Jurnal
Sebagai tugas untuk menyelesaikan studi
di susun oleh:
A
Sekolah Tinggi Teologi Pokok Anggur
Jakarta
2016
Kata
Pengantar
Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan, atas berkat dan
pemeliharaan-Nya selama penulis membuat Jurnal yang berjudul Implementasi Pola
Pendidikan. Dimana penulis merasa bersuka cita atas terlaksana dan atas
terwujudnya sebuah jurnal yang penulis dapat selesaikan dengan baik, walaupun
penulis merasakan banyak hal tantangan yang berat yang penulis rasakan selama
penulisan berlangsung. Segala tantangan yang penulis alami selama penulisan
Jurnal tersebut, penulis dapat lewati itu semua karena Tuhan yang memberikan
kekuatan, kesehatan hingga penulis mampu menyelesaikan penulisan tersebut.
Penulis juga merasa bahwa apa yang penulis buat saat ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu penulis inginkan tanggapan dan saran yang membangun
dari teman-teman, dosen agar apa yang penulis tuangkan tidak sia-sia melainkan
dapat menjadi berkat bagi pembacanya. Dengan adanya masukan yang membangun maka
penulis lebih di perlengkapi dan terutama juga bagi para pembacanya lebih di
perlengkapi dan merasakan berkat yang besar dalam hidup mereka juga.
Dengan demikian maka penulis menyarankan agar setiap pembaca dapat
mencermati serta dapat mengambil suatu makna dari jurnal tersebut serta mampu
mengerti dan terutama dapat membangun diri mereka dalam berbangsa dan
bernegara, serta mampu mencintai pendidikan lebih menuju kepada perubahan
mental, spiritual serta mampu mencerminkan karakter Kristus yang mengara pada
pengajaran yang agung dan yang mulia.
Daftar
isi
Sampul
Kata pengantar
2
Daftar
isi
3
Abstrak 5
Pendahuluan 7
Latar belakang
7
BELAJAR DALAM
PENDIDIKAN
8
1.
Bentuk-bentuk belajar menurut fingsi psikis: 8
·
Belajar afektif
·
Belajar kognitif: mengingat, berfikir
·
Belajar senso-motorik: mengamati, bergerak, berketerampilan
1.
Bentuk-bentuk belajar menurut materi yang dipelajari: 11
·
Belajar teoretis
·
Belajar teknis
·
Belajar sosial atau belajar bermasyarakat
·
Belajar estetis
1. Bentuk-bentuk belajar yang tidak begitu
disadari: 11
2. Belajar insidental
3. Belajar dengan mencoba-coba
4.
Belajar tersembunyi
SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI
BELAJAR
12
Lima tipe
memori
12
Work(kerja).
Implicit(implisit).
Remote(jarak jauh/jangka panjang).
Episodic.
Semantic.
Pentingnya Suatu Pendidikan
13
Prinsip Hidup Orang Percaya
15
DASAR PENDIDIKAN
16
TUJUAN PENDIDIKAN
18
Organisasi makro
Organisasi meso
Organisasi mikro
Media
Pembelajaran
19
Pengertian
Media
20
Ciri-ciri Media Pendidikan
22
1. Ciri Fiksatif (Fixative Property)
2. Ciri Manipulatif (Manipulative Property)
3.
Ciri Distributif (Distributive property)
Teori
Belajar
23
·
·
Perbedaan individual.
·
Tujuan pembelajaran.
·
Organisasi isi.
·
Persiapan sebelum belajar.
·
·
·
Umpan balik.
·
Penguatan (reinforcement).
·
Latihan dan pengulangan.
·
Daftar pustaka
26
Abstrak
Abner, implementasi pola pendidikan
Kemampuan belajar yang dimiliki manusia, merupakan bekal yang sangat pokok
Pendidikan ialah bantuan yang diberikan oleh orang dewasa kepada orang yang
belum dewasa, agar dia mencapai kedewasaan. Belajar adalah perubahan tingkah
laku disebabkan oleh pelatihan dan pengalaman. Bealajar merupakan bagian hidup
manusia yang berlangsung seumur hidup dalam segala situasi dan kondisi yang
dilakukan di sekolah, lingkungan keluarga, dan lingkungan masyarakat, sehingga
menjadi obyek penelitian bagi banyak ahli ilmu psikologi, sehingga lahirlah
aneka ragam pandangan mengenai belajar, yang malah dikembangkan menjadi
teori-teori belajar. Implementasi pendidikan nilai moral adalah pendekatan yang
paling tepat di gunakan dalam pelaksanaan pendidikan budi pekerti di indonesia.
Corak pandangan terhadap masalah belajar yang masih mempengaruhi psikologi
belajar modern, ialah cara berpikir yang dipelopori oleh psikolog Inggris, yang
mengembangkan aliran yang kemudian disebut “Asosianisme”. Belajar diartikan
sebagai proses pembentukan tingkah laku secara terorganisasi. Pendidikan
menjadi aspek penting untuk kemajuan sebuah negara. Kemajuan pendidikan tentu
tidak terlepas dari kompetensi yang dimiliki berbagai pihak. Kompetensi
merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus
dimiliki, dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan oleh guru dalam melaksanakan
kewajiban guru. Pendidikan adalah hidup.” (Redja Mudyahardjo, 2009:3)
pendidikan merupakan hal penting dalam kehidupan setiap orang, dan pandangan
ini dapat diterima oleh seseorang jika telah mengerti dan memahami dengan benar
tentang pendidikan itu sendiri.
Pendidikan secara umum berbasis pengetahuan dan pengalaman yang terjadi
dalam konsep sejarah yang telah dipelopori oleh tokoh-tokoh pendidikan secara
umum. Konsep berpikir bahwa pendidikan merupakan proses pembentukan dan membawa
seorang anak berhadapan langsung dengan Allah, karena Allah adalah pengajar.
Allah selalu mendidik umat-Nya untuk hidup bertanggung jawab dalam menjalani
kehidupan termasuk bertanggung jawab dalam mendidik. Penting untuk membangun
dasar yang kuat dan berkualitas melalui pendidikan dalam gereja, pada
generasi-generasi yang ada sehingga gereja menjadi penentu bagi masa depan dan
kualitas iman jemaat, artinya gereja harus menjadi penentu bagi masa depan
generasi muda menjadi penentu bagi masa depan gereja. Prinsip hidup orang
percaya berlawanan total dengan prinsip hidup orang tidak percaya. Hal ini
terjadi dalam dunia pendidikan sama seperti dalam gereja. Berdasarkan hal ini,
kita akan membahas antitesis dalam pendidikan. Pendidik Kristen yang kita sudah
pelajari, comenius pun berpendapat bahwa pendidikan yang ia maksudkan
selayaknya di namakan pendidikan agama Kristen, karena nilai-nilainya berporos
pada iman Kristen. Jadi, teologi adalah dasar pertama yang pertama menyoroti
dan mempraktekan akan pendidikan. Perumusan suatu tujuan pendidikan, yang
menetapkan hasil yang seharusnya diperoleh pada pihak siswa setelah tamat,
dijabarkan atas pengetahuan dan pemahaman, keterampilan, sikap dan nilai yang
telah menjadi milik siswa.
Belajar adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada diri setiap
orang sepanjang hidupnya. Proses belajar itu terjadi karena adanya interaksi
antara seseorang dengan lingkungannya.
Kata media berasal dari bahasa Latin medius yang
secara harfiah berarti “tengah”, “perantara” atau “pengantar.” Dalam bahasa
Arab, media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima
pesan. Gerlach & Ely (1971) mengatakan bahwa media apabila dipahami secara
garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi yang
membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap.
Dari segi teori belajar, berbagai kondisi dan prinsip-prinsip psikologis
yang perlu mendapat pertimbangan dalam pemilihan dan penggunaan media
Kesimpulan media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan
untuk menyampaikan pesan atau informasi dalam proses belajar mengajar sehingga
dapat merangsang perhatian dan minat siswa dalam belajar.
Teknologi pembelajaran, adalah kajian dan praktik etis untuk menfasilitasi
belajar dan memperbaiki kinerja dengan menciptakan, menggunakan, dan mengelola
proses dan sumber-sumber teknologi yang sesuai
Jumlah kata : 558 kata
Pendahuluan
Pada dasarnya kita dapat memahami betapa pentingnya penulisan jurnal
tersebut demi untuk mencapai suatu standar yang telah ditetapkan dalam sebuah
sekolah dimana dalam pencapaian akan sebuah gelar diperlukan ketekunan serta
kerja keras yang didasari pada suatu tugas dan kegiatan belajar mengajar dalam
konteks pendidikan di dalam sekolah dimana seseorang mendapatkan suatu ilmu
baru yang akan di tuangkan bagi orang lain, dimana seorang pelajar telah
mendapatkan ilmu baru dan ia ingin dan rindu berbagi kepada orang lain. Dalam
jurnal tersebut, dimana kita akan membahas tentang Implementasi Pola
Pendidikan.
Latar
belakang
Melihat keadaan sekarang, masih banyak orang yang menyepelekan akan
pendidikan akibat kurangnya kepedulian para pendidik. Hal itu di akibatkan
karena para pendidik kurang mampu dalam mendidik dengan baik. Hal demikian kita
tidak bisa fungkiri karena banyak hal yang menjadi penghambat pendidikan
tersebut, yakni kurangnya teori mengajar untuk bertindak, kurangnya kepedulian
orangtua dalam mendidik anaknya karena diakibatkan orangtua kurang memahami
arti dan makna pendidikan, walaupun sekarang ini sudah banyak orangtua yang
sudah mulai paham arti dan makna pendidikan. Dengan demikian, maka diharapkan
bagi para pengajar untuk lebih memperluas wawasannya sebelum mengajar, agar
supaya ketika dalam mengajar tidak muda lari dari tanggung jawab. Lewat jurnal
ini dapat membantu para kita untuk memahami pentingnya pendidikan, teori-teori
dalam mendidik, serta tujuan belajar.
Kemampuan belajar yang dimiliki manusia, merupakan bekal yang sangat pokok.
Berdasarkan kemampuan itu, umat manusia telah berkembang selama abad-abad yang
lalu dan tetap terbuka kesempatan luas baginya untuk memperkaya diri dan
mencapai taraf kebudayaan yang lebih tinggi.
Berdasarkan kamus bahasa Indonesia, Implementasi adalah pelaksanaan,
penerapan. Jadi implementasi merupakan suatu proses atau cara yang dilakukan
dalam mencapai suatu tujuan yang diharapkan dimana dalam proses ada suatu hal
yang akan memberikan kepastian dalam pelaksanaannya, serta dapat membuat orang
mendapatkan kepastian yang selalu diharapkan untuk terlaksana dengan baik.
Dalam bagian-bagian tertentu di perlukan beberapa hal, untuk menuntun seseorang
menjadi lebih baik dan memberikan sebuah jawaban yang penuh dengan keyakinan
dimana dalam keyakinan itu memiliki pengharapan yang pasti yang memberikan
suatu pemikiran yang baru dimana orang dapat terus berpikir serta mampu
mengambil sebuah keputusan untuk terus bertindak sesuai tuntutan yang telah di
dapat dan mampu menerapkannya/melakukannya, dalam hal ini seseorang dapat
bertindak sesuai dengan cara-cara yang di berikan berdasarkan keadaan jamannya.
Pendidikan ialah bantuan yang diberikan oleh orang dewasa kepada orang yang
belum dewasa, agar dia mencapai kedewasaan. Bantuan yang diberikan oleh
pendidik itu berupa pendampingan, yang menjaga agar anak didik belajar hal-hal
yang positif, sehingga sungguh-sungguh menunjang perkembangannya. Maka, cara
belajar anak didik diarahkan dan tidak dibiarkan berlangsung tidak dibiarkan
berlangsung sembarangan saja tanpa tujuan. Tuntunan itu diberikan melalui
pergaulan pedagogis dengan anak, yaitu pergaulan yang bersifat mendidik.
Pendidikan berlangsung melalui dan di dalam pergaulan, tetapi tidak setiap
pergaulan antara orang dewasa dan anak, dengan sendirinya, bersifat pedagogis
(mendidik). Pergaulan baru akan bersifat pedagogis, apabila pendidik bermaksud
dan berusaha untuk mempengaruhi anak, demi perkembangan anak itu, serta
pendidik pun mempunyai wewenang terhadap anak itu.[2]
Belajar
Dalam Pendidikan
Belajar adalah perubahan tingkah laku disebabkan oleh pelatihan dan
pengalaman. Bealajar merupakan bagian hidup manusia yang berlangsung seumur
hidup dalam segala situasi dan kondisi yang dilakukan di sekolah, lingkungan
keluarga, dan lingkungan masyarakat.[3]
Belajar merupakan sesuatu yang telah menjadi obyek penelitian bagi banyak
ahli ilmu psikologi, sehingga lahirlah aneka ragam pandangan mengenai belajar,
yang malah dikembangkan menjadi teori-teori belajar.
Adapun sistematika bentuk belajar adalah sebagai berikut:
1. Bentuk-bentuk belajar menurut fingsi
psikis:
3. Belajar afektif
4. Belajar kognitif: mengingat, berfikir
5.
Belajar senso-motorik: mengamati, bergerak, berketerampilan
1.
Bentuk-bentuk belajar menurut materi yang dipelajari:
·
Belajar teoretis
·
Belajar teknis
·
Belajar sosial atau belajar bermasyarakat
·
Belajar estetis
1. Bentuk-bentuk belajar yang tidak begitu
disadari:
2. Belajar insidental
3. Belajar dengan mencoba-coba
4.
Belajar tersembunyi
1.
Bentuk-bentuk belajar menurut fungsi psikis
·
Belajar dinamik/konatif. Ciri khasnya terletak dalam belajar berkehendak
sesuatu secara wajar, sehingga orang tidak menyerah pada sembarang menghendaki
dan juga tidak menghendaki sembarang hal. Berkehendak adalah suatu aktivitas
psikis, yang terarah pada pemenuhan suatu kebutuhan yang disadari dan di
hayati. Kebutuhan itu dapat merupakan kebutuhan biologis, seperti kebutuhan
akan mengistirahatkan tubuh atau mendapatkan bahan makanan. Kebutuhan itu dapat
juga merupakan kebutuhan psikologis, seperti kebutuhan akan pengetahuan dan
lingkungan hidup yang aman. Penyadaran dan penghayatan kebutuhan itu
menimbulkan dorongan untuk bertindak, sehingga kebutuhannya dapat terpenuhi.
Dorongan itu terealisasi dalam berkehendak. Berkehendak itu bukan sekedar
berkeinginan saja, dalam arti “semoga dapat tercapai,” melainkan berdaya-upaya
nyata untuk mencapai apa yang dikehendaki, berdasarkan penghayatan kebutuhan.
Kehendak yang manusiawi, mengekspresikan diri dalam berkemauan secara bebas dan
sadar.
·
Belajar afektif. Salah satu ciri ialah belajar menghayati nilai dari suatu
obyek yang dihadapi melalui alam perasaan, entah obyek itu berupa orang, benda
atau kejadian/peristiwa; ciri yang lain terletak dalam belajar mengungkapkan
perasaan dalam bentuk ekspresi yang wajar. Di dalam merasa, orang langsung
menghayati apakah suatu obyek baginya berharga/bernilai atau tidak. Bila obyek
itu dihayati sebagai sesuatu yang berharga, maka timbullah perasaan senang;
bila obyek itu dihayati sebagai sesuatu yang tidak berharga, maka timbullah
perasaan tidak senang. Misalnya, dua sejoli yang sedang asyik berpacaran,
menghayati kebersamaan mereka sebagai sesuatu yang sangat berarti dan penuh
makna positif; karena itu mereka berperasaan senang. Demikian pula, dengan
kehadiran orang ketiga dihayati sebagai sesuatu yang mengganggu saja dan tidak
bermakna positif bagi mereka; karena itu mereka mengalami perasaan tidak
senang. Maka terjadilah suatu penilaian secara spontan, mengenai apa yang bermakna
positif atau bermakna negatif. Perasaan senang dan tidak senang, merupakan
suatu reaksi dalam alam perasaan yang bersifat mendasar dan masih agak umum.
Perasaan senang meliputi sejumlah rasa yang lebih spesifik, seperti rasa puas,
rasa gembira, rasa nikmat, rasa simpati, rasa sayang, dan lain sebagainya.
Perasaan yang tidak senang meliputi sejumlah rasa yang lebih spesifik, seperti
rasa takut, rasa cemas, rasa gelisah, rasa iri hati, rasa cemburu, rasa segan,
rasa marah, rasa dendam, rasa benci dan lain sebagainya. Perasaan dapat menjadi
sedemikian kuat, sehingga orang terbawa-bawa oleh perasaannya sendiri; dengan
demikian, dia tidak menguasai lagi ungkapan perasaannya dan kehilangan kontrol
rasional. Orang harus belajar menerima perasaan sebagai bagian dari
kepribadiannya sendiri yang berperanan positif, karena di dalamnya dia menilai
secara spontan apa yang baik dan apa yang jelek baginya.
Fungsi dinamik dan afektif berkaitan satu sama lain, karena setiap kehendak
dan kemauan disertai perasaan dan setiap perasaan mengandung dorongan untuk
berkehendak dan berkemauan. Selain belajar menerima perasaan sendiri sebagai
sesuatu yang khas manusiawi orang juga harus belajar untuk bervariasi dalam
berperasaan. Ada saat dan situasi di mana orang akan khusus merasa puas, atau
khusus merasa gembira, atau khusus merasa sayang dan seterusnya.
·
Belajar kognitif: ciri khasnya terletak dalam belajar memperoleh dan
menggunakan suatu bentuk representasi yang mewakili semua obyek yang dihadapi,
entah obyek itu orang, benda atau kejadian/peristiwa. Segala obyek itu
direpresentasikan atau dihadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan,
gagasan atau lambang, yang semuanya merupakan sesuatu yang bersifat mental.
Misalnya, seseorang menceritakan pengalamannya selama mengadakan perjalanan ke
luar negeri, setelah kembali ke negerinya sendiri.tempat-tenpat yang di
kunjunginya selama berada di lain negara tidak dapat dibawa pulang. Dengan
demikian, hal-hal yang tidak hadir secara fisik pada saat sekarang, dapat
menjadi bahan komunikasi antara dua orang, segala macam hal seolah-olah
dipegang, disentuh dan dipermainkan secara mental. Karena kemampuan kognitif
ini, manusia dapat menghadirkan realitas dunia di dalam dirinya sendiri, dari
hal-hal yang bersifat material dan berperaga seperti perabot rumah tangga,
kendaraan, bangunan dan orang, sampai hal-hal yang tidak bersifat material dan
berperaga seperti ide “keadilan, kejujuran” dan lain sebagainya. Mengingat
adalah suatu aktivitas kognitif, di mana orang menyadari bahwa pengetahuannya
berasal dari masa yang lampau atau berdasarkan kesan-kesan yang diperoleh di
masa yang lampau. Terdapat dua bentuk mengingat yang paling menarik perhatian,
yaitu mengenal kembali (rekognisi) dan mengingat kembali (reproduksi).
·
Belajar senso-motorik:ciri khasnya terletak dalam belajar menghadapi dan
menangani aneka obyek secara fisik, termasuk kejasmanian manusia sendiri.
Misalnya, menggerakkan anggota-anggota badan sambil naik tangga atau berenang,
memegang alat sambil menulis atau melukis, memindahkan jari-jari tangan dan
memberikan tekanan pada tombol-tombol mesin bila mengetik, menguasai dan
mengatur lajunya sebuah kendaraan dengan mempergunakan gerakan lengan dan kaki,
memberikan makan kepada dirinya sendiri sambil mengambil bahan makanan dan memindahkannya
ke mulut dengan mempergunakan alat-alat makan dan lain sebagainya. Jadi,
berlangsunglah suatu penanganan atau operasi secara fisik, bukan hanya operasi
secara mental, sebagaiman terjadi bila berpikir. Dalam belajar ini, baik
aktivitas mengamati melalui alat-alat dria (sensorik) maupun bergerak dan
menggerakkan (motorik), memegang peranan penting. Pengalaman adalah fungsi yang
membuat manusia mengenal dunia real yang fisik/berbadan. Terjadi pengamatan,
bila seseorang melihat manusia lain, sebatang pohon atau sebuah meja;
Menurut pandanga Piaget, belajar senso-motorik merupakan dasar bagi belajar
berpikir. Mengamati aneka obyek dan memegang serta menangani benda, mendasari
perkembangan berpikir. Dalam berpikir, orang “mempermainkan” realitas lingkungan
hidupnya dalam bentuk-bentuk representatif, tetapi tanpa pengamatan yang cermat
dan penanganan secara konkret, sukarlah mengembangkan suatu bentuk representasi
mental yang tepat.
1. Bentuk-bentuk belajar menurut materi
yang dipelajari:
2.
Belajar teoretis. Bentuk pelajaran ini bertujuan untuk menempatkan semua
data dan fakta (pengetahuan) dalam suatu kerangka organisasi mental, sehingga
dapat dipahami dan digunakan untuk memecahkan problem, seperti terjadi dalam
bidang-bidang studi ilmiah. Maka, diciptakan banyak konsep, relasi-relasi di
antara konsep-konsep dan struktur-struktur hubungan.
2.
Belajar teknis. Bentuk belajar ini bertujuan mengembangkan
keterampilan-keterampilan dalam menangani dan memegang benda-benda serta
menyusun bagian-bagian materi menjadi suatu keseluruhan, misalnya belajar
mengetik dan membuat suatu mesin tik. Belajar semacam ini juga kerap disebut
belajar motorik. Belajar ini mencakup fakta, seperti siapa yang pertama membuat
mesin uap; konsep-konsep seperti arah pemutaran dan transmisi tenaga;
relasi-relasi, seperti susunan bagian-bagian dalam motor mobil; metode-metode
untuk memecahkan problem teknis, seperti mencari sebab mesin mobil tidak dapat
dihidupkan.
3. Belajar sosial atau belajar
bermasyarakat. Bentuk belajar ini bertujuan mengekang dorongan dan
kecenderungan spontan, demi kehidupan bersama, dan memberikan kelonggaran
kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Belajar ini mencakup fakta,
seperti didirikannya badan perserikatan bangsa untuk mengatur kehidupan
bangsa-bangsa pada taraf internasional; konsep-konsep, seperti solidaritas,
penghargaan dan kerukunan; relasi-relasi, seperti hubungan antara penindasan
dan pemberontakan; struktur-struktur seperti dalam badan-badan pemerintahan;
metode-metode atau cara-cara kehidupan bersama, seperti sopan-santun dan
tata-cara berapat.
4. Belajar estetis. Bentuk belajar ini
bertujuan membentuk kemampuan menciptakan dan menghayati keindahan di berbagai
bidang kesenian. Belajar ini mencakup fakta, seperti nama Mozart sebagai
penggubah musik klasik; konsep-konsep, seperti ritme, tema dan komposisi;
relasi-relasi, seperti hubungan antara bentuk dan isi; struktur-struktur,
seperti sistematika warna dan aliran-aliran dalam seni lukis; metode-metode,
seperti menilai mutu dan originalitas suatu karya seni.
5. Bentuk-bentuk belajar yang tidak begitu
disadari:
6.
Belajar insidental berlangsung bila orang mempelajari sesuatu dengan tujuan
tertentu, tetapi di samping itu juga belajar hal lain yang sebenarnya tidak
menjadi sasaran. Hasil belajar insidental biasanya terbatas pada pengetahuan
tentang fakta dan data. Belajar insidental dalam bahasa Inggris disebut “incidental learning” dan berperan positif; yang disebut
“accidental learning” adalah belajar insidental yang
berperan negatif dan tidak diharapkan terjadi, misalnya bila siswa tetap
menulis suatu kata dengan ejaan yang salah meskipun oleh guru diberi tanda
merah.
7. Belajar dengan mencoba-coba.
Sejarah
Perkembangan Psikologi Belajar
Bagaimana manusia belajar dan bagaimana syarat-syarat yang berlaku bila
manusia belajar, merupakan permasalahan yang sudah lama mendapat perhatian dari
sejumlah ahli psikologi, terutama mulai awal abad ini. Corak pandangan terhadap
masalah belajar yang masih mempengaruhi psikologi belajar modern, ialah cara
berpikir yang dipelopori oleh psikolog Inggris, yang mengembangkan aliran yang
kemudian disebut “Asosianisme”. Mereka terutama mempelajari bagaimana gagasan
yang satu dihubungkan dengan gagasan yang lain, misalnya bagaimana gagasan yang
satu dihubungkan dengan gagasan yang lain, misalnya bagaimana gagasan kompleks
“bunga” atau “nomor atau angka”, yang masing-masing mengandung banyak ide, akhirnya
dibentuk. Menurut pandangan mereka gagasan itu bersumber pada kesan-kesan yang
diperoleh melalui alat-alat indera; dari semua kesan itu akhirnya diperoleh
gagasan atau ide seperti “bunga” atau “nomor atau angka”. Belajar diartikan
sebagai proses pembentukan tingkah laku secara terorganisasi.
Implementasi pendidikan nilai moral adalah pendekatan yang paling tepat di
gunakan dalam pelaksanaan pendidikan budi pekerti di indonesia.[6]
Lima
Tipe Memori
Kita dapat mengingatnya dengan menggunakan singkatan W-I-R-E-S
(Work(kerja), Implicit(implisit), Remote(jarak jauh/jangka panjang), episodic,
semantic).
1. Work(kerja). Memori ini adalah memori
jangka-sangat-pendek-tak lebih dari beberapa detik lamanya. Berada pada bagian
korteks prefrontal, ia memungkinkan anda menyimpan dan mengingat beberapa hal
pada saat yang sama.
2. Implicit(implisit). Memori ini sering
disebut “otot” atau “memori implisit”- memori yang tidak menuntut kesadaran.
Itu menjelaskan mengapa kita dapat “kehilangan ingatan”.
3. Remote(jarak jauh/jangka panjang).
Memori ini adalah akumulasi data sepanjang hidup mengenai beragam topik yang
luas.
4. Memori ini adalah memori dari pengalaman
pribadi yang spesifik.
5.
Memori terhadap kata-kata dan simbol-simbol beserta makna-maknanya adalah
jenis memori yang kemungkinan besar tidak akan pernah hilang. Memori semantik
menggambarkan peng[7]etahuan
umum kita mengenai cara kerja dunia ini. Memori semantik terletak dalam gelung
sudut (suatu bagian otak yang berbentuk seperti gelung).
Pentingnya
Suatu Pendidikan
Pendidikan menjadi aspek penting untuk kemajuan sebuah negara. Kemajuan
pendidikan tentu tidak terlepas dari kompetensi yang dimiliki berbagai pihak.
Kompetensi merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang
harus dimiliki, dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan oleh guru dalam melaksanakan
kewajiban guru. Menjadi hak untuk guru agar dapat memperoleh kesempatan
meningkatkan kompetensi dan pengembangan profesi dalam bidangnya. Serta menjadi
kewajiban juga sebagai guru untuk memiliki kualifikasi akademik, kompetensi,
sertifikat pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Hal ini juga
sudah diamanatkan pada UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dimana
profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan
standar kompetensi sesuai bidang tugasnya dan pelaksanaan pengembangan
keprofesian berkelanjutan sepanjang hayat.
Pendidikan adalah hidup.” (Redja Mudyahardjo, 2009:3) pendidikan merupakan
hal penting dalam kehidupan setiap orang, dan pandangan ini dapat diterima oleh
seseorang jika telah mengerti dan memahami dengan benar tentang pendidikan itu
sendiri. Hal yang bertentangan dengan pendapat itu bahwa dahulu sebagian orang
tua menganggap pendidikan tidak memiliki arti atau guna sehingga kecenderungan
orang tua tidak memperhatikan kualitas pendidikan anak-anak mereka. Sebuah
filosofi secara tidak tertulis sering diungkapkan oleh orang tua bahwa
“sekolah tidak dimakan, kalau tidak kerja maka tidak bisa makan.” Pemahaman dan
pengertian seseorang tentang pendidikan dapat menentukan berhasil atau gagalnya
pendidikan bagi orang tersebut, yang mungkin akan berdampak juga bagi kehidupan
masa depannya, karena pendidikan bukanlah segala-galanya tetapi melalui
pendidikan seseorang akan bisa mendapatkan segala-galanya.
Pendidikan secara umum berbasis pengetahuan dan pengalaman yang terjadi
dalam konsep sejarah yang telah dipelopori oleh tokoh-tokoh pendidikan secara
umum, (Redja Mudyahardjo, 2009:3) tetapi pendidikan kristen berbasis kebenaran
firman Tuhan, yang mengungkapkan segi-segi kehidupan manusia baik dari sisi
eksistensi manusia itu sendiri, maupun moralitas dan integritas hidup yang
sesuai dengan panggilan dan tuntutan moralitas Allah. Konsep berpikir bahwa
pendidikan merupakan proses pembentukan dan membawa seorang anak berhadapan
langsung dengan Allah, karena Allah adalah pengajar. B.S. Sidjabat mengatakan
bahwa, “sebagai pengajar, ia aktif mengkomunikasikan kebenaran tentang
pribadi-Nya, firman-Nya bahkan perbuatan-Nya.” (B.S. Sidjabat, 2006:36) karena
itu, Allah sebagai pengajar dalam pendidikan kristen harus menjadi dasar yang
kuat dalam pengembangan pendidikan kristen, baik di sekolah maupun di gereja.
Pendidikan kristen adalah suatu interaksi nyata berdasarkan kebenaran firman
Allah (Alkitab) yang berimplikasi-kan pada hidup yang dikuasai oleh Roh Kudus,
sehinggah menghasilkan pembaharuan kehidupan dalam hidup peserta didik/jemaat
mencapai kesempurnaan di dalam Kristus. Kemudian B.S. Sidjabat mengatakan bahwa
“pendidikan kristen merupakan usaha untuk bersahaja dan sistematis, ditopang
oleh upaya rohani dan manusiawi untuk mentransmisikan pengetahuan, nilai-nilai,
sikap-sikap, keterampilan-keterampilan dan tingkah laku yang
bersesuaian/konsisten dengan iman kristen; mengupayakan perubahan, pembaharuan
dan reformasi pribadi-pribadi, kelompok bahkan struktur oleh kuasa Roh Kudus,
sehingga peserta didik hidup sesuai dengan kehendak Allah sebagaimana
dinyatakan oleh Alkitab, terutama dalam Yesus Kristus (B.S. Sidjabat, 1999:10).
Dari pengertian di atas, jelas bahwa pendidikan kristen merupakan bagian yang
sangat penting dalam gereja. Hal ini secara teologis didasarkan pada firman
Tuhan bahwa pendidikan kristen mendapatkan penekanan khusus dalam dalam
Perjanjian Lama Perjanjian baru. Dalam Perjanjian Lama Tuhan memberi perintah
kepada Harun untuk mengajarkan segala[8] ketetapan
yang telah difirmankan Tuhan kepada mereka melalui perantara-an nabi Musa
(Imamat 11:10). Kemudian tugas ini di mandatkan lagi kepada imam yang melayani
(Ulangan 6:24). Selanjutnya dalam Perjanjian Baru, Tuhan Yesus sendiri
memberikan penekanan penting terhadap pendidikan dengan bersabda: “Karena itu
pergilah,….jadikanlah….baptis-lah….dan ajarlah mereka….(Matius 28:19-20). Tuhan
Yesus memberikan sebuah jaminan pasti dan memberikan tugas kepada
murid-murid-Nya yang dikemudian hari akan menjadi pemimpin.
Dasar pemikiran di atas maka pendidikan kristen merupakan pelayanan yang
sangat penting dan harus berpusat pada Kristus, diterapkan melalui pelayanan
pastoral kristen, dalam konteks gereja saat ini (Kenneth O. Gangel, 2001:40).
Semua jenis pelayanan dalam gereja penting untuk dilakukan tetapi jika tanpa
pendidikan kristen maka gereja tidak mengalami pertumbuhan yang sehat. Pada
dasarnya Tuhan menghendaki untuk agar jemaat mengalami pertumbuhan dengan
sehat. Kesehatan dalam pertumbuhan sangat bergantung juga pada penerapan
pendidikan kristen. Pendidikan kristen dalam pembahasan ini kepada perintah
Tuhan Yesus dalam Matius 28:20 denga kata kunci “ajarlah”. Itu berarti bahwa
gereja harus menjadi tempat untuk mengajar, dalam arti gereja menjadi agen
pendidikan bagi jemaat dan setiap orang percaya. Gereja sebagai agen pendidikan
kristen adalah gereja menjadi pelaku pendidikan yang mampu mendidik, mengajar,
mengarahkan, membimbing serta mendoakan jemaat sehingga membawa jemaat kepada
kedewasaan rohani. Dan konsep ini bagi seorang pemimpin kristen dalam hal ini
adalah seorang gembala harus memiliki pemahaman bahwa gereja harus menjadi
pelaku (agen) pendidikan dan pendidikan dalam gereja harus berbasis Alkitab dan
memiliki otoritas sebagai pedoman bagi iman dan perbuatan manusia.
Allah selalu mendidik umat-Nya untuk hidup bertanggung jawab dalam
menjalani kehidupan termasuk bertanggung jawab dalam mendidik (bdk. Keluaran
13:17-22; Matius 14:13-21; 16:24-28). Cornelius Van Til mengatakan bahwa, Tentu
saja pendidikan tanpa Allah akan menjadi humanistik, yaitu berpusat pada
manusia. (Berkhof dan Cornelius Van Til, 11) secara implikatif pemahaman ini
harus diterapkan oleh gembala sebagai pemimpin dalam jemaat, agar pendidikan
kristen.
Melihat berbagai tantangan secara umum yang dihadapi oleh gereja, maka
gereja harus sadar dan hadir sebagai agen pendidikan yang akan mendidik,
mengarahkan, membimbing dan mengajar setiap umat Allah dalam menghadapi
tantangan yang ada. Secara khusus realitas yang dihadapi oleh gereja pada
umumnya, dari waktu ke waktu mengalami degradasi yang akan memengaruhi
kuantitas dalam gereja. Menghadapi kondisi yang ada, baik dalam gereja sebagai
organisasi maupun gereja sebagai pribadi, maka penting untuk membangun dasar
yang kuat dan berkualitas melalui pendidikan dalam gereja, pada
generasi-generasi yang ada sehingga gereja menjadi penentu bagi masa depan dan
kualitas iman jemaat, artinya gereja harus menjadi penentu bagi masa depan
generasi muda menjadi penentu bagi masa depan gereja. Karena itu, gereja harus
menjadi agen pendidikan kristen yang akan mendidik, membimbing, mengarahkan dan
mengajarkan anggota jemaat untuk tetap eksis dalam menghadapi berbagai kondisi
yang menjadi tantangan bagi pertumbuhan rohani dan iman jemaat.
Prinsip
Hidup Orang Percaya
Prinsip hidup orang percaya berlawanan total dengan prinsip hidup orang
tidak percaya. Hal ini terjadi dalam dunia pendidikan sama seperti dalam
gereja. Berdasarkan hal ini, kita akan membahas antitesis dalam pendidikan.
Antitesis ini terjadi di seluruh bidang pendidikan. Antitesis mula-mula terjadi
pada filsafat pendidikan; sangat penting tetapi sering tidak diperhatikan.
Kedua, antitesis muncul dalam aspek materi yang disampaikan, yakni kurikulum.
Terakhir, antitesis muncul ketika kita memikirkan sang anak atau anak muda yang
akan dididik. Dalam tiga aspek inilah kita akan membahas antitesis dalam
filsafat pendidikan.
Orang non-Kristen percaya bahwa alam semesta menciptakan Allah. Mereka
memiliki allah yang terbatas. Orang Kristen percaya bahwa Allah menciptakan
alam semesta. Mereka memiliki alam semesta yang terbatas. Oleh karena itu,
orang non-Kristen tidak berpikir untuk membawa seorang anak berhadapan langsung
dengan Allah. Mereka ingin membawa anak tersebut berhadapan langsung dengan
dunia. Pendidikan non-Kristen merupakan pendidikan tanpa Allah (Godless
education).
Dasar
Pendidikan
Sama seperti para pendidik Kristen yang kita sudah pelajari, comenius pun
berpendapat bahwa pendidikan yang ia maksudkan selayaknya di namakan pendidikan
agama Kristen, karena nilai-nilainya berporos pada iman Kristen. Jadi, teologi
adalah dasar pertama yang pertama menyoroti dan mempraktekan akan pendidikan.
Kita mencatat pengalaman pribadi sebagai dasar kedua yang melandasi
pandangannya tentang pendidikan. Gaya berpikir secara analogisadalah dasar yang ketiga. Melalui pendekatan
itu ia menerapkan tinjauan terhadap dunia alam dan penelahan Alkitab dengan
masalah atau isu pedagogis tertentu.
Comenius percaya akan kedaulatan Allah. Demikianlah ia menulis: segala
sesuatu yang terjadi dalam dunia berlangsung melulu karena kehendak-Nya saja,
dari hal-hal yang paling besar pun sampai yang paling kecil. Semua ini, telah
saya tinjau dengan mata sendiri. Lebih terarah lagi untuk maksud kita, percaya
akan kedaulatan Allah berarti bahwa pendidikan termasuk ke dalam kehendak Allah
bagi manusia. Comenius menarik kesimpulan itu berdasarkan jati diri manusia
sebagai “kemuliaan Allah” (1 Kor. 11:7). Karena manusia telah diciptakan
segambar dengan Allah, maka semakin dekat kelihatan gambar dengan modelnya,
semakin mulia pula gambaran itu. tetapi “semua orang telah berbuat dosa dan
telah kehilangan kemuliaan Allah,” (Rm. 3:23). Jadi, agar manusia tidak
kehilangan kemuliaan Allah dan karena itu merampas kepunyaan Allah, maka semua
orang harus diajar untuk tidak berbuat dosa, tidak berbuat salah dan tidak
gagal dalam panggilannya memenuhi jati dirinya yang segambar dengan Allah”.
Allah berkehendak agar manusia diajar untuk mengamalkan panggilan yang tinggi,
yaitu “kemuliaan Allah”. Di sini tampak perbedaan mencolok antara Calvin dan
Comenius tentang kedaulatan Allah menjamin bahwa keselamatan manusia
hanya bergantung kepada prakarsa Tuhan saja, sedangkan dalam pikiran Comenius
maksud kedaulatan itu lebih erat hubungannya dengan kebutuhan manusia yang
sedang menderita di dunia berdosa ini, walaupun memang Comenius tidak menolak
seluruh tafsiran Calvin tentang kedaulatan Allah.
Manusia adalah ajaran teologi kedua yang menyoroti pandangan Comenius
tentang pendidikan. Ia memulai pembahasan tentang manusia dengan mengutip dari
Kejadian 1:26; “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita,
supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan
atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap
di bumi.” Di dalamnya tersirat tiga pokok tentang jati diri manusia.
Manusia adalah makhluk yang tidak menggarap maknanya sepenuh-penuhnya
selama hidup di atas bola bumi ini. Manusia mencapai tujuan mutlak itu sesudah
dihidupkan ulang nanti di dunia seberang. Menurut Comenius, inti ini
diberlakukan dari dua sumber pokok, asas perkembangan tahap demi tahap yang
menjadi “hukum” untuk kehidupan insani, dan pengalaman Yesus sendiri.
Bila seseorang dahaga akan pengetahuan, maka selalu ada lebih banyak hal
yang asing baginya. Seperti kaki langit yang selalu “maju” lebih jauh lagi ke
depan, begitu pun pengalaman mengetahui dan memahami. Di depan seorang yang
mencari pengertian selalu ada sesuatu yang ia belum tangkap. Kalau begitu, kita
dipersiapkan untuk percaya akan tahap lain lagi sesudah kematian.
Justru keadaan inilah yang dibenarkan oleh pengalaman Yesus dari Nazaret.
Sesudah dikandung oleh Roh Kudus dan lahir dari dara Maria, Ia berjalan kaki di
antara manusia. Ia mati dan bangkit kembali dari maut dan naik ke sorga. Oleh
pengarang Surat Ibrani (6:20), Yesus dinamai “perintis” kita. Ia menjadi “yang
sulung di antara banyak saudara” (Rm. 8:29). Jadi, disimpulkan bahwa Yesus
tidak datang ke bumi untuk tetap tinggal di sana, malahan agar sesudah
menyelesaikan tugas-Nya Ia akan kembali ke tempat-Nya semula. Dengan kata lain,
tempat tinggal manusia berjumlah tiga tempat: rahim ibu, bumi dan sorga.
Pada tingkat pertama itu kita mengalami kehidupan paling sederhana, yaitu
dengan permulaan gerakan dan perasaan. Dengan yang kedua kita mengalami
kehidupan, kemampuan pindah tempat, pancaindra dan unsur-unsur akali. Dalam
yang ketiga itu kita menemukan penyempurnaan. Yang pertama itu menjadi
persiapan bagi yang kedua, dan yang kedua untuk yang ketiga, sedangkan yang
ketiga itu berada hanya demi kepentingan diri sendiri saja, karena bersifat
kekal.
Tujuan
Pendidikan
Perumusan suatu tujuan pendidikan, yang menetapkan hasil yang seharusnya
diperoleh pada pihak siswa setelah tamat, dijabarkan atas pengetahuan dan
pemahaman, keterampilan, sikap dan nilai yang telah menjadi milik siswa.
Berkaitan dengan penentuan tujuan pendidikan, perlu dibedakan antara
pengelolaan pendidikan pada taraf:
1. Organisasi makro: sistem pendidikan
sekolah pada taraf nasional, dengan penjabarannya dalam jenjang-jenjang dan
jenis-jenis pendidikan sekolah, yang semuanya harus menuju ke pencapaian tujuan
pendidikan nasional, sesuai dengan ciri-ciri program pendidikan masing-masing.
2. Organisasi meso: pengaturan program
pendidikan di sekolah tertentu sesuai dengan ciri-ciri khas jenjang pendidikan
tertentu (pendidikan dasar – pendidikan menengah – pendidikan tinggi) dan jenis
pendidikan yang dikelola di sekolah itu (pendidikan umum – pendidikan
kejuruan).
3.
Organisasi mikro: perencanaan dan pelaksanaan suatu proses belajar-mengajar
tertentu, di dalam ruang kelas, yang di peruntukkan kelompok siswa tertentu
pula. Para tenaga pengajar melakukan itu berdasarkan suatu program pengajaran
yang telah disusun untuk kelompok siswa yang bersangkutan.
Isi tujuan pendidikan akan berbeda-beda, tergantung untuk taraf organisasi
manakah tujuan itu ditetapkan.
Bagan hubungan hierarkis antara berbagai tujuan pendidikan sekolah, taraf
organisasi pendidikan sekolah dan taraf pengelolaan pendidikan sekolah.
Hierarki Tujuan Pendidikan |
Taraf Organisasi |
Taraf Pengelolaan |
|||
Tujuan Pendidikan Nasional Tujuan
Pendidikan Kurikuler Tujuan
Instruksional Umum |
Makro Meso Meso Mikro Mikro |
Keseluruhan usaha pendidikan
masyarakat di negeri Indonesia. Jenjang
pendidikan sekolah tertentu dan jenis pendidikan tertentu. Kesatuan
kurikulum tertentu yang mencakup sejumlah bidang studi. Kesatuan
bidang studi tertentu yang mencakup sejumlah pokok bahasa. Kesatuan pokok bahasan atau topik pelajaran tertentu |
Tujuan pendidikan nasional mengambil inspirasinya dari cita-cita nasional
bangsa dan tujuan pembangunan nasional.
Media
Pembelajaran
Belajar adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada diri setiap
orang sepanjang hidupnya. Proses belajar itu terjadi karena adanya interaksi
antara seseorang dengan lingkungannya. Oleh karena itu, belajar dapat terjadi
kapan saja dan dimana saja. Salah satu bertanda bahwa seseorang itu telah
belajar adalah adanya perubahan tingkah laku pada diri orang itu yang mungkin
disebabkan oleh terjadinya perubahan pada tingkat pengetahuan, keterampilan,
atau sikapnya. Apabilah proses belajar itu diselenggarakan secara formal di
sekolah-sekolah, tidak lain ini dimaksudkan untuk mengarahkan perubahan pada
diri siswa secara terencana, baik dalam aspek pengetahuan, keterampilan, maupun
sikap. Interaksi yang terjadi selama proses belajar tersebut dipengaruhi oleh
lingkungannya, yang antara lain terdiri atas murid, guru, petugas perpustakaan,
kepala sekolah, bahan atau materi pelajaran (buku, modul, selebaran, majalah, rekaman
vidio atau audio, dan yang sejenisnya), dan berbagai sumber belajar dan
fasilitas (proyektor overhead, perekam pita audio dan vidio, radio, televisi,
komputer, perpustakaan, laboratorium, pusat sumber blajar, dan lain-lain).
Untuk itu guru harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang
media pembelajaran, yang meliputi (Hamalik, 1994:6):
·
Media sebagai alat komunikasi guna lebih mengefektifkan proses belajar
mengajar;
·
Fungsi media dalam rangka mencapai tujuan pendidikan
·
Seluk-beluk proses belajar
·
Hubungan antara metode mengajar dan media pendidikan;
·
Nilai atau manfaat media pendidikan dalam pengajaran;
·
Pemilihan dan penggunaan media pendidikan;
·
Berbagai jenis alat dan teknik media pendidikan;
·
Media pendidikan dalam setiap mata pelajaran;
·
Usaha inovasi dalam media pendidikan;
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa media adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari proses belajar mengajar demi tercapainya tujuan pendidikan
pada umumnya dan tujuan pembelajaran di sekolah pada khususnya.
Pengertian
Media
Kata media berasal dari bahasa
Latin medius yang secara harfiah berarti “tengah”,
“perantara” atau “pengantar.” Dalam bahasa Arab, media adalah perantara atau
pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan. Gerlach & Ely (1971)
mengatakan bahwa media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia,
materi, atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu
memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Dalam pengertian ini, guru,
buku teks, dan lingkungan sekolah merupakan media. Secara lebih khusus,
pengertian media dalam proses belajar mengajar cenderung diartikan sebagai alat
grafis, photografis, atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyusun
kembali informasi visual atau verbal.
Batasan lain telah pula dikemukakan oleh para ahli yang sebagian di
antaranya akan diberikan berikut ini. AECT (Association of Education and
Communication Technology, 1977) memberi batasan tentang media sebagai segala
bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi. Di
samping sebagai sistem penyampai atau pengantar, media yang sering diganti
dengan kata mediator menurut Fleming
(1987: 234) adalah penyebab atau alat yang turut campur tangan dalam dua pihak
dan mendamaikannya. Dengan istilah mediator media
menunjukkan fungsi atau perannya, yaitu mengatur hubungan yang efektif
antara dua pihak utama dalam proses belajar-siswa dan isi pelajaran. Di samping
itu, mediator dapat pula mencerminkan pengertian bahwa setiap sistem
pembelajaran yang melakukan peran mediasi, mulai dari guru sampai kepada
peralatan paling canggih, dapat disebut media. Ringkasnya, media adalah alat
yang menyampaikan atau mengantarkan pesan-pesan pembelajaran.
Heinich, dan kawan-kawan (1982) mengemukakan istilah medium sebagai
perantara yang mengantar informasi antara sumber dan penerima. Jadi, televisi,
film, foto, radio, rekaman audio, gambar yang diproyeksikan, bahan-bahan
cetakan, dan sejenisnya adalah media komunikasi. Apabila media itu membawa
pesan-pesan atau informasi yang bertujuan instruksional atau mengandung
maksud-maksud pengajaran maka media itu disebut media
pembelajaran. Sejalan dengan batasan ini, Hamidjojo dalam Latuheru
(1993) memberi batasan media sebagai semua bentuk perantara yang digunakan oleh
manusia untuk menyampaikan atau menyebar ide, gagasan, atau pendapat sehingga
ide, gagasan atau pendapat yang dikemukakan itu sampai kepada penerima yang
dituju.
Acapkali kata media pendidikan digunakan secara bergantian dengan istilah
alat bantu atau media komunikasi seperti yang dikemukakan oleh hamalik (1986)
di mana ia melihat bahwa hubungan komunikasi akan berjalan lancar dengan hasil
yang maksimal apabila menggunakan alat bantu yang disebut media komunikasi.
Sementara itu, Gegne’ dan Briggs (1975) secara implisit mengatakan bahwa media
pembelajaran meliputi alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi
materi pengajaran, yang terdiri dari antara lain buku, tape recorder, kaset,
video camera, video recorder, film, slide (gambar bingkai), foto, gambar,
grafik, televisi, dan komputer. Dengan kata lain, media adalah komponen sumber
belajar atau wahana fisik yang mengandung materi instruksional di lingkungan
siswa yang dapat merangsang siswa untuk belajar. Di lain pihak, Nasional
Education Association memberikan definisi media sebagai bentuk-bentuk
komunikasi baik tercetak maupun audio-visual dan peralatannya; dengan demikian,
media dapat dimanipulasi, dilihat, didengar, atau dibaca.
Istilah “media” bahkan sering dikaitkan atau dipergantikan dengan kata
“teknologi” yang berasal dari kata latin tekne (bahasa
Inggris art) dan logos (bahasa
Indonesia “ilmu”). Menurut Webster (1983: 105), “art” adalah
keterampilan (skill) yang diperoleh lewat pengalaman, studi dan
observasi. Dengan demikian, teknologi tidak lebih dari suatu ilmu yang membahas
tentang keterampilan yang diperoleh lewat pengalaman, study, dan observasi.
Bila di hubungkan dengan pendidikan dan pembelajaran, maka teknologi mempunyai
pengertian sebagai:
Perluasan konsep tentang media, di mana teknologi bukan sekadar benda,
alat, bahan atau perkakas, tetapi tersimpul pula sikap, perbuatan, organisasi
dan manajemen yang berhubungan dengan penerapan ilmu. (Achsin, 1986: 10)[9]
1.
Teknonolgi pembelajaran atau pendidikan
Selain istilah media pembelajaran, terdapat pula istilah-istilah lain yang
berkaitan dengan itu seperti teknologi pembelajaran atau teknologi pendidikan,
sumber belajar (learning resources), dan alat
peraga.
Teknologi pendidikan adalah kajian dan praktik etis untuk menfasilitasi
belajar dan memperbaiki kinerja dengan menciptakan, menggunakan, dan mengelola
proses dan sumber-sumber teknologi yang sesuai (Januszewski dan Molenda, 2008:
1)
Teknologi pembelajaran pada perkembangan awalnya sama dengan media
pembelajaran yang lahir dari revolusi komunikasi
Dalam perkembangan selanjutnya teknologi pembelajaran merupakan suatu
disiplin ilmu tersendiri yang bukan hanya terbatas pada media dalam bentuk
peralatan fisik semata, melainkan merupakan kajian dan praktik etis dalam
mendesain, mengembangkan, menggunakan, mengelola, dan mengevaluasi proses dan
sumber teknologi yang sesuai untuk menfasilitasi belajar dan memperbaiki
kinerja tenaga pendidikan, peserta didik, dan organisasi kependidikan.
Media pembelajaran yang dipandang sebagai segala bentuk peralatan fisik
komunikasi berupa hardware dan software merupakan bagian kecil dari teknologi
pembelajaran yang harus di ciptakan (didesain dan dikembangkan), digunakan dan
dikelola (dievaluasi) untuk kebutuhan pembelajaran dengan maksud untuk mencapai
efektivitas dan efisiensi dalam proses pembelajaran.
Istilah sumber belajar dipahami sebagai perangkat, bahan (materi),
peralatan, pengaturan, dan orang di mana pembelajaran dapat berinteraksi
dengannya yang bertujuan untuk memfasilitasi belajar dan memperbaiki kinerja
(Januszewski dan Molenda, 2008: 213)
3.
Alat peraga
Yang dimaksudkan dengan alat peraga adalah media alat bantu pembelajaran,
dan segala macam benda yang digunakan untuk memperagakan materi pelajaran. Alat
peraga di sini mengandung pengertian bahwa segala sesuatu yang masih bersifat
abstrak, kemudian dikonkretkan dengan menggunakan alat agar dapat dijangkau
dengan pikiran yang sederhana dan dapat dilihat, dipandang, dan dirasakan.
Ciri-ciri
Media Pendidikan
Gerlach & Ely (1971) mengemukakan tiga ciri media yang merupakan
petunjuk mengapa media digunakan dan apa-apa saja yang dapat dilakukan oleh
media yang dapat dilakukan oleh media yang mungkin guru tidak mampu (atau
kurang efisien) melakukannya.
1.Ciri Fiksatif (Fixative Property)
Ciri ini menggambarkan kemampuan media merekam, menyimpan, melestarikan,
dan merekonstruksi suatu peristiwa atau objek. Suatu peristiwa atau objek dapat
diurut dan disusun kembali dengan media seperti fotografi, video tape, audio
tape, disket komputer, dan film. Suatu objek yang telah diambil gambarnya
(direkam) dengan kamera atau video kamera dengan mudah dapat direproduksi
dengan mudah kapan saja diperlukan. Dengan ciri fiksatif ini, media
memungkinkan suatu rekaman Kejadian atau objek [11]yang
terjadi pada satu waktu tertentu ditransportasikan tanpa mengenal waktu.
Ciri ini amat penting bagi guru karena kejadian-kejadian atau objek yang
telah direkam atau disimpan dengan format media yang ada dapat digunakan setiap
saat.
2.
Ciri Manipulatif (Manipulative Property)
Transformasi suatu kejadian atau objek dimungkinkan karena media memiliki
ciri manipulatif. Kejadian yang memakan waktu berhari-hari dapat disajikan
kepada siswa dalam waktu dua atau tiga menit dengan teknik pengambilan
gambar time-lapse recording. Misalnya, bagaimana proses
larva menjadi kepompong kemudian menjadi kupu-kupu dapat dipercepat dengan
teknik rekaman fotografi tersebut.di samping
dapat dipercepat, kejadian dapat pula diperlambat pada saat menayangkan kembali
hasil suatu rekaman video.
Manipulasi kejadian atau objek denga jalan mengedit hasil rekaman dapat
menghemat waktu. Proses penanaman dan panen gandum, pengolahan gandum menjadi
tepung, dan penggunaan tepung untuk membuat roti dapat dipersingkat waktunya
dalam suatu urutan rekaman video atau film yang mampu menyajikan informasi yang
cukup bagi siswa untuk mengetahui asal usul dan proses dari penanaman bahan
baku tepung hingga menjadi roti.
3.
Ciri Distributif (Distributive property)
Ciri distributif dari media memungkinkan suatu objek atau kejadian
ditransportasikan melalui ruang, dan secara bersamaan kejadian tersebut
disajikan kepada sejumlah besar siswa dengan stimulus pengalaman yang relatif
sama mengenai kejadian itu. Dewasa ini, distribusi media tidak hanya terbatas
pada satu kelas atau beberapa kelas pada sekolah-sekolah di dalam suatu wilaya
tertentu, tetapi juga media itu misalnya rekaman video, audio, disket komputer
dapat disebar ke seluruh penjuru tempat yang diinginkan kapan saja.
Teori
Belajar
Dari segi teori belajar, berbagai kondisi dan prinsip-prinsip psikologis
yang perlu mendapat pertimbangan dalam pemilihan dan penggunaan media adalah
sebagi berikut:
1. Harus ada kebutuhan, minat, atau
keinginan untuk belajar dari pihak siswa sebelum meminta perhatiannya untuk
mengerjakan tugas dan latihan. Lagi pula, pengalaman yang akan dialami siswa
harus relevan dan bermakna baginya. Oleh karena itu, perlu untuk melahirkan
minat itu dengan perlakuan yang memotivasi dari informasi yang terkandung dalam
media pembelajaran itu.
2. Perbedaan individual. Siswa belajar
dengan cara dan tingkat kecepatan yang berbeda-beda. Faktor-faktor seperti
kemampuan inteligensia, tingkat pendidikan, kepribadian, dan gaya belajar
mempengaruhi kemampuan dan kesiapan siswa untuk belajar. Tingkat kecepatan
penyajian informasi melalui media harus berdasarkan kepada tingkat pemahaman.
3. Tujuan pembelajaran. Jika siswa
diberitahukan apa yang diharapkan mereka pelajari melalui media pembelajaran
itu, kesempatan untuk berhasil dalam pembelajaran semakin besar. Di samping
itu, pernyataan mengenai tujuan belajar yang ingin dicapai dapat menolong
perancang dan penulis materi pelajaran. Tujuan ini akan menentukan bagian isi
yang mana harus mendapatkan perhatian pokok dalam media pembelajaran.
4. Organisasi isi. Pembelajaran akan lebih
mudah jika isi dan prosedur atau keterampilan fisik yang akan dipelajari diatur
dan diorganisasikan ke dalam urut-urutan yang bermakna. Siswa akan memahami dan
mengingat lebih lama materi pelajaran yang secara logis disusun dan
diurut-urutkan secara teratur. Di samping itu, tingkatan materi yang akan
disajikan di tetapkan berdasarkan kompleksitas dan tingkat kesulitan isi
materi. Dengan cara seperti ini dalam pengembangan dan penggunaan media, siswa
dapat dibantu untuk secara lebih baik mensintesis dan memadukan pengetahuan
yang akan dipelajari
5. Persiapan sebelum belajar. Siswa
sebaiknya telah menguasai secara baik pelajaran dasar atau memiliki pengalaman
yang diperlukan secara memadai yang mungkin merupakan prasyarat untuk
penggunaan media dengan sukses. Dengan kata lain, ketika merancang materi
pelajaran, perhatikan harus ditujukan kepada sifat dan tingkat persiapan siswa.
6.
Pembelajaran yang melibatkan emosi dan perasaan pribadi serta kecakapan
amat berpengaruh dan bertahan. Media pembelajaran adalah cara yang sangat baik
untuk menghasilkan respons emosional seperti takut, cemas, empati, cinta kasih,
dan kesenangan. Oleh karena itu, perhatian [12]khusus
harus ditujukan kepada elemen-elemen rancangan media jika hasil yang diinginkan
berkaitan dengan pengetahuan dan sikap.
7. Agar pembelajaran berlangsung dengan
baik, seorang siswa harus menginternalisasi informasi, tidak sekadar
diberitahukan kepadanya. Oleh sebab itu, belajar memerlukan kegiatan.
Partisipasi aktif oleh siswa jauh lebih baik daripada mendengarkan dan menonton
secara pasif. Partisipasi artinya kegiatan mental atau fisik yang terjadi di
sela-sela penyajian materi pelajaran. Dengan partisipasi kesempatan lebih besar
terbuka bagi siswa untuk memahami dan mengingat materi pelajaran itu.
8. Umpan balik. Hasil belajar dapat
meningkatkan apabila secara berkala siswa diinformasikan kemajuan belajarnya.
Pengetahuan tentang hasil belajar, pekerjaan yang baik, atau kebutuhan untuk
perbaikan pada sisi-sisi tertentu akan memberikan sumbangan terhadap motivasi
belajar yang berkelanjutan.
9.
Penguatan (reinforcement). Apabila siswa berhasil belajar, ia didorong
untuk terus belajar. Pembelajaran yang didorong oleh keberhasilan amat
bermanfaat, dapat membangun kepercayaan diri, dan secara positif mempengaruhi
perilaku di masa-masa yang akan datang.[13]
10. Latihan dan pengulangan. Sesuatu hal
baru jarang sekali dapat dipelajari secara efektif hanya dengan sekali jalan.
Agar suatu pengetahuan atau keterampilan dapat menjadi bagian kompetensi atau
kecakapan intelektual seseorang, haruslah pengetahuan atau keterampilan itu
sering diulangi dan dilatih dalam berbagai konteks. Dengan demikian, ia dapat
tinggal dalam ingatan jangka panjang.
11. Hasil belajar yang diinginkan adalah
meningkatkan kemampuan seseorang untuk menerapkan atau mentransfer hasil
belajar pada masalah atau situasi baru. Tanpa dapat melakukan ini, pemahaman
sempurna belum dapat dikatakan dikuasai. Siswa mesti telah pernah dibantu untuk
mengenali atau menemukan generalisasi (konsep, prinsip, atau kaidah) yang
berkaitan dengan tugas. Kemudian siswa diberi kesempatan untuk bernalar dan
memutuskan dengan menerapkan generalisasi atau prosedur terhadap berbagai
masalah atau tugas baru.
Kesimpulan media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan
untuk menyampaikan pesan atau informasi dalam proses belajar mengajar sehingga
dapat merangsang perhatian dan minat siswa dalam belajar.
Teknologi pembelajaran, adalah kajian dan praktik etis untuk menfasilitasi
belajar dan memperbaiki kinerja dengan menciptakan, menggunakan, dan mengelola
proses dan sumber-sumber teknologi yang sesuai (Januszeswki dan molenda,
2008:1)
Sumber belajar dipahami sebagai perangkat, bahan/materi, peralatan,
pengaturan, dan orang di mana pembelajaran dapat berinteraksi dengan lingkungan
sekitarnya yang bertujuan untuk memfasilitasi belajar dan memperbaiki kinerja
(Januszeswki dan molenda, 2008: 213)
Alat peraga adalah alat yang digunakan guru yang berfungsi membantu guru
dalam proses mengajarnya dan membantu peserta didik dalam proses belajarnya
(Simak Yaumi & Syafei, 2012, Media & Teknologi dalam Pembelajaran. Fak.
Terbiyah UIN Alauddin, Modul
Daftar
Pustaka
Azhar Arsyad, (2015), Media Pembelajaran, Jakarta,
Rajawali Pers.
Colin Rose dan Malcom J. Nicholl, (2015), Revolusi Belajar, Bandung,
Nuansa cendekia
Hasan, Basri, (2015), paradigma baru sistem
pembelajaran, bandung, pustaka setia
I Made Suardana, Maidiantius Tanyid, Ismail Banne Ringgi, Abraham Sere
Tanggulungan, Selvianti, (2013), PAK Konteks Indonesia, bandung,
kalam hidup.
Louis Berkhof, Cornelius Van Til, (2013), Dasar Pendidikan Kristen, surabaya,
momentum.
Robert R. Boehlke, (2011), Sejarah Perkembangan Pikiran dan
Praktek Pendidikan Agama Kristen,Jakarta, BPK Gunung Mulia.
Sutarjo, Adisusilo. J.R, (2014), Pembelajaran Nilai Karakter, Jakarta,Rajawali
Pers
W.S. Winkel. (2004), Psikologi Pengajaran, Yogyakarta,
Media Abadi
[2] Winkel, w.s, (2004), psikologi pengajaran, yogyakarta, media abadi,
hal. 27
[3] Basri, Hasan, (2015), paradigma baru sistem pembelajaran,
bandung, pustaka setia, hal. 13
[5] Ibid. Psikologi Pengajaran. Hal. 70
[6] Adisusilo, J.R. sutarjo, (2014) Pembelajaran Nilai-Karakter,
Jakarta,Rajawali Pers, hal. 190
[7] Colin Rose dan Malcom J. Nicholl, (2015), Revolusi Belajar, Bandung, Nuansa cendekia
[9] Arsyad,Azhar, (2015), Media Pembelajaran, Jakarta, Rajawali Pers,
hal. 1-5
[10] Arsyad, Azhar, (2015), Media Pembelajaran, Jakarta, Rajawali
pers, hal 15
[11] Ibid. Media Pembelajaran. halaman
16
[12] Ibid. Media Pembelajaran. halaman
16
[13] Ibid. Media Pembelajaran. halaman
17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar