk memiliki pengalaman tangan pertama dalam berbagai kegiatan reformasi sosial. Guru berperan sebagai kontrol dan membantu
para siswa dalam memecahkan masalah-masalah sosial tanpa berpengaruh di
dalamnya.
Proses
edukatif harus didasarkan pada suatu
pencarian yang terus menerus untuk suatu masyarakat yang lebih baik, dan hasil
dari pencarian ini akan menjadi
realisasi suatu demokrasi dunia yang luas. Jika seseorang dengan aktif berusaha
menciptakan dunia baru melalui aplikasi kecerdasan dan pengetahuan serta
teknologi yang berkembang pada saat ini, ia akan menghadapi risiko di mana
kekuatan-kekuatan destruktif dunia akan menentukan kondisi dunia ini, di mana
manusia yang akan hidup di masa mendatang berada di dalamnya.
Sekolah
sebagai Agen Perubahan Sosial
George
S. Counts sebagai pelopor rekonstruksionisme mengemukakan, “ bahwa sekolah akan
betul-betul berperan apabila sekolah menjadi pusat bangunan masyarakat baru
secara keseluruhan, membasmi kemelaratan, peperangan dan kesukuan”. Masyarakat yang menderita
kesulitan ekonomi dan masalah-masalah social yang besar marupakan tantangan
bagi pendidikan untuk menjalankan perannya sebagai agen pembaharuan dan
rekonstruksi social, daripada pendidikan hanya mempertahankan status guo.
Sekolah
harus bersatu dengan kekuatan buruh progressif, wanita, para petani dan
kelompok minoritas untuk mengadakan
perubahan-perubahan yang diperlukan. Tujuan pendidikan adalah
menumbuhkan kesadaran terdidik yang berkaitan dengan masalah-masalah social,
sekonomi, politik yang dihadapi manusia dalam skala global, dan memberi
ketrampilan kepada mereka agar memiliki kemampuan untuk memecahkan
masalah-masalah tersebut. Tujuan akhir pendidikan adalah terciptanya masyarakat
baru, yaitu suatu masyarakat global yang memiliki saling ketergantungan.
Kurikulum haruslah berisikan masalah-masalah
sosial, ekonomi, politik yang beraneka ragam, yang dihadapi oleh umat manusia,
termasuk masalah-masalah sosial dan pribadi. Isi kurikulum haruslah berguna
dalam penyusunan disiplin ilmu sosial dan proses penemuan ilmiah sebagai metode
kerja untuk masalah-masalah soslal.
Guru
harus mampu menyadarkan peserta didik terhadap masalah-masalah yang dihadapi,
membantu mereka mengidentifikasikan masalah-masalah untuk dipecahkan, sehingga
memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah tersebut. Guru harus mendorong
peserta didik untuk dapat berpikir alternative dalam memecahkan dihadapi baik
secara pribadi maupun dihadapi oleh masyarakat. Lebih jauh, guru harus mampu
menciptakan aktivitas belajar yang berbeda-beda secara serempak.
Sekolah
berfungsi sebagai agen utama untuk perubahan sosial, politik dan ekonomi
dimasyarakat. Sekolah bertugas untuk mengembangkan “rekayasa sosial” dan
bertujuan untuk mengubah secara radikal wajah masyarakat saat ini dan masa yang
akan datsng. Sekolah berfungsi untuk mempelopori masyarakat kea rah masyarakat
baru yang diinginkan. Apabila fungsi itu tidak dapat dilakukan, maka masyarakat
akan bertindak menyelesaikan masalah-masalah secara individu dan tidak mampu
menghasilkan perubahan sosial, melainkan akan menimbulkan berbagai komplik
dalam masyarakat.
Teori Pendidikan
Brameld
(Kneller, 19771) 5 tesis dalam pendidikan rekonstruksionisme, yaitu: (1) . Pendidikan harus dilaksanakan di sini dan sekarang.
Pendidikan haruslah dilaksanakan kini dan di sini dalam rangka menciptakan
tatanan sosial yang baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya masyarakat
dan selaras dengan mendasari
kekuatan-kekuatan ekonomi dan sosial dalam masyarakat modern. Pendidikan
harus dapat mensponsori perubahan yang benar dalam nurani manusia. Kekuatan
teknologi yang hebat harus dimanfaatkan untuk membangun umat manusia dan bukan
untuk menghancurkannya. Masyarakat
diubah bukan dengan kekuatan politik, melainkan melalui pendidikan yang
mendasar bagi warganya, menuju suatu pandangan baru tentang hidup dan kehidupan
bersama. (2) Pendidikan menuju kehidupan demokrasi. Pendidikan harus mampu mewujudkan kehidupan
demokrasi sejati pada masyarakat, dimana sumber dan lembaga utama dalam
masyarakat dikontrol oleh warganya sendiri. Semua aspek kehidupan masyarakat
seperti; sandang, pangan, papan, kesehatan, industri dan sebagainya menjadi tanggungjawab masyarakat
melalui wakil-wakilnya yang dipili, dan harus direalisasikan secara demokrasi.
Masyarakat ideal adalah, masyarakat yang demokratis dan pendapat masyarakat
adalah merupakan hal yang sangat dasar. (3) Kondisi Pendidikan. Peserta didik,
lembaga sekolah dan proses pendidikan dikondisikan oleh kekuatan budaya dan sosial
masyarakat setempat. Hidup beradab adalah hidup berkelompok bukan hidup
sendiri-sendiri. Kelompoklah yang meainkan peranan penting di sekolah.
Pendidikan merupakan realisasi dari sosial.
Melalui pendidikan individu akan dapat mengembangkan aspek-aspek sosialnya dan
bagaimana mengembangkan keterlibatannya dalam perencanaan sosial. (4) Peranan
Pendidik. Dalam menjalankan
tugasnya sebagai pendidik, guru haruslah meyakini dirinya sebagai guru yang
bijaksana dan demokratis. Pengujian fakta-fakta haruslah dilakukan secara
terbuka, walaupun hal itu bertentangan dengan pandangannya. Guru harus dapat
menghadirkan pemecahan alternative dengan jelas, dan ia memperkenankan siswanya
untuk mempertahankan pandangan-pandangan mereka sendiri. Peranan guru ialah
sebagai orang yang menganjurkan perubahan dan mendorong siswa menjadi
partisipan aktif dalam proses perbaikan masyarakat. Guru adalah seorang perombak. Ia membantu
pelajar meninggalkan yang lama supaya dapat mengalami yang baru. Huru dan murid
bekerja sama mempelajari seni meninggalkan kepribadian yang lama dan
menggantikannya dengan kepribadian yang baru yang sesuai dengan tuntutan masa
kini. Proses meninggalkan yang lama bukanlah sesuatu yang mudah, namun hal itu
sudah diyakini sebagai hal yang baik dan dapat menjawab kebutuhan-kebutuhannya
selama ini. Untuk dapat mendorong
pembaharuan bagi peserta didik, maka guru harus menyadari bahwa pada dasarnya
individu telah terbentuk dengan
cara-cara tersebut di bawah ini adalah: (a) Keperluan pribadi dan lingkungannya
mendesaknya untuk mengembangkan cara-cara bertindak yang paling sesuai dengan
keperluan-keperluannya. (b) Perlahan-lahan keperluan dan kemauan lingkungannya
berubah. (c) Cara-cara bertindak yang dikembangkan sebelumnya, yang cukup
efektif itu, menjadi semakin tidak efektif bahkan telah
dapat merugikan. (d) Setiap individu tetap mengungkapkan segala cara
yang telah dipergunakannya pada masa lampau. (e) Cara bertindak seseorang terus
menerus diubah untuk melayani keperluan-keperluan dan kehendak-kehendak baru.
(f) Dengan adanya kehendak yang terus menerus, individu yang sedang berkembang
itu membentuk suatu gaya hidup atau suatu cara menghadapi segala masalah hidup
yang dihadapinya. (g) Gaya seseorang
akan lebih sulit berubah apabila ia telah menjadi tua. Salah satu tugas penting
dari guru ialah membantu agar proses perkembangan itu berlangsung terus.
Pendidikan yang paling baik ialah pendidikan yang membantu pelajar menghadapi
masa kininya yang sangat penting itu sehingga ia mampu menangani secara efektif
masa depannya yang dekat yang akan selalu menjadi masa kini juga. (h) Cara dan tujuan Pendidikan. Cara dan tujuan pendidikan haruslah bertujuan
untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan krisis budaya dewasa
ini, dan menyesuaikan kebutuhan dengan sains sosial. Sains sosial haruslah bertujuan untuk mendorong kita untuk
menemukan nilai-nilai yang bersifat universal. (i) Penyusunan Kurikulum. Kurikulum pendidikan harus terus menerus
ditinjau ulang, agar sesuai dengan kebutuhan dan persoalan-persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat. Oleh karena
itu, isi pelajaran, metode yang dipakai,
struktur administrasi dan cara bagaimana guru dilatih haruslah terus disesuaikan
dengan kebutuhan kebutuhan masyarakat pada masa kini. Dengan demikian pendidikan
akan menjadi relevan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan dapat
menghasilkan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Implikasi Pendidikan
Power (1982) mengemukakan implikasi pendidikan
rekonstruksionisme sebagai berikut:
1. Tema:
Pendidikan merupakan usaha sosial dan Misi sekolah adalah untuk meningkatkan
rekonstruksi sosial.
2. Tujuan
Pendidikan: Menciptakan aturan sosial yang ideal. Budaya harus melihat
kemajemukan masyarakat dan memanfaatkannya untuk perubahan sosial kea rah yang
lebih baik.
3. Kurikulum:
Kurikulum tidak boleh didominasi oleh budaya mayoritas maupun oleh budaya yang
ditentukan atau yang disukai. Semua budaya dan nilai-nilai yang terdapat pada
masyarakat berhubungan dan berhak untuk mendapatkan tempat dalam kurikulum.
4. Kedudukan
siswa: Nilai-nilai budaya siswa yang dibawa
ke sekolahg merupakan hal yang berharga.Keluhan pribadi dan tanggung
jawab sosial harus terus ditingkatkan dan harus dapat menghormati semua latar
belakang budaya yang ada disekitarnya.
5. Metode:
Metode yang harus terus dikembangkan adalah “Learning by doing”.
6. Peranan
Guru: Guru harus menunjukkan rasa hormat yang sejati terhadap semua budaya,
baik dalam memberi pelajaran maupun dalam hal lainnya. Pelajaran di sekolah
haruslah mewakili budaya masyarakat yang ada.
Potret Guru
Seorang guru rekonstruksionisme dengan sekuat
tenaga mendorong siswa mempelajari mengenai permasalahan-permasalahan sosial
dan juga menemukan apa yang dapat merekam lakukan untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan tersebut
VIII.
PENUTUP
Dari kajian
Filsafat Pendidikan Agama Kristen di atas (bab per bab) maka saya dapat simpulkan
dengan membuat Tabel “Sirkulasi Filsafat Pendidikan Agama Kristen” yang saling
berkesinambungan dari pengertian filsafat pendidikan, nilai-nilai dasarnya,
model-model aliran filsafat yang mempengaruhi pendidikan, unsur-unsurnya hingga
menghasilkan tenaga professional siap pakai di tengah masyarakat. Tabel “Sirkulasi Filsafat Pendidikan Agama
Kristen” sebagai berikut:
Tabel “Sirkulasi Filsafat Pendidikan
Agama Kristen”
Filsafat
Pendidikan |
Nilai-nilai
Dasar |
Model-Model
Aliran Filsafat yang Mempengaruhi Pendidikan |
Unsur-unsur
Pendidikan |
Tenaga
Siap Pakai |
Definisi Filsafat
pendidikan: aktifitas
pikiran teratur yang membentuk wolrdview seseorang sebagai jalan untuk
mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan |
Makna Ontologi |
Idealism,
Realism,
Materialisme,
Tradisionalis (Neo-Thomism), Pragmatism
(Experimentalism), Eksistensialisme, Progresivisme, Perenialisme, Esensialisme dan Rekonstruksionisme |
Input:
Calon Peserta Didik |
Tenaga
profesional di tengah masyarakat |
Visi |
||||
Makna
Epistemologi |
Tujuan |
|||
Kurikulum |
||||
Proses Belajar
Mengajar (Guru-Metode-Murid) |
||||
Makna
Aksiologi |
Hasil belajar |
|||
Output:
Alumni |
Keterangan
singkat dari Tabel “Sirkulasi Filsafat
Pendidikan Agama Kristen” di atas
sebagai berikut:
1. Filsafat
pendidikan adalah aktifitas pikiran teratur yang membentuk wolrdview seseorang
sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan.
2. Tetapi
dalam pekerjaannya maka filsafat pendidikan tergantung dengan nilai-nilai dasar
filsafat: makna ontology, makna epistemology dan makna aksiologi. (a) Makna ontology (metafisika umum) membahas segala
sesuatu yang ada secara menyeluruh dan sekaligus. Pembahasan ini dilakukan
dengan membedakan dan memisahkan eksistensi “dari segala sesuatu”.
Pertanyaan-pertanyaan ontologi yang utama dan paling sering diajukan adalah
sebagai berikut: apakah suatu realitas itu beraneka ragam dan berbeda-beda?
Apakah hakekatnya satu atau tidak? Apabila
memang benar satu, apakah realitas yang satu itu.apakah eksistensi yang
sesungguhnya dari segala sesuatu yang ada itu merupakan realitas yang tampak
atau tidak? (b) Makna epistemology membahas tentang: Apa pengetahuan
itu? Apakah yang menjadi sumber dan dasar pengetahuan itu? Apakah pengetahuan
itu berasal dari pengamatan, pengalaman, atau akal budi? Apakah pengetahuan itu
adalah kebenaran yang pasti ataukah hanya merupakan dugaan? (c)Axiologi menunjuk pada suatu nilai
tertentu. Nilai suatu obyek sangat
dipengaruhi nilai subyek yang ada.
Manusia memiliki nilai, sehingga nilai seseorang dari apa yang
diungkapkan maupun dilakukan. Nilai-nilai sangat relative, tetapi ada nilai
yang jauh lebih mutlak dan ditempat tinggi dibanding dengan nilai-nilai
relative yang dibawah. Manusia berbuat baik karena mengetahui nilai yang ada
pada dirinya. Pada axiologi yang mengarah suatu kebaikan yang tertinggi berupa
kebahagiaan dan cinta kasih Tuhan.
3. Aliran-aliran
Filsafat yang Mempengeruhi Pendidikan:
Idealism, Realism, Materialisme,
Tradisionalis (Neo-Thomism), Pragmatism (Experimentalism),
Eksistensialisme, Progresivisme, Perenialisme,
Esensialisme dan
Rekonstruksionisme. Aliran tersebut selalu membagi menjadi tiga nilai dasar
(ontologi, epistimologi dan aksiologi) yang membicarakan unsure-unsur
pendidikan.
4. Unsur-unsur
pendidikan adalah: Input (peserta
didik), Visi – Tujuan – Kurikulum – Proses Belajar Mengajar (Guru – Metode - Murid) – Hasil Belajar – Output (Alumni).
5.
Para alumni akan
mampu menjadi tenaga profesional di
tengah masyarakat.
Diagram Perbandingan Tiga Problema dengan Lima Pandangan Filsafat
Sekolah Tinggi Theologia Berita Hidup
Filsafat
Pendidikan
Agama Kristen
(2 sks)
Dosen:
Dr.
Harianto GP, D.Th.
Surabaya,
6 Juli 2015
[1]Harry Hamersma, Pintu Masuk ke
Dunia Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1981) 10.
[2]B. Samuel Sidjabat, Strategi
Pendidikan Kristen (Yogyakarta: Andi Offset, 1994) 2.
[3]Titus, et.al., Persoalan-persoalan Filsafat (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984) 7-9.
[4]C. A. van Peursen, Orientasi di
Alam Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1980) 10-11.
[5]Ibid. 11; 17.
[6]George R. Knight, Issues and
Alternatives in Educational Philosophy (Michigan: Andrews University
Press, 1982) 4-5.
[7]Mohammad Noor Syam, Filsafat
Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila (Surabaya: Usaha Nasional, 1986) 24.
[8] Ibid.
[9]Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan
Kurikulum: Teori dan Praktek (Bandung:
Remaja Rosda Karya, 2005) 14.
[10]Arifin H.M., Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teori
dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipline (Jakarta:Bina Aksara,
1993) 2.
[11]M. Ngalim Purwanto, Ilmu
Pendidikan: Teoritis dan Praktis (Bandung: Remadja Karya, 1988) 1.
[12]Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius,
1996) 82.
[13]Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek,
14.
[14]Arifin H.M., Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teori dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipline (Jakarta: Bina Aksara, 1993) 2.
[15]Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode
(Yogyakarta: Andi Offset, 1994) 14.
[16]Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia,
Filsafat dan Pendidikan (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997) 4.
[17]Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, 83.
[18]B. Samuel Sidjabat, Strategi
Pendidikan Kristen, 8.
[19]B.S. Mardiatmadja, Tantangan
Dunia Pendidikan (Yogyakarta: Kanisius, 1986) 19.
[20]M. Ngalim Purwanto, Ilmu
Pendidikan: Teoritis dan Praktis, 11.
[21]Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat
Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan, 14.
[22]Arifin H.M., Ilmu Pendidikan
Islam: Suatu Tinjauan Teori dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipline,
1.
[23]Baca John S. Brubacher, Modern
Philosophies of Education (Tokyo: McGraw Hill Book Comnpany, 1978).
[24]John W.M. Verhaar SJ, Filsafat
yang Mengelak (Yogyakarta: Kanisius, 1980)
69, 70.
[25]Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, 14.
[26]Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan
Pendidikan, 17.
[27]Jan Hendrik Rapar, Pengantar
Fislafat, 44.
[28]Ibid. 44.
[29]Imam Barnadib, Filsafat
Pendidikan, 16.
[30]Ibid. 45.
[31]Ibid.
[32]Ibid. 46.
[33]Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat
Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2003) 29; baca juga Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, 16.
[34]Ibid. 37.
[35]Ibid.
[36]Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, 37.
[37]Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat
Pendidikan, 39.
[38]Ibid. 39.
[39]Dagobert Rune, Dictionary of Philosophy (New Jersey: Litlefield Adams,
1963) 32.
[40]Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan (Bandung: Remadja
Rosdakarya, 2001) 232.
[41]Baca Louis O. Kattsoff, Pengantar
Filsafat (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992) 333-348.
[42]Ibid. 332.
[43]Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu
Pendidikan, 232.
[44]S. Nasution, Pengembangan
Kurikulum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990) 3.
[45]Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan, 233.
[46]Ibid.
[47]J.E. Sahetapy, “Tinjauan Kritis atas Isu-isu Hak Asasi Manusia”, Simposium PASTI ke IX di Surabaya, 5-6 September (2000) 8.
[48]W. Gulo, “Penampakan Identitas dan Ciri Khas dalam Penyelenggaraan
Sekolah Kristen”, Identitas & Ciri Khas Pendidikan Kristen di Indonesia antara
Konseptual dan Operasional (2000) 90.
[49]Purnawan Tenibemas, “Cermin Besar bagi Sekolah Alkitab atau Teologi”, Jurnal Pengarah, April (2005) 4.
[50]Muhammad Ali, Pengembangan Kurikulum di
Sekolah (Bandung: Sinar Baru, 1992) 3.
[51]M. Moh. Rifai, Administrasi dan
Supervisi Pendidikan (Bandung: Jemmars, 1982) 115.
[52]Muhammad Ali, Pengembangan Kurikulum di
Sekolah, 2.
[53]Ibid., 2-3.
[54]Eli Tanya, Gereja dan Pendidikan Agama
Kristen (Cipanas: STT Cipanas, 1999)
27.
[55]Randolph C. Miller, Education for
Christian Living (New Jersey: Prentice Hall, 1956) 44.
[56]Abdul Rajak Husain, Penyelenggaraan
Pendidikan Nasional (Solo: CV Aneka, 1995) 34.
[57]W.P. Napitupulu, Dimensi-dimensi
Pendidikan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1969) 58.
[58]Ornstein/Levine, Foundations of Education (Dallas: Houghton
Mifflin Company, 1989) 528.
[59]Muhammad Ali, Pengembangan Kurikulum di
Sekolah, 52-60.
[60]Baca Ralph Tyler, Basic Principles of Curriculum and Instruction (Chicago-London:
The University of Chicago Press, 1970).
[61]Paul H. Vieth, The Church and Christian Education (ST. Louis:
Bethany Press, 1951) 36-37.
[62]Eli Tanya, Gereja dan Pendidikan Agama Kristen, 29.
[64]Greta Hofmann Nemiroff, Reconstructing Education (New York:
Bergin & Garvey, 1992) 143.
[65]Muhammad Ali, Pengembangan Kurikulum di Sekolah , 4-14.
[66]Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek,
4.
[67] Bebby C.E., Pendidikan di Indonesia, Penilaian dan Pedoman Perencanaan
(Jakarta: LP3S, 1993) 144.
[68]Berlatar belakang nilai-nilai agama di mana proses
pendidikan menitikberatkan kepada ketuhanan atau agama. Semua pendidikan
dimaksudkan untuk membawa si anak agar ia selalu berbakti kepada Tuhannya,
selalu hidup menuruti dan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh agamanya.
[69]Berlatar belakang pengetahuan di mana proses pendidikan
menitikberatkan ke duniawian. Mereka mendidik anak-anak untuk dapat dan sanggup
hidup di dunia ini yang penuh dengan rintangan-rintangan dan
kesukaran-kesukaran yang harus diatasinya, untuk mencapai kebahagiaan hidupnya.
Hal ini terjadi pada abad ke-18 dan ke-19 (abad rasio), yang pada waktu itu
teknik dan ilmu pengetahuan alam sedang maju pesat. Waktu itu orang lebih
mengutamakan hal-hal yang berhubungan
dengan kehidupan duniawi dan kebendaan daripada hal-hal yang bersifat
kerohanian.
[70]S. Nasution, Pengembangan Kurikulum, 49-50.
[71]Purnawan Tenibemas, “Cermin Besar bagi
Sekolah Alkitab atau Teologi”.
[72]Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, 82.
[73]Ibid.
[74]Stella van Petten Henderson, Introduction
to Philosophy of Education (Chicago: The University of Chicagi Press, 1959)
237.
[75]Stephen Tong. Arsitek Jiwa II (Jakarta: Lembaga Reformed, 1995) 32.
[76]Edward dan F.Simpson, “Principles of Biblical Teaching and
Learning”, Introduction to Bibical Christian Education. Edit: Werner C.
Graendorf (Chicago: Moody, 1988) 71.
[77]C. H. Benson, Teknik Mengajar (Malang: Gandum
Mas,1980) 8.
[78]Mary G. Setiawani, Pembaharuan Mengajar (Jakarta: Kalam
Hidup, 1996) 62.
[79]Homrighausen dan Enklaar, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: BPK,
1984) 13-16.
[80]Edward L. Hayes, “The Biblical Foundation of Christian
Education”, 28.
[81]Homrighausen dan Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, 13-14.
[82]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 19.
[83]J.M. Price, Yesus
Guru Agung (Bandung: LLB, 1997) 54.
[84]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 23
[85]William Barclay, Duta
bagi Kristus (Jakarta: Gunung Mulia, 1985) 11-13.
[86]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 68.
[87]Edward L. Hayes, 30.
[88]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 25.
[89]Ibid. 112.
[90]B.S. Sijabat, Strategi Pendidikan Kristen, 1.
[91]Ibid. 248.
[92]Homrighausen & Enklaar, 180-181.
[93]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 68.
[94]Benson, 6.
[95]Ibid. 6-7.
[96]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 35.
[97]Homrighausen & Enklaar, 181.
[98]Stephen Tong, Arsitek Jiwa II, 23-25.
[99]Jachin Karuniadi, Kelahiran Baru (Bandung: LLB, 1979) 6, 7-32, 36-38.
[100]Benson, 12.
[101]Ibid. 7.
[102]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 34.
[103]Stephen Tong, Arsitek Jiwa I (Jakarta: Lembaga Reformed, 2001) 33-35.
[104]Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Paraktek PAK. Jilid 1 (Jakarta:
Gunung Mulia, 1997) 247.
[105]Stephen Tong, Arsitek Jiwa II, 25-26.
[106]Homrighausen dan Enklaar, 182.
[107]B.S. Sijabat, Strategi Pendidikan Kristen, 249.
[108]Homrighausen & Enklaar, 180.
[109]Ibid. 181.
[110]Stephen Tong, Arsitek Jiwa I, 51.
[111]Wayne R. Rood, The Art of Teaching Christianity (New York: Abingdon Press, 1968)
51.
[112]John T.Sisemore, Guru dan Murid: Teman Sekerja (Bandung: LLB, t.t.) 6-17.
[113]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 90-91.
[114]Ibid. 109.
[115]C.H. Benson, 68, 93.
[116]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 113.
[117]Ibid.
[118]Edward dan F. Simpson, 72-73.
[119]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 113.
[120]Stephen Tong, Arsitek Jiwa I, 53.
[121]John M. Gregory, 7 Hukum Mengajar (Malang: Gandum Mas, t..t.) 47.
[122]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 112-113.
[123]Stephen Tong, Arsitek Jiwa II, 32.
[124]C.H. Benson, 8.
[125]Edward dan F. Simpson, 71.
[126]Stephen Tong, Arsitek Jiwa I, 54.
[127]Mary Go Setiawani, 78.
[128]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 108.
[129]Tong Stephen, Arsitek Jiwa II, 85-99.
[130]Ibid.
[131]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 112.
[132]Stephen Tong, Arsitek Jiwa II, 85-99.
[133]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 112.
[134]Hasan Alwi (pemred.), Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 2002) 17.
[135]Winarno Surakhmad, Pengantar Interaksi Mengajar-Belajar
(Bandung: Tarsito, 1982) 34.
[136]Linda J. Vogel, Mengajar dan Belajar di dalam Kelompok Masyarakat
Iman (Semarang: STBI, tp.th) 55.
[137]Ad. Rooijakkers, Mengajar dengan Sukses
(Jakarta: Grasindo,1982) 6.
[138]Ibid. 58.
[139]Ibid. 60-61.
[140]Ratna Wilis Dahar, Teori-Teori Belajar (Bandung: Erlangga,
1989) 11.
[141]Muhibbin
Syah, Psikologi Pendidikan
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995) 88.
[142]Ibid. 90.
[143]B.S. Sidjabat, Menjadi Guru yang Profesional, 40.
[144]E.P. Hutabarat, Cara Belajar, 12.
[145]Zainudin Arif, Andragogi (Bandung:
Angkasa, 1994) 5.
[146]Ibid. 6.
[147]Ibid. 7.
[148]Winarno Surakhmad, Pengantar Interaksi
Mengajar Belajar, 66.
[149]Hutabarat E.P., Cara Belajar (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1986) 20.
[150]Ibid. 25.
[151]Winarno Surakhmad, Pengantar Interaksi Mengajar Belajar, 66.
[152]Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, 227.
[153]Ibid.
[154]Zainudin Arif, Andragog, 78-80.
[155]B.S.
Sidjabat, Menjadi Guru yang Profesional, 93.
[156]Baca H.R. Mill, Teaching and
Training A Handbook for Intruction (New York: Micmillan, 1977).
[157]Baca David Kolb, Styles of Learning Invertory (1981).
[158]Mary Go Setiawani, Pembaruan Mengajar (2004) 22-33.
[159]Jay Kesler, Tolong Saya Punya Anak Remaja
(Jakarta: BPK, 1986).
[160]O. Hallesby, Temperamen dan Iman Kristen (Jakarta:
Tenda Artika, 1989) 7.
[161] H. Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, 2002, 108.
[162]Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, 29.
[163]Ibid. 35.
[164]Ibid. 35.
[165] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1999) 32.
[166] Ibid.
[167] Mark B. Woodhouse, Berfilsafat
sebuah Langkah Awal (Yogyakarta: Kanisius,
2000) 34.
[168] Ibid. 35.
[169] Uyoh Sadulloh, Pengantar
Filsafat Pendidikan, 89.
[170] Ibid. 90.
[171] Ibid.
[172] George F. Kneller, Introduction
To The Philosophy of Education (The United States of America, 1971) 29-30.
[173]J. Donald Butle1, Four Philosopy (New York: Harper & Brothers Publishing, 1950)
34.
[174]J. Donald Butler, Four
Philosophies And Their Practice in Education and Religion (New York: Harper
& Brothers Publishers, 1957) 35-37.
[175]Norman L. Geisler, Etika Kristen
Pilihan dan Isu (Malang: SAAT, 2000) 122.
[176]Dagobert Rune, Dictionary of Philosophy, 98.
[177]Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, 41.
[178]George R. Knight, Philosophy and
Education (Michigan: Andrew University Press, 1980) 41-112; Michael L. Peterson, Philosophy of Education (Leicester: InterVarsity Press, 1986) 23-76.
[179] J. Donald Butler, Idealism in
Education (New York: Harper & Row, 1966) 80.
[180]Ibid. 81.
[181]J. Donald Butle, Idealism in
Education (New York: Harper & Row, 1966) 5-37.
[182]J. Donald Butler, Idealism in
Education, 85.
[183]Ibid. 87.
[184]Ibid. 92.
[185]Ibid. 93.
[186]Ibid.
[187]Ibid. 96.
[188]Ibid.
[189]Ibid. 97.
[190]Ibid. 99-102.
[191]Ibid.
[192]Ibid. 104.
[193]Ibid.
[194]Ibid. 110.
[195]Ibid. 111.
[196]Ibid.
[197]Ibid. 112.
[198]Ibid.
[199]Ibid. 113.
[200]Ibid. 114.
[201]Ibid.
[202]Ibid. 114-115.
[203]Ibid. 115.
[204]Ibid. 117.
[205]Suparlan Suhartono, Filsafat
Pendidikan (Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2007) 41.
[206]George R. Knight, Philosophy and Education (London: Andrews
University Press, 1980) 52.
[207] Jack Terry tt, Education
Philosophy (Texsas: SBTC, 1982) 101.
[208]Ozmon & Craver, Philosophical
Foundations of Education (Virginia: Commonwealth Univercity, 1995) 39.
[209]Howard A. Ozmon dan Samuel M. Craver, Philosophical Foundations of Education (New Jersey: Prentice Hall,
1991) 39-53.
[210]Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, 103-112.
[211]Wakhudin
dan Trisnahada, Filsafat Naturalisme
(Bandung: PPS-UPI, 2009); akhmadsudrajat.wordpress.com. (Diambil tanggal 17
Januari 2009).
[212]http://astaqauliyah.com/2007/01/20/filsafat-naturalisme
(Diambil 10 Maret 2007).
[213]Jack Terry, Education Philosophy,
101-103.
[214]Ibid. 104-105.
[215]Ibid. 105-106.
[216]Ibid. 106.
[217]Ibid. 107; WM. Oliver Martin, Realism in Education (Newk York: Harper
& Row Publishers, 1969) 148-156.
[218]Cek
pembahasan tentang Filsafat Pendidikan Realism:
Naturalisme berasal dari kata “nature.” Kadang pendefinisikan “nature”
hanya dalam makna dunia material saja, sesuatu selain fisik secara otomatis
menjadi “supranatural.” Tetapi dalam realita, alam terdiri dari alam material
dan alam spiritual, masing-masing dengan hukumnya sendiri. Era Pencerahan,
misalnya, memahami alam bukan sebagai keberadaan benda-benda fisik tetapi
sebagai asal dan fondasi kebenaran. Ia tidak memperlawankan material dengan
spiritual, istilah itu mencakup bukan hanya alam fisiktetapi juga alam
intelektual dan moral. Salah satu ciri yang paling menakjubkan dari alam
semesta adalah keteraturan. Benak manusia sejak dulu menangkap keteraturan ini.
Terbit dan tenggelamnya matahari, peredaran planet-planet dan susunan
bintang-bintang yang bergeser teratur dari malam ke malam sejak pertama kali
manusia menyadari keberadaannya di dalam alam semesta, hanya merupakan
contoh-contoh sederhana. Ilmu pengetahuan itu sendiri hanya menjadi mungkin
karena keteraturan tersebut yang kemudian dibahasakan lewat hukum-hukum
matematika. Tugas ilmu pengetahuan umumnya dapat dikatakan sebagai menelaah,
mengkaji, menghubungkan semua keteraturan yang teramati. Ilmu pengetahuan
bertujuan menjawab pertanyaan bagaimana dan mengapa. Namun khusus untuk
kosmologi, pertanyaan ‘mengapa’ ini di titik tertentu mengalami kesulitan yang
luar biasa.
[219]K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1979) 75.
[220]Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1997) 66-67; baca juga Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan,113-116.
[221]Democritus adalah seorang filosof Yunani Kuno yang hidup
sekitar tahun 460-370 SM. Ia adalah atomis pertama, materialis
pertama dan perintis sains mekanik. Ketika ditanya, “Alam ini dibuat dari apa?”
atau “Apakah yang riil itu” ia menjawab, “Alam terdiri dari dua bagian. Pertama
adalah atom, bagian yang sangat kecil sekali dan tak terbatas jumlahnya,
mempunyai kualitas yang sama, tetapi mengandung perbedaan yang bemacam-macang
tentang besar dan bentuknya. Kedua adalah ruang
kosong di mana atom-atom tersebut bergerak.
Atom adalah terlalu kecil untuk
dilihat mata, dan tak dapat rusak. Atom menggabungkan diri berkombinasi dengan
cara bermacam-macam membentuk manusia, binatang, tanam-tanaman, batu-batuan dan
sebagainya. Jika atom itu dalam jumlah yang sangat besar bertabrakan serta
terpental ke berbagai jurusan, timbullah bermacam-macam benda. Atom ini bersama
gerakan-gerakannya di angkasa merupakan penjelasan tentang fenomena-fenomena.
Democritus merupakan seorang rasionalis yang mengatakan bahwa akal itu tahu benda-benda
yang benar. Persepsi indra hanya memberi pengetahuan yang relatif.
[222]Kelompok
materialis, sebagaimana kelompok aliran-aliran lainnya tidak sepakat atas
segala persoalan, atau tidak berpegang seluruhnya kepada persoalan-persoalan
tersebut di atas. Dalam dunia sekarang, materialisme dapat mengambil salah satu
dari dua bentuk, satu mekanisme atau materialisme mekanik (mechanistic
materialism) dengan tekanan pada sains alam; dan kedua materialisme dialektik
(dialectical materialsm) yang merupakan filsafat resmi Rusia, Cina, dan
kelompok-kelompok komunis lainnya di seluruh dunia. Materialisme mekanik
mempunyai daya tarik yang sangat besar oleh karena kesederhanaannya. Dengan
menerima pendekatan itu, seseorang merasa telah dapat membebaskan diri dari problema-problema
yang membingungkan yang selama beabad-abad. Apa yang riil (benar,
sungguh-sungguh ada) dalam manusia adalah badannya, dan ukuran kebenaran atau
realitas adalah sentuhan penglihatan dan suara, yakni alat-alat verifikasi
eksperimental (Juhaya S. Pradja, 1987).
[223]Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat
Pendidikan, 65.
[224]J. Donald Butler, Four
Philosophies, 81-82.
[225]Gerald L. Gutek, Historical and
Philosophical Foundations of Education (New Jersey: Prentice-Hall, inc.,
1997) 103.
[226]Gerald L. Gutek, Historical and
Philosophical Foundations of Education, 104.
[227]Ibid.
[228]M.A.W. Brouwer, Sejarah Barat
Modern dan Sejaman (Bandung: Alumni, 1980) 11-12; baca juga Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2
(Yogyakarta: Kanisius, 1980) 36-37.
[229]J. Donald Butler, Four
Philosophies, 72-73.
[230]J. Donald Butler, Four
Philosophies and Their Practice in Education and Religion ( New York:
Harper & Brother Publishers, 1957)
64-79.
[231]Gerald L. Gutek, Historical and
Philosophical Foundations of Education, 279-80.
[232]Ibid.
[233]J. Donald Butler, Four
Philosophies, 76-77.
[234]Bobbi De Porter & Mike Hernacki, Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan (Bandung: Kaifa, 2000) 44.
[235]Hawasi, Thomas Aquinas:
Menyelaraskan antara Iman dan Akal (Jakarta: Polyama, 2003) iii.
[236]The World University
Encyclopedia (Washington DC: Publisher Company Inc,
1965) 3088.
[237]Hawasi, Thomas Aquinas, iv.
[238]Darmodiharjo, Pokok-pokok
Filsafat Hukum (Jakarta: Gramedia) 68.
[239]Sudarto, Metodologi Penelitian
Filsafat (Jakarta: Rajagrafindo Perkasa, 1996) 32.
[240] Hawasi, Thomas Aquinas, 6.
[241]Jostein Gaarder, Dunia Sophie (Bandung:
Mizan, 1999) 201.
[242]Hawasi, Thomas Aguinas, 7.
[243]Ibid. 10.
[244]Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh
Etika:Sejak Jaman Yunani sampai Abad ke 19
(Yogyakarta, Kanisius, 1997) 85.
[245]Ibid. 22-23.
[246]Hawasi, Thomas Aquinas, 24.
[247] Ibid. 26-27.
[248]Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika:Sejak Jaman Yunani sampai
Abad ke-19, 85.
[249]Hawasi, Thomas Aquinas, 32.
[250]Anton Bakker, Ontologi Metafisika Umum (Yogyakarta: Kanisius, 1992) 33.
[251]Hawasi, Thomas Aquinas, 35.
[252]Harun Hadiwijono, Sari FIlsafat Barat I (Yogyakarta:
Kanisius, 1992) 107-108.
[253]Hawasi, Thomas Aquinas, 39.
[254]Ibid. 43.
[255]Ibid. 46.
[256]The World University
Encyclopedia (Washington DC: Publisher Company Inc,
1965) 3088.
[257] Lihat http//en.wikipedia.org/wiki/neothomisme
(Diambil 25 Agustus 2000).
[258]Suparlan Suhartono, Filsafat
Pendidikan, 18.
[259]Ibid. 23.
[260]Ibid. 34.
[261] Dominic Strinati, Popular Culture: Pengantar Menuj Teori Budaya Populer (Yogyakarta:
Bentang Budaya, 1995) 17.
[262]Ibid. 18.
[263]Hawasi, Thomas Aquinas, 4.
[264]Werner C Graendorf, Introduction
of Biblical Christian Education (Chicago: Moody Press, 1981) 16.
[265]Charles Ryrie, Teologi Dasar I (Yogyakarta: Andi, 1991) 245.
[266]Ibid. 265.
[267]Ibid. 266-268.
[268]Jack Terry, Education Philosophy,
111 mengatakan bahwa pragmatisme mempunyai banyak nama seperti: “experimentalism”, “progressivism”,
“instrumentalism”, bahkan “reconstructionism”.
Berkaitan ini, Redja Mudyahardjo,
Filsafat Ilmu Pendidikan (Bandung:
Rosdakarya, 2004) 235-240 mengatakan bahwa salah satu aliran filsafat pendidik
dari beberapa aliran filsafat yang ada seperti: idealisme, realisme,
scholastisisme, empirisme, dan
neopositivisme.
[269]George F. Kneller, Introduction
to the Philosophy of`Education (New York: John Wiley & Sons, Inc.,
1971) 13; baca juga J. Donald Butler, Four Philosophies (New York: Harper
& Brothers Publisher, 1957) 417.
[270]Howard A. Ozmon & Samuel M. Craver, Philosophical Foundations of Education (New Jersey: Prentice Hall,
1995) 121-170; J. Donald Butler, Four Philosophies, 417-443; baca juga Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: CV Alfabeta, 2003) 118 mengatakan bahwa pendiri filsafat
pragmatisme di Amerika adalah Charles Sandre Peirce (1839-1914), William James
(1842-1910), dan John Dewey (1859-1952). Ketiga filosof tersebut berbeda, baik
dalam metodologi maupuan dalam kesimpulannya. Pragmatisme Pierce dilandasi oleh
fisika dan matematika, filsafat Dewey dilandasi oleh sains-sains sosial dan
biologi, sedangkan filsafat James adalah
personal, psikologis, dan bahkan mungkin religius. Tetapi sebenarnya,
latarbelakang pragmatisme dapat
ditemukan hasil kerja dari: Francis Bacon (a new way of thinking), John Locke
dan Jean-Jacques Rousseau (the centrality of Experience), Auguste Comte dan
Charles Darwin dan (science and society). Sedangkan tokoh yang mempengharuhi
semua itu para filosos Yunani mulanya seperti: Heraclitus dan The Sophists.
[271]Howard A. Ozmon & Samuel M. Craver, Philosophical Foundations of Education, 121. Istilah lainnya yang dapat diberikan
para filsafat pragmatisme adalah intrumentalisme dan eksperimentalisme. Disebut
instrumentalisme, karena mengganggap bahwa dalam hidup ini tidak dikenal tujuan
akhir, melainkan hanya tujuan berikutnya, termasuk dalam pendidikan tidak
mengenal tujuan akhir. Dikatakan eksperimentalisme, karena filsafat ini
menggunakan metode eksperimen dan berdasarkan atas pengalaman dalam menentukan
kebenarannya.
[272] William James, Pragmatism
(New York: Longmans, 1907) 54-55.
[273] Muis Sad Iman, Pendidikan
Partisipatif (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004) 42.
[274]George R. Knight, Philosophy and
Education (Michigan: Andrews University Press, 1980) 67-68.
[275]Jack Terry, Education Philosophy,
112.
[276]Nel Noddings, Philosophy of
Education (USA: Westview Press, 1995)
31.
[277]George R. Geiger, “An Experimentalist Approach to Education”, Modern Philosophies and Education, ed.
Nelson B. Henry (1955) 138.
[278]Howard A. Ozmon dan Samuel M. Craver, Philosophical Foundations of
Education, 122- 131.
[279]Baca Uyoh Sadulloh, Pengantar
Filsafat Pendidikan,119-123.
[280]George R. Knight, Philosophy and
Education, 13.
[281]Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu
Pendidikan,235-237.
[282]Ibid. 35.
[283]Ibid. 35.
[284]Ernest E. Bayles, Pragmatism in
Education (New York: Harper & Row, 1966) 42.
[285]J.P. Sarumpaet, Perbandingan
Pendidikan, Perancis, Inggris, Amerika Serikat dan Uni Soviet (Jakarta:
Djambatan, 1965) 144-145.
[286]Baca John Dewey, Democracy and
Education (New York: The McMillan Company, 1964) 69.
[287]Ibid.; baca Gerald L. Gutek, Historical
and Philosophical Foundations of Education (New Jersey: Prentice-Hall,
Inc., 1997) 318-321.
[288]Ibid. 56.
[289]Muis Sad Iman, Pendidikan
Partisipatif, 55.
[290]Ibid. 83-89.
[291]Ernest E. Bayles, Pragmatism in
Education (Newk York: Harper & Row Publishers, 1966) 92-108.
[292]Howard A. Ozmon & Samuel M. Craver, Philosophical Foundations of Education, 145-146.
[293] Baca Sidney Hook, in Education
for Modern Man (New York: Knopf, 1963).
[294]William Heard Kilpatrick, In
Education for a Changing Civilization (New York: Macmillan, 1927).
[295]George R. Geiger, “An Experimentalist Approach to Education”, 144.
[296]Ibid. 100.
[297]Jack Terry, Education Philosophy,
123.
[298]Wasty Soemanto dan Hendyat Soetopo,
Dasar & Teori Pendidikan Dunia
Tantangan bagi Para Pemimpin Pendidikan (Surabaya: Usaha Nasional, 1982)
121-125.
[299]Imam Barnadib, Fisafat
Pendidikan, Sistem dan Metode, 29.
[300]Baca Theodore Brameld, The
Pattern of Educational Philosophy (New York: The Mac. Milland Company,
1956).
[301]John Dewey, Experience and
Education: Pendidikan Berbasis Pengalaman (Bandung: Teraju, 2004) 10,12.
[302]Jack Terry, Education Philosophy,
123.
[303]George R. Knight, Philosophy and
Education, 73.
[304]Jack Terry, Education Philosophy,
122.
[305]Ernest E. Bayles, Pragmatism in
Education, 21.
[306]Ibid. 69.
[307]George R. Geiger, “An Experimentalist Approach to Education”, 149-153.
[308]Baca John Dewey, Experience and Education, 19-33.
[309]Howard A. Ozmon dan Samuel M. Craver, Philosophical Foundations of Education, 244-256.
[310]Van Cleve Morris, Existentialism
in Education: What it Mean’s `(Newk York: Harper & Row Publishers,
1966) 134.
[311]George F. Kneller, Introduction
to the Philosophy of Education (New
York: John Wiley & Sons, Inc.,
1964) 57-60.
[312]Howard A. Ozmon dan Samuel M.
Craver, Philosophical Foundations of Education, 175-184.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar