Guru PAK sebagai ujung Tombak :
PENGAJARAN, PENGINIJILAN dan PEMURIDAN.
Senin, 27 sep 2019
KONTRAK
PEMBELAJARAN TEORI PAK
KONTRAK PEMBELAJARAN
MATA KULIAH :
TEORI PAK
DOSEN :
Dr. Eko.B.
BOBOT SKS :
(2 Sks)
PROGRAM STUDI :
S2 THEOLOGIA PAK
SEKOLAH TINGGI TEOLOGI POKOK ANGGUR
TAHUN AKADEMIK 2019/ 2020
I.
DESKRIPSI MATA KULIAH
Perkuliahan Teori Pendidikan Agama Kristen (PAK)
mempelajari dan membahas, Arti, definisi dan hakekat PAK, serta tujuan PAK itu
sendiri, baik tujuanUmum, tujuan lembaga. Karena PAK sebagai salah satu tugas
Gereja yang banyak, maka dalam hal ini akan dibahas secara konferhensif, yaitu
dengan melihat sejarah perkembangan PAK dalam Kitab Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru.
PAK tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia.
Sejak dalam keluaga PAK sudah diperkenalkan oleh orang tua, baik secara
langsung maupun tidak. Dengan demikian melalui PAK manusia mengakui dan percaya
sebagai Ciptaan Allah, bahkan sebagai Citra Allah sendiri, yang harus
mengembangkan segala aspek kehidupannya guna pekerjaan dan pelayanan lebih
luas.
Mahasiswa sebagai calon Hamba Tuhan dan Guru PAK,
baik di Gereja maupun di sekolah harus mengetahui dan memahami tugas panggilan
ini, sebagai suatu panggilan imaniah. Oleh sebab itu mahasiswa theologia harus
melengkapi diri supaya dapat menjalankan tugas pangilan Gereja tersebut.
Lebih lanjut, sebagai seorang Pemimpin rohani dan
hamba Tuhan yang profesional, harus dapat merumuskan Kurikulum PAK baik di
sekolah maupun di Gereja berdasarkan pemahaman Mahasiswa terhadap Alkitab
sebagai Bahan/ sumber utama dari perumusan Kurikulum PAK. Memilih dan
menggunakan metode-metode mengajar, media Pembelajaran serta dapat
mengembangkan PAK secara aktif, kreatif dan inovatif, sebagaimana dilakukan
TuhanYesus sebagai Guru Agung.
II.
TUJUAN MATA KULIAH
Setelah menempuh mata kulih ini mahasiswa diharapkan
dapat:
1. Memiliki
dasar pemikiran filosofis dan teoritis mengenai Arti dan Hakekat PAK, mengenal fungsi dan kepentingan PAK serta
mencintainya.
2. Mengenal
sejarah PAK, baik dalam Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjin Baru, serta
dalam kehidupan gereja pada masa kini.
3. Dapat
merencanakan PAK baik di sekolah maupun di gereja.
4. Mempunyai
pengertian dan ketrampilan mengunakan metode-metode dalam Pengajaran PAK, baik yang dilaksanakan
di Gereja maupun di Sekolah.
5. Mempunyai
pengertian dan ketrampilan mengunakan Media Pembelajaran dalam Pengajaran PAK, baik yang dilaksanakan di
Gereja maupun di Sekolah.
6. Dapat
mengembangkan Pembelajaran PAK secara aktif, kreatif dan inovatif, sebagaimana dilakukan TuhanYesus
sebagai Guru Agung sehingga orang yang mendengarnya
takjub dan mau mengikut Tuhan Yesus.
III.
URAIAN POKOK BAHASAN SETIAP PERKULIAHAN
Pertemuan 1 :
Membahas:
• Introduksi
dan Orientasi Tujuan Mata Kuliah (seperti tersebut di atas)
• Orientasi
ruang lingkup mata Kuliah (seperti tercantum di bawah ini)
- Kebijaksanaan
pelaksanaan Perkuliahan
- Kebijaksanaan
penilaian hasil belajar (Berdasarkan Kehadiran, keaktifan di dalam dan luar kelas, tugas kelompok dan tugas
mandiri, TTS, TAS)
- Introduksi
tugas yang harus diselesaikan
- Buku
ajar, buku wajib mahasiswa dan sumber belajar lainnya (tercantum di
bawah)
- Hal-hal
lain yang esensial dari pengalaman pelaksanaan perkuliahan.
• Uji
Kompetensi:
Untuk mendapatkan pengetahuan yang benar tentang
Teori PAK, maka ketahuilah apa yang kamu ketahui dan ketahuilah apa yang kamu
tidak tahu, yaitu dengan mengerjakan soal-soal berikut:
1. Apa yang Anda Ketahui tentang PAK
2. Apa yang Anda Ketahui tentang Teori PAK
3. Apa yang ingin Anda ketahui tentang Teori
PAK?
4. Apa yang ingin Anda ketahui tentang PAK sebagai
tugas Gereja?
5. Apa hubungan mempelajari Teori PAK dengan tugas
Anda sebagai Hamba
Tuhan dan Guru PAK, baik di gereja maupun di
Sekolah!
• Mempelajari
dan Membahas Arti PAK
• Mempelajari
alasan dan Pentingnya PAK
Pertemuan 2:
1. Mempelajari
dan membahas Tujuan PAK
Yaitu
Tujuan Umum PAK, tujuan Lembaga dan tujuan PAK serta cara merumuskan tujuan PAK.
2. Tugas:
Sebutkan
minimal 2 tujuan PAK bagi Lembaga-lembaga Kristian!
Pertemuan ke 3:
1. Mempelajari
PAK sebagai tugas Gereja.
2. Tugas:
Mendaftarkan tugas-tugas Gereja:
3. Menjawab
pertanyaan:
- Sejauh
mana gereja berperan dalam PAK, baik di gereja maupun di sekolah.
- Diskusikan
dengan temanmu, menurut kamu apa saja yang sudah dilakukan gereja dalam pelaksanaan PAK baik di jemaat
maupun di Sekolah!
- Apakah
pentingnya PAK terhadap pertumbuhan dan perkembangan iman jemaat, baik secara kwalitas maupun kuantitas!
4. Mengumpulkan
tagihan pada pertemuan 2.
Pertemuan ke -4:
1. Mempelajari
PAK dalam PL dan PB
2. Mahasiswa
dibagi menjadi beberapa kelompok. Dalam setiap kelompok, mahasiswa mencari informasi dalam Alkitab PL dan
PB tentang PAK atau pengajaran Agama. Hasil
penelitian dipresentasikan di depan kelas pada pertemuan 5:
Pertemuan ke 5:
1. Mempelajari
PAK dalam PL dan PB
2. Kelompok
I mempresentasikan hasil penelitian tentang PAK dalam PL dan PB.
3. Bersama
dosen pengampu merangkum haisl Diskusi kelompok yang sudah dipresetasikan.
Pertemuan ke 6 :
1. Mempelajari
PAK dalam PL dan PB
2. Kelompok
II mempresentasikan hasil penelitian tentang PAK dalam PL dan PB.
3. Bersama
dosen pengampu merangkum haisl Diskusi kelompok yang sudah dipresetasikan.
Pertemuan ke 7 :
1. Mempelajari
PAK dalam PL dan PB
2. Kelompok
III mempresentasikan hasil penelitian tentang PAK dalam PL dan PB.
3. Bersama
dosen pengampu merangkum hasil Diskusi kelompok yang sudah dipresetasikan.
4. Penjelasan
persiapan Tes Tengah semester (Bahan Pertemuan1 a/d 7)
Pertemuan ke 8 :
1. Tes
Tengah semester (Bahan Pertemuan1 a/d 7)
2. Prinsip-prinsip
Alkitab tentang Pengajaran dan Pembelajaran. Serta peran Roh Kudus (Tugas Merangkum Buku: Prinsip dan
Praktik PAK Karangan Drs. Paulus Lilik Kristiaanto,
Halaman 19-34 ). Memakai Power Point (dipesentasikan) seperti akan dipresentasikan.
Pertemuan ke -9 :
1. Mempelajari
Kurikulim PAK
2. Lokakarya
: Mempelajari bersama dan membuat atau merumuskan Kurikulum PAK di Sekolah.
3. Tindak
lanjut. Mahasiswa mencari Informasi tentang Kurikulum PAK di Sekolah
Dasar,
SMP dan SMA, SMK. ( Dikumpulkan pada pertemuan ke 13)
Pertemuan ke 10 :
1.
Memahami hubungan Guru Agama dengan Gereja
2.
Dosen dan Mahasiswa sarasehan: Topik: Kedudukan Guru dalam Gereja
3.
Mahasiswa berdiskusi dalam kelompok kecil
4.
Menyimpulkan hasil dikusi.
Pertemuan ke -11:
1. Memahami
PAK di sekolah
2. Diskusi:
Sejauh mana pelaksanaan PAK di Sekolah
3. Menyimpulkan
hasil dikusi.
Pertemuan ke -12:
1. Memahami
PAK di Gereja
2. Diskusi:
Sejauh mana pelaksanaan PAK di Gereja.
3. Menyimpulkan
hasil diskusi.
Pertemuan ke -13.
1. Mengumpulkan
tagihan pada pertemuan ke 9.
2. Tindak
lanjut. Mahasiswa mencari Informasi tentang Kurikulum PAK di gereja
lokal
( di Sekolah Minggu, Remaja-pemuda dan Dewasa)
3. Dikumpulkan
pada pertemuan ke 13:
Pertemuan ke -14:
1. Mempelajari
Metode-metode dalam pengajaran PAK
2. Mempelajari
Media Pembelajaran dalam pengajar PAK
3. Melihat
bersama-sama Metode-metode dan media yang dipakai Tuhan Yesus dalam pengajaran-Nya menurut Kitab
Injil.
4. Tugas
Individu: (Penyelidikan)
1. Mahasiswa
mendaftarkan metode-metode yang dipakai Tuhan Yesus
2. Mahasiswa
mendaftarkan media yang dipakai Tuhan Yesus dalam pengajaranNya.
3. Menyimpulkan
kelemahan dan kekuatan suatu metode dan media dalam pengajaran PAK. (Dikumpulkan pada pertemuan ke 15)
dan penjelasan untuk TAS.
Pertemuan ke -15:
1. Mengumpulkan
tagihan pada pertemuan 14
2. Tes
Akhir Semester.
IV. SISTEM PENILAIAN:
1. Absen dan keaktifan dalam kelas 10 %
2. Tugas Mandiri (Makalah) 15 %
3. Tugas merangkum dan
Laporan Penyelidikan 15 %
3. Tugas Kelompok, presentasi dan diskusi 20 %
4. Tes Tengah semester 20 %
4. Tes Akhir Semester 20 %.
V. DAFTAR PUSTAKA:
a. Prinsip
dan Praktik PAK, tahun 2006, (Bapak Drs. Paulus Lilik Kristiantio, M.Si,
Th.M)
b. Ajarlah
Mereka Melakukan, tahun 2005 (Bapak Dr. Andar Ismael)
c. Pendidikan
Agama Kristen, 2004, (Dr. E.G. Homroghosen dan Dr. I .H Enklaar)
d. Menjadi
dan menjadikan Murid Kristus, (Carol Fish)
e. Sejarah
Perkembangan Pikiran dan Praktek PAK, (Robert R.Boehlke, Ph.D)
f. Strategi
Pendidikan Kristen, Suatu Tinjauan Teologis-Filosofis ((B. Samuel
Sidjabat)
g. Yesus
Guru Agung (J.M. Price)
h. Metodologi
Penafsiran dan Perumpamaan Tuhan Yesus (Pdt. Dr. Paulus Daun, Th.M)
i. Bagaimana
mengelola Gereja Anda, Pedoman bagi Pendeta dan pengurus Kaum Awam (Edgar Walz)
j. Pelengkap
Katekismus Heidelberg (Ajaran GKJTU)
k. Pokok-pokok
Penting Dalam Alkitab (Witnner Lee)
l. Menjadi
Murid Yesus dan Tuntunannya (Kay Arthur Tom dan Jane Heart)
m. Pengembangan
SILABUS, sesuai dengan KTSP, Bahan Diklat keagamaan tahun 2007, (Bapak Slameto, M.Pd)
n. Silabus
PAK Sekolah Dasar (Kurikulum KTSP)
o. PENDIDIKAN
AGAMA KRISTEN, Referensi KTSP dengan kecerdasan majemuk Kelas I s/d VI), Dien Sumiyatiningsih Jogjakarta,
2008 Dien Sumiyatiningsih, PENDIDIKAN AGAMA
KRISTEN, Kurikulum 2004- KBK), Jogjakarta, 2006.
p. Tim
Redaksi PAK-PGI, Buku Guru PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN kelas 1 s/d VI, Jakarta, 2006.
q. Tim
Redaksi PAK-PGI, Buku Siswa PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN kelas 1 s/d VI, Jakarta, 2006
r. Artikel-artikel
dari Internet.
s. Petumbuhan,
perkembangan Gereja dan Penginjilan Melalui Pelayanan Siswa Rerpadu (Timotius Sukarman Cand. Andi Jogjakarta
KONTRAK PEMBELAJARAN PAK
KONTRAK PEMBELAJARAN
MATA KULIAH :
PERENCANAAN PEMBELAJARAN PAK
DOSEN :
dr.eko
BOBOT SKS :
2 SKS
PROGRAM STUDI :
S1 PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN
SEKOLAH TINGGI TEOLOGI POKOK ANGGUR
TAHUN AKADEMIK 2019/2020
I. DESKRIPSI MATA KULIAH
Pekuliahan “Perencanaan Pembelajaran PAK” membahas
Berbagai hal tentang Rencana yang akan dipakai dalam setiap proses
pembnelakaran PAK, mulai: Pemahaman kurikulum 94, KBK dan KTSP tahun 2006.
Dalam perkuliahan ini, akan membahas Perencaaan Pembelajaran Pendidikan Agama
Kristen secara umum, kemudian pengembangan Silabus, Perangkat KTSP, RPP dan RH,
bentuk evaluasi atau penilaian berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP).
Dalam studi ini digunakan pendekatan, teoritis-sistematis,
historis, maupun komparatif, yaitu diskusi, studi banding dan pengenalan
lapangan. Dari hasil pengamatan langsung, kemudian dipresentasikan di depan
kelas.
II. STANDAR KOMPETENSI:
Mahasiswa
memiuliki wawasan yangmemadai tentang berbagai aspek teoritis perencanaan pembelajaranPAK, menyadari
tanggungjaeasn guru, serta menunjukkan kebiasaan
mengajar PAK secara terencana.
III. KOMPETENSI DASAR
1. Mampu menjelaskan pengertian
perencanaan pembelajaran
2. Mampu menjelaskan perencanaan
pembelajaran sebagai suatu sistim
3. Mampu memjelaskan perencaaan
pembelajaran dalam konten KBK-KTSP
4. Mampu mengembangkan model-model
perencanaan pembelajaran
5. Mampu membuat pengembangan
silabus
6. Mampu membuat Perangkat KTSP
7. Mampu membuat RPP PAK
8. Mampu membuat RH (Rencana Harian)
9. Mampu membuat modul pembelajaran
PAK
10. Mampu membuat rencana sebelum melakukan
kegiatan pembelajaran.
IV. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah menempuh mata kuliah ini mahasiswa
diharapkan dapat:
1. Memiliki wawasan yang luas mengenai
rencana pembelajaran PAK.
2. Dapat membuat Perangkat KTSP
3. Dapat membuat Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) dalam konten KBK-KTSP
4. Dapat membuat Perangkat KTSP
5. Menghitung Standart Ketuntasan Miniml
(SKM)
6. Mampu membuat pengembangan
silabus
7. Mampu membuat Perangkat KTSP
8. Mampu membuat RPP PAK
9. Mampu membuat RH (Rencana Harian)
10. Mampu membuat modul pembelajaran
PAK
11. Mampu membuat rencana sebelum melakukan
kegiatan pembelajaran.
V. URAIAN POKOK BAHASAN SETIAP
PERTEMUAN
Pertemuan 1
Membahas :
• Introduksi
dan orientasi tujuan Mata Kuliah (seperti tersebut diatas)
• Orientasi
ruang lingkup mata kuliah (seperti tercantum di bawah ini)
• Kebijaksanaan
penilaian hasil belajar (berdasarkan kehadiran, ketaktifan dalam kelas, presensi, TTS, TAS, tugas kelompok kecil,
dan tugas mandiri)
• Introduksi
tugas yang harus diselesaikan dalam satu semester.
• Buku
ajar yang digunakan dan sumber belajar lainnya (tercanrum dibagian bawah)
• Hal-hal
lain yang esensial dari pengalaman pelaksanaan perkuliahan
• Uji
kompetensi:
1. Apa yang Anda ketahui Perencaaan
Pembelajaran PAK?
2. Apa yang Anda ketahui tentang
Silabus?
3. Apakah isi Perangkat KTSP
4. Apalah Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran?
5. Apakah Rencana Harian?
Pertemuan 2
1. Membahas
hakekat dan arti kurikulum KBK. antara lain, sejarah munculnya KBK tahun 2004.
2. Tugas:
Pada
pertemuan ke-2 tagihan 1 setiap mahasiswa secara individual harus
mengumpulkan
tugas (UJI KOMPETENSI) yang diketik dengan kertas kuarto
dengan
1 1/5 maksimal 2 halaman atau tulis tangan dengan kertas folio.
Pertemuan 3
1. Presentasi
Kurikulum KTSP 2006
2. Tugas
menyimpulkan:
a.
Apa itu KTSP?
b.
Guna, Fungsi KTSP dalam dunia pendidikan sekarang ini?
c.
Bagaimana kesiapan Sekolah dan guru PAK dalam menerapkan KTSP?
Pertemuan 4
1. Prinsip-prinsip
pengembang Silabus
2. Penjelasan
Tugas (untuk didiskusikan dalam kelompok) pentingnya memahami KTSP 2006.
Pertemuan 5
1. Presentasi
komponen Perangkat KTSP
2. Pengantar
Diskusi:
3. Dalam
kelompok kecil, mahasiswa berdiskusi tentang pentingnya Mata Kuliah Filsafat Pendidikan ini bagi tugas pembelajaran di
kemudian hari, khususnya pembelajaran Pendidikan
Agama Kristen. (Hasil diskusi akan dipresentasikan di depan kelas pada pertemuan ke 6,7 dan 8)
Petemuan 6
1. Program
Tahunan
2. Program
Semester
3. Praktek
pembuatan Program Tahunan dan Program semester
Pertemuan 7
1. Praktek
menghitung Alokasi Waktu
2. Pemetaan
3. Praktek
Perhitungan SKM/ SKBM
Pertemuan 8
Tes
Tengah Semester
Bahan
Pertemuan 1 s/d 7
Pertemuan 9
1. RPP
(Rencana Pelaksanaan Pembelajaran)
2. Praktek
membuat RPP)
Pembelajaran 10
1. Praktek
Membuat RPP dengan Karakter Bangsa
Pertemuan 11
1. Penilaian
(Evaluasi KTSP)
2. Diskusi
tentang penilaian KTSP
Pertemuan 12
1. Menyusun
Intstumen Penilaian KTSP
2. Praktek
menyusun Instrumen Penilaian KTSP
Pertemuan 13
1. Guru
dan KTSP
2. Tugas
: Mahasiswa mengerjakan tugas kelompok kecil yang singkat tentang pembuatan Perencanaan Pembelajaran
PAK
Pertemuan 14:
1. Pengumpulan
tugas mandiri
2. Tes
Akhir Semester
VI. SISTEM
PENILAIAN
1. Absen dan keaktifan dalam kelas 15 %
2. Diskusi
dalam Kelompok dan Presentasi dalam kelas
15 %
3. Tugas
mandiri/ Fortofolio 30 %
4. Tes
Tengah Semester 20 %
5. Tes
Akhir Semester 20 %
VII. DAFTAR
REFERENSI:
1. Pedoman
BSNP
2. Pedoman
KTSP
Dosen dapat dihubungi melalui:
e-mail : ekosurabaya@gmail.com
www.blogger.com. Id:
Alamat : pcr surabaya
Telepon Rumah (031) 32104 HP 081230447796
Bertemu muka:
Di rumah, khusus untuk bimbingan penulisan Tugas
Akhir sesuai perjanjian
Di kantor STT, khusus hari selasa jam 18.30-20..00
diruang kuliah sesudah perkuliahan (sesuai jadwal per semester).
PEMAHAMAN PEBINAAN ANAK SEKOLAH
MINGGU DAN HASIL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN
Untuk
memahami sejauh mana korelasi atau hubungan antara Pembinaan Anak Sekolah
Minggu yang dilakukan oleh orang-orang percaya (gereja), dengan hasil
pembelajaran Pendidikan Agama Kristen, khususnya di sekolah Dasar, perlu
pemahaman Pembinaan Anak sekolah Minggu yang seperti apa, maupun pelaksanaan
Pembelajaran PAK di sekolah Dasar.
Mengingat
pembahasan dalam skripsi ini hanya ingin melihat sejauh mana Peran atau
pengaruh pembinaan Sekolah Minggu terhadap hasil belajar Pendidikan Agama
Kristen, maka pertama-tama kita harus mengetahui apa itu sekolah minggu dengan
segala dasar teologis menurut Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Visi dan
misi, ujuan serta pelaksanaan Sekolah Minggu.
Sedangkan untuk mengetahui hasil
dari Pembelajarn PAK sebagai dampak dari Pembinaan Sekolah minggu, kita perlu
mengetahui batasan Pendidkikan Agama Kristen, mengingat PAK cakupannya sangat
luas Oleh sebab itu dalam pembahasan ini penyusun hanya mengemukanan secara
singkat mengenai hakekat, tujuan dasar dan pelaksanaan Pendidikan Agama Kristen
di sekolah Dasar.
Kita
tidak bisa menutup mata terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
dalam pembelajaran PAK di sekolah.. Sebab memang tidak bisa dipungkiri bahwa
beberapa faktor itu menentukan hasuil belajar PAK di sekolah. Bukan hanya
Pembinaan Sekolah minggu, yang dilakukan di gereja saja, tetapi kita melihat
lebih jauh lagi pengaruh-pengaruh yang muncul dari lingkungan, misalnya
keluarga, masyarakat dan sekolah itu sendiri, sehubunan dengan SDM (Kompetensi
Guru PAK), sarana dan prasarana yang ada di sekolah untuk menunjang proses
pembelajaran PAK.
2.1. Pembinaan Anak Sekolah Minggu
2.1.1. Pengertian Sekolah Minggu
Sekolah Minggu merupakan salah satu bentuk pembinaan
bagi warga
Gereja (PWG) yang banyaka itu. Sebagian besar Gereja
mengadakan pembinaan anak jemaat. Bentuknya, bermacam-macam. Salah satu yang
dikenal di kalangan gereja atau orang-orang percaya adalah Sekolah
Minggu.
Hampir semua Gereja ada Pembinaan anak-anak. Ada
yang menamakan
Kebaktian
Anak, ada yang menamakannya Sekolah Minggu. Masing-masing tentu memiliki latar
belakang dan alasan . Biasanya yang melih istilah Kebaktian Anak beralasan
bahwa kegiatan ini sama seperti kebaktian umum yang diadakan setiap hari
Minggu. Karena pesertanya anak-anak, maka sebut saja dengan kebakaktian Anak.
Di dalamnya anak beribadah, berbakti kepada Tuhan; ada unsur-unsur liturgi yang
dipakai, seperti nyanyian, doa, pemberitaan Firman, persembahan.
Sedankgna
yang memakai istilah Sekolah Minggu, mengatakan bahwa secara historis ada
keterkaitan antara kegiatan untuk anak dengan Sekolah Minggu yang diadakan oleh
Raikes di Inggris pada tahun 1970-an, yakni semangat penginjilan bagi buruh
anak-anak melalui ”sekolah”: baca tulis dan etika. Lebih lanjut, isitilah
Sekolah juga dapat menunjukkan unsur-unsur perndidikan yang dipakai, misalnya
murid, guru, materi /bahan pelajaran, proses belajar mengajar dengan tujuan
yang jelas dan operasional, yang semuanya termasuk bagian dari kurikulum.
1
Dari
dua istilah yang juga dipakai oleh gereja dalam Pembinaan Anak. Baik itu yang
memakai istilah Kebaktian Anak maupun Sekolah Minggu, menyusun menyimpulkan,
kedua-duanya bisa diterima, karena maksud dan tujuan sama, yaitu pembinaan
Anak-anak. Dan dilaksanakan setiap hari Minggu.
Meskipun
sebagian besar hamba Tuhan, guru Sekolah Minggu tahu bahwa mengajar, membina,
mendidik adalah bagian tugas yang paling utama dari seorang guru, namun banyak
guru yang tidak memberikan perhatian dan waktu yang cukup, serta pemikiran yang
serius dalam membina, mengajar dan mendidik anak-anak. Mengapa? Hal ini
disebabkan karena sebagian guru masih belum tahu jelas apa artinya mengajar,
juga karena sebagian guru mempunyai anggapan yang keliru tentang
mengajar.
Contoh:
ada guru-guru Sekolah Minggu yang merasa bahwa ia telah mengajar dengan baik
karena ia dapat membuat anak-anak di kelasnya senang dan tidak bosan diajar
olehnya. Ada juga guru Sekolah Minggu yang mengira bahwa dengan memberikan banyak
pengetahuan Alkitab kepada anak ia telah mengajar dengan baik.
1 Homrighausen, Pndidikan Agama Kristen (Jakarta,
BPK Gunung Mulia, 2005) hlm. 33-34
Oleh
karena itu pembahasan berikut ini akan menolong guru Sekolah Minggu untuk
mengerti dengan lebih baik apa artinya mengajar, membina dan mendidik Anak
Sekolah Minggu dan pengaruhnya terhadap Hasil pendidikan Agama Kristen di
Sekolah.
2.1.1
Apa Arti "Mengajar"
Seluruh
konsep mengajar dalam Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB) melibatkan
tiga aspek paling penting bagi anak didiknya:
Pertama,
Mendengar ajaran-ajaran /nasehat-nasehat yang diberikan oleh orang tua/ orang
yang lebih bijaksana. Dalam konteks bangsa Yahudi ajaran-ajaran itu berasal
dari Firman Allah yang mereka dengar turun menurun dari nenek moyang mereka.
Sedangkan fokus ajaran/ nasehat itu adalah untuk pembentukan karakter yang
saleh (godly life) dan takut akan Allah (Ulangan 31:12-13).
Kedua,
merenungkan supaya apa yang didengar di atas, diproses di dalam hati anak untuk
menjadi pengalaman hidup yang transformasional, yang membawa kepada perubahan
hidup (Roma 12:2).
Ketiga,
Hidup dalam komunitas orang percaya (Efesus 3:15-18), sehingga pengajaran
berlangsung dalam konteks hubungan pribadi antara:
=>
Tuhan dan guru - guru dan anak - anak dan Tuhan <=
Gereja
adalah komunitas orang percaya dimana orang dewasa dan anak-anak, sebagai
saudara-saudara seiman, bersama-sama hidup dan bertumbuh. Oleh karena itu
gereja yang sehat akan menjadi tempat yang kondusif bagi keberhasilan guru
Sekolah Minggu dalam mengajar.
Pengajaran
yang diberikan oleh guru untuk diterima oleh anak didik, dan tujuan yang ingin
dicapai dalam mengajar menjadi faktor yang sangat membedakan antara guru
Sekolah Minggu dan guru umum biasa. Oleh karena itu tugas guru Sekolah Minggu
lebih dari sekedar mengajarkan pengetahuan Alkitab atau mengajarkan bagaimana
hidup yang bermoral. Guru Sekolah Minggu mengajarkan suatu kehidupan yang guru
sendiri telah teladani dari Tuhan Yesus Kristus, karena proses pengajaran terjadi
dalam konteks hubungan pribadi dengan Allah, dan dari sana mengalir kuasa yang
mentransformasi kehidupan anak didik untuk menjadi hidup yang terus menerus
diperbarui menjadi semakin seperti Kristus.
2.1.2.
Apa yang Perlu Diajarkan?
Melihat
bahwa apa yang diajarkan dapat memberi dampak kepada transformasi hidup
anak-anak Sekolah Minggu, maka sangat penting kita membahas apa yang guru harus
ajarkan kepada anak-anak Sekolah Minggu?
Mengajar
anak sangat berbeda dengan mengajar orang dewasa. Pada orang dewasa, pada
umumnya telah terbentuk cara berpikir dan pandangan/prinsip-prinsip hidup yang
sudah mapan (permanen) dan hal itu sering kali sulit untuk diubah. Tetapi
mengajar anak adalah seperti mengisi botol yang masih kosong, masih banyak hal
yang dapat diisi dalam pikiran anak, dan belum terbentuk pola pikir dan
pandangan-pandangan tertentu secara permanen. Oleh karena itu guru Sekolah
Minggu mempunyai banyak kesempatan emas untuk membangun suatu dasar yang kuat
dan benar bagi kehidupan rohani anak-anak Sekolah Minggu melalui apa yang
diajarkannya.
Pertama-tama
yang harus diajarkan adalah Alkitab, Karena Alkitab adalah suimber utama dalam
mengajar. Memberikan pengajaran yang sesuai dengan
Alkitab
sangat penting supaya anak belajar mengenal Allah dengan benar. Guru harus
belajar untuk senantiasa setia pada Alkitab, biasakan untuk menjadikan Alkitab
sebagai buku sumber yang paling utama dalam mengajar. Pokok-pokok kebenaran
yang diajarkan guru Sekolah Minggu harus didukung oleh kebenaran dari ayat-ayat
Firman Tuhan.
Berikut
ini adalah beberapa materi dasar yang guru perlu pelajari sehingga dapat
menjadi pedoman penting dalam mengatur pokok-pokok materi yang perlu diajarkan
kepada anak-anak Sekolah Minggu:
Mengajarkan
anak tentang gambaran yang benar mengenai Allah. Pokok-pokok penting yang
tercakup di dalamnya:
Sifat-sifat
Allah
Karya
Allah
Firman
Allah/Alkitab
Hukum-hukum
Allah
Rencana/Kehendak
Allah
Mengajarkan anak tentang gambaran yang benar
mengenai Manusia. Pokok-pokok penting yang tercakup di dalamnya:
Penciptaan
Manusia
Kejatuhan
Manusia dalam Dosa
Hukuman
Allah atas Manusia Berdosa
Rencana
Keselamatan Allah untuk Manusia
Manusia
sebagai Ciptaan Baru yang lahir dari Allah
Mengajarkan anak tentang gambaran yang benar
mengenai Alam.
Penciptaan
Alam Semesta
Pemeliharaan
Allah atas Alam
Kutukan
Allah atas Alam setelah Kejatuhan Manusia dalam dosa
2.1.2. Pembinaan Anak Menurut Perjanjian Lama
Perjanjian
Lama adalah Firman Allah yang merupakan dasar dan otoritas tertinggi bagi
konsep, prinsip dan prilaku manusia. (2 Timotius 3:15-16; Kel. 13:8). Disamping
itu, Perjanjian Lama juga sangat memperhatikan pentingnya pendidikan anak.
Perintah untuk memperhatikan pentingnya pendidikan anak diberikan Allah sendiri
sejak zaman Abraham (Kejadian 18:19), dilanjutkan pada zaman Musa (Keluaran
12:26-27) dan dipertegas kembali dalam Ulangan 4:9 ; 6:1-9; 11:18-21 yang
selanjutnya juga menjadi perhatian orang-orang bijak (Amsal 1:8; 22:6; 29:17;
Pengkhotbah 12:1). Dengan demikian, sangatlah tepat jika Perjanjian Lama,
dijadikan dasar untuk memahami pentingnya pendidikan anak. Salah satu bagian
Perjanjian Lama yang perlu dijadikan dasar untuk memahami pentingnya pendidikan
pengajaran anak adalah Ulangan 6:4-9.
Menurut
Ulangan 6: 7, bahwa pertama-tama pendidikan Agama adalah tangung jawab orang
tua. Kalimat dalam ayat 7 “haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada
anak-anakmu” dan dalam ayat 21 “maka haruslah engkau menjawab anakmu..”
menunjukkan bahwa orang tua memiliki tugas dan tanggung jawab dalam pendidikan
anak-anak mereka. Oleh karena perintah ini berkiatan dengan instruksi syema,
maka orang tua pertama-tama bertanggung jawab atas pendidikan rohani anak-anak
mereka. Ini merupakan tugas yang sangat mendasar dan penting untuk dilakukan
orang tua kepada anak-anaknya. Orang tua dianggap yang paling bertangung jawab
dalam pendidikan anak-anak oleh karena mereka adalah orang yang terdekat.
Sebagaimana
dikatakan oleh J. I. Packer bahwa Allah memakai manusia untuk mengajarkan
Taurat kepada bangsa Israel—seperti Musa, para imam dan para nabi. Murid-murid
mereka adalah orang dewasa dari bangsa Israel, yang kemudian mereka bertanggung
jawab untuk meneruskan kepada anak-anak mereka.Sebagian besar pendidikan
dilakukan oleh orang tua, tidak ada ruang kelas atau kurikulum yang
tersusun.
Melalui
pembahasan ini, dapat disimpulkan bahwa Allah sangat mementingkan pendidikan
anak dan peranan serta tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak-anak mereka
dengan benar. Pembinaan yang dimaksud dalam Kitab Perjanjian Lama (Ulangan 6 :
4-9) secara umum dilakukan secara informal, yaitu oleh keluarga-keluarga (orang
tua). Sedangkan tujuan pembinaan itu sendiri sebagaimana tersurat dalam
2.1.3. Pengajaran Anak menurut Perjanjian Baru
Di
samping jabatan-Nya sebagai Penebus dan Pembebas, Tuhan Yesus juga menjadi
seorang Guru yang Agung. Keahlian-Nya sebagai seorang guru umumnya diperhatikan
dan dipuji oleh rakyat Yahudi; mereka dengan sendirinya menyebut Dia
"Rabbi". Ini tentu suatu gelar kehormatan, yang menyatakan betapa Ia
disegani dan dikagumi oleh orang sebangsanya sebagai seorang pengajar yang
mahir dalam segala soal ilmu keTuhanan. Sebab Ia mengajar mereka "sebagai
orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat yang biasa mengajar
mereka" (Mat 7:29).
Tuhan
Yesus mengajar di mana saja: di atas bukit, dari dalam perahu, di sisi orang
sakit, di tepi sumur, di rumah yang sederhana dan di rumah orang kaya, di depan
pembesar-pembesar agama dan pemerintah, bahkan sampai di kayu palang sekalipun.
Tuhan Yesus tidak memerlukan sekolah atau gedung tertentu. Tiap-tiap keadaan
dan pertemuan dipergunakan-Nya untuk memberitakan Firman Allah.
Tuhan
Yesus dalam pengajaran-Nya tidak terikat pula pada waktu tertentu. Siang-malam,
pada setiap saat Ia bersedia menerangkan jalan keselamatan dan Kerajaan Sorga
yang telah datang itu kepada siapa saja yang ingin belajar kepada-Nya. Sedangkan yang menjadi tujuan pengajaran
Tuhan Yesus itu bukanlah untuk membahas berbagai pokok agama dan susila secara
ilmiah atau secara teori saja, melainkan untuk melayani tiap manusia yang
datang kepada-Nya. Setiap orang itu dikenal-Nya, dan dipahami-Nya masalah yang
dipergumulkan orang itu.
Cara
mengajar-Nya sangat istimewa pula. Biasa-Nya Tuhan Yesus tidak membentangkan
sesuatu ajaran dengan menyuruh orang mempercayai itu, tetapi Ia mendorong
mereka berpikir sendiri dan menarik kesimpulannya sendiri atas apa yang telah
dijelaskan-Nya kepada mereka. Ia tak selalu mencapai hasil-Nya, karena sering
kali para pendengar-Nya mengeraskan hati, tetapi tentu Ia senantiasa menyatakan
Diri sebagai seorang Guru yang tak ada taranya, karena Ia sendiri adalah
Kebenaran.
Banyak
metode yang dipakai-Nya, dan segala metode itu masih penting dan perlu
dipelajari oleh segala guru agama masa kini. Adakalanya Tuhan Yesus bercerita.
Sering Ia memakai perumpamaan. Acap pula Ia mengemukakan pertanyaan-pertanyaan
yang kemudian menjadi bahan pengajaran-Nya. Kadang-kadang suatu percakapan
biasa berkembang menjadi pengajaran yang indah. Tetapi bukan dengan
perkataan-Nya saja Tuhan Yesus mengajar. Tapi juga dengan mempraktekkan apa
yang dimaksudkan-Nya, seperti tatkala Ia memeluk anak-anak dan memberkati
mereka, itu menjadi teguran pada murid-Nya, atau ketika Ia membasuh kaki mereka
untuk mengajar mereka supaya rendah hati.
Untuk
lebih jelasnya, pengajaran Anak menurut Perjanjian Baru, kita perhatikan dua
bagian Firman Tuhan dalam Perjanjian Baru, sebagai dasar Pengajaran kepada
anak-anak.
Hai
anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian.
Hormatilah ayahmu dan ibumu- Inilah suatu perintah yang penmting, speertti yang
nyata dari jjanji ini „Supaya kamu berbahagia dan panjang umummu di buimi. Dan
kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anaka-anakmu,
teta[pi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasehat Tuhan ‚(Efesus 6:
1-4)
„Lalu
orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia menjamah mereka; akan
tetapi murid-muridNya memarahi orang-orang itu. Ketika Yesus melihat halm itu,
Ia marah dan berkata kepada mereka : „Biarlah anak-anak itu datang kepadaKu,
jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang –orang yang seperti itulah yang
empunya Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke
dalamnya. Lalu Ia memeluk anak-anak itu dan sambil meletakkan tanganNya atas
mereka Ia memberkati mereka“ (Markus 10:13-16).
Dalam
menasehati anak-anak dan para orang tua, rasul Paulus terlebih dahulu
menanggulangi anak-anak, karena pada umumnya kesulitan datang dari anak-anak.
„Hai anak-anak.......(ayat 1). Paulus menegaskan bahwa dalam mentaati orang
tua,, harus di dalam Tuhan, artinya harus bersatu dengan Tuhan, buikan dengan
diri sendiri. Juga bukan menurut konsep alamiah, tetapi menurut Firman Tuhan.
Menghormati orang tua bjuga bukan hanya benar, tetapi juga adil bagi
anak-anak.
Menurut
tafsir Kitab perjanjian baru, khusus pada surat Efesus pasal 6 ini, Menghormati
berbeda dengan mentaati. Mentaati adalah suatu tindakan, sedangkan menghormati
adalah suatu sikap.1. Kemungkinan anak mentaati orang tua, tetapi tidak
menghormati. Paulus mengharapkan semua anak perlu belajar mentaati orang tua
mereka, juga menghormati mereka.
Oleh
sebab itu ketika anak-anak datang kepada Yesus, Ia menjamahnya (ayat 13). Ini
berarti anak-anak tidak diremehkan dan tidak ditolakNya. Anak adalah bagian
dari obyek pelayanan. Anak-anak penting untuk diajar dan dibina orang orang
desawa, supaya mencapai kedewasaan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak
Allah (Efesus 4: 13).
Visi
dan Misi Sekoklah Minggu
Visi
dan Misi dirumuskan berdasarkan Pengajaran Agama, baik dalam Perjanjian Lama
maupun Perjanjian Baru. Demikian juga Visi dan Misi Sekolah Minggu berdasarkan
pada pandangan Alkitab (Perjanjian Lama) tentang pentingnya Pengajaran atau
pendidikan anak berdasarkan Ulangan 6:4-9. dan Dalam Perjanjian baru, yaitu
pengajaran Tuhan Yesus, Pengajaran rasul Paulus dan pengajaran Jemaat yang
mula-mula.
Sebuah
Visi adalah sesuatu yang hendak dicapai dalam suatu organisasi, sedangkan Misi
adalah hal-hal yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Apakah Visi dan misi
Sekiolah Minggu?
Ayat
berikut ini akan menolong dalam merumuskan suatu visi dan Misi sekolah minggu,
“ Biarkah anak-anak itu datang kepadaKu, jangan menghalang-halangi mereka,sebab
orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah” ( Markus 10:14,
Mat. 19:14 dan Lukas 18:16).
Jadi
apapun yang dikerjakan atau dilaksanakan dalam Sekolah Minggu, adalah membawa
anak-anak itu datang kepada Yesus. Bagaimana caranya, dengan Pengajaran,
pendidikan dan pembinaan yang terus menerus, sampai kita semua telah mencapai
kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh,
dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga bukan
lagi anak-anak yang diombang ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh
permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan (Efesus 4:12-
14.
2.1.4. Tujuan Sekolah Minggu.
Menurut Homrighausen, Dalam Buku Pendidikan Agama
Kristen, dirumuskan
bahwa tujuan Pendidikan Agama Kristen kepada
anak-anak dalam sekolah minggu, antara lain:
Pertama,
Supaya mereka mengenal Allah sebagai pencipta dan pemerintah seluruh alam ini,
dan yesus Kristus sebagai Penebus, pemimpin dan penolong mereka. Kedua, Supaya
mereka mengertiakanmkedudukan dan panggilan mereka selalu anggota-anggota
Gereja Tuhan, dan sukaa turut bekerja bagi perkembangan gereja di bumi ini.
Ketiga, Supaya meeka mengasihi sesamanya oleh karena Tuhan telaha mengasihi
mereka sendiri. Keempat, supaya meerka insaf akan dosanya dfan selalu mau
bertobat pula, minta ampun dan pembearuan hidup pada Tuhan. Dan yang kelima,
supaya mereka suka belajar terus menerus berita Alkitab,, suka mengambil bagian
dalam kebaktian jemaat, dan suka melayani Tuhan di segala lapangan
hidup.1
2.1.5. Pelaksanaan Sekolah Minggu
Hampir semua Gereja ada Pembinaan anak-anak. Ada
yang menamakan
Kebaktian
Anak, ada yang menamakannya Sekolah Minggu. Masing-masing tentu memiliki latar
belakang dan alasan . Biasanya yang melih istilah Kebaktian Anak beralasan
bahwa kegiatan ini sama seperti kebaktian umum yang diadakan setiap hari
Minggu. Karena pesertanya anak-anak, maka sebut saja dengan kebakaktian Anak.
Di dalamnya anak beriobadah, berbnakti kepada Tuhan; ada unsur-unsur liturgi
yang dipakai, seperti nyanyian, doa, pemberitaan Firman, persembahan.
Sedankgna
yang memakai istilah Sekolah Minggu, belasanan bahwa secara historis ada
keterkaitan antara kegiatan untuk anak dengan Sekolah Minggu yang diadakan oleh
Raikes di Inggris pada tahun 1970-an, yakni semangat penginjilan bagi buruh
anak-anak melalui ”sekolah”: baca tulis dan etika. Lebih lanjut, isitilah
Sekolah
1 Homrighausen, Pndidikan Agama Kristen (Jakarta,
BPK Gunung Mulia, 2005) hlm. 33-34
juga dapat menunjukkan unsur-unsur perndidikan yang
dipakai, misalnya murid, guru, materi /bahan pelajaran, proses belajar mengajar
dengan tujuan yang jelas dan operasional, yang semuanya termasuk bagian dari
kurikulum. 1
Dari
dua istilah yang juga dipakai oleh gereja dalam Pembinaan Anak. Baik itu yang
memakai istilah Kebaktian Anak maupun Sekolah Minggu, menyusun menyimpulkan,
kedua-duanya bisa diterima, karena maksud dan tujuan sama, yaitu pembinaan
Anak-anak. Dan dilaksanakan setiap hari Minggu.
2.1.6. Sekolah Minggu sebagai tempat Pendidikan
Agama Kristen
Setelah dibahas panjang lebar di muka, maka sampai
pada kesimpulan, bahwa
sekolah
minggu adalah sebagai tempat pendidikan Agama Kristen. Adapun pelaksanaannya
diserahkan kepada masing-masing gereja, sesuai dengan SDM (Sumber Daya
Manusia), yaitu guru , anak Sekolah Minggu, sarana dan prasarana yang
ada.
2.2. Pembelajaran Pendidikan Agama
Kristen
2.2.1. Hakekat
Pendidikan Agama Kristen
Dalam Buku Strategi PAK di Indonesia, Eka Dharma
Putra berpendapat :
“Pendidikan
Agama Kristen adalah Pembinaan warga Gereja oleh gereja yang mencakup semua
tingkat usia , dan semua kategori profesi, agar mereka bertumbuh di dalam
pengsahan dan penghayatan iman kristiani mereka, dan semakin dimampuikan untuk
hidup di dalam terang iman ditengah-tengah konteks kehidupan sehari-hari
“1
1. Andar Ismail, Ajalah Mereka Melakukan, Kumpulan
Karangan Seputar Pendidikan Agama Kristen (BKP Gunung Mulia, Jakarta, 2004)
hlm.126-127.
2. Eka Dharma Putra, Ph.D, Strategi PAK di Indonesia
(Jakarta, Gunung
Mulia 1989) Ham 120
Sedangkan Homrighausen, dalam Buku Pendidikan Agama
Kristen, menekankan arti PAK yang sebenarnya, yaitu :
“Mengajar
adalah suatu usaha yang ditujukkan kepada pribadi tia-tiap pelajar. Meskipun
pengajaran itu diberikan serentak kepada sejumlah orang bersamaa-sama, tetapi
maksudnya ialah supaya masing-masing pelajar akan menyambut dan menyambut
pengajaran itu secara perseorangan. Inilah arti yang sedalam-dalamnya Dari PAK,
bahwa dengan menerima pendidikan itu, segala pelajar, muda dan tua, memasuki
persekutuan iman yang hidup dengan Tuhan sendiri, dan oleh dan dalam Dia mereka
terhisab pula pada persekutuan jemaatNya yang mengakui dan mempermuliakan
NamaNya di segala waktu dan tempat”1
Dari dua pengertian yang dikemukakan dua tokoh
Pendidikan Agama
Kristen diatas, dapat penulis simpulkan, bahwa
pengertian Pendidikan Agama Kristen, yaitu suatu usaha Gereja atau orang-orang
percaya dalam rangka pembinaan warga jemaat tua maupun muda, supaya bertumbuh
ke dalam pengenalan akan Allah, sehingga memiliki persekutuan secara pribadi
dengan Allah sebagai Tuhan dan juruselamatnya, serta hidup sesuai dengan
keyakinannya.
2.2.2. Tujuan Pendidikan Agama
Kristen
Mengenai tujuan pembelajaran Agama Kristen , oleh
Homrighausen, dalam Buku Pendidikan Agama Kristen, disebut sebagai obyek-obyek
PAK.1 Adapun Obyek-obyek dasar PAK yang paling asasi yang diselengggarakan oleh
Gereja-gereja Protestan antara lain:
1. Memperkenalkan Allah
2. Mempertemukan para pelajar dengan juruselamat
dunia, yaitu Yesus Kristus
1. Homrighausen, Pendidikan Agama Kristen ( Jakarta
BPK Gunung Mulia, 2004) Hal 25-26.
3. Pengenalan dan pengalaman akan Roh Kudus
4. Mndidik anak untuk menjadi anggota gereja
5. Menjadi warga negara yang baik
6. Pandangan Hidup Kristen
7. Warisan Agama Kristen.
Sedangkan Obyek PAK, bahan atau materi pengajaran
Dalam Gereja Liberal di Amerika Serikat 2 adalah sbb:
1. Memberikan murid-murid perasaan penghargaan
terhadap diri sendiri.
2. Membuat mereka menjadi warga yang bertanggung
jawab
3. Supaya mereka belajar menghargai duni ini
4. Supaya mereka dapat membedakan n ilai-nilai yang
baik dan yang jahat.
5. Supaya mereka dapat menghubungkan
pengalaman-pengalaman mereka
sendiri
dengan Filsafat hidup Kristen
6. Supaya mereka menjadi orang yang dapat
dipercaya
7. Supaya amereka belajar bekerja sama dan tolong
menolong
8. Supaya mereka selalu mengejar kebenaran
9. Supaya mereka bersikap negafit terhadap peristiwa
–peristiwa yang terjadi
sekelilingnya, dan terhadap perkembangan sejarah umumnya.
10. Supaya mereka suka turut merayakan hari-hari
raya Kristen dlam roh
persekutuan Kristen.
1. Homrighausen, Pendidikan Agama Kristen ( Jakarta
BPK Gunung Mulia, 2004) Hal 32-33
2.2.2. Dasar Pembelajaran Pendidikan Agama
Kristen
Yang menjadi dasar Pembelajaran Pendidikan Agama
Kristen adalah Alkitab
Firman
Allah yang terdapat dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sebagaimana
dikemukanan di atas. Judowibowo Poerwowidagdo, dalam Buku Ajarlah Mereka
melakukan, mengatakan bahwa : ”Sebagai orang-orang beriman kepada Tuhan Allah,
kita tentu juga mencari dasar-dasar Firman Tuhan di dalam hal ini, karena hal
ini menyangkut kehidupan bersamaa umat manusia atau kehidupaan yang meliputi
relasi atau huhungan antar sesama”. 1
Perjanjian
Lama adalah Firman Allah yang merupakan dasar dan otoritas tertinggi bagi
konsep, prinsip dan prilaku manusia. (2 Timotius 3:15-16). Disamping itu,
Perjanjian Lama juga sangat memperhatikan pentingnya pendidikan anak. Perintah
untuk memperhatikan pentingnya pendidikan anak diberikan Allah sendiri sejak
zaman Abraham (Kejadian 18:19), dilanjutkan pada zaman Musa (Keluaran 12:26-27)
dan dipertegas kembali dalam Ulangan 4:9 ; 6:1-9; 11:18-21 yang selanjutnya
juga menjadi perhatian orang-orang bijak (Amsal 1:8; 22:6; 29:17; Pengkhotbah
12:1). Dengan demikian, sangatlah tepat jika Perjanjian Lama, dijadikan dasar
untuk memahami pentingnya pendidikan anak. Salah satu bagian Perjanjian Lama
yang perlu dijadikan dasar untuk memahami pentingnya pendidikan pengajaran anak
adalah Ulangan 6:4-9.
Jadi
Pembelajaran Agama di mana pun dan kapan pun, yang menjadi dasar adalah Firman
Tuhan, yang terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama mupun Perjanjian Baru.
Sedangkan Guru atau pengajar, seperti yang telah ditetapkan oleh Allah (Ef. 4:
11).
1 Judowibowo Poerwowidagdo, Buku Ajarlah Mereka
Melakukan (BKP Gunung Mulia, Jakarta, 2004) hlm.113.
2.2.3. Pelaksnaan Pendidikan Agama Kristen di
Sekolah Dasar
Pelaksanaan Pendidikan, termasuk salah satunya
adalah Pendidikan Agama Kristen berdasarkan : Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006
tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dapat
dilaksanakan di satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah
secara baik, perlu menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang
Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan
untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. 1
Pelaksanaan Pendidikan Agama Kristen di Sekolah
Dasar berdasrkan pada struktur Kurikulum KBK- KTSP tahun 2006, yaitu sebagai
berikut:
Struktur
Kurikulum SD Negeri meliputi substansi pembelajaran yang ditempuh dalam satu
jenjang pendidikan selama 6 tahun mulai kelas I sd. kelas VI , yang memuat 8
Mata Pelajaran ditambah Muatan Lokal dan Pengembangan Diri.
Pendekatan
Pembelajaran Kelas I, II dan III menggunakan pendekatan tematis sedangkan untuk
Kelas IV, V dan VI tetap mengacu kepada pengajaran permata pelajaran.
Pada komponen Mata Pelajaran kelas IV, V dan VI ada
penambahan 4 jam pelajaran yaitu:
1. Muatan
Lokal ditambah 2 jam pelajaran
2. Mata
pelajaran Matematika ditambah 2 jam pelajaran
Untuk lebih jelas dapat dilihat pada struktur
Kurikulum berikut :
KOMPONEN KELAS
DAN ALOKASI WAKTU
I II III IV,
V, VI
A. Mata Pelajaran
1. Pendidikan Agama
PENDEKATAN
TEMATIS 3
2. Pendidikan Kewarganegaraan 2
3. Bahasa Indonesia
5
4. Matematika
6
5. I P A
4
6. I P S
4
7. Seni Budaya dan Ketrampilan 4
8. Pendidikan jasmani, Olahraga dan Kesenian 4
B. Muatan lokal
4
C. Pengembangan Diri
2*
JUMLAH 26 27 28 36
Pendidikan Agama Kristen du Sekolah adalah salah
satu bentuk Pendidikan Agama Kristen di samping Katekisasi Sidi, Sekolah
Minggu, Pembinaan Warga Gereja (PWG) dsb. Oleh sebab itu pelaksanaannya pun
diatur sedemikian rupa, sehingga dapat memberi pengaruh dan manfaat yang besar
bagi pertumbuham iman anak-anak.
2.2.5. Faktor-faktor yang mempebngaruhi Hasil
Pembelajaran Pendidikan Agama Kristen
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi Hasil Belajar
di Sekolah
Pendidikan
Agama Kristen di sekolah antara lain, Lingkungan keluarga, Gereja, Masyarakat
dan sekolah itu sendiri.
Pada
pembahasan faktor yang mempengaruhi belajar, khususnya hasil pembelajaran
Pendidikan Agama Kristen di sekolah, antara lain adalah pembinaan yang
dilakukan oleh Gereja, yaitu melalui Sekolah Minggu. Uraian lebih lanjut akan
di bahas secara khusus dalam pembahasan berikut.
Namun,
sekolah minggu tidak dapat dijadikan satu-satunya tempat pembinaan rohani bagi
anak-anak. Selain keterbatasan waktu ibadah, sekolah minggu bukanlah tempat di
mana anak paling banyak menghabiskan waktunya. Justru di tengah keluargalah
anak paling banyak menghabiskan waktu. Oleh karena itu, keberadaan keluarga
sebagai tempat pembinaan rohani yang ideal bagi anak mutlak dibutuhkan.
Anak
yang berasal dari keluarga yang sudah mengenal Yesus tentu akan menerima
pendidikan rohani mengenai kebenaran firman Tuhan dari orang tuanya. Namun,
yang menjadi masalah ialah anak-anak yang justru berasal dari keluarga yang
belum mengenal kebenaran dan keselamatan di dalam Yesus. Mereka tidak dapat
menikmati pembinaan rohani dari keluarganya. Oleh karena itu, tanggung jawab
besar justru diemban sekolah minggu. Mau tidak mau pihak sekolah minggu harus
sepenuhnya mengemban pembinaan rohani anak tersebut. Hal inilah yang menuntut
para pelayan sekolah minggu untuk mengetahui latar belakang rohani keluarga
murid-muridnya dengan jelas.
2.2.6. Sistim penilaian Pendidikan Agama
Kristen
Penilaian
dalam pendidikan hal yang tidak dapat dipisahkan dengan sistem pendidikan yang
ada di negara kita, alat untuk mengetahui apakah peserta didik sudah mengusai
materi, bahan ajar atau kompetensi yang telah ditentukan alat ukur yang
dipergunakan adalah penilaian, penilaian dalam kurikulum yang berlaku sekarang
yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) sangat berbeda dengan penilaian yang berlaku dalam kurikulum
1994.
Penilaian
dalam kurikulum dalam kurikulum 1994 media utama yang dipergunakan adalah media
tulis, sehingga yang terukur hanyalah pengetahuan koknitif yang mementingkan
kecerdasan otak saja, para guru pendidikan Agama Kristen tahu bahwa hanya
pengetahuan agama saja tidak dapat orang terselamatkan, yang dapat
terselamatkan adalah orang yang karena pertolongan Roh Kudus menerima Tuhan
Yesus sebagai Juru selamat yang dibuktikan dan dipraktekkan dalam kehidupan
sehari - hari.
Sedangkan
dalam KBK dan KTSP aspek koknitif, afektif dan psikomotorik harus terukur,
sehingga apa yang menjadi kemampuan anak dapat diketahui secara benar, cara
peniliannya pun menggunakan berbagai media yang antara lain; unjuk kerja,
penugasan, hasil kerja, portofolio, penilaian sikap dan tes tulis ( Tim
Kurikulum Dinas Propinsi Jawa Tengah, 2006). Sehingga nilai yang diperoleh peserta
didik betul – betul mencerminkan kompetensi yang ia miliki, terlebih pendidikan
agama penilaian sikap, unjuk kerja dan hasil kerja adalah sangat penting bagi
pertumbuhan iman peserta didik.
Proses
pembelajaran dalam KTSP tidak harus didalam kelas, namun perlu pembelajaran di
luar kelas, sehingga penilaian dengan media tulis, kurang dimungkinkan, maka
perlu media yang lain.
1. Cara
Penilaian
a. Lihat dan pahami betul kompetensi dalam
Kurikulum
b. Alat penilian sesuiakan dengan
kompetensi yang akan dicapai
c. Ketika penilaian berlangsung
pertimbangkan kondisi peserta didik
d. Petunjuk pelasanaan jelas, menggunakan
bahasa yang mudah dipahami.
e. Kreteria penyekoran jelas
f. Gunakan berbagai cara dan alat untuk
menilai kompetensi
g. Laksanakan rangkuman aktivitas
penilaian melalaui: pemberian tugas, pr, ulangan,
pengamatan dan lain sebagainya.
2. Penilaian
unjuk Kerja
Pengamatan
terhadap aktivitas siswa sebagaimana terjadi ( unjuk kerja, tingkah laku, interaksi).
Penilaian
ini cocok untuk:
a. Penyajian lisan, ketrampilan berbicara,
menyampaikan renungan, memuji nama Tuhan, berdiskusi.
b. Pemecahan masalah dalam kelompok
c. Partisipasi dalam diskusi
d. Memainkan alat musik
e. Membacakan puisi
f. Ketrampilan dalam menghafal atau
membuka Kitab Suci
Guru PAK sebagai ujung Tombak : PENGAJARAN,
PENGINIJILAN dan PEMURIDAN.
KOMPENTENSI GURU PAK DAN
KEBERHASILAN PEMBELAJARAN
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Pertumbuhan
dan perkembangan Iman Kristen anak-anak secara nyata adalah menjadi dambaan,
harapan dan cita-cita bagi setiap orang percaya, terlebih bagi hamba-hamba
Tuhan, Guru PAK dan Orang tua.
Adapun
langkah-langkah yang ditempuh, cara atau metode yang dipakai dalam
menumbuhkembangkan Iman Kristen, antara gereja yang satu dengan gereja yang
lainnya sangat beragam. Hal itu sangat bergantung kepada Hamba Tuhan yang
melayani dalam jemaat atau gereja tersebut khususnya dalam memprioritaskan
program pelayanannya dalam kurun waktu tertentu atau dalam satu periode
pelayanan serta dalam meningkatkan pelayanan dengan mengikut sertakan Mejelis,
para aktifis Gereja dan kaum awam atau jemaat pada umumnya dalam
menumbuhkembangkan iman bagi anak-anak jemaat.
Berbicara
tentang pertumbuhan dan perkembangan Iman, seperti tak ada habis-habisnya
walaupun selalu dibahas dalam setiap persekutuan-persekutuan Kristen baik yang
dilakukan secara formal dalam acara lokakarya, seminar pembinaan dan dalam
acara-acara retreat anak, maupun yang dilakukan secara non formal, yaitu dalam
pembicaraan-pembicaraan antar hamba-hamba Tuhan dengan hamba Tuhan maupun hamba
Tuhan dengan para Aktivis Gereja dalam pertemuan-pertemuan atau dalam
persekutuan.
Oleh
karena pertumbuhan dan perkembangan iman Kristen pada umumnya menjadi salah
satu “target” dalam pelayanan gereja atau jemaat, maka dalam setiap persekutuan
, ibadah maupun dalam rapat-rapat majelis atau rapat para aktifis, secara tidak
langsung kadang-kadang hamba Tuhan mengajak menghimbau supaya jemaatnya dapat
bertumbuh dan berkembang secara maksimal dengan daya, dana dan sarana yang
tersedia. Khusus kepada para majelis atau para aktifis gereja, diharapkan
supaya terus meningkatkan pelayanannya sesuai dengan tugas panggilannya
masing-masing.
Namun
apakah hamba-hamba Tuhan, para pemimpin rohani, para aktifis gereja atau jemaat
pada umumnya telah mengetahui apa sebenarnya pertumbuhan dan perkembangan iman
bagi anak-anak jemaat ?. Apakah telah mengetahui bagaimana suatu Iman dapat
bertumbuh dan berkembangan dengasn baik, tidak mati, seperti yang dikatakan
Rasul Yakobus: “ Pada hakekatnya Iman tanpa perbuatan adalah mati” (Yakobus
3:17).
Memang
ada beberapa cara atau metode yang dikenal, diketahui dan bahkan telah
dipraktekkan oleh hamba-hamba, para aktifis gereja serta orang-orang percaya
dalam setiap pelayanannya, misalnya : mengadakan kebaktian kebangunan rohani,
pembinaan, para pelayan anak, Retreat para aktifis gereja, Disamping sekolah
minggu yang diadakan setiap hari minggu. Sedangkan mengenai hasil dari semua
itu sangat tergantung kepada kemampuan Gereja masing-masing.
Ada
sebagian gereja yang telah puas dengan peninggatan kehadiran di sekolah minggu,
, yaitu dengan banyaknya anak-anak jemaat yang ibadah atau kebaktian Sekolah
Minggu, ada gereja yang sudah senang jika beberapa anak jemaat telah ikut ambil
bagian dalam kegiatan gereja, ada pula yang merasa sangat beruntung, jika akan
jemaat yang telah dilayani selama bertahun-tahun tidak ada yang keluar atau
pindah Agama, asalkan saja dalam setiap ibadah sekolah minggu atau persekutuan-persekutuan
jumlahnya tetap seperti semula.
Namun
ada gereja yang hamba Tuhannya belum merasa berhasil, apabila jemaat yang
dilayani dalam kurun waktu tertentu bertambahnya jumlah jemaat hanya sedikit,
dibandingkan dengan gereja tetangga yang dalam waktu yang relatif singkat
pertumbuhan jemaatnya pesat.
Apakah
yang menjadi masalah dari semuanya itu ?. Apakah karena sumber daya manusia
atau SDM-nya yang masih kurang, sehingga mutu dari pelayanan kurang ?. Apakah
karena kurangnya peran serta dari jemaat dalam pelayanan, dalam pembinaan iman
anak-anak jemaat?. Apakah sasaran pelayanan gereja atau jemaat belum mengenai
sasaran ?. Ataukah lingkungan yang kurang konduktif dan kurang produktif,
sehingga setiap pelayanan yang dilaksanakan tidak pernah menumbuhkan iman dari
anak jemaat?
Pada
sisi lain, ada salah satu pelayanan yang semestinya dimiliki oleh setiap gereja
atau jemaat, terutama bagi Hamba Tuhan, majelis yaitu pelayanan terhadap kaum
anak-anak jemaat hususnya yang masih di bangku sekolah Dasar, dalam bentuk
“Pembelajaran Agama Kristen secara Siswa Terpadu”. Memahami, menjangkau dan
melayani anak jemaat yang kecil, dalam masa pertumbuhan dan perkembangan baik
secara kognitif afektif dan psikomotorik anak dimana ia akan menentukan
perrkembangan iman berikutnya. Sampai mereka mengambil keputusan penting untuk
masa sekarang maupun yang akan dating, pada masa ramaja/ pemuda.
Memahami
anak-anak siswa yang demikian, apakah Pembelajaran PAK terhadap siswa secara
terpadu sudah menjadi salah satu prioritas dalam pelayanan Gereja atau jemaat,
Guru-guru PAK, terlebih dalam rangka pertumbuhan, perkembangan iman Kristen ?.
Dalam tulisan ini akan diuraikan bagaimana Pembelajaran PAK terhadap siswa yang
dilakukan secara terpadu menjadi salah satu cara yang efektif dan efisien dalam
pertumbuhan, perkembangan iman anak-anak jemaat, tentunya yang dilakukan oleh
seorang Guru yang mempunyai kompentesi atau kemampuan dalam bidangnya.
B. Rumusan
Masalah
Berpangkal pada latar belakang masalah di atas, maka
dapat dirumuskan masalah-masalah pertumbuhan iman Kristen, yaitu dengan
beberapa pertanyaan berikut :
1. Sejauh
mana Gereja, hamba-hamba Tuhan, majelis dan para aktifis gereja dalam menyikapi Pembelajaran PAK yang akhir-akhir
ini sangat terasa kemundurannya, terutama
pelayanan dalam persekutuan atau kebaktian Sekol;ah Minggu ?. Dan bagaimana dengan Pertumbuhan dan
perkembangan iman dari anak-anak jemaat?.
2. Apakah
prioritas pelayanan gereja, hamba Tuhan dan para aktifis gereja sudah tepat, yaitu mengenai sasaran, sehingga dapat
diharapkan hasilnya ?.
3. Sejauh
mana peran gereja, hamba Tuhan, majelis dan para aktifis secara langsung maupun tidak langsung terhadap Pembelajaran
PAK siswa di Sekolah Negeri?
4. Bagaimana
beban Hamba-hamba Tuhan, Guru-guru Agama Kristen, anggota Jemaat terhadap kebutuhan rohani anak-anak
yang Tuhan Yesus sudah percayakan untuk dididik
dalam ajaran Tuhan (Ulangan 6:1-9), melalui pendidikan Formal yang mempunyai “otoritas” sesuai dengan kaidah atau
perundang-undangan yang berlaku di setiap
sekolah tersebut dibangun atau didirikan ?.
5. Bagaimana
pelayanan Guru-guru Agama Kristen dalam menyampaikan kebenaran Firman Tuhan yang telah dirumuskan
dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Agama Kristen telah secara maksimal, atau dipaksa untuk diselesaikan seperti yang dituntut dalam kurikulum
sebelumnya (CBSA dan KBK), sehingga Pendidikan Agama
Kristen telah kehilangan makna dan hakekat yang sebenarnya ?.
6. Apakah
pemimpin rohani, hamba-hamba Tuhan, pimpinan lembaga pendidikan Kristen, kepala-kepala Sekolah dan terlebih Guru-guru
Agama Kristen telah menjadi contoh atau teladan
dalam segala hal, terutama bagi anak-anak didiknya?
C. Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk
menjelaskan korelasi atau hubungan antara
Kompetensi yang dimiliki oleh seorang Guru PAK, terhadap hasil pembelajaran PAK terhadap siswa secara terpadu yang
dilaksanakan oleh Guru yang telah memiliki kompetensi
tersebut.
D. Tujuan
dan Kegunaan Penelitian
Manfaat atau kegunaan penelitian yang lakukan adalah
untuk menyatukan pendapat, menyamakan persepsi dan pembuktian suatu fakta yang
sementara ini masih menjadi “rumor”
atau kesimpulan yang dibuat-buat untuk tujuan tertentu, sehingga pada akhirnya
gereja, hamba-hamba Tuhan, majelis, guru PAK dan semua orang percaya, akhirnya
menyadari pentingnya suatu kompetensi bagi guru PAK dalam pembelajaran terhadap
siswa secara terpadu khususnya dalam rangka pertumbuhan perkembangan iman
anak-anak didik.
Ada
beberapa tujuan yang hendak Penulis capai dalam penelitian.
Pertama
bagi Penulis sendiri. Dengan terselesainya skripsi ini, Penulis mengharapkan
tulisan ini dapat memperkaya wawasan khususnya dalam pelayanan dalam rangka
pertumbuhan dan perkembangan iman seseorang anak. seperti yang diidam-idamkan
oleh orang-orang Kristen; menjadi bahan acuan ke depan apabila kelak
diperkenankan, dipercaya Tuhan Yesus untuk melayani atau bekerja diladang-Nya,
sebagai Guru PAK yang professional dibidangnya. Dengan demikian dapat menjadi
hamba Tuhan atau Guru PAK yang lebih berguna untuk perluasan Kerajaan Allah di
muka bumi ini. Selanjutnya dapat mengembangkan pembelajaran PAK kepada siswa
menjadi semakin luas, sehingga dapat menjangkau siswa-siswa yang belum percaya
kepada Tuhan Yesus.
Kedua,
harapan Penulis melalui skripsi ini agar setiap pembaca secara khusus bagi para
aktivis gereja, Guru-guru yang percaya kepada Tuhan Yesus (Guru Kristen)
mendapat berkat, baik kesaksian, pengetahuan maupun pengalaman Pembelajaran PAK
kepada para siswa sebagai salah satu upaya Gereja (orang-orang percaya) dalam
menumbuhkembangkan iman Kristen,.
Penulis
berharap, setelah pembaca mengetahui pentingnya Pembelajaran PAK kepada para
siswa, tergerak hatinya dan mengambil langkah awal, yaitu melayani mereka yang
ada di gereja dan di sekolah masing-masing, sehingga jiwa-jiwa baru dapat
ditumbuhkembangan imannya dan dimenangkan untuk Tuhan Yesus dan gerejaNya,
dengan terus meningkatkan kompetensinya dalam menghadapi tantangan yang lebih
kompleks.
Ketiga,
melalui tulisan ini Penulis berharap para Pembaca (khususnya Guru Agama
Kristen) supaya mengetahui dan menyadari betapa pentingnya memiliki beberapa
kompetensi dalam Pembelajaran PAK bagi Siswa atau anak-anak SD (Sekolah
Dasar).
Yang
berikut, Penulis berharap rekan-rekan guru Pendidikan Agama Kristen dapat
melayani siswa dengan lebih baik lagi, serta mengembangkan Pembelajaran PAK,
menjadi pelayanan Siswa secara terpadu, tepat pada sasaran dan berjalan
berkesinambungan. Dengan demikian Gereja-gereja Tuhan (tanpa menitik beratkan
pada salah satu denominasi) dapat semakin bertumbuh dan berkembang baik secara
kwalitas maupun kwantitas, yaitu dengan ditumbuhkembangkannya iman dari
anak-anak jemaat.
Yang
berikut, Penulis berharap lebih luas lagi, melalui tulisan ini para hamba Tuhan
dan pemimpin lembaga-lembaga pendidikan Kristen mendapat masukan yang sangat
berarti bagi pertumbuhan dan perkembangan iman bagi anak-anak jemaat, sehingga
dapat mengambil langkah-langkah konkrit, lebih bijaksana dalam memanfaatkan
peluang emas bagi pertumbuhan dan perkembangan iman anak-anak yang dipimpinnya,
tanpa mengurangi pelayanan akademis dalam rangka mencerdaskan kehidupan
Bangsa.
Dengan
demikian para pemimpin lembaga pendidikan Kristiani, gereja, dapat bekerjasama
dengan Guru-guru Pendidikan Agama Kristen dalam rangka mewujudkan cita-cita
kita bersama yaitu anak-anak yang memiliki iman yang bertumbuh, berkembangan
dan menghasilkan buah-buat perbuatan. Menjadi saksi Kristsus bagi teman-teman
dan masyarakat pada umumnya..
E. Hipotesa
Ada
korelasi atau hubungan yang segnifikan antara Kompentensi yang dimiliki Guru
PAK terhadap hasil Pembelajaran PAK terhadap siswa yang dilakukan secara
terpadu, terus menerus dan berkesinambungan dengan pertumbuhan, perkembangan
iman anak-anak jemaat.
F. Ruang
Lingkup Pembahasan
Pembahasan
dalam Skripsi adalah pertumbuhan, perkembangan iman melalui pembelajaran PAK
kepada siswa terpadu oleh Guru PAK yang mempunyai kompetensi tertentu.
Perkembangan iman yang Penulis maksudkan adalah pertumbuhan, perkembangan iman
Kristen yang hidup sebagai hasil atau buah dari pembelajaran PAK secara terpadu
oleh Guru PAK yang mempunyai kopentensi.
Pertumbuhan,
perkembangan iman anak-anak jemaat meliputi pertumbuhan secara kwantitas, yaitu
pertumbuhan dalam segi jumlah (anak jemaat atau warga gereja atau jemaat
bertambah) maupun pertumbuhan, perkembangan iman secara kwalitas, yaitu mutu
iman dari anak-anak jemaat yang telah diselamatkan oleh Tuhan Yesus, seperti
yang dimaksud Rasul Paulus dalam Surat Efesus 4 :13-15, yaitu : “Sampai kita
semua mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah,
kedewasaan penuh dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus,
sehingga kita bukan lagi anak-anak yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa
pengajaran, oleh permainan palsu menusia dalam kelicikan mereka yang
menyesatkan, tetapi teguh berperang kepada kebenaran di dalam kasih kita
bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus yang adalah Kepala”.
Sedangkan
yang Penulis maksudkan dengan pelayanan siswa terpadu, yaitu pelayanan kepada
siswa (murid) secara utuh, sesuai dengan kebutuhan perkembangan jiwa, terlebih
kebutuhan rohani, dilakukan terus-menerus secara berkesinambungan, sesuai
dengan pengertian dan pemahaman serta kemampuan dari Guru-guru Agama Kristen
yang mempunyai kompetensi dalam mengajar.
Untuk
mewujudkan iman anak-anak jemaat bertumbuh dan berkembang di tengah-tengah
keluarga, sekolah dan masyarakat,, serta menjadi berkat bagi teman-teman yang
belum percaya (belum diselamatkan), dibutuhkan cara atau metode, serta
langkah-langkah nyata. Gereja sebagai “bapak” dalam pelayanan kepada siswa
harus proaktif dalam menyikapi langkah-langkah yang diambil oleh para guru
agama PAK, hamba-hamba Tuhan, serta memberi dorongan yang maksimal. Jemaat yang
mempunyai potensi besar dalam melayani siswa, perlu dilibatkan secara langsung,
mengingat keterbatasan pelayan (pekerja) atau guru-guru PAK yang mengajar
(melayani) siswa di sekolah-sekolah Negeri.
G. Metode
dan Prosedur Penelitian
Untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih lengkap dan dapat dipercaya kebenarannya,
tulisan ini, maka disamping Penulis membaca Literatur juga mengadakan survey
terhadap hasil pelayanan terhadap siswa secara terpadu pada Sekolah-sekolah
Negeri, dan gereja dimana siswa tersebut telah bergereja.
Penulis
juga mengadakan wawancara dengan beberapa hamba Tuhan (Pendeta) penginjil atau
guru Injil dan rekan-rekan Guru PAK yang masih aktif di dalam Pembelajaran PAK
di Kecamatan Argomulyo, Salatiga. Untuk mengetahui sampai sejauh mana keberhasilan
Pembelajaran PAK terhadap siswa, baik dalam penyampaian materi pelajaran Agama
Kristen maupun pelayanan lainnya, Penulis juga mengadakan wawancara dengan
beberapa siswa Kristen yang pernah mendapat Pelajaran Agama Kristen dari
Gurunya.. Pengalaman Penulis selama melayani (mengajar) Pendidikan Agama
Kristen di sekolah serta hasil Analisis data siswa akan mewarnai tulisan
ini.
H. Sistimatika
Penulisan
Penulis
tidak akan membahas panjang lebar mengenai pertumbuhan dan perkembangan iman
Kristen bagi anak-anak jemaat dengan hanya akan memfokuskan pada cara atau
metode pertumbuhan dan perkembangan iman. Dan dalam skripsi ini, Penulis akan
membatasi pada pertumbuhan, perkembangan iman Kristen, yaitu melalui
Pembelajaran PAK secara terpadu yang dilakukan oleh seorang guru PAK yang
mempunyai kompetensi dalam bidangnya.
Penulis akan membuat tahapan-tahapan sebagai berikut
:
Bab Satu
terlebih dahulu Penulis memberikan Pendahuluan, yang
mencakup : latar belakang masalah, rumusan-rumusan masalah, tujuan penulisan,
tujuan dan kegunaan penelitian, hipotesa, ruang lingkup pembahasan, metode dan
prosedur penelitian dan sistimatika penulisan.
Bab Dua
Penulis menguraikan pertumbuhan, perkembangan iman
kristen serta iman yang hidup, yang Penulis dahului dengan menguraikan sedikit
tentang pengertian Iman, ciri-ciri Iman, pentingnya iman dan timbulnya iman.
Kemudian masuk kepada pembahasan iman yang disertai dengan perbuatan atau iman
yang hidup serta dampaknya bagi kehidupan anak tersebut, keluarga, sekolah dan
msyarakat.
Bab
tiga
Penulis akan melengkapi pembahasan ini dengan
menguraikan siapa siswa, hakekat Pendidikan Agama Kristen, serta pelayanan
siswa terpadu. Dalam Bab ini Penulis akan menekankan satu bentuk pelayanan,
yaitu pelayanan siswa secara terpadu, yang merupakan salah satu bentuk
pelayanan gereja atau orang-orang percaya terhadap anak-anak, terutama
anak-anak jemaat.
Supaya aktivitas pelayanan terhadap siswa tersebut
tidak sia-sia, tetapi benar-benar menjadi berkat bagi para siswa, bagi
pertumbuhan dan perkembangan gereja serta penginjilan, maka dalam bab ini
Penulis sertakan prinsip-prinsip pelayanan terhadap siswa dan langkah-langkah
pelayanan terhadap siswa tersebut.
Bab empat
Penulis akan mengungkapkan suatu fakta, yaitu
menguraikan bahwa Kompetensi seorang guru PAK dalam proses pembelajaran sangat
menentukan keberhasilan pembelajaran tersebut. Oleh sebab itu dalam bab ini
diuraikan, pengertian suatu kopentensi, macam kompentensi yang harus dimiliki
oleh seorang guru PAK, serta dampaknya dalam proses pembelajaran. Mengingat
semua usaha mempunyai satu tekat atau tujuan, yaitu bertumbuh iman bagi
anak-anak yang diajar atau dididik, maka dalam Bab ini diuraikan pentingnya
suatu prioritas, Pembelajaran PAK terhadap siswa secara terpadu sebagai upaya
meningkatkan pertumbuhan perkembangan iman bagi anak-anak jemaat. Bentuk-bentuk
Pembelajaran dalam rangka pertumbuhan dan perkembangan iman, yaitu antara lain
Pengajaran Agama Kristen, Persekutuan Siswa, Pembinaan Iman Kristen, pementoran
dan Kunjungan. Dampak dari pelayanan siswa yang dilakukan secara terpadu
khususnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan iman pun perlu dibanggakan.
Oleh sebab itu dalam bab ini pula Penulis paparkan beberapa dampak bagi
pertumbuhan dan perkembangan iman anak-anak jemaat baik yang berupa perubahan
sikap hidup, peningkatan jumlah dalam kebaktian sekolah minggu serta
pertumbuhan iman itu sendiri yang menjadi tujuan dari sejak semula. Namun
mengingat dalam pelaksanaan untuk mencapai tujuan tersebut ada banyak sekali
hambatan dan rintangan, baik dari dalam maupun dari luar, maka dalam bab ini
penulis akan sedikit gambarkan rintangan dan hambatan-hambatan, terutama yang
Penulis alami, dan sekaligus jalan keluar atau solusi yang Penulis ambil,
sehingga hasil dari semuanya itu dapat melengkapi Skripsi ini.
Bab
lima,
Penulis akan membuat kesimpulan secara menyeluruh
dari apa yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, serta memberi saran bagi
para guru-guru Agama Kristen, hamba-hamba Tuhan, para aktivis gereja dan
pemimpin suatu lembaga pendidikan (Sekolah-Sekolah Kristen), supaya
memanfaatkan peluang yang Tuhan berikan bagi pertumbuhan, perkembangan iman
anak-anak jemaat. Memenangkan jiwa-jiwa baru bagi Tuhan Yesus dan bagi
gereja-Nya.
ARTI MANUSIA
DARI PANDANG FILSAFAT
Filsafat
Manusia adalah suatu cabang dari Filsafat yang mengupas tentang arti menjadi manusia.
Filsafat
Manusia termasuk dalam kajian Ontologi atau Metafisika
Filsafat
Manusia biasa disebut juga, Antropologia Metafisika atau Psikologi
Metafisis
Manusia
adalah mahluk yang berhadapan dengan diri sendiri dalam dunianya.
Louis
Leahy mengatakan bahwa ada 2 inti pokok dalam mempelajari Filsafat Manusia,
yaitu :
Memelajari
Filsafat Manusia untuk mendapatkan Hakekat Manusia
Memelajari
Filsafat Manusia untuk mendapatkan Fungsi dari keberadaan manusia di dunia.
Ada 2
aspek dalam memahami hakekat manusia, yaitu :
Ekstensif,
meliputi pembahasan yang berhubungan dengan Sifat, Gejala, Kegiatan, dan segala sesuatu yang meyangkut pada segala
bidang.
Intensif,
meliputi pembahasan yang mengarah pada intisari dari manusia.
Memandang
manusia bisa dilihat dari dua sisi, yaitu :
Eksternal,
melihat manusia dari sisi Tubuh yang sifatnya materi.
Internal,
melihat manusia dari sisi Jiwa atau Rohani, dan kesadaran
CIRI
–CIRI MANUSIA:
Ciri
fisik
Sikapnya
yang tegak sehingga membebaskan tangan untuk melakukan eksplorasi dan manipulasi
Jari-jari
tangan yang mudah bergerak serta kemampua lengan bergerak memutar
Otak
dan kepala yang besar serta sistem syaraf yang lebih sempurna dari mahluk
lain
Manusia
mempunyai alat berupa bahasa untuk menyebarkan kebudayaannya
Manusia
mempunyai daya cipta yang bisa berulang, dan ciptaannya bisa kompleks sifatnya.
Manusia
mahluk sosial dan politik
Hanya
manusia yang sadar akan sejarah dan mempunyai tradisi kebudayaan yang terus menerus
Manusia
mempunyai apresiasi estetik
Manusia
mempunyai hati nurani
Manusia
adalah mahluk yang religious
Kesalah tafsiran tentang teori evolusi:
Teori
evolusi tidak berarti semua bentuk yang hidup itu cenderung mengarah kepada manusia, atau akan berubah menjadi jenis lain.
Teori
evolusi berbeda dengan darwinisme. Darwinisme adalah suatu penjelasan bagaimana satu
jenis dapat muncul dari jenis lain.
Teori
evolusi bukan keterangan tentang watak dan asal dari kehidupan itu sendiri
tetapi tentang proses
perubahan.
Teori
evolusi tidak seharusnya mengingkari agama atau kepercayaan kepada Tuhan.
Perbedaan
mansuia
BARAT-
TIMUR
Mengutamakan akal sebagai alat penalaran dan
memperoleh pengetahuan.
Abstraksi sangat penting dalam memahami hidup.
Pengetahuan.
Pengetahuan berguna untuk menguasai dunia.
Mengutamakan hati yang merupakan alat pemersatu akal dan intuisi atau
intelegensi dan persaan.
Menekankan pada simbol yang sifatnya kongkret.
Pengetahuan berguna untuk menjadi bijaksana dalam
menghadapi hidup yang sulit.
Mempunyai motivasi untuk menguasai alam, karena
manusia barat berjarak dengan alam.
Muncul eksploitasi dan ekspansi Menghormati alam
karena menganggap alam dan manusia merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan
(holistik)
Muncul
harmonisasi
Manusiia barat mempunyai sikap aktif, mereka aktor
dari kehidupan dan terus berpetualang dalam hidupnya
Nilai tertinggi dalam hidup datang dari dalam,
menerima keadaan, mengumpulkan pengalaman, mengintegrasikan diri dan waktu demi
kesempurnaannya
Menghargai hak individu sehingga membentuk pribadi
yang percaya diri, terus terang, relistis, dan “berani menjadi” Keberadaan
manusia baru berarti apabila ia tidak memisahkan diri dari masyarakat dan
berpikir secara sosial-kolektif.
PERSAMAAN
MANUSIA BARAT DAN TIMUR:
Mengakui
adanya suatu yang absolut yang merupakan sumber dari segala sesuatu (penyebab
pertama)
Sama-sama
menghadapi pertanyaan dasar tentang manusia dan mempunyai wawasan yang sama
tentang dimana manusia dapat menemukan pemenuhannya
WATAK
MANUSIA DAN MASYARAKAT:
Thomas Hobbes (1588 – 1679)
Manusia merupakan mahluk yang jahat (Homo Homini
Lupus) sehingga harus diatur oleh hukum dan pemerintahan yang tak dapat
digulingkan (Leviathan)
Sifat dasar manusia adalah bersaing, agresif, loba,
anti sosial dan bersifat kebinatangan.
Negara berfungsi untuk menyatukan manusia untuk
tidak saling memebunuh.
Jean
Jacques Rousseau (1712 – 1778)
Manusia merupakan mahluk baik, masyarakat yang
membuat manusia jahat (mementingkan diri sendiri dan bersifat merusak)
Negara berfungsi untuk memungkinkan manusia untuk
mendapatkan kembali sifat kebaikannya yang asli.
CIRIKHAS
MANUSIA SBG MAHKLUK HIDUP:
Asimilasi,
yaitu berkembang dan mengembangkan diri dengan mengubah yang dimakan dan
dicerna menjadi substansinya sendiri.
Memperbaiki
dan memulihkan, yaitu mengerjakan dari substansinya sendiri, dari dalam
dirinya, dari apa yang dibuat oleh organismenya.
Mereproduksi,
yaitu kemampuan untuk melipatgandakan diri, membuat dalam dirinya bibit yang
akan menjadi mahluk hidup baru.
Responsif,
yaitu kemampuan merespon stimulus yang diberikan padanya oleh alam sekitarnya,
( daya adaptasi).
Punya
tujuan, yaitu kemampuan menentukan tujuan. Manusia punya tujuan hidup dan untuk
mencapainya mereka memanfaatkan apa yang ada disekitarnya dengan menggunakan
ilmu dan alat.
Mahluk
hidup secara esensial adalah sesuatu yang menyempurnakan dirinya sendiri
(otoperfektif), dia berkemampuan untuk bergerak sendiri, tumbuh dan
berkembang.
Mahluk
hidup mempunyai suatu kesatuan yang dinamis dan yang menstrukturkan sumber
pertama dari aktifitas-aktifitas yang beraneka ragam dan terkoordinir pada
setiap mahluk hidup.
Kesatuan
substansial dan dinamis itu yang mengkoordinasikan dan “menstrukturkan”
merupakan dinamisme yang mengakibatkan dia berbuat dan mencoba merealisasikan
idenya sebagai “subjektivitas”.
Mahluk
hidup tersusun dari bagian-bagian yang mempunyai ciri khas bahwa mereka
bersama-sama merupakan suatu keseluruhan yang terstruktur, mempunyai fungsi
tertentu, semua bagian saling bergantung, sehingga mahluk hidup adalah suatu
keseluruhan yang berhirarki dan tersusun.
Dapat
disimpulkan bahwa mahluk hidup punya 2 unsur yang esensial, pertama,
keseluruhan yang berorgan dan tersusun, yang dinamakan badan. Kedua, kesatuan
substansial yang disebut jiwa. Kedua bersatu dan dikenal dengan nama mahluk
hidup, satu substansi walaupun tetap berbeda dan dari kodrat yang
berlainan.
Definisi
tentang mahluk hidup, yaitu suatu substansi natural yang terbentuk dari badan
dan jiwa, dari keseluruhan yang berorgan dan kesatuan fundamental, dari suatu
struktur indrawi dan subjektifitas metaindrawi.
BEBERAPA KONSEP JIWA:
Jiwa
adalah suatu elemen yang indrawi, halus, panas dan dinamik seperti nafas dan darah yang terdapat dalam organisme
secara total atau definitif.
Peranan
Jiwa sebagai kesatuan substansial dan metafisika. Jiwa adalah menstrukturkan dan menyatukan. Jiwa bukan
suatu keseimbangan harmonis dari organisme
itu, melainkan keseluruhan kegiatan “sinergis” yang hanya mampu dilakukan mahluk hidup.
Jiwa
merupakan unsur pokok yang pertama, jiwa harus menjadi prinsip hidup,
prinsip kesadaran, interioritas,
pemikiran dan kebebasan.
Plato
mengatakan jiwa merupakan satu substansi yang eksistensinya mendahului badan,
yang untuk sementara waktu tertutup didalam badan seperti layaknya sebuah
penjara bagi jiwa. Jiwa adalah sesuatu yang ”ada” dan badan adalah sesuatu ada
yang lain (dualisme).
Aristoteles
mengatakan Jiwa dan Badan merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak
dapat dipisahkan yang menyatu dan dikenal sebagai mahluk hidup. Jiwa dan badan
merupakan 2 unsur esensial yang saling melengkapi dalam satu substansi yang
sama (monisme).
Gagasan tentang Jiwa menghadapi 2 keberatan
1. Dewasa
ini kehidupan dapat dibuat di laboratorium, ini membuktikan bahwa mahluk hidup hanya tersusun dari unsur-unsur
indrawi dan fisik.
2. Ahli
biologi dan psikologi menjelaskan pembentukan dan tingkah laku mahluk hidup tanpa menggunakan gagasan tentang jiwa
yang dapat merugikan penyelidikan-penyelidikan
mereka.
STRUKTUR JIWA:
Jiwa
menurut Whitehead punya struktur yang sifatnya hierarkis dimana taraf yang
tertinggi diduduki oleh taraf rasional, dalam melaksanakan tugasnya taraf ini
didukung oleh taraf-taraf lain seperti taraf organik (benda mati), taraf
vegetatif (tumbuhan) taraf sensitif (binatang). Taraf yang rendah mempunyai
fungsi saling berhubungan dan mendukung taraf tertinggi yaitu taraf
rasional.
Taraf
organik (benda mati) sifatnya statis tidak memperkenalkan unsur baru
yang muncul dari keinginan
mewujudkan cita-cita pribadi.
Taraf
vegetatif (tumbuhan) lebih menunjukkan aktifitas jiwa yang efektif
dengan adanya unsur pembaharuan
(adaptasi dengan lingkungan).
Taraf
sensitif (binatang) sudah muncul kesadaran akan
diri dan lingkungan, bersamaan dengan
kemampuan analisis terhadap pengalaman-pengalaman fisik.
Taraf
rasional terjadi pembaruan terus menerus yang menjadi begitu efektif di
dalam sejarah kehidupan manusia,
karena dalam diri manusia ada kesadaran intelektual yang punya kemampuan sangat efektif untuk
menyederhanakan pengalaman dan memberi tekanan
kepada segi yang dianggap penting sambil menyingkirkan yang dianggap tidak relevan.
KARAKTER
KHUSUS BADAN:
Badan
itu tidak berada diluar intimitasi kita secara total dan juga tidak sama secara
sempurna dengan keakuan kita yang paling dalam; bahwa dia tidak merupakan suatu
objek saja maupun suatu subjektivitas semata.
Badan itu harus didefinisikan berhubungan erat
dengan dunia dan partisipasinya dengan jiwa, sehingga yang akan dibicarakan
adalah badan hidup pada umumnya.
KESIMPULAN:
Mahluk
Hidup Mengatasi Batas-batas “Ketubuhannya”
Dispersi,
yaitu mahluk hidup selalu berusaha untuk mempertahankan kesatuannya yang dapat membedakannya dari semua yang lain
dan menjadi suatu individu.
Mahluk
hidup berusaha mengatasi kepasifan tubuh. Manusia berusaha beradaptasi,
bereproduksi, bekerja demi kelangsungan hidupnya, namun mereka tidak bisa
mempercepat atau memperlambat eksistensinya, seperti tubuh makin tua yang lama
kelamaan menimbulkan ketidakmampuan.
Mahluk
hidup mengalami keterbatasan, dimana setiap mahluk hidup tidak pernah menjadi
dirinya secara total dan sempurna dan tidak pernah mencapai keadaan yang
dicita-citakannya.
PENTINGNYA LANDASAN FILSAFAT
PENDIDIKAN BAGI PENDIDIKAN
Pengantar
Terdapat cukup alasan yang baik untuk belajar
filsafat, khususnya apabila ada pertanyaan-pertanyaan rasional yang tidak dapat
atau seyogyanya tidak dijawab oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu. Misalnya: apakah
yang dimaksud dengan pengetahuan, dan/atau ilmu? Dapatkah kita bergerak ke kiri
dan kanan di dalam ruang tetapi tidak terikat oleh waktu? Masalah yang dibahas
dalam makalah ini adalah sekitar pendidikan dan ilmu pendidikan. Kiranya
kegiatan pendidikan bukanlah sekedar gejala sosial yang bersifat rasional semata
mengingat kita mengharapkan pendidikan yang terbaik untuk bangsa Indonesia,
lebih-lebih untuk anak-anak kita masing-masing; ilmu pendidikan secara umum
tidak begitu maju ketimbang ilmu-ilmu sosial dan biologi tetapi tidak berarti
bahwa ilmu pendidikan itu sekedar ilmu atau suatu studi terapan berdasarkan
hasil-hasil yang dicapai oleh ilmu-ilmu sosial dan atau ilmu perilaku.
Pertanyaan yang timbul yaitu: apakah teori-teori
pendidikan dapat atau telah tumbuh sebagai ilmu ataukah hanya sebagian dari
cabang filsafat dalam arti filsafat sosial ataupun filsafat kemanusiaan?
A.
Pendidikan Sebagai Kegiatan Ilmu dan Seni
Masalah pendidikan mikro yang menjadi focus disini
khususnya ialah dasar dan landasan pendidikan serta landasan ilmu pendidikan
yaitu manusia atau sekelompok kecil manusia dalam fenomena pendidikan.
1.
Pendidikan dalam Praktek Memerlukan teori
Alangkah
pentingnya kita berteori dalam praktek di lapangan pendidikan karena pendidikan
dalam praktek harus dipertanggungjawabkan. Tanpa teori dalam arti seperangkat
alasan dan rasional yang konsisten dan saling berhubungan maka
tindakan-tindakan dalam pendidikan hanya didasarkan atas alasan-alasan yang
kebetulan, seketika dan aji mumpung. Hal itu tidak boleh terjadi karena setiap
tindakan pendidikan bertujuan menunaikan nilai yang terbaik bagi peserta didik
dan pendidik. Bahkan pengajaran yang baik sebagai bagian dari pendidikan selain
memerlukan proses dan alasan rasional serta intelektual juga terjalin oleh
alasan yang bersifat moral. Sebabnya ialah karena unsur manusia yang dididik
dan memerlukan pendidikan adalah makhluk manusia yang harus menghayati
nilai-nilai agar mampu mendalami nilai-nilai dan menata perilaku serta pribadi
sesuai dengan harkat nilai-nilai yang dihayati itu.
Kita
baru saja menyaksikan pendidikan di Indonesia gagal dalam praktek berskala
makro dan mikro yaitu dalam upaya bersama mendalami, mengamalkan dan menghayati
Pancasila. Lihatlah bagaimana usaha nasional besar-besaran selama 20 tahun
(1978-1998) dalam P-7 (Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila) berakhir kita nilai gagal menyatukan bangsa untuk
memecahkan masalah nasional suksesi kepresidenan secara damai tahun 1998,
setelah krisis multidimensional melanda dan memporakporandakan hukum dan
perekonomian negara mulai pertengahan tahun 1997, bahkan sejak 27 Juli 1996
sebelum kampanye Pemilu berdarah tahun 1997. itu adalah contoh pendidikan dalam
skala makro yang dalam teorinya tidak pas dengan Pancasila dalam praktek diluar
ruang penataran. Mungkin penatar dan petatar dalam teorinya ber-Pancasila
tetapi didalam praktek, sebagian besar telah cenderung menerapkan Pancasila
Plus atau Pancasila Minus atau kedua-duanya. Itu sebabnya harus kita putuskan
bahwa P-7 dan P-4 tidak dapat dipertanggungjawabkan, setidak-tidaknya secara
moral dan sosial. Mari kita kembali berprihatin sesuai ucapan Dr. Gunning yang
dikutip Langeveld (1955).
“Praktek tanpa teori adalah untuk orang idiot dan
gila, sedangkan teori praktek hanya untuk orang-orang jenius”.
Ini
berarti bahwa sebaiknya pendidikan tidak dilakukan kecuali oleh orang-orang
yang mampu bertanggung jawab secara rasional, sosial dan moral. Sebaliknya
apabila pendidikan dalam praktek dipaksakan tanpa teori dan alasan yang memadai
maka hasilnya adalah bahwa semua pendidik dan peserta didik akan merugi. Kita
merugi karena tidak mampu bertanggung jawab atas esensi perbutan masing-masing
dan bersama-sama dalam pengamalan Pancasila. Pancasila yang baik dan memadai,
konsisten antara pengamalan (lahiriah) dan penghayatan (psikologis) dan
penataan nilai secara internal. Dalam hal ini kita bukan menyaksikan kegiatan
(praktek) pendidikan tanpa dasar teorinya tetapi suatu praktek pendidikan
nasional tanpa suatu teori yang baik.
2.
Landasan Sosial dan Individual Pendidikan
Pendidikan
sebagai gejala sosial dalm kehidupan mempunyai landasan individual, sosial dan
cultural. Pada skala mikro pendidikan bagi individu dan kelompok kecil
beralngsung dalam skala relatif tebatas seperti antara sesama sahabat, antara
seorang guru dengan satu atau sekelompok kecil siswanya, serta dalam keluarga
antara suami dan isteri, antara orang tua dan anak serta anak lainnya.
Pendidikan dalam skala mikro diperlukan agar manusia sebagai individu
berkembang semua potensinya dalam arti perangkat pembawaanya yang baik dengan
lengkap. Manusia berkembang sebagai individu menjadi pribadi yang unik yang
bukan duplikat pribadi lain. Tidak ada manusia yang diharap mempunyai
kepribadian yang sama sekalipun keterampilannya hampir serupa. Dengan adanya individu
dan kelompok yang berbeda-beda diharapkan akan mendorong terjadinya perubahan
masyarakat dengan kebudayaannya secara progresif. Pada tingkat dan skala mikro
pendidikan merupakan gejala sosial yang mengandalkan interaksi manusia sebagai
sesama (subyek) yang masing-masing bernilai setara. Tidak ada perbedaan hakiki
dalam nilai orang perorang karena interaksi antar pribadi (interpersonal) itu
merupakan perluasan dari interaksi internal dari seseorang dengan dirinya
sebagai orang lain, atau antara saya sebagai orang kesatu (yaitu aku) dan saya
sebagai orang kedua atau ketiga (yaitu daku atau-ku; harap bandingkan dengan
pandangan orang Inggris antara I dan me).
Pada
skala makro pendidikan berlangsung dalam ruang lingkup yang besar seperti dalam
masyarakat antar desa, antar sekolah, antar kecamatan, antar kota, masyarakat
antar suku dan masyarakat antar bangsa. Dalam skala makro masyarakat
melaksanakan pendidikan bagi regenerasi sosial yaitu pelimpahan harta budaya
dan pelestarian nilai-nilai luhur dari suatu generasi kepada generasi muda
dalam kehidupan masyarakat. Diharapkan dengan adanya pendidikan dalam arti luas
dan skala makro maka perubahan sosial dan kestabilan masyarakat berangsung
dengan baik dan bersama-sama. Pada skala makro ini pendidikan sebagai gejala
sosial sering terwujud dalam bentuk komunikasi terutama komunikasi dua arah.
Dilihat dari sisi makro, pendidikan meliputi kesamaan arah dalam pikiran dan
perasaan yang berakhir dengan tercapainya kemandirian oleh peserta didik. Maka
pendidikan dalam skala makro cenderung dinilai bersifat konservatif dan
tradisional karena sering terbatas pada penyampaian bahan ajar kepada peserta
didik dan bisa kehilangan ciri interaksi yang afektif.
3.
Teori Pendidikan Memadu Jalinan Antara Ilmu dan Seni
Adanya
aspek-aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah seperti disebut tadi
mengisyaratkan bahwa manusia dalam fenomena (situasi) pendidikan adalah paduan
antara manusia sebagai sebagai fakta dan manusia sebaai nilai. Tiap manusia
bernilai tertentu yuang bersifat luhur sehingga situasi pendidikan memiliki
bobot nilai individual, sosial dan bobot moral. Itu sebabnya pendidikn dalam
praktek adalah fakta empiris yang syarat nilai berhubung interaksi manusia
dalam pendidikan tidak hanya timbal balik dalam arti komunikasi dua arah
melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat maniusiawi seperti saya atau
siswa mendidik diri sendiri atas dasar hubungan pribadi dengan pribadi (higher
order interactions) antar individu dan hubungan intrapersonal secara afektif
antara saya (yaitu I) dan diriku (diri sendiri yaitu my self atau the
self).
Adapun
manusia sebagai fakta empriris tentu meliputi berbagai variabel dan hubungan
variabel yang terbatas jumlahnya dalam telaah deskriptif ilmu-ilmu. Sedangkan
jumlah variabelnya amat banyak dan hubungan-hubungan antara variabel amat
kompleks sifatnya apabila pendidik memelihara kualitas interaksinya dengan
peserta didik secra orang perorang (personal).
Sepeti dikatakan tentang siswa belajar aktif oleh
Phenix (1958:40), yaitu :
sifat
manusiawi dari pendidikan (manusia dalam pendidikan) harus terpelihara demi
kualitas proses dan hasil pendidikan. Pemeliharaan itulah yang menuntut agar
pendidik siap untuk bertindak sewaktu-waktu secara kreatif (berkiat menciptakan
situasi yang pas, apabila perlu. Misalnya atas dasar diagnostik klinis)
sekalipun tanpa prognosis yang lengkap namun utamanya berdasarkan sikap afektif
bersahabat terhadap terdidik. Kreativitas itu didasarkan kecintaan pendidik
terhadap tugas mendidik dan mengajar, itu sebabnya gejala atau fenomena
pendidikan tidak dapat direduksi sebagai gejala sosial atau gejala komunikasi
timbal balik belaka. Apabila ilmu-ilmu sosial atau behavioral mampu menerapkan
pendekatan dan metode ilmiah (Pearson, 1900) secara termodifikasi dalam telaah
manusia melalui gejala-gejala sosial, apakah ilmu pendidikan harus bertindak
serupa untuk mengatasi ketertinggalan- nya khususnya ditanah air kita ?
Atau seperti dikatakan secara ilmiah oleh NL. Gage
(1978:20),
Pendidik
memang harus bertindak pada latar mikro termasuk dalam kelas atau di sekolah
kecil, mempengaruhi peserta didik dan itu diapresiasi oleh telaah pendidikan
berskala mikro, yaitu oleh paedagogik (teoritis) dan andragogi (suatu pedagogic
praktis). Itu sebabnya ilmu pendidikan harus lebih inklusif daripada pengajaran
(yang makro) lebih
utama daripada mengajar dan mendidik. Bahkan
kegiatan pengajaran disekolah memerlukan perencanaan dalam arti penyusunan
persiapan mengajar. Dalam pandangan ilmu pendidikan yang otonom, ruang lingkup
pengajaran tidak dengan sendirinya mencakup kegiatan mendidik dan
mengajar.
Atas
dasar pokok-pokok pikiran tentang aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah dari
manusia dalam fenomena pendidikan maka pendidikan dalam praktek haruslah secara
lengkap mencakup bimbingan, mendidik, mengajar dan pengajaran. Dalam fenomena
yang normal peserta didik dapat didorong aga belajar aktif melalui bimbingan
dan mengajar. Tetapi adakalanya dalam situasi kritis siswa perlu meniru cara
guru yang aktif belajar sendiri. Itu sebabnya perundang-undangan pendidikan
kita sebenarnya perlu diluruskan, pada satu sisi agar upaya mendidik terjadi
dalam keluarga secara wajar, disisi lain agar pengajaran disekolah meliputi
dimensi mendidik dan mengajar. Lagi pula bahwa diferensisasi dan fungsi sekolah
sebagai lembaga pendidikan perlu ditentukan utamanya harus melakukan pengajaran
dan mengelola kurikulum formal sebagai aspek spesialisasinya agar beroperasi
efisien. Sedangkan konsep pendidikan yang juga mencakup program latihan (UU.
No. 2/1989 Pasal 1 butir ke-1) adalah suatu konstruk yang amat luas dilihat
dari perspektif sekolah sebagai lembaga pendidikan formal.
Maka
konsep pendidikan yang memerlukan ilmu fdan seni ialah proses atau upaya sadar
antar manusia dengan sesama secara beradab, dimana pihak kesatu secara terarah
membimbing perkembangan kemampuan dan kepribadian pihak kedua secara manusiawi
yaitu orang perorang. Atau bisa diperluas menjadi makro sebagai upaya sadar
manusia dimana warga maysrakat yang lebih dewasa dan berbudaya membantu
pihak-pihak yangkurang mampu dan kurang dewasa agar bersama-sama mencapai taraf
kemampuan dan kedewasaan yang lebih baik (Phenix, 1958:13), Buller, 1968:10).
Dalam arti ini juga sekolah laboratorium akan memerlukan jalinan praktek ilmu
dan praktek seni. Sebaliknya butir 1 pasal 1, UU No. 2 /1989 kiranya kurang
tepat sehingga tentu sulit menuntut siswa ber CBSA padahal guru belum tentu
aktif belajar, mengingat definisi pendidikan yang makro, yaitu :
“Pendidikan
ialah usaha sadar untuk mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran dan atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan dating”.
Kiranya
konsep pendidikan yang demikian yang demikian kurang mampu memberi isi kepada
tujuan dan semangat Bab XIII UUD 1945 yang merujuk bidang pendidikan sebagai
amanah untuk mewujudkan keterkaitan erat antara sistem pengajaran nasional
dengan kebudayaan kebangsaan. Karena itu dalam lingkup pendidikan menurut skala
mikro dan abstark yang lebih makro, pendidik harus juga peduli dengan aspek
etis (moral) dan estetis dari pengalamannya berinteraksi dengan peserta didik
selain aspek pengetahuan, kebenaran dan perilaku yang disisyaratkan oleh konsep
pendidikan menurut undang-undang tadi. Hal ini sesuai dengan pandangan Ki Hajar
Dewantara (1950) sebagai berikut :
“Taman
Siswa mengembangkan suatu cara pendidikan yang tersebut didalam Among dan
bersemboyan ‘Tut Wuri Handayani’ (mengikuti sambil mempengaruhi). Arti Tut Wuri
aialah mengikuti, namun maknanya ialah mengikuti perkembangan sang anak dengan
penuh perhatian berdasarkan cinta kasih dan tanpa pamrih, tanpa keinginan
menguasai dan memaksa, dan makna Handayani ialah mempengaruhi dalam arti
merangsang, memupuk, membimbing, memberi teladan gar sang anak mengembngkan
pribadi masing-masing melalui disiplin pribadi”.
Demikian
bagi Ki Hajar Dewantara pendidikan pada skala mikro tidak terlepas dari
pendidikan dalam arti makro, bahkan disipilin pribadi adalah tujuan dan cara
dalam mencapai disiplin yang lebih luas. Ini berarti bahwa landasan pendidikan
terdapat dalam pendidikan itu sendiri, yaitu factor manusianya. Dengan demikian
landasan-landasan pendidikan tidak mesti dicari diluar fenomena (gejala)
pendidikan termasuk ilmu-ilmu lain dan atau filsafat tertentu dari budaya
barat. Oleh karena itu data ilmu pendidikan tidak tergantung dari studi ilmu
psikologi., fisiologi, sosiologi, antropologi ataupun filsafat. Lagi pula
konsep pengajaran (yang makro) berdasarkan kurikulum formal tidak dengan
sendirinya bersifat inklusif dan atau sama dengan mengajar. Bahkan dalam banyak
hal pengajaran itu tergantung hasilnya dari kualitas guru mengajar dalam kelas
masing-masing. Sudah barang tentu asas Tut Wuri Handayani tidak akan menjadikan
pengajaran identik dengan sekedar upaya sadar menyampaikan bahan ajar dikelas
kepada rombongan siswa mengingat guru harus berhamba kepada kepentingan
siswanya.
B.
Dasar-dasar Ilmu Pendidikan
Uraian
diatas mengisyaratkan terhadap dasar-dasar pendidikan bahwa praktek pendidikan
sebagai ilmu yang sekedar rangkaian fakta empiris dan eksperimental akan tidak
lengkap dan tidak memadai. Fakta pendidikan sebagai gejala sosial tentu sebatas
sosialisasi dan itu sering beraspirasi daya serap kognitif dibawah 100 %
(bahkan 60 %). Sedangkan pendidikan nilai-nilai akan menuntut siswa menyerap
dan meresapi penghayatan 100 % melampaui tujuan-tujuan sosialisasi,
mencapai internaliasasi (mikro) dan hendaknya juga enkulturasi (makro). Itulah
perbedaan esensial antara pendidikan (yang menjalin aspek kognitif dengan aspek
afektif) dan kegiatan mengajar yang paling-paling menjalin aspek kognitif dan
psikomotor. Dalam praktek evaluasinya kegiatan pengajaran sering terbatas
targetnya pada aspek kognitif. Itu sebabnya diperlukan perbedaan ruang lingkup
dalam teori antara pengajaran dengan mengajar dan mendidik.
Adapun
ketercapaian untuk daya serap internal mencapai 100 % diperlukn tolong menolong
antara sesama manusia. Dalam hal ini tidak ada orang yang selalu sempurna
melainkan bisa terjadi kemerosotan yang harus diimbangi dengan penyegaran dan
kontrol sosial. Itulh segi interdependensi manusia dalam fenomena pendidikan
yang memerlukan kontrol sosial apabila hendak mencegah penurunan pengamalan
nlai dan norma dibawah 100%.
1.
Pedagogik sebagai ilmu murni menelaah fenomena pendidikan
Jelaslah
bahwa telaah lengkap atas tindakan manusia dalam fenomena pendidikan melampaui
kawasan ilmiah dan memerlukan analisis yang mandiri atas data pedagogic
(pendidikan anak) dan data andragogi (Pendidikan orang dewasa). Adapun data itu
mencakup fakta (das sein) dan nilai (das sollen) serta jalinan antara keduanya.
Data factual tidak berasal dari ilmu lain tetapi dari objek yang dihadapi
(fenomena) yang ditelaah Ilmuwan itu (pedagogi dan andragogi) secara empiris.
Begitu pula data nilai (yang normative) tidak berasal dari filsafat tertentu
melainkan dari pengalaman atas manusia secara hakiki. Itu sebabnya pedagogi dan
andragogi memerlukan jalinan antara telaah ilmiah dan telaah filsafah. Tetapi
tidak berarti bahwa filsafat menjadi ilmu dasar karena ilmu pendidikan tidak
menganut aliran atau suatu filsafat tertentu.
Sebaliknya
ilmu pendidikan khususnya pedagogic (teoritis) adalah ilmu yang menysusun teori
dan konsep yang praktis serta positif sebab setiap pendidik tidak boleh
ragu-ragu atau menyerah kepada keragu-raguan prinsipil. Hal ini serupa dengan
ilmu praktis lainnya yang mikro dan makro. Seperti kedokteran, ekonomi, politik
dan hukum. Oleh karena itu pedagogic (dan telaah pendidikan mikro) serta
pedagogic praktis dan andragogi (dan telaah pendidikan makro) bukanlah filsafat
pendidikan yang terbatas menggunakan atau menerapkan telaah aliran filsafat
normative yang bersumber dari filsafat tertentu. Yang lebih diperlukan ialah
penerapan metode filsafah yang radikal dalam menelaah hakikat peserta didik
sebagai manusia seutuhnya.
Implikasinya jelas bahwa batang tubuh (body of
knowledge) ilmu pendidikan haruslah sekurang-kurangnya secara mikro mencakup
:
- Relasi sesama manusia sebagai pendidik dengan
terdidik (person to person relationship)
- Pentingnya ilmu pendidikan memepergunakan metode
fenomenologi secara kualitatif.
- Orang dewasa yang berpran sebagai pendidik
(educator)
- Keberadaan anak manusia sebagai terdidik (learner,
student)
- Tujaun pendidikan (educational aims and
objectives)
- Tindakan dan proses pendidikan (educative
process), dan
- Lingkungan dan lembaga pendidikan (educational
institution)
Itulah
lingkup pendidikan yang mikroskopis sebagai hasil telaah ilmu murni ilmu
pendidikan dalam arti pedagogic (teoritis dan sistematis). Mengingat pendidikan
juga dilakukan dalam arti luas dan makroskopis di berbagai lembaga pendidikan
formal dan non-formal, tentu petugas tenaga pendidik di lapangan memerlukan
masukan yang berlaku umum berupa rencana pelajaran atau konsep program
kurikulum untuk lembaga yang sejenis. Oleh karena itu selain pedagogic praktis
yang menelaah ragam pendidikan diberbagai lingkungan dan lembaga formal,
informal dan non-formal (pendidikan luar sekolah dalam arti terbatas, dengan
begitu, batang tubuh diatas tadi diperlukn lingkupnnya sehingga meliputi:
- Konteks sosial budaya (socio cultural contexs and
education)
- Filsafat pendidikan (preskriptif) dan sejarah
pendidikan (deskriptif)
- Teori, pengembangan dan pembinaan kurikulum, serta
cabang ilmu pendidikan lainnya yang
bersifat preskriptif.
- Berbagai studi empirik tentang fenomena
pendidikan
- Berbagai studi pendidikan aplikatif (terapan)
khususnya mengenai pengajaran termasuk pengembangan specific content
pedagogy.
Sedangkan telaah lingkup yang makro dan meso dari
pendidikan, merupakan bidang telaah utama yang memperbedakan antara objek
formal dari pedagogic dari ilmu pendidikan lainnya. Karena pedagogic tidak
langsung membicarakan perbedaan antara pendidikan informal dalam keluarga dan
dalam kelompok kecil lainnya., dengan pendidikan formal (dan non formal) dalam
masyarakt dan negara, maka hal itu menjadi tugas dari andragogi dan
cabang-cabang lain yang relevan dari ilmu pendidikan. Itu sebabnya
dalam edagogic terdapat pembicaraan tentang factor pendidikan yang
meliputi : (a) tujuan hidup, (b) landasan falsafah dan yuridis pendidikan, (c)
pengelolaan pendidikan, (d) teori dan pengembangan kurikulum, (e) pengajaran
dalam arti pembelajaran (instruction) yaitu pelaksanaan kurikulum dalam arti
luas di lembaga formal dan non formal terkait.
C
. Dasar-dasar Filsafat Ilmu Pendidikan
Baiklah sekarang kita lihat dasar-dasaar filsafah
keilmuan terkait dalam arti dasar ontologis, dasar epistemologis, dan
aksiologis, dan dasar antropolgis ilmu pendidikan.
1.
Dasar ontologis ilmu pendidikan
Pertama-tama
pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu pendidikan. Adapun
aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman
pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil ilmu
pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek
kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan
atau diharapokan melampaui manusia sebagai makhluk sosial mengingat sebagai
warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik (good citizenship atau
kewarganegaraan yang sebaik-baiknya).
Agar
pendidikan dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu
pendidikan dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi
pendidikan. Didalam situiasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh,
hanya menjadi makhluk berperilaku individual dan/atau makhluk sosial yang
berperilaku kolektif. Hal itu boleh-boleh saja dan dapat diterima terbatas pada
ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar mengingat adanya konteks
sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapipada latar
mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang
menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar,
yaitu kegiatan pendidikan yang berskala mikro. Hal itu terjadi mengingat pihak
pendidik yang berkepribadiaan sendiri secara utuh memperlakukan peserta
didiknya secara terhormat sebagai pribai pula, terlpas dari factor umum, jenis
kelamin ataupun pembawaanya. Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh demikian
makaa menurut Gordon (1975: Ch. I) akan terjadi mata rantai yang hilang (the
missing link) atas factor hubungan serta didik-pendidik atau antara siswa-guru.
Dengan egitu pendidikan hanya akan terjadi secar kuantitatif sekalipun bersifat
optimal, misalnya hasil THB summatif, NEM atau pemerataan pendidikan yang
kurang mengajarkan demokrasi jadi kurang berdemokrasi. Sedangkan kualitas
manusianya belum tentu utuh.
2.
Dasar epistemologis ilmu pendidikan
Dasar
epistemologis diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi
mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalaipun
pengumpulan data di lapangan sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga pemula
namuntelaah atas objek formil ilmu pendidikan memerlukaan pendekatan
fenomenologis yang akan menjalin stui empirik dengan studi
kualitatif-fenomenologis. Pendekaatan fenomenologis itu bersifat kualitaatif,
artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data
secara pasca positivisme. Karena itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan
oleh pendidik atau ilmuwan sebagaai pakar yang jujur dan menyatu dengan
objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hnya pemahaman dan pengertian
(verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan unuk mencapai kearifan
(kebijaksanaan atau wisdom) tentang fenomen pendidikan maka vaaliditas internal
harus dijaga betul dalm berbagai bentuk penlitian dan penyelidikan seperti
penelitian koasi eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis dan
penelitian ex post facto. Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat
ditentukan bahaawa dalam menjelaskaan objek formaalnya, telaah ilmu pendidikan
tidaak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori
dan ilmu pendidikan sebgaai ilmu otonom yang mempunyi objek formil sendiri atau
problematika sendiri sekalipun tidak dapat hnya menggunkaan pendekatan
kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan
demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi,
secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall
&Buchler,1942).
3.
Dasar aksiologis ilmu pendidikan
Kemanfaatan
teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga
diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai
proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai ilmu
pendidikan tidak hanya bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk seni,
melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan
bertindak dalam praktek mmelalui
kontrol
terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam
pendidikan. Dengan demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya
terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan ilmu pendidikan dan tugas
pendidik sebagi pedagok. Dalam hal ini relevan sekali untuk memperhatikan
pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix
(1966). Itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan
bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa ilmu pendidikan belum jauh
pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu prilaku.
Lebih-lebih di Indonesia.
Implikasinya
ialah bahwa ilmupendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku kepada ilmu-ilmu
sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu
terdapat unifikasi satu-sayunyaa metode ilmiah (Kalr Perason,1990).
4.
Dasar antropologis ilmu pendidikan
Pendidikan
yang intinya mendidik dan mengajar ialah pertemuan antara pendidik sebagai
subjek dan peserta didik sebagai subjek pula dimana terjadi pemberian bantuan
kepada pihak yang belakangan dalaam upaayanya belajr mencapai kemandirian dalam
batas-batas yang diberikan oleh dunia disekitarnya. Atas dasar pandangan
filsafah yang bersifat dialogis ini maka 3 dasar antropologis berlaku universal
tidak hanya (1) sosialitas dan (2) individualitas, melainkan juga (3)
moralitas. Kiranya khusus untuk Indonesia apabila dunia pendidikan nasional didasarkan
atas kebudayaan nasional yang menjadi konteks dari sistem pengajaran nasional
disekolah, tentu akan diperlukan juga dasar antropologis pelengkap yaitu (4)
religiusitas, yaaitu pendidik dalam situasi pendidikan sekurangkurangnya secara
mikro berhamba kepada kepentingan terdidik sebagai bagian dari pengabdian lebih
besar kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Penutup
Landasan
filsafat pendidikan memberi perspektif filosofis yang seyogyanya merupakan
“kacamata” yang dikenakan dalam memandang menyikapi serta melaksanakan
tugasnya. Oleh karena itu maka ia harus dibentuk bukan hanya mempelajari
tentang filsafat, sejarah dan teori pendidikan, psikologi, sosiologi,
antropologi atau disiplin ilmu lainnya, akan tetapi dengan memadukan
konsep-konsep, prinsip-prinsip serta pendekatan-pendekatannya kepada kerangka
konseptual kependidikan.
Dengan
demikian maka landasan filsafat pendidikan harus tercermin didalam semua,
keputusan serta perbuatan pelaksanaan tugas- tugas keguruan, baik instruksional
maupun non-instruksional, atau dengan pendekatan lain, semua keputusan serta
perbuatan guru yang dimaksud harus bersifat pendidikan.
Akhirnya,
sebagai pekerja professional guru dan tenaga kependidikan harus memperoleh
persiapan pra-jabatan guru dan tenaga kependidikan harus dilandasi oleh
seperangkat asumsi filosofis yang pada hakekatnya merupakan penjabaran dari
konsep yang lebih tepat daripada landasan ilmiah pendidikan dan ilmu
pendidikan.
Oleh: Nunu Heryanto
DAFTAR
REFERENSI
Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For
Education. Boston MA: Allyn Bacon
Campbell & Stanley (1963) Experimental &
Quasi-Experimental Design for Research. Chicago : Rand McNelly
Deese, J (1978) The Scientific Basis of the Art of
Teaching. New York : Colombia University-Teachers College Press
Arti Kepribadian
Kepribadian
itu memiliki banyak arti, bahkan saking banyaknya boleh dikatakan jumlah
definisi dan arti dari kepribadian adalah sejumlah orang yang menafsirkannya.
Hal ini terjadi karena adanya perbedaan dalam penyusunan teori, penelitian dan
pengukurannya.
Kepribadian
secara umum
Personality
atau kepribadian berasal dari kata persona, kata persona merujuk pada topeng
yang biasa digunakan para pemain sandiwara di Zaman Romawi. Secara umum
kepribadian menunjuk pada bagaimana individu tampil dan menimbulkan kesan bagi
individu-individu lainnya. Pada dasarnya definisi dari kepribadian secara umum
ini adalah lemah karena hanya menilai perilaku yang dapat diamati saja dan
tidak mengabaikan kemungkinan bahwa ciri-ciri ini bisa berubah tergantung pada
situasi sekitarnya selain itu definisi ini disebut lemah karena sifatnya yang
bersifat evaluatif (menilai), bagaimanapun pada dasarnya kepribadian itu tidak
dapat dinilai “baik” atau “buruk” karena bersifat netral.
Kepribadian
menurut Psikologi
Untuk menjelaskan kepribadian menurut psikologi saya
akan menggunakan teori dari George Kelly yang memandang bahwa kepribadian
sebagai cara yang unik dari individu dalam mengartikan pengalaman-pengalaman
hidupnya. Sementara Gordon Allport merumuskan kepribadian sebagai “sesuatu”
yang terdapat dalam diri individu yang membimbing dan memberi arah kepada
seluruh tingkah laku individu yang bersangkutan.
Lebih detail tentang definisi kepribadian menurut
Allport yaitu kepribadian adalah suatu organisasi yang dinamis dari sistem
psikofisik individu yang menentukan tingkah laku dan pikiran individu secara
khas.
Allport menggunakan istilah sistem psikofisik dengan
maksud menunjukkan bahwa jiwa dan raga manusia adalah suatu sistem yang terpadu
dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, serta diantara keduanya selalu
terjadi interaksi dalam mengarahkan tingkah laku. Sedangkan istilah khas dalam
batasan kepribadian Allport itu memiliki arti bahwa setiap individu memiliki
kepribadiannya sendiri. Tidak ada dua orang yang berkepribadian sama, karena
itu tidak ada dua orang yang berperilaku sama.
Sigmund Freud memandang kepribadian sebagai suatu
struktur yang terdiri dari tiga sistem yaitu Id, Ego dan Superego. Dan tingkah
laku, menurut Freud, tidak lain merupakan hasil dari konflik dan rekonsiliasi
ketiga sistem kerpibadian tersebut.
Dari sebagian besar teori kepribadian diatas, dapat
kita ambil kesamaan sbb(E. Koswara):
1. sebagian
besar batasan melukiskan kerpibadian sebagai suatu struktur atau organisasi
hipotesis, dan tingkah laku dilihat sebagai sesuatu yang diorganisasi dan
diintegrasikan oleh kepribadian. Atau dengan kata lain kepribadian dipandang
sebagai “organisasi” yang menjadi penentu atau pengarah tingkah laku
kita.
2. sebagian besar batasan menekankan perlunya
memahami arti perbedaan-perbedaan individual. Dengan istilah “kepribadian”,
keunikan dari setiap individu ternyatakan. Dan melalui study tentang
kepribadian, sifat-sifat atau kumpulan sifat individu yang membedakannya dengan
individu lain diharapkan dapat menjadi jelas atau dapat dipahami. Para teoris
kepribadian memandang kepribadian sebagai sesuatu yang unik dan atau khas pada
diri setiap orang.
3. sebagian besar batasan menekankan pentingnya
melihat kepribadian dari sudut “sejarah hidup”, perkembangan, dan perspektif.
Kepribadian, menurut teoris kepribadian, merepresentasikan proses keterlibatan
subyek atau individu atas pengaruh-pengaruh internal dan eksternal yang
mencakup factor-faktor genetic atau biologis, pengalaman-pengalaman social, dan
perubahan lingkungan. Atau dengan kata lain, corak dan keunikan kepribadian
individu itu dipengaruhi oleh factor-faktor bawaan dan lingkungan.
Arti
dan Definisi Kepribadian
Kepribadian
secara umum Personality atau kepribadian berasal dari kata persona, kata
persona merujuk pada topeng yang biasa digunakan para pemain sandiwara di Zaman
Romawi. Secara umum kepribadian menunjuk pada bagaimana individu tampil dan
menimbulkan kesan bagi individu-individu lainnya. Pada dasarnya definisi dari
kepribadian secara umum ini adalah lemah karena hanya menilai perilaku yang
dapat diamati saja dan tidak mengabaikan kemungkinan bahwa ciri-ciri ini bisa
berubah tergantung pada situasi sekitarnya selain itu definisi ini disebut
lemah karena sifatnya yang bersifat evaluatif (menilai), bagaimanapun pada
dasarnya kepribadian itu tidak dapat dinilai “baik” atau “buruk” karena
bersifat netral. Kepribadian menurut Psikologi Untuk menjelaskan kepribadian
menurut psikologi saya akan menggunakan teori dari George Kelly yang memandang
bahwa kepribadian sebagai cara yang unik dari individu dalam mengartikan
pengalaman-pengalaman hidupnya. Sementara Gordon Allport merumuskan kepribadian
sebagai “sesuatu” yang terdapat dalam diri individu yang membimbing dan memberi
arah kepada seluruh tingkah laku individu yang bersangkutan. Lebih detail
tentang definisi kepribadian menurut Allport yaitu kepribadian adalah suatu
organisasi yang dinamis dari sistem psikofisik individu yang menentukan tingkah
laku dan pikiran individu secara khas. Allport menggunakan istilah sistem
psikofisik dengan maksud menunjukkan bahwa jiwa dan raga manusia adalah suatu
sistem yang terpadu dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, serta diantara
keduanya selalu terjadi interaksi dalam mengarahkan tingkah laku. Sedangkan
istilah khas dalam batasan kepribadian Allport itu memiliki arti bahwa setiap
individu memiliki kepribadiannya sendiri. Tidak ada dua orang yang
berkepribadian sama, karena itu tidak ada dua orang yang berperilaku sama.
Sigmund Freud memandang kepribadian sebagai suatu struktur yang terdiri dari
tiga sistem yaitu Id, Ego dan Superego. Dan tingkah laku, menurut Freud, tidak
lain merupakan hasil dari konflik dan rekonsiliasi ketiga sistem kerpibadian
tersebut.
Dari
sebagian besar teori kepribadian diatas, dapat kita ambil kesamaan sbb(E.
Koswara): 1. sebagian besar batasan melukiskan kerpibadian sebagai suatu
struktur atau organisasi hipotesis, dan tingkah laku dilihat sebagai sesuatu
yang diorganisasi dan diintegrasikan oleh kepribadian. Atau dengan kata lain
kepribadian dipandang sebagai “organisasi” yang menjadi penentu atau pengarah
tingkah laku kita. 2. sebagian besar batasan menekankan perlunya memahami arti
perbedaan-perbedaan individual. Dengan istilah “kepribadian”, keunikan dari
setiap individu ternyatakan. Dan melalui study tentang kepribadian, sifat-sifat
atau kumpulan sifat individu yang membedakannya dengan individu lain diharapkan
dapat menjadi jelas atau dapat dipahami. Para teoris kepribadian memandang
kepribadian sebagai sesuatu yang unik dan atau khas pada diri setiap orang. 3.
sebagian besar batasan menekankan pentingnya melihat kepribadian dari sudut
“sejarah hidup”, perkembangan, dan perspektif. Kepribadian, menurut teoris
kepribadian, merepresentasikan proses keterlibatan subyek atau individu atas
pengaruh-pengaruh internal dan eksternal yang mencakup factor-faktor genetic
atau biologis, pengalaman-pengalaman social, dan perubahan lingkungan. Atau
dengan kata lain, corak dan keunikan kepribadian individu itu dipengaruhi oleh
factor-faktor bawaan dan lingkungan.
NOVDALY FILLAMENTA, M.Si -- 15 Januari 2009
KARAKTERISTIK
REMAJA DAN PEMUDA
EARLY ADOLESCENCE (13-15) Waktu ini sekarang adalah
cepatnya pertumbuhan yang sering membawa kejanggalan, memperlihatkan kurangnya
koordinasi antara pikiran dan badan. Hal ini juga memberikan rasa malu pada
anak-anak muda karena organ-organ tubuh tertentu, seperti hidung, mulut dan
kaki bertumbuh lebih cepat dari anggota tubuh yang lain membuat mereka seperti
seorang gadis yang kecilnya berwajah buruh tetapi waktu dewasa menjadi gadis
yang molek dan memberikan rasa ketakutan yang tak tersalurkan yang membuat
mereka akan selalu merasa begitu. Usia untuk bergerombol sekarang mencapai
puncaknya dan mulai mulai surut digantikan oleh ketertarikan kepada lawan jenis
dan disertai perasaan malu pada periode ini. Perkembangan mental telah membuat
pegangan yang pasti menyebabkan remaja lebih kritis daripada yakin seperti pada
waktu sebelumnya. Mereka mempunyai waktu yang lebih banyak untuk berkhayall dan
memikirkan tentang masa depannya dan akan apa yang akan dikerjakannya nanti.
Mereka benar-benar tidak mementingkan diri sendiri dan tertantang untuk
melakukan hal-hal yang berguna dimuka bumi ini. Ketertarikan pada hal-hal yang
bersifat rohani berlanjut dan hal - hal bersifat semangat mulai menjadi masalah
pengalaman daripada penerimaan banyak fakta.
Karakteristik
Mental:
1. Remaja terjaga tetapi terpaku pada periode suka
berkhayal.
2. Remaja berlajar dengan cepat.
3. Remaja mulai mendapatkan rasa tertarik pada
hal-hal yang khusus.
Karakteristik
Fisik:
1. Kesehatan bagus, hanya nomor kedua setelah masa
periode pra-remaja.
2. Perkembangan fisik sangat cepat dengan nafsu
makan yang kuat menyertai masa pertumbuhan ini.
3. Otot-otot berkembang atau kegagalan koordinasi
untuk menjaga tahap perkembangan struktur tulang menyebabkan kecenderungan
menuju kejanggalan atau kekakuan.
4. Organ-orang sex berkembang, membuat perkembangan
yang cepat secara biologis. Hormon-hormon yang baru yang memperkembang insting
sexual yang mempengaruhi tingkah laku. Rousseau berkata: “Kita dilahirkan dua
kali, pertama kali melalui kehadiran dan kedua pada kehidupan; pertama kali
sebagai anggota dari suatu suku dan kedua kali sebagai anggota dari kelompok
secara jenis kelamin. 5. Anak wanita lebih tinggi dari anak laki-laki pada usia
12 tahun sampai 13 tahun, benar-benar lebih tinggi pada usia 14 tahun dan mulai
berkurang pada usia 15 tahun dan 2 inchi lebih pendek dari laki-kali pada usia
16 tahun.
Karakteristik
Sosial
1. Usia ini adalah usia yang menunjukkan kesetiaan
pada kelompok, dengan satu ketakutan bahwa dirinya berbeda dengan kelompoknya.
Remaja mencari persetujuan dari kelompok untuk semua aktifitas.
2. Remaja mencari lebih banyak kebebasan secara
individu dengan suatu ketajaman batin yang baru menunjukkan kwalitas secara
pribadi. Weigles menandai: “ Pandangannya menembus tindakan-tindakan yang
dihasilkan dan mengambil semangat diantara manusia. Mereka mulai melihat mutu
ketajaman batin untuk merasakan nilai hakiki pada kebenaran, iman dan
pengorbanan diri. Mereka penuh dengan ambisi dan membuat rencana untuk masa
depan.
3. Keinginan untuk encari uang sering melanda anak
remaja pada usia ini, menghasilkan keinginan untuk lepas dari sekolah
4. Pada usia ini juga sering terjadi pergantian
suasana hati. Suatu ketika aktifitas ditunjukkan, sementara lain waktu lesu. Di
pagi hari, anak-anak permulaan remaja mungkin baik dengan keinginan hati ,
sementara di siang hari mereka mungkin tamak. Satu jam mereka jadi egois
tiba-tiba di lain waktu menjadi penakut.
5. Kejanggalan ini ditunjukkan dalam berbagai
cara:a. Sangat menyukai dan tidak menyukai makanan, menyukai makanan tertentu
yang dimakan secara berlebihan. b. Sangat menyenangi olah raga atletik dengan
suatu kecenderungan berlebihan. c. Rasa humor yang jelek, anak perempuan
cenderung tertawa genit. Anak remaja pada usia ini mempunyai rasa ketertarikan
pada lawan jenis. Ini adalah usia yang bahaya untuk seksualitas dan keinginan
berteman. apabila anak remaja tidak dibekali untuk menjalin hubungan secara
pribadi. Aktifitas-aktifitas grup pada usia ini seharusnya disponsori oleh
mereka anggota klub. Pengantar yang berhati-hati harus diberikan pada semua
aktifitas Klub Remaja yang diadakan diluar seperti Kampore, acara dialam dan sebagainya.
Karakteristik
Kerohanian
1. Ketertarikan pada hal-hal kerohanian berkurang
secara drastis pada usia ini tetapi remaja dipengaruhi oleh tingkah laku
teman-teman sepergaulannya.
2. Tiga belas tahun adalah usia terbesar kedua untuk
dibaptiskan di gereja.
3. Ini adalah usia dimana cita-cita untuk pekerjaan
seumur hidup sering akan ditentukan. Hal penting dari pegangan sebelum
anak-anak remaja ini tentukan nasibnya dalam menyelesaikan perkerjaan
pengabaran injil akan kelihatan.
4. Akan ada kurangnya kecenderungan dalam usia ini
untuk menyatakan perasaannya pada hal-hal yang bersifat rohani atau
keyakinannya.
5. Sering terjadi pertentangan dengan suara
hati.
PERTENGAHAN
REMAJA (16-17)
Pertumbuhan berlanjut dengan cepat, anak muda dalam
banyak hal mencapai ketinggian fisiknya pada akhir periode usia ini. Dimana
pada waktu yang lalu anak-anak ini telah melalui satu periode dimana mereka
mencari jati diri, remaja sekarang mulai untuk mengembangkan rasa
individualitasnya dan menjadi seseorang yang mempunyai keputusannya
sendiri.
Karakteristik
Mental:
1. Remaja berada pada usia dimana dia akan senang
sekali bertanya segala sesuatu dan ingin bukti sebelum dia menerimanya.
2. Mereka mempunyai rasa hormat yang besar terhadap
“bea siswa” dan sering cenderung untuk mengambil satu jawaban atas sesuatu yang
akan dipegang menjadi bukti bahwa seserang mempunyai nama besar.
3. Prinsip-prinsipnya sekarang mulai dipertajam, dan
mereka benar-benar merencanakan cara untuk mencapainya.
Karakteristik
Fisik:
1. Seksualitas berkembang terus, suatu kekuatan
untuk berurusan dengan hal ini.
2. Tinggi dan berat badan mencapai 85% dari usia
pada masa dewasa.
3. Otot-otot menjadi berkembang dan mereka suka
latihan-latihan kebugaran fisik.
Karakteristik
Sosial:
1. Mereka suka berkelompok-kelompok dan ingin
dikelilingi oleh teman-teman istimewanya
2. Kritis, sering kasar dalam menyampaikan
pendapatnya kepada orang lain.
3. Sangat peka, dan sering dipengaruhi oleh pendapat
orang banyak dan apa yang dipikirkan oleh kelompoknya adalah pasti baik untuk
dilakukan.
Karakteristik
Kerohanian:
1. Mereka terus berkembang dalam pengenalan akan
nilai-nilai sosial dan nilai-nilai kerohanian menjadi terutama, dengan alasan
akan pergaulan yang salah, mereka akan kehilangan daya tarik.
2. Apa yang belum dilakukan dalam memberikan pondasi
yang akan mendasari dasar pemikirian
mereka sekarang menjadi sulit untuk diberikan.
REMAJA
AKHIR (18-24)
Secara
fisik, ini adalah waktu yang lambat untuk bertumbuh, pertumbuhan yang terlambat
pada bagian yang lain akan menyesuaikan dengan bagian yang lain. Kepribadian
muncul dan karakter menjadi tetap. Rasa memerlukan orang lain sekarang
menemukan jalan keluarnya, tidak dalam grup-grup atau kelompok-kelompok tetapi
dalam satu klub, kelompok persaudaraan, tempat satu rumah dan gereja. Keraguan
apapun akan berhubungan dengan keagamaan yang juga dipikirkan dan suatu dasar
yang memuaskan dalam penemuan iman atau ini adalah penolakan terhadap barang
peninggalanpada masa lalu, dengan kekecewaan yang menhasilkan sinisme.
Ketertarikan pada lawan jenis telah menemukan pemecahannya melalui cinta dan
rumah tangga.
PEMAHAMAN TENTANG KEPRIBADIAN
MANUSIA
A.PENDAHULUAN
Kepribadian
sangat menentukan kebahagiaan seseorang. Sebab kebahagiaan seseorang sangat tergantung
oleh penerimaan lingkungan social terhadap dirinya, dan penerimaan sosial ini
sangat ditentukan oleh kepribadiaannya. Kepribadian seseorang dapat dikenal
melalui sifat-sifat yang khas pada dirinya. Kepribadian juga dapat dilihat dari
keturunan keluarga tertentu, hidup di daerah tertentu, memiliki riwayat hidup
tertentu. Kepribadian berkembang sesuai dengan irama pembawaan dari rahim
ibunya, kemudian dimodifikasi oleh pengaruh pengaruh dari lingkungan serta
melalui pendidikan formal.
Dalam
tulisan ini, kami berusaha menyampaikan beberapa definisi tetang kepribadian,
baik secara umum maupun melalui pendekatan-pendekatan secara psikologi;
kemudian teori-teori kepribadiaan, perkembangan keprinadian, beberapa tipe
kepribadian, faktor-faktor yang membentuk kepribadian seseorang dan kepribadian
menurut iman Kristen.
Mengingat
bahwa kepribadian adalah sangat kompleks sudah dapat dipastikan bahwa makalah
kami banyak kekurangan, karena banyak hal penting yang terlewatkan dalam
pembahasan kami, maka kelompok kami mengharapkan saran dan masukan yang akan
kami terima dengan senang hati. Semoga makalah yang kami sajikan walau sangat
terbatas ini dapat berguna untuk menambah wawasan dalam mata kuliah Psikologi
Umum.
B.DEFINISI
TENTANG KEPRIBADIAN
1.KEPRIBADIAN
SECARA UMUM
“Personality” atau kepribadian berasal dari kata
“persona”, kata persona merujuk pada topeng yang biasa digunakan para pemain
sandiwara di zaman Romawi. Secara umum kepribadiaan menunjuk pada bagaimana
individu tampil dan menimbulkan kesan bagi individu lainnya.
2.KEPRIBADIAN
MENURUT PSIKOLOGI
Kami akan menyajikan dari berbagai definisi yang
diberikan oleh beberapa tokoh psikologi, antara lain:
a. Gordon
Allport merumuskan kepribadian sebagai “sesuatu” yang terdapat dalam diri individu yang membimbing dan memberi
arah kepada seluruh tinggak laku individu yang
bersangkutan. Allport menekankan bahwa kepribadian adalah suatu organisasi yang dinamis dari sistem psikofisik individu
yang menentukan tingkah laku dan pikiran individu
secara khas.
b. Sigmud
Freud mandang kepribadian sebagai suatu struktur yang terdiri dari tiga sistem yaitu Id, Ego, dan Superego.
c. Paul
D. Meier, M.D, kepribadian adalah pola prilaku, pemikiran, dan perasaan yang melekat pada diri seseorang secara
konsisten dalam situasi dan waktu.
Dari
beberapa definisi tentang kepribadian di atas, pada hemat kami, bahwa
kepribadian adalah sesuatu yang ada pada setiap individu, dari masa kanak-kanak
sampai dewasa yang mencirikan seseorang tersebut dengan orang lain. Tidak ada
seorangpun yang memiliki kepribadian, watak, tabiat maupun karakter yang sama.
Misalnya tentang prilaku, pemikiran, perasaan, ego maupun superego setiap
individu berbeda. Kepribadian adalah suatu organisasi yang dinamis sesuai
dengan perkembangan individu yang akan mengarahkan dirinya kepada tingkah laku
dan pikiran individu secara khas.
C. HAKEKAT KEPRIBADIAN
Unsur-unsur pokok kepribadian itu sebagai organisasi
yang bersifat dinamis dan unik. Agar kita dapat memahami hakekat kepribadian
dengan cukup menyeluruh, perlu kita perhatikan.
a. Kepribadian
Sebagai Organisasi.
Kepribadian
diartikan sebagai kumpulan watak yang berbeda-beda, yang digerakan oleh suatu
motif atau kekuatan pendorong yang menentukan cara penyesuaian yang dipilih
seseorang. Organisasi watak kepribadian selalu konsisten dan hanya dapat
berubah secara pelan-pelan. Orang yang normal dan sehat, organisasi
watak-wataknya mempunyai pola teratur dan terpadu, sedang orang yang tidak
sehat atau abnormal, memperliharkan disorganisasi pada tingkat yang
berbeda-beda.
Konsep
diri dan watak merupakan komponen utama dari kepribadian. Konsep diri adalah
intinya sedangkan watak adalah yang dipadukan dan dipengaruhi oleh konsep diri
tersebut. Orang yang mempunyai konsep diri positif akan mengembangkan
watak-watak seperti: percaya diri, realistis, mempunyai harga diri, dsb.
Sebaliknya, orang yang konsep dirinya negative akan merasa rendah diri, tidak
mampu, mudah tersinggung, dsb.
b. Kepribadian
adalah Dinamis
Istilah
dinamis menujuk hakekat kepribadian yang berubah dan menekankan bahwa perubahan
tersebut dapat terjadi dalam kualitas perilaku seseorang. Dalam dinamika
kepribadian terdapat dua aspek, aspek pertama mengacu pada interaksi antara
watak-watak kepribadian, sedang aspek kedua mengacu pada ekspresi watak-watak
kepribadian dalam bentuk perilaku pada proses penyesuaian terhadap
tekanan-tekanan lingkungan. Karena kepribadian adalah dinamis, maka konflik
antara motif-motif menjadi sangat penting, sebab orang mengembangkan cara-cara
penyesuaian terhadap konflik-konflik tersebut secara khas dan konsisten.
c. Kepribadian
adalah Unik
Tidak
ada dua orang yang memiliki kepribadian yang sama, meskipun mereka itu anak
kembar dan dibesarkan bersama-sama sekalipun. Kepribadian unik karena setiap orang
merupakan perwujudan kombinasi gen yang berbeda, maka setiap orang mempunyai
temperamen biologis yang unik, berbeda dari yang lain.
Bronson
(1966) menyebutkan keunikan kepribadian tersebut sebagai “gaya hidup”. Gaya
hidup ini merupakan perpaduan antara sikap, watak, dan sebutan yang memberikan
ciri khas pada interaksi seseorang.
Dua
orang yang memiliki watak sama akan berbeda kadarnya. Misalnya saja, dua orang
yang sama-sama mempunyai watak baik hati, mereka akan mengungkapkan kebaikan
hati mereka dengan cara yang berbeda, bahkan mungkin motivasinya pun berbeda
pula.
D.TEORI
TENTANG KEPRIBADIAN
Beberapa pendekatan tentang teori kepribadian
diantaranya:
a. Teori
Watak
Hippocrates
(400 S.M) dan Galen (150 M), mengelompokan orang kedalam empat tipe
kepribadian, yaitu: sanguinis (lincah periang, tidak stabil), koleris (mudah
marah), melankolis (pesimistis), dan plegmatis (lamban suka murung).
Kretschmer
(1925) dan Sheldon (1954), mengelompokan tiga tipe kepribadian atas dasar
bentuk tubuh. Orang yang pendek gemuk (endomorph) mudah bergaul, releks, dan
tenang; orang yang tinggi kurus (ectomorph) pandai menguasai diri dan
menyenangi kesunyian; orang yang kekar berotot (mesomorph) suka akan aktivitas
fisik, kurang berperasaan, dan menyukai keramaian.
Jung
(1944), ada dua tipe kepribadian atas dasar ciri psikologisnya, yaitu:
introvert (cenderung untuk menutup diri, pemalu, dan suka bekerja sendirian)
dan ekstravert (terbuka, mudah bergaul dan menyukai pekerjaan yang berhubungan
dengan orang lain).
b. Teori
Psikoanalitik
Menurut
Freud kepribadian terdiri dari tiga sistem yaitu: id, ego, dan superego. Id
adalah sumber asli dari kepribadiaan, yang sudah ada sejak bayi lahir. Ego dan
Superego baru berkembang kemudian. Ego bekerja atas dasar prinsip kenyataan.
Jadi ego membawa peran eksekutif dari kepribadian, egolah yang mengambil
keputusan degan pertimbangan dunia nyata. Superego yaitu representasi
nilai-nilai dan norma-norma moral masyarakat di dalam batin seperti yang
diajarkan kepada anak oleh orangtuanya. Jadi superego berfungsi semacam suara
hati.
c. Teori
Belajar Sosial
Teori
ini berpusat pada pola perilaku yang dipelajari oleh seseorang dalam menghadapi
lingkungannya. Perbedaan perilaku setiap individu merupakan akibat dari
perbedaan kondisi belajar yang ditemui oleh masing-masing individu.
Teori
belajar sosial tidak menekankan pada bagaimana bentuk kepribadian seseorang,
tetapi pada apa yang dilakukan oleh seseorang dalam kaitannya dengan kondisi
pada saat ia melakukan hal tersebut. Teori belajar sosial memandang situasi
sebagai penentu penting bagi perilaku. Tindakan seseorang dalam situasi
tertentu tergantung pada kekhasan situasi tersebut.
d. Teori
Humanistik
Abraham
Maslow berpendapat, konsep yang paling penting dalam teori kepribadian
humanistik adalah konsep diri (self-concept) atau gambaran diri (self-image).
Didalam konsep diri tersebut termasuk kesadaran tentang “siapakah diriku” dan
“apa yang dapat aku lakukaan?”. Jadi konsep diri hanya perasaan kita terhadap
diri kita sendiri, atau bagaimana kita melihat diri kita sendiri. Konsep diri
mempengaruhi perilaku dan pandangan seseorang terhadap dunia. Sedangkan Rogers
berpendapat bahwa kekuatan dasar yang menggerakan organisme manusia adalah
aktualisasi diri atau perwujudan diri, yaitu kecenderungan untuk mewujudkan
diri seoptimal mungkin atau sesempurna mungkin.
E. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMBENTUK
KEPRIBADIAN
Faktor-faktor
yang membentuk Kepribadian
a. Faktor keturunan
Faktor keturunan (biologis) berpengaruh langsung
dalam pembentukan kepribadian seseorang. Beberapa factor biologis yang penting
seperti system syaraf, watak, seksual dan kelainan biologis, seperti
penyakit-penyakit tertentu.
b.Faktor lingkungan fisik (geografis)
Meliputi iklim dan bentuk muka bumi atau topografi
setempat, serta sumber-sumber alam, Faktor lingkungan fisik (geografis) ini
mempengaruhi lahirnya budaya yang berbeda pada masing-masing masyarakat.
c. Faktor lingkungan social
1) Faktor keluarga, dimulai sejak bayi yaitu
berhubungan dengan orangtua dan saudaranya
2) Lingkungan masyarakat yang beraneka ragam. Suatu
warna yang harus ditegaskan dapat saja dianggap tidak perlu oleh anggota
masyarakat lainnya.
d. Faktor kebudayaan yang berbeda-beda
Perbedaan kebudayaan dalam setiap masyarakat dapat
mempengaruhi kepribadian seseorang misalnya kebudayaan di daerah pantai,
pegunungang, kebudayaan petani, kebudayaan kota.
F.
PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN
1. Perkembangan
kepribadian menurut Gardener Murphy
Perkembangan kepribadian dalam pandangan Gardener
Murphy : merupakan tahap-tahapdinamis, berubah-ubah yang terdiri dari fase
keseluruhan (tanpa differensiasi), kemudianfase diferensiasi dan fase integrasi
yaitu fungsi yang sudah mengalami diferensiasidiitegrasikan dalam satu unit
yang berkoordinasi. Fase keseluruhan merupakan watakumum yang mendominasi
seperti pemarah, pemberani, semangat, penipu, pembelajar,petualang. Dalam
perkembangan berikutnya terdiferensiasi misalnya pemberani yangmemilki semangat
pembelajar, penipu yang memiliki darah seni. fase integrasi yaitufungsi yang
sudah mengalami diferensiasi diitegrasikan dalam satu unit yangberkoordinasi
biasanya di atas 40 tahun kepribadiannya menjadi mantap dan cenderung
menetap
2. Perkembangan
kepribadian menurut Sigmund Freud
Perkembangan manusia dalam psikoanalitik merupakan
suatu gambaran yang sangat teliti
dari proses perkembangan psikososial dan
psikoseksual, mulai dari lahir sampai dewasa.Dalam teori Freud setiap manusia
harus melewati serangkaian tahap perkembangan dalamproses menjadi dewasa.
Tahap-tahap ini sangat penting bagi pembentukan sifat-sifatkepribadian yang
bersifat menetap.
Menurut Freud, kepribadian orang terbentuk pada usia
sekitar 5-6 tahun yaitu:
(1) tahap
oral,
Mouth rule (menghisap, menggigit, mengunyah), Lima
mode pada tahap oral yang masing-masing membentuk suatu prototipe karakteristik
kepribadian tertentu di kemudian hari, yaitu mode : mengambil, memeluk,
menggigit, meludah dan membungkam.Mengambil : menjadi petunjuk tingkah laku
rakus, Memeluk : menjadi petunjuk dalammengambil keputusan dan tingkah laku
keras kepala. Menggigit : menjadi petunjuktingkah laku destruktif; sarkasme,
sinis & mendominasi, Meludah : prototipe tingkah laku reject, Membungkam:
tingkah laku reject, introvert
(2) tahap anal: 1-3 tahun,
Akhir tahap oral bayi dianggap telah dapat membentuk
kerangka kasar kepribadian,meliputi : sikap, mekanisme untuk memenuhi tuntutan
id dan realita, dan ketertarikanpada suatu aktivitas atau objek. Kebutuhan
menyangkut pemuasan anak terhadap kontrolmengenai hal-hal yang menyangkut anal
(mis: bagaimana anak mengontrol keinginanuntuk BAK dan bagaimana beradaptasi
dengan toilet. Tujuan tahap ini : terpenuhinyapemuasan anak dengan tidak
berlebihan akan membentuk self control yang adekuat
(3) tahap phalic: 3-6 tahun,
Solusi permasalahan pada fase oral & anal
membentuk pola kerangka yang mendasartahap berikutnya yaitu phalik. Pada tahap
ini kesenangan dan permasalahan berpusat sekitar alat kelamin. Stimulasi pada
alat genital menimbulkan dorongan biologis,dorongan dikurangi timbul kepuasan.
Permasalah yang timbul : oedipus compleks
(4) tahap laten: 6-12 tahun,
Periode lambat , dimana desakan seksual mengendur.
Sebaiknya digunakan untuk mencari keterampilan kognitif/pengetahuan dan
mengasimilasi nilai-nilai budaya. Pada periode ini ego & superego terus
dikembangkan
(5) tahap genital: 12-18 tahun
Dorongan/impuls-impuls menguat lagi dengan drastis.
Pecapaian ego ideal sudah tercapai pada tahap ini
(6) tahap dewasa, yang terbagi dewasa awal, usia
setengah baya dan usia senja.
Konsep psikolanalisis menekankan pengaruh masa lalu
(masa kecil) terhadap perjalananmanusia. Walaupun banyak para ahli yang
mengkritik, namun dalam beberapa hal konsepini sesuai dengan konsep pembinaan
dini bagi anak-anak dalam pembentukan moral individual. Dalam sistem pembinaan
akhlak individual, mereka menganjurkan agar keluarga dapat melatih dan
membiasakan anak-anaknya agar dapat tumbuh berkembang sesuai dengan norma agama
dan sosial. Norma-norma ini tidak bisa datang sendiri, akan tetapimelalui
proses interaksi yang panjang dari dalam lingkungannya. Bila sebuah keluarga
mampu memberikan bimbingan yang baik, maka kelak anak itu diharapkan akan
tumbuh menjadi manusia yang baik.
G. TIPE –TIPE KEPRIBADIAN
1.
Kepribadian Sanguinis (popular, ekstrovert, optimis)
Dari segi emosi :
-
Kepribadian yang menarik
-
Suka bicara, suka berserita
-
Menghidupkan pesta
-
Rasa humornya tinggi
-
Ingatannya kuat untuk warna
-
Secara fisik memukau pendengar
-
Emosional dan demonstrative
-
Antusian dan ekspresif
-
Periang dan penuh semangat
-
Penuh rasa ingin tahu
-
Berhati tulus
-
Cenderung berpikir kehidupan sekarang (jarang ttg masa depan)
-
Selalu kekanak-kanakan
Dalam pekerjaan:
-
sekarelawan untuk tugas
-
kreatif dan inovatif
-
Punya energi antusiasme
Sebagai teman:
-
Mudah berteman
-
Suka dipuji
-
Tampak menyenangkan
-
Dicemburui orang lain
-
Bukan pendendam
-
Cepat meminta maaf
-
Mencegah saat membosankan
-
Suka kegiatan spontan
Kelemahan:
-
Terlalu banyak bicara (bicaralah seperlunya, to the point komentarnya)
-
Egois (perasalah terhadap perasaan orang lain, belajarlah mendengarkan)
-
Mudah lupa (belajar catat sesuatu agar tidak lupa)
-
Kurang disiplin
-
Kurang dewasa
2.
Kepribadian melankolis (Introvert, pemikir)
Emosi :
-
Mendalam dan penuh pemikiran
-
Analitis
-
Serius dan tekun
-
Cenderung jenius
-
Berbakat kreatif
-
Artistic/musical
-
Silosofis dan puitis
-
Menghargai keindahan
-
Perasa terhadap orang lain
-
Suka berkorban
-
Penuh kesadaran
-
Idealis
Dalam pekerjaan:
-
berorientasi jadwal
-
perfectionis
-
gigih dan cermat
-
teratur dan rapi
-
ekonomis
-
melihat masalah
-
mendapat pemecahan kreatif
-
suka diagram, grafik dan daftar
-
tertip dan terorganisasi
Sebagai teman :
-
Hati2 dalam berteman
-
Menghindari perhatian
-
Setia dan berbakti
-
Mau mendengarkan keluhan
-
Bisa memecahkan masalah orang lain
-
Sangat memperhatikan orang lain
-
Mudah terharu
-
Mencari teman hidup ideal
Kelemahan :
-
Mudah tertekan (sadarlah tidak ada orang yang suka berwajah muram, jangan
mudah sakit hati,
postif thinking) .
-
Jangan jadi musuh diri sendiri
-
Suka menunda2 pekerjaan
-
Tuntutan yang tidak realistis (jangan terlalu berkhayal, lihat kemampuan)
3.
Kepribadian koleris (ekstrovert, optimis)
Emosi :
-
Berbakat pemimpin
-
Dinamis, aktif
-
Sangat memerlukan perubahan
-
Harus memperbaiki kesalahan
-
Berkemauan kuat dan tegas
-
Tidak emosional dalam bertindak
-
Tidak mudah patah semangat
-
Bebas dan mandiri
-
Memancarkan keyakinan
-
Bisa menjalankan apa saja
Dalam pekerjaan :
-
Berorientasi target
-
Melihat seluruh gambaran
-
Terorganisasi dengan baik
-
Mencari pemecahan praktis
-
Bergerak untuk cepat bertindak
- Menekankan
pada hasil
-
Berkembang karena saingan
Sebagai teman :
-
tidak terlalu butuh teman
-
mau bekerja untuk kegiatan
-
unggul dalam keadaan darurat
-
biasanya selalu benar
Kelemahan :
-
Pekerja keras
-
Harus terkendali (Jangan menyepelekan orang lain)
-
Kurang tahu menangani orang lain (Latih kesabaran, jangan sok berkuasa)
-
Akui kesalahan, jangan ngotot kalao sudah tahu salah (Belajar minta maaf)
4.
Kepribadian Phlegmatis (Introvert, pengamat)
Emosi :
-
Kepribadian rendah hati
-
Mudah bergaul dan santai
-
Diam dan tenang
-
Sabar
-
Hidupnya konsisten
-
Menyembunyikan emosi
Dalam pekerjaan :
-
Cakap dan mantap
-
Punya kemampuan administrative
-
Menjadi penengah masalah
-
Menghindari konflik
-
Baik dibawah tekanan
Sebagai teman :
-
Mudah bergaul
-
Menyenangkan
-
Tidak suka menyinggung
-
Pendengar yang baik
-
Punya banyak teman
-
Punya belas kasihan dan perhatian yang tinggi
Kelemahan :
- Kurang
eksis (seperti tidakada walaupun kerap hadir, melawan perubahan, tampaknya seperti orang malas, terlampau tenang,
seperti tidak punya pendirian)
H.
KEPRIBADIAN MENURUT IMAN KRISTEN
Berbicara
tentang kepribadian menurut iman Kristen atau kepribadian sesuai dengan Alkitab
merupakan pembahasan yang sangat luas dan kompleks, karena hal ini merupakan
tugas dan fungsi akhir dari tujuan pendidikan Kristen, sebagaimana Rasul Paulus
maksudkan, yaitu :“…..sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan
pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat
pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita bukan lagi
anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh
permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan, tetapi dengan
teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala
hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala”. (Efesus 4: 13-15).
Mengapa
kita mendirikan Sekolah Kristen? Mengapa ada Sekolah Minggu? Mengapa ada
guru-guru agama Kristen dan guru-guru Sekolah Minggu? Justru kita sebagai
seorang Kristen, selain memberikan hidup kepada orang-orang yang kita didik,
kita mengharapkan mereka memiliki hidup di dalam didirinya yang sudah
dilahirkan kembali. Mereka juga membentuk karakter atau kepribadian di luar.
Kepribadian seseorang merupakan pekerjaan Roh Kudus melalui Firman yang kita
beritakan atau kabarkan; melalui Injil yang kita tegakkan sebagai pusat iman,
kita ‘melahirkan’ mereka melalui kuasa Injil dan Firman oleh Roh Kudus di dalam
kuasa Allah. Maka sebagai akhir tujuan pendidikan Kristen, mereka memiliki
kepribadian atau karakter Kristus. Apakah Karakter atau kepribadian
Kristen?
Untuk
mengetahui kepribadian Kristen atau kepribadian sesuai dengan Alkitab, maka
kita harus belajar dari Tuhan Yesus sebagai Guru Agung kita. Dia bukan hanya
mengajar, sebagaimana dilakukan oleh Ahli Taurat dan orang Farisi, tetapi Dia
mengajar dengan penuh hikmat kuasa seperti disaksikan oleh Matius, "Dan
setelah Yesus mengakhiri perkataan ini, takjublah orang banyak itu mendengar
pengajaran-Nya, sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak
seperti ahli-ahli Taurat mereka. (Matius 7:28-29). Sebagai hasil pengajaranNya,
orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia (Matius 8:1).
Beberapa kepribadian Kristen yang dicontohkan dan
dilakukan Yesus Kristus sebagai Guru dan Juruselamat antara lain:
1. Lemah
Lembut dan Rendah Hati (Matius 11: 29)
2. Melayani
dan memberi (Matius 20: 28).
3. Mengasihi
musuh dan semua orang (Matius 5:46)
4. Sabar
dan mau mengampuni (Kolose 3:13)
5. Taat
(Filipi 2: 8).
6. Kebaikkan.
Kemurahan, kesetiaan, penguasaan diri dll (Galatia 5:22-23)
Pembentukan
karakter atau kepribadian Kristen membutuhkan kasih yang sungguh-sungguh,
keadilan yang tegas, bijaksana untuk mengatur keduanya dan kebajian serta
keberanian untuk meneruskan seluruh kehidupannya.
I.
PENUTUP
Dari
Pembahasan pemahaman tentang kepribadian seseorang di atas maka sampailah
kepada suatu kesimpulan, bahwa kepribadian adalah sesuatu yang ada pada setiap
individu, dari masa kanak-kanak sampai dewasa yang mencirikan seseorang
tersebut dengan orang lain. Tidak ada seorangpun yang memiliki kepribadian,
watak, tabiat maupun karakter yang sama. Oleh sebab itu kita mengenal tipe-tipe
kepribadian. Ada yang menyebut 4 (empat) tipe, delapan (8), maupun sembilan dan
seterusnya. Kelemahan maupun kekuatan dari tipe-tipe yangt dimiliki oleh
seseorang. Pokoknya tentang kepribadian sangat luas dan kompleks, yang tidak
mungkin selesai dibahas hanya secara sepintas.
Hal
penting yang harus kita perhatian bahwa kepribadian seseorang ditentukan oleh
beberapa faktor serta sesuai dengan perkembangan-perkembangan individu.
Kepribadian adalah suatu organisasi yang dinamis sesuai dengan perkembangan
individu yang akan mengarahkan dirinya kepada tingkah laku dan pikiran individu
secara khas. Kepriadian seseorang sangat dominan oleh siapa dan bagaimana dalam
membentuknya, serta lingkungannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Paul D. Meier, MD; Frank B, Minirth, M.D dkk,
Pengantar Perikologi dan Konseling Kristen 2, Yogjakarta: Andi 2005
M.S. Hadisubroto, M.A, Mengembangkan Kepribadian
Anak Balita Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1997
Everett L Worthington, Ketika Seorang Berkata
Tolonglah saya, Bandung: Yayasan Kalam Hidup 2000
W. Stanley Heath, Prikologi Yang Sebenarnya ,
Yogjakarta: Andi 1995
Gary R.Colins, Konseling Kristen Yang Efektif ,
Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1994
Alkitab
Akses Internet
PENGAJARAN AGAMA KRISTEN DALAM
ALKITAB
I.
Pengajaran Menurut Alkitab
Pengajaran
merupakan topik yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah kehidupan manusia.
Secara sederhana, pengajaran dapat diartikan sebagai sebuah proses
belajar-mengajar, memberikan dan menghasilkan pengetahuan dan keahlian.
Sementara itu Samuel Sijabat mengutip definisi dari Ensiklopedi Pendidikan
mengatakan bahwa pendidikan dapat diartikan “semua perbuatan dan usaha dari
generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya,
serta ketrampilannya kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar
dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah.1
Dengan
pengertian di atas, maka setiap orang atau masyarakat pasti terlibat di dalam
Pengajaran baik itu formal maupun informal. Itulah sebabnya, Pengajaran atau
pendidikan tetap menjadi topik yang sangat penting untuk dibahas.
Dalam
tulisan ini, penulis secara khusus akan membahas pandangan Alkitab tentang
pentingnya pengajaran. Namun, mengingat luasnya masalah pengajaran, dan Alkitab
yang terdiri dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru maka penulis merasa perlu
membatasi pembahasan dalam bab ini. Dalam pembahanan pengajaran penulis akan
memfokuskan pada pandangan Alkitab (Perjanjian Lama) tentang pentingnya
Pengajaran atau pendidikan anak berdasarkan Ulangan 6:4-9. dan Dalam Perjanjian
baru, yaitu pengajaran Tuhan Yesus, Pengajarana rasul Paulus dan pengajaran
Jemaat yang mula-mula.
A.
Pengajaran Agama Dalam Perjanjial Lama
Perjanjian
Lama adalah Firman Allah yang merupakan dasar dan otoritas tertinggi bagi
konsep, prinsip dan prilaku manusia. (2 Timotius 3:15-16). Disamping itu,
Perjanjian Lama juga sangat memperhatikan pentingnya pendidikan anak. Perintah
untuk memperhatikan pentingnya pendidikan anak diberikan Allah sendiri sejak
zaman Abraham (Kejadian 18:19), dilanjutkan pada zaman Musa (Keluaran 12:26-27)
dan dipertegas kembali dalam Ulangan 4:9 ; 6:1-9; 11:18-21 yang selanjutnya
juga menjadi perhatian orang-orang bijak (Amsal 1:8; 22:6; 29:17; Pengkhotbah
12:1). Dengan demikian, sangatlah tepat jika Perjanjian Lama, dijadikan dasar
untuk memahami pentingnya pendidikan anak. Salah satu bagian Perjanjian Lama
yang perlu dijadikan dasar untuk memahami pentingnya pendidikan pengajaran anak
adalah Ulangan 6:4-9.
1. Latar belakang
Untuk lebih memahami pengajaran Agama dalam
perjanjian Lama, kita harus lebih dahulu mengetahui latar belajang dalam
pengajaran tsb, yaitu seperti berikut ini:
a. Bangsa Yahudi
Bangsa
yang penuh misteri, kecil tapi kuat, sedikit tapi menyebar ke seluruh dunia,
menyebar tapi kemurniannya terjaga, kadang tidak bertanah air dan tak punya
raja, tapi selalu menonjol dan memberi pengaruh kuat kepada dunia. Dianiaya,
tapi bertahan bahkan berkelimpahan. Bangsa yang memiliki identitas yang
kuat.
b. Agama Yahudi
Penganut
agama Yudaisme yang mementingkan ketaatan kepada Hukum Agama agar dijalankan
dengan penuh ketekunan. Kemurnian pengajarannya dijaga dari generasi ke
generasi berikutnya untuk memberi dasar yang teguh bagi setiap tingkah laku dan
tindakan. Hukum agama sering diaplikasikan secara harafiah.
c.
Budaya Yahudi
Yang
paling mengesankan dalam budaya Yahudi adalah perhatiannya pada pendidikan.
Pendidikan menjadi bagian yang paling utama dan terpenting dalam budaya Yahudi.
Semua bidang budaya diarahkan untuk menjadi tempat dimana mereka mendidik
generasi muda, yang kelak akan memberi pengaruh yang besar. Obyek utama dalam
pendidikan mereka adalah mempelajari Hukum Taurat.
2.
Prinsip Pengajaran Dalam perjanjian Lama
a. Seluruh
kebenaran adalah kebenaran Allah.
Kej. 1:1 -- Segala sesuatu telah dijadikan oleh
Allah dengan tujuan supaya manusia mengenal Allah dan berhubungan dengan-Nya.
Cara Allah menyatakan diri adalah dengan:
- Wahyu
Umum: Supaya orang menyadari dan mengakui keberadaan Allah melalui alam, sejarah, hati nurani
manusia.
- Wahyu
Khusus : Supaya manusia menerima keselamatan dari Allah. Allah berinkarnasi menjadi manusia dalam diri
Yesus Kristus.
b. Menurut
konsep Yahudi tidak ada perbedaan nilai antara duniawi dan rohani, semuanya ada
dalam wilayah Tuhan. Itu sebabnya orang Yahudi percaya bahwa "seluruh
hidup adalah suci".
c. Pendidikan
berpusatkan pada Allah.
Fokus
utama dalam pendidikan Yahudi adalah: Yehova (Hab. 2:10 -- kegagalan campur
tangan Allah adalah kegagalan bangsa.) Bagi anak Yahudi tidak ada buku lain
yang memiliki keharusan untuk dipelajari selain Alkitab (Taurat) untuk menjadi
pegangan dan pelajaran tentang Allah dan karya-Nya
d. Pendidikan
adalah kegiatan utama dan diintegrasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam
Kitab Talmud dikatakan kalau ingin menghancurkan bangsa Yahudi, kita harus
membinasakan guru-gurunya. Bangsa Yahudi adalah bangsa pertama yang memiliki
sistem pendidikan Nasional (Ula. 6:4-9) Pendidikan mereka tidak hanya secara
teori, tetapi menjadi kegiatan sehari-hari dalam cara hidup dan keagamaannya.
Contoh: Kitab Imamat yang mengajarkan semua tata cara hidup dan beragama.
e. Tempat
Pendidikan Anak Bangsa Yahudi
Pendidikan
anak Yahudi bermula di rumah. Berpangkal dari peranan seorang ibu Yahudi. Tugas
kewajiban ibu adalah untuk menjaga kelangsungan hidup rumah tangga yang juga
terkait erat dengan tugas rohani mendidik anak-anaknya, khususnya ketika masih
balita. Jauh- jauh hari sebelum anak berhubungan dengan dunia luar, anak
terlebih dahulu mendapat pendidikan dari ibunya sehingga sesudah menginjak usia
remaja/pemuda ia sudah mempunyai dasar yang benar.
3. Pentingnya Pengajaran Dalam Perjanjian Lama
Melalui Ulangan 6:4-9 ini kita dapat menemukan
beberapa prinsip penting yang mendasari pentingnya pendidikan anak.
1.
Pendidikan Harus Berkaitan Dengan “[m;v.” = Syema”( 6:4).
Ayat
4 diawali dengan kata perintah “ dengarlah ([m;v = syema)”. Kata “syema
dengarlah)” sudah muncul dalam Ulangan 5:1 sebagai pengantar dari bagian yang
berbicara mengenai 10 hukum Allah. Dalam tradisi Yudaisme Ulangan 6:4 ini
menjadi suatu pengakuan iman yang wajib diucapkan tiap pagi dan tiap malam
(bnd. ayat 7) . Perintah “syema” ini berkaitan erat dengan pernyataan
“pengakuan bahwa Allah itu Esa” yang merupakan kebenaran yang fundamental bagi
agama Israel dan sikap mereka kepada Allah.9 Kata “esa (dx\a,=ekhad)” yang
dikaitkan dengan perintah “syema” bukan hanya mengatakan tentang “keunikan”
Allah tetapi juga “kesatuan (unity)” Allah.10 Secara lengkap instruksi syema
berbunyi : Dengarlah, hai orang Israel : Tuhan itu Allah yang Esa ! Kasihilah
Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan
segenap kekuatanmu. “Ini menyatakan bahwa Allah tidak dapat dibandingkan dengan
apapun. Hanya Dia satunya-satunya Allah yang berdaulat dan harus menjadi satu-satunya
obyek ibadah, ketaatan dan kasih dari umat-Nya. Oleh karena Allah adalah Esa,
maka Israel harus mengasihi Yahweh sebagai Allahnya dengan sepenuh hati, jiwa
dan kekuatannya.11 “Syema ([m;v.)” adalah inti dari instruksi agama yang
diberikan di dalam rumah. Bersama dengan “syema” anak-anak diajarkan perintah
untuk hidup yang benar dan merupakan tanggung jawab ayah untuk menjelaskan
makna dari perintah-perintah itu dengan menceritakan sejarah bangsa Israel.
(Ulangan 6:20-25).12 Syema merupakan ungkapan keyakinan iman (kredo) yang harus
diperhatikan dan dilakukan dengan serius. Sementara itu, Von Rad mengatakan
bahwa “syema” dalam Ulangan 6: 4 dapat disebut sebagai dogma fundamental dari
Perjanjian Lama yang disebut oleh Tuhan Yesus sebagai yang paling penting dari
semua hukum.13 Tujuan utama pendidikan dalam Perjanjian Lama adalah membawa
bangsa Israel beserta seluruh keturunannya mengenal Allah dan mengasihi-Nya
serta hidup benar dihadapan-Nya.
Sebagaimana
dikatakan Andrew Hill bahwa kehidupan bangsa Isarel tidak lepas dari pengenalan
dan ketaatanya kepada hukum Allah. Itulah sebabnya salah satu mandat penting
bangsa Isarel adalah pendidikan yang bertujuan dengan rajin mengajarkan
anak-anak mereka agar mengasihi Allah dan mengenal serta mentaati 10 hukum
Allah dan segala peraturannya.14 Pola pendidikan dengan instruksi “syema” ini
mengajar seluruh bangsa Israel beserta keturunannya supaya mengetahui dan
mengakui bahwa hanya ada “satu Allah” yang patut disembah yaitu “Allah Yahweh”;
Allah Yang Esa dan Allah yang telah mengikat perjanjian dengan Abraham dan
keturunannnya. Allah ingin bangsa Israel beserta segala keturunannya hanya
menyembah dan mengasihi Dia; tidak ada yang lain. Seluruh tujuan pendidikan
Israel ialah menjadikan mereka hidup kudus dan menerapkan ajaran agama dalam
kehidupan praktis.
2.
Pendidikan Harus Diberikan Dengan Bertanggung Jawab. (ayat 7)
Begitu
pentingnya instruksi “syema” bagi kehidupan bangsa Israel, maka hal itu harus
dilakukan dengan serius. Keseriusan dalam melakukan dan mengajarkan “syema”
dapat dilihat dari beberapa metode yang harus dilakukan.
a. “ Harus Diajarkan Secara Berulang-ulang
“!nv=syanan”
Kata
“!nv=syanan” dapat diartikan sebagai “mengajarkan kata-kata yang penting dengan
tekun/berulang-ulang/dengan sejelas mungkin”.15 Sementara itu J. I. Packer,
mengatakan bahwa frase “mengajarkan berulang-ulang” berasal dari sebuah kata
Ibrani yang biasanya mengacu kepada hal menajamkan sebuah alat atau mengasah
sebuah pisau. Apa yang dilakukan batu asah untuk mata pisau , demikian pula
pendidikan untuk anak.16 Itulah sebabnya NIV menterjemahkan “impress them on
your children.17 Sedangkan LAI menterjemahkan dengan “ mengajarkannya
berulang-ulang”. Penekanan pentingnya mengajarkan dengan mengulang bertujuan
agar mereka dapat mengingat, memahami dengan jelas dan melakukannya.
b. “Harus Diajarkan Dalam Setiap Kesempatan”
Keseriusan
di dalam mengajarkan “syema” selain diulang-ulang juga harus dilaksanakan
setiap waktu dan disetiap tempat. Kalimat,” membicarakannya apabila engkau
duduk dirumahmu, dalam perjalanan, berbaring maupun bangun” menunjukkan betapa
seriusnya pengajaran “syema” ini. Dalam hal ini tepatlah yang dikatakan Robert
R. Boehlke bahwa ruang lingkup pendidikan Yahudi, bukan satu usaha sambilan
saja, yang hanya dilaksanakan dalam salah satu sudut kehidupan saja, melainkan
bagian inti dari kehidupan sehari-hari yang lazim dilakukan.18 Dimanapun ada
kesempatan maka “syema” harus di ajarkan.
c. Harus Diajarkan Dengan Prinsip Keteladanan (ayat
16-19)
Selain
mengajar dengan berulang-ulang, orang tua dituntut untuk melakukan terlebih
dahulu apa yang Tuhan inginkan (Ulangan 6: 16-19). Pada bagian ini Musa
menyampaikan kepada orang tua bahwa ada dua cara dasar untuk mengajar anak
mereka yakni instruksi yang bersifat formal (mengajar) dan informal. Melalui
instruksi formal mereka harus mengajar tentang kebenaran. Sedangkan melalui
instruksi informal mereka mengajar dengan menjadi teladan dalam menjalankan
kebenaran dalam kehidupan sehari-hari. Keduanya sama pentingnya. Namun, bagian
ini lebih menekankan pada instruksi informal atau gaya hidup sekari-hari.19
Orang tua harus mengajar dengan menjadi teladan yang baik di dalam kehidupannya
sehari-hari. Tujuan dari metode pendidikan seperti ini adalah untuk mengajar
bangsa Israel beserta keturunannya agar sungguh-sungguh mengingat karya dan
perintah Tuhan. Tuhan menginginkan agar mereka sungguh-sungguh mengasihi-Nya
dengan segenap hati, jiwa dan kekuatannya, secara khusus ketika mereka memasuki
Kanaan20 (Ulangan 6:12-25). Melalui metode pendidikan dengan instruksi “syema”
ini menunjukkan bahwa Allah sangat memperhatikan tentang pentingnya pendidikan
dan bagaimana proses pendidikan itu dapat diberikan dengan benar dan
bertanggung jawab.
3.
Pendidikan Harus Diberikan Sejak Anak-anak (6:7; 20-25)
Dalam
bagian ini ada 2 kali penekanan pentingnya pendidikan diberikan kepada
anak-anak. Dalam ayat 7 perintah “syema” harus diberikan kepada “anak-anak”
mereka yaitu dengan “mengajarkannya berulang-ulang”. Hal ini ditekankan kembali
dalam ayat 20-21 agar orang tua siap mengajarkan tentang siapakah Allah dan
karya-Nya bagi bangsa Israel kepada anak-anak mereka. Sejak awal masa anak-anak
, seorang anak laki-laki telah belajar sejarah Israel. Anak-anak belajar bahwa
bangsa Israel telah mengikat perjanjian dengan Allah, Perjanjian itu
menempatkan batasan-batasan tertentu pada mereka. Mereka mempunyai tanggung
jawab terhadap Allah karena Allah telah menebus mereka.
Pendidikan
iman kepercayaan mereka dalam hubungan dengan Allah Yahweh menjadi hal yang
sangat penting untuk diajarkan dan dilakukan. Pada hakekatnya seorang ayah
Israel bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya; tetapi para ibu juga
memainkan peranan yang amat penting, terutama sampai anak mereka mencapai usia
lima tahuan. Selama tahun-tahun pertumbuhan itu, sang ibu seharusnya membentuk
masa depan anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan.21 Ini menunjukkan
bahwa Allah bukan hanya memerintahkan pentingnya orang tua Israel mengajarkan
kepada anak-anak mereka hidup mengasihi-Nya tetapi juga memperhatikan
pentingnya masa anak-anak. Allah menginginkan agar anak-anak belajar bahwa
bangsa Israel telah mengikat perjanjian dengan Dia. Sebagai bangsa yang terikat
perjanjian dengan Allah, maka mereka harus hidup bertanggung jawab kepada Allah
dan mengasihi Allah karena Ia telah menebus mereka. Dalam perkembangannya,
pentingnya pendidikan sejak anak-anak ini dikaitkan dengan pengaruhnya terhadap
masa depan mereka (bnd. Amsal 22:6).
Dalam
kehidupan bangsa Israel kehidupan mereka sangat ditentukan oleh hubungan dan
sikap mereka terhadap Allah. Sebagai umat Allah maka berhasil tidaknya
kehidupan mereka sangat ditentukan oleh ketaatan mereka kepada Allah. Jika
mereka taat akan mendapatkan berkat,jika tidak taat akan mendapatkan kutuk. Realita
ini nampak dengan jelas di sepanjang perjalanan bangsa Israel yang telah
diungkapkan dalam Perjanjian Lama. Itulah sebabnya, pendidikan yang diberikan
kepada anak-anak selalu mencakup pelajaran agama dan dilengkapi dengan
pelatihan dalam berbagai ketrampilan yang akan mereka perlukan dalam kehidupan
sehari-hari.
4.
Pendidikan Adalah Tanggung Jawab Orang Tua (ayat 7)
Kalimat
dalam ayat 7 “haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu”
dan dalam ayat 21 “maka haruslah engkau menjawab anakmu..” menunjukkan bahwa
orang tua memiliki tugas dan tanggung jawab dalam pendidikan anak-anak mereka.
Oleh karena perintah ini berkiatan dengan instruksi syema, maka orang tua
pertama-tama bertanggung jawab atas pendidikan rohani anak-anak mereka. Ini
merupakan tugas yang sangat mendasar dan penting untuk dilakukan orang tua
kepada anak-anaknya. Orang tua dianggap yang paling bertangung jawab dalam
pendidikan anak-anak oleh karena mereka adalah orang yang terdekat.
Sebagaimana
dikatakan oleh J. I. Packer bahwa Allah memakai manusia untuk mengajarkan
Taurat kepada bangsa Israel—seperti Musa, para imam dan para nabi. Murid-murid
mereka adalah orang dewasa dari bangsa Israel, yang kemudian mereka bertanggung
jawab untuk meneruskan kepada anak-anak mereka.Sebagian besar pendidikan
dilakukan oleh orang tua, tidak ada ruang kelas atau kurikulum yang
tersusun.
Peran
orang tua yang pada mulanya mendidik anak-anak dalam bidang agama berkembang
dengan mengikut sertakan pendidikan dalam bidang ketrampilan-ketrampilan
khusus. Anak-anak Israel juga diajarkan keahlian-keahlian yang mereka perlukan
agar menjadi orang yang berhasil di dalam komunitasnya.
Bangsa
Israel adalah sebuah masyarakat petani; banyak hikmat praktis yang diturunkan
dari ayah kepada anak-anak laki-laki adalah mengenai bertani. Selain itu, para
ayah juga bertanggung jawab untuk mengajar anak laki-lakinya sebuah kejuruan
dan ketrampilan. Misalnya, apabila sang ayah adalah tukang periuk, ia mengajar
ketrampilan itu kepada anak laki-laki. Sementara anak laki-laki belajar
ketrampilan ini, anak-anak perempuan belajar membakar roti, memintal dan
menenun di bawah pengawasan ibunya. (Keluaran 35:25-26; band. II Samuel13:8).
Apabila tidak ada anak laki-laki dalam keluarga, anak-anak perempuan mungkin harus
belajar pekerjaan ayahnya Kejadian29:6; Keluaran 2:1625 Secara khusus, anak
laki-laki Yahudi disamping membaca Kitab Suci , juga mendapat pelajaran
tatakrama, musik, cara bertempur, dan pengetahuan praktis lainnya.26
Pola
pengajaran atau pendidikan semacam ini merupakan bagian penting dalam sepanjang
zaman Alkitab. Peranan orang tua terus menjadi hal yang penting meskipun
pendidikan formal sudah ada. Ini membawa kita kepada pemahaman bahwa Allah
sangat memperhatikan pentingnya pendidikan anak dan pentingnya peranan orang
tua dalam pendidikan anak. Allah memilih keluarga untuk menjadi tempat
berlangsungnya proses pembentukan diri anak. Dalam hal ini tepatlah yang
dikatakan Gary J. Oliver mengatakan bahwa Ulangan 6 merupakan bagian Alkitab
yang menjelaskan bahwa Allah merancang keluarga sebagai wadah untuk mengajarkan
(malalui pendidikan formal) dan menunjukkan (melalui teladan hidup) realitas
pribadi Allah yang hidup.
B.Pengajaran
Agama Menurut Perjanjian baru
1.Pengajaran
Agama
Apabila kita hendak menyelidiki soal Pengajaran
agama dalam hubungan Perjanjian Baru, tentu saja pertama-tama dan khususnya
kita harus mengarahkan pandangan kita yaitu:
a.
Pengajaran Tuhan Yesus
Di
samping jabatan-Nya sebagai Penebus dan Pembebas, Tuhan Yesus juga menjadi seorang
Guru yang agung. Keahlian-Nya sebagai seorang guru umumnya diperhatikan dan
dipuji oleh rakyat Yahudi; mereka dengan sendirinya menyebut Dia
"Rabbi". Ini tentu suatu gelar kehormatan, yang menyatakan betapa Ia
disegani dan dikagumi oleh-orang sebangsanya sebagai seorang pengajar yang
mahir dalam segala soal ilmu keTuhanan. Sebab Ia mengajar mereka "sebagai
orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat yang biasa mengajar
mereka" (Mat 7:29).
Tuhan
Yesus mengajar di mana saja: di atas bukit, dari dalam perahu, di sisi orang
sakit, di tepi sumur, di rumah yang sederhana dan di rumah orang kaya, di depan
pembesar-pembesar agama dan pemerintah, bahkan sampai di kayu palang sekalipun.
Tuhan Yesus tidak memerlukan sekolah atau gedung tertentu. Tiap-tiap keadaan
dan pertemuan dipergunakan-Nya untuk memberitakan Firman Allah.
Tuhan
Yesus dalam pengajaran-Nya tidak terikat pula pada waktu tertentu. Siang-malam,
pada setiap saat Ia bersedia menerangkan jalan keselamatan dan Kerajaan Sorga
yang telah datang itu kepada siapa saja yang ingin belajar kepada-Nya. Sedangkan yang menjadi tujuan pengajaran
Tuhan Yesus itu bukanlah untuk membahas berbagai pokok agama dan susila secara
ilmiah atau secara teori saja, melainkan untuk melayani tiap manusia yang
datang kepada-Nya. Setiap orang itu dikenal-Nya, dan dipahami-Nya masalah yang
dipergumulkan orang itu. Untuk lebih jelasnya akan dikemukan lebih rinci dalam
pembahanan berikutnya, yaitu tentang pengajaran Tuhan Yesus dalam Keempat
Injil. Baik itu materi, cara atau metode, tujuan pengajaran maupun sisitimatika
pengajaranNya.
Cara
mengajar-Nya sangat istimewa pula. Biasa-Nya Tuhan Yesus tidak membentangkan
sesuatu ajaran dengan menyuruh orang mempercayai itu, tetapi Ia mendorong
mereka berpikir sendiri dan menarik kesimpulannya sendiri atas apa yang telah
dijelaskan-Nya kepada mereka. Ia tak selalu mencapai hasil-Nya, karena sering
kali para pendengar-Nya mengeraskan hati, tetapi tentu Ia senantiasa menyatakan
Diri sebagai seorang Guru yang tak ada taranya, karena Ia sendiri adalah
Kebenaran.
Banyak
metode yang dipakai-Nya, dan segala metode itu masih penting dan perlu
dipelajari oleh segala guru agama masa kini. Adakalanya Tuhan Yesus bercerita.
Sering Ia memakai perumpamaan. Acap pula Ia mengemukakan pertanyaan-pertanyaan
yang kemudian menjadi bahan pengajaran-Nya. Kadang-kadang suatu percakapan
biasa berkembang menjadi pengajaran yang indah. Tetapi bukan dengan
perkataan-Nya saja Tuhan Yesus mengajar. Tapi juga dengan mempraktekkan apa
yang dimaksudkan-Nya, seperti tatkala Ia memeluk anak-anak dan memberkati
mereka, itu menjadi teguran pada murid-Nya, atau ketika Ia membasuh kaki mereka
untuk mengajar mereka supaya rendah hati.
Bahkan
seluruh kehidupan Tuhan Yesus sendiri merupakan pengajaran sampai saat yang
terakhir, karena justru dalam sengsara dan kematian-Nya Ia mengajar kita
tentang satu-satunya jalan keselamatan bagi manusia yang berdosa. Di atas bukit
Golgota, Ia menyuguhkan segala pengajaran-Nya dengan pengorbanan diri-Nya
sendiri.
b.
Pengajaran Rasul Paulus
Rasul
Paulus juga seorang guru yang ulung. Ia benar-benar tokoh penting di lapangan
pendidikan agama. Paulus sendiri dididik untuk menjadi seorang rabbi bagi
bangsanya. Ia mahir dalam pengetahuan akan Taurat, dan ia dilatih untuk
mengajar orang lain tentang agama kaum Yahudi.
Setelah
Yesus memasuki hidupnya, Paulus menjadi seorang hamba Tuhan yang terdorong oleh
hasrat yang berapi-api untuk memashurkan nama Tuhan Yesus itu. Ke mana pun
Paulus pergi, segala kesempatan dipergunakannya untuk mengajar orang Yahudi dan
kaum kafir tentang kehidupan bahagia yang terdapat dalam Injil Yesus Kristus.
Paulus berkhotbah di hadapan imam-imam dan rabi-rabi Yahudi, dan di hadapan
rakyat jelata di segala kota dan desa yang dikunjunginya. Ia mengajar raja-raja
dan wali-wali negeri, orang cendekiawan dan kaum budak, orang laki-laki dan
kaum wanita, orang Asia, orang Yunani, orang Romawi, singkat kata, segala
golongan manusia telah ditemuinya pada perjalanannya yang banyak dan panjang
itu.
Paulus
berkeyakinan kuat dan beriman teguh. Selalu ia siap sedia untuk bertukar
pikiran, mengajar, menegur dan mengajak. Pasti ia seorang ahli pidato yang
besar bakatnya. Meskipun tidak tampan raut muka dan perawakannya, tetapi
khotbahnya penuh semangat dan isinya jelas, sehingga membuat kagum
pendengarnya. Kadang banyak orang merasa sangat tersinggung, tetapi banyak pula
yang segera ditawan oleh kuasa bahasanya.
Paulus
mengajar di rumah-rumah tempat ia menumpang, di gedung-gedung yang disewanya,
di lorong-lorong kota atau di padang-padang, di atas loteng dan dalam
bengkelnya, di pasar dan dalam kumpulan kaum filsuf. Tak ada tempat yang
dianggapnya kurang layak untuk menyampaikan beritanya tentang Juruselamat
dunia.
Rasul
Paulus juga banyak mengajar melalui surat-surat. Segala soal dan kesulitan yang
muncul dalam jemaat-jemaat yang didirikannya itu, ataupun yang timbul di antara
kaum Kristen yang belum dikunjunginya, semua itu dipakainya untuk menguraikan
pokok-pokok kepercayaan atau kesusilaan Kristen yang bersangkutan dengan hal
itu. Kebiasaannya itu sungguh menguntungkan seluruh umat Kristen di kemudian
hari. Bukankah surat-surat Paulus itu sampai sekarang merupakan pengajaran yang
tak ternilai harganya bagi sekalian orang Kristen di segala tempat?
c.
Pengajaran jemaat yang mula-mula
Sejak
mulai berdirinya, jemaat Kristen telah menjunjung pengajaran agama. Seperti
diketahui, orang-orang Kristen muda itu mula-mula masih berpaut kepada adat
agama Yahudi, tetapi lambat laun mereka mengembangkan perkumpulannya sendiri.
Di dalam perkumpulan itu mereka berdoa, berbicara tentang pengajaran dan
perbuatan-perbuatan Tuhan Yesus Kristus, makan sehidangan dan merayakan
Perjamuan Suci. Mereka yakin bahwa sejak turunnya Roh Kudus jemaat mereka
merupakan Israel baru. Yesus Kristus telah menciptakan Israel baru itu dengan
Roh-Nya sendiri. Sekarang mereka berdiri dalam dunia ini dengan keadaan baru
dan dengan tugas yang baru pula.
Akibatnya
ialah mereka mulai berkhotbah dan mengajar, supaya banyak orang lain juga dapat
percaya pada Yesus sebagai Penebus dan Tuhan. Segala orang yang bertobat dan
mau bergabung dengan jemaat Kristen itu, dididik dengan seksama. Di dalam dan
di luar kebaktian, mereka belajar tentang Diri dan pekerjaan Juruselamat itu,
dan lagi tentang panggilan dan tugas seorang Kristen dalam dunia ini.
Jemaat-jemaat muda itu mempelajari nubuat-nubuat para nabi zaman dulu mengenai
Yesus Kristus, dan mereka asyik membaca surat-surat yang diterimanya dari rasul
Paulus dan pemimpin gereja lain. Mereka menganggap dirinya sebagai suatu
persekutuan suci, seperti Israel dulu, tetapi dengan mengaku Yesus Kristus
selaku Raja, Nabi dan Imam satu- satunya.
Kerajinan
dan kesetiaan Israel dalam menjalankan pendidikan agama diturutinya pula, hanya
perbedaannya sekarang, Taurat bukan lagi menjadi dasar dan pusat pendidikan
itu, melainkan Yesus Kristus. Dengan demikian jemaat purba itu mengajarkan
agama Kristen di dalam rumah-rumahnya, kepada tetangganya, di dalam kebaktian
dan kumpulannya, bahkan kepada siapa saja yang suka mendengarkan berita kesukaan
yang mereka siarkan.
2.
Prinsip-Prinsip Pengajaran Tuhan Yesus
Perjanjian
Baru memuat banyak prinsip yang dipakai Tuhan Yesus dalam mendidik
murid-murid-Nya. Semua prinsip Tuhan Yesus dalam pengajaranNya masih sangat
cocok untuk diterapkan pada pendidikan Kristen untuk anak-anak didik zaman
ini.
Beberapa prinsip yang Tuhan Yesus pengajaranNya
yaitu :
a. Tuhan
Yesus mengajar melalui hidup dan perbuatan-Nya.
Segala kelakuan-Nya sesuai dengan kehendak Allah dan
menyatakan kasih dan kebenaran Allah kepada murid-murid-Nya. Tiap orang yang
datang kepada-Nya mendapat perhatian-Nya. Dengan penuh kasih Ia menolong yang
memerlukan pertolongan-Nya. Ia tidak segan melawan segala sesuatu yang tidak
sesuai dengan kehendak Allah. Contoh yang konkrit dalam hidup seorang guru
selalu lebih mengesankan daripada segala kata yang diucapkannya.
b. Tuhan
Yesus memakai pengalaman pendengar-pendengar-Nya untuk mengajar mereka.
Sebagai
dasar untuk ajaran yang baru, Ia menyebut hal-hal yang lazim dialami tiap
orang, peristiwa-peristiwa dari hidup sehari- hari yang pasti akan dimengerti
oleh setiap pendengar-Nya. Umpamanya menanam benih (Matius 13:1-9), memasang
lampu (Matius 5:15-16), mencari sesuatu yang hilang (Lukas 15:1-10). Hal-hal
seperti itu dapat dimengerti, dan juga akan mengingatkan mereka kepada ajaran
itu tiap kali mereka melakukannya lagi.
c. Tuhan
Yesus terkadang menunjukkan obyek-obyek yang konkrit untuk dilihat.
Ia
memakai mata uang (Matius 12:13-17), burung di udara dan bunga-bungaan di
padang (Matius 6:25-34) yang kelihatan di mana- mana sehingga akan mengingatkan
pendengar-Nya akan ajaran-Nya tiap kali mereka melihat barang itu kelak.
d. Tuhan
Yesus memakai cerita yang tepat dan sederhana untuk mengajar.
Cerita-cerita
berupa perumpamaan dan perbandingan yang sangat mengesankan dipakai-Nya utuk
memikat perhatian orang dan menekankan kebenaran. Cerita-cerita itu sering
dipakai-Nya untuk menjawab pertanyaan dan pendengar-Nya diajak berpikir sendiri
mengenai maksud dan arti cerita itu (misalnya Lukas 10:25-37 dan 12:13-21).
Cerita yang mengesankan tak akan terlupakan, sehingga ajaran yang terdapat di
dalamnya makin mendalam bagi pendengarnya.
e. Tuhan
Yesus menyatakan motif-motif yang kuat untuk menerima ajaran-Nya.
Tiap
manusia cenderung menaruh perhatian besar pada kepentingan dirinya sendiri. Apa
saja yang akan menolongnya untuk mencapai tujuannya, akan menarik perhatiannya.
Tuhan Yesus selalu menunjukkan hubungan antara ajaran yang diberikan-Nya dengan
kebutuhan yang sedang digumuli oleh para pendengar-Nya (misalnya Matius
11:28-29 dan Yohanes 11:25-26). Tetapi perhatikanlah: Persaingan atau harapan
untuk memperoleh sesuatu yang berharga dalam dunia materi tak pernah
dipakai-Nya sebagai motif untuk menerima ajaran-Nya.
f. Tuhan
Yesus selalu mengaktifkan pendengar-pendengar-Nya
Ia
mengajak mereka bersoal-jawab; Ia mengajukan kepada mereka
pertanyaan-pertanyaan yang mendorong mereka untuk berpikir menemukan jawaban
yang tepat. Ia memberikan kesempatan untuk berbuat sesuatu; murid-murid diajak
memberi makan orang banyak (Matius 14:16-19). Mereka ditugaskan pergi
meneruskan ajaran yang telah disampaikan-Nya kepada mereka (Lukas 10:1-9). Kita
belajar jauh lebih banyak lewat apa yang kita lakukan daripada yang hanya kita
dengarkan.
g. Tuhan
Yesus selalu memberikan kepada pendengar-Nya tanggung jawab untuk mengambil
keputusan secara pribadi.
Dengan
jelas Ia menunjukkan akibat dari pilihan yang tepat dan yang tidak tepat.
Tanggung jawab untuk memilih diserahkan sepenuhnya pada tiap pendengar-Nya. Ia
tidak menyuruh mereka menghafalkan apa yang dikatakan-Nya dan taat secara
mutlak tanpa berpikir. Sebaliknya, Ia mendorong mereka untuk berpikir sendiri
dan mengambil keputusan dengan penuh kesadaran mengenai akibat pilihannya,
yakin untuk mengikuti-Nya atau tidak. Ketaatan yang dipaksakan atau dilakukan
tanpa pikir bukanlah ketaatan sejati. Keputusan yang sah ialah keputusan yang
diambil dengan penuh pengertian dan kerelaan.
3.
Pentingnya Pengajaran Dalam Perjanjian Baru
Dari
uraian yang pendek ini kita dapat segera menarik kesimpulan bahwa agama Kristen
itu adalah suatu agama yang sangat mementingkan pendidikan Agama. Agama kita
yakini dan segenap penganutnya sekali- kali tak boleh melupakan
perbuatan-perbuatan yang Mahabesar, yang telah dilakukan Tuhan Allah bagi
mereka di dalam Yesus Kristus. Anggota-anggota Gereja, baik orang dewasa maupun
anak-anak kecil, semuanya wajib mempelajari pekerjaan Tuhan yang telah
mendatangkan keselamatan itu. Peristiwa-peristiwa yang agung itu harus
diajarkan, diterangkan dan dipercaya, sehingga setiap orang yang mengakui Yesus
Kristus sebagai Juruselamat, meninggalkan manusia lamanya dan dan menjadi
ciptaan baru di dalam Dia. Jika itu dilakukan, maka Gereja Kristen di dunia ini
akan menjadi suatu terang, yang dapat menunjukkan jalan keselamatan kepada
banyak orang lain pula.
Sejak
zaman Perjanjian Baru, jemaat Kristen sangat mementingkan pendidikan pengajaran
agama. Tugas mengajar itu memang diserahkan khusus kepada kaum guru yang telah
mempunyai karunia dan latihan istimewa untuk pekerjaan yang mulia itu, tetapi
seluruh jemaat tetap mendukung dan mendoakan mereka. Mulai dari abad pertama
tarikh Masehi, pendidikan agama Kristen menyiapkan orang untuk masuk ke dalam
persekutuan jemaat Kristus, dan setelah disambut dalam jemaat itu mereka
dididik terus supaya dapat semakin berakar dalam pengetahuan dan pengenalan
yang mendalam tentang Yesus Kristus, Kepala Gereja itu.
II.
Unsur-unsur Dalam Pengajaran
Setelah
kita memahami Pengajaran atau pendidikan dalam Alkitab, baik dalam Perjanjian
Lama maupun dalam Perjanjian Baru, mengenai prinsip maupun pentingnya suatu
pengajaran atau pendidikan, maka dalam pembahasan berikut adalah hal-hal
praktis yang harus ada dalam pembelajaran itu sendiri yaitu unsur-unsur yang
ada dalam proses pembelajaran
Salah
satu pertanyaan penting dalam pendidikan atau pengajaran apapun, termasuk PAK
adalah bagaimana seharusnya Pengajaran dirancang agar perseta didik belajar apa
yang seharusnya dipelajari? Pertanyaan itu menyentuh perihal, Sistimatika Pengajaran,
Metode-metode Pengajaran, Kulikulum dan tujuan Pengajaran.
Mengingat
pembahasan dalam skripsi ini hanya dibatasi mengenai pengajaran Tuhan Yesus
dalam keempat Injil, maka hal-hal penting, yang akan penulis kemukakan di sini
adalah hal-hal yang berhubunga dengan pengajaran Tuhan Yesus, yaitu antara
lain:
A. Sistimatika Pengajaran
Dalam sejarah, Yesus tidak mempunyai sistimatika
atau susunan pengajaran yang tetap atau yang tidak berubah-ubah. Ia tidak
terikat kepada suatu tata cara. Sebaliknya Ia ahli dalam memakai berbagai hal
yang berhubungan dengan Pengajaran. Ia mengubah jalan pengajaranNya, tujuan
yang hendak dicapaiNya, dan metode yang dipakaiNya. Ia menggunakan sistim atau
cara apa saja yang dipandangNya paling cocok pada saat itu.
Salah satu contoh yang sangat mendekati untuk
menjelaskan bagaimana Yesus sebagai Guru Agung dalam pengajaran secara
sistematis, yaitu ketika Ia mengajar kepada wanita Samaria di sumur Yakub
(Yohanes 4).
Dalam Yohanes 4, kita menemukan pengajaran Tuhan
Yesus yang melukiskan tentang langkah-langkah yang biasanya terdapat dalam
penyampaian pelajaran.
a.Pendahuluan
Setiap
kegiatan pembelajaran harus mempunyai suatu permulaan ataun pedahuluan.
Pedahuluan adalah susunan pengajaran yang penting. Berhasil atau gagalnya suatu
pengajaran sangat bergantung kepada pembukaan atau pembelajaran itu
dimulai.
Yang
dimaksud dengan pendahuluan atau permulaan ialah bagian yang menarik perhatian
anak didik kepada materi pelajaran saat itu. Pengajaran tidak akan dapat
berlangsung secara efektif tanpa suatu pedahuluan yang baik. Seorang guru tidak
dapat belajar jika murid-murid tidak menaruh perhatian kepada pokok pelajaran.
Hal yang penting, yang harus diperhatikan dalam pendahuluan adalah
membangkitkan perhatian murid, agar pikirannya ditunjukkan kepada pelajaran
yang akan disampaikan.
Untuk
lebih jelaskan memahami pedahuluan dalam pengajaran, baiklah kita melihat
contoh Tuhan Yesus dalam memulai suatu pengajranNya yang dicatat oleh Yohanes
dalam Yohanes 4 :1-7. Tuhan Yesus pandai sekali menemukan titik kontak itu.
Baik berhadapan dengan murid-muridNya maupun dengan orang-orang yang
membenciNya, Ia senantiasa mengadakan atau menjalin hubungan terlebih dahulu,
terutama dengan pikiran dan perasaan mereka.
Keadaan
saat itu bagi Yesus sebenarnya sangat sulit untuk mengajar, Banyak rintangan
yang menghadangNya. Tengah hari, hari panas Yesus baru saja melakukan suatu
perjalanan yang cukup jauh. Ia lelah, kepanasan, kotor, haus dan lapar. Keadaan
fifikNya benar-benar tidak memungkinkan untuk mengadakan suatu pengajaran/
percakapan. Wanita itu hendak menimba air, ia pun mungkin kepanasan dan
terburu-buru. Tidak siap untuk menerima pengajaran. Dan lagi pula kedua orang
tu asing satu sama lain. Artinya tidak saling kenal. Dalam hal kesucian mereka
juga berbeda. Seperi langit dan bumi. Yesus seorang tidak berdosa, sedangkan
wanita itu berdosa, tuna susila. Di dunia timur perbedaan jenis kelamin
merupakan suatu rintangan yang besar dalam pergaulan. Disamping itu, ia seorang
Yahudi, dan wanita itu seorang Samaria. Kedua bangsa itu saling
bermusuhan.
Singkat
cerita, keadaan pada waktu itu benar-benar tidak memungkinkan bagi Yesus untuk
menemukan titik kontak dengan wanita itu. Tetapi Yesus berhasil dalam
pengajranNya. Permintaan akan air itu ternyata tidak dapat ditolak oleh wanita
itu walaupun ia sibuk, berprasangka dan berdosa. Permintaan Yesus mendapat
sambutan yang luar biasa. Hal itu sungguh suatu keberhasilan yang
mengagumkan.
Contoh-contoh
pengajaran Tuhan Yesus yang dimulai dengan suatu pedahuluan, akan kita temukan
dalam keempat Injil, yaitu waktu kotbah di Bukit, dengan perumpamaan, tanya
jawab dan sebagainya, yang akan dibahas secara tersendiri dalam bab
berikut.
b.Pengembangan
isi
Setelah
pikiran murid-murid diarahkan kapada materi pelajaran pada hari itu, memotivasi
serta pemberian pentujuk-pentunjuk pembelajaran berikutnya, maka tugas guru
berikutnya adalah menguraikan, menjelaskan dan memahamkan pelajaran itu dalam
diri murid-murid.
Hal-hal
penting dalam pengembangan pembelajaran setelah murid dipersdiapkan, mengalami
sesuatu dan merasa puas dan siap untuk mengikuti pelajaran , maka pertama,
bahan harus dipersiapkan sedemikian rupa sesuai dengan tingkat pengetahuan
murid. Kedua, kalau tidak ada faktor-faktor yang istimewa, maka pengulangan
materi atau hahana sangat baik, karena apa yang diuilang-ulang akan menjadi
suatu kebiasaan. Ketiga, Pengajaran kita harus esuai dngan kebutuhan hidup
murid dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku secara umum.
Sebelum
menyampaikan pelajaran hendaknya pelajaran itu direncanakan terlebih dahulu
sebaik-baiknya. Metode maupun media atu alat peraga yang akan dipakai
disesuikan dangan materi dan sarana yang ada. Kesatuan pengajaran harus
disesuaikan dengan tujuan-tujuan yang terlah ditetapkan, baiak dalam catur
wulan, semester maupun tahunan. Menyusun soal dan menyamapaikan pelajaran
dengan cara yang menarik, sehingga semua murid dapat mengikuti pelajaran dengan
penuh perhatian.
Sesuai
pembahanan Skripsi ini adalah Pengajaran Tuhan Yesus, khususnya melalui keempat
Injil, maka cara mengembangkan isi, merencanakan, dan melaksanakan
pembelajaran, dapat melihat apa yang telah dilakukan Yesus sebagai Guru Agung,
khususnya dalam PengajaranNya kepada wanita samaria (Yohanes 4:7-26).
Adapun
contoh lain tentang cara Tuhan Yesus mengembangkan sebuah pelajaran masih
banyak lagi. Pemakaian metode diskusi, kita lihat dalam contoh diatas,. Metode
ceramah dipakaidalam kotbah di Bukit (Matiu 5-7); Metode cerita seperti yang
disaksikann oleh Lukas (dalam Lukas 15); dengan alat peraga, seperti menaruh
seorang anak kecil di tengah-tengah mereka yang diajar. Demontrasi, seperti
ketika Yesus menjawab Yohanes Pembaptis dengan menunjukkan pa ayang sedang Ia
lakukan. Pertanyaan, sepertimpada waktui Ia bertanya tentang asal usul
pembaptisan. Dan metode drama seperti dalam pembaptisan dan Perjamuan kudus.
Dan masih banyak lagi cara-cara Tuhan yesus dalam mengembangkan pembelajaran,
dengan metode, media maupoun alat peraga. Tuhan Yesus tidak berhenti mengajar
sebelum muri-muridNya memahami dangan jelas dan yakin akan apa yang
diajarkanNya.
c.Kesimpulan
dan penerapan
Ini
merupakan tahap akhir dari susunan atau sistimatika dalam setiap pengajaran.
Susunan pengajaran belum dianggap selesai jika belum ada kesimpulan dan penerapan.
Hal ini memberikann kesempatan kepada mudir-murid untuk melihat pelajaran itu
secara keseluruhan, mengulang bagian-bagian yang penting, memberi penekanan /
pemperjelas materi serta menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam
pembalajaran, penting sekali mengambil kesimpulan dari fakta dan kebenaran
Alkitab yang dipelajari, sehingga dapat menerapkannya dalam kehidupan anak-anak
pada zaman sekarang. Karena pelajaran yang kita berikan harus bersifat praktis
dan sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan yang terjadi sekarang ini.
Hal-hal
praktis yang Yesus simpulkan dalam pembelajaranNya misalnya, ketika seorang
ahli taurat mengajukan pertanyaan kepada Yesus, dibuatNya suatu penerapan yang
khas dan praktis. Setelah disimpulkan atau ditegaskan perlunya mengasihi sesama
manusia sepeti dirinya sendiri dan dikisahkan hal orang samaria yang murah hati
sebagai contoh kasih kepada sesamanya. Ia bertanya kepada alhi taurat, Siapakah
di antara ketiga orang itu yang mempunyai hati mengasihi bagi sesamanya?. Dan
ketika ahli Taurat itu menjawab bahwa orang Samaria itulah yang berhati
mengasihi, maka berkatalah Yesus: Pergilan, dan perbuatlah demikian ! (Lukas
10:37). Hal serupa juga dilakukan Yesus dalam pengajaranNya kepada orang muda
yang kaya (Markus 10: 21)
Dalam
rangkaian pembelajaran itu Yesus bukan saja menyingkapkan intisari pelajaran
itu, tetapi menerapkan juga. Dan Guru Agung itu senantiasa mengemukakan
intisari pengajaranNya.
Sebelum
kita akhiri dalam pembalasan ini, baiklah kita tambahkan dengan menguji hasil
suatu pembelajaran atau lazin kita sebut Evaluasi atau penilaian. Sebab ini
merupakan bagian dari kegiatan mengajar. Ada beberapa macam cara pengujian atau
penialain (evaluasi) setelah pembelajaran berlangsung, yaitu secara lisan
maupun tertulis.
Kita
menyadari bahwa sekalipun nampaknya Yesus tidak banyak menggunakan ujian atau
evaluasi setelah pengajaranNya selesai, namun Ia juga mencari jalan untuk
mengetahui hasil pembelajaranNya. Salah satu contoh bagaimana Yesus menguji
murid-muridNya yang sudah menerima pengajaranNya, seperti dicatat oleh Matius
(Matis 18: 16) . „Demikian : Tetapi apa katamu, siapakan Aku ini? Ini
menunjukkan bahwa Yesus juga memperhatikan hasil pengajaranNya. Dan kita juga
mengentahui bahwa Ia menerima laporan tentang perjalanan pengutusan Injil ke-70
muridNya, ketika mereka kembali (Lukas 10:17).
Dalam
setiap pembelajaran, hendaknya kita juga menguji atau mengadakan evaluasi,
supaya kita mengetahui apakah pengajaran ktia menolong kehidupan
murid-murid.
B.Materi
Pembelajaran
Ada
beberapa sumber umum yang diambil sebagai bahan atau materi dalam setiap
pembelajaran Agama, baik dalam Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru.
Sumber-sumber itu dapat dijabarkan menjadi beberapa bagian atau pokok bahasan.
Semua itu bersumber dari pengajaran-pengajaran serta pengalaman perjalanan umat
Tuhan dalam jaman Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.
Mengenai
materi pembelajaran Agama, oleh Homrighausen, dalam Buku Pendidikan Agama
Kristen, disebut sebagai obyek-obyek PAK.1 Adapun Obyek-obyek dasar PAK yang
paling asasi yang diselenggarakan oleh Gereja-gereja Protestan antara
lain:
1. Memperkenalkan Allah
2. Mempertemukan para pelajar dengan juruselamat
dunia, yaitu Yesus Kristus
3. Pengenalan dan pengalaman akan Roh Kudus
4. Mndidik anak untuk menjadi anggota gereja
5. Menjadi warga negara yang baik
6. Pandangan Hidup Kristen
7. Warisan Agama Kristen.
Sedangkan Obyek PAK, bahan atau materi pengajaran
Dalam Gereja Liberal di Amerika Serikat 2 adalah sbb:
1. Memberikan murid-murid perasaan penghargaan
terhadap diri sendiri.
2. Membuat mereka menjadi warga yang bertanggung
jawab
3. Supaya mereka belajar menghargai duni ini
4. Supaya mereka dapat membedakan n ilai-nilai yang
baik dan yang jahat.
5. Supaya mereka dapat menghubungkan
pengalaman-pengalaman mereka sendiri
dengan Filsafat hidup Kristen
6. Supaya mereka menjadi orang yang dapat
dipercaya
7. Supaya amereka belajar bekerja sama dan tolong
menolong
8. Supaya mereka selalu mengejar kebenaran
9. Supaya mereka bersikap negafit terhadap peristiwa
–peristiwa yang terjadi
sekelilingnya, dan terhadap perkembangan sejarah
umumnya.
10. Supaya mereka suka turut merayakan hari-hari
raya Kristen dlam roh
persekutuan Kristen.
C.Cara
atau metode pembelajaran
Salah satu pertanyaan penting dalam pendidikan atau
pengajaran apapun, termasuk PAK adalah bagaimana seharusnya dirancang agas
perseta didik belajar apa yang seharusnya dipelajari?
D.Tujuan
Pengajaran
1. Penuntun Guru PAK Sekolah Minggu dan Sekolah
Dasar: 1 dan 2, Dr. Leatha Humes da
Ny. A. Lieke Simanjuntak, , halaman 23 - 24, PT. BPK
Gunung Mulia, Jakarta, 1988.
PENGAJARAN TUHAN YESUS DAN PAK
Pengantar PAK II
KONTEK
PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN
Pendidikan/pengajaran merupakan topik yang tidak
dapat dipisahkan dari sejarah kehidupan manusia. Secara sederhana, pengajaran
dapat diartikan sebagai sebuah proses belajar-mengajar, memberikan dan
menghasilkan pengetahuan dan keahlian. Sementara itu Samuel Sijabat mengutip
definisi dari Ensiklopedi Pendidikan mengatakan bahwa pendidikan dapat
diartikan “semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan
pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya, serta ketrampilannya kepada
generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya
baik jasmaniah maupun rohaniah.1
Dengan pengertian di atas, maka setiap orang atau
masyarakat pasti terlibat di dalam pendidikan atau pengajaran baik itu formal
maupun informal. Itulah sebabnya, pengajaran tetap menjadi topik yang sangat
penting untuk dibahas.
Dalam tulisan ini, penulis secara khusus akan
membahas pandangan Alkitab tentang pentingnya Pengajaran. Namun, mengingat
luasnya masalah Pengajaran dan Alkitab yang terdiri dari Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru maka penulis merasa perlu membatasi pembahasan dalam bab ini.
Dalam pembahasan pengajaran penyusun akan memfokuskan pada pandangan Perjanjian
Lama tentang pentingnya pengajaran anak berdasarkan Ulangan 6:4-9. dan Dalam
perjanjian baru, yaitu pengajaran Tuhan Yesus melalui keempat Injil.
A.Kontek
Pengajaran Agama Dalam Perjanjian Lama
Perjanjian
Lama adalah Firman Allah yang merupakan dasar dan otoritas tertinggi bagi
konsep, prinsip dan prilaku manusia. (2 Timotius 3:15-16). Disamping itu,
Perjanjian Lama juga sangat memperhatikan pentingnya pendidikan, pengajaran
anak. Perintah untuk memperhatikan pentingnya pendidikan anak diberikan Allah
sendiri sejak zaman Abraham (Kejadian 18:19), dilanjutkan pada zaman Musa
(Keluaran 12:26-27) dan dipertegas kembali dalam Ulangan 4:9 ; 6:1-9; 11:18-21
yang selanjutnya juga menjadi perhatian orang-orang bijak (Amsal 1:8; 22:6;
29:17; Pengkhotbah 12:1). Dengan demikian, sangatlah tepat jika Perjanjian
Lama, dijadikan dasar untuk memahami pentingnya pendidikan anak. Salah satu
bagian Perjanjian Lama yang perlu dijadikan dasar untuk memahami pentingnya
pendidikan anak adalah Ulangan 6:4-9.
a.
Latar belakang
Untuk
lebih jelas pengajaran Agama dalam Perjanjian Lama, kita harus lebih dahulu
mengetahui latar belakang dalam pengajaran tsb, yaitu seperti berikut ini:
1.
Bangsa Yahudi
Bangsa yang penuh misteri, kecil tapi kuat, sedikit
tapi menyebar ke seluruh dunia, menyebar tapi kemurniannya terjaga, kadang
tidak bertanah air dan tak punya raja, tapi selalu menonjol dan memberi
pengaruh kuat kepada dunia. Dianiaya, tapi bertahan bahkan berkelimpahan.
Bangsa yang memiliki identitas yang kuat.
2.
Agama Yahudi
Penganut agama Yudaisme yang mementingkan ketaatan
kepada Hukum Agama agar dijalankan dengan penuh ketekunan. Kemurnian
pengajarannya dijaga dari generasi ke generasi berikutnya untuk memberi dasar
yang teguh bagi setiap tingkah laku dan tindakan. Hukum agama sering
diaplikasikan secara harafiah.
3.
Budaya Yahudi
Yang
paling mengesankan dalam budaya Yahudi adalah perhatiannya pada pendidikan.
Pendidikan menjadi bagian yang paling utama dan terpenting dalam budaya Yahudi.
Semua bidang budaya diarahkan untuk menjadi tempat dimana mereka mendidik
generasi muda, yang kelak akan memberi pengaruh yang besar. Obyek utama dalam
pendidikan mereka adalah mempelajari Hukum Taurat.
Berdasarkan
Latar belakang pengajaran Agama dalam perjanjian Lama, maka seperti dijelaskan
oleh Homrighausen, dalam Buku Pendidikan Agama Kristen hal, 2, bahwa di
dalam kitab-kitab perjanjian Lama tersimpan kesaksian mengenai perkara-perkara
yang mahaagung, yang telah dialami oleh umat Tuhan di bawah pimpinanNya
sepanjang sejarah hidup mereka. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa
perbuatanperbuatan Tuhan yang hebat itu perlu disampaikan dan dijelaskan pula
kepada tiap-tiap keturunan yang baru. Oleh sebab itu hikayatnya dipaparkan
dalam kitab perjanjian lama.1
Yang menjadi pertanyaan adalah, kapan Pengajaran
Agama dalam PL itu dimulai? Pendidikan agama dimulai ketiga agama itu sendiri
muncul dalam hidup manusia. Pendidikan agama berpangkal kepada persekutuan umat
Tuhan di dalam perjanjian Lama, yaitu mulai dari nenek moyang kaum Israel,
Abraham, Ishak dan Yakub yang menjadi guru bagi seluruh keluarganya. Kita tahu
bahwa sebagai sebagai bapak-bapak dari bangsanya, mereka bukan saja menjadi
imam yang merupakan pengantara antara Tuhan dengan umatNya, tetapi juga menjadi
guru yang mengajarkan tentang perbuatan-perbuatan Tuhan yang mulia itu dengan
segala janji Tuhan yang membawa kepada Israel turun temurun.
b.
Prinsip Pengajaran Dalam perjanjian Lama
1.Seluruh
kebenaran adalah kebenaran Allah.
Kej. 1:1 -- Segala sesuatu telah dijadikan oleh
Allah dengan tujuan supaya manusia mengenal Allah dan berhubungan dengan-Nya.
Cara Allah menyatakan diri adalah dengan:
- Wahyu Umum: Supaya orang menyadari dan mengakui
keberadaan Allah melalui alam, sejarah, hati nurani manusia.
- Wahyu Khusus : Supaya manusia menerima keselamatan
dari Allah. Allah berinkarnasi menjadi
manusia dalam diri Yesus Kristus.
2. Menurut konsep Yahudi
Tidak
ada perbedaan nilai antara duniawi dan rohani, semuanya ada dalam wilayah
Tuhan. Itu sebabnya orang Yahudi percaya bahwa "seluruh hidup adalah
suci". “Seluruh pendidikan itu bersifat agama; tidak ada sebagian pun dari
segala lapangan hidup manusia yang tidak dipengaruhi dan dikuasai oleh Agama”
2
3. Pendidikan berpusatkan pada
Allah.
Fokus utama dalam pendidikan Yahudi adalah: Yehova
(Hab. 2:10 -- kegagalan campur tangan Allah adalah kegagalan bangsa.) Bagi anak
Yahudi tidak ada buku lain yang memiliki keharusan untuk dipelajari selain
Alkitab (Taurat) untuk menjadi pegangan dan pelajaran tentang Allah dan
karya-Nya
4. Pendidikan adalah kegiatan utama dan
diintegrasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam Kitab Talmud dikatakan kalau ingin
menghancurkan bangsa Yahudi, kita harus membinasakan guru-gurunya. Bangsa
Yahudi adalah bangsa pertama yang memiliki sistem pendidikan Nasional (Ula.
6:4-9) Pendidikan mereka tidak hanya secara teori, tetapi menjadi kegiatan
sehari-hari dalam cara hidup dan keagamaannya. Contoh: Kitab Imamat yang
mengajarkan semua tata cara hidup dan beragama.
5. Tempat Pendidikan Anak Bangsa
Yahudi
Pendidikan anak Yahudi bermula di rumah. Berpangkal
dari peranan seorang ibu Yahudi. Tugas kewajiban ibu adalah untuk menjaga
kelangsungan hidup rumah tangga yang juga terkait erat dengan tugas rohani
mendidik anak-anaknya, khususnya ketika masih balita. Jauh- jauh hari sebelum
anak berhubungan dengan dunia luar, anak terlebih dahulu mendapat pendidikan
dari ibunya sehingga sesudah menginjak usia remaja/pemuda ia sudah mempunyai
dasar yang benar. Contoh: Melalui cerita-cerita sejarah bangsa dan hari-hari
peringatan/besar.
6. Menurut Kitab Ulangan 6:4-9
Ulangan 6:4-9 menjadi pusat pengajaran pendidikan
agama Kristen. Kitab-kitab lain yang membahas tentang pendidikan bersumber dari
kitab Ulangan ini.
a. Ayat 4 ("Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan
itu Allah kita, Tuhan itu Esa!")
Ayat ini disebut "Shema" atau pengakuan
iman orang Yahudi (agama Yudaisme) yang artinya "Dengarlah". Yesus
menyebut ayat ini sebagai hukum yang pertama -- prinsip iman dan ketaatan.
Memberikan konsep Allah yang paling akurat, jelas dan pendek Tuhan adalah unik,
lain dengan yang lain. Dia Allah yang hidup, yang benar dan yang sempurna.
Tidak ada Allah yang lain, hanya satu Allah saja. Ayat 4 ini bersamaan dengan
ayat 5 diucapkan sedikitnya dua kali sehari oleh orang Yahudi dewasa laki-laki.
Ayat ini diucapkan bersamaan dengan Ula. 11:13-21 dan Bil. 15:37-41.
b. Ayat 5 ("Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan
segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap
kekuatanmu.")
Kasih harus menjadi motif setiap hubungan manusia
dengan Tuhan. Kasih disebutkan pertama karena disanalah terletak pikiran,
emosi, dan kehendak manusia. Tugas yang Tuhan berikan untuk manusia lakukan
adalah kasihilah Allah Tuhanmu. Musa mengajarkan Israel untuk takut, tapi kasih
lebih dalam dari takut.
o Mengasihi
Tuhan artinya memilih Dia untuk suatu hubungan intim dan dengan senang hati menaati perintah-perintah-Nya.
o Mengasihi
dengan hati yang tulus, bukan hanya di mulut tapi juga dalam tindakan.
o Mengasihi
dengan seluruh kekuatan, memiliki semuanya.
o Mengasihi
dengan kasih yang terbaik, tidak ada yang melebihi kasih kita kepada Dia, sehingga kita takluk kepada Dia.
o Mengasihi
dengan seluruh akal budi/pengertian, karena kita kenal Dia maka kita mengasihi dan mentaati perintah-Nya.
c. Ayat 6 ("Apa yang Kuperintahkan kepadamu
hari ini haruslah engkau perhatikan.")
Perintah Tuhan bukanlah untuk didengar dengan
telinga saja, tapi juga dengan hati yang taat. Sebelum bertindak pikirkanlah
lebih dahulu perintah Tuhan, maka hidupmu akan selamat.
c. Ayat
7 ("Haruslah engkau mengajarkan berulang-ulang "kepada anakmu"
membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam
perjalanan, apabila engkau bangun.")
Mereka yang mengasihi Allah, mengasihi Firman-Nya
dan melakukannya dengan meditasi, bertanggung jawab untuk merenungkannya dan
menyimpannya dalam hati untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Orangtua
mempunyai tugas untuk mengajarkan Firman-Nya kepada anak-anak dengan didikan
dan harus dimulai sejak dini dan berulang-ulang. Ayat 7 ini dipakai sebagai
fondasi kurikulum pendidikan Kristen.
d. Ayat
8-9 ("Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan
haruslah itu menjadi lambang dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada
tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.")
3.
Pentingnya Pengajaran Dalam Perjanjian Lama
a.
Latar Belakang Kitab Ulangan
Sebelum memahami keunikan Ulangan 6: 4-9, sebaiknya
kita terlebih dahulu mamahami latar belakang dan keunikan Kitab Ulangan itu
sendiri.
1. Kitab
Ulangan adalah salah satu kitab yang ditulis oleh Musa dengan tujuan
mengingatkan orang Israel akan kesetiaan Allah dan untuk mendorong mereka agar
mengasihi Tuhan dengan segenap hati mereka.
2. Dalam
kitab ini Musa sedang berhadapan dengan generasi baru yang dipersiapkan untuk
memasuki tanah Perjanjian.
3. Generasi
baru ini ditantang oleh Musa untuk sungguh-sungguh mentaati syarat-syarat
Perjanjian Sinai dan mengikut Tuhan dengan segenap hati mereka. Kitab Ulangan
juga memiliki struktur dan bentuk sastra yang unik. Lasor dan rekan-rekannya
mengatakan bahwa Kitab Ulangan merupakan bagian dari amanat Musa yang berbentuk
pidato atau khotbah.
4. Melihat
akan latar belakang dan keunikan strukturnya dapat disimpulkan bahwa kitab
Ulangan berisikan ketetapan-ketetapan dan nasehat-nasehat yang penting dan yang
harus dilakukan oleh orang Israel dan keturunannya. Secara khusus posisi
Ulangan 6 ditempatkan sebagai ketetapan- ketetapan yang berkaitan dengan 10
perintah Allah dengan penekanan utama pada perintah mengasihi Allah yang Esa
dengan sepenuh hati, jiwa dan kekuatan.
2. Keunikan Ulangan 6: 4-9 Dalam Pendidikan Anak
Bangsa Israel.
Ulangan 6:4-9 didahului dengan perintah Allah agar
bangsa Israel melakukan dan memegang teguh segala perintah dan peraturan yang
Allah berikan dengan disertai janji berkat jika mereka setia melakukannya.
(ayat 1-3). Perintah ini diberikan dalam kaitan dengan persiapan mereka
memasuki Kanaan (ayat 3). Tujuan perintah ini diberikan adalah supaya bangsa
Israel melakukannya ketika mereka masuk dan hidup di tanah Perjanjian. Selain
itu, Ulangan 6:4-9 juga merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan
bangsa Israel, karena berkaitan dengan perintah “syema” yang juga harus
diajarkan kepada seluruh anggota keluarga termasuk anak-anak.. Dalam tradisi
Yahudi kata “syema” disebut sebagai “the fudamental truth of Israel’s religion”
and “ the fudamental duty founded upon it”
Lebih lanjut, Robert R. Boehlke mengatakan bahwa
perintah “syema” dalam Ulangan 6:4-9 merupakan suatu patokan bagi keluarga
Yahudi yang harus dilaksanakan,.... “Syema” merupakan merupakan inti dari
pengakuan iman bangsa Israel. Dalam perkambangan berikutnya “syema” menjadi
bagian penting bagi kehidupan bangsa Israel dan menjadi dasar bagi pendidikan
kepada anak-anak mereka.3
b. Pentingnya Pendidikan Anak Menurut Ulangan
6:4-9
Melalui bagian ini kita dapat menemukan beberapa
prinsip penting yang mendasari pentingnya pendidikan anak.
1. Pendidikan Harus Berkaitan Dengan “[m;v.” =
Syema”( 6:4).
Ayat 4 diawali dengan kata perintah “ dengarlah
([m;v = syema)”. Kata “syema dengarlah)” sudah muncul dalam Ulangan 5:1 sebagai
pengantar dari bagian yang berbicara mengenai 10 hukum Allah. Dalam tradisi
Yudaisme Ulangan 6:4 ini menjadi suatu pengakuan iman yang wajib diucapkan tiap
pagi dan tiap malam (bnd. ayat 7) . Perintah “syema” ini berkaitan erat dengan
pernyataan “pengakuan bahwa Allah itu Esa” yang merupakan kebenaran yang
fundamental bagi agama Israel dan sikap mereka kepada Allah.
Kata “esa (dx\a,=ekhad)” yang dikaitkan dengan
perintah “syema” bukan hanya mengatakan tentang “keunikan” Allah tetapi juga
“kesatuan (unity)” Allah. Secara lengkap instruksi syema berbunyi : Dengarlah,
hai orang Israel : Tuhan itu Allah yang Esa ! Kasihilah Tuhan Allahmu dengan
segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. “Ini
menyatakan bahwa Allah tidak dapat dibandingkan dengan apapun. Hanya Dia
satunya-satunya Allah yang berdaulat dan harus menjadi satu-satunya obyek
ibadah, ketaatan dan kasih dari umat-Nya. Oleh karena Allah adalah Esa, maka
Israel harus mengasihi Yahweh sebagai Allahnya dengan sepenuh hati, jiwa dan
kekuatannya.
“Syema ([m;v.)” adalah inti dari instruksi agama yang
diberikan di dalam rumah. Bersama dengan “syema” anak-anak diajarkan perintah
untuk hidup yang benar dan merupakan tanggung jawab ayah untuk menjelaskan
makna dari perintah-perintah itu dengan menceritakan sejarah bangsa Israel.
(Ulangan 6:20-25). Syema merupakan ungkapan keyakinan iman (kredo) yang harus
diperhatikan dan dilakukan dengan serius. Sementara itu, Von Rad mengatakan
bahwa “syema” dalam Ulangan 6: 4 dapat disebut sebagai dogma fundamental dari
Perjanjian Lama yang disebut oleh Tuhan Yesus sebagai yang paling penting dari
semua hukum.
Tujuan utama pendidikan dalam Perjanjian Lama adalah
membawa bangsa Israel beserta seluruh keturunannya mengenal Allah dan
mengasihi-Nya serta hidup benar dihadapan-Nya. Sebagaimana dikatakan Andrew
Hill bahwa kehidupan bangsa Isarel tidak lepas dari pengenalan dan ketaatanya
kepada hukum Allah. Itulah sebabnya salah satu mandat penting bangsa Isarel
adalah pendidikan yang bertujuan dengan rajin mengajarkan anak-anak mereka agar
mengasihi Allah dan mengenal serta mentaati 10 hukum Allah dan segala
peraturannya.
Pola pendidikan dengan instruksi “syema” ini
mengajar seluruh bangsa Israel beserta keturunannya supaya mengetahui dan
mengakui bahwa hanya ada “satu Allah” yang patut disembah yaitu “Allah Yahweh”;
Allah Yang Esa dan Allah yang telah mengikat perjanjian dengan Abraham dan
keturunannnya. Allah ingin bangsa Israel beserta segala keturunannya hanya
menyembah dan mengasihi Dia; tidak ada yang lain. Seluruh tujuan pendidikan
Israel ialah menjadikan mereka hidup kudus dan menerapkan ajaran agama dalam
kehidupan praktis.
2. Pendidikan Harus Diberikan Dengan Bertanggung
Jawab. (ayat 7)
Begitu pentingnya instruksi “syema” bagi kehidupan
bangsa Israel, maka hal itu harus dilakukan dengan serius. Keseriusan dalam melakukan
dan mengajarkan “syema” dapat dilihat dari beberapa metode yang harus
dilakukan.
a. “ Harus Diajarkan Secara Berulang-ulang
“!nv=syanan”
Kata “!nv=syanan” dapat diartikan sebagai
“mengajarkan kata-kata yang penting dengan tekun/berulang-ulang/dengan sejelas
mungkin”. Sementara itu J. I. Packer, mengatakan bahwa frase “mengajarkan
berulang-ulang” berasal dari sebuah kata Ibrani yang biasanya mengacu kepada
hal menajamkan sebuah alat atau mengasah sebuah pisau. Apa yang dilakukan batu
asah untuk mata pisau , demikian pula pendidikan untuk anak. Itulah sebabnya
NIV menterjemahkan “impress them on your children.4
Sedangkan LAI menterjemahkan dengan “ mengajarkannya
berulang-ulang”5 Penekanan pentingnya mengajarkan dengan mengulang bertujuan
agar mereka dapat mengingat, memahami dengan jelas dan melakukannya.
b. “Harus Diajarkan Dalam Setiap Kesempatan”
Keseriusan di dalam mengajarkan “syema” selain
diulang-ulang juga harus dilaksanakan setiap waktu dan disetiap tempat.
Kalimat,” membicarakannya apabila engkau duduk dirumahmu, dalam perjalanan,
berbaring maupun bangun” menunjukkan betapa seriusnya pengajaran “syema” ini.
Dalam hal ini tepatlah yang dikatakan Robert R. Boehlke bahwa ruang lingkup
pendidikan Yahudi, bukan satu usaha sambilan saja, yang hanya dilaksanakan
dalam salah satu sudut kehidupan saja, melainkan bagian inti dari kehidupan
sehari-hari yang lazim dilakukan. Dimanapun ada kesempatan maka “syema” harus
di ajarkan. 6
c. Harus Diajarkan Dengan Prinsip Keteladanan (ayat
16-19)
Selain mengajar dengan berulang-ulang, orang tua
dituntut untuk melakukan terlebih dahulu apa yang Tuhan inginkan (Ulangan 6:
16-19). Pada bagian ini Musa menyampaikan kepada orang tua bahwa ada dua cara
dasar untuk mengajar anak mereka yakni instruksi yang bersifat formal
(mengajar) dan informal. Melalui instruksi formal mereka harus mengajar tentang
kebenaran. Sedangkan melalui instruksi informal mereka mengajar dengan menjadi
teladan dalam menjalankan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari. Keduanya sama
pentingnya.
Namun, bagian ini lebih menekankan pada instruksi
informal atau gaya hidup sekari-hari. Orang tua harus mengajar dengan menjadi
teladan yang baik di dalam kehidupannya sehari-hari. Tujuan dari metode
pendidikan seperti ini adalah untuk mengajar bangsa Israel beserta keturunannya
agar sungguh-sungguh mengingat karya dan perintah Tuhan. Tuhan menginginkan
agar mereka sungguh-sungguh mengasihi-Nya dengan segenap hati, jiwa dan
kekuatannya, secara khusus ketika mereka memasuki Kanaan (Ulangan 6:12-25). Melalui
metode pendidikan dengan instruksi “syema” ini menunjukkan bahwa Allah sangat
memperhatikan tentang pentingnya pendidikan dan bagaimana proses pendidikan itu
dapat diberikan dengan benar dan bertanggung jawab.
3. Pendidikan Harus Diberikan Sejak Anak-anak (6:7;
20-25)
Dalam bagian ini ada 2 kali penekanan pentingnya
pendidikan diberikan kepada anak-anak. Dalam ayat 7 perintah “syema” harus
diberikan kepada “anak-anak” mereka yaitu dengan “mengajarkannya
berulang-ulang”. Hal ini ditekankan kembali dalam ayat 20-21 agar orang tua
siap mengajarkan tentang siapakah Allah dan karya-Nya bagi bangsa Israel kepada
anak-anak mereka. Sejak awal masa anak-anak , seorang anak laki-laki telah
belajar sejarah Israel. Anak-anak belajar bahwa bangsa Israel telah mengikat
perjanjian dengan Allah, Perjanjian itu menempatkan batasan-batasan tertentu
pada mereka. Mereka mempunyai tanggung jawab terhadap Allah karena Allah telah
menebus mereka. Pendidikan iman kepercayaan mereka dalam hubungan dengan Allah
Yahweh menjadi hal yang sangat penting untuk diajarkan dan dilakukan.
Pada hakekatnya seorang ayah Israel bertanggung
jawab atas pendidikan anak-anaknya; tetapi para ibu juga memainkan peranan yang
amat penting, terutama sampai anak mereka mencapai usia lima tahuan. Selama
tahun-tahun pertumbuhan itu, sang ibu seharusnya membentuk masa depan
anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Ini menunjukkan bahwa Allah
bukan hanya memerintahkan pentingnya orang tua Israel mengajarkan kepada
anak-anak mereka hidup mengasihi-Nya tetapi juga memperhatikan pentingnya masa
anak-anak. Allah menginginkan agar anak-anak belajar bahwa bangsa Israel telah
mengikat perjanjian dengan Dia. Sebagai bangsa yang terikat perjanjian dengan
Allah, maka mereka harus hidup bertanggung jawab kepada Allah dan mengasihi
Allah karena Ia telah menebus mereka.
Dalam perkembangannya, pentingnya pendidikan sejak
anak-anak ini dikaitkan dengan pengaruhnya terhadap masa depan mereka (bnd.
Amsal 22:6). Dalam kehidupan bangsa Israel kehidupan mereka sangat ditentukan
oleh hubungan dan sikap mereka terhadap Allah. Sebagai umat Allah maka berhasil
tidaknya kehidupan mereka sangat ditentukan oleh ketaatan mereka kepada Allah.
Jika mereka taat akan mendapatkan berkat,jika tidak taat akan mendapatkan
kutuk. Realita ini nampak dengan jelas di sepanjang perjalanan bangsa Israel
yang telah diungkapkan dalam Perjanjian Lama. Itulah sebabnya, pendidikan yang
diberikan kepada anak-anak selalu mencakup pelajaran agama dan dilengkapi
dengan pelatihan dalam berbagai ketrampilan yang akan mereka perlukan dalam
kehidupan sehari-hari.
4. Pendidikan Adalah Tanggung Jawab Orang Tua (ayat
7)
Kalimat dalam ayat 7 “haruslah engkau mengajarkannya
berulang-ulang kepada anak-anakmu” dan dalam ayat 21 “maka haruslah engkau
menjawab anakmu..” menunjukkan bahwa orang tua memiliki tugas dan tanggung
jawab dalam pendidikan anak-anak mereka. Oleh karena perintah ini berkiatan
dengan instruksi syema, maka orang tua pertama-tama bertanggung jawab atas
pendidikan rohani anak-anak mereka. Ini merupakan tugas yang sangat mendasar
dan penting untuk dilakukan orang tua kepada anak-anaknya. Orang tua dianggap
yang paling bertangung jawab dalam pendidikan anak-anak oleh karena mereka
adalah orang yang terdekat. Sebagaimana dikatakan oleh J. I. Packer bahwa Allah
memakai manusia untuk mengajarkan Taurat kepada bangsa Israel—seperti Musa,
para imam dan para nabi. Murid-murid mereka adalah orang dewasa dari bangsa
Israel, yang kemudian mereka bertanggung jawab untuk meneruskan kepada
anak-anak mereka.
Sebagian
besar pendidikan dilakukan oleh orang tua, tidak ada ruang kelas atau kurikulum
yang tersusun. Peran orang tua yang pada mulanya mendidik anak-anak dalam
bidang agama berkembang dengan mengikut sertakan pendidikan dalam bidang
ketrampilan-ketrampilan khusus. Anak-anak Israel juga diajarkan
keahlian-keahlian yang mereka perlukan agar menjadi orang yang berhasil di
dalam komunitasnya.
Bangsa
Israel adalah sebuah masyarakat petani; banyak hikmat praktis yang diturunkan
dari ayah kepada anak-anak laki-laki adalah mengenai bertani. Selain itu, para
ayah juga bertanggung jawab untuk mengajar anak laki-lakinya sebuah kejuruan
dan ketrampilan. Misalnya, apabila sang ayah adalah tukang periuk, ia mengajar
ketrampilan itu kepada anak laki-laki. Sementara anak laki-laki belajar
ketrampilan ini, anak-anak perempuan belajar membakar roti, memintal dan
menenun di bawah pengawasan ibunya. (Keluaran 35:25-26; band. II Samuel13:8).
Apabila tidak ada anak laki-laki dalam keluarga, anak-anak perempuan mungkin
harus belajar pekerjaan ayahnya Kejadian29:6; Keluaran 2:1625 Secara khusus,
anak laki-laki Yahudi disamping membaca Kitab Suci , juga mendapat pelajaran
tatakrama, musik, cara bertempur, dan pengetahuan praktis lainnya.26
Pola
pengajaran atau pendidikan semacam ini merupakan bagian penting dalam sepanjang
zaman Alkitab. Peranan orang tua terus menjadi hal yang penting meskipun
pendidikan formal sudah ada. Ini membawa kita kepada pemahaman bahwa Allah
sangat memperhatikan pentingnya pendidikan anak dan pentingnya peranan orang
tua dalam pendidikan anak. Allah memilih keluarga untuk menjadi tempat
berlangsungnya proses pembentukan diri anak.
Dalam
hal ini tepatlah yang dikatakan Gary J. Oliver mengatakan bahwa Ulangan 6
merupakan bagian Alkitab yang menjelaskan bahwa Allah merancang keluarga
sebagai wadah untuk mengajarkan (malalui pendidikan formal) dan menunjukkan
(melalui teladan hidup) realitas pribadi Allah yang hidup.27
B.
Kontek Pendidikan Kristen Dalam Perjanjian Baru
1.
Pengajaran Agama Dalam PB
Apabila
kita hendak menyelidiki soal pendidikan agama dalam hubungan Perjanjian Baru,
tentu saja pertama-tama dan khususnya kita harus mengarahkan pandangan kita
kepada Tuhan Yesus sendiri. Di samping jabatan-Nya sebagai Penebus dan
Pembebas, Tuhan Yesus juga menjadi seorang Guru yang agung. Keahlian-Nya
sebagai seorang guru umumnya diperhatikan dan dipuji oleh rakyat Yahudi; mereka
dengan sendirinya menyebut Dia "Rabbi". Ini tentu suatu gelar
kehormatan, yang menyatakan betapa Ia disegani dan dikagumi oleh-orang
sebangsanya sebagai seorang pengajar yang mahir dalam segala soal ilmu
keTuhanan. Sebab Ia mengajar mereka "sebagai orang yang berkuasa, tidak
seperti ahli-ahli Taurat yang biasa mengajar mereka" (Mat 7:29).
Tuhan
Yesus mengajar di mana saja: di atas bukit, dari dalam perahu, di sisi orang
sakit, di tepi sumur, di rumah yang sederhana dan di rumah orang kaya, di depan
pembesar-pembesar agama dan pemerintah, bahkan sampai di kayu palang sekalipun.
Tuhan Yesus tidak memerlukan sekolah atau gedung tertentu. Tiap-tiap keadaan
dan pertemuan dipergunakan-Nya untuk memberitakan Firman Allah.
Tuhan
Yesus dalam pengajaran-Nya tidak terikat pula pada waktu tertentu. Siang-malam,
pada setiap saat Ia bersedia menerangkan jalan keselamatan dan Kerajaan Sorga yang
telah datang itu kepada siapa saja yang ingin belajar kepada-Nya.
Yang
menjadi tujuan pengajaran Tuhan Yesus itu bukanlah untuk membahas berbagai
pokok agama dan susila secara ilmiah atau secara teori saja, melainkan untuk
melayani tiap manusia yang datang kepada-Nya. Setiap orang itu dikenal-Nya, dan
dipahami-Nya masalah yang dipergumulkan orang itu.
Cara
mengajar-Nya sangat istimewa pula. Biasa-Nya Tuhan Yesus tidak membentangkan
sesuatu ajaran dengan menyuruh orang mempercayai itu, tetapi Ia mendorong
mereka berpikir sendiri dan menarik kesimpulannya sendiri atas apa yang telah
dijelaskan-Nya kepada mereka. Ia tak selalu mencapai hasil-Nya, karena sering
kali para pendengar-Nya mengeraskan hati, tetapi tentu Ia senantiasa menyatakan
Diri sebagai seorang Guru yang tak ada taranya, karena Ia sendiri adalah
Kebenaran.
Banyak
metode yang dipakai-Nya, dan segala metode itu masih penting dan perlu
dipelajari oleh segala guru agama masa kini. Adakalanya Tuhan Yesus bercerita.
Sering Ia memakai perumpamaan. Acap pula Ia mengemukakan pertanyaan-pertanyaan
yang kemudian menjadi bahan pengajaran-Nya. Kadang-kadang suatu percakapan
biasa berkembang menjadi pengajaran yang indah. Tetapi bukan dengan
perkataan-Nya saja Tuhan Yesus mengajar. Tapi juga dengan mempraktekkan apa
yang dimaksudkan-Nya, seperti tatkala Ia memeluk anak-anak dan memberkati
mereka, itu menjadi teguran pada murid-Nya, atau ketika Ia membasuh kaki mereka
untuk mengajar mereka supaya rendah hati.
Bahkan
seluruh kehidupan Tuhan Yesus sendiri merupakan pengajaran sampai saat yang
terakhir, karena justru dalam sengsara dan kematian-Nya Ia mengajar kita
tentang satu-satunya jalan keselamatan bagi manusia yang berdosa. Di atas bukit
Golgota, Ia menyuguhkan segala pengajaran-Nya dengan pengorbanan diri-Nya
sendiri.
Rasul
Paulus juga seorang guru yang ulung. Ia benar-benar tokoh penting di lapangan
pendidikan agama. Paulus sendiri dididik untuk menjadi seorang rabbi bagi
bangsanya. Ia mahir dalam pengetahuan akan Taurat, dan ia dilatih untuk mengajar
orang lain tentang agama kaum Yahudi.
Setelah
Yesus memasuki hidupnya, Paulus menjadi seorang hamba Tuhan yang terdorong oleh
hasrat yang berapi-api untuk memashurkan nama Tuhan Yesus itu. Ke mana pun
Paulus pergi, segala kesempatan dipergunakannya untuk mengajar orang Yahudi dan
kaum kafir tentang kehidupan bahagia yang terdapat dalam Injil Yesus Kristus.
Paulus berkhotbah di hadapan imam-imam dan rabi-rabi Yahudi, dan di hadapan
rakyat jelata di segala kota dan desa yang dikunjunginya. Ia mengajar raja-raja
dan wali-wali negeri, orang cendekiawan dan kaum budak, orang laki-laki dan
kaum wanita, orang Asia, orang Yunani, orang Romawi, singkat kata, segala
golongan manusia telah ditemuinya pada perjalanannya yang banyak dan panjang
itu.
Paulus
berkeyakinan kuat dan beriman teguh. Selalu ia siap sedia untuk bertukar
pikiran, mengajar, menegur dan mengajak. Pasti ia seorang ahli pidato yang
besar bakatnya. Meskipun tidak tampan raut muka dan perawakannya, tetapi
khotbahnya penuh semangat dan isinya jelas, sehingga membuat kagum
pendengarnya. Kadang banyak orang merasa sangat tersinggung, tetapi banyak pula
yang segera ditawan oleh kuasa bahasanya.
Paulus
mengajar di rumah-rumah tempat ia menumpang, di gedung-gedung yang disewanya,
di lorong-lorong kota atau di padang-padang, di atas loteng dan dalam
bengkelnya, di pasar dan dalam kumpulan kaum filsuf. Tak ada tempat yang
dianggapnya kurang layak untuk menyampaikan beritanya tentang Juruselamat
dunia.
Rasul
Paulus juga banyak mengajar melalui surat-surat. Segala soal dan kesulitan yang
muncul dalam jemaat-jemaat yang didirikannya itu, ataupun yang timbul di antara
kaum Kristen yang belum dikunjunginya, semua itu dipakainya untuk menguraikan
pokok-pokok kepercayaan atau kesusilaan Kristen yang bersangkutan dengan hal
itu. Kebiasaannya itu sungguh menguntungkan seluruh umat Kristen di kemudian
hari. Bukankah surat-surat Paulus itu sampai sekarang merupakan pengajaran yang
tak ternilai harganya bagi sekalian orang Kristen di segala tempat?
Sejak
mulai berdirinya, jemaat Kristen telah menjunjung pengajaran agama. Seperti
diketahui, orang-orang Kristen muda itu mula-mula masih berpaut kepada adat
agama Yahudi, tetapi lambat laun mereka mengembangkan perkumpulannya sendiri.
Di dalam perkumpulan itu mereka berdoa, berbicara tentang pengajaran dan
perbuatan-perbuatan Tuhan Yesus Kristus, makan sehidangan dan merayakan
Perjamuan Suci. Mereka yakin bahwa sejak turunnya Roh Kudus jemaat mereka
merupakan Israel baru. Yesus Kristus telah menciptakan Israel baru itu dengan
Roh-Nya sendiri. Sekarang mereka berdiri dalam dunia ini dengan keadaan baru
dan dengan tugas yang baru pula.
Akibatnya
ialah mereka mulai berkhotbah dan mengajar, supaya banyak orang lain juga dapat
percaya pada Yesus sebagai Penebus dan Tuhan. Segala orang yang bertobat dan
mau bergabung dengan jemaat Kristen itu, dididik dengan seksama. Di dalam dan
di luar kebaktian, mereka belajar tentang Diri dan pekerjaan Juruselamat itu,
dan lagi tentang panggilan dan tugas seorang Kristen dalam dunia ini.
Jemaat-jemaat muda itu mempelajari nubuat-nubuat para nabi zaman dulu mengenai
Yesus Kristus, dan mereka asyik membaca surat-surat yang diterimanya dari rasul
Paulus dan pemimpin gereja lain. Mereka menganggap dirinya sebagai suatu
persekutuan suci, seperti Israel dulu, tetapi dengan mengaku Yesus Kristus
selaku Raja, Nabi dan Imam satu- satunya.
Kerajinan
dan kesetiaan Israel dalam menjalankan pendidikan agama diturutinya pula, hanya
perbedaannya sekarang, Taurat bukan lagi menjadi dasar dan pusat pendidikan
itu, melainkan Yesus Kristus. Dengan demikian jemaat purba itu mengajarkan
agama Kristen di dalam rumah-rumahnya, kepada tetangganya, di dalam kebaktian
dan kumpulannya, bahkan kepada siapa saja yang suka mendengarkan berita
kesukaan yang mereka siarkan.
2.
Penjanjian baru mementing Pengajaran Agama
Dari
uraian yang pendek ini kita dapat segera menarik kesimpulan bahwa agama Kristen
itu adalah suatu agama yang sangat mementingkan pendidikan Agama. Agama kita
yakini dan segenap penganutnya sekali- kali tak boleh melupakan
perbuatan-perbuatan yang Mahabesar, yang telah dilakukan Tuhan Allah bagi
mereka di dalam Yesus Kristus. Anggota-anggota Gereja, baik orang dewasa maupun
anak-anak kecil, semuanya wajib mempelajari pekerjaan Tuhan yang telah mendatangkan
keselamatan itu. Peristiwa-peristiwa yang agung itu harus diajarkan,
diterangkan dan dipercaya, sehingga setiap orang yang mengakui Yesus Kristus
sebagai Juruselamat, meninggalkan manusia lamanya dan dan menjadi ciptaan baru
di dalam Dia. Jika itu dilakukan, maka Gereja Kristen di dunia ini akan menjadi
suatu terang, yang dapat menunjukkan jalan keselamatan kepada banyak orang lain
pula.
Sejak
zaman Perjanjian Baru, jemaat Kristen sangat mementingkan Pengajaran agama.
Tugas mengajar itu memang diserahkan khusus kepada kaum guru yang telah
mempunyai karunia dan latihan istimewa untuk pekerjaan yang mulia itu, tetapi
seluruh jemaat tetap mendukung dan mendoakan mereka. Mulai dari abad pertama
tarikh Masehi, pendidikan agama Kristen menyiapkan orang untuk masuk ke dalam
persekutuan jemaat Kristus, dan setelah disambut dalam jemaat itu mereka
dididik terus supaya dapat semakin berakar dalam pengetahuan dan pengenalan
yang mendalam tentang Yesus Kristus, Kepala Gereja itu.
3.
Prinsip-Prinsip Pengajaran Tuhan Yesus
Perjanjian Baru memuat banyak prinsip yang dipakai
Tuhan Yesus dalam mendidik murid-murid-Nya. Semua prinsip Tuhan Yesus dalam
pengajaranNya masih sangat cocok untuk diterapkan pada pendidikan Kristen untuk
anak-anak didik zaman ini.
Beberapa prinsip yang Tuhan Yesus pengajaranNya
yaitu :
a. Tuhan
Yesus mengajar melalui hidup dan perbuatan-Nya.
Segala
kelakuan-Nya sesuai dengan kehendak Allah dan menyatakan kasih dan kebenaran
Allah kepada murid-murid-Nya. Tiap orang yang datang kepada-Nya mendapat
perhatian-Nya. Dengan penuh kasih Ia menolong yang memerlukan pertolongan-Nya.
Ia tidak segan melawan segala sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendak Allah.
Contoh yang konkrit dalam hidup seorang guru selalu lebih mengesankan daripada
segala kata yang diucapkannya.
b. Tuhan
Yesus memakai pengalaman pendengar-pendengar-Nya untuk mengajar mereka.
Sebagai
dasar untuk ajaran yang baru, Ia menyebut hal-hal yang lazim dialami tiap
orang, peristiwa-peristiwa dari hidup sehari- hari yang pasti akan dimengerti
oleh setiap pendengar-Nya. Umpamanya menanam benih (Matius 13:1-9), memasang
lampu (Matius 5:15-16), mencari sesuatu yang hilang (Lukas 15:1-10). Hal-hal
seperti itu dapat dimengerti, dan juga akan mengingatkan mereka kepada ajaran
itu tiap kali mereka melakukannya lagi.
c. Tuhan
Yesus terkadang menunjukkan obyek-obyek yang konkrit untuk dilihat.
Ia
memakai mata uang (Matius 12:13-17), burung di udara dan bunga-bungaan di
padang (Matius 6:25-34) yang kelihatan di mana- mana sehingga akan mengingatkan
pendengar-Nya akan ajaran-Nya tiap kali mereka melihat barang itu kelak.
d. Tuhan
Yesus memakai cerita yang tepat dan sederhana untuk mengajar.
Cerita-cerita
berupa perumpamaan dan perbandingan yang sangat mengesankan dipakai-Nya utuk
memikat perhatian orang dan menekankan kebenaran. Cerita-cerita itu sering
dipakai-Nya untuk menjawab pertanyaan dan pendengar-Nya diajak berpikir sendiri
mengenai maksud dan arti cerita itu (misalnya Lukas 10:25-37 dan 12:13-21).
Cerita yang mengesankan tak akan terlupakan, sehingga ajaran yang terdapat di
dalamnya makin mendalam bagi pendengarnya.
e. Tuhan
Yesus menyatakan motif-motif yang kuat untuk menerima ajaran-Nya.
Tiap
manusia cenderung menaruh perhatian besar pada kepentingan dirinya sendiri. Apa
saja yang akan menolongnya untuk mencapai tujuannya, akan menarik perhatiannya.
Tuhan Yesus selalu menunjukkan hubungan antara ajaran yang diberikan-Nya dengan
kebutuhan yang sedang digumuli oleh para pendengar-Nya (misalnya Matius
11:28-29 dan Yohanes 11:25-26). Tetapi perhatikanlah: Persaingan atau harapan
untuk memperoleh sesuatu yang berharga dalam dunia materi tak pernah
dipakai-Nya sebagai motif untuk menerima ajaran-Nya.
f. Tuhan
Yesus selalu mengaktifkan pendengar-pendengar-Nya.
Ia
mengajak mereka bersoal-jawab; Ia mengajukan kepada mereka
pertanyaan-pertanyaan yang mendorong mereka untuk berpikir menemukan jawaban
yang tepat. Ia memberikan kesempatan untuk berbuat sesuatu; murid-murid diajak
memberi makan orang banyak (Matius 14:16-19). Mereka ditugaskan pergi
meneruskan ajaran yang telah disampaikan-Nya kepada mereka (Lukas 10:1-9). Kita
belajar jauh lebih banyak lewat apa yang kita lakukan daripada yang hanya kita
dengarkan.
g. Tuhan
Yesus selalu memberikan kepada pendengar-Nya tanggung jawab untuk mengambil
keputusan secara pribadi.
Dengan
jelas Ia menunjukkan akibat dari pilihan yang tepat dan yang tidak tepat.
Tanggung jawab untuk memilih diserahkan sepenuhnya pada tiap pendengar-Nya. Ia
tidak menyuruh mereka menghafalkan apa yang dikatakan-Nya dan taat secara
mutlak tanpa berpikir. Sebaliknya, Ia mendorong mereka untuk berpikir sendiri
dan mengambil keputusan dengan penuh kesadaran mengenai akibat pilihannya,
yakin untuk mengikuti-Nya atau tidak. Ketaatan yang dipaksakan atau dilakukan
tanpa pikir bukanlah ketaatan sejati. Keputusan yang sah ialah keputusan yang
diambil dengan penuh pengertian dan kerelaan.
• 1. Penuntun Guru PAK Sekolah Minggu dan Sekolah
Dasar: 1 dan 2, Dr. Leatha Humes dan Ny. A. Lieke Simanjuntak, , halaman 23 -
24, PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1988.
Pendidikan
Kristen dalam Perjanjian Baru
TUHAN
YESUS
Apabila
kita hendak menyelidiki soal pendidikan agama dalam hubungan Perjanjian Baru,
tentu saja pertama-tama dan khususnya kita harus mengarahkan pandangan kita
kepada Tuhan Yesus sendiri. Di samping jabatan-Nya sebagai Penebus dan
Pembebas, Tuhan Yesus juga menjadi seorang Guru yang agung. Keahlian-Nya
sebagai seorang guru umumnya diperhatikan dan dipuji oleh rakyat Yahudi; mereka
dengan sendirinya menyebut Dia "Rabbi". Ini tentu suatu gelar
kehormatan, yang menyatakan betapa Ia disegani dan dikagumi oleh-orang
sebangsanya sebagai seorang pengajar yang mahir dalam segala soal ilmu
keTuhanan. Sebab Ia mengajar mereka "sebagai orang yang berkuasa, tidak
seperti ahli-ahli Taurat yang biasa mengajar mereka" (Mat 7:29).
Tuhan
Yesus mengajar di mana saja: di atas bukit, dari dalam perahu, di sisi orang
sakit, di tepi sumur, di rumah yang sederhana dan di rumah orang kaya, di depan
pembesar-pembesar agama dan pemerintah, bahkan sampai di kayu palang sekalipun.
Tuhan Yesus tidak memerlukan sekolah atau gedung tertentu. Tiap-tiap keadaan
dan pertemuan dipergunakan-Nya untuk memberitakan Firman Allah.
Tuhan
Yesus dalam pengajaran-Nya tidak terikat pula pada waktu tertentu. Siang-malam,
pada setiap saat Ia bersedia menerangkan jalan keselamatan dan Kerajaan Sorga
yang telah datang itu kepada siapa saja yang ingin belajar kepada-Nya.
Yang
menjadi tujuan pengajaran Tuhan Yesus itu bukanlah untuk membahas berbagai
pokok agama dan susila secara ilmiah atau secara teori saja, melainkan untuk
melayani tiap manusia yang datang kepada-Nya. Setiap orang itu dikenal-Nya, dan
dipahami-Nya masalah yang dipergumulkan orang itu.
Cara
mengajar-Nya sangat istimewa pula. Biasa-Nya Tuhan Yesus tidak membentangkan
sesuatu ajaran dengan menyuruh orang mempercayai itu, tetapi Ia mendorong
mereka berpikir sendiri dan menarik kesimpulannya sendiri atas apa yang telah
dijelaskan-Nya kepada mereka. Ia tak selalu mencapai hasil-Nya, karena sering
kali para pendengar-Nya mengeraskan hati, tetapi tentu Ia senantiasa menyatakan
Diri sebagai seorang Guru yang tak ada taranya, karena Ia sendiri adalah
Kebenaran.
Banyak
metode yang dipakai-Nya, dan segala metode itu masih penting dan perlu
dipelajari oleh segala guru agama masa kini. Adakalanya Tuhan Yesus bercerita.
Sering Ia memakai perumpamaan. Acap pula Ia mengemukakan pertanyaan-pertanyaan
yang kemudian menjadi bahan pengajaran-Nya. Kadang-kadang suatu percakapan
biasa berkembang menjadi pengajaran yang indah. Tetapi bukan dengan
perkataan-Nya saja Tuhan Yesus mengajar. Tapi juga dengan mempraktekkan apa
yang dimaksudkan-Nya, seperti tatkala Ia memeluk anak-anak dan memberkati
mereka, itu menjadi teguran pada murid-Nya, atau ketika Ia membasuh kaki mereka
untuk mengajar mereka supaya rendah hati.
Bahkan
seluruh kehidupan Tuhan Yesus sendiri merupakan pengajaran sampai saat yang
terakhir, karena justru dalam sengsara dan kematian-Nya Ia mengajar kita
tentang satu-satunya jalan keselamatan bagi manusia yang berdosa. Di atas bukit
Golgota, Ia menyuguhkan segala pengajaran-Nya dengan pengorbanan diri-Nya
sendiri.
PAULUS
Rasul
Paulus juga seorang guru yang ulung. Ia benar-benar tokoh penting di lapangan
pendidikan agama. Paulus sendiri dididik untuk menjadi seorang rabbi bagi
bangsanya. Ia mahir dalam pengetahuan akan Taurat, dan ia dilatih untuk
mengajar orang lain tentang agama kaum Yahudi.
Setelah
Yesus memasuki hidupnya, Paulus menjadi seorang hamba Tuhan yang terdorong oleh
hasrat yang berapi-api untuk memashurkan nama Tuhan Yesus itu. Ke mana pun
Paulus pergi, segala kesempatan dipergunakannya untuk mengajar orang Yahudi dan
kaum kafir tentang kehidupan bahagia yang terdapat dalam Injil Yesus Kristus.
Paulus berkhotbah di hadapan imam-imam dan rabi-rabi Yahudi, dan di hadapan
rakyat jelata di segala kota dan desa yang dikunjunginya. Ia mengajar raja-raja
dan wali-wali negeri, orang cendekiawan dan kaum budak, orang laki-laki dan
kaum wanita, orang Asia, orang Yunani, orang Romawi, singkat kata, segala golongan
manusia telah ditemuinya pada perjalanannya yang banyak dan panjang itu.
Paulus
berkeyakinan kuat dan beriman teguh. Selalu ia siap sedia untuk bertukar
pikiran, mengajar, menegur dan mengajak. Pasti ia seorang ahli pidato yang
besar bakatnya. Meskipun tidak tampan raut muka dan perawakannya, tetapi
khotbahnya penuh semangat dan isinya jelas, sehingga membuat kagum
pendengarnya. Kadang banyak orang merasa sangat tersinggung, tetapi banyak pula
yang segera ditawan oleh kuasa bahasanya.
Paulus
mengajar di rumah-rumah tempat ia menumpang, di gedung-gedung yang disewanya,
di lorong-lorong kota atau di padang-padang, di atas loteng dan dalam
bengkelnya, di pasar dan dalam kumpulan kaum filsuf. Tak ada tempat yang
dianggapnya kurang layak untuk menyampaikan beritanya tentang Juruselamat
dunia.
Rasul
Paulus juga banyak mengajar melalui surat-surat. Segala soal dan kesulitan yang
muncul dalam jemaat-jemaat yang didirikannya itu, ataupun yang timbul di antara
kaum Kristen yang belum dikunjunginya, semua itu dipakainya untuk menguraikan
pokok-pokok kepercayaan atau kesusilaan Kristen yang bersangkutan dengan hal
itu. Kebiasaannya itu sungguh menguntungkan seluruh umat Kristen di kemudian
hari. Bukankah surat-surat Paulus itu sampai sekarang merupakan pengajaran yang
tak ternilai harganya bagi sekalian orang Kristen di segala tempat?
JEMAAT
YANG MULA-MULA
Sejak
mulai berdirinya, jemaat Kristen telah menjunjung pengajaran agama. Seperti
diketahui, orang-orang Kristen muda itu mula-mula masih berpaut kepada adat agama
Yahudi, tetapi lambat laun mereka mengembangkan perkumpulannya sendiri. Di
dalam perkumpulan itu mereka berdoa, berbicara tentang pengajaran dan
perbuatan-perbuatan Tuhan Yesus Kristus, makan sehidangan dan merayakan
Perjamuan Suci. Mereka yakin bahwa sejak turunnya Roh Kudus jemaat mereka
merupakan Israel baru. Yesus Kristus telah menciptakan Israel baru itu dengan
Roh-Nya sendiri. Sekarang mereka berdiri dalam dunia ini dengan keadaan baru
dan dengan tugas yang baru pula.
Akibatnya
ialah mereka mulai berkhotbah dan mengajar, supaya banyak orang lain juga dapat
percaya pada Yesus sebagai Penebus dan Tuhan. Segala orang yang bertobat dan
mau bergabung dengan jemaat Kristen itu, dididik dengan seksama. Di dalam dan
di luar kebaktian, mereka belajar tentang Diri dan pekerjaan Juruselamat itu,
dan lagi tentang panggilan dan tugas seorang Kristen dalam dunia ini.
Jemaat-jemaat muda itu mempelajari nubuat-nubuat para nabi zaman dulu mengenai
Yesus Kristus, dan mereka asyik membaca surat-surat yang diterimanya dari rasul
Paulus dan pemimpin gereja lain. Mereka menganggap dirinya sebagai suatu
persekutuan suci, seperti Israel dulu, tetapi dengan mengaku Yesus Kristus
selaku Raja, Nabi dan Imam satu- satunya.
Kerajinan
dan kesetiaan Israel dalam menjalankan pendidikan agama diturutinya pula, hanya
perbedaannya sekarang, Taurat bukan lagi menjadi dasar dan pusat pendidikan
itu, melainkan Yesus Kristus. Dengan demikian jemaat purba itu mengajarkan
agama Kristen di dalam rumah-rumahnya, kepada tetangganya, di dalam kebaktian
dan kumpulannya, bahkan kepada siapa saja yang suka mendengarkan berita
kesukaan yang mereka siarkan.
Dari
uraian yang pendek ini kita dapat segera menarik kesimpulan bahwa agama Kristen
itu adalah suatu agama yang sangat mementingkan pendidikan Agama. Agama kita
yakini dan segenap penganutnya sekali- kali tak boleh melupakan
perbuatan-perbuatan yang Mahabesar, yang telah dilakukan Tuhan Allah bagi
mereka di dalam Yesus Kristus. Anggota-anggota Gereja, baik orang dewasa maupun
anak-anak kecil, semuanya wajib mempelajari pekerjaan Tuhan yang telah
mendatangkan keselamatan itu. Peristiwa-peristiwa yang agung itu harus
diajarkan, diterangkan dan dipercaya, sehingga setiap orang yang mengakui Yesus
Kristus sebagai Juruselamat, meninggalkan manusia lamanya dan dan menjadi
ciptaan baru di dalam Dia. Jika itu dilakukan, maka Gereja Kristen di dunia ini
akan menjadi suatu terang, yang dapat menunjukkan jalan keselamatan kepada
banyak orang lain pula.
Sejak
zaman Perjanjian Baru, jemaat Kristen sangat mementingkan pendidikan agama.
Tugas mengajar itu memang diserahkan khusus kepada kaum guru yang telah
mempunyai karunia dan latihan istimewa untuk pekerjaan yang mulia itu, tetapi
seluruh jemaat tetap mendukung dan mendoakan mereka. Mulai dari abad pertama
tarikh Masehi, pendidikan agama Kristen menyiapkan orang untuk masuk ke dalam
persekutuan jemaat Kristus, dan setelah disambut dalam jemaat itu mereka
dididik terus supaya dapat semakin berakar dalam pengetahuan dan pengenalan
yang mendalam tentang Yesus Kristus, Kepala Gereja itu.
Sumber:
Judul buku: Pendidikan Agama Kristen
Judul artikel: Pendidikan Kristen dalam Perjanjian
Baru
Penulis: Dr. E. G. Homrighausen dan Dr. I. H.
Enklaar
Penerbit: BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1993
Halaman: 16 -- 20Surat Kabar sering menempatkan
gambar kartun di tempat yang menarik perhatian pembaca, yaitu di halaman
editorial.
Seniman
menggoreskan garis-garis sederhana untuk membuat karikatur tentang situasi
politik, sosial, atau ekonomi yang sedang kita hadapi. Melalui karikatur
tersebut, ia dapat menyampaikan pesan yang begitu tajam dan tepat mengenai
sasaran. Ketajaman dan ketepatan karikatur itu tidak dapat ditandingi oleh
kefasihan bahasa seorang ahli bahasa.
Yesus
melukiskan gambaran verbal tentang dunia di sekitarnya melalui
perumpamaan-perumpamaan. Ia mengajar dengan menggunakan perumpamaan untuk
menggambarkan apa yang sedang terjadi dalam kehidupan nyata. Dia menggunakan
sebuah cerita yang diambil dari kehidupan sehari-hari. Ia mengajarkan
pengajaran baru dengan menggunakan cerita tentang keadaan yang sudah dikenal
dan diterima oleh pendengar-Nya. Pengajaran itu seringkali muncul di akhir
cerita dan mempunyai pengertian yang dalam sehingga membutuhkan waktu untuk
memahaminya. Ketika pendengar mendengar sebuah perumpamaan, ia akan
menyetujuinya karen a cerita itu biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan
ia dapat mengerti segala suatu yang diutarakan dalam perumpamaan terebut.
Sedangkan yang berkaitan dengan aplikasi dari perumpamaan itu, sekalipun bisa
didengar, tetapi aplikasinya tidak selalu dapat dimengerti. Kita dapat memahami
suatu cerita yang dibeberkan kepada kita, tetapi kita bisa saja tidak dapat
menangkap signifikansi dari cerita itu. [1] Kebenaran tetap tersembunyi sampai
mata kita dibukakan dan dapat melihat dengan jelas. Pada sa at itu barulah
pengajaran yang baru dari perumpamaan itu akan menjadi berarti. Hal itu
dikatakan oleh Yesus kepada murid-murid-Nya, "Kepadamu telah diberikan
rahasia Kerajaan Allah, tetapi kepada orang-orang luar segala sesuatu
disampaikan dalam perumpamaan" (Markus 4:11).
Bentuk-bentuk Perumpamaan
Kata
perumpamaan dalam Perjanjian Baru mempunyai konotasi yang luas, termasuk
bentuk-bentuk perumpamaan yang secara umum dibagi ke dalam tiga kategori. [2]
Ada perumpamaan-perumpamaan yang berupa kisah nyata, perumpamaan-perumpamaan
yang berupa cerita dan ilustrasi.
1. Perumpamaan-perumpamaan berupa
kisah nyata.
Perumpamaan-perumpamaan
ini menggunakan ilustrasi dari kehidupan sehari-hari yang sudah dikenal oleh
para pendengar. Setiap orang mengakui kebenaran dari kisah itu, sehingga tidak
ada dasar bagi para pendengar untuk mengajukan keberatan dan kritik. Semua
orang telah melihat bahwa benih tumbuh dengan sendirinya (Markus 4:26-29); ragi
mengkhamirkan seluruh adonan (Matius 13:33); anak-anak bermain di pasar (Matius
11:16-19; Lukas 7:31, 32); seekor domba yang meninggalkan kumpulannya (Matius
18:12-14); dan seorang wanita yang kehilangan dirham di rumahnya (Lukas
15:8-10). Perumpamaan-perumpamaan ini dan banyak perumpamaan yang lain
bertitik-tolak dari gambaran kehidupan manusia maupun alam yang memang demikian
pada kenyataannya. Perumpamaan-perumpamaan itu biasanya berkaitan dengan apa
yang terjadi pada masa kini.
2.Perumpamaan-perumpamaan berupa
cerita.
Berbeda
dari perumpamaan berupa kisah nyata, perumpamaan ini tidak berdasarkan pada
kenyataan atau tata cara yang sudah diterima secara umum. Perumpamaan berupa
kisah nyata dipaparkan sebagai kisah nyata yang sedang terjadi, sedangkan
perumpamaan berupa cerita menunjuk pada suatu peristiwa yang terjadi di masa
lampau. Biasanya berkenaan dengan pen gala man seseorang. Matius 13:24-30
menjelaskan pengalaman dari seorang petani yang menabur gandum dan kemudian
mengetahui bahwa musuhnya telah menabur lalang di tempat yang sama. Lukas
16:1-9 menceritakan seorang kaya yang memiliki manajer yang telah
menyia-nyiakan hartanya. Lukas 18:1-8 mencatat ten tang seorang hakim yang
menjalankan keadilan setelah mendengarkan permohonan yang terus menerus dari
seorang janda. Kehistorisan dari cerita-cerita ini tidak dipermasalahkan,
karena yang penting bukan apakah peristiwa itu benar-benar terjadi atau tidak,
tetapi yang penting adalah kebenaran yang terkandung di dalam cerita itu.
3. Ilustrasi.
Cerita-cerita
ilustrasi yang muncul di Injil Lukas biasanya dikategorikan sebagai
cerita-cerita contoh. Perumpamaan orang Samaria yang baik hati (Lukas
10:30-37); perumpamaan orang kaya yang bodoh (Lukas 12:16-21); perumpamaan
orang kay a dan Lazarus (Lukas 16:19-31); dan perumpamaan orang Farisi dan
pemungut cukai (Lukas 18:9-14) termasuk dalam kategori ini. Pola dari
ilustrasi-ilustrasi tersebut berbeda dari perumpamaan berupa cerita.
Perumpamaan berupa cerita merupakan sebuah analogi, sedangkan ilustrasi
memperlihatkan contoh-contoh yang harus ditiru atau yang harus dihindari.
Ilustrasi langsung dipusatkan pada karakter dan tingkah laku seseorang,
sedangkan perumpamaan berupa cerita juga melakukan hal itu hanya tidak secara
langsung.
Mengkategorikan
perumpamaan bukan merupakan hal yang sederhana. Beberapa perumpamaan
menunjukkan karakteristik dari dua kategori, yaitu perumpamaan berupa kisah
nyata dan perumpamaan berupa cerita, sehingga dimungkinkan untuk dimasukkan ke
dalam kedua kategori di atas. Injil juga berisi banyak perkataan-perkataan
parabol. Sulit untuk menentukan secara tepat bagian mana dari perkataan Yesus
yang termasuk kategori perumpamaan berupa kisah nyata dan bagian yang mana
merupakan perkataan parabola. Pengajaran Yesus tentang ragi (Lukas 13:20,21)
diklasifikasikan sebagai perumpamaan berupa kisah nyata, tetapi pengajaran-Nya
yang lebih panjang tentang garam (Lukas 14:34, 35) disebut sebagai perkataan
parabol. Selain itu ada beberapa perkataan Yesus dinyatakan sebagai
perumpamaan. Contohnya, "Yesus menceritakan pula suatu perumpamaan kepada
mereka: " Dapatkah orang buta menuntun orang buta? Bukankah keduanya akan
jatuh ke dalam lubang?" (Lukas 6:39).
Apakah
perbedaan perumpamaan dengan alegori? John Bunyan dalam bukunya Pilgrim's
Progress memberikan sebuah alegori ten tang perjalanan hidup orang Kristen.
Nama-nama dan peristiwa-peristiwa di dalam buku itu adalah pengganti dari siapa
dan apa yang ada dalam kenyataan. Setiap fakta, gambaran, dan nama adalah
simbolis, dan harus diterjemahkan bagian demi bagian ke dalam kehidupan nyata
supaya bisa dimengerti dengan benar. Sedangkan,
sebuah perumpamaan benar terjadi dalam kehidupan dan umumnya mengajarkan hanya
satu prinsip kebenaran. Dalam perumpamaan, Yesus menggunakan banyak gaya bahasa
metafora, misalnya raja, hamba, perawan. Kata-kata metafora itu tidak pernah
terlepas dari realita atau tidak pernah berhubungan dengan dunia fantasi atau
fiksi. Cerita-cerita dan contoh-contoh itu diambil dari dunia di mana Yesus
hidup. Perumpamaan diceritakan untuk menyampaikan kebenaran rohani dengan
memakai satu bagian dari perumpamaan itu sebagai bahan perbandingan. Rincian
dari cerita mendukung berita yang terkandung dalam perumpamaan yang
disampaikan. Perumpamaan-perumpamaan tidak boleh dianalisa bagian demi bagian
dan ditafsirkan secara alegoris, sebab hal itu akan mengakibatkan hilangnya
signifikansi dari perumpamaan itu.
Komposisi
Meskipun
secara umum benar bahwa sebuah perumpamaan mengajarkan hanya satu prinsip
kebenaran, namun peraturan ini jangan ditekankan terlalu jauh. Beberapa
perumpamaan Yesus mempunyai komposisi yang kompleks. Perumpamaan tentang
penabur merupakan satu komposisi yang terdiri dari empat bagian, dan
masing-masing bagian memerlukan sebuah penafsiran. Demikian juga, perumpamaan
tentang pesta pernikahan bukan merupakan cerita tunggal, tetapi mempunyai
bagian tambahan tentang seorang tamu yang tidak memakai pakaian pesta yang
selayaknya. Dan kesimpulan dari perumpamaan tentang penyewa beralih dari
perumpamaan kebun anggur ke perumpamaan tentang pembangunan. Kesadaran akan
adanya kekompleksan ini, maka seorang pengeksegesis yang bijaksana tidak akan
memaksakan untuk memakai metode penafsiran satu prinsip kebenaran.
Pada
waktu kita membaca perumpamaan-perumpamaan Tuhan Yesus, kita dapat bertanya
mengapa banyak rincian yang seharusnya menjadi bagian dari cerita itu yang
tidak diceritakan. Contohnya, dalam kisah ten tang seorang ternan yang mengetuk
pintu tetangganya di tengah malam meminta tiga ketul roti, istri tetangga itu
tidak disebutkan. Dalam perumpamaan tentang anak yang hilang, ayahnya adalah
tokoh utama dalam kisah ini, tetapi tidak satu kata pun menyebutkan ten tang
ibunya. Perumpamaan tentang sepuluh gadis hanya menyebutkan pengantin
laki-laki, dan sarna sekali tidak menyebut tentang pengantin perempuan. Rupanya
rincian-rincian ini tidak relevan untuk komposisi yang biasa digunakan dalam
perumpamaan Yesus, khususnya jika kita mengerti gaya bahasa tiga serangkai yang
sering digunakan di dalam perumpamaan Yesus. Di dalam perumpamaan tentang teman
di tengah malam, terdapat tiga karakter: musafir, teman dan tetangga.
Perumpamaan anak yang hilang juga terdiri dari tiga orang: ayah, anak bungsu,
anak sulung. Dan dalam kisah sepuluh gadis terdapat tiga elemen: lima gadis
bijaksana, lima gadis bodoh dan pengantin laki-laki.
Selain
itu, di dalam perumpamaan-perumpamaan Yesus yang penting bukan awal cerita
tetapi akhir cerita. Penekanannya jatuh pada orang, perbuatan dan perkataan
yang terakhir disebutkan. Sebutan "tekanan terakhir" di dalam
perumpamaan adalah sebuah pola yang sengaja dibuat di dalam komposisinya[3].
Orang yang terluka itu bukan dibantu oleh ahli Taurat atau orang Lewi, tetapi
oleh orang Samaria. Meskipun hamba yang mendapatkan tambahan lima talenta dan
hamba yang menghadiahkan dua talenta kepada tuannya menerima pujian dan
rekomendasi, tekanan dari kisah ini adalah pada perbuatan hamba yang
menguburkan talenta satu-satunya di dalam tanah yang menyebabkan dia
mendapatkan murka dan hukuman. Dan di dalam perumpamaan pemilik tanah yang
sepanjang hari mempekerjakan orang-orang di kebun anggurnya dan pada pukul enam
dia mendengar keluhan dari beberapa pekerja, penekanan yang penting adalah
jawaban pemilik tanah: "Saudara, aku tidak berlaku tidak adil terhadap
engkau ... Atau iri hatikah engkau, karen aku murah hati?" (Matius 20:13,
15).
Seni
menyusun dan menceritakan perumpamaan yang didemonstrasikan oleh Yesus tidak
ditemukan persamaannya di dalam literatur. Perumpamaan yang mirip dengan
perumpamaan Yesus yaitu perumpamaan rabi-rabi kuno di abad pertama dan kedua
pada zaman kekristenan. Perumpamaan-perumpamaan rabinik biasanya diperkenalkan
dengan formula sebagai berikut: "Sebuah perumpamaan: hal ini dapat
diumpamakan sebagai?" Juga, dalam beberapa perumpamaan alat-alat literatur
yang digunakan adalah tiga serangkai dan tekanan akhir.
Contohnya:
Sebuah
perumpamaan: hal ini dapat diumpamakan sebagai? Ada seorang pria yang sedang
mengadakan perjalanan dan dia bertemu dengan seek or serigala dan dia berhasil
melarikan diri dari serigala itu, dan dia melanjutkan perjalanan sambil terus
mengingat pen gala man dia bersama serigala itu. Kemudian dia bertemu dengan
seekor singa dan berhasil lolos dari singa itu, dan dia melanjutkan perjalanan
sambil terus mengingat pengalaman dia dengan singa itu. Kemudian dia bertemu
dengan seekor ular dan berhasil lolos dari ular itu, dan dia melupakan dua
peristiwa sebelumnya dan dia melanjutkan perjalanan dengan hanya mengingat
pengalamannya dengan ular itu. Demikian pula halnya dengan bangsa Israel:
kesulitan yang yang terjadi kemudian membuat mereka melupakan
kesulitan-kesulitan sebelumnya.[4]
Namun
demikian, kemiripan antara perumpamaan Yesus dan perumpamaan rabi hanya
bersifat formal. Perumpamaan rabinik biasanya diperkenalkan untuk menjelaskan
Hukum Taurat, ayat-ayat Alkitab atau sebuah doktrin. Perumpamaan-perumpamaan
rabi tidak digunakan untuk mengajarkan kebenaran-kebenaran baru seperti
perumpamaan Yesus. Yes us memakai perumpamaan untuk menjelaskan tema besar dari
pengajaran-Nya: Kerajaan Surga; kasih; anugerah; dan kemurahan Allah;
pemerintahan dan kedatangan kembali Anak Allah; keberadaan dan akhir nasib dari
manusia.[5] Perumpamaan-perumpamaan rabi tidak mengajarkan sesuatu di luar
aplikasi Hukum Taurat, sedangkan perumpamaan Yesus merupakan bagian dari wahyu
Allah untuk manusia. Di dalam perumpamaan-perumpamaan-Nya Yesus mewahyukan
kebenaran-kebenaran baru, karena Dia diperintahkan Allah untuk menyatakan
kehendak dan Firman Allah. Oleh karena itu, perumpamaan-perumpamaan Yesus
adalah wahyu Allah, sedangkan perumpamaan-perumpamaan rabi bukan wahyu
Allah.
Tujuan
Perumpamaan-perumpamaan
Yesus menunjukkan bahwa Yesus sepenuhnya mengenal keragaman seluk beluk
kehidupan manusia. Dia mempunyai pengetahuan ten tang pertanian, menabur benih,
mendeteksi lalang dan penuaian. Dia sangat mengenal tentang seluk beluk kebun
anggur, sehingga Dia mengetahui saat memetik buah anggur dan buah ara, dan
mengetahui upah yang harus dibayar untuk sehari bekerja. Dia bukan hanya
mengenal kehidupan sehari-hari petani, nelayan, tukang bangunan, dan pedagang,
tetapi Dia juga sangat mengenal seluk-beluk pengelola perumahan,
menteri-menteri keuangan di pengadilan kerajaan, hakim di pengadilan hukum,
orang-orang Farisi, dan para pemungut cukai. Dia mengerti kemiskinan Lazarus,
namun demikian Dia juga diundang untuk makan malam bersama orang kaya.
Perumpamaan-Nya menggambarkan kehidupan kaum lelaki, wanita dan anak-anak,
miskin dan kaya, yang terbuang dan yang terhormat. Karena pengenalan-Nya yang
luas akan kehidupan manusia, maka Dia dapat me lay ani semua strata so sial.
Dia berbicara sesuai dengan bahasa mereka dan mengajar sesuai dengan keberadaan
mereka. Yesus menggunakan perumpamaan-perumpamaan supaya pesan-Nya dapat
diterima oleh para pendengar. Ia juga menggunakannya untuk mengajar Firman Tuhan
kepada orang banyak, untuk memanggil pendengar-Nya bertobat dan beriman, untuk
menan tang orang-orang percaya supaya mempraktekkan perkataan mereka di dalam
perbuatan, dan untuk mengingatkan pengikut-Nya supaya waspada.
Yesus
mengajarkan perumpamaan untuk mengkomunikasikan pesan keselamatan dengan cara
yang jelas dan sederhana. Pendengar-Nya dapat mengerti dengan mudah kisah
tentang anak yang hilang, dua orang yang mempunyai hutang, perjamuan makan yang
besar, serta kisah tentang orang Farisi dan pemungut cukai. Di dalam
perumpamaan, mereka bertemu Yesus sebagai Kristus, yang mengajar dengan
otoritas tentang berita penebusan Allah yang didasarkan pada kasih-Nya.
Dari
catatan Injil, kelihatannya penafsiran terhadap perumpamaan-perumpamaan itu
hanya diberikan kepada murid-murid Yesus. Yesus berkata kepada mereka,
"Rahasia Kerajaan Allah telah diberikan kepadamu. Tetapi untuk orang luar
segala sesuatu disampaikan dalam bentuk perumpamaan supaya,
Sekalipun melihat, mereka tidak menanggap, Sekalipun
mendengar, mereka tidak mengerti,
Supaya mereka jangan berbalik dan mendapat
ampun!" (Markus 4:11,12).
Apakah
ini berarti bahwa Yesus yang diutus oleh Allah untuk memberitakan pembebasan
bagi orang berdosa yang telah jatuh, menyembunyikan pesan ini dalam bentuk
perumpamaan-perumpamaan yang tidak dapat dipahami? Apakah
perumpamaan-perumpamaan itu semacam teka-teki yang dimengerti hanya oleh mereka
yang dipilih?
Kata-kata
di dalam Injil Markus 4:11, 12 perlu dimengerti dalam konteks yang lebih luas
sesuai dengan maksud dari penulis[6]. Di dalam bab sebelumnya, Markus
menjelaskan ten tang pertemuan Yesus dengan orang-orang yang secara
terang-terangan tidak percaya dan melawan Dia. Dia dituduh kerasukan Beelzebul
dan Dia mengusir setan dengan kuasa dari penghulu setan (Markus 3:22). Yesus
mengkontraskan an tara orang-orang percaya dan orang-orang tidak percaya, an
tara pengikut dan penentang, an tara penerima dan penolak dari wahyu Allah.
Mereka yang melakukan kehendak Allah menerima berita dari perumpamaan-perumpamaan
itu, karena mereka masuk di dalam keluarga Yesus (Markus 3:35). Mereka yang
berusaha untuk menghancurkan Yesus (Mrk 3:6) telah mengeraskan hatinya terhadap
pengetahuan akan keselamatan. Hal ini merupakan masalah iman dan
ketidak-percayaan. Orang-orang percaya mendengar perumpamaan, dan menerimanya
dengan iman dan mengerti, meskipun pemahaman mereka secara penuh terjadi
melalui sebuah proses. Orang-orang tidak percaya menolak perumpamaan karena
bertentangan dengan pemikiran mereka[7]. Mereka menolak menangkap dan mengerti
kebenaran Allah. Oleh karena mata mereka yang buta dan telinga mereka yang
tuli, mereka menarik diri dari keselamatan yang Yesus beritakan, dan membawa
diri mereka ke bawah penghukuman Allah.
Tidak
mengherankan kalau pada mulanya murid-murid Yesus tidak mengerti sepenuhnya
perumpamaan tentang penabur (Markus 4:13). Pengikut-pengikut-Nya yang dekat
dibingungkan oleh pengajaran perumpamaan ini karena mereka belum melihat
signifikansi pribadi dan pelayanan Yesus dalam hubungannya dengan kebenaran
Allah yang dinyatakan melalui perumpamaan. Hanya karen a iman mereka dapat
melihat kebenaran yang disaksikan oleh perumpamaan-perumpamaan itu[8]. Yesus
memberikan penafsiran yang komprehensif untuk perumpamaan ten tang penabur dan
perumpamaan gandum dan lalang. (Di bagian lain Dia kadang-kadang menambahkan
klarifikasi dalam kesimpulan.) Murid-murid diberikan penjelasan tentang
hubungan an tara kejadian-kejadian yang digambar kan oleh Yesus dalam
perumpamaan seorang penabur dengan perumpamaan tentang Kerajaan Surga yang
datang dalam pribadi Yesus, sang Mesias[9].
Penafsiran
Di
gereja mula-mula, bapak-bapak gereja mulai mencari arti yang tersembunyi dari
kedatangan Yesus di kitab sud Perjanjian Lama. Sebagai konsekuensi logis dari
trend di atas, bapak-bapak gereja mulai menemukan arti tersembunyi di dalam
perumpamaan-perumpamaan Yesus.
Mungkin
mereka dipengaruhi oleh apologetika orang-orang Yahudi dalam hal mengganti
kesederhanaan Alkitab dengan spekulasi-spekulasi yang kabur. Dalam beberapa kejadian,
hasil penafsiran terhadap perumpamaan-perumpamaan itu bersifat alegoris.
Sehingga dari zaman bapak-bapak gereja sampai pertengahan abad ke sembilan
belas, kebanyakan pengeksegesis menafsirkan perumpamaan secara alegoris.
Contohnya,
Origen percaya bahwa perumpamaan tentang sepuluh gadis dipenuhi dengan
simbol-simbol yang tersembunyi. Origen mengatakan bahwa semua gadis-gadis itu
adalah orang-orang yang telah menerima Firman Allah. Gadis-gadis yang bijaksana
percaya dan hidup di dalam kehidupan yang benar; gadis-gadis yang bodoh juga
percaya tetapi tidak hidup berdasarkan kepercayaannya. Lima lampu darigadis
yang bijaksana melambangkan lima pancaindra yang kesemuanya dipelihara untuk
penggunaan yang tepat. Lima lampu dari gadis yang bodoh gagal memberikan terang
dan keluar menuju kegelapan dunia. Minyak melambangkan pengajaran firman Tuhan,
dan penjual minyak itu melambangkan guru. Harga min yak yang mereka minta itu
adalah ketekunan. Tengah malam adalah lambang kelalaian. Tangisan kerasberasal
dari malaikat-malaikat yang membangunkan semua manusia. Dan pengantin laki-laki
adalah Kristus yang datang menemui pengantin perempuan yaitu gereja.
Demikianlah Origen menafsirkan perumpamaan tersebut.
Para
komentator abad ke sembilan belas masih mengidentifikasi rincian secara
individu dari sebuah perumpamaan. Dalam perumpamaan sepuluh gadis, lampu yang
menyala melambangkan pekerjaan baik dan minyak melambangkan iman orang percaya.
Komentator lain melihat minyak sebagai simbol yang merepresentasikan Roh Kudus.
Namun
tidak semua pengeksegesis perumpamaan mengambil jalur alegoris. Pada zaman
reformasi, Martin Luther mencoba mengubah arah penafsiran Alkitab. Dia memilih
metode eksegesis alkitabiah yang memperhitungkan latar belakang historis dan
struktur gramatikal dari sebuah perumpamaan. John Calvin lebih tegas dalam
sikapnya terhadap penafsiran secara alegoris. Dia sarna sekali menghindari
penafsiran perumpamaan secara alegoris, dan dalam penafsiran dia secara
langsung berusaha untuk mencari pokok utama dari pengajaran perumpamaan itu.
Bila dia sudah mengetahui dengan pasti arti dari perumpamaan itu, dia tidak
peduli dengan rincian-rinciannya. Calvin berpendapat bahwa rincian tidak ada
kaitannya dengan tujuan pengajaran Yesus dalam perumpamaan yang diberikan-Nya.
Setelah
pertengahan abad ke sembilan belas, C.E. van Koetsveld, seorang sarjana
Belanda, memberikan dorongan untuk pendekatan yang diprakarsai oleh para
reformis. Dia menjelaskan bahwa penafsiran sebuah perumpamaan secara alegoris
yang berlebihan dari beberapa komentator cenderung mengaburkan dan bukan
memperjelas pengajaran Yesus[10]. Seorang pengeksegesis, untuk bisa menafsirkan
sebuah perumpamaan dengan tepat, harus memegang arti dasarnya dan bisa
membedakan antara mana yang dianggap esensial dan mana yang tidak. Van
Koetsveld dilanjutkan oleh seorang teolog Jerman A. Jülicher di dalam
pendekatannya terhadap perumpamaan-perumpamaan itu. Jiilicher menyatakan bahwa
istilah perumpamaan seringkali digunakan oleh para penginjil, namun kata
alegori tidak pernah ditemukan di dalam catatan Injil mereka[11].
Di
akhir abad ke sembilan bel as, belenggu alegoris yang mengikat penafsiran
perumpamaan dipatahkan dan sebuah era baru dalam penelitian perumpamaan
muncul[12]. Jülicher melihat Yesus sebagai guru dari prinsip-prinsip moral,
C.H. Dodd memandang Yesus sebagai pribadi historis yang dinamis yang dengan
pengajaran-Nya menimbulkan masa krisis. Dodd mengatakan, "Tugas seorang
pengeksegesis perumpamaan, kalau ia dapat, adalah menemukan latar belakang sebuah
perumpamaan di dalam situasi yang dimaksudkan oleh Injil"[13]. Yesus
mengajarkan bahwa Kerajaan Allah, Anak manusia, pengadilan, berkat telah
memasuki situasi historis pada waktu itu. Menurut Dodd, kerajaan itu bagi Yesus
berarti pemerintahan Allah yang ditunjukkan di dalam pelayanan-Nya. Karena itu,
perumpamaan-perumpamaan yang diajarkan oleh Yesus harus dimengerti memiliki
hubungan langsung dengan situasi nyata berkaitan dengan pemerintahan Allah di
dunia.
J.
Jeremias melanjutkan karya Dodd. Dia juga mengharapkan bisa menemukan
pengajaran parabolik yang kembali kepada Yesus sendiri. Tetapi, Jeremias mulai
mencatat perkembangan historis dari perumpamaan-perumpamaan itu, dan dia
percaya terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama menyinggung situasi nyata dari pelayanan
Yesus, dan tahap yang kedua adalah refleksi dari cara perumpamaan-perumpamaan
itu digunakan oleh gereja Kristen mula-mula. Tugas Jeremias sendiri adalah
menggali kembali ben tuk asli dari perumpamaan-perumpamaan itu supaya dapat
mendengar suara Yesus[14]. Dengan pengetahuannya yang mendalam ten tang tanah,
kebudayaan, adat, bangsa, dan bahasa Israel, Jeremias dapat mengumpulkan
kekayaan informasi dan menjadikan karyanya sebagai salah satu buku perumpamaan
yang paling berpengaruh.
Meskipun
begitu, pertanyaan yang dapat diajukan adalah apakah bentuk aslinya dapat
dipisahkan dari konteks historis tanpa jatuh pada penebakan. Sebaliknya,
seseorang bisa juga mengambil sebuah teks tentang perumpamaan dan menerimanya
sebagai presentasi yang benar dari pengajaran Yesus, yaitu teks Alkitab yang
telah diberikan oleh para penginjil kepada kita yang merefleksikan konteks
historis dari asal mula perumpamaan-perumpamaan itu diajarkan. Kita harus
bergantung kepada teks yang telah kita terima, dan kita menerima perumpamaan-perumpamaan
itu beserta latar belakang historisnya. Hal ini memang menuntut suatu
kepercayaan, yaitu bahwa para penginjil di dalam mencatat
perumpamaan-perumpamaan itu memahami tujuan Yesus mengajarkan
perumpamaan-perumpamaan itu sesuai latar belakang yang mereka uraikan[15]. Pada
saat perumpamaan-perumpamaan itu dicatat, saksi mata dan pelayan-pelayan Firman
meneruskan tradisi lisan dari kata-kata dan perbuatan Yesus (Lukas 1:1, 2).
Sehubungan dengan saksi mata inilah, kita bisa diyakinkan bahwa konteks di mana
perumpamaan-perumpamaan itu dituliskan menunjuk kepada waktu, tempat, keadaan
pada saat Yesus pertama kali mengajarkan perumpamaan-perumpamaan itu.
Akhir-akhir
ini, wakil-wakil dari sebuah sekolah hermeneutik yang baru secara bertahap
semakin mengeluarkan perumpamaan-perumpamaan itu dari latar belakang
historisnya ke penekanan literatur yang lebih luas yang berkisar pada struktur
eksistensialnya[16]. Para sarjana itu memperlakukan perumpamaan-perumpamaan itu
sebagai literatur eksistensial, dengan cara mengeluarkan
perumpamaan-perumpamaan itu dari konteks historisnya dan mengganti arti aslinya
dengan pesan zaman sekarang. Mereka menyangkal bahwa arti dari sebuah
perumpamaan dapat ditemukan di dalam kehidupan dan pelayanan Yesus[17]. Mereka
tidak tertarik kepada sumber dan latar belakang perumpamaan itu, tetapi lebih
tertarik kepada bentuk literatur dan penafsiran eksistensialnya[18]. Bagi
mereka struktur literatur dari perumpamaan itu penting karena struktur itu
membawa manusia modern kepada momen keputusan, di mana dia harus menerima atau
menolak tantangan yang ada di hadapannya.
Telah
disetujui bahwa perumpamaan-perumpamaan itu mengajak manusia untuk bertindak.
Pada bagian aplikasi dari perumpamaan orang Samaria yang baik hati, ahli Taurat
yang bertanya kepada Yesus diperintahkan, "Pergi dan perbuatlah
demikian" (Luk 10:37). Meskipun demikian, eksistensialis di dalam
menafsirkan perumpamaan itu mementingkan bentuk imperatif dan mengabaikan
bentuk indikatif dari perumpamaan itu. Dia memisahkan perkataan Yesus dari
latar belakang budayanya sehingga menghilangkan kuasa dan otoritas yang
diberikan oleh Yesus dalam perumpamaan-perumpamaan itu.
Lagipula,
oleh karena eksistensialis hanya melihat struktur literatur dari perumpamaan
itu dan memisahkan perumpamaan itu dari konteks historisnya, maka
eksistensialis harus memberikan konteks baru kepada perumpamaan-perumpamaan
itu. Jadi dia menempatkan perumpamaan-perumpamaan itu di dalam konteks zaman
sekarang. Metode ini tidak dapat disebut eksegesis, karena filsafat
eksistensial dimasukkan ke dalam teks Alkitab. Ini adalah eisegesis bukan
eksegesis. Sayangnya, orang Kristen awam yang mencari bimbingan ke wakil-wakil
sekolah hermeneutik baru untuk memahami perumpamaan-perumpamaan ini
pertama-tama harus belajar filsafat eksistensial, teologi neoliberal dan gaya
bahasa literatur ten tang strukturialisme sebelum dia mendapatkan keuntungan
dari pandangan mereka.
Prinsip-prinsip
Menafsirkan
perumpamaan tidak memerlukan latihan teologi dan filsafat yang mendalam.
Pengeksegesis harus memahami beberapa prinsip dasar penafsiran. Prinsip-prinsip
tersebut berhubungan dengan sejarah, tata bahasa, dan teologi teks Alkitab.
Sedapat mungkin pengeksegesis hams belajar konteks historis dari perumpamaan.
Studi ini meliputi analisa rind dari keadaan religius, sosial, politik dan
geografis yang dinyatakan dalam perumpamaan. Misalnya, latar belakang
perumpamaan orang Samaria yang baik hati menuntut pengenalan ten tang peraturan
religius bagi seorang rohaniwan pada waktu itu. Seorang ahli Taurat datang
kepada Yesus menanyakan apa yang harus dia lakukan untuk mewarisi kehidupan
kekal, cetus an percakapan ini yang menimbulkan kisah orang Samaria yang baik
hati.
Berkenaan
dengan perumpamaan orang Samaria yang baik hati, pengeksegesis seharusnya
memahami asal, status dan agama orang Samaria tersebut; fungsi, kantor, dan
tempat tinggal ahli Taurat dan orang Lewi; topografi wilayah antara Yerusalem
dan Yerikho; konsep orang Yahudi tentang hidup bertetangga. Dengan
memperhatikan konteks historis perumpamaan itu, pengeksegesis bisa melihat
alasan Yesus mengajarkan cerita-Nya dan dia mempelajari tujuan pengajaran Yesus
yang terkandung dalam perumpamaan itu[19].
Kedua,
pengeksegesis harus memberi perhatian kepada literatur dan susunan gramatikal
dari perumpamaan itu. Bentuk dan tensa yang dipakai oleh penulis Injil itu
sangatlah penting, karen a akan memberi penerang atas pengajaran pokok dari
kisah tersebut. Studi kata d alam konteks Alkitab maupun dalam penulisan ekstra
kanonikal merupakan bagian yang penting dalam proses menafsirkan perumpamaan.
Jadi, studi kata sesama di dalam konteks perintah, "Kasihilah sesamamu
manusia seperti dirimu sendiri," seperti diberikan di dalam Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru, terbukti menjadi studi yang bermanfaat. Pengeksegesis
juga perlu untuk melihat pendahuluan dan kesimpulan dari perumpamaan itu,
karena keduanya mungkin berisi bagian literatur seperti pertanyaan retorik,
nasihat, atau sebuah perintah. Perumpamaan orang Samaria yang baik hati disimpulkan
dengan sebuah perintah, "Pergi dan perbuatlah demikian" (Lukas
10:37). Ahli Taurat yang bertanya kepada Yesus tentang mewarisi kehidupan kekal
tidak bisa lari dari perintah untuk mengasihi sesamanya seperti dirinya
sendiri. Pendahuluan, dan khususnya kesimpulan, berisi tuntunan yang membantu
pengeksegesis dalam menemukan bagian pokok dari perumpamaan itu.
Ketiga,
bagian pokok dari perumpamaan yang diberikan harus diperiksa secara teologis
berdasarkan seluruh pengajaran Yesus dan seluruh Kitab Suci[20]. Bila
pengajaran dasar perumpamaan itu telah digali secara penuh dan dimengerti
secara benar, kesatuan Kitab Sud terekspresikan, arti yang tepat dari perikop
itu dapat dikembangkan dalam semua kesederhanaan dan kejelasannya.
Akhirnya,
penafsir perumpamaan harus menerjemahkan artinya ke dalam istilah-istilah yang
relevan dengan kebutuhan sekarang. Tugasnya adalah untuk mengaplikasikan
pengajaran pokok sebuah perumpamaan ke dalam situasi kehidupan dari orang yang
mendengar penafsirannya. Dalam perumpamaan orang Samaria yang baik hati,
perintah untuk mengasihi sesamanya menjadi berarti ketika orang yang dirampok
dan terluka sepanjang jalan Yerikho bulan lagi hanya sebagai sebuah gambaran di
masa lampau. Sesama yang perlu dikasihi oleh kita adalah para tunawisma, orang
miskin, dan pengungsi. Mereka bertemu dengan kita di jalan Yerikho yang dimuat
di dalam surat kabar setiap hari dan dalam acara berita malam di TV.
Klasifikasi
Perumpamaan-perumpamaan
Yesus dapat dikelompokkan dan diklasifikasikan dalam banyak cara. Perumpamaan
tentang penabur, benih yang tumbuh dengan tersembunyi, gandum dan lalang, pohon
ara yang tidak berbuah, pohon ara yang berserni termasuk ke dalam perumpamaan
natur. Beberapa perumpamaan yang Yesus ceritakan berhubungan dengan pekerjaan
dan upah. Beberapa di antaranya adalah perumpamaan pekerja di kebun anggur,
penyewa, dan bendahara yang tidak jujur. Perumpamaan yang lain bertemakan
pernikahan, dan perayaan-perayaan. Termasuk ke dalamnya adalah perumpamaan
tentang anak-anak yang bermain di pasar, sepuluh gadis, perjamuan besar dan
pesta perkawinan. Perumpamaan lain menunjuk pada tema umum mengenai yang hilang
dan yang ditemukan kembali. Perumpamaan ten tang domba yang hilang, dirham yang
hilang, dan anak yang hilang termasuk ke dalam kelompok ini.
Tetapi
pengkategorian perumpamaan-perumpamaan itu tidak selalu pasti. Apakah
perumpamaan tentang jala ikan termasuk kategori perumpamaan natur atau termasuk
kelompok perumpamaan tentang pekerja dan upah? Dan kategori apa yang cocok
untuk perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati? Mudah untuk melihat
bahwa dalam mengelompokkan perumpamaan-perumpamaan itu bisa dimasukkan ke mana
saja dan pada saat tertentu sepertinya dipaksakan.
Injil
Sinopsis menyajikan perumpamaan-perumpamaan yang terdapat juga di dalam dua
atau sering kali tiga Injil, namun ada juga perumpamaan-perumpamaan yang hanya
terdapat dalam satu Injil. Injil Markus hanya mempunyai satu perumpamaan khusus
bagi Injilnya (benih yang tumbuh tersembunyi), Injil Matius dan Lukas berisi
beberapa perumpamaan khusus. Di dalam presentasi saya tentang perumpamaan, saya
mengikuti urutan Injil yaitu pertama-tama mendiskusikan perumpamaan dari Injil
Matius, dengan satu perumpamaan yang khusus yang diambil dari Injil Markus
secara berurutan yaitu perumpamaan tentang penabur dan perumpamaan ten tang
gandum dan lalang, kemudian satu perumpamaan yang diambil dari Injil Lukas. Di
dalam perumpamaan yang terdapat juga dalam Injil yang lain, diambil perumpamaan
yang hampir sama dari urutan Injil Matius, Markus dan Lukas. Prosedur ini
diberlakukan untuk membantu pembaca yang ingin melakukan penelitian berdasarkan
keparalelan sinoptik. Contohnya, karya K. Aland yang berjudul Synopsis of the
Four Gospels. [21] Di dalam studinya ten tang perumpamaan-perumpamaan,
referensi dalam bahasa Yunani dan Ibrani jarang digunakan. Kalau referensi
dalam kedua bahasa itu muncul, referensi itu diberi bentuk salinan huruf ke
huruf abjad yang lain dan terjemahannya disertakan juga. Alkitab bahasa Inggris
yang menggunakan cara ini adalah New International Version (dengan seijin dari
Executive Committee). Keuntungan bagi pembaca adalah teks NIV dicetak penuh di
bagian permulaan tiap-tiap perumpamaan. Perumpamaan-perumpamaan itu memiliki
pararel di dalam ketiga Injil Sinopsis yang diberikan secara berurutan Matius,
Markus dan Lukas. Empat puluh perumpamaan dan ucapan-ucapan parabolis
didiskusikan di dalam buku ini. Semua perumpamaan pokok dan bagian yang lebih
besar dari ucapan-ucapan parabolis didaftar di dalam buku ini. Tentu saja,
ucapan-ucapan itu harus diseleksi, sehingga perumpamaan ten tang garam
dimasukkan dan perumpamaan ten tang terang dihilangkan. Hanya ucapan-ucapan
parabolis dari Injil Sinopsis yang sudah diteliti, Injil Yohanes belum
diteliti.
Literatur
ten tang perumpamaan sangat banyak, seperti suatu aliran buku-buku dan
artikel-artikel yang tidak berhenti. Akhir-akhir ini, hampir tidak ada
perumpamaan yang diabaikan oleh sarjana-sarjana. Pandangan baru dari studi ten
tang kebudayaan dan hukum Yahudi menjadi sangat berharga untuk mendapatkan
pengertian yang lebih baik tentang pengajaran Yesus. Tujuan dari buku ini
adalah untuk mempresentasikan dengan penjelasan yang cukup dan kontemporer
kepada orang percaya yang mau belajar Alkitab dengan serius dan pendeta, ten
tang perumpamaan tanpa hams dibingungkan oleh semua rinciannya. Catatan kaki
dan bibliografi yang telah diseleksi akan membantu para teolog yang ingin studi
lebih lanjut tentang perumpamaan-perumpamaan Yesus secara lebih intensif.
Dengan materi bibliografi dan indeks yang demikian, dia akan mendapatkan jalan
masuk kepada literatur yang tersedia tentang perumpamaan-perumpamaan
Yesus.
Catatan
:
[1] R. Schippers, "The Mashal-character of the
Parable of the Pearl," dalam Studia Evangelica, ed. F.L. Cross (Berlin:
Akademie-Verlag, 1964), 2:237.
[2] 2. F. Hauck, Teological Dictionary of the New
Testament, V:752.
[3] A.M. Hunter, The Parables Then and Now (London:
Westminster Press, 1971), 12.
[4] I. Epstein, ed., "Seder Zeraim Berakoth
13a,"dalam The Babylonian Talmud (London: Soncino Press, 1948),73
[5] Hauck, Teological Dictionary of the New
Testament, volume: 758. J. Jeremias, di dalam bukunya Die Gleichnisse Jesu
edisi ke 8 (Gottingen: Vandenhoeck & Ruprecht, 1970) 8, mengatakan bahwa
perumpamaan-perumpamaan Yesus mempunyai kontribusi terhadap perkembangan gaya
literatur dari perumpamaan-perumpamaan rabi.
[6] J. Jeremias, The parables of Jesus (New York:
Scribner, 1963), 13-18, berpendapat bahwa kata-kata Yesus telah diletakkan
secara salah dan berasal dari tradisi lain; kata-kata itu pasti ditafsirkan
tanpa referensi dari konteks Injil Markus 4. Menurut Jeremias, penulis
memasukkan perikop dari tradisi lain karena slogan parable (perumpamaan) asal
mulanya berarti riddle (teka-teki), Jadi Jeremias menganggap ada dua arti untuk
kata parable di dalam Markus 4, yaitu perumpamaan yang benar dan arti lain
adalah teka-teki. Tetapi peraturan penafsiran, tidak mendukung penafsiran
Jeremias, karena selain penginjil menunjukkan perbedaan dalam mengerti sebuah kata,
juga harus mennyimpan arti yang sarna di seluruh perikop.
[7] W. Lane, The Gospel According to Mark (Grand
Rapids: Eerdmans. 1974), 158; W. Hendriksen, Gospel of Mark (Grand Rapids:
Baker Book House, 1975), 145; H.N. Ridderbos, The Coming of the Kingdom
(Philadelphia: Presbyterian & Reformed, 1962),124.
[8] C.E.B. Cranfield, "St. Mark 4:1-34,"
Scot JT 4 (1951): 407.
[9] Lane, Mark, 160.
[10] CE. van Koetsveld, De Gelijkenissen van den
Zaligmaker (Schoonhoven, 1869), volume 1,2.
[11] A. Jülicher, Die Gleichnisreden Jesu (Tubingen:
Buchgesellschaft, 1963), volume 1, 2.
[12] Tanyakan ke karya studi yang menarik dari M
Black, "The Parables of Allegory" dalam BJRL 42 (1960): 273-87; RE
Brown, "Parable and Allegory Reconsidered" dalam NTS 5 (1962) : 36-45
[13] C.H. Dodd, The Parables of the Kingdom (London:
Nesbit and Co., 1935),26.
[14] Jeremias, Parables, 113, 114.
[15] A.M. Brower, De Gelijkenissen (Leiden: Brill,
1946), 247; G.V. Jones, The Art and Truth of the Parables (London: S.P.C.K.,
1964),38.
[16] M.A. Tolbert, Perspectives on the Parables
(Philadelphia: Fortress Press, 1979),20.
[17] D.O. Via, Jr., dalam bukunya "A Response
to Crossan, Funk, and Peterson," dalam Semeia 1 (1974): 222, menyatakan,
"Saya sama sekali tidak tertarik bahkan kepada Pribadi Jesus di dalam
sejarah."
[18] J.D. Crossan, dalam bukunya "The Good
Samaritan: Towards a Generic Definition of Parable," dalam Semeia 2
(1974): 101, kelihatannya menunjukkan bahwa sebuah dalil yang menarik itu lebih
penting daripada sebuah dalil yang benar.
[19] L. Berkhof, Principles of
Biblicallnterpretation (Grand Rapids: Baker Book House, 1952),100.
[20] A.B. Mickelsen, Interpreting the Bible (Grand
Rapids: Eerdmans, 1963),229.
[21] K. Aland, Synopsis of the Four Gospels
(Stuttgart: Wuttembergische Bibelanstalt, 1976).
Pentingnya
Bimbingan Konseling di Sekolah
TUJUAN
pendidikan menengah acap kali dibiaskan oleh pandangan umum; demi mutu
keberhasilanakademis seperti persentase lulusan, tingginya nilai Ujian
Nasional, atau persentase kelanjutan ke perguruan tinggi negeri. Kenyataan ini
sulit dimungkiri, karena secara sekilas tujuan kurikulum menekankan penyiapan
peserta didik (sekolah menengah umum/SMU) untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang lebih tinggi atau penyiapan peserta didik (sekolah menengah
kejuruan/SMK) agar sanggup memasuki dunia kerja. Penyiapan peserta didik demi
melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi akan melulu memperhatikan sisi
materi pelajaran, agar para lulusannya dapat lolos tes masuk perguruan tinggi.
Akibatnya, proses pendidikan di jenjang sekolah menengah akan kehilangan bobot
dalam proses pembentukan pribadi. Betapa pembentukan pribadi, pendampingan
pribadi, pengasahan nilai-nilai kehidupan (values) dan pemeliharaan kepribadian
siswa (cura personalis) terabaikan. Situasi demikian diperparah oleh kerancuan
peran di setiap sekolah. Peran konselor dengan lembaga bimbingan konseling (BK)
direduksi sekadar sebagai polisi sekolah. Bimbingan konseling yang sebenarnya
paling potensial menggarap pemeliharaan pribadi-pribadi, ditempatkan dalam
konteks tindakan-tindakan yang menyangkut disipliner siswa. Memanggil,
memarahi, menghukum adalah proses klasik yang menjadi label BK di banyak
sekolah. Dengan kata lain, BK diposisikan sebagai “musuh” bagi siswa bermasalah
atau nakal.
Penulis
merujuk pada rumusan Winkel untuk menunjukkan hakikat bimbingan konseling di
sekolah yang dapat mendampingi siswa dalam beberapa hal. Pertama, dalam
perkembangan belajar di sekolah (perkembangan akademis). Kedua, mengenal diri
sendiri dan mengerti kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi mereka, sekarang
maupun kelak. Ketiga, menentukan cita-cita dan tujuan dalam hidupnya, serta
menyusun rencana yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Keempat,
mengatasi masalah pribadi yang mengganggu belajar di sekolah dan terlalu
mempersukar hubungan dengan orang lain, atau yang mengaburkan cita-cita hidup.
Empat peran di atas dapat efektif, jika BK didukung oleh mekanisme struktural
di suatu sekolah.
Proses
cura personalis di sekolah dapat dimulai dengan menegaskan pemilahan peran yang
saling berkomplemen. Bimbingan konseling dengan para konselornya disandingkan
dengan bagian kesiswaan. Wakil kepala sekolah bagian kesiswaan dihadirkan untuk
mengambil peran disipliner dan hal-hal yang berkait dengan ketertiban serta
penegakan tata tertib. Siswa mbolosan, berkelahi, pakaian tidak tertib, bukan
lagi konselor yang menegur dan memberi sanksi. Reward dan punishment, pujian
dan hukuman adalah dua hal yang mesti ada bersama-sama. Pemilahan peran
demikian memungkinkan BK optimal dalam banyak hal yang bersifat reward atau
peneguhan. Jika tidak demikian, BK lebih mudah terjebak dalam tindakan
hukum-menghukum.
Mendesak
untuk diwujudkan, prinsip keseimbangan dalam pendampingan orang-orang muda yang
masih dalam tahap pencarian diri. Orang-orang muda di sekolah menengah lazimnya
dihadapkan pada celaan, cacian, cercaan, dan segala sumpah-serapah kemarahan
jika membuat kekeliruan. Namun, jika melakukan hal-hal yang positif atau
kebaikan, kering pujian, sanjungan atau peneguhan. Betapa ketimpangan ini
membentuk pribadi-pribadi yang memiliki gambaran diri negatif belaka. Jika
seluruh komponen kependidikan di sekolah bertindak sebagai yang menghakimi dan
memberikan vonis serta hukuman, maka semakin lengkaplah pembentukan pribadi-pribadi
yang tidak seimbang.
BK
dapat diposisikan secara tegas untuk mewujudkan prinsip keseimbangan. Lembaga
ini menjadi tempat yang aman bagi setiap siswa untuk datang membuka diri tanpa
waswas akan privacy-nya. Di sana menjadi tempat setiap persoalan diadukan,
setiap problem dibantu untuk diuraikan, sekaligus setiap kebanggaan diri
diteguhkan. Bahkan orangtua siswa dapat mengambil manfaat dari pelayanan
bimbingan di sekolah, sejauh mereka dapat ditolong untuk lebih mengerti akan
anak mereka.
Tantangan
pertama untuk memulai suatu proses pendampingan pribadi yang ideal justru
datang dari faktor-faktor instrinsik sekolah sendiri. Kepala sekolah kurang
tahu apa yang harus mereka perbuat dengan konselor atau guru-guru BK. Ada
kekhawatiran bahwa konselor akan memakan “gaji buta”. Akibatnya, konselor mesti
disampiri tugas-tugas mengajar keterampilan, sejarah, jaga kantin, mengurus
perpustakaan, atau jika tidak demikian hitungan honor atau penggajiannya terus
dipersoalkan jumlahnya. Sesama staf pengajar pun mengirikannya dengan
tugas-tugas konselor yang dianggapnya penganggur terselubung. Padahal, betapa
pendampingan pribadi menuntut proses administratif dalam penanganannya.
BK
yang baru dilirik sebelah mata dalam proses pendidikan tampak dari ruangan yang
disediakan. Bisa dihitung dengan jari, berapa jumlah sekolah yang mampu (baca:
mau!) menyediakan ruang konseling memadai. Tidak jarang dijumpai, ruang BK
sekadar bagian dari perpustakaan (yang disekat tirai), atau layaknya ruang
sempit di pojok dekat gudang dan toilet. Betapa mendesak untuk dikedepankan
peran BK dengan mencoba menempatkan kembali pada posisi dan perannya yang
hakiki. Menaruh harapan yang lebih besar pada BK dalam pendampingan pribadi,
sekarang ini begitu mendesak, jika mengingat kurikulum dan segala orientasinya
tetap saja menjunjung supremasi otak. Untuk memulai mewujudkan semua itu, butuh
perubahan paradigma para kepala sekolah dan semua pihak yang terlibat dalam
proses kependidikan.
Bahan
Kuliah Bimbingan Konseling
Untuk
Mahasiswa Prog. S1 Teologia STT POKOK ANGGUR
PUNGSI,
PRINSIP DAN ASAS BIMBINGAN KONSELING
A.
Fungsi Bimbingan dan Konseling adalah :
1. Fungsi
Pemahaman, yaitu fungsi bimbingan dan konseling membantu konseli agar memiliki
pemahaman terhadap dirinya (potensinya) dan lingkungannya (pendidikan,
pekerjaan, dan norma agama). Berdasarkan pemahaman ini, konseli diharapkan
mampu mengembangkan potensi dirinya secara optimal, dan menyesuaikan dirinya
dengan lingkungan secara dinamis dan konstruktif.
2. Fungsi
Preventif, yaitu fungsi yang berkaitan dengan upaya konselor untuk senantiasa
mengantisipasi berbagai masalah yang mungkin terjadi dan berupaya untuk
mencegahnya, supaya tidak dialami oleh konseli. Melalui fungsi ini, konselor
memberikan bimbingan kepada konseli tentang cara menghindarkan diri dari
perbuatan atau kegiatan yang membahayakan dirinya. Adapun teknik yang dapat
digunakan adalah pelayanan orientasi, informasi, dan bimbingan kelompok.
Beberapa masalah yang perlu diinformasikan kepada para konseli dalam rangka
mencegah terjadinya tingkah laku yang tidak diharapkan, diantaranya : bahayanya
minuman keras, merokok, penyalahgunaan obat-obatan, drop out, dan pergaulan
bebas (free sex).
3. Fungsi
Pengembangan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang sifatnya lebih proaktif
dari fungsi-fungsi lainnya. Konselor senantiasa berupaya untuk menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif, yang memfasilitasi perkembangan konseli.
Konselor dan personel Sekolah/Madrasah lainnya secara sinergi sebagai teamwork
berkolaborasi atau bekerjasama merencanakan dan melaksanakan program bimbingan
secara sistematis dan berkesinambungan dalam upaya membantu konseli mencapai
tugas-tugas perkembangannya. Teknik bimbingan yang dapat digunakan disini
adalah pelayanan informasi, tutorial, diskusi kelompok atau curah pendapat
(brain storming), home room, dan karyawisata.
4. Fungsi
Penyembuhan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang bersifat kuratif. Fungsi
ini berkaitan erat dengan upaya pemberian bantuan kepada konseli yang telah
mengalami masalah, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun
karir. Teknik yang dapat digunakan adalah konseling, dan remedial
teaching.
5. Fungsi
Penyaluran, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli memilih
kegiatan ekstrakurikuler, jurusan atau program studi, dan memantapkan
penguasaan karir atau jabatan yang sesuai dengan minat, bakat, keahlian dan
ciri-ciri kepribadian lainnya. Dalam melaksanakan fungsi ini, konselor perlu
bekerja sama dengan pendidik lainnya di dalam maupun di luar lembaga
pendidikan.
6. Fungsi
Adaptasi, yaitu fungsi membantu para pelaksana pendidikan, kepala
Sekolah/Madrasah dan staf, konselor, dan guru untuk menyesuaikan program
pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat, kemampuan, dan kebutuhan
konseli. Dengan menggunakan informasi yang memadai mengenai konseli,
pembimbing/konselor dapat membantu para guru dalam memperlakukan konseli secara
tepat, baik dalam memilih dan menyusun materi Sekolah/Madrasah, memilih metode
dan proses pembelajaran, maupun menyusun bahan pelajaran sesuai dengan
kemampuan dan kecepatan konseli.
7. Fungsi
Penyesuaian, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli agar
dapat menyesuaikan diri dengan diri dan lingkungannya secara dinamis dan
konstruktif.
8. Fungsi
Perbaikan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli sehingga
dapat memperbaiki kekeliruan dalam berfikir, berperasaan dan bertindak
(berkehendak). Konselor melakukan intervensi (memberikan perlakuan) terhadap
konseli supaya memiliki pola berfikir yang sehat, rasional dan memiliki
perasaan yang tepat sehingga dapat mengantarkan mereka kepada tindakan atau
kehendak yang produktif dan normatif.
9. Fungsi
Fasilitasi, memberikan kemudahan kepada konseli dalam mencapai pertumbuhan dan
perkembangan yang optimal, serasi, selaras dan seimbang seluruh aspek dalam
diri konseli.
10. Fungsi
Pemeliharaan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli
supaya dapat menjaga diri dan mempertahankan situasi kondusif yang telah
tercipta dalam dirinya. Fungsi ini memfasilitasi konseli agar terhindar dari
kondisi-kondisi yang akan menyebabkan penurunan produktivitas diri. Pelaksanaan
fungsi ini diwujudkan melalui program-program yang menarik, rekreatif dan
fakultatif (pilihan) sesuai dengan minat konseli
B.
Prinsip
Terdapat beberapa prinsip dasar yang dipandang
sebagai fundasi atau landasan bagi pelayanan bimbingan. Prinsip-prinsip ini
berasal dari konsep-konsep filosofis tentang kemanusiaan yang menjadi dasar
bagi pemberian pelayanan bantuan atau bimbingan, baik di Sekolah/Madrasah
maupun di luar Sekolah/Madrasah. Prinsip-prinsip itu adalah:
1. Bimbingan
dan konseling diperuntukkan bagi semua konseli. Prinsip ini berarti bahwa
bimbingan diberikan kepada semua konseli atau konseli, baik yang tidak
bermasalah maupun yang bermasalah; baik pria maupun wanita; baik anak-anak,
remaja, maupun dewasa. Dalam hal ini pendekatan yang digunakan dalam bimbingan
lebih bersifat preventif dan pengembangan dari pada penyembuhan (kuratif); dan
lebih diutamakan teknik kelompok dari pada perseorangan (individual).
2. Bimbingan
dan konseling sebagai proses individuasi. Setiap konseli bersifat unik (berbeda
satu sama lainnya), dan melalui bimbingan konseli dibantu untuk memaksimalkan
perkembangan keunikannya tersebut. Prinsip ini juga berarti bahwa yang menjadi
fokus sasaran bantuan adalah konseli, meskipun pelayanan bimbingannya
menggunakan teknik kelompok.
3. Bimbingan
menekankan hal yang positif. Dalam kenyataan masih ada konseli yang memiliki
persepsi yang negatif terhadap bimbingan, karena bimbingan dipandang sebagai
satu cara yang menekan aspirasi. Sangat berbeda dengan pandangan tersebut,
bimbingan sebenarnya merupakan proses bantuan yang menekankan kekuatan dan
kesuksesan, karena bimbingan merupakan cara untuk membangun pandangan yang
positif terhadap diri sendiri, memberikan dorongan, dan peluang untuk
berkembang.
4. Bimbingan
dan konseling Merupakan Usaha Bersama. Bimbingan bukan hanya tugas atau
tanggung jawab konselor, tetapi juga tugas guru-guru dan kepala
Sekolah/Madrasah sesuai dengan tugas dan peran masing-masing. Mereka bekerja
sebagai teamwork.
5. Pengambilan
Keputusan Merupakan Hal yang Esensial dalam Bimbingan dan konseling. Bimbingan
diarahkan untuk membantu konseli agar dapat melakukan pilihan dan mengambil
keputusan. Bimbingan mempunyai peranan untuk memberikan informasi dan nasihat
kepada konseli, yang itu semua sangat penting baginya dalam mengambil
keputusan. Kehidupan konseli diarahkan oleh tujuannya, dan bimbingan
memfasilitasi konseli untuk memper-timbangkan, menyesuaikan diri, dan
menyempurnakan tujuan melalui pengambilan keputusan yang tepat. Kemampuan untuk
membuat pilihan secara tepat bukan kemampuan bawaan, tetapi kemampuan yang
harus dikembangkan. Tujuan utama bimbingan adalah mengembangkan kemampuan
konseli untuk memecahkan masalahnya dan mengambil keputusan.
6. Bimbingan
dan konseling Berlangsung dalam Berbagai Setting (Adegan) Kehidupan. Pemberian
pelayanan bimbingan tidak hanya berlangsung di Sekolah/Madrasah, tetapi juga di
lingkungan keluarga, perusahaan/industri, lembaga-lembaga pemerintah/swasta,
dan masyarakat pada umumnya. Bidang pelayanan bimbingan pun bersifat multi
aspek, yaitu meliputi aspek pribadi, sosial, pendidikan, dan pekerjaan.
C.
Asas-asas Bimbingan Konseling
Keterlaksanaan dan keberhasilan pelayanan bimbingan
dan konseling sangat ditentukan oleh diwujudkannya asas-asas berikut.
1. Asas
Kerahasiaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menuntut dirahasiakanya
segenap data dan keterangan tentang konseli (konseli) yang menjadi sasaran
pelayanan, yaitu data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak
diketahui oleh orang lain. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban penuh
memelihara dan menjaga semua data dan keterangan itu sehingga kerahasiaanya
benar-benar terjamin.
2. Asas
kesukarelaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki adanya
kesukaan dan kerelaan konseli (konseli) mengikuti/menjalani pelayanan/kegiatan
yang diperlu-kan baginya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban membina
dan mengembangkan kesukarelaan tersebut.
3. Asas
keterbukaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar konseli
(konseli) yang menjadi sasaran pelayanan/kegiatan bersifat terbuka dan tidak
berpura-pura, baik di dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri
maupun dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi
pengembangan dirinya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban mengembangkan
keterbukaan konseli (konseli). Keterbukaan ini amat terkait pada terselenggaranya
asas kerahasiaan dan adanya kesukarelaan pada diri konseli yang menjadi sasaran
pelayanan/kegiatan. Agar konseli dapat terbuka, guru pembimbing terlebih dahulu
harus bersikap terbuka dan tidak berpura-pura.
4. Asas
kegiatan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar konseli
(konseli) yang menjadi sasaran pelayanan berpartisipasi secara aktif di dalam
penyelenggaraan pelayanan/kegiatan bimbingan. Dalam hal ini guru pembimbing
perlu mendorong konseli untuk aktif dalam setiap pelayanan/kegiatan bimbingan
dan konseling yang diperuntukan baginya.
5. Asas
kemandirian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menunjuk pada tujuan umum
bimbingan dan konseling, yakni: konseli (konseli) sebagai sasaran pelayanan
bimbingan dan konseling diharapkan menjadi konseli-konseli yang mandiri dengan
ciri-ciri mengenal dan menerima diri sendiri dan lingkungannya, mampu mengambil
keputusan, mengarahkan serta mewujudkan diri sendiri. Guru pembimbing hendaknya
mampu mengarahkan segenap pelayanan bimbingan dan konseling yang
diselenggarakannya bagi berkembangnya kemandirian konseli.
6. Asas
Kekinian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar objek
sasaran pelayanan bimbingan dan konseling ialah permasalahan konseli (konseli)
dalam kondisinya sekarang. Pelayanan yang berkenaan dengan “masa depan atau
kondisi masa lampau pun” dilihat dampak dan/atau kaitannya dengan kondisi yang
ada dan apa yang diperbuat sekarang.
7. Asas
Kedinamisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar isi pelayanan
terhadap sasaran pelayanan (konseli) yang sama kehendaknya selalu bergerak
maju, tidak monoton, dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan
kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu.
8. Asas
Keterpaduan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar berbagai
pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru
pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis, dan terpadu. Untuk
ini kerja sama antara guru pembimbing dan pihak-pihak yang berperan dalam
penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling perlu terus dikembangkan.
Koordinasi segenap pelayanan/kegiatan bimbingan dan konseling itu harus
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
9. Asas
Keharmonisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar segenap
pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada dan tidak boleh
bertentangan dengan nilai dan norma yang ada, yaitu nilai dan norma agama,
hukum dan peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan, dan kebiasaan yang
berlaku. Bukanlah pelayanan atau kegiatan bimbingan dan konseling yang dapat
dipertanggungjawabkan apabila isi dan pelaksanaannya tidak berdasarkan nilai
dan norma yang dimaksudkan itu. Lebih jauh, pelayanan dan kegiatan bimbingan
dan konseling justru harus dapat meningkatkan kemampuan konseli (konseli)
memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai dan norma tersebut.
10. Asas
Keahlian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar pelayanan
dan kegiatan bimbingan dan konseling diselenggarakan atas dasar kaidah-kaidah
profesional. Dalam hal ini, para pelaksana pelayanan dan kegiatan bimbingan dan
konseling hendaklah tenaga yang benar-benar ahli dalam bidang bimbingan dan
konseling. Keprofesionalan guru pembimbing harus terwujud baik dalam penyelenggaraan
jenis-jenis pelayanan dan kegiatan dan konseling maupun dalam penegakan kode
etik bimbingan dan konseling.
11. Asas
Alih Tangan Kasus, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar
pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling
secara tepat dan tuntas atas suatu permasalahan konseli (konseli)
mengalihtangankan permasalahan itu kepada pihak yang lebih ahli. Guru
pembimbing dapat menerima alih tangan kasus dari orang tua, guru-guru lain,
atau ahli lain ; dan demikian pula guru pembimbing dapat mengalihtangankan
kasus kepada guru mata pelajaran/praktik dan lain-lain.
Bahan Kuliah Bimbingan Konseling
Untuk Mahasiswa Prog. S1 Teologia STT Efata
Salatiga
GEREJA
DAN PELAYANAN BIMBINGAN KONSELING
A.
Rencana Pelayanan Bimbingan Konseling
Setiap tubuh orang percaya yang ingin mengembangkan
suatu pelayanan bimbingan harus melakukannya berdasarkan pedoman-pedoman Kitab
Suci dan didalam kerangka gereja yang ada. Artikel berikut ini memberikan saran
tentang cara-cara untuk mengembangkan dan melakukan pelayanan bimbingan.
Beberapa saran mungkin tidak dapat dipraktekkan dalam setiap gereja, namun
kerangkanya dapat memberikan suatu titik tolak.
Bimbingan
alkitabiah harus berada dibawah wewenang tubuh gereja setempat dan bertanggung
jawab kepada pemimpin gereja. Masing-masing pembimbing harus tunduk kepada
Tuhan, pimpinan, dan Tubuh Kristus. Para pembimbing harus diangkat dan ditunjuk
oleh pemimpin untuk melayani Tuhan dengan melayani orang-orang dalam jemaat yang
sedang menderita masalah-masalah kehidupan. Karena kebergantungan yang kuat
kepada Roh Kudus dan karena bimbingan merupakan suatu fungsi Tubuh Kristus dan
suatu pernyataan kasih Allah, maka tidak ada biaya bimbingan. Idealnya,
bimbingan harus merupakan saluran kasih dan pelayanan yang wajar dalam
persekutuan orang-orang percaya yang saling mengenal dan saling mengasihi.
Bimbingan mungkin muncul dari hubungan kepercayaan yang telah terjalin antara
pemimpin dan anggota pelayanan kelompok kecil dalam sebuah gereja.
Pelayanan
bimbingan alkitabiah di gereja kami tumbuh karena suatu kebutuhan dalam Tubuh
Tuhan. Pendeta kami menjadi terlalu dibebani dengan tugas bimbingan, namun
merasa bertanggung jawab untuk melayani kawanan domba. Ia mulai memanggil
beberapa orang dari kami dalam jemaat untuk ikut memikul masalah-masalah
kehidupan. Ketika kami semakin terlibat, kami melihatnya sebagai suatu
pelayanan yang diinginkan Allah bagi umat-Nya -- suatu fungsi Tubuh
Kristus.
Dalam
kitab Kejadian, Yitro menyarankan suatu rencana yang mirip bagi Musa. Hari demi
hari orang-orang berbaris di luar tenda Musa untuk meminta bimbingan dan
nasihat, sama seperti banyak orang di gereja mungkin datang kepada pendetanya
untuk bimbingan. Yitro dapat melihat bahwa itu adalah tugas yang terlalu berat
untuk dilakukan oleh satu orang dan menyarankan agar Musa membagi tanggung
jawab ini dengan orang-orang lain. Musa menugaskan pemimpin-pemimpin kelompok
dan mengajarkan cara-cara Allah kepada mereka agar dapat membimbing mereka yang
perlu mengetahui cara Allah dalam suatu situasi tertentu dan menemukan cara
Allah untuk penyelesaian masalah. Dalam Tubuh Kristus diperlukan jauh lebih
banyak pelayanan daripada yang dapat dilakukan oleh satu orang. Kevin Springer
dalam "Pastoral Renewal" merasa prihatin bahwa "banyak pemimpin
menghabiskan waktu yang lama dan sukar dengan sekelompok kecil dari bangsa
mereka, dan mengabaikan anggota-anggota yang lebih bertalenta, anggota-anggota
orang dewasa yang terabaikan -- justru anggota-anggota yang dapat diperlengkapi
untuk melayani orang lain". Seorang pendeta yang bijaksana akan memimpin
orang-orang lain ke dalam segi-segi pelayanan yang dipikul bersama sehingga
seluruh tubuh boleh berfungsi bersama dan menyatakan keutuhan dan kekudusan
yang dimaksudkan oleh Tuhan bagi gereja.
Sangatlah
menolong bila seorang pendeta dapat menyarankan seseorang supaya pergi kepada
seorang pembimbing alkitabiah dalam persekutuan setempat sehingga orang yang
membutuhkan bimbingan tidak jatuh ke dalam tangan "pembimbing gadungan"
atau tidak usah berpaling kepada orang-orang di luar gereja yang mungkin
membimbing menurut filsafat dan pengajaran yang tidak sesuai dengan pengajaran
dalam persekutuan. Tidak ada bagian dalam Kitab suci yang mengatakan agar
menyuruh seorang percaya pergi ke dunia untuk menemukan pertolongan bagi
masalah-masalah kehidupan. Yesus memanggil murid-murid-Nya untuk melayani, dan
Ia mengutus Roh Kudus untuk memenuhi kebutuhan umat.
B.
Mengembangkan Suatu Pelayanan Bimbingan
Unsur-unsur
dasar bagi perubahan sudah ada dalam gereja yang mempunyai lingkungan kasih dan
pengajaran firman Allah yang kuat. Bimbingan alkitabiah dalam sebuah gereja
semata-mata merupakan bentuk pelayanan belas kasihan dan kebenaran Allah yang
lebih pribadi dan khusus. Karena itu, bimbingan alkitabiah tidak boleh
dirasakan asing. Sekalipun demikian, banyak hamba Tuhan dan orang awam merasa
sama sekali tidak diperlengkapi karena mereka mengira bahwa bimbingan
alkitabiah bagaimanapun juga harus menyamai bimbingan psikologis.
Bimbingan
alkitabiah melibatkan persekutuan kasih dalam tubuh (lingkungan bagi perubahan)
dan khotbah serta pengajaran firman (arah bagi perubahan) dan bukan
teknik-teknik dan teori-teori bimbingan psikologis.
Bila
seorang pendeta ingin mengembangkan suatu pelayanan bimbingan dalam tubuh, maka
apa yang memang sudah ada dalam kelompok hendaklah diterapkan kepada
orang-orang secara perseorangan. Dalam bimbingan alkitabiah perhatian menjadi
bersifat pribadi dengan cara menyediakan waktu dan bersedia mendengarkan, dan pengajaran
menjadi bersifat pribadi untuk memenuhi kebutuhan khusus seseorang. Maka
lingkungan dan arah perubahan dengan cara memberikan kemurahan dan kebenaran
lebih disesuaikan dengan seseorang daripada dengan suatu kelompok secara
keseluruhan. Pendeta mempunyai lebih banyak untuk diberikan daripada yang
mungkin disadarinya.
Anggota-anggota
jemaat mungkin juga mempunyai lebih banyak untuk diberikan dalam bimbingan
daripada yang disadari mereka. Ketika mereka telah berpartisipasi sebagai
anggota-anggota suatu lingkungan yang penuh perhatian, dan ketika mereka secara
pribadi telah mengikuti kebenaran Kitab Suci dalam kehidupan mereka sendiri,
mereka telah mengalami pengaruh-pengaruh dari lingkungan yang penuh kasih dan
pengarahan untuk perubahan. Banyak orang telah menyediakan lingkungan yang
penuh kasih sayang dan pengarahan untuk perubahan melalui interaksi pribadi
dengan sesama orang Kristen. Dengan demikian sudah banyak orang yang telah
diperlengkapi untuk melayani sebagai pembimbing alkitabiah.
Kecuali
jika suatu jemaat hanya terdiri dari orang-orang percaya yang baru atau masih
muda, maka akan ada suatu kelompok orang dalam persekutuan yang diperlengkapi
untuk membimbing. Orang-orang ini telah mempelajari Alkitab dan telah
menerapkan firman Allah dalam kehidupan mereka sendiri. Mereka mempunyai
karunia untuk membimbing di dalam keseimbangan antara kasih sayang dan
kebenaran. Semua jemaat yang telah kami hubungi berkenaan dengan suatu
pelayanan bimbingan mempunyai anggota-anggota yang bersedia dan mampu melayani
dengan segera jika kesempatan diberikan. Memulai suatu pelayanan bimbingan
semata-mata menyangkut pemilihan pembimbing, memberi latihan dalam
prinsip-prinsip dasar yang akan mereka butuhkan untuk diterapkan dalam
pelayanan bimbingan, mengorganisasikan dan mengumumkan pelayanan itu, lalu
mempercayakan hasilnya kepada Allah.
Di
samping latihan dari Tuhan yang telah diterima mereka, para pembimbing dan
calon pembimbing harus terus belajar sementara mereka menyelidiki Kitab suci
untuk mencari cara-cara Allah bagi pelayanan kepada orang-orang, sementara
mereka membaca buku untuk memperoleh manfaat dari pengalaman orang lain yang
membimbing menurut firman Allah, dan juga sementara mereka mulai melayani
pribadi-pribadi. Cara terutama untuk belajar bagaimana melakukan sesuatu adalah
dengan melakukannya. Pedoman memang diperlukan, namun cara satu- satunya untuk
benar-benar belajar adalah dengan mulai menyediakan lingkungan yang penuh
kemurahan dengan cara mendengarkan, memperhatikan, dan mendoakan. Kemudian
ketika Roh Kudus memberikan hikmat, pengajaran ditambahkan. Kebergantungan
kepada Roh Kudus sungguh sangat penting karena lingkungan yang terbaik bagi
bimbingan datang dari kehadiran Allah dan arah perubahan datang dari firman-
Nya sementara Roh Kudus membuatnya menjadi dapat diterapkan dan hidup.
Tampaknya
salah satu aspek yang paling merisaukan dalam memulai suatu pelayanan bimbingan
ialah program latihan. Banyak pendeta merasa tidak mampu untuk mengajar sebuah
kelas dalam bimbingan alkitabiah. Padahal, prinsip-prinsip Alkitab yang
merupakan dasar bimbingan alkitabiah telah dikhotbahkan dan diajarkan dari
mimbar selama ini. Karena seorang pembimbing alkitabiah melayani dengan belas
kasihan dan kebenaran untuk menyediakan lingkungan dan arah bagi perubahan,
maka latihan harus berkisar pada kedua bidang tersebut.
Memberi
pengajaran tentang menyediakan lingkungan yang penuh kemurahan tentunya sudah
biasa dilakukan oleh seorang pendeta yang telah mendorong jemaatnya untuk
menyediakan lingkungan seperti itu. Karena dalam melayani jemaatnya seyogyanya
ia telah mengajarkan kasih, kebaikan, kemurahan, kesabaran, pengertian, dan
sifat-sifat lain yang harus berkembang sebagai buah Roh, ia memiliki suatu
sumber yang kaya akan bahan pelajaran.
Di
samping itu, ia harus memilih pembimbing-pembimbing awam yang telah memiliki
sifat-sifat tadi dan buah Roh. Pengajaran dalam bidang ini kemudian dapat
ditambah dengan artikel-artikel dan buku- buku yang menekankan unsur saling
memperhatikan dalam Tubuh Kristus.
Seorang
pendeta juga tahu bagaimana melatih pembimbing untuk memberikan arah dalam
lingkup bimbingan. Ia akan mengajarkan kepada para pembimbing apa yang harus
diajarkan, yaitu bagaimana caranya hidup dalam kehidupan Kristen. Ia akan
mengajar mereka untuk menerapkan secara pribadi pengajaran firman Allah yang
sama yang diajarkannya dari mimbar; bagaimana menjalani kehidupan Kristen
dengan menerima kasih Allah, mempercayai-Nya, dan menaati-Nya.
Karena
khotbah, pengajaran kelompok, dan bimbingan pribadi semuanya meliputi
pengajaran tentang bagaimana menjalani kehidupan Kristen dan doktrin-doktrin
dasar Kitab suci lainnya, adalah menarik untuk melihat beberapa persamaan dan
perbedaan yang ada. Khotbah, pengajaran, dan bimbingan alkitabiah harus: (1)
didasarkan pada doktrin-doktrin Kitab Suci; (2) berpusatkan pada Allah dan
sifat-Nya, firman dan kehendak-Nya; (3) membimbing orang-orang dalam menjalani
kehidupan Kristen; (4) memotivasi orang-orang untuk memilih dan melakukan
kehendak Allah; (5) menasihati, menjelaskan, mendorong, dan mengasihi; (6)
bergantung kepada Roh Kudus; (7) menyadari kebutuhan orang-orang yang
mendengarkan; dan (8) mengusahakan kesembuhan, perubahan, dan
pertumbuhan.
Dalam
beberapa hal bimbingan berbeda dengan khotbah atau pengajaran kelompok. Bimbingan
meliputi tindakan mendengarkan dan berbicara. Baik orang yang dibimbing maupun
pembimbing belajar satu tentang yang lain dan juga tentang Tuhan. Apa yang
diajarkan didasarkan atas kebutuhan seseorang sebagaimana yang dilihat melalui
mendengarkan dan berdoa, sedangkan dalam pengajaran atau khotbah pokok bahasan
didasarkan atas kebutuhan kelompok sebagaimana dilihat melalui pengenalan akan
kelompok dan doa. Adakalanya bimbingan mungkin berupa hubungan pribadi atas
kemurahan sementara yang dibimbing memilih petunjuk Allah. Barangkali
perbedaan-perbedannya dapat diringkaskan sebagai berikut: bimbingan lebih
bersifat pribadi, terjadi melalui percakapan, menyentuh kebutuhan-kebutuhan
tertentu, dan menyampaikan kasih sayang dan kebenaran Allah melalui waktu yang
diberikan kepada seseorang atau suatu pasangan.
Kebenaran-kebenaran
yang sama dapat diajarkan melalui mimbar, di dalam kelas, dan selama bimbingan.
Karena itu, seorang pendeta dapat melakukan banyak hal untuk melatih
anggota-anggota jemaatnya dalam bimbingan alkitabiah. Namun, bimbingan itu
sendiri merupakan suatu karunia yang berbeda dari khotbah dan pengajaran. Cukup
sering seorang pendeta yang memiliki karunia dalam berkhotbah dan yang
karenanya dapat mengajarkan banyak hal tentang bimbingan mungkin sebenarnya
tidak mempunyai karunia membimbing. Sebaliknya, ada orang-orang yang mempunyai
kemampuan antar pribadi dan kemampuan untuk mendengarkan dengan penuh
pengertian dan kesabaran yang mampu membimbing secara efektif, namun dapat
membuat pendengar tertidur kalau ia berkhotbah. Sumber kasih sayang dan
kebenaran itu sama, namun karunia, panggilan, dan cara menyajikan berbeda.
Karena itu, seorang pendeta yang merasa tidak mampu menjadi seorang pembimbing
dapat menjadi alat untuk mengajar orang-orang lain tentang banyak hal yang
dibutuhkan mereka untuk memberi bimbingan.
Untuk menjadi gereja yang siap memberikan pelayanan
bimbingan (konseling) ada beberapa persyaratan; berikut ini adalah 9 ciri yang
dibutuhkan:
C.
CIRI-CIRI "GEREJA YANG SALING MEMPEDULIKAN"
1. Terdiri
dari jemaat yang percaya pada Tuhan Yesus sebagai Juruselamat dan mau hidup
sesuai dengan kebenaran firman-Nya. Jemaat dari gereja yang saling mempedulikan
juga memperhatikan penginjilan, pemuridan, dan membekali setiap anggota dengan
makanan rohani yang sehat, sehingga mereka juga dapat melayani orang lain,
mempedulikan sesama, mengabarkan Injil baik di rumah, di masyarakat sekitarnya
maupun di mana saja mereka berada.
2. Pemimpin-pemimpin
gereja yang saling mempedulikan termasuk pendetanya, terdiri dari orang-orang
yang benar-benar rindu untuk tumbuh sebagai anak-anak Allah dan dengan tulus
memperhatikan kebutuhan orang lain. Hal ini diekspresikan dalam sikap mau
mendengar, menghibur, mendorong dan membimbing dalam kasih dan pengertian.
3. Suasana
kebaktian di gereja yang saling mempedulikan berpusatkan pada Kristus dan
pembinaan persaudaraan. Ada usaha yang sungguh- sungguh untuk memberikan
sambutan yang hangat pada mereka yang datang. Kebenaran firman dan kebutuhan
jemaat merupakan inti dari setiap pemberitaan firman Tuhan dan dapat pengajaran
di sekolah minggu. Kesempatan selalu disediakan bagi mereka yang membutuhkan
bantuan doa, pertolongan, dan persekutuan.
4. Gereja
yang saling mempedulikan juga memberikan kesempatan bagi jemaat, untuk saling
menanggung beban dan saling membantu, sehingga ada kesempatan bagi pendeta
untuk bekerja sama dengan jemaat untuk saling mendukung dalam pelayanan. Jemaat
dapat menunjukkan perhatian pada mereka yang baru pindah, sakit, yang menderita,
yang tidak mempunyai keluarga, kesepian, dll. Secara perorangan maupun sebagai
jemaat, selalu ada usaha untuk memenuhi kebutuhan yang ada di masyarakat.
5. Kelompok
doa, pemahaman Alkitab, dan pelayanan keluar sangat ditekankan. Dalam grup
selalu disediakan kesempatan bagi setiap anggota untuk mengutarakan persoalan
dan perasaan mereka, dalam suasana kekeluargaan dan kasih.
6. Para
pengajar juga memperhatikan kebutuhan murid-muridnya. Mereka berusaha membawa
setiap murid dekat pada Tuhan dan belajar mempercayakan setiap kebutuhannya
kepada Tuhan.
7. Mempunyai
beban misi, tidak saja pada masyarakat sekitarnya tetapi juga di bagian dunia
yang lain. Jemaat tidak saja memperhatikan penginjilan tetapi juga kebutuhan
sosial mereka, sehingga tidak saja membawa berita keselamatan melalui iman pada
Kristus, namun juga memperhatikan kebutuhan jasmani orang-orang lain.
8. Memberikan
kesempatan pada jemaat untuk memberikan persembahan bahan maupun pelayanan
mereka dalam berbagai bidang.
9. Jabatan
kepemimpinan diberikan kepada mereka yang mendemonstrasikan sikap dan
perbuatannya sebagai murid Kristus yang patut diteladani dan pada mereka yang
sungguh-sungguh memperhatikan sesamanya.
D.
Model Konseling Gereja Lokal.
Dalam
tahun-tahun terakhir ini tuntutan yang semakin bertambah besar bagi pelayanan
konseling telah mendorong studi yang serius bagi para profesional sebagai
konselor. Konsep para konselor yang dididik secara tidak profesional telah
menjadi populer. Bagi sejumlah orang gagasan "konseling" memiliki
pesona dan daya tarik tertentu tetapi yang menyerang prospek sekolah formal.
Terutama dalam gereja, kelompok kerja dan konseling teman sebaya telah menyebar
dalam gaya epidemis, mengambil bentuk pertemuan pernikahan, latihan kepekaan
antar pribadi, analisa pelaksanaan, dan yang semacam itu. Sangat disesalkan,
peranan konseling banyak menarik orang-orang yang tidak kokoh yang terpikat
oleh kesempatan untuk keintiman secara instan; beberapa orang tertarik oleh
posisi otoritas yang kelihatan; yang lainnya melihat titel "Konselor"
sebagai pemenuhan secara pribadi. Banyak orang secara tidak sadar sedang
berharap untuk menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri dalam kedudukan sebagai
konselee.
Dengan
semangat yang dikendalikan oleh kewaspadaan terhadap masalah- masalah yang
berkaitan, saya meramalkan perkembangan konseling yang penuh arti dalam gereja
lokal yang dijalankan oleh para anggota gereja. Apabila itu dioperasikan secara
alkitabiah, maka anggota tubuh Kristus dapat memperlengkapi para individu
dengan semua sumber yang dapat diperlukan untuk menyesuaikan signifikansi dan
sekuriti dalam Kristus. Namun kita tidak seharusnya berpikir bahwa kesempatan
untuk pelayanan (yang memenuhi keperluan makna) dan persekutuan (yang memenuhi
keperluan rasa aman) secara otomatis akan disambut gembira dengan seksama oleh
setiap orang percaya dan dengan jelas dipahami sebagai sesuatu yang relevan
dengan kebutuhan-kebutuhan dasar mereka. Pola-pola yang tidak disadari dari
tingkah laku yang berdosa dan pendekatan yang keliru terhadap kehidupan yang
secara diam-diam berkepanjangan akan terus berfungsi meskipun ada komitmen yang
tulus yang dilakukan secara sadar. Hati ini menipu. Keyakinan- keyakinan yang
keliru sering bersikeras tetap tinggal sampai disingkapkan di dalam terang
kesadaran yang jelas. Konseling individu sering dibutuhkan untuk menangani
bentuk-bentuk masalah ini. Paulus mengingatkan orang-orang Kristen di
Tesalonika bahwa ia telah bekerja dengan setiap orang secara individu dalam
usahanya untuk membimbing mereka kepada kedewasaan rohani (1Tesalonika 2:11).
Gereja lokal harus menerima tanggung jawab bagi pribadi secara individu untuk
memperhatikan setiap anggota. Dengan nyata tidak ada staf pelayanan yang dengan
memadai dapat menangani kebutuhan- kebutuhan yang sangat besar untuk
memperhatikan individu dalam anggota tubuh Kristus. Hal ini juga bahkan tidak
diusahakan. Pekerjaan itu milik anggota tubuh Kristus.
Ada
tiga level konseling -- Feelings/Perasaan, Actions/Tingkah Laku,
Thoughts/Pemikiran -- yang dapat dipadukan dengan luwes ke dalam struktur
gereja lokal.
Masalah Perasaan Perasaan Alkitabiah | ^ v | Masalah
Tingkah Laku Tingkah Laku Alkitabiah | ^ | | | Memastikan Komitmen | ^ v |
Masalah Pemikiran Pemikiran Alkitabiah | ^ | |
------------>Mengajar-------------
Dalam
model atas yang sederhana tetapi saya yakin komprehensif, tiga kemungkinan
jenis konseling dapat dikenali [Perasaan => Dorongan; Tingkah Laku =>
Nasihat; Pemikiran => Penerangan].
Konseling
melalui:
Level 1 Masalah Perasaan ------ DORONGAN ----->
Perasaan Alkitabiah
Level 2 Masalah Tingkah Laku -- NASIHAT -->
Tingkah Laku Alkitabiah
Level 3 Masalah Pemikiran ----- PENERANGAN -->
Pemikiran Alkitabiah
Mengacu pada Diagram
Proposal saya adalah sebagai berikut: semua anggota
tubuh Kristus dapat dan harus terlibat dalam konseling Level 1. Beberapa
anggota tubuh Kristus (misalnya: tua-tua, gembala sidang, diaken, guru Sekolah
Minggu, orang-orang lainnya yang dewasa rohani dan bertanggung jawab) dapat
dilatih dalam konseling Level 2. Beberapa individu yang dipilih dapat
diperlengkapi untuk menangani masalah- masalah yang lebih dalam, lebih sulit,
kompleks dalam konseling Level 3. Jika dikembangkan sebagaimana mestinya, maka
mungkin itu pengharapan saya yang optimis tetapi realistis bahwa setiap
kebutuhan konseling (kecuali orang-orang yang terlibat masalah
organik/biokimia) akan dipenuhi dalam kelompok gereja.
Bahan
Kuliah Bimbingan Konseling
Untuk
Mahasiswa Prog. S1 Teologia STT POKOK ANGGUR
Sumber
Halaman: 98 - 99
Judul Artikel:
Konseling Kristen yang Efektif
Penulis Artikel:
Dr. Gary R. Collins
Penerbit:
Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang, 1998
Situs:
Diposkan oleh Guru PAK di 23.50
PERENCANAAN
PEMBELAJARAN PAK
Pengajaran
PAK di SD :
Belajar
merupakan suatu proses yang artinya kegiatan belajar senantiasa mengarah kepada
terjadinya perubahan dalam diri seorang siswa dimana siswa dari tidak tahu
menjadi tahu atau tidak mengerti menjadi mengerti. Pembelajaran PAK yang adalah
kegiatan belajar mengajar di dalam Pendidikan Agama Kristen sangat penting
dilaksanakan oleh seorang guru Agama Kristen dalam mengemban tugas atau amanat
Tuhan Yesus , seperti tertulis dalam Injil Matius 28: 19-20: “…….dan ajarlah
mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan
ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman.”
Beberapa hal yang diperhatikan dan dilaksanakan
dalam pelaksanaan pengajaran PAK, di Sekolah Dasar, yaitu:
1. Perencanaan Pengajaran PAK
Rencana
pengajaran adalah rencana guru mengajar mata pelajaran tertentu pada waktu dan
kelas tertentu serta topik tertentu untuk satu pertemuan atau lebih. Rencana
pengajaran berupa bahan-bahan yang dipersiapkan oleh guru sehingga menolong
guru dan siswa. Bahan-bahan tersebut berupa buku-buku atau diktat, alat peraga
untuk kegiatan belajar mengajar. Rencana Pengajaran tersebut berisi mengenai
garis besar pelajaran, keterangan-keterangan, petunjuk-petunjuk atau
gambar-gambar dan soal-soal. Selain itu rencana pengajaran juga merangkum
segala kegiatan lain yang berkaitan dengan pengajaran, misalnya ; hubungan
antara murid dengan murid, murid dengan guru, serta motivasi dan suasana itu
akan mempengaruhi hasil pendidikan.
Dalam
kurikulum 1994, guru membuat program satuan pelajaran (SP) atau sekarang dalam
Kurikulum KTSP (Kurikulim Tingkat Satuan Pendidikan) tahun 2006 dengan nama
Rencana Pelaksanaan Pembalajaran (RPP) untuk setiap pokok bahasan yang akan
disampaikan dalam satu atau dua kali pertemuan. Sedangkan Rencana Pembelajaran
Harian (RPH) atau Rencana Harian (RH) dibuat seminggu sebelum materi
menyampaikan. Rencana Pembelajaran pada Kurikulum 2006 berupa silabus, yaitu ;
garis besar atau pokok materi pelajaran. Adapun rencana pengajaran yang
dipersiapkan guru setiap hari merupakan Kompetensi Dasar (KD) yang akan dicapai
dalam materi pokok. Secara sistematis rencana pembelajaran dalam bentuk satuan
pelajaran adalah sebagai berikut :
a. Identitas
mata pelajaran (nama pelajaran, kelas, semester dan waktu pertemuan yang dialokasikan).
b. Standar
Kompetensi, Kompetensi dasar dan indikator yang hendak dijadikan tujuan dapat diambil dari kurikulum dan hasil
belajar yang ditetapkan pemerintah. Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP).
c. Materi
pokok (beserta uraiannya yang perlu dipelajari siswa dalam mencapai kompetensi dasar).
d. Metode,
Media Pembelajaran dan sumber belajar digunakan untuk kegiatan pembelajaran.
e. Strategi
pembelajaran atau proses belajar mengajar, yaitu ; kegiatan pembelajaran secara konkrit yang dilakukan guru dan siswa
dalam berinteraksi dengan materi pelajaran
untuk menguasai kompetensi.
Strandar
Kompetensi (SK) berfungsi mengembangkan potensi peserta didik, materi standart
berfungsi memberi makna terhadap kompetensi dasar, indikator hasil belajar
menunjukkan keberhasilan pembentukan kompetensi pada peserta didik. Sedangkan
penilaian berbasis kelas untuk mengukur pembentukan kompetensi, menentukan
tindakan tercapai atau tidaknya. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran atau RPP
dalam struktur dan muatan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Rencana
pembelajaran PAK seharusnya memenuhi beberapa syarat, yaitu ; disusun menurut
kebutuhan tiap-tiap jenis pengajaran, sesuai dengan Alkitab yang artinya segala
pokok pengajaran bersumber pada Alkitab.
Dalam
setiap pemanfaatan atau penggunaan alat peraga sebagai media pembelajaran PAK
pada siswa SD ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu antara
lain:
a. Pemilihan Media Pembelajaran
Mengapa
perlu memilih Media Pembelajaran? Media pada hakekatnya merupakan salah satu
komponen sistem pembelajaran. Sebagai komponen, media hendaknya merupakan
bagian integral dan harus sesuai dengan proses pembelajaran secara menyeluruh.
Akhir dari pemilihan media adalah penggunaan atau pemanfaatan media tersebut
dalam kegiatan pembelajaran, sehingga memungkinkan siswa dapat berinteraksi
dengan media yang kita pilih. Salah menentukan alternatif media yang akan kita
gunakan dalam pembelajaran, maka pertanyaan berikutnya sudah tersediakah media
tersebut di sekolah atau di pasaran ? Jika tersedia, maka kita tinggal meminjam
atau membelinya saja. Itupun jika media yang ada memang sesuai dengan tujuan
pembelajaran yang telah kita rencanakan, dan terjangkau harganya. Jika media
yang kita butuhkan ternyata belum tersedia, maka tidak ada alternatif lain kecuali
kita harus membuat sendiri alat peraga sesuai keperluan tersebut.
Jadi,
pemilihan media itu perlu kita lakukan agar kita dapat menentukan media yang
terbaik, tepat dan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sasaran didik. Untuk
itu, pemilihan jenis media harus dilakukan dengan prosedur yang benar, karena
begitu banyak jenis media seperti telah Penulis paparkan pada bab dimuka,
dengan berbagai kelebihan dan kelemahan masing-masing.
Pemilihan
media merupakan keputusan yang menarik dan menentukan terhadap ketepatan jenis
media yang akan digunakan, yang selanjutnya sangat mempengaruhi efektvitas dan
efisiensi proses pembelajaran. Dalam menentukan ketepatan media yang akan
dipersiapkan dan digunakan melakui proses pengambilan keputusan adalah
berhubungan dengan kemampuan yang dimiliki oleh media, termasuk kelebihan dari
karakteristik media yang bersangkutan dihubungkan dengan berbagai komponen
pembelajaran. Belum tentu jenis media yang mahal, yang lebih modern, lebih
serba maju akan mendukung terciptanya pembelajaran yang efektif dan efisien.
Sebaliknya jenis media yang sederhana, harganya murah, mudah dibuat atau mudah
didapat mungkin lebih efektif dibanding yang lebih modern dan mahal tersebut
Begitu juga posisi media dalam pola pembelajaran yang akan dilaksanakan sangat
mempengaruhi ketepatan jenis media yang akan digunakan.
Sebelum melakukan proses pemilihan media ada
beberapa prinsip yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Adanya
kejelasan tentang maksud dan tujuan pemilihan media tersebut
2. Tujuan
pemilihan media harus dihubungkan dengan tujuan dari penggunaan media.
3. Penggunaan
media pembelajaran untuk mencapai tujuan kognitif, afektif atau psikomotor
harus diperhatikan masing-masing dari aspek tujuan tersebut.
4. Dalam
pemilihan media harus diperhatikan pula dalam mempertimbangkan sebagai media
pembelajaran apakah untuk sasaran individu, kelompok, atau klasikal, atau untuk
sasaran tertentu, misalnya anak balita, orang dewasa, masyarakat petani, orang
buta, orang tuli, dan sebagainya
Kriteria
Pemilihan Media Pembelajaran
Dalam memilih media sebagai sarana atau alat peraga
dalam pemeblajaran disamping memperhatikan karakteristik sebuah media dan
prosedur yang benar, juga perhatikan kriteria dalam memilih media, yaitu antara
lain:
1. Alat peraga harus dipilih untuk menjelaskan inti
cerita yang mau
disampaikan.
2. Alat peraga yang dipilih akan menolong anak
mencapai tujuan
khusus.
3. Alat peraga yang dipilih tepat bagi golongan usia
yang diajar
4. Alat peraga yang dipilih akan dapat membangkitkan
rasa ingin tahu,
berimajinasi, makin kreatif atau makin berani mengungkapkan
ekspresinya.
4. Alat peraga yang dipilih mudah didapat ,
terjangkau secara ekonomi.
5. Guru yakin menguasai alat peraga itu, sehingga
penyampaian pelajaran
dapat
terjadi dengan baik.
b. Memilih Metode Pembelajaran
Metode
merupakan alat perantara demi mencapai tujuan yang artinya cara-cara
mengajarkan suatu pokok pelajaran untuk menjadikan efektif dalam
penyampaiannya. Dalam penggunaan metode tidak ada metode atau teknik tertentu
yang efektif untuk semua golongan atau umur dan semua kesempatan belajar
mengajar. Oleh karena itu, guru tidak hanya menggunakan satu metode saja dan
mengesampingkan metode yang lain. Beberapa cara atau tehnik dapat digunakan
sekaligus demi kesuksesan belajar mengajar. Meskipun demikian perlu disadari
bahwa metode apapun yang digunakan guru keberhasilan pengajaran tidak hanya
ditentukan oleh metode itu sendiri melainkan guru yang merupakan faktor penting
dalam pembelajaran PAK. Pribadi guru dan seluruh hidupnya sangat mempengaruhi
cara mengajar dan yang menentukan keberhasilan suatu metode pengajaran adalah
kuasa Roh Kudus.
Beberapa metode atau cara yang digunakan dalam
pengajaran PAK di SD Kedungmjundu 01, Semarang agar pengajarannya berhasil
adalah :
1. Metode
ceramah
Cara menyampaikan materi pelajaran secara lisan
untuk mencapai suatu pengajaran dari guru kepada siswa. Dalam metode ini guru
menguasai dan menjelaskan pokok pelajaran sedangkan siswa menerima, memperhatikan
dan membuat catatan serta mengikuti pelajaran yang disampaikan guru.
2. Metode
bercerita
Mengandung kebenaran dan menyampaikan suatu
pelajaran yang penting pada pendengarnya.
3. Metode percakapan/diskusi
Merupakan suatu cara dimana dua orang atau lebih
mengajukan pendapat untuk mencari jawaban dari masalah yang dihadapi.
4. Metode tanya-jawab
Menyajikan suatu pengajaran dengan jalan mengajukan
pertanyaan supaya mendapatkan jawaban baik lisan maupun tertulis.
5. Metode audio visual
Cara ini sangat menarik perhatian dan mudah diingat
oleh siswa karena menggunakan gambar-gambar terang, film bersuara, papan flanel
dan sebagainya.
6. Metode lakon atau sandiwara
Digunakan para pemain supaya semua penonton
menghayati segala peristiwa dengan penuh perasaan
Oleh
: T. Sukarman
2.
Pelaksanaan Pembelajaran
Tugas
utama seorang guru adalah melaksanakan tugas pembelajaran sesuai dengan yang
telah direncakakan sebelumnya yang berupa perangkat KTSP, yaitu antara lain,
Silabus, Program Tahunan, Program Semester, Rencana Pelaksanaan Pembalajaran
(RPP), maupun Rencana Harian (RH). Setiap pembelajaran PAK selalu
memperhatikan:
a. Pendahuluan
Setiap
proses pembelajaran selalu memiliki pendahuluan karena merupakan susunan
pelajaran yang penting supaya pelajaran yang disampaikan guru berhasil dan
tercapai. Pendahuluan atau permulaan adalah bagian penting yang dapat menarik
perhatian murid kepada pokok pelajaran yang diajarkan. Hal ini agar perhatian
siswa timbul terlebih dahulu karena adanya kontak atau rangsangan dalam pikiran
siswa sehingga dari diri siswa ada minat dan keinginan untuk mengetahui
pengajaran yang diajarkan.
Bentuk
pendahuluan dalam pembelajaran bisa dimulai dengan curah pendapat, tanya jawab,
pernyataan, tangapan maupun apresiasi dari siswa. Kemudian Pujian satu atau dua
lagu yang berkaitan dengan materi pokok, dan indikator, tujuan pembelajaran
yang telah dirumuskan sebelumnya. Doa pembukaan oleh siswa maupun guru. Bisa
doa beryair, berbalasan. Dari pribadi siswa maupun sesuai teks yang sudah
disiapkan oleh guru maupun penulis buku pelajaran PAK.
Pembukaan
diusahakan singkat, padat dan menarik. Jangan terlalu lama. Ambil sepuluh
persen ( 8 – 10 menit) dari semua alokasi waktu dalam satu kali pertemuan
tersebut. Pembukaan yang baik akan menentukan seberapa jauh minat anak belajar
selanjutnya. Apalagi jika pembukaan dengan alat peraga atau media, siswa akan
lebih termotivasi; imajinasi siswa dirangsang; perasaan disentuh dan kesan yang
dalam diperoleh siswa. Dengan media dalam pendahuluan perhatian siswa terhadap
materi pembelajaran meningkat.
b. Isi/ Inti
Setelah
siswa diarahkan kepada pelajaran sehingga memiliki minat, motivasi untuk
belajar, serta perhatian yang dalam terhadap materi yang akan dipelajari, maka
guru harus terus menjaga perhatian supaya siswa tetap fokus akan pengajaran
yang disampaikan. Usahakan materi mulai dengan yang mudah, dasar atau konsep,
istilah dan contoh-contoh. Materi sampaikan dengan sistematis interaktif dan
menarik. Pendalaman materi merupakan hal yang penting setelah penjelasan
istilah atau konsep dasar. Aktifkan dan libatkan siswa dalam seluruh proses
pembelajaran. Media pembelajaran adalah salah satu alat bantu mengajar untuk
meningkatkan kreatifitas dan perhatian siswa dalam proses pembelajaran.
c. Penutup
Dalam
susunan pengajaran bagian terakhir adalah kesimpulan, penutup atau penerapan,
karena pengajaran belum bisa dianggap selesai apabila belum mengarah pada
penerapan yang dilakukan siswa. Dengan menyimpulkan maka dapat menjelaskan
kebenaran yang dipelajari sehingga mendorong siswa untuk melakukan atau
menerapkannya. Dalam penutup juga tugas rumah yaitu untuk meperdalam materi,
maupun persiapan untuk matri berikutnya. Pekerjan rumah hendanya berfariasi
sesuai dengan kecerdasan majemuk. Pekerjaan rumah, bisa berupa proyek, hasta
karya, penyelidikan, pengamatan, maupun mengerjakan soal-soal yang jawabannya
bisa ditemukan sendiri melalui bacaan, mengapatan maupun pengalaman
sendiri.
Pemberikan
tugas rumah harus jelas materinya, kriteria penilaian, batas waktu mengerjakan
dan kapan tugas tersebut harus dikumpul. Juga harus dipertimbangkan waktunya
dan tugas tersebut untuk pribadi maupun dalam kelompok. Penutup diakhiri dengan
pujian maupun doa penutup oleh guru maupun siswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar